Anda di halaman 1dari 23

Komunitas 3 (2) (2011) : 138-149

JURNAL KOMUNITAS
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas

MASALAH DAN USAHA MEMBANGUN KARAKTER BANGSA

Wahyu 

Prodi Pendidikan Sosiologi FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Indonesia

Info Artikel Abstrak


Sejarah Artikel: Merajalelanya korupsi menandai bahwa persoalan pendidikan
Diterima Juni 2011 karakter bangsa harus menjadi perhatian semua pihak, pemimpin
Disetujui Juli 2011 bangsa, aparat penegak hukum, pendidik dan tokoh-tokoh agama,
Dipublikasikan
September 2011
golongan dan lain sebagainya. Pembangunan karakter harus
dibentuk. Studi ini dilakukan berangkat dari keprihatinan saya
persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam hal pendidikan
Keywords: karakter, lalu menganalisis fakta-fakta yang ada, dan dari sana
character education; menawarkan berbagai alternatif penyelesaian. Dari hasil analisis dan
community; pembahasan, didapatkan kesimpulan bahwa pembangunan karakter
education; jika ingin efektif dan utuh mesti menyertakan tiga institusi, yaitu
family;
keluarga, sekolah dan masyarakat. Karena itu, langkah pertama
school.
yang harus dilakukan adalah menyambung kembali hubungan dan
educational networks yang nyaris putus antara ketiga institusi
pendidikan ini. Tanpa tiga institusi itu, program pendidikan karakter
sekolah hanya menjadi wacana semata tidak akan berhasil ka-rena
tidak ada kesinambungan dan harmonisasi.

Abstract
The current state of corruption should encourage every citizens of the
nation, all parties, the leaders of the nation, law enforcement officials,
educators and religious leaders, to focus their attention to character
building. Character development should be established as part of the na-
tional strategy to improve nation’s life. The study begins from my
concern about the backward-ness of character education in Indonesia,
and then from there I attempts to propose alternative solutions. The
article concludes that to be successfull, character development should
include the participation of three important institutions of social life:
family, school and community. Therefore, the first step is to reconnect
the educational institutions with other institutions. Without the three
institutions, the school character education program is only a discourse
which will not succeed because there is no continuity and harmonization.

© 2011 Universitas Negeri


Semarang

 Alamat korespondensi: ISSN 2086-5465


FKIP Universitas Lambung Mangkurat Indonesia
50288 E-mail: Wahyu_77@yahoo.com
Wahyu / Komunitas 3 (2) (2011) : 138-149
mendekati tingkat kebinatangan.
PENDAHULUAN Ke-kerasan demi kekerasan yang
terjadi di Indo-nesia merupakan suatu
Persoalan yang dihadapi bangsa indikasi bahwa ma-syarakat kita sudah
ini dari hari ke hari makin banyak terkondisi dalam budaya tanpa
tanpa ada ti-tik terang penyelesaian. hukum. Aneka kekerasan itu seakan
Semua lini kehidu-pan mengalami bebas terus berlangsung tanpa ada
persoalan dan cobaan yang tak yang bisa mencegah. Maka ketika
habis-habisnya, bahkan semakin terjadi kekerasan
parah.
Mari kita perhatikan dalam
percaturan dunia. Salah satu badan
internasional yang bernaung di bawah
organisasi PBB, Uni-ted Nations
Development Programme (UNDP),
menjalankan ritual tahunan,
mengumum-kan negara-negara
menurut peringkat Hu-man
Development Index (HDI). Dalam
laporan HDI, negara Indonesia
dibandingkan den-gan negara-negara
jiran, seperti Singapura, Malaysia,
Thailand, Brunnei Darussalam dan
Filipina, berada di peringkat yang
masih rendah. Hal ini sangat ironis,
sebab realitas menunjukkan,
Singapura yang penduduknya tidak
lebih dari jumlah penduduk Jakarta,
Brunnei Darussalam yang negaranya
tidak seluas Jakarta, Malaysia yang
pernah men-jadi murid kita, serta
Thailand dan Filipina yang 14 tahun
lalu sama-sama dibantai kri-sis,
berada diperingkat yang lebih tinggi.
Mari kita perhatikan sekitar kita.
Ma-kin banyak orang yang jatuh
miskin atau semakin miskin. Negara
kita semakin tak diperhitungkan di
antara negara-negara yang
kompetitif. Negara kita masih diper-
hitungkan hanya karena memiliki
jumlah penduduk besar dan sumber
daya alam yang berlimpah.
Kenyataannya, jumlah penduduk
yang besar dan sumber daya alam
yang me-limpah belum dapat
memberi nilai tambah serta jaminan
bagi kemajuan dan pertumbu-han
Indonesia.
Disamping itu, khususnya
setelah ke-jatuhan Soeharto, Mei
1998, banyak terjadi peristiwa yang
memiriskan budi kemanusi-aan. Kita
melihat bagaimana martabat ke-
manusiaan bangsa Indonesia sudah
terpuruk ke jurang paling dalam,
tinggi dan tindakan kekerasan yang
demi kekerasan yang dilakukan hidup di dunia pendidikan formal.
sekelompok front atau laskar, Lulusan perguruan tinggi yang mulai
masyarakat menganggap-nya biasa- bekerja, tergiur berbuat tidak ju-jur
biasa saja. Banyak korban yang te- karena tidak punya pegangan
lah jatuh karena berbagai konflik kebajikan. Sebagian mahasiswa kita
politik, et-nis, dan agama. Semua ini merasa bangga jika kuliah tidak ada
mengindikasikan, kekerasan telah dosennya, perpustakaan banyak
diterima oleh sebagian ma-syarakat kosong, internet digunakan untuk hal-
kita sebagai suatu kebiasaan, yang hal yang tidak terpuji, alergi buku
bukan kejahatan, tetapi dijadikan yang berbahasa asing, suka meniru
santapan sehari-hari dalam skripsi orang lain alias plagiator.
menghadapi persoalan-persoalan Perilaku tawuran atau
hidup. kekerasan atau perilaku tidak terpuji
Masyarakat kita, akhir-akhir ini, lainnya di sekolah-se-kolah atau
mu-dah meledak karena sebab sepele, kampus-kampus, tidak mungkin
tidak sa-bar, agresif, mudah rusuh. terjadi dengan tiba-tiba. Seseorang
Konflik rumah tangga kian banyak, menam-pilkan perilaku itu
hubungan interpersonal kian rapuh. merupakan hasil belajar juga, baik
Sebaliknya, banyak yang tampak lebih secara langsung maupun tidak
apatis, tak mau tahu atau tak berdaya langsung. Oleh karena itu,
menghadapi masa depan, semangat pendidikan kita harus peduli
kerja anjlok, sulit memusatkan pikiran terhadap upaya untuk mence-gah
atau men-gambil keputusan akurat. perilaku kekerasan atau perilaku
Belum lagi me-ningkatnya laporan tidak terpuji lainnya secara dini
bunuh diri. melalui program pendidikan, agar
Sekolah-sekolah memang budaya damai, sikap to-leransi,
melahirkan manusia cerdas, namun empati, dan sebagainya, dapat di-
kurang memiliki kesadaran akan tanamkan kepada peserta didik
pentingnya nilai-nilai moral dan sopan semenjak mereka berada di tingkat
santun dalam hidup bermasyara-kat. pendidikan pra se-kolah maupun
Ini tampak dalam kasus tawuran antar- pada tingkat pendidikan das-
sekolah, antarfakultas, antarperguruan

139
Wahyu / Komunitas 3 (2) (2011) : 138-149
merupakan hal penting dan mutlak
ar. Jadi, dalam kondisi kehidupan dimiliki peserta didik untuk mengha-
bangsa di mana nilai kemanusiaan dapi tantangan hidup di masa akan
mengalami krisis, bila dunia datang. Pengembangan karakter yang
pendidikan formal hanya mencer- diperoleh me-lalui pendidikan, baik
daskan kehidupan bangsa, tanpa pada tingkat sekolah maupun
diimbangi penanaman nilai-nilai perguruan tinggi dapat mendorong
keluhuran martabat manusia, belum mereka menjadi anak-anak bangsa
memberikan sumbangan besar bagi yang me-
perwujudan masyarakat adil dan
makmur. Dalam dunia pendidikan
kita se-karang ini, tidak boleh lagi
terjadi proses pendidikan yang lebih
mendahulukan di-mensi kognitif,
sehingga dimensi humanio-ra
dilalaikan, atau dengan kata lain,
prestasi akademik diutamakan,
pembinaan manusia sebagai pribadi
dilalaikan. Predikat bangsa Indonesia
yang ramah dan sopan menjadi
kehilangan makna, manakala
pembangunan karakter bangsa
menjadi kabur dilanda isu kekerasan
dan korupsi (Situmorang,2010).
Ada alasan yang sangat
mendasar men-gapa semua ini terjadi
di Indonesia. Karakter bangsa yang
lemah, karakter bangsa yang ti-dak
kokoh dalam mempertahankan prinsip
kebenaran yang hakiki. Jangan-jangan
nilai kebenaran yang hakiki sekalipun
tak dimiliki bangsa ini. Padahal,
bangsa yang maju ada-lah bangsa
berkarakter dengan masyarakat yang
berkarakter kuat.
Karakter dan kepribadian yang
kuat ditunjukkan melalui sikap tertib
aturan, mandiri, menghormati orang
lain, perhatian dan kasih sayang,
bertanggungjawab, adil, berperan
sebagai warga negara yang baik,
dan mendahulukan kepentingan
khalayak. Saat ini pemahaman
tentang kebenaran ter-nyata
diartikan dengan sangat sempit dan
kerdil, kebanyakan dibawa ke ranah
hukum atau pengadilan untuk
diputuskan benar-tidaknya.
Mempertimbangkan berbagai
keny-ataan pahit yang kita hadapi,
seperti dike-mukakan di atas,
pendidikan karakter meru-pakan
langkah penting dan strategis dalam
membangun kembali jati diri bangsa.
Terben-tuknya karakter peserta didik
yang kuat dan kokoh diyakini
situasi atau merupakan trade mark
miliki kepribadian unggul seperti orang tersebut (Tilaar, 2008).
diharapkan dalam tujuan pendidikan Lickona (1991) merujuk pada
nasional. konsep good character yang
Bagaimana kondisi masyarakat dikemukakan oleh Aris-toteles “...
Indo-nesia saat ini dalam kaitan the life of right conduct-right
dengan karakter bangsa? Bagaimana conduct in relation to other persons
pembangunan karakter yang telah dan and in relation to one self ” (karakter
sedang dilakukan dalam ma-syarakat dapat dimaknai sebagai ke-hidupan
Indonesia? Apa solusi dan langkah berperilaku baik/penuh kebajikan,
yang dapat dilakukan untuk yakni berperilaku baik terhadap
pembangunan karakter bangsa? pihak lain (Tuhan YME, manusia, dan
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang alam semesta) dan terhadap diri
coba digali dan dicari jawaban-nya sendiri).
dalam tulisan ini. Tulisan ini Sementara Martadi (2010)
bermaksud menggambarkan kondisi memberi-kan pengertian Pendidikan
masyarakat Indo-nesia saat ini, Karakter adalah proses pemberian
sehingga membuat masyarakat sadar tuntunan peserta/anak didik agar
akan urgensi pembangunan karakter menjadi manusia seutuhnya yang
bangsa. berdasarkan analisis kondisi berkarakter dalam dimensi hati,
sosial yang ada, akan dapat pikir, raga, serta rasa dan karsa.
dikemukakan alter-natif langkah yang Peserta didik diharap-kan memiliki
dapat dilakukan untuk membangun karakter yang baik meliputi ke-
karakter bangsa. Tulisan ini jujuran, tanggung jawab, cerdas,
menggunakan beberapa kajian bersih dan sehat, peduli, dan kreatif.
literatur ten-tang pendidikan karakter. Karakter tersebut diharapkan
Istilah karakter (character) atau menjadi kepribadian utuh yang
dalam bahasa Indonesia mencerminkan keselarasan dan
diterjemahkan dengan wa-tak, keharmoni-san dari olah HATI, PIKIR,
adalah sifat-sifat hakiki seseorang RAGA, serta RASA dan KARSA.
atau suatu kelompok atau bangsa Selanjutnya, dalam pengertian
yang sangat me-nonjol sehingga yang lebih luas, Martadi (2010)
dapat dikenali dalam berba-gai menyatakan pen-

140
Wahyu / Komunitas 3 (2) (2011) : 138-149
penghormatan atas komitmen yang
didikan karakter dapat dimaknai dipilih.
sebagai pendidikan nilai, pendidikan Semakna dengan Foerster,
budi pekerti, pendidikan moral, Lickona (1991) menyebutkan ada 10
pendidikan watak, yang bertujuan (sepuluh) pilar ciri dasar pendidikan
mengembangkan kemampuan karakter, yaitu: Trust-worthiness;
peserta didik untuk memberikan Respect; Responsibility, Fair-ness;
keputusan baik-buruk, memelihara Caring; Honesty; Courage; Diligence;
apa yang baik, dan mewujudkan Integritydan Citizenship.
kebaikan itu dalam kehidupan Tidak perlu diungkapkan
sehari-hari dengan sepenuh hati. panjang le-
Dari uraian di atas dapat
disimpul-kan bahwa, pendidikan
karakter itu adalah pendidikan nilai.
Apa nilai-nilai itu? Secara umum,
kajian-kajian tentang nilai biasanya
mencakup dua bidang pokok,
estetika dan etika (atau akhlak,
moral, budi pekerti). Es-tetika
mengacu kepada hal-hal apa yang
di-pandang manusia sebagai indah,
apa yang mereka senangi.
Sementara, etika mengacu kepada
hal-hal tentang tingkah laku yang
pantas berdasarkan standar-standar
yang berlaku dalam masyarakat,
baik yang ber-sumber dari agama,
adat-istiadat, konvensi, dan
sebagainya. Standar itu adalah nilai-
ni-lai moral atau akhlak tentang
tindakan mana yang baik dan mana
yang buruk.
Menurut Foerster (Koesoema,
2006), ada 4 (empat) ciri dasar dalam
pendidikan karakter, yaitu: Pertama,
keteraturan setiap tindakan dan diukur
berdasarkan hierarki ni-lai. Nilai
menjadi pedoman normatif setiap
tindakan. Kedua, koherensi yang
memberi-kan keberanian, membuat
seseorang teguh pada prinsip, tidak
mudah terombang am-bing pada
situasi baru atau takut resiko. Ko-
herensi merupakan dasar yang
membangun rasa percaya satu sama
lain. Ketiga, otonomi. Di situ seseorang
menginternalisasikan atu-ran dari luar
sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi.
Ini dapat dilihat lewat penilaian atas
keputusan pribadi tanpa terpengaruh
atau desakan pihak lain. Keempat,
keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan
merupakan daya tahan seseorang
guna mengingini apa yang dipan-dang
baik. Kesetiaan merupakan dasar bagi
mewujudkan kebaikan itu dalam
bar, apabila kita simak dari ciri-ciri kehidupan sehari-hari dengan
dasar pendidikan karakter tersebut sepenuh hati. Melalui pendidikan
di atas, maka pertama, kita lihat karakter kita ingin agar anak mampu
adanya muatan etika (atau akhlak, menilai apa yang baik, meme-lihara
moral, budi pekerti) di dalam secara tulus apa yang dikatakan baik
karakter. Kedua, karakter merupakan itu, dan mewujudkan apa yang
milik personal dari seseorang atau diyakini baik walaupun dalam situasi
pun suatu ma-syarakat atau bangsa. tertekan dan penuh godaan.
Antara moral dan karakter Pendidikan Karakter adalah
keduanya tidak bisa dipisahkan. proses pemberian tuntunan
Karakter merupakan sikap dan peserta/anak didik agar menjadi
kebiasaan seseorang yang me- manusia seutuhnya yang berkarak-ter
mungkinkan dan mempermudah dalam dimensi hati, pikir, raga, serta
tindakan moral (Corley dan Phillips, rasa dan karsa. Ketiga substansi dan
2000). Atau den-gan kata lain karakter proses psiko-logis tersebut bermuara
adalah kualitas moral seseorang. Jika pada kehidupan mo-ral dan
seseorang mempunyai mo-ral yang kematangan moral individu. Dengan
baik, maka akan memiliki karakter kata lain, karakter kita maknai sebagai
yang baik yang terwujud dalam sikap kua-litas pribadi yang baik, dalam arti
dan perilaku dalam kehidupan sehari- tahu ke-baikan, mau berbuat baik, dan
hari. Oleh karena itu, pendidikan nyata berpe-rilaku baik, yang secara
karakter menjadi pen-ting dan koheren memancar sebagai hasil dari
strategis dalam membangun bangsa. olah pikir, olah hati, olah raga, dan
Pendidikan karakter dapat olah rasa dan karsa.
dimaknai sebagai pendidikan nilai, Upaya membangun karakter
pendidikan budi pekerti, pendidikan bangsa sebenarnya sudah
moral, pendidikan wa-tak, yang dicanangkan sejak awal kemerdekaan.
bertujuan mengembangkan ke- Soekarno sebagai salah satu pendiri
mampuan peserta didik untuk bangsa telah menegaskan pentingnya
memberikan keputusan baik-buruk, nation and character building.
memelihara apa yang baik, dan Proklamasi ke-

141
Wahyu / Komunitas 3 (2) (2011) : 138-149
Indonesia tidak dikemas dan ditujukan
merdekaan hanyalah sebagai untuk membangun suatu karakter
jembatan emas untuk membangun budaya yang kuat. Sistem pendidikan
bangsa dan karakter, sebab bangsa nasional ma-sih berorientasi pada
yang tidak memiliki karakter akan pembangunan fisik, bu-kan
terombang-ambing di tengah pembangunan jiwa dan karakter
pergau-lan internasional. Oleh bangsa.
karena itu, Pancasila selain Selama ini, jika kita berbicara
difungsikan sebagai dasar negara tentang pendidikan karakter, yang
juga sebagai pandangan hidup dan kita bicarakan se-
ideologi.
Fungsi Pancasila sebagai
pandangan hidup merupakan
prinsip-prinsip dasar yang diyakini
kebenarannya yang kemudian dija-
dikan pedoman dalam menghadapi
berbagai persoalan dalam
kehidupan. Sebagai imp-likasi
Pancasila sebagai pandangan hidup,
maka Pancasila juga merupakan jiwa
dan kepribadian, dan sekaligus
menjadi moral dan karakter bangsa
Indonesia. Oleh kare-na itu, upaya
membangun bangsa tidak bisa
dilepaskan dari Pancasila yang
menurut Notonagoro nilai-nilainya
digali dari budaya bangsa Indonesia
sendiri.

METODE PENELITIAN

Tulisan ini menggunakan studi


lite-ratur sebagai pendekatan
penelitiannya. Mengelaborasi dari
berbagai konsep tentang pendidikan
karakter guna mengkonstruk-si
tentang wacana pendidikan karakter
dan permasalahannya di Indonesia.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Di tengah kebangkrutan moral


bangsa, maraknya tindakan
kekerasan, tawuran, penggunaan
obat-obat terlarang, dan ben-tuk-
bentuk tindakan kriminalitas lainnya,
pendidikan karakter yang
menekankan pada dimensi nilai-
religius menjadi relevan untuk
diterapkan.
Namun, pendidikan di Indonesia
tam-paknya belum matang untuk
membentuk pendidikan karakter
sebagai kinerja budaya dan religius
dalam kehidupan bermasyara-kat. Itu
tidak lain karena sistem pendidikan di
Semakna dengan hal di atas,
sungguhnya adalah sebuah proses secara formal, instrument untuk
penana-man nilai, tetapi yang membangun moral dan karakter
seringkali dipahami secara sempit, bangsa sudah ada dalam kuri-kulum
hanya terbatas pada ruang ke-las, dan pendidikan kita yaitu mata pelajaran
seringkali pendekatan ini tidak dida- Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
sari prinsip pendidikan yang kokoh. atau Pendidikan Moral Pancasila (PMP).
Sebagai contoh, untuk menanamkan Seba-gai instrument pendidikan
nilai kejujuran, banyak sekolah karakter bangsa, mata pelajaran
beramai-ramai membuat kantin tersebut diberikan sejak SD sampai ke
kejujuran. Di sini anak diajak untuk perguruan tinggi. Ini berarti bah-wa
jujur dalam membeli dan membayar semua warga negara, termasuk
barang yang dibeli tanpa ada yang mereka yang sekarang melakukan
mengontrolnya. Dengan praksis ini korupsi, berperi-laku menyimpang dan
diharapkan anak-anak kita akan mengganggu keter-tiban sosial, sudah
menghayati nilai kejujuran dalam memperoleh pendidikan
kehidupan mereka. Namun, sayang, kewarganegaraan atau Pendidikan
gagasan yang tampaknya relevan Moral Pancasila. Apakah ini bisa
dalam mengem-bangkan nilai dikatakan seba-gai kegagalan
kejujuran ini mengabaikan prinsip pendidikan PKn atau PMP?. Jika ya,
dasar pendidikan berupa kedisiplinan apa penyebabnya? Dan bagaimana
sosial yang mampu mengarahkan dan solusinya? Merupakan pertanyaan
mem-bentuk pribadi anak didik. Alih- yang per-lu kita refleksikan dan kita
alih men-didik anak menjadi jujur, di cari jawabannya.
banyak tempat anak yang baik malah Meskipun dalam kurikulum
tergoda menjadi pen-curi dan kantin pendidi-kan sudah ada instrument
kejujuran malah bangkrut. Ini terjadi pendidikan karak-ter, isinya lebih
karena kultur kejujuran yang ingin banyak menekankan aspek kognitif.
dibentuk tidak disertai dengan PKn (yang dulu PMP) lebih banyak
pembangu-nan perangkat sosial yang menekankan aspek kognitif daripada
dibutuhkan da-lam kehidupan aspek afektif. Padahal, pendidikan
bersama. Tiap orang tergoda menjadi moral, apalagi
pencuri jika ada kesempatan.

142
Wahyu / Komunitas 3 (2) (2011) : 138-149
memahami dan mene-rapkan nilai-
pada anak-anak SD seharusnya lebih nilai yang disepakati bersama oleh
bany-ak berkaitan dengan aspek masyarakat.
afektif, daripada aspek kognitif.. Dengan demikian, pendidikan
Dalam kenyataannya, pendidikan be-nar-benar dapat menghasilkan
ke-warganegaraan lebih banyak manusia yang utuh, yang bukan
mentransfer pengetahuan dan hanya cerdas seca-
keterampilan, tanpa di-sertai dengan
internalisasi nilai yang terkan-dung
dalam pengetahuan tersebut. Evaluasi
yang digunakanpun juga lebih
menekankan aspek kognitif, sehingga
proses belajar men-gajar di sekolah
lebih bersifat transfer penge-tahuan,
daripada mengajarkan berpikir seca-ra
keilmuan dan internalisasi nilai.
Peserta didik hanya memiliki
pengetahuan, tetapi tanpa memahami
nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya. Akibatnya pendidikan
hanya menghasilkan manusia-manusia
yang egois, yang tidak memahami arti
kehidupan yang didalamnya ada
perbedaan, nilai dan norma yang
harus dihormati dan dijunjung tinggi.
Model pendidikan karakter yang
di-lakukan secara formal melalui
pendidikan PKn di sekolah, selama
ini kurang efektif, karena lebih
banyak menekankan pada as-pek
kognitif. Padahal pendidikan karakter
khususnya pada anak-anak SD,
seharusnya lebih menekankan pada
aspek afektif. PKn sebagai
instrument pendidikan karakter se-
harusnya lebih menekankan aspek
afektif. Selain itu, secara psikologis
perkembangan jiwa anak-anak pada
usia SD masih dido-minasi aspek
empirik. Kemampuan abstrak-si
mereka belum berkembang dengan
baik. Oleh karena itu, cara belajar
mereka masih didominasi dengan
meniru apa yang mereka lihat.
Pendidikan tentu bukan hanya
sekedar untuk mentransfer ilmu dan
keterampilan, tetapi juga merupakan
internalisasi nilai-nilai dasar,
khususnya nilai-nilai kemanusi-aan
kepada para peserta didik. Hal ini juga
sejalan dengan pilar-pilar pendidikan
yang dikemukakan oleh Unesco yaitu
learning to know, learning to do,
learning to be, dan learning to life
together. Belajar untuk hidup
bersama, berarti belajar untuk
Kini, lihatlah cara kita
ra intelektual, tetapi juga menjadi melaksanakan pendidikan karakter,
manusia yang wisdom (bijak), yang terutama dari segi eva-luasi.
ditandai dengan adanya kesadaran Mengetahui kemajuan anak dalam as-
untuk bertanggungjawab terhadap pek kognitif relatif itu mudah.
dirinya sendiri, masyarakat, bangsa Sementara, nilai-nilai tentang
dan negara, serta lingkungan. pergaulan sosial misalnya, bagaimana
Sayangnya pendidikan yang dilakukan mengevaluasi keberhasilan anak
selama ini, ter-masuk Pendidikan dalam mengenal dan memahami nilai-
Kewarganegaraan (PKn) yang nilai itu? Jelas, tidak dengan tes
diharapkan menjadi instrument pen- multiple choice (pilihan ganda)
didikan moral dan karakter bangsa semata. Bagaimana menilai kemajuan
belum mampu menghasilkan manusia- aspek afektif anak? Observasi dan
manusia bijak, karena lebih catatan hasil observasi adalah cara
menekankan pada aspek kognitif terbaik. Menilai kemajuan anak dalam
semata. Pendidikan nilai, sebenar-nya aspek praksis juga harus dilakukan
tidak hanya menjadi tugas dan tang- dengan observasi yang sistematis.
gungjawab dari guru PKn dan agama, Dilihat dari segi evaluasi ini, kita
tetapi juga menjadi tugas dan tidak dapat menghindari kesan,
tanggungjawab se-mua guru pendidikan karak-ter di sekolah kita
(pendidik), karena setiap ilmu di benar-benar amburadul. Saya
dalamnya terkandung nilai-nilai yang mendapat kesan, kita tidak sungguh-
harus dijunjung tinggi. Sayangnya, sungguh berusaha melaksanakan
para pendidik belum mampu pendidikan karakter. Rupanya tidak
mengindentifikasi nilai-nilai apa yang ada tempat dalam kurikulum sekolah
terkandung dalam setiap pengeta- Indonesia untuk melak-sanakan
huan, dan bagaimana cara pendidikan karakter yang sebenar-
menginternalisasi nilai-nilai tersebut nya. Para guru bertanya, untuk apa
kepada peserta didik, se-hingga nilai- mengha-biskan waktu dan tenaga
nilai tersebut menjadi landasan dalam untuk pendidikan karakter? Soal
bersikap dan bertindak dalam hidup karakter kan tidak ditanyakan dalam
bermasyarakat, berbangsa, dan ujian nasional.
bernegara.

143
Wahyu / Komunitas 3 (2) (2011) : 138-149
terarah kepada manusia-ma-nusianya.
Kesan ini diperkuat dengan cara Dari cara berpikir ini dapat di-
pe-nyelenggaraan ujian nasional simpulkan, dalam kasus kita sekarang,
(UAN). Ke-tika mata-mata pelajaran krisis moral yang jadi sumber krisis-
yang diUANkan dipandang penting, krisis lainnya. Kita dapat berkata,
lalu siapa yang berani mengatakan kasus penjiplakan oleh Guru Besar di
pendidikan karakter tidak pen-ting? Bandung dan maraknya pem-buatan
Kiranya tidak ada! Namun, apabila me- karya ilmiah di berbagai kota, hemat
nentukan lulus tidaknya seorang siswa
dari UAN, berarti pemerintah
memandang pen-didikan karakter
sama sekali tidak penting. UAN telah
mengubur pendidikan karakter.
Mengevaluasi pendidikan karakter
dengan UAN tidak mungkin dilakukan,
tetapi harus secara lokal, seperti
melalui observasi yang sistematis.
Tetapi kenyataannya, penilaian lokal
tidak diperhitungkan sama sekali. Se-
lain itu, Kementerian Pendidikan
Nasional menganggap para guru yang
tiap hari men-dampingi anak tidak
memiliki informasi yang sah tentang
perkembangan murid, ter-masuk
perkembangan karakternya.
Dari uraian di atas, timbul
pertanyaan, apa yang salah dengan
pendidikan karakter kita? Banyak
sekali! Pendidikan karakter di-
formulasikan menjadi mata pelajaran
aga-ma, pelajaran PKn atau budi
pekerti, yang program utamanya ialah
pengenalan nilai-nilai secara kognitif
semata. Paling-paling mendalam
sedikit sampai penghayatan nilai
secara afektif. Padahal pendidikan
karakter seharusnya membawa anak
ke pengenalan nilai secara konatif,
penghayatan nilai secara afektif,
akhirnya ke pengamalan nilai secara
nyata.
Mempertimbangkan berbagai
kenya-taan pahit yang kita hadapi
seperti sekarang ini, kekerasan mudah
meledak karena sebab sepele, tidak
sabar, agresif, mudah rusuh, kasus
tawuran antarsekolah, antarfakultas,
antarperguruan tinggi, perampokan
bis kota, dan bentuk-bentuk
kriminalitas lainnya, he-mat saya,
pendidikan karakter semakin men-
desak diterapkan di dunia pendidikan.
Kalau dalam memandang bentuk-
ben-tuk kriminalitas yang ada
sekarang ini, pusat perhatian kita
bertujuan untuk ber-kembangnya
saya adalah dampak dari krisis potensi peserta didik agar men-jadi
moral. Krisis hutan adalah akibat manusia yang beriman dan bertakwa
dari kerakusan para pe-dagang besar kepada Tuhan Yang Maha Esa,
kayu hutan. Krisis lingkungan, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
seperti bencana alam, tsunami, cakap, kreatif, mandi-ri, dan menjadi
gempa bumi, banjir, adalah dampak warga negara yang demokra-tis serta
dari pola hidup ma-nusia pada bertanggung jawab.
umumnya yang tidak dapat men- Pembangunan karakter bangsa
gendalikan keserakahan, se-benarnya sudah sejak lama
keangkuhan, atau kesombongannya. diucapkan oleh Bung Karno (1961)
Kalau kita tidak mampu yaitu dedication of life para
mengendali-kan krisis moral, krisis ini olahragawan dan pembina olah
bisa berkembang jadi lebih besar lagi. raga, agar dapat melaksanakan
Bahkan, menimbulkan krisis-krisis lain Amanat Penderi-taan Rakyat sesuai
yang mengancam kehidupan sebagai kerangka segi-segi cita-cita bangsa
bangsa. Karena itu, pembangunan yang termasuk dalam Nation and
karakter sangat penting dan bahkan Character Building Indonesia.
men-desak mengingat Ungkapan ini meninggalkan bekas
berkelanjutannya berbagai krisis yang yang mendalam di hati kita semua.
melanda bangsa dan negara Indo- Ungkapan ini menghidup-kan
nesia sampai saat ini. harapan besar dalam hati kita
Untuk pembangunan karakter, bersama. Bung Karno juga
pendi-dikan merupakan langkah mengatakan Bangsa ini harus
penting dan stra-tegis. Undang- dibangun dengan mendahulukan
Undang RI, No. 20 Tahun 2003 tentang pem-bangunan karakter (character
Sistem Pendidikan Nasional building), kare-na character building
menggariskan bahwa pendidikan inilah yang akan mem-buat
Nasional berfungsi mengembangkan Indonesia menjadi bangsa yang
kemampuan dan membentuk watak besar, maju, dan jaya serta
serta peradaban bangsa yang bermartabat. Kalau hal ini tidak
bermartabat dalam rangka dilakukan, maka bangsa ini menjadi
mencerdas-kan kehidupan bangsa, bangsa kuli (Abidinsyah, 2011)

144
Wahyu / Komunitas 3 (2) (2011) : 138-149
Sehingga, dengan demikian
Ketika Bung Karno kecerdas-an emosi ini merupakan
mengucapkan kata-kata ini, rasanya salah satu bekal penting dalam
diucapkan dalam kon-teks politik. mempersiapkan anak meny-ongsong
Jadi yang dimaksud ialah watak masa depan karena dengannya se-
bangsa harus dibangun. Tetapi, seorang akan dapat berhasil dalam
ketika kata-kata ini diungkapkan oleh mengha-dapi tantangan, termasuk
para pendidik, dari Ki Hajar tantangan untuk berhasil secara
Dewantara, hingga Moham-mad akademis.
Said, konteksnya adalah pendidikan. Dari temuan penelitian di atas,
Yang dimaksudkan ialah pendidikan kini kita harus menyatakan bahwa
watak untuk siswa. Bagaimana cara institusi pen-didikan, baik rumah,
mendidik anak di sekolah agar selain sekolah, maupun ma-
menjadi pinter juga menjadi manusia
berwatak.
Sementara, White (Furqon
Hidaya-tullah, 2010), menyatakan
bahwa pemban-gunan karakter adalah
usaha paling penting yang pernah
diberikan kepada manusia.
Pembangunan karakter adalah tujuan
luar biasa dari sistem pendidikan yang
benar. Ha-sil studi Marvin Berkowitz
(Hawadi, 2008) para siswa yang
berasal dari sekolah dengan
menerapkan pendidikan berkarakter
menun-jukkan peningkatan motivasi
dalam meraih prestasi akademik.
Tidak hanya itu, kelas-ke-las yang
secara komprehensif terlibat dalam
pendidikan karakter, menunjukkan
penuru-nan drastis pada perilaku
negatif siswa yang menghambat
keberhasilan akademik.
Williams (Hawadi, 2008),
menam-bahkan bahwa dengan
pendidikan karakter, seorang anak
akan lebih cerdas secara emo-si.
Williams menjelaskan bahwa
terdapat ke-cenderungan bahwa
anak-anak yang memi-liki masalah
dengan kecerdasan emosi akan
mengalami kesulitan belajar,
bergaul, dan mengontrol emosinya.
Sebaliknya, anak-anak dan para
remaja yang berkarakter atau
memiliki kecerdasan emosi yang
tinggi, cen-derung terhindar dari
masalah-masalah yang biasanya
dihadapi remaja, seperti kenakalan
remaja, tawuran, perilaku seks
bebas, peny-alahgunaan obat-
obatan terlarang, dan lain
sebagainya.
keluar-ga hendaklah kembali
syarakat tempat penting dan menjadi school of love, sekolah
strategis dalam membangun untuk kasih sayang. Sementara Azra
karakter bangsa. Karena itu, rumah, (2008) menyatakan, dalam
sekolah dan masyarakat mestinya perspektif Islam, keluarga sebagai
menjadi ruang bagi anak-anak untuk madrasah mawaddah wa rah-mah,
me-numbuhkan karakter. tempat belajar yang penuh cinta
Pembangunan karakter harus sejati dan kasih sayang.
diben-tuk. Pembangunan karakter jika Berdasarkan sebuah hadits
ingin efek-tif dan utuh mesti yang di-riwayatkan Anas r.a (Azra
menyertakan tiga institu-si, yaitu 2008), keluarga yang baik memiliki
keluarga, sekolah dan masyarakat. Hal empat ciri, yaitu: memi-liki
ini sejalan dengan pandangan Phillips semangat (gairah) dan kecintaan
(2000), bahwa pendidikan karakter untuk mempelajari dan menghayati
haruslah melibatkan semua pihak, ajaran-ajaran agama dengan sebaik-
yaitu keluarga, se-kolah dan baiknya untuk kemu-dian
masyarakat. Karena itu, langkah mengamalkan dan mengaktualisasi-
pertama yang harus dilakukan adalah kannya dalam kehidupan sehari-hari;
meny-ambung kembali hubungan dan setiap anggotanya saling
educational networks yang nyaris menghormati dan meny-ayangi,
putus antara ketiga insti-tusi saling asah dan asuh; dari segi naf-
pendidikan ini. Tanpa tiga institusi itu, kah (konsumsi) tidak berlebih-
program pendidikan karakter sekolah lebihan, tidak ngoyo atau tidak
hanya menjadi wacana semata. serakah dalam usaha men-dapatkan
Dengan kata lain, pembangunan nafkah, sederhana atau tidak kon-
karakter tidak akan berhasil selama sumtif; serta selalu berusaha
ketiga institusi pendidikan tidak ada meningkatkan ilmu dan
kesinambungan dan harmonisasi. pengetahuan setiap anggota keluar-
Keluarga sebagai lingkungan ganya melalui proses belajar dan
pemben-tukan watak dan pendidikan pendidikan seumur hidup (life long
pertama dan utama mestilah learning), minal-mahdi ila al-lahdi.
diberdayakan kembali. Seba- Anak-anak yang berasal dari
gaimana disarankan Phillips (2000), keluarga

145
Wahyu / Komunitas 3 (2) (2011) : 138-149
keyakinan). Pada tahap ini anak juga
yang baik, seperti digambarkan diajarkan mulai sholat, makan
diatas, me-miliki potensi dan bekal sendiri, mandi sendiri, berpa-kaian
yang memadai un-tuk mengikuti sendiri, dll .
proses pembelajaran di seko-lah. Caring (9-10 tahun). Anak
Penanaman akhlak terpuji seperti diajarkan perilaku ramah, sopan,
ju-jur, berani, disiplin, kerjasama, santun, menghargai orang lain,
tegas, ramah, sabar, kasih sayang, peduli, bekerjasama, suka me-
dermawan seharusnya dimulai sejak
dari keluarga. Penanaman akhlak
mulia ini tidak bisa secara singkat,
akan tetapi melalui proses yang terus
mene-rus sejak usia dini hingga
mencapai taraf ke-dewasaan atau
kematangan. Jika sejak usia dini sudah
ditanamkan akhlak terpuji, maka akan
menjadi bekal ketika dewasa untuk be-
rakhlak mulia. Pembiasaan yang
dilakukan sejak usia dini ini, pada
akhirnya akan men-jadi budaya dan
akan selalu dipegang teguh sampai
akhir hayatnya.
Untuk sampai ke praksis, yaitu
anak mempunyai karakter yang kuat,
kukuh mem-pertahankan prinsip
kebenaran hakiki, pen-didikan
karakter, baik formal maupun infor-mal
harus disesuaikan dengan dunia anak.
Dengan kata lain, pendidikan karakter
anak harus disesuaikan dengan tahap-
tahap per-tumbuhan dan
perkembangan anak. Hal ini sejalan
dengan sebuah hadits yang diriwa-
yatkan dari Ibnu Amr bin Al Ash RA
(HR. Al Hakim dan Abu Daud), yaitu :
Suruhlah anak-anakmu menjalankan
sholat jika mere-ka sudah berusia
tujuh tahun. Dan jika su-dah berusia
sepuluh tahun, maka pukullah mereka
jika tidak mau melaksanakan sholat.
Dan pisahkanlah tempat tidurnya.
Untuk pembentukan karakter
melalui keluarga, Furqon
Hidayatullah (2010), me-nyebutkan
ada beberapa langkah, yaitu :
Adab (5-6 tahun). Pada tahap ini
anak diajarkan perilaku jujur, tidak
berbohong, mengenal benar dan
salah, mengenal baik dan buruk,
mengenal perintah dan larangan.
Tanggung jawab diri (7-8
tahun). Anak diajarkan untuk disiplin,
bertanggung jawab, menentukan
pilihan masa depan (menentu-kan
cita-cita, ditanamkan sistem
pendidikan juga mencakup usaha-
nolong. usaha untuk membangun watak,
Kemandirian (11-12 tahun). Anak sikap, dan kepribadian peserta didik
diajarkan taat pada aturan, bersikap agar menjadi ma-nusia sempurna
dan ber-tindak mandiri, siap menerima (insan kamil). Seperti dike-mukakan
sanksi, mem-pertimbangkan resiko, Fraenkel (1977), sekolah tidaklah
tidur di kamar sendi-ri. Contoh: semata-mata tempat di mana guru
mampu membedakan mana yang menyam-paikan pengetahuan melalui
benar dan yang salah, yang baik dan berbagai mata pelajaran. Sekolah juga
yang buruk, yang dilarang dan yang adalah lembaga yang mengusahakan
diperintah. usaha dan proses pem-belajaran yang
Bermasyarakat (13 tahun >). berorientasi pada nilai (value-oriented
Anak diajarkan memiliki integritas, enterprise).
dan kemam-puan adaptasi. Guru dituntut memiliki
Keteladanan (contoh) kompeten-si tertentu, yakni:
merupakan metode efektif untuk kompetensi profesional, pedagogis,
membangun karakter anak di dalam personal dan sosial. Dari empat
keluarga. Dalam hal ini, ke-teladanan aspek tersebut, aspek yang paling
tentunya dari semua pihak, mulai mendasar untuk menjadi seorang
ayah, ibu, dan di antara anak-anak. guru yang mampu mendidik karakter
Dengan keteladanan ini, anak-anak siswa, yaitu aspek kep-ribadian
di dalam kelu-arga dapat mencontoh (personalitas), karena aspek inilah
sikap-sikap positif, seperti disiplin, yang menjadi cikal bakal lahirnya
bertanggung jawab, berani, saling komit-men diri, dedikasi, kepedulian
menghormati, jujur, dan sikap-sikap dan kemauan kuat untuk terus
lainnya. berbuat yang terbaik dalam
Pendidikan bukan hanya sebatas kiprahnya di dunia pendidikan
trans-fer of knowledge, melainkan (Nurchaili, 2010).
sebagai upaya pembimbingan peserta Selanjutnya, dalam pengertian
didik untuk men-capai perkembangan, yang lebih luas, pendidikan juga
baik secara jasmani maupun rohani ke mempunyai tiga
arah kedewasaan. Secara lebih luas,

146
Wahyu / Komunitas 3 (2) (2011) : 138-149
Menjelaskan atau mengklarifikasi
pengertian, yaitu pendidikan, kepada peserta didik secara terus
pengajaran dan pelatihan. Mendidik, menerus tentang berbagai nilai yang
merupakan usaha yang lebih ditujukan baik dan yang buruk. Usaha ini bisa
kepada pengemban-gan budi pekerti, dibarengi pula dengan langkah-
semangat, kecintaan, rasa kesusilaan, langkah memberi penghargaan ni-lai-
ketakwaan, dan lain-lain. Men-gajar, nilai yang baik dan sebaliknya
yaitu memberikan pelajaran tentang mengecam dan mencegah berlakunya
bagaimana ilmu yang bermanfaat bagi nilai-nilai yang
per-kembangan kemampuan
intelektualnya. Se-mentara, melatih,
merupakan usaha untuk memberikan
sejumlah keterampilan tertentu yang
dilakukan secara berulang-ulang, se-
hingga akan terjadi suatu pembiasaan
dalam bertindak. Kegiatan mendidik,
mengajar dan melatih harus berjalan
secara serempak, ter-padu dan
berkelanjutan karena merupakan
usaha mentransformasikan nilai-nilai
aga-ma, budaya, dan lain-lain, yang
pada akhir-nya akan membentuk
karakter seseorang se-bagai warga
negara yang baik.
Menurut Martadi (2010), untuk
pem-bentukan watak melalui sekolah
dapat dila-kukan pembangunan
budaya sekolah dengan menciptakan
suasana sekolah yang mencer-
minkan karakter. Implementasinya,
kegia-tan intra dan kokurikuler
secara terintegrasi pada semua
mata pelajaran. Ekstrakurikuler
melalui berbagai kegiatan antara
lain: KIR, Pramuka, kesenian, olah
raga, dokter kecil, PMR.
Untuk pembentukan karakter
melalui pendidikan di sekolah, Azra
(2008) mengu-sulkan ada 3 (tiga)
langkah sebagai berikut:
Menerapkan pendekatan
modelling atau exemplary atau uswah
hasanah, yakni menso-sialisasikan dan
membiasakan lingkungan sekolah
untuk menghidupkan dan menegak-
kan nilai-nilai akhlak dan moral yang
benar melalui model atau teladan.
Setiap guru dan tenaga kependidikan
di lingkungan sekolah hendaknya
mampu menjadi uswah hasanah yang
hidup bagi setiap peserta didik.
Mereka juga harus terbuka dan siap
untuk mendisku-sikan dengan peserta
didik tentang berbagai nilai-nilai yang
baik tersebut.
diserap dengan baik. Melalui kajian
buruk. tematik dan amanat terhadap teks
Menerapkan pendidikan tersebut diharapkan akan ditemukan
berdasarkan karakter. Hal ini bisa beberapa aspek pragmatik yang dapat
dilakukan dengan me-nerapkan dimanfaatkan sebagai kerangka acuan
character based approach ke dalam dalam mendidik anak-anak bangsa
setiap mata pelajaran yang ada di sebagai generasi penerus sehingga
samping mata pelajaran-pelajaran masyarakat Indonesia dapat
khusus untuk pen-didikan karakter, menemukan kembali jati dirinya
seperti pelajaran agama, sejarah, (Karyanto et.al, 2008).
Pancasila, dan sebagainya. Lickona (1991) menyebutkan
Pembentukan watak dan sedikit-nya terdapat 6 (enam) hal
pendidikan karakter melalui sekolah, yang menjadi sa-saran untuk
dengan demikian, tidak bisa dilakukan dilakukan siswa sebagai indika-tor
semata-mata melalui pembelajaran bahwa pendidikan karakter positif
pengetahuan, tetapi adalah melalui pada ranah kognitif dapat terpenuhi:
penanaman atau pendidikan nilai-nilai.
Dalam proses pendidikan karakter, 1) Sadar atas nilai-nilai moral
pendidikan harus melalui aspek yang ada, 2) Memahami hal-hal
kognitif, afektif, dan psikomotorik yang dibu-tuhkan untuk
(Lickona, 1991). Dengan demikian, menerapkan nilai-nilai moral
sekolah harus memban-tu siswa untuk pada kondisi nyata, 3) Men-
memahami nilai-nilai utama, gambil perspektif, dalam artian
mengadopsinya, dan menerapkannya tidak hanya mengedepankan
dalam keseharian. Banyak cara yang dirinya dalam memandang suatu
dapat dila-kukan dalam upaya permasalahan, teta-pi juga
penanaman nilai pada siswa, salah berupaya melihat suatu hal ber-
satunya lewat buku cerita raky-at. dasarkan sudut pandang orang
Media ini bisa jadi menyenangkan bagi lain, 4) Melakukan penalaran
anak-anak sehingga besar moral, 5) Berpi-kir dalam rangka
kemungkinan, nilai-nilai yang mengambil keputus-an, 6)
dikandung cerita tersebut dapat Memiliki pengetahuan moral.

147
Wahyu / Komunitas 3 (2) (2011) : 138-149
relatif tetap dalam merespon
Dari hal tersebut di atas, hal yang suatu situasi dengan cara yang
perlu dipahami adalah seseorang baik (Hawadi, 2008).
mungkin saja se-cara pemahaman
telah amat mengerti men-genai hal- Dengan pendidikan nilai-nilai di
hal yang benar dan hal yang salah. seko-lah, pembangunan karakter
Namun pada kenyataannya, masih yang kuat dapat dirintis secara
saja ada di antara orang dengan berkelanjutan. Untuk keber-hasilan
pemahaman tersebut yang tetap ini masih diperlukan tiga unsur pen-
memilih hal yang salah. Hal ini ting lain : membangun kultur sekolah
mungkin saja disebabkan pada yang
pendidikan karakter yang berorientasi
pada ranah kogni-tif, terlewat untuk
memperhatikan persoalan emosi.
Padahal emosi merupakan suatu hal
yang amat penting pada tiap karakter.
Oleh sebab itu, kiranya perlu
membidik sisi afek-tif, dalam hal ini
emosi sebagai upaya pendi-dikan
karakter, di mana di antara indikator
dari ranah afektif tersebut menurut
Hawadi (2008) antara lain:

1) Kesadaran yaitu perasaan


nyaman dan ingin untuk
melakukan hal-hal yang dinilai
benar, 2) Penghargaan ke-pada
diri sendiri, 3) Empati, 4) Menc-
intai hal-hal yang baik, 5) Kontrol
diri,
6)Keinginan untuk mengkoreksi
kesa-lahan-kesalahan yang
telah diperbuat.

Akan tetapi, lagi-lagi


permasalahan yang muncul adalah
seringkali tatkala seseo-rang telah
memiliki dorongan yang kuat agar
dapat melakukan apa yang
seharusnya dila-kukan, orang tersebut
akhirnya tetap gagal dalam
menterjemahkan penilaian benar-sa-
lah, sehingga justru tindakan salahlah
yang ia perbuat. Untuk itu, sasaran
pendidikan karakter pada tingkat ini
adalah:

1) Kompetensi, yakni
keterampilan untuk mendengar,
berbicara dan be-kerjasama, 2)
Dorongan, yaitu hal yang
mengarahkan energi dan
penilai-an yang kita miliki atas
suatu hal, 3) Kebiasaan moral,
yaitu kecenderun-gan yang
santun, disiplin, dan lain se-
mampu membangun karakter siswa, bagainya. Oleh karena, internalisasi
kepe-mimpinan yang berkarakter ajaran-ajaran agama dalam
dan menjunjung tinggi kebenaran kehidupan sehari-hari akan
yang hakiki. memantapkan karakter seseorang
Lingkungan masyarakat luas baik dalam kapasitasnya sebagai
jelas me-miliki pengaruh besar individu mau-pun sebagai warga
terhadap keberhasilan pembentukan bangsa Indonesia.
karakter. Dari perspektif Is-lam, Melalui agama, individu
menurut Shihab (1996), situasi menciptakan hubungan yang privat
kema-syarakatan dengan sistem nilai dengan Tuhan. Mela-lui agama pula,
yang dianut-nya, mempengaruhi seseorang dapat berinteraksi secara
sikap dan cara pandang masyarakat baik dengan orang lainnya, dan mela-
secara keseluruhan. Misalnya, lui agama pula, seseorang dapat
penganut paham materialistis menebarkan kebaikan dan
memandang bahwa nilai yang menguatkan karakter priba-dinya. Tak
tertinggi adalah material, sedangkan berlebihan dikatakan, kalau kita mau
di kalangan masyarakat hedonis berhasil membentuk karakter bangsa
berpandangan bahwa nilai yang di tengah-tengah masyarakat, maka
tertinggi adalah nilai kenikmatan. harus ada seorang pemimpin yang
Jika sistem nilai dan pandangan berkarakter, seperti disiplin,
masyarakat terbatas pada kini dan di bertanggung jawab, berani, saling
sini, maka upaya dan ambisinya menghormati, jujur, dan sikap-sikap
terbatas pada kini dan di sini pula. lainnya. Jadi pemimpin di masyarakat
Dalam konteks ini, Azra (2008) harus menjadi teladan. Dengan
me-nyebutkan bahwa dalam Al- keteladanan ini, merupa-kan langkah
Qur’an banyak ayatnya menekankan pembimbingan masyarakat da-lam
tentang pentingnya kebersamaan, rangka membangun karakter bangsa.
tujuan bersama, gerak lang-kah
bersama, solidaritas yang sama. SIMPULAN
Setiap agama selalu mengajarkan
kebaikan ke-pada umatnya, sikap Dari paparan di atas, dapat ditarik
saling menghormati, bersikap jujur,

148
Wahyu / Komunitas 3 (2) (2011) : 138-149

kesimpulan bahwa persoalan lytical Approach. Eglewood, New


melemahnya karakter bangsa dewasa Jersey: Pren-tice Hall
Hawadi, R.A. 2008. Membangun Green
ini harus menjadi perhatian semua Psychology Gen-
pihak, pemimpin bangsa, aparat erasi Muda Indonesia Melalui Pendidikan
penegak hukum, pendidik dan tokoh- Karak-
tokoh agama, golongan dan lain ter, dalam Saifudin dan Karim, Refleksi
Karakter
sebagainya. Dengan perhatian Bangsa. Jakarta: Forum Kajian Antropologi
bersama, akan terwujud sebuah Indonesia
langkah bersama untuk secara terus Hidayatullah, F.M. 2010. Pendidikan Karakter,
menerus membangun karakter makalah pada Seminar Nasional
Pembangunan Karak-ter Bangsa,
bangsa. Banjarmasin, 7 Nopember 2010
Dengan sangat kompleksnya Iskandar Agung, Rumtini. Civil Society dan
permasa-lahan pembangunan karakter Pendidikan Karakter Bangsa. Jurnal
tersebut, perlu dilakukan beragam Pendidikan dan Kebu-dayaan, Vol. 16, Edisi
khusus III, Oktober 2010 Karyanto, P., dkk.
upaya untuk segera da-pat
2008. Pembentukan Karakter Anak Menurut
mengatasinya, dan banyak aspek- Teks Cerita Rakyat ‘Ranggana Putra Demang
aspek yang harus diperhatikan. Balaraja’: Kajian Pragmatik Sastra.
Masalah dan usaha membangun Jurnal Penelitian Din.Sos. 7(1): 45-53
karakter bangsa dapat dila-kukan Koesoema, D. 2006. Pendidikan Karakter.
Jakarta:
melalui pendekatan keluarga, seko-lah Kompas, 3 Februari
dan masyarakat, sehingga masalah Lickona, T. 1991. Education for Character:
dan usaha membngun karakter How Our School can Teach Respect
bangsa menjadi tanggung jawab and Responsibility. New York: Bantam
Books
bersama semua komponen
Martadi, 2010. Grand Design Pendidikan
masyarakat dari berbagai lapisan. Karakter. Makalah pada Saresehan
Nasional Pendidikan Karakter 2010.
DAFTAR PUSTAKA Koordinator Kopertis Wilayah XI
Kalimantan
Abidinsyah. 2011. Urgensi Pendidikan Karakter Nurchaili. 2010. Membentuk Karakter Siswa
dalam Membangun Peradaban Bangsa Melalui Keteladanan Guru. Jurnal
yang Bermar-tabat. Jurnal Socioscientia pendidikan dan kebu-dayaan. 16(3):
Kopertis Wilayah. 11(3) Phillips, C.T, 2000. Family as the School of
Love, maka-lah pada Nasional
Azra, A. 2008. Pembangunan Karakter
Conference On Character Building,
Bangsa: Pendekatan Budaya,
Jakarta 25-26 November, 2000
Pendidikan dan Agama, dalam Saifudin
Situmorang, H. 2010. Pembangunan Karakter
dan Karim, Refleksi Karakter Bangsa.
Bangsa. Jurnal Pendidikan Penabur.
Jakarta: Forum Kajian Antropologi
9(14)
Indonesia
Tilaar, H.A.R. 2008. Karakteristik Bangsa
Damayanti, P. 2011. Upaya Pelestarian Hutan
dalam Perspe-ktif Pedagogik
Melalui Pengelolaan Sumber Daya Hutan
Kontemporer, dalam Saifudin dan
Bersama Ma-syarakat. Jurnal Komunitas.
Karim, Refleksi Karakter Bangsa.
3(1): 84-96
Jakarta: Forum Kajian Antropologi
Fraenkel, J.R. 1977. How to Teach about Values :
Indonesia
An Ana-
149

Anda mungkin juga menyukai