Anda di halaman 1dari 8

Jawaban Soal No.

4
A. Kedudukan Manusia Di Muka Bumi
1. Manusia sebagai Abdullah
Kedudukan manusia yang pertama adalah sebagai Abdullah, yang artinya adalah sebagai
hamba Allah. Sebagai hamba Allah maka manusia harus menuruti kemauan Allah, yang tidak
boleh membangkang pada-Nya. Jika kita membangkang maka kita akan terkena konsekwensi
yang sangat berat. Kita adalah budak Allah, karenanya setiap perilaku kita harus direstui
oleh-Nya, harus menyenangkan-Nya, harus mengagungkan-Nya.
Untuk pedoman hidup manusia Allah SWT menurunkan Al Qur'an agar supaya manusia
bisa mengemban amanah yang diberikan oleh Allah SWT, disamping itu juga kita juga wajib
untuk melaksanakan pedoman hidup dan cara beribadah dan bermuamalah berdasarkan
Sunnah Rasullullah SAW, serta ijtihad para ulama dan tabiin yang berdasarkan pada Al Quran
dan Al Hadist.
Kita ini memang budak dihadapan Allah, namun dengan inilah kita menjadi mulia, kita
menjadi mempunyai harga diri, kita menjadi mempunyai jiwa, kita menjadi mempunyai hati,
kita menjadi mempunyai harapan cerah yang akan diberikan Allah, karena ketaatan kita itu.
2. Manusia Sebagai Khalifatullah
Fungsi dan kedudukan manusia di dunia ini adalah sebagai khalifah di bumi. Tujuan
penciptaan manusia di atas dunia ini adalah untuk beribadah. Sedangkan tujuan hidup
manusia di dunia ini adalah untuk mendapatkan kesenangan dunia dan ketenangan akhirat.
Jadi, manusia di atas bumi ini adalah sebagai khalifah, yang diciptakan oleh Allah dalam
rangka untuk beribadah kepada-Nya, yang ibadah itu adalah untuk mencapai kesenangan di
dunia dan ketenangan di akhirat.
Apa yang harus dilakukan oleh khalifatullah itu di bumi? Dan bagaimanakah manusia
melaksanakan ibadah-ibadah tersebut? Serta bagaimanakah manusia bisa mencapai
kesenangan dunia dan ketenangan akhirat tersebut? Banyak sekali ayat yang menjelaskan
mengenai tiga pandangan ini kepada manusia. Antara lain seperti disebutkan pada Surah Al-
Baqarah ayat 30:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui.”
Khalifah adalah seseorang yang diberi tugas sebagai pelaksana dari tugas-tugas yang
telah ditentukan. Jika manusia sebagai khalifatullah di bumi, maka ia memiliki tugas-tugas
tertentu sesuai dengan tugas-tugas yang telah digariskan oleh Allah selama manusia itu
berada di bumi sebagai khalifatullah.
Jika kita menyadari diri kita sebagai khalifah Allah, sebenarnya tidak ada satu manusia
pun di atas dunia ini yang tidak mempunyai “kedudukan” ataupun “jabatan”. Jabatan-
jabatan lain yang bersifat keduniaan sebenarnya merupakan penjabaran dari jabatan pokok
sebagai khalifatullah. Jika seseorang menyadari bahwa jabatan keduniawiannya itu
merupakan penjabaran dari jabatannya sebagai khalifatullah, maka tidak ada satu manusia
pun yang akan menyelewengkan jabatannya. Sehingga tidak ada satu manusia pun yang
akan melakukan penyimpangan-penyimpangan selama dia menjabat.
Jabatan manusia sebagai khalifah adalah amanat Allah. Jabatan-jabatan duniawi,
misalkan yang diberikan oleh atasan kita, ataupun yang diberikan oleh sesama manusia,
adalah merupakan amanah Allah, karena merupakan penjabaran dari khalifatullah. Sebagai
khalifatullah, manusia harus bertindak sebagaimana Allah bertindak kepada semua
makhluknya.
Pada hakikatnya, kita menjadi khalifatullah secara resmi adalah dimulai pada usia akil
baligh sampai kita dipanggil kembali oleh Allah. Manusia diciptakan oleh Allah di atas dunia
ini adalah untuk beribadah. Lantas, apakah manusia ketika berada di dalam rahim ibunya
tidak menjalankan tugasnya sebagai seorang hamba? Apakah janin yang berada di dalam
rahim itu tidak beribadah? Pada dasarnya, semua makhluk Allah di atas bumi ini beribadah
menurut kondisinya. Paling tidak, ibadah mereka itu adalah bertasbih kepada Allah.
Disebutkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah: Yushabbihu lillahi ma fissamawati wama fil
ardh.
Bebatuan, pepohonan, gunung, dan sungai misalkan, semuanya beribadah kepada Allah
dengan cara bertasbih. Dalam hal ini, janin yang berada di dalam rahim ibu beribadah sesuai
dengan kondisinya, yaitu dengan cara bertasbih. Ketika Allah akan meniupkan roh ke dalam
janin, maka Allah bertanya dulu kepada janin tersebut. Allah mengatakan “Aku akan
meniupkan roh ke dalam dirimu. Tetapi jawab dahulu pertanyaan-Ku, baru Aku akan tiupkan
roh itu ke dalam dirimu. Apakah engkau mengakui Aku sebagai Tuhanmu?” Lalu dijawab
oleh janin tersebut, “Iya, aku mengakui Engkau sebagai Tuhanku.”
Dari sejak awal, ternyata manusia itu sebelum ada rohnya, atau pada saat rohnya akan
ditiupkan, maka Allah menanyakan dahulu apakah si janin mau mengakui-Nya sebagai
Tuhan. Jadi, janin tersebut beribadah menurut kondisinya, yaitu dengan bertasbih kepada
Allah. Tidak ada makhluk Allah satupun yang tidak bertasbih kepada-Nya. Manusia mulai
melakukan penyimpangan dan pembangkangan terhadap Allah yaitu pada saat ia berusia
akil baligh hingga akhir hayatnya. Tetapi, jika kita ingat fungsi kita sebagai khalifatullah,
maka takkan ada manusia yang melakukan penyimpangan.
Makna sederhana dari khalifatullah adalah “pengganti Allah di bumi”. Setiap detik dari
kehidupan kita ini harus diarahkan untuk beribadah kepada Allah, seperti ditegaskan oleh
Allah di dalam firman-Nya: Wa ma khalaqtul jinna wal insa illa li ya’budu.
“Tidak Aku ciptakan manusia dan jin kecuali untuk menyembah kepada-Ku.” Kalau
begitu, sepanjang hayat kita sebenarnya adalah untuk beribadah kepada Allah. Dalam
pandangan Islam, ibadah itu ada dua macam, yaitu: ibadah primer (ibadah mahdhah) dan
ibadah sekunder (ibadah ghairu mahdhah). Ibadah mahdhah adalah ibadah yang langsung,
sedangkan ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah tidak langsung. Seseorang yang
meninggalkan ibadah mahdhah, maka akan diberikan siksaan oleh Allah. Sedangkan bagi
yang melaksanakannya, maka akan langsung diberikan ganjaran oleh Allah. Ibadah mahdhah
antara lain: shalat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan ibadah ghairu mahdhah adalah semua
aktifitas kita yang bukan merupakan ibadah mahdhah tersebut, antara lain: bekerja, masak,
makan, dan menuntut ilmu.
Ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang paling banyak dilakukan dalam keseharian
kita. Dalam kondisi tertentu, ibadah ghairu mahdhah harus didahulukan daripada ibadah
mahdhah. Nabi mengatakan, jika kita akan shalat, sedangkan di depan kita sudah tersedia
makanan, maka dahulukanlah untuk makan, kemudian barulah melakukan shalat. Hal ini
dapat kita pahami, bahwa jika makanan sudah tersedia, lalu kita mendahulukan shalat, maka
dikhawatirkan shalat yang kita lakukan tersebut menjadi tidak khusyu’, karena ketika shalat
tersebut kita selalu mengingat makanan yang sudah tersedia tersebut, apalagi perut kita
memang sedang lapar.

B. Dalil Naqli
Surah Al-Baqarah ayat 30:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui.”
C. Karakter Rinci
Karakter rinci Abdullah adalah Sebagai hamba Allah maka manusia harus menuruti kemauan
Allah, yang tidak boleh membangkang pada-Nya. Jika kita membangkang maka kita akan
terkena konsekwensi yang sangat berat. Kita adalah budak Allah, karenanya setiap perilaku kita
harus direstui oleh-Nya, harus menyenangkan-Nya, harus mengagungkan-Nya.
Karakter rinci Khilafah adalah manusia di atas bumi ini adalah sebagai khalifah, yang
diciptakan oleh Allah dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya, yang ibadah itu adalah untuk
mencapai kesenangan di dunia dan ketenangan di akhirat.
D. Praktik Dalam Kehidupan Bangsa Indonesia
1. Praktik Abdullah
Beribadah dalam arti sempit artinya mengerjakan Ibadah secara ritual saja, seperti, Sholat,
puasa, haji, dan sebagainya. Sedangkan ibadah dalam arti luas adalah melaksanakan semua
aktifitas baik dalam hubungan dengan secara vertikal kepada Allah SWT maupun
bermuamalah dengan sesama manusia untuk memperoleh keridoan Allah sesuai dengan
ketentuan-ketentuan Allah SWT dan Hadist. Dan tentunya dari makna ibadah dalam arti luas
ini akan terpancarkan pribadi seorang muslim sejati dimana seorang muslim yang
mengerjakan kelima rukun Islam maka akan bisa memberikan warna yang baik dalam
bermuamalah dengan sesama manusia dan banyak memberikan manfaat selama
bermuamalah itu.
Disamping itu, segala aktifitas yang kita lakukan baik itu aktifitas ibadah maupun
aktifitas keseharian kita dimanapun berada di rumah, di kampus di jalan dan dimanapun
haruslah hanya dengan niat yang baik dan lillahi ta'ala, tanpa ada motivasi lain selain ALLAH,
sebagai misal beribadah dan bersedekah hanya ingin dipuji oleh orang dengan sebutan “alim
dan dermawan”; ingin mendapatkan pujian dari orang lain; ingin mendapatkan kemudahan
dan fasilitas dari atasan selama bekerja dan studi dengan menghalalkan segala cara dan lain
sebagainya. Sekali lagi jika segala aktifitas bedasarkan niatnya karena Allah, dan dilakukan
dengan peraturan yang Allah turunkan maka hal ini disebut sebagai ibadah yang
sesungguhnya. Di dalam Adz Dzariyat 56: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
kecuali untuk beribadah kepada-Ku."
Kita beribadah kepada Allah bukan berarti Allah butuh kepada kita, Allah sama sekali
tidak membutuhkan kita. Bagi Allah walaupun semua orang di dunia ini menyembah-Nya,
melakukan sujud pada-Nya, taat pada-Nya, tidaklah hal tersebut semakin menyebabkan
meningkatnya kekuasaan Allah. Demikian juga sebaliknya jika semua orang menentang
Allah, maka hal ini tak akan mengurangi sedikitpun kekuasaan Allah. Jadi sebenarnya yang
membutuhkan Allah ini adalah kita, yang tergantung kepada Allah ini adalah kita, yang
seharusnya mengemis minta belas kasihan Allah ini adalah kita. Yang seharusnya menjadi
hamba yang baik ini adalah kita. Allah memerintahkan supaya kita beribadah ini sebenarnya
adalah untuk kepentingan kita sendiri, sebagai tanda terimakasih kepada-Nya, atas nikmat
yang diberikan-Nya, agar kita menjadi orang yang bertaqwa, Allah SWT berfirman: “Hai
manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelummu, agar kamu bertakwa” [2 : 21]
Dan satu hal penting yang harus dicatat adalah bahwa beribadah hanyalah kepada Allah
saja, menggantungkan hidup ini hanyalah kepada-Nya saja. Dunia ini adalah instrumen
semata, yang akan berperan sebagai bahan ujian dari-Nya. Karenanya, dalam beribadah,
janganlah menduakan Allah, karena hanya Allahlah satu-satunya dzat yang harus kita
sembah dan ibadahi.
Ingatkah kita akan apa yang wajib kita ucapkan minimal 17 kali sehari, dalam shalat-
shalat kita, Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in, hanya kepada Allah lah kami menyembah, dan
hanya kepada Allah lah kami minta pertolongan. Tiada yang lain. Karenanya, Allah tiada
mengampuni jika kita mensekutukannya, menduakannya dengan yang lain. Hanya berbuat
karena Allah, dan hanya meminta pertolongan kepada Allah lah yang membuat kita aman
dari murkanya, dan akan mendapatkan rahmat-Nya.
2. Praktik Khalifah
Praktik kekhalifahan terhadap diri sendiri meliputi:
1) Menuntut ilmu pengetahuan (Q.S.al-Nahl: 43), karena manusia itu adalah makhluk yang
dapat dan harus dididik/diajar (Q.S. al-Baqarah: 31) dan yang mampu
mendi-dik/mengajar (Q.S. Ali Imran: 187, al-An’am: 51);
2) Menjaga dan memelihara diri dari segala sesuatu yang bisa menimbulkan bahaya dan
kesengsaraan (Q.S. al-Tahrim: 6) termasuk di dalamnya adalah menjaga dan
memelihara kesehatan fisiknya, memakan makanan yang halal dan sebagainya; dan
3) Menghiasi diri dengan akhlak yang mulia. Kata akhlaq berasal dari kata khuluq atau
khalq. Khuluq merupakan bentuk batin/rohani, dan khalq merupakan bentuk lahir/
jasmani. Keduanya tidak bisa dipisahkan, dan manusia terdiri atas gabungan dari
keduanya itu yakni jasmani (lahir) dan rohani (batin). Jasmani tanpa rohani adalah
benda mati, dan rohani tanpa jasmani adalah malaikat. Karena itu orang yang tidak
menghiasi diri dengan akhlak yang mulia sama halnya dengan jasmani tanpa rohani atau
disebut mayit (bangkai), yang tidak saja membusukkan dirinya, bahkan juga
membusukkan atau merusak lingkungannya.
Praktik kekhalifahan dalam keluarga/rumah tangga meliputi:
1) Membentuk rumah tangga bahagia dan sejahtera atau keluarga sakinah dan mawaddah
wa rahmah/cinta kasih (Q.S. ar-Rum: 21) dengan jalan menyadari akan hak dan
kewajibannya sebagai suami-isteri atau ayah-ibu dalam rumah tangga.
Praktik kekhalifahan dalam masyarakat meliputi:
1) Mewujudkan persatuan dan kesatuan umat (Q.S. al-Hujurat: 10 dan 13, al-Anfal: 46).
2) Tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan (Q.S. al-Maidah: 2).
3) Menegakkan keadilan dalam masyarakat (Q.S. al-Nisa’: 135)
4) Bertanggung jawab terhadap amar ma’ruf nahi munkar (Q.S. Ali Imran: 104 dan 110).
5) Berlaku baik terhadap golongan masyarakat yang lemah, termasuk di dalamnya adalah
para fakir dan miskin serta anak yatim (Q.S. al-Taubah: 60, al-Nisa’: 2), orang yang cacat
tubuh (Q.S. ’Abasa: 1-11), orang yang berada di bawah penguasaan orang lain dan lain-
lain.
Sedangkan praktik kekhalifahan terhadap alam meliputi:
1) Mengkulturkan natur (membudaya-kan alam), yakni alam yang tersedia ini agar
dibudayakan, sehingga menghasilkan karya-karya yang bermanfaat bagi kemaslahatan
hidup manusia.
2) Menaturkan kultur (mengalam-kan budaya), yakni budaya atau hasil karya manusia
harus disesuaikan dengan kondisi alam, jangan sampai merusak alam atau lingkungan
hidup, agar tidak menimbulkan malapetaka bagi manusia dan lingkungannya.
3) MengIslamkan kultur (mengIslamkan budaya), yakni dalam berbudaya harus tetap
komitmen dengan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil-’alamin, sehingga berbudaya
berarti mengerahkan segala tenaga, cipta, rasa dan karsa, serta bakat manusia untuk
mencari dan mene-mukan kebenaran ajaran Islam atau kebenaran ayat-ayat serta
keagungan dan kebesaran Ilahi.

Jawaban Soal No. 6


Perbandingan prinsip siyasah yang ada dengan kehidupan politik di Indonesia, yaitu masih belum
maksimal. Contohnya prinsip siyasah Al-Amanah (titipan) pada prinsip ini masih ada saja oknum
pejabat yang tidak amanah, yang tidak bisa di pertanggung jawabkan. Contohnya, yaitu membangun
proyek atau gedung yang masih belum pada di selesaikan karena anggaran untuk bangun proyek
tersebut pada di korupsi. Contoh prinsip lainnya, yaitu Al-Musawah (kesetaraan atau kesamaan)
Pada bagian ini yang belum maksimal adalah di bagian institusi penegakan hukum di kepolisian,
karena penegakan hukum di Indonesia saat ini masih belum adil. Contohnya saja kasus Korupsi uang
rakyat yang hanya di hukum ringan, sedangkan ada kasus nenek ambil kayu bakar saja di hukumnya
sampai lama.
Apakah sistem politik dan etika para pelaku politik telah mencerminkan nilai-nilai prinsip siyasah
islam?
Menurut saya belum mencerminkan. Contohnya prinsip siyasah Tabadul al-Ijtima (tanggung jawab
sosial), karena masih banyak pejabat-pejabat diluar sana yang masih memikirkan dan mementingkan
dirinya sendiri daripada rakyatnya. Dalam mengatur anggaran negara misalnya masih banyak
pejabat yang mengkorupsi dana tersebut, sehingga banyak yang di tangkap oleh KPK yang
menyebabkan negara merugi dan rakyat semakin menderita.
Kontekstualisasi nya, yaitu dengan memperbaiki sistem hukum tata negara atau sistem politik yang
telah ada, sehingga sesuai dengan UUD 45, Pancasila dan prinsip-prinsip siyasah islam.

Jawaban Soal No. 7


Kemajuan dalam pendidikan dan penguasaan lptek berimplikasi terhadap kemajuan politik,
ekonomi, dan budaya. Hal ini secara historis dapat Anda lacak ketika dunia Islam unggul dalam lptek.
Pada masa keemasan Islam, kekuasaan politik umat Islam semakin luas dengan ekspansinya ke
berbagai wilayah dan penguasaan dalam politik ini membawa kemajuan dalam kehidupan ekonomi
umat Islam saat itu. Zaman keemasan Islam itu terjadi pada masa kekuasaan Dinasti Umayyah yang
berpusat di Damaskus, Syria (dan kemudian berkembang pula di Spanyol) serta zaman kekuasaan
Dinasti Abbasiyyah yang berpusat di Baghdad, lrak.
Allah telah menetapkan bahwa yang akan mendapat kemajuan pada masa depan adalah bangsa
yang menguasai ilmu pengetahuan yang dilandasi dengan iman. Dalam sejarah, kita dapat
menyaksikan kemajuan lptek umat Islam membawa kemajuan bagi umat Islam dalam bidang
ekonomi, politik, budaya, dan pendidikan. Umat Islam makmur secara materi dan rohani, juga
makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran. Anda tidak perlu iri dengan kemajuan yang
mereka capai. lbnu Athailah mengatakan: "Sesungguhnya Allah memberikan kemajuan materi
kepada orang-orang yang Allah cintai dan kepada orang-orang yang tidak Allah cintai, tetapi Allah
tidak memberikan iman kecuali kepada orang yang Allah cintai".
Kita sebagai mahasiswa tidak boleh menutup diri. Sebenarnya, kemajuan yang dicapai umat
Islam pada zaman silam, antara lain, disebabkan adanya interaksi antara sesama ilmuwan muslim,
dan antara ilmuwan muslim dan tradisi intelektual non-muslim, misalnya para filsuf Yunani. Filsafat
Islam berkembang dengan sangat cepat karena interaksi dan adaptasi dengan pemikiran rasional di
kalangan mereka. Begitu juga ilmu-ilmu lainnya saling mempengaruhi bagi pembentukan dan
penguatan perkembangan ilmu-ilmu di tengah masyarakat Islam.

Anda mungkin juga menyukai