Anda di halaman 1dari 23

KARAKTERISTIK FISIK CMC DARI PELEPAH BATANG PISANG KEPOK (Musa

paradiciasa) DAN CMC KOMERSIAL DALAM PEMBUATAN

EDIBLE FILM DARI WHEY KEJU

PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan

Mencapai Derajat Sarjana S-1

Jurusan Teknologi Pangan

Oleh :

SANDY CICI VITNANTIWI

201610220311112

JURUSAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS PERTANIAN PETERNAKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2020
LEMBAR PENGESAHAN

KARAKTERISTIK FISIK CMC DARI PELEPAH BATANG PISANG KEPOK (Musa

paradiciasa) DAN CMC KOMERSIAL DALAM PEMBUATAN

EDIBLE FILM DARI WHEY KEJU

dipersiapkan dan disusun oleh :

Sandy Cici Vitnantiwi

201610220311112

telah disetujui untuk diseminarkan di Jurusan Teknologi Pangan

Fakultas Pertanian Peternakan Universitas Muhammadiyah malang

Malang,……………………2020

Pembimbing Utama, Pembimbing Pendamping,

Prof. Dr. Ir. Hj. Noor Harini, MS Mujianto

NIDN. 0021046105 NIDN.


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam.

Hanya dengan Rahmat, Taufiq serta Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan

penyusunan skripsi yang berjuduAssalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam.Hanya

dengan Rahmat, Taufiq serta Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan

skripsi yang berjudul “Karakteristik Fisik CMC dari Pelepah Batang Pohon Pisang

Kepok (Musa paradiciasa) dan CMC komersial dalam pembuatan Edible Film dari

Whey Keju”

Skripsi ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi

Pertanian pada Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Malang.

Penyusunan skripsi ini, tidak terlepas dari peran berbagai pihak. Penulis mengucapkan

terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Ir. David Hermawan, MP., IPM selaku Dekan Fakultas

PertanianPeternakan Universitas Muhammadiyah Malang.

2. Bapak Mochammad Wachid, S.TP., M.Sc. selaku Ketua Jurusan Ilmu Dan Teknologi

Pangan Universitas Muhammadiyah Malang.

3. Ibu Prof. Dr. Ir. Hj. Noor Harini, MS selaku Dosen Pembimbing I yang selalu

memberikan dukungan, pengarahan, motivasi yang besar kepada penulis hingga

selesai penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Mujianto selaku Dosen Pembimbing II yang membimbing dan memberikan

motivasi yang besar kepada penulis hingga selesai penyusunan skripsi ini.
5. Para Dosen jurusan ITP yang telah banyak memberikan banyak ilmu selama kuliah

hingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

6. Kedua orang tua saya Bapak dan Ibu serta keluarga yang senantiasa memanjatkan

doa-doanya untuk penulis, yang telah memberikan dukungan spiritual, moral

maupun materi yang mendukung penyelesaian kuliah dan penyusunan skripsi ini.

7. Keluarga besar Laboratorium ITP, terima kasih telah banyak membantu,mendukung,

menghibur penulis selama proses penelitian.

8. Teman-teman dan keluarga besar Asisten Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan

yang selalu mendukung dan menyemangati penulis.

Penulis menyadari masih ada kekurangan, oleh karena itu, penulis mengharapkan

saran dan kritik yang membangun. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita

semua. Amiin

Malang, Februari 2020

Penulis
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pisang merupakan buah yang banyak tumbuh di daerah-daerah di Indonesia. Produksi

pisang di Indonesia mencapai 5 juta ton pada tahun 2008 (Apriliani, 2013). Sedangkan pada

tahun 2011 di Propinsi Jawa Timur, produksinya mencapai 1.188.724 ton dan produksi

Pisang Kepok (Musa paradiciasa) adalah yang paling tinggi yaitu sejumlah 40% dari total

produksi (BPS, 2012). Di Indonesia sendiri, penanaman pisang ini banyak ditemukan di

Kalimantan. Produksi pisang ini, di Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2012 adalah

sebesar 87.362 ton dari luas panen 1.877 Ha (Ditjen Hortikultura, 2013).

Pisang-pisang ini sebagian besar dikonsumsi oleh dalam negeri. Besarnya konsumsi

ini menandakan tingginya kebutuhan masyarakat Indonesia akan buah dan serat. Di sisi lain,

hal ini menimbulkan dampak baru, yaitu banyaknya limbah pelepah batang pisang ini

(Apriliani, 2013). Pelepah pisang ini oleh sebagian besar masyarakat belum dimanfaatkan

dengan baik, sehingga mereka tidak segan-segan untuk membuangnya atau membiarkan

begitu saja. Padahal limbah pelepah pisang tersebut mempunyai kandungan selulosa yang

tinggi hingga 64% (Lokantara, 2012).

Na-CMC/Carboxy Methyl Cellulose (CMC) adalah turunan dari selulosa dan ini

sering dipakai dalam industri makanan untuk mendapatkan tekstur yang baik. Fungsi CMC

ada beberapa terpenting, yaitu sebagai pengental, stabilisator, pembentuk gel,sebagai

pengemulsi, dan dalam beberapa hal dapat merekatkan penyebaran antibiotik (Winarno,

1985). Kondisi kebutuhan akan sodium karboksimetil selulosa yang semakin meningkat,

kandungan selulosa dan berlimpahnya limbah pelepah batang Pisang Kepok (Musa
paradiciasa), maka ini akan mejadi alternatif yang dapat dimanfaatakan sebagai salah satu

bahan baku pembuatan sodium karboksimetil selulosa (Na-CMC).

Edible film merupakan bahan pengemas yang berupa lapisan tipis. Biasa digunakan

untuk melapisi bahan pangan karena terbuat dari bahan yang dapat dikonsumsi. Fungsi

edible film selain sebagai pengemas makanan, juga dapat memperpanjang umur simpan,

mempertahankan kandungan gizi makanan, melindungi makanan dari kerusakan fisik

maupun mekanik. Penggunaan edible film tidak mencemari lingkungan karena edible film

dapat dikonsumsi secara bersamaan dengan makanan yang dikemas. Inovasi polimer

penyusun edible film terus dikembangakan dengan memanfaatkan bahan pangan lokal.

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini diantaranya untuk:

1. Mengetahui interaksi antara konsentrasi penambahan CMC dari pelepah batang

pohon pisang kepok dan CMC komersial terhadap karakteristik edible film.

2. Mengetahui pengaruh penambahan konsentrasi CMC dari pelepah batang pohon

pisang kepok terhadap sifat fisik dan kimia edible film.

3. Mengetahui pengaruh penambahan konsentrasi CMC dari pelepah batang pohon

pisang kepok terhadap sifat fisik dan kimia edible film.

1.3 Hipotesa

Hipotesa yang dapat dikemukanakan dari penelitian ini diantaranya yaitu:

1. Terjadi interaksi antara CMC dari pelepah batang pohon pisang kepok dan CMC
komersial terhadap karakteristik edible film.
2. Terjadi pengaruh penambahan konsentrasi CMC dari pelepah batang pohon pisang
kepok terhadap sifat fisik dan kimia edible film.
3. Terjadi pengaruh penambahan konsentrasi CMC dari pelepah batang pohon pisang
kepok terhadap sifat fisik dan kimia edible film.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 CMC

Carboxy Methyl Cellulose (CMC) merupakan polielektrolit amoniak turunan dari

selulosa dengan perlakuan alkali dan monochloro acetic acid atau garam natrium yang

digunakan luas dalam industri pangan. CMC memiliki rumus molekul C8H16NaO8 bersifat

biodegradable, tidak berwarna, tidak berbau, tidak beracun, berbentuk butiran atau bubuk

yang larut dalam air namun tidak larut dalam larutan organik, stabil pada rentang pH 3-10

dan mengendap pada pH kurang dari 3, serta tidak bereaksi pada senyawa organik. Contoh

aplikasi CMC adalah pada pemrosesan selai, es krim, minuman, saus, jelly, pasta, keju, dan

sirup. Karena pemanfaatannya yang luas, mudah digunakan, serta harganya yang tidak

mahal, CMC menjadi salah satu zat yang diminati (De Man, 2000).

CMC digunakan dalam bentuk garam natrium carboxy methyl cellulose sebagai

pemberi bentuk, konsistensi, dan tekstur. CMC berfungsi mempertahankan kestabilan

minuman agar partikel padatannya tetap terdispersi merata ke seluruh bagian sehingga tidak

mengalami pengendapan (Prasetyo, dkk., 2014). CMC juga berperan sebagai pengikat air,

pengental, stabilisator emulsi, dan tekstur gum. CMC digunakan dalam ilmu pangan sebagai

bahan pengental dan untuk menstabilkan emulsi. CMC mampu menggantikan produk-

produk seperti gelatin, gum arab, agaragar, karageenan, tragacanth, dan lain-lain. Sebagai

pengemulsi, CMC sangat baik digunakan untuk memperbaiki kenampakan tekstur dari

produk berkadar gula tinggi. Sebagai pengental, CMC mampu mengikat air sehingga

molekul-molekul air terperangkap dalam struktur gel yang dibentuk oleh CMC (De Man,

1989). Jumlah CMC yang diperlukan untuk menjaga stabilitas produk yang baik tergantung

pada tingkat kekentalan sebelum dikonsumsi. Produk yang mengandung sejumlah besar
padatan yang kental hanya membutuhkan penambahan CMC dalam jumlah sedikit.

Sebaliknya, penambahan CMC dalam jumlah besar dapat digunakan untuk menciptakan

tekstur produk yang mengandung beberapa zat padat terlarut (Akkarachaneeyakorn and

Tinrat, 2015).

2.1.1 Karakteristik CMC

Carboxy Methyl Cellulose (CMC) adalah polisakarida linear, dengan rantai panjang,

anionik, dan larut dalam air serta merupakan gum alami yang dimodifikasi secara kimia

Menurut Glicksman (2005). CMC berupa tepung berwarna putih dan bersifat tidak berbau,

higroskopis, dapat didispersikan dengan segera dalam air dingin maupun air panas, pH

optimumnya adalah 5, dan bila pH 2,2 terlalu rendah misalnya kurang dari 3, maka CMC

akan mengendap (Winarno,2010).

Tabel Syarat Mutu CMC


Kriteria Uji Satuan Persyaratan
Keadaan : Putih kecoklatan
Warna Bubuk
Bentuk 2-10
pH Tidak berbau
Bau Higroskopis
Sifat

Arsenat Bpj Maks. 3


Logam berat % Maks. 0,004
sebagai Pb Bpj Maks. 10
Timah % Maks. 95
Natrium setelah Cps Min. 25
dikeringkan % Maks. 10 (berat
Kekentalan dari % kering)
larutan dengan Min. 99,5
konsentrasi 2 %
Susut pengeringan
Kemurnian
(Sumber : Standar Nasional Indonesia, No. 0722, 1992)
Kelarutannya dalam air dan sifat-sifat larutannya tergantung tingkat polimerisasi,

tingkat substitusi dan keseragaman substitusi antara 0,65-0,85 biasa digunakan untuk bahan

tambahan pangan yang mana susunan selulosa ini mudah larut dalam air panas maupun air

dingin. Makin tinggi tingkat polimerisasi larutan yang diperoleh makin kental, tergantung

pada jenis Carboxy Methyl Cellulose, larutan 2% memiliki kekentalan antara 10.000-50.000

cps atau lebih. Kekentalan maksimum pada pH 7-9. CMC dapat berfungsi bersama-sama

dengan kebanyakan gum lain yang larut dalam air, tidak terpengaruh oleh adanya kation yang

dapat menghasilkan garam yang larut (Tranggono, 2008).

CMC digunakan untuk memberi bentuk konsistensi dan tekstur produk, dimana CMC

berperan sebagai pengikat air, pengental dan penstabil. CMC dapat meningkatkan kekentalan

larutan, karena dapat mengikat air melalui ikatan hidrogen. Kekentalan larutan karena

penambahan CMC dapat dipengaruhi oleh pH dan suhu larutan. Larutan yang ditambah CMC

mempunyai kekentalan maksimum pada kisaran pH 7-9 (Glicksman, 2010).

2.2 Pisang Kepok (Musa paradisiaca L.)

Pisang kepok (Musa paradisiaca L.) merupakan jenis pisang olahan yang paling sering

diolah terutama dalam olahan pisang goreng dalam berbagai variasi, sangat cocok diolah

menjadi keripik, buah dalam sirup, aneka olahan tradisional, dan tepung. Pisang dapat

digunakan sebagai alternatif pangan pokok karena mengandung karbohidrat yang tinggi,

sehingga dapat menggantikan sebagian konsumsi beras dan terigu (Prabawati dkk., 2008).

Menurut Prabawati dkk., (2008), pisang kepok memiliki kulit yang sangat tebal dengan

warna kuning kehijauan dan kadang bernoda cokelat, serta daging buahnya manis. Pisang

kepok tumbuh pada suhu optimum untuk pertumbuhannya sekitar 27 0C dan suhu

maksimum 38 0C. Bentuk buah pisang kepok agak gepeng dan bersegi. Ukuran buahnya
kecil, panjangnya 10-12 cm dan beratnya 80-120 gram. Pisang kepok memiliki warna

daging buah putih dan kuning. Berdasarkan klasifikasi taksonomi pisang kepok termasuk ke

dalam family Musaceae yang berasal dari India Selatan. Kedudukan taksonomi, tanaman

pisang kepok adalah sebagai berikut (Satuhu dan Supriyadi, 2008):

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Ordo : Zingiberales

Famili : Musaceae 5

Genus : Musa

Spesies : Musa paradisiaca forma typica

Sewaktu pisang masih mentah asam organik utamanya adalah asam oksalat, tetapi

setelah tua dan matang asam organik yang utama adalah asam malat. Perubahan tersebut

mengakibatkan pH menurun dari 5,4 (mentah) menjadi 4,5 ketika pisang menjadi matang.

2.3 Edible Film

Edible film adalah lapisan tipis, tersusun dari bahan yang bisa dikonsumsi dan

berfungsi sebagai pengemas atau pelapis bahan pangan (Kusumawati dan Putri, 2013).

Edible film juga dapat digunakan sebagai pembawa komponen makanan, diantaranya

vitamin, mineral, antioksidan, antimikroba, pengawet, bahan untuk memperbaiki rasa dan

warna produk yang dikemas. Selain itu, bahan- bahan yang digunakan untuk membuat edible

film relatif murah, mudah dirombak secara biologis (biodegradable), dan teknologi

pembuatannya sederhana (Yulianti dan Ginting, 2012).

Menurut Nathalya (2015) beberapa keunggulan edible film dibandingkan dengan


bahan pengemas lain yaitu:

1. Meningkatkan retensi warna, asam, gula , dan komponen flavor

2. Mengurangi kehilangan berat

3. Mempertahankan kualitas saat pengiriman dan penyimpanan

4. Mengurangi kerusakan akibat penyimpanan

5. Memperpanjang umur simpan

6. Mengurangi penggunaan pengemas sintetik

Salah satu fungsi utama dari edible film adalah peranannya sebagai penghalang (barrier),

baik gas, minyak, dan air. Edible film dapat digunakan sebagai pengemas bahan makanan

seperti kacang-kacangan dan biji-bijian (Krisna, 2011), sosis, buah-buahan dan sayuran

segar (Nofita, 2011), serta daging (Wieddyanto, 2005).

Edible film dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori berdasarkan komponennya

yaitu hidrokoloid, lemak dan kombinasi. Komponen hidrokoloid ialah bahan yang

mengandung protein, polisakarida atau alginate. Komponen lemak dapat berupa asam

lemak, acygliserol atau lilin (wax). Edible film juga dapat dibuat dari kombinasi berbagai

komponen penyusun dengan menyatukan dua substansi dari kedua kategori yaitu dari

hidrokoloid maupun lemak (Skurtys dkk, 2011). Edible film hidrokoloid (pati) umumnya

bersifat getas dan kurang elastis, sehingga perlu ditambahkan plasticizer berupa gliserol

untuk meningkatkan keplastisan, mengurangi resiko pecah, sobek, hancurnya edible film

yang terbentuk dan meningkatkan fleksibilitas film (Bureau, 1996, Krochta, 1997).

Tabel 1. Standart Edible Film

Parameter Nilai
Ketebalan <0,25 mm
Kuat tarik Min. 0,39 Mpa
Elongasi <10% buruk
10-50% baik
>50% sangat baik
WVTR <7 g/m2/hari
Sumber : Japanese International Standart (JIS, 1975)
2.3.1 Karakteristik Edible Film
Secara umum parameter yang sering digunakan dalam mengukur sifat mekanik edible

film adalah ketebalan, kuat tarik (tensile strength), kemuluran (elongation) dan ketebalan.

Faktor yang dapat mempengaruhi ketebalan edible film adalah konsentrasi padatan terlarut

dalam larutan pembentuk film dan ukuran cetakan. Semakin tinggi konsentrasi padatan

terlarut, maka ketebalan film akan meningkat (Krisna, 2011). Kekuatan tarik (tensile

strength) adalah ukuran besarnya gaya yang diperlukan untuk mencapai tarikan maksimum

pada setiap luas area film. Kuat tarik edible film ini dihitung dengan prinsip kekuatan tarikan

maksimum yang dapat dicapai sampai film tetap bertahan sebelum putus. Sifat kekuatan

tarik bergantung pada konsentrasi dan jenis bahan penyusun edible film (Krisna, 2011).

Kemuluran merupakan perubahan panjang maksimum pada saat terjadi peregangan hingga

sampel film terputus. Pada umumnya keberadaan plasticizer dalam proporsi lebih besar akan

membuat nilai persen kemuluran suatu film meningkat lebih besar. Elastis merupakan

kebalikan dari persen kemuluran karena akan semakin menurun seiring meningkatnya

jumlah plasticizer dalam film. Elastisitas menurun berarti fleksibilitas film meningkat.

Modulus elastisitas merupakan ukuran dasar dari kekakuan (stiffness) sebuah film (Banerjee

dkk, 1995).

2.4 Whey Keju

Whey adalah bagian dari susu cair yang sebagian besar terdiri dari air dan beberapa

zat terlarut yang terpisah dari curd. Protein whey yang diperoleh karena penambahan rennet
mengandung kaseinomakropeptida sebagai hasil reaksi kimosin pada k-kasein. Protein whey

juga diketahui kaya akan cystein dan methionin yang merupakan asam amino penting untuk

sintesa glutathionine (Hidayat et al., 2006). Menurut Anjarsari (2010), protein whey

tersusun dari laktalbumin, laktalbumin, immunoglobulin, serum albumin dan fraksi

kompleks proteosa pepton. Komposisi whey susu dari limbah pembuatan keju dapat dilihat

pada Tabel berikut.

Tabel Komposisi Whey Susu (g/L)


Komponen Jumlah (g/L)
Berat kering 63 – 70
Laktosa 45 – 50
Protein 7–9
Senyawa nitrogen terlarut 1,5
Lipid 1–2
Garam – garam mineral 6 –8
(Hidayat et al., 2006)
Berdasarkan prinsip pengendapan kasein dari susu segar pada pH 4,6 pada suhu 20˚C,

maka cairan yang tersisa disebut sebagai whey. Penggunaan whey didalam industri pangan

sangat luas seperti dalam industri bakery, bahan campuran pada pembuatan sup,

confentionery, pada pengolahan margarin, makanan bayi, makanan untuk diet dan industri

minuman (Legowo et al., 2009). suhu 20˚C, maka cairan yang tersisa disebut sebagai whey.

Penggunaan whey didalam industri pangan sangat luas seperti dalam industri bakery, bahan

campuran pada pembuatan sup, confentionery, pada pengolahan margarin, makanan bayi,

makanan untuk diet dan industri minuman (Legowo et al., 2009).

Komposisi whey terdiri atas α- Laktalbumin dan β-laktoglobulin, laktosa dan mineral.

Beberapa jenis whey yang ada dibedakan berdasarkan pada jenis asam atau enzim yang

digunakan dalam pembuatan keju. Whey manis (Sweet whey) diperoleh dari metode koagulasi

menggunakan enzim, sedangkan whey asam diperoleh dari metode koagulasi yang
menggunakan asam(Marshal, 2004). Whey protein mengandung komponen protein yang

memiliki bentuk globular, dengan komponen utamanya adalah β-Laktoglobulin dan α-

Laktalbumin dengan beberapa jenis protein lainnya berupa BSA (bovine serum albumin), Igs

(immunoglobulins), LF (Laktoferrin), dan enzim protease-pepton (Zhang, 2000).


III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Februari – April 2020. Tempat pelaksanaan

penelitian dilaksanakan di Laboraturium Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Pertanian

Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

3.2.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik, sendok, pemarut,

kain saring, baskom plastik, pisau, gunting. wadah penutup, ayakan 75 mesh, kertas

Whatmant 110 mm, pengaduk kecepatan 500 rpm, pengering oven, corong buchner, saringan,

labu leher, termometer, pipet volume 5 ml, spatula, penggaris, jangka sorong, gelas ukur 100

ml, gelas beker 500 ml, gelas arloji, cetakan ukuran 19 x 13 cm, sarung tangan, penggaris,

plastik ,tisu, gelas piala, timbangan analitik , cabinet dryer.

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pelepah batang pohon Pisang Kepok, CMC

Komersial, Whey Keju, aquades, NaOH 10%, asam sitrat, asam asetat, natrium klorida,

isopropyl alkohol, etanol, methanol 70%.

3.3 Metodologi Penelitian

Desain penelitian menggunakan metode RAK (Rancangan Acak Kelompok) faktorial

dengan dua faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah konsentrasi CMC eceng gondok (0,3%

b/v,0,6% b/v, 0,9% b/v), faktor kedua yaitu suhu pengeringana (50,60,70 0 C). Kombinasi perlakuan

dari kedua faktor yaitu 9 perlakuan. Kombinasi perlakuan (Tc) = 3x3=9, dengan jumlah ulangan

minimum perlakuan (n) adalah:


Tc (n-1) ≥ 15
9 (n-1) ≥ 15 9n ≥ 24 n ≥ 2,6 …

dibulatkan menjadi n=3

Tabel Kombinasi Perlakuan Konsentrasi CMC eceng godok dan suhu pengeringan edible

P1 (50 0 C) P2 (60 0 C) P3 (50 0 C)


C1(0,3%) C1PI
C2 (10%) C2P2
C3(15%) C3P3
C2(0,6%) C2P1
C2 (10%) C2P2
C3(15%) C2P3
C3(0,9%) C3P1
C2 (10%) C3P2
C3(15%) C3P3
Keterangan:

1. CI P1 = Konsentrasi CMC pelepah batang pisang 0,3% dengan suhu pengeringan 50 0 C

2. C2 P2= Konsentrasi CMC pelepah batang pisang 0,3% dengan suhu pengeringan 60 0 C

3. C3 P3 = Konsentrasi CMC pelepah batang pisang 0,3% dengan suhu pengeringan 700 C

4. C2P2 = Konsentrasi CMC pelepah batang pisang 0,6% dengan suhu pengeringan 50 0 C

5. C2P2 = Konsentrasi CMC pelepah batang pisang 0,6% dengan suhu pengeringan 60 0 C

6. C2P3 = Konsentrasi CMC pelepah batang pisang 0,6% dengan suhu pengeringan 70 0 C

7. C3P1 = Konsentrasi CMC pelepah batang pisang 0,9% dengan suhu pengeringan 50 0 C

8. C3P2 = Konsentrasi CMC pelepah batang pisang 0,9% dengan suhu pengeringan 60 0 C

9. C3P3 = Konsentrasi CMC pelepah batang pisang 0,9% dengan suhu pengeringan 700 C

Data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan Analysis of Variant (ANOVA) dan

dilanjutkan uji banding DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) dengan taraf nyata 5%

(α=0,05).

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Pembuatan CMC

Limbah pelepah batang Pisang Kepok sendiri, pelepahnya dipotong-potong terlebih

dahulu, kemudian dicuci untuk menghilangkan zat pengotor. Selanjutnya dijemur di bawah
sinar matahari dan dikeringkan dalam oven bersuhu 50 °C selama 2 jam. Pelepah pisang yang

sudah kering kemudian dihaluskan dan diayak hingga diperoleh dalam bentuk serbuk

berukuran 75 mesh. Serbuk ini ditimbang secara analitis, kemudian ditambahkan NaOH 10%

mol sebanyak 100 ml untuk menghilangkan kandungan ligninnya atau delignifikasi (Togrul

and Arslan, 2004; Adinugraha dkk., 2005; Yasar dkk., 2007).

Padatan selulosa dan hemiselulosa dipisahkan dari larutan lignin (black liquor) dengan

filtrasi menggunakan kertas Whatmann 110 mm. Padatan bebas lignin kemudian dicuci

dengan akuades sebanyak dua kali. Padatan bebas lignin ditimbang sebanyak 25 g, kemudian

ditambahkan 100 mL akuades, 5 mL asam asetat (10% v/v), dan 2 g natrium klorida di dalam

gelas piala.

Campuran kemudian dipanaskan dengan suhu 75 °C selama 1 jam sambil diaduk

dengan kecepatan 500 rpm, kemudian disaring untuk memisahkan padatan selulosa dari

hemiselulosa. Selanjutnya dibilas dengan m akuades dan etanol masing-masing sebanyak 50

mL, lalu disaring kembali. Pulp selulosa kemudian dikeringkan pada suhu 50 °C selama 16

jam (Togrul and Arslan, 2004; Adinugraha dkk., 2005; , Yasar dkk., 2007).

Selanjutnya selulosa sebanyak 2 g dialkalisasi dengan menambahkan 100 mL isopropil

alkohol dan 20 mL NaOH (10%, 20%, 30%, 40% mol) ke dalam labu leher tiga sambil diaduk

selama 90 menit dengan kecepatan 500 rpm pada suhu 30 °C. SCA (1, 2, 3, 4, dan 5g)

ditambahkan ke dalam campuran sehingga terjadi eterifikasi, kemudian diaduk dengan

kecepatan 500 rpm selama 6 jam sambil dilakukan pemanasan pada 50, 60, 70, dan 80°C. Na-

CMC kasar disaring dengan menggunakan corong buchner dan dibilas menggunakan asam

asetat 90% (v/v) sebanyak 50 mL untuk menetralkan kelebihan NaOH, dilanjutkan

pembilasan dengan metanol 70% (v/v), kemudian disaring. Padatan Na-CMC kemudian
dikeringkan pada suhu 50 °C sampai didapatkan massa yang konstan (Togrul and Arslan,

2004; Adinugraha dkk., 2005; Yasar dkk., 2007).

3.4.2 Pembuatan Edible Film

Whey keju dilakukan penyaringan kotoran-kotoran susu. Whey kemudian ditambahkan

dengan tween 80 dan minyak kelapa sawit pada suhu 60oC selama 15 menit (Manab, 2008).

CMC 0,3%, 0,6%, 0,9% serta penambahan glukosa dengan konsentrasi 1%, 2% dan 3%.

Setelah itu dimasak dengan mengunakan suhu500C,600C, 700C dan diaduk pada kecepatan

420 rpm. Setelah terbentuk adonan, edible film dicetak mengguanakan spreder dengan ukuran

1 ml. Edible film yang telah terbentuk dianalisis kualitas fisik, kimia dan organoleptik.
Diagram alir percobaan

Pelepah Pisang

Di cuci lalu di potong

Di keringkan 5 hari

Di haluskan dan di
ayak

Bubuk Pelepah Pisang

Toluena dan
etanol 2:1 dewaxing

H2O2, NaCIO,NaOH
Delignifikasi 1 PH 10

NaOH 17,5% Dehemiselulosa

H2O2, NaCIO,NaOH
PH 10
Delignifikasi 2

Isopropanol,metanol
,NaOH,Natrium alkalisasi
kloroatet

Dinetralkan
CMC

Gambar diagram alir pembuatan CMC


CMC sesuai
perlakuan Whey keju

Dipanaskan 93oC di hot plate dengan


magnetic stirrer diputar 250 rpm
selama 30 menit

Diatur pada pH 8 dengan


meggunakan NaOH 0,1 N

Diatur pada pH 5,2 dengan HCl


0,1 N

Dicetak menggunakan
loyang

Dikeringkan pada oven vakum


dengan
suhu ± 55oC selama 24 jam

Analisa : kadar air, protein,daya


Edible film
tarik,ketebalan,kemuluran, laju
transmisi uap air, warna

Gambar diagram alir edible film


Parameter yang di Ukur
1. Ketebalan Edible Film
Pengukuran ketebalan film menggunakan mikrometer (model MDC-25M, Mitutoyo,
MFG, Japan) dengan ketelitian 0,001 mm. Nilai ketebalan yang didapat merupakan rataan dari
pengukuran pada lima tempat yang berbeda (Bourtoom, 2008).
2. Kemuluran (Elongation at Break)
Sampel edible film yang akan diuji dipotong dengan ukuran 8 cm x 3 cm kemudian
dikaitkan pada penjepit/pengait yang ada pada alat digital gauge HF 500 dengan luasan edible
film yang dijepit 1,5 cm dikedua sisi panjangnya. Kemuluran dihitung dengan rumus (Bourtoom,
2008 dan Wittaya, 2013) :
E = 100 X(dafter – dbefore)/ dafter
Keterangan : d = jarak antara penjepit pemegang sampel menjelang (before) atau sesudah (after)
sampel ditarik hingga putus.
3.Kekuatan Tarik (Tensile strength)
Pengukuran kekuatan tarik dan kemuluran dilakukan dengan cara memotong sampel
edible film yang akan diuji dengan ukuran 8 cm x 3 cm. Edible film dikaitkan secara horisontal
pada penjepit/pengait yang ada pada alat digital gauge HF 500 dengan luasan edible film yang
dijepit 1,5 cm dikedua sisi panjangnya. Nilai kekuatan tarik maksimal film diukur pada saat film
menjelang putus (Bourtoom, 2008).
4. Laju Transmisi Uap Air (Water Vapor Transmission Rate/WVTR)
Edible film dipotong membuat lingkaran dengan diameter 2,8 cm. Gelas ditimbang
sebelum digunakan. Setelah itu edible film diletakkan pada permukaan gelas yang sebelumya
telah diisi 3 gr silika gel. Gelas yang berisi sampel selanjutnya ditimbang dan diletakkan dalam
desikator terkontrol (kelembaban ±55%). Setiap sejam (selama 10 jam) gelas dikeluarkan dari
desikator dan ditimbang. Nilai WVTR dihitung dengan menggunakan rumus menurut Sukkunta
(2005):
WVTR: [G/t]/A
Keterangan : G/t = Selisih pertambahan berat air yang diserap oleh gelas (g)
A = Luas Area Edible Film (mm2)
5.Kadar Protein
Kadar protein menggunakan mikro kjeldahl, diambil sampel seberat 50 – 60 mg
dimasukkan ke dalam labu kjedahl 500 ml dan ditambahkan 2 ml asam sulfat pekat, kemudian
ditambahkan 5 gram campuran Na2SO4 : HgO ( 20 ; 1 ) untuk katalisator. Selanjutnya didihkan

sampai jernih dan pendidihan dilanjutkan selama 30 menit. Setelah dingin labu kjedahl dicuci
dengan akuades dididihkan lagi selama 30 menit. Setelah dingin ditambahkan 140 ml akuades
dan 8 – 12 ml larutan NaOH – Na2S2O3, kemudian dilakukan destilasi.

Destilat yang dihasilkan ditampung dalam erlenmeyer 100 ml yang telah diiisi dengan 5
ml asam borat dan indikator PP 2 tetes. Destilat dihentikan pada saat destilat telah netral (
diketahui dengan terjadinya perubahan warna kertas lakmus ). Hasil destilat dititrasi dengan
HCL 0,02 N. Total N dalam sampel dapat dihitung dengan rumus:
N total= ml HCL ( sample – blanko )x N HCL x 14,008 x 100%(mg/ml)
gram bahan x 1000
Persentase protein = % N total x 6,25
( Sudarmadji dkk, 2000 )
7. Kadar air
Sebanyak 5 g sampel ditimbang dalam botol timbang yang telah diketahui beratnya.
Kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 24 jam. Sampel dimasukkan
desiccator selama 20 menit dan dilakukan penimbangan. Penurunan berat merupakan
banyaknya air dalam bahan (Sudarmadji, 2000).
Kadar air (%) =berat awal - berat akhir x100%
berat awal
8. Warna
Digital color meter test (T 135) digunakan sebagai alat untuk pengukur nilai warna edible
film L, a dan b. Nilai warna L= 0 (hitam) hingga 100 (putih); a= -60 (hijau) hingga +60
(merah), dan b= -60 (biru) hingga +60 (kuning). Sebelum digunakan, alat dikalibrasi terlebih
dahulu dengan standar yang berwarna putih (nilai kalibrasi L = 94, 76, a = -0,795, dan b =
2,200) (Boutoom, dkk., 2006; Cho, dkk.,2007 dan Bae, dkk., 2008).

Anda mungkin juga menyukai