Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.Latar Belakang
Didalam kehidupan bermasyarakat, agar terciptanya keteraturan dan kealncaran hidup
didalamnya dibutuhkan aturan yang mengikat satu diantaranya. Untuk terciptanya keteraturan
itulah maka dibentuk hukum yang patut di patuhi oleh semua orang yang terikat dalam
masyrakat itu. Hukum ialah peraturan baik tertulis, maupun tidak tertulis dibuat oleh lembaga
negara yang berwenang di daerahnya untuk mengatur kehidupan bermasyarakatnya, yang
bersifat memaksa dan mengikat, dan memiliki sanksi yang tegas. Dari pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa orang yang melanggar hukum, layaknya di proses, dan dijatuhi hukuman
yang sesuai. Sesuai di sini artinya hukuman yang diberikan harus sesuai dengan apa yang mereka
lakukan dan setimpal dengan akibat dari perbuatan mereka itu, sehingga tercipta keadilan untuk
semuanya.
Membicarakan makna keadilan hakikatnya bukan terbatas pada definisi atau konsep
dalam kaitannya dengan hukum alam, tetapi lebih pada persoalan praksis. Kebanyakan orang
beranggapan bahwa keadilan itu abstrak. Menurut Petrazycki keadilan adalah sebuah fenomena
yang konkret yang dapat ditangkap melalui penelitian intuisi kita. Petrazycki menegaskan bahwa
sebenarnya keadilan apalagi keadilan sosial, bukan sesuatu yang abstrak yang hanya berada pada
dunia nilai-nilai saja tanpa perwujudan konkret.1
Dewasa ini, keadilan yang diinginkan masyarakat dirasa tidak tercapai sama sekali.
Perbedaan tuntutan diantara masyarakat yang mampu dan tidak mampu sangat berbeda. Ini dapat
dilihat dari beberapa kasus yang mencuat di publik akhir-akhir ini. Salah satu nya kasus yang
menimpa Nenek Minah (55) tak pernah menyangka perbuatan isengnya memetik 3 buah kakao
di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) akan menjadikannya sebagai pesakitan di
ruang pengadilan. Ia diancam hukuman 5 tahun penjara kaerna dianggap melanggar pasal 362
KUHP.

1
Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. Rekonstruksi Politik Hukum : Hak atas Air Pro-Rakyat. Semarang 2010. Hlm17-18.
Hukum memang harus ditegakkan, namun hendaknya keberadaan hukum diimbangi
dengan hati nurani dan rasa cinta kasih akan sesama. Seseorang yang bersalah karena
kekhilafannya terhadap sekitarnya seringkali akan dinilai bahwa ia telah melakukan sesuatu yang
secara moral salah, buruk bahkan jahat, atau bahwa ia telah mengabaikan kewajiban atau tugas
moralnya kepada pekerjaannya. Namun akan janggal bila kita mengkritik tindakannya sebagai
hal yang tidak adil. Ini bukan karena pekataan tidak adil terlalu lemah kekuatannya sebagai
pencela, namun karena sasaran kritik moral dari kacamata keadilan atau ketidakadilan biasanya
berbeda dari, dan lebih spesifik dari, tipe-tipe kritik moral umum lainnya yang sesuai untuk
kasus khusus ini dan diekspresikan dengan kata-kata seperti salah, buruk, atau jahat. Ancaman
hukuman yang ditujukan kepada Mbok minah menarik perhatian penulis untuk melihat
bagaimana baiknya hukum itu berlaku bagi masyarakat, kepada segala kalangan, sehingga
tercipta keadilan dalam pandangan paradigma postpositivisme.

2.Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, agar permasalahan yang akan dibahas menjadi lebih
jelas dan mencapai tujuan sebagaimana yang penulis harapkan, maka perlu adanya perumusan
masalah. Adapun beberapa permasalahan yang akan di kaji yaitu :

a. Komentar dari sudut pandang hukum pidana?


b. Apa paradigma yang digunakan oleh hakim dalam memutus perkara tersebut?
c. Bagaimana paradigma postpositivisme melihat kasus Mbok Minah?
d. Apa hasilnya bila kasus Mbok Minah dipandang dari sudut paradigma
postpostivisme?
BAB II

PEMBAHASAN

A.Paradigma Hakim dalam Memutus Mbok Minah

Ironi hukum di Indonesia ini berawal saat Minah sedang memanen kedelai di lahan
garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa
Tengah, pada 2 Agustus lalu. Lahan garapan Minah ini juga dikelola oleh PT RSA untuk
menanam kakao.

Ketika sedang asik memanen kedelai, mata tua Minah tertuju pada 3 buah kakao yang sudah
ranum. Dari sekadar memandang, Minah kemudian memetiknya untuk disemai sebagai bibit di
tanah garapannya. Setelah dipetik, 3 buah kakao itu tidak disembunyikan melainkan
digeletakkan begitu saja di bawah pohon kakao.

Dan tak lama berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun
bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Minah mengaku hal itu
perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa tindakan itu tidak boleh dilakukan karena sama saja
mencuri.

Sadar perbuatannya salah, Minah meminta maaf pada sang mandor dan berjanji tidak akan
melakukannya lagi. 3 Buah kakao yang dipetiknya pun dia serahkan kepada mandor tersebut.
Minah berpikir semua beres dan dia kembali bekerja.

Namun dugaanya meleset. Peristiwa kecil itu ternyata berbuntut panjang. Sebab seminggu
kemudian dia mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi. Proses hukum terus berlanjut sampai
akhirnya dia harus duduk sebagai seorang terdakwa kasus pencuri di Pengadilan Negeri (PN)
Purwokerto.
Mbok Minah dituduh mencuri 3 biji kakao dari perkebunan milik PT. Rumpun Sari
Antan (RSA) 4. Di dalam persidangannya, Minah menuturkan bahwa tiga biji kakao tersebut
untuk menambah bibit tanaman kakao di kebunnya di Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan,
Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas. Minah mengaku sudah menanam 200 bibit pohon
kakao di kebunnya, tetapi ia merasa jumlah itu masih kurang. Saat itu ia hanya bermaksud
mengambil 3 biji buah kakao yang terjatuh dari pohonnya untuk dibawa pulang dan dijadikan
benih. Saat buah itu diletakkan di tanah, ia kemudian melanjutkan pekerjaannya membersihkan
ilalang di kabun kakao. Menurut Minah, “Saya memang mengambil 3 biji buah kakao untuk
benih nanti, itu juga belum saya bawa, masih saya geletakkan di tanah,” ujarnya. Belum sempat
buah tersebut dibawa pulang, seorang mandor perkebunan, Sutarno, menegurnya. Minah lantas
meminta maaf dan meminta Sutarno untuk membawa ketiga buah kakao tersebut. Alih-alih
permintaan maafnya diterima, manajemen PT RSA 4 malah melaporkan Minah ke Kepolisian
Sektor Ajibarang. Minah dan keluarganya sendiri merasa heran karena saat di kantor polisi ia
dikenai tuduhan mencuri buah kakao sebanyak 3 biji. Namun, di Kejaksaan Negeri Purwokerto,
mandor kebun membawakan 3 kilogram buah kakao sebagai barang bukti pencurian. Hal inilah
yang diduga kemudian menjadikan jaksa menahan Minah. Kemudian Minah divonis hukuman
percobaan penjara 1 bulan 15 hari.

Komentar dari sudut pandang hukum pidana

Menurut ajaran sifat melawan hukum formal, perbuatan Mbok Minah tersebut adalah
melawan hukum dan sudah sesuai dengan rumusan Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) tentang Pencurian.

Pasal 362:

Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain,
dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah.

Unsurnya:

- Barang siapa
Mbok Minah

- Mengambil sesuatu

Mengambil 3 biji buah kakao

- Seluruhnya atau sebagian

Tiga biji buah kakao

- Kepunyaan orang lain

Bahwa 3 biji buah kakao tersebut adalah dari perkebunan milik PT. Rumpun Sari Antan (RSA) 4

- Dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum

Mbok Minah bermaksud mengambil 3 biji buah kakao yang terjatuh dari pohonnya untuk dibawa
pulang dan dijadikan benih.

Pasal 362 KUHP adalah delik yang batas antara delik formal dan delik materiilnya tidak
tajam

Dalam hal ini, pasal 362 KUHP merupakan delik formal dimana delik yang
perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang. Perbuatan yang dilarang tersebut
dapat dilihat pada unsur yang disebutkan di atas. Namun perlu diingat bahwa menurut Sudarto
(Hukum Pidana I: 2009), pasal 362 KUHP juga merupakan delik yang batas antara delik formal
dan delik materiilnya tidak tajam. Jadi secara implisit pasal 362 KUHP juga merupakan delik
materiil dimana perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang dilarang, disini akibat yang
dilarang dalam pasal 362 KUHP adalah “dimiliki secara melawan hukum”. Mbok Minah seperti
dalam kasus posisi diatas, bermaksud memiliki 3 biji buah kakao untuk dijadikan benih, namun
belum sempat dibawanya karena keburu dipergoki oleh mandor. Jadi akibat yang dilarang
menurut pasal 362 KUHP belum terpenuhi. Oleh karena itu perbuatan yang dilakukan Mbok
Minah tidak dapat disebut sebagai pencurian sebagaimana diatur dalam pasal 362 KUHP.
Perlu diingat bahwa Mbok Minah mengambil 3 biji buah kakao yang sudah terjatuh dari
pohonnya. Perbuatan demikian oleh masyarakat setempat merupakan perbuatan yang wajar dan
biasa, masyarakat setempat juga tidak menganggap perbuatan tersebut merupakan perbuatan
yang tercela.

Tinjauan dari ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi negatif

Dalam hukum pidana dikenal asas sifat melawan hukum materiil dalam fungsi negatif,
artinya mengakui kemungkinan adanya hal-hal di luar undang-undang menghapus sifat melawan
hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang. Jadi hal tersebut sebagai alasan
penghapus sifat melawan hukum.[i] Menurut M.E Mayer, perbuatan itu melawan hukum materiil
atau tidak, ditentukan oleh norma kebudayaan (kulturnorm). Sifat melawan hukum itu, berarti
bertentangan dengan kulturnorm yang diakui oleh negara. Kalau perbuatan itu sesuai dengan
kulturnorm itu, maka sifat melawan hukumnya hapus. Jadi, yang dimaksud dengan hal-hal yang
ada di luar undang-undang dalam hal ini adalah pandangan, kebiasaan atau budaya masyarakat
yang menganggap bahwa mengambil kakao yang sudah jatuh dari pohonnya adalah hal yang
biasa dan bukan merupakan perbuatan tercela. Sehingga hal tersebut merupakan alasan
penghapus pidana sesuai dengan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi negatif.

Dari analisis sederhana di atas, sepatutnya dapat menjadi pembelajaran bagi para aparat
penegak hukum bahwa ada sisi lain dari sudut pandang hukum pidana yang dapat digunakan
untuk mencapai keadilan di masyarakat. Jangan sampai ada Mbok Minah-Mbok Minah lain di
negeri ini. Semoga.

B Kasus Mbok Minah Paradigma Postpositivisme

Pengertian tentang hokum memang ada pada semua orang, akan tetapi pada banyak
orang pengertian ini masih sangat kurang. Masih ada orang yang menyamakan hukum dengan
polisi atau hukum adalah larangan tentang apa saja yang tidak diperbolehkan. Selama pengertian
hukum sesederhana ini, kemungkinan untuk menegakkan hukum menjadi kecil. Bila pengertian
hukum digabungkan dengan keadilan, kiranya orang tidak akan menyamakan hukum lagi dengan
sejumlah larangan, melainkan akan memandang sebagai bagian dari cita-cita hidup. Sehingga
orang-orang akan ikut membangun negara sebagai negara hukum di mana hak-hak manusia
terjamin.2

Paradigma postpositivisme merupakan bagian dari 4 paradigma besar yang dinyatakan


oleh guba and lincoln dalam handbook of qualitative research. Dimana postpositivisme
mempunyai ciri utama sebagai modifikasi dari positivisme. Paradigma postpositivisme berusaha
melihat apa yang tidak dilihat paradigma positivisme, paradigma postpositivisme menilai bahwa
undang undang merupakan realitas yang kurang sempurna karena di buat oleh manusia yang
mempunyai keterbatasan. Para penganut postpositivisme menganggap bahwa realitas itu
mungkin saja dapat dipahami namun tidak sempurna, ini dikarenakan keterbatasan mekanisme
intelektual manusia, realitas diuji secara kritis guna dipahami sedekat mungkin. Penganut
postpositivisme dalam memandang realitas lebih menggunakan hati nurani mereka sebelun
mengambil keputusan namun tidak lari dari undang-undang yang berlaku.

Secara epistomologis dalam postpositivisme hubungan antara pengamat atau peneliti


dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan. Aliran ini menyatakan suatu hal
yang tidak mungkin mencapai atau melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layar
tanpa ikut terlibat dengan objek secara langsung. Oleh karena itu, hubungan antara pengamat
dengan objek harus bersifat interaktif, dengan catatan bahwa pengamat harus bersifat senetral
mungkin, sehingga tingkat subjektivitas dapat dikurangi secara minimal. Sedang secara
metodologi dalam paradigma ini menyatakan bahwa ada eksperimental/manipulatif yang
dimodifikasi, maksudnya menekankan sifat ganda yang kritis. Memperbaiki ketidakseimbangan
dengan melakukan penelitian dalam latar yang alamiah, yang lebih banyak menggunakan
metode-metode kualitatif, lebih tergantung pada teori-grounded (grounded-theory) dan
memperlihatkan upaya (reintroducing) penemuan dalam proses penelitian.

Sehingga dalam kasus Mbok Minah keadilan yang dinginkan itu tidak tercapai. Bahwa
memang benar dia bersalah tapi tidak seharusnya dihukum karena apa yang dia ambil tidak
sebanding dengan hukuman yang harus diterima. Seharusnya dalam kasus ini bisa diselesaikan
dalam jalur perdamaian. Pada kenyataannya meski Mbok Minah tertangkap basah sedang

2
Purnadi Purbacaraka/Soerjono Soekanto, Renungan Tentang Filsafat, ed 3, Jakarta 1985, hlm. 11-14.
mengambil kakao namun ia bahkan belum sempat membawanya, sehingga untuk hal ini
seharusnya dapat dengan jalur perdamaian dan ia diberi peringatan saja.Sebab, dalam hal ini jika
ia dipenjara maka akan berdampak pada keluarganya.

C.Kasus Mbok Minah Bila Menggunakan Paradigma Postpositivisme

Hukum identik dengan kepastian sehingga wajar apabila penegak hukum terjerumus
dalam kekakuan peraturan yang berlaku. Masyarakat tidak ingin melihat keadilan diciptakan
masyarakat dan kepentingan-kepentingan yang dilayani hukum, melainkan mereka juga
menginginkan agar terdapat peraturan-peraturan yang menjamin kepastian hukum dalam
hubungan mereka satu sama lain.3

Tidak bisa disalahkan apabila tiap keputusan hakim itu berbeda-beda, dan tiap orang akan
menganggap berbeda apakah keputusan itu benar atau tidak. Tergantung dari paradigma apa
yang dianut oleh orang tersebut. Begitu juga dalam sudut pandang post positivisme. Post
positivisme adalah paradigma yang memandang bahwa realitas yang terjadi baik objektifnya
maupun real nya dapat dipahami namun tidak sempurna, dalam memandang kasus tidak hanya
dari fakta tetapi berdasarkan hati nurani.

Sebagian besar orang menganggap keadilan yang sebenarnya itu abstrak, sedang
Gunawan Setiardja mendefinisikan keadilan itu sebagai berikut :4

“Keadilan itu adalah (diambil dari arti subjektif) suatu kebiasaan baik jiwa yang
mendorong manusia dengan kemauan tetap terus menerus untuk memberikan kepada setiap
orang apa yang menjadi haknya”

Sulit untuk mengukur suatu keadilan bila tanpa disertai sebuah keyakinan paradigma.
Mengingat paradigma menurut Guba dan Lincoln merupakan suatu sistem filosofis 'payung' yang
meliputi ontologi, epistemologi, dan metodologi tertentu. Masing-masingnya terdiri dari

3
Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Bangdung : PT. Citra Aditya Bhakti. 2000. hlm 19

4
Gunawan Setiardjo. Filsafat Pancasila BagianI. Cetakan X.2004. hlm 56
serangkaian 'belief dasar' atau worldview yang tidak dapat begitu saja dipertukarkan dengen
belief dasar" atau worldview dari ontologi, epistemologi dan metodologi paradigma lainnya5

Dalam maknanya yang luas, paradigma adalah suatu sistem filosofis utama, induk, atau
‘payung’ yang terbangun dari ontologi, epistemologi, dan metodologi tertentu, yang masing-
masingnya terdiri dari suatu ‘set’ belief dasar atau worldview yang tidak dapat begitu saja
dipertukarkan (dengan belief dasar atau worldview dari ontologi, epistemologi, dan metodologi
paradigma lainnya).6

Dalam paradigma postpositivisme menerima keberadaan undang-undang dan mengakui


nya sebagai sebuah peraturan yang harus ditaati, namun undang-undang juga merupakan buatan
manusia sehingga tidak bisa sesempurna yang diharapkan. Begitu juga dalam paradigma
postpositivisme terhadap kasus pencurian sebuah semngka ini dirasa kurang adil. Memang sesuai
ketentuan KUHP bahwa mereka memenuhi unsur-unsur pencurian, tapi menurut saya dalam
penyelesaiannya tidak harus melalui jalur hukum, harusnya bisa dengan perdamaian terlebih
dahulu. Ada baiknya suatu kasus sebelum diadilin dilihat terlebih dahulu untuk penyelesaian
yang lebih baik. Hukuman yang ditanggung mereka dirasa kurang imbang dengan akibat dari
perbuatan mereka. Efek jera tidak harus diberikan melalui sanksi hukuman, namun bisa juga
dengan teguran atau peringatan.

Bila hakim yang menganut paradigma postpositivisme, putusannya akan melibatkan


perasaanya (subjektif) yang bisa di artikan adanya campur tangan perasaan hakim untuk
memutus suatu perkara, tidak secara sepenuhnya, namun mempengaruhi putusan tersebut.
Karena Hakim penganut paradigma post positivisme tidak akan sepenuhnya menggunakan
undang-undang atau peraturan hukum lainnya dalam menangani kasus, melainkan juga
melibatkan “hati nuraninya” dalam memutus suatu perkara. Sehingga hakim yang menganut
paradigma ini bisa saja akan memutus mereka bebas. Hal ini disebabkan karena Mbok Minah
memang benar salah karena mengambil kakao tanpa izin, namun hal ini juga disebabkan karena

5
Erlin Indarti. Orasi ilmiah “Menjadi Manusia Merdeka : Menggagas Paradigma Baru pendidikan Hukum untuk
Membangun Masyarakat Madani”. Disampaikan daalm Dies Natalis ke 44 Fakulats Hukum UNDIP

6
Erlyn Indarti. Diskresi dan Paradigma : Sebuah Telaah Filsafat Hukum. Disampaikan pada Pidato Pengukuhan.
ia melihat kakao yang jatuh dari pohon. Pemberian peringatan akan dirasa cukup bagi dia,
sebab jika dia ditahan, tidak hanya dia yang rugi namun juga keluarganya.
BAB III

KESIMPULAN

Keadilan bagi tiap-tiap individu berbeda tergantung pola pikir masing-masing individu
tersebut. Maka dari itu ada paradigma yang mempunyai aliran-alirannya yang menuntun pikiran-
pikiran manusia itu kedalan aliran yang sesuai hati nurani mereka masing-masing. Dimana tiap
aliran paradigma membantu penganutnya untuk melihat dunia sesuai dengan paradigma yang
dianut tersebut.

Begitu juga dalam hal mengambil keputusan, khususnya dalam dunia hukum. Hukum
identik dengan kepastian sehingga wajar apabila penegak hukum terjerumus dalam kekakuan
peraturan yang berlaku. Masyarakat tidak ingin melihat keadilan diciptakan masyarakat dan
kepentingan-kepentingan yang dilayani hukum, melainkan mereka juga menginginkan agar
terdapat peraturan-peraturan yang menjamin kepastian hukum dalam hubungan mereka satu
sama lain.7

Namun jika keadilan hanya mengacu kepada peraturan tertulis yang dibuat oleh manusia
tentulah hal ini sangat tidak adil. Dalam kehidupannya manusia tidak hanya berorientasi dengan
norma-norma hukum, tapi ada nilai dan norma lainnya yaitu norma agama dimana norma ini
jufa harus ikut dipertimbangkan kepada seseorang untuk nganmbil keputusannya.

Kasus Mbok Minah hanya satu dari banyak kasus ketidak adilan yang ada. Harusnya
dalam penyelesaian kasus ini semua sisi baik kemanusiaan, keadilan, ketuhanan hendaknya
dipertimbangkan matang matang. Sebab akibat dari hukum nya selain dapat menyebabkan
trauma kepada individu yang bersangkutan juga berpengaruh pada keluarga dan lingkungannya.
Hal ini jelas tidak sebanding dengan pencurian yang hanya 3buah kakao,

Maka dari itu berdasarkan kasus tersebut, kita ababila nantinya berhadapan dengan kasus
yang serupa dalam mengambil tindakan dan penilaian harus meninjau dari berbagai berbagai sisi

7
Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Bangdung : PT. Citra Aditya Bhakti. 2000. hlm 19
tentang segala sesuatu apakah itu layak, ataukah tidak bila kita nanti berurusan dengan
penegakan hukum.
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. 2010. Rekonstruksi Politik Hukum : Hak Atas Air Pro

Rakyat. Semarang: Surya Pena Gemilang

Lippmann, Walter. 1991. Filsafat Publik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Huijibers, DR.Theo. 1991. Filsafat Hukum. Yogyakarta :Penerbit Kanisius.

Maksum, Ali. 2011. Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme.

Yogyakarta :Ar-Ruzz Media.

Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto. 1985. Renungan Tentang Filsafat Hukum. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.

Erlyn Indarti. Orasi ilmiah “Menjadi Manusia Merdeka : Menggagas Paradigma Baru

Pendidikan Hukum untuk Membangun Masyarakat Madani”.

Erlyn Indarti. Pidato Pengukuhan “Diskresi dan Paradigma : Sebua Telaah Filsafat Hukum”

Anda mungkin juga menyukai