KONSEP DASAR KIMIA ORGANIK BAGIAN
I
Oleh:
Dr. Deana Wahyuningrum, S.Si., M.Si.
Kimia FMIPA – ITB
2 0 1 5
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, penulis mempersembahkan
tulisan berjudul “Konsep Dasar Kimia Organik Bagian I”. Tulisan ini disusun sebagai
bacaan pendamping bagi siswa atau mahasiswa yang mempelajari Kimia Organik
tingkat dasar. Tulisan ini merupakan rangkuman dari beberapa konsep dasar yang
harus dipahami oleh siswa atau mahasiswa dalam mempelajari konsep‐konsep dan
reaksi‐reaksi senyawa‐senyawa organik dalam pembahasan materi Kimia Organik
lebih lanjut.
Tentu saja tulisan ini masih jauh dari sempurna dan masih terdapat kekurangan serta
keterbatasan, oleh karena itu masukan dari pembaca sangat diharapkan sehingga
kualitas penulisannya maupun kedalaman materinya dapat ditingkatkan dan
disempurnakan. Mudah‐mudahan tulisan ini bermanfaat baik bagi siswa atau
mahaiswa dalam mempelajari Kimia Organik. Semoga tulisan ini bermanfaat juga
bagi para guru kimia dan masyarakat umum yang tertarik pada bidang Kimia,
khususnya Kimia Organik.
Bandung, Agustus 2015
Penulis
ByDW‐KimiaITB‐2015 1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. 1
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... 2
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 3
1. DEFINISI KIMIA ORGANIK ........................................................................................ 3
2. SEJARAH .................................................................................................................. 3
I. STRUKTUR DAN IKATAN .......................................................................................... 5
1. TABEL PERIODIK UNSUR ......................................................................................... 5
2. BEBERAPA DEFINISI ................................................................................................. 5
3. IKATAN KIMIA DAN STRUKTUR MOLEKUL .............................................................. 7
A. HUBUNGAN ANTARA KONFIGURASI ELEKTRON, ELEKTRON VALENSI DAN
IKATAN KIMIA....................................................................................................... 7
B. STRUKTUR LEWIS DAN MUATAN FORMAL ........................................................ 15
C. STRUKTUR LEWIS DAN STRUKTUR RESONANSI ................................................. 19
D. STRUKTUR ATOM, MEKANIKA KUANTUM DAN STRUKTUR MOLEKUL.............. 25
II. PENDAHULUAN TERHADAP REAKSI DAN MEKANISME REAKSI SENYAWA
ORGANIK ........................................................................................................................... 52
1. REAKSI UMUM DALAM SENYAWA ORGANIK........................................................ 52
2. KONSEP ASAM – BASA .............................................................................................. 62
3. PENGENALAN DASAR‐DASAR PENULISAN MEKANISME REAKSI KIMIA
ORGANIK: “KONSEP PANAH LENGKUNG ( ) DAN ( )”.............................. 80
A. DISTRIBUSI ELEKTRON DALAM MOLEKUL.......................................................... 81
B. HETEROLISIS IKATAN PADA KARBON: KARBOKATION DAN KARBOANION
(KARBANION) ..................................................................................................... 90
C. ELEKTROFIL DAN NUKLEOFIL ............................................................................. 91
4. KONSEP REAKSI REDOKS (REAKSI REDUKSI DAN OKSIDASI) DALAM SENYAWA
ORGANIK ............................................................................................................... 93
A. DEFINISI REAKSI OKSIDASI ................................................................................. 93
B. DEFINISI REAKSI REDUKSI................................................................................... 93
C. CARA PENENTUAN BILANGAN OKSIDASI BERDASARKAN ATOM C DALAM
SENYAWA ORGANIK (berdasarkan ikatan atom C tersebut dengan atom‐
atom lain yang diikatnya) ................................................................................... 93
5. PENGELOMPOKAN SENYAWA ORGANIK BERDASARKAN GUGUS FUNGSI ........... 96
6. PENGELOMPOKAN SENYAWA ORGANIK BERDASARKAN KEREAKTIFAN DAN
BILANGAN OKSIDASI ............................................................................................. 97
ByDW‐KimiaITB‐2015 2
PENDAHULUAN
1. DEFINISI KIMIA ORGANIK
• Molekul Organik = molekul berbasis karbon
• Kimia Organik = Ilmu kimia yang mempelajari molekul berbasis karbon
Oleh karena itu kimia organik adalah ilmu kimia yang mempelajari senyawa
hidrokarbon (senyawa yang mengandung hidrogen dan karbon) beserta turunannya
dan mempelajari hubungan antara struktur dan kereaktifannya (sifat fisik maupun
kimia). Senyawa Organik: senyawa yang terbentuk terutama dari unsur karbon (C)
dan hidrogen (H); unsur‐unsur lain meliputi: oksigen (O), nitrogen (N), sulfur (S),
fosfor (P), halogen (F, Cl, Br, I), silicon (Si), bahkan logam (yang dikenal sebagai
senyawa organologam), serta unsur‐unsur lainnya.
Bahan‐bahan kimia organik unsur utamanya adalah karbon, jadi `back bone`‐nya
adalah atom karbon. Perbedaan antara organik dan anorganik adalah bahwa semua
senyawa organik memiliki unsur karbon. Atom karbon mempunyai kemampuan
berikatan bersama membentuk rantai yang panjang dan cincin dapat membentuk
molekul yang sederhana (CH4) sampai molekul kompleks (protein, enzim,
karbohidrat, DNA, dsb).
2. SEJARAH
Definisi: bahan‐bahan kimia berasal dari mahluk hidup (organik) dan bahan‐
bahan mineral (anorganik) [Bergman, 1770] senyawa organik mengandung
`vital force` (krn sumbernya dari mahluk hidup) Tak dapat dibuat atau
dimanipulasi di laboratorium.
Wohler (1800‐1882): pengubahan garam anorganik (amonium sianat, NH4OCN)
menjadi senyawa organik, urea (CO(NH2)2.
Chevreul (1786‐1889): sabun dibuat dari reaksi antara minyak hewan dan basa
(walaupun di zaman Mesir kuno hal ini sudah dilakukan, yaitu ketika mandi tubuh
dilumuri lemak hewani dan kemudian digosok dengan sekam tanaman gandum
yang bersifat basa).
ByDW‐KimiaITB‐2015 3
Brande (1848): tak ada garis pasti antara kimia organik dan anorganik (hal ini
terbukti karena pada saat ini antarmuka antara senyawa organik dan anorganik
menjadi satu dalam senyawa organologam maupun senyawa kompleks).
Sekarang: kimia itu adalah satu kesatuan, persamaan yang menjelaskan senyawa
anorganik sederhana dapat digunakan untuk menjelaskan senyawa organik yang
kompleks.
Tak semua senyawa karbon berasal dari mahluk hidup. Sebagian besar senyawa
karbon berasal dari alam, seperti: bahan makanan, obat‐obatan tradisional,
bahan pakaian (katun, wool, sutra), dan sumber energi (gas alam, minyak bumi).
Dalam kimia modern, para ilmuwan dan praktisi teknologi berkemampuan untuk
mensintesis senyawa organik baru di laboratorium, mulai dari obat, pewarna,
polimer, plastik, food additives, pestisida, membran dll.
ByDW‐KimiaITB‐2015 4
I. STRUKTUR DAN IKATAN
1. TABEL PERIODIK UNSUR
1 18
1 2
H He
1.008 2 13 14 15 16 17 4.003
3 4 5 6 7 8 9 10
Li Be B C N O F Ne
6.94 9.01 10.81 12.01 14.01 16.00 19.00 20.18
11 12 13 14 15 16 17 18
Na Mg Al Si P S Cl Ar
22.99 24.30 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 26.98 28.09 30.97 32.06 35.45 39.95
21
19 20 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Sc Ti
K Ca 44.9 V Cr Mn Fe Co Ni Cu Zn Ga Ge As Se Br Kr
39.10 40.08 47.87 50.94 52.00 54.94 55.85 58.93 58.69 63.55 65.38 69.72 72.64 74.92 78.96 79.90 83.80
6
39 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54
37 38 40 41 42 43
Y Zr Nb Mo Tc Ru Rh Pd Ag Cd In Sn Sb Te
Rb Sr 88.9 I Xe
101.0 102.9 106.4 107.8 112.4 114.8 118.7 121.7 127.6 126.9 131.2
85.47 87.62 91.22 92.91 95.96 -
1 7 1 2 7 1 2 1 6 0 0 9
55 56 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 83
82 84 85 86
Cs Ba 57- Hf Ta W Re Os Ir Pt Au Hg Tl Pb Bi Po At Rn
132.9 137.3 71 178.4 180.9 183.8 186.2 190.2 192.2 195.0 196.9 200.5 204.3 208.9
207.2 - - -
1 3 9 5 4 1 3 2 8 7 9 8 8
87 88 104 105 106 107 108 109 110 111
89-
Fr Ra 103 Rf Db Sg Bh Hs Mt Ds Rg
- - - - - - - - - -
57 58 59 60 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71
61
La Ce Pr Nd Pm Sm Eu Gd Tb Dy Ho Er Tm Yb Lu
138.9 140.1 140.9 144.2 150.3 151.9 157.2 158.9 162.5 164.9 167.2 168.9 173.0 174.9
-
1 2 1 4 6 6 5 3 0 3 6 3 5 7
90 91 92
89 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103
Th Pa U Np Pu Am Cm Bk Cf Es Fm Md No Lr
Ac 232.0 231.0 238.0
- - - - - - - - - - - -
4 4 3
2. BEBERAPA DEFINISI
ByDW‐KimiaITB‐2015 5
menunjukkan jumlah proton di dalam inti atom yang sama dengan jumlah
elektron yang mengelilinginya.
Isotop: atom yang memiliki nomor atom (Z) sama, namun memiliki nomor
massa (A) berbeda; dengan kata lain, jumlah proton pada inti atom sama
tetapi jumlah neutron berbeda.
o Contoh: 12C (6 proton, 6 neutron); 13C (6 proton, 7 neutron); 14C (6
proton, 8 neutron). Contoh lain: 1H (hidrogen: 1 proton, 0 neutron); 2H
(Deuterium: 1 proton, 1 neutron); 3H (Tritium: 1 proton, 2 neutron).
Elektron valensi: elektron yang berada di kulit paling luar atau paling jauh dari
inti atom. Elektron‐elektron inilah yang digunakan untuk membentuk ikatan
kimia dengan atom lainnya membentuk senyawa. Jumlah elektron valensi
sama dengan nomor golongan suatu atom atau unsur dalam tabel periodik.
Prinsip Aufbau: pengisian elektron pada orbital atom mulai dari tingkat energi
terendah.
Larangan Pauli: tidak boleh ada elektron yang memiliki bilanagan kuantum
yang sama; hanya boleh ada dua elektron pada tiap pengisian orbital dan
harus mempunyai spin yang berlawanan.
Aturan Hund: jika ada dua atau lebih orbital kosong yang sama energinya,
maka pengisian dilakukan dengan satu elektron masing‐masing dulu.
ByDW‐KimiaITB‐2015 6
3. IKATAN KIMIA DAN STRUKTUR MOLEKUL
A. HUBUNGAN ANTARA KONFIGURASI ELEKTRON, ELEKTRON VALENSI DAN
IKATAN KIMIA
Pembentukan Ikatan
Atom 1 + Atom 2 A1:A2 atau A1‐A2
Aturan:
1. Muatan yang berlawanan akan saling tarik menarik (Hukum Coulomb):
muatan (+) x (muatan (‐)
Gaya tarik ‐menarik = tetapan x
(jarak)2
2. Elektron tersebar di dalam ruang (mengalami delokalisasi).
3. Konfigurasi elektron gas mulia sangat diinginkan.
Tabel periodik parsial
Periode Halogen Gas mulia
Pertama H1 He2
Kedua Li2,1 Be2,2 B2,3 C2,4 N2,5 O2,6 F2,7 Ne2,8
Ketiga Na2,8,1 Mg2,8,2 Al2,8,3 Si2,8,4 P2,8,5 S2,8,6 Cl2,8,7 Ar2,8,8
Semua gas mulia, kecuali helium, memiliki elektron valensi delapan (oktet), sehingga
semua unsur dalam tabel periodik akan cenderung membutuhkan atau melepaskan
elektron valensinya agar konfigurasi elektronnya sesuai dengan konfigurasi elektron
gas mulia.
Mengapa unsur‐unsur bereaksi? Tujuannya adalah agar dapat memenuhi konfigurasi
elektron gas mulia (aturan oktet). Bagaimana hal itu bisa dilakukan? Caranya adalah
dengan membentuk ikatan kimia. Berikut adalah beberapa jenis ikatan kimia yang
umum:
1. Ikatan Ion: terbentuk karena gaya tarik menarik antara spesi ion positif dan ion
negatif. Spesi ion positif terbentuk dari atom yang melepaskan elektronnya agar
ByDW‐KimiaITB‐2015 7
konfigurasi elektronnya sama dengan gas mulia (mengalami oksidasi); sedangkan
spesi negatif terbentuk dari atom yang mengikat elektron agar konfigurasi
elektronnya sama dengan gas mulia (mengalami reduksi).
Gambar 1 Pembentukan ikatan ion (Sumber: Volhard dan Schore, 1999)
Contoh:
2. Ikatan kovalen: terbentuk karena adanya pemakaian bersama elektron antara
atom satu dengan yang lain yang bertujuan agar konfigurasi elektronnya sama
dengan gas mulia.
Gambar 2 Pembentukan ikatan kovalen (Sumber: Volhard dan Schore, 1999)
Contoh:
ByDW‐KimiaITB‐2015 8
Kekuatan ikatan kovalen didasarkan pada panjang ikatan dan potensial energi
antarinti atom yang saling berikatan, sebagaimana ditunjukkan pada grafik
potensial energi berikut. Ikatan kovalen akan terbentuk pada saat energi
potensial mencapai minimum.
Gambar 3 Energi potensial dalam pembentukan ikatan kovalen (Sumber: Volhard dan
Schore, 1999)
Sebagian besar senyawa memiliki karakter ikatan di antara karakter ikatan ion dan
ikatan kovalen. Hal ini disebabkan oleh adanya polaritas atau pengutuban muatan di
sekitar ikatan yang diakibatkan oleh adanya perbedaan keelektronegatifan
antaratom yang berikatan. Keelektronegatifan adalah kemampuan intrinsik suatu
atom untuk menarik elektron yang dipakai bersama dalam suatu ikatan kovalen.
Keelektronegatifan didasarkan pada suatu skala tertentu. Skala keelektronegatifan
diusulkan oleh Linus Pauling (1901‐1994), peraih 2 Nobel di bidang Kimia dan
Perdamaian, sebagaimana ditampilkan pada tabel berikut (dikutip dari: Journal of
Inorganic and Nuclear Chemistry, 1961, 17, 215 dalam buku Solomon dan Fryhle,
2011).
ByDW‐KimiaITB‐2015 9
Gambar 4 Skala keelektronegatifan Pauling (Sumber: Solomon dan Fryhle, 2011)
Dari kiri ke kanan dalam tabel periodik menunjukkan keelektronegatifan meningkat
(panah merah) dan dari bawah ke atas keelektronegatifan meningkat (panah biru).
Jika selisih keelektronegatifan () > 2,0 maka termasuk ikatan ion; jika 2,0 > >
0,3 maka termasuk ikatan kovalen polar; jika < 0,3 maka termasuk ikatan
kovalen.
Contoh:
H—H
= 2,1 2,1
= 0 pemakaian bersama elektron setara = ikatan kovalen non polar
Cl—Cl
= 3,0 3,0
= 0 pemakaian bersama elektron setara = ikatan kovalen non polar
H—Cl
= 2,1 3,0
= 0,9 pemakaian bersama elektron tidak setara = ikatan kovalen polar
Na+Cl–
= 0,9 3,0
= 2,1 transfer elektron = ikatan ion
ByDW‐KimiaITB‐2015 10
Untuk ikatan kovalen polar, maka ada kecenderungan pemisahan muatan parsial
pada atom‐atom yang terikatnya. Berdasarkan keelektronegatifannya, atom yang
lebih elektronegatif akan memiliki muatan parsial negatif () dan atom lainnya
memiliki muatan parsial positif (). Berikut adalah beberapa contohnya.
Kepolaran suatu senyawa atau molekul ditentukan oleh besaran momen dipol (),
yang dinyatakan sebagai:
= r Q (1)
dengan adalah momen dipol, r adalah jarak antar ikatan dan Q adalah muatan.
Momen dipol dinyatakan dengan satuan debye (D), dimana 1 D = 3,336 10–30
coulomb.meter (C•m) dalam satuan SI. Berikut adalah contoh penggambaran
molekul yang menunjukkan kepolarannya.
Gambar 5 Momen dipol molekul metil klorida, CH3Cl (Sumber: Solomon dan Fryhle,
2011)
Catatan: molekul yang mengandung ikatan polar tidak harus selalu menjadikan
senyawa tersebut menjadi polar. Beberapa data momen dipol beberapa senyawa
ditampilkan pada Tabel 1.
ByDW‐KimiaITB‐2015 11
Contohnya sebagai berikut.
Gambar 6 Momen dipol molekul boron trifluorida, BF3 dan karbon tetraklorida, CCl4
(Sumber: Solomon dan Fryhle, 2011)
Tabel 1 Beberapa data momen dipol senyawa (Sumber: Solomon dan Fryhle, 2011)
Sejumlah ikatan kovalen biasanya terbentuk antara beberapa unsur ketika
membentuk senyawa organik, sebagaimana ditampilkan pada tabel berikut.
Tabel 2 Beberapa kemungkinan pembentukan ikatan kovalen dalam senyawa
organik (Sumber: Solomon dan Fryhle, 2011)
Unsur Jumlah ikatan kovalen Unsur Jumlah ikatan kovalen
H 1 F 1
C 4 Cl 1
N 3 (atau 4) Br 1
O 2 I 1
Sehingga: C tetravalent; O divalent; H dan halogen monovalen.
ByDW‐KimiaITB‐2015 12
Jika ada 3 ikatan pada karbon maka karbon harus bermuatan. Contoh:
Br
C C
C
B
H
C C
Oksigen biasanya divalent. Contoh:
ByDW‐KimiaITB‐2015 13
● Satu ikatan pada oksigen menghasilkan muatan negatif pada oksigen.
Contoh:
ByDW‐KimiaITB‐2015 14
B. STRUKTUR LEWIS DAN MUATAN FORMAL
Cara menggambarkan struktur Lewis:
1. Hitung semua elektron valensi;
‐ tambahkan satu untuk setiap muatan negatif;
‐ kurangi satu untuk setiap muatan positif.
2. Gambar ikatan tunggal antara atom‐atom (hubungan antara atom‐atom
ditentukan secara eksperimen).
3. Dengan menggunakan sisa elektroon valensi, buat oktet untuk setiap (kecuali
H), atas dasar turunnya keelektronegatifan.
4. Jika atom tak oktet, gunakan pasangan elektron sunyi/bebas pada atom yang
bersebelahan untuk membentuk ikatan rangkap dua atau rangkap tiga untuk
menyempurnakan oktet.
5. Tentukan muatan formal.
6. Struktur Lewis yang lebih baik adalah yang mempunyai:
‐ sedikit muatan formal (sedikit terjadinya pemisahan muatan);
‐ lebih banyak mengikuti aturan oktet;
‐ dengan muatan negatif pada atom yang lebih elektronegatif dan
sebaliknya.
Pengecualian aturan Oktet:
Unsur‐unsur pada periode ke‐2 tabel periodik biasanya memenuhi aturan
oktet (Li, Be, B, C, N, O, F) karena memiliki satu orbital 2s dan tiga orbital 2p
yang tersedia untuk membentuk ikatan.
Unsur‐unsur pada periode ke‐3 tabel periodik memiliki orbital d yang juga
dapat digunakan untuk membentuk ikatan, sehingga tidak memenuhi aturan
oktet.
ByDW‐KimiaITB‐2015 15
Contoh:
2-
F
F F
Si
F F
F
(SiF62-)
Beberapa molekul atau ion yang bersifat sangat reaktif memiliki atom yang
hanya memiliki elektron terluarnya lebih sedikit daripada 8 elektron. Contoh:
atom Boron dalam senyawa BF3.
F
B
F F
Contoh: gambarkan struktur Lewis untuk senyawa‐senyawa berikut: CCl4; CH2O;
C2H2, CH3OH, CH3CHCH2; HCN.
Jawab:
ByDW‐KimiaITB‐2015 16
Muatan formal
Muatan formal = jumlah elektron valensi –1/2 jumlah elektron ikatan – jumlah
elektron yang tidak terikat (elektron bebas) atau F = Z ‐ S /2 – U, dengan F
muatan formal, Z elektron valensi, S jumlah elektron yang berikatan, dan U
jumlah elektron bebas (tidak berikatan).
Contoh:
H
H O H
O: 6 - 5 = +1
Banyak elektron valensi O = 6; ½ (banyaknya elektron yang dibagi untuk O) = 3;
Banyaknya elektron yang tidak dibagi untuk O = 2; Muatan formal untuk O = 6 – 3
– 2 = +1.
H
H NH
H
Muatan formal H = 1 – 2/2 – 0 = 0; muatan formal pada N = 5 – 8/2 – 0 = +1.
Muatan total pada ion ammonium = (4x0) + 1 = +1 Jumlah semua muatan
formal dalam suatu molekul atau ion akan sama dengan muatan total molekul
atau ion.
Muatan formal O (hijau) = 6 – 2/2 – 6 = ‐ 1; muatan formal O (merah) = 6 – 4/2 –
4 = 0; muatan formal N = 5 – 8/2 – 0 = +1. Muatan total pada ion nitrate = (2x – 1)
+ 0 + 1 = ‐ 1.
ByDW‐KimiaITB‐2015 17
Latihan
Gambarkan struktur Lewis dan muatan formal untuk tiap atom dalam molekul
atau ion berikut : H3O+; CH3O–; CH3+ ; CO ; N3–
Jawab:
ByDW‐KimiaITB‐2015 18
C. STRUKTUR LEWIS DAN STRUKTUR RESONANSI
Dalam banyak molekul dan ion (terutama yang mengandung ikatan ) maka
penggambaran struktur Lewis dapat lebih dari satu struktur yang ekivalen yang
mewakili molekul yang sama. Struktur tersebut disebut struktur resonansi, yaitu
struktur molekul yang semua posisi atom dan hubungan antaratomnya sama tetapi
berbeda dalam penataan elektronnya.
Contoh: ion karbonat dapat digambarkan sebagai salah satu dari ketiga struktur
berikut.
Gambar 7 Struktur hibrida resonansi ion karbonat, CO32 (Sumber: Solomon dan
Fryhle, 2011)
Struktur 1–3, walaupun terlihat tidak identik, namun ketiganya ekivalen; semua
ikatan karbon‐oksigen memiliki panjang ikatan yang sama. Hal ini karena perubahan
struktur 1 menjadi 2 menjadi 3 dan seterusnya itu hanyalah karena adanya
pergerakan elektron pada orbital ikatan antara karbon‐oksigen sebagai berikut.
Gambar 8 Pergerakan elektron dalam resonansi ion karbonat, CO32 (Sumber:
Solomon dan Fryhle, 2011)
ByDW‐KimiaITB‐2015 19
atau ion sebenarnya. Tidak satupun dari struktur resonansi yang sepenuhnya
bersesuaian dengan sifat fisik maupun kimia senyawa tersebut.
● Molekul atau ion yang sebenarnya diwakili oleh hibrida (rerata) dari semua
struktur resonansi yang ada. Contoh:
Gambar 9 Struktur ion karbonat, CO32 (Sumber: Solomon dan Fryhle, 2011)
Dalam menggambarkan resonansi, Pergeseran elektron terjadi :
1. Dari ikatan ke atom sebelahnya (terutama atom yang bersifat
elektronegatif atau afinitas elektronnya relatif tinggi).
2. Dari ikatan ke ikatan sebelahnya.
3. Dari atom (terutama atom yang bersifat elektronegatif dan memiliki
pasangan elektron bebas) ke ikatan sebelahnya.
Beberapa aturan resonansi delokalisasi elektron:
1. Posisi atom harus sama dalam semua struktur resonansi, hanya posisi
elektron yang bervariasi. Contoh: nitrometana dan metil nitril memiliki rumus
molekul sama yaitu CH3NO2, tetapi susunan dan posisi atomnya berbeda
sehingga keduanya adalah senyawa yang berbeda dan bukan struktur
resonansi satu sama lain.
ByDW‐KimiaITB‐2015 20
2. Struktur Lewis unsur periode 2 yang memiliki lebih dari 8 elekron valensi
bersifat tak stabil dan tidak berkontribusi pada struktur yang sebenarnya.
Hanya periode 3 dst yang bisa melebihi aturan oktet. Contoh: struktur
berikut bukan struktur resonansi dari nitrometana, karena pada struktur
tersebut N punya 10 elektron, hal ini tidak diperbolehkan karena N berada di
periode 2 tabel periodik sehingga tidak mungkin memiliki lebih dari 8
elektron.
3. Ketika dua atau lebih struktur memenuhi aturan oktet, struktur yang paling
stabil adalah yang memiliki pemisahan muatan atom berbeda yang paling
kecil. Contoh: berikut adalah dua struktur resonansi nitrometana. Struktur A
lebih stabil daripada B karena tidak ada pemisahan muatan, sehingga lebih
banyak berkontribusi terhadap struktur nitrometana yang sebenarnya.
4. Di antara rumus struktur yang aturan oktetnya dipenuhi oleh semua atom
yang ada dan satu lebih dari atom‐atom ini memiliki muatan formal, maka
bentuk yang paling stabil adalah yang muatan negatifnya terletak pada atom
yang paling elektronegatif maupun sebaliknya (muatan positif berada pada
atom paling eletropositif). Contoh: perhatikan kedua struktur resonansi
berikut. Struktur C lebih stabil daripada D, karena muatan negatif terletak
pada oksigen (O lebih elektronegatif daripada N).
ByDW‐KimiaITB‐2015 21
5. Setiap struktur Lewis yang berkontribusi harus punya jumlah elektron yang
sama dan jumlah muatan total yang sama walaupun muatan formal dari tiap‐
tiap atom bisa bervariasi dalam tiap struktur Lewisnya. Contoh: perhatikan
struktur nitometana (E) dan F berikut. Struktur E dan F bukan merupakan
bentuk resonansi satu sama lain, karena E punya 24 elektron valensi (muatan
total = 0), sedangkan F punya 26 elektron valensi (muatan total = ‐2).
6. Setiap struktur Lewis yang berkontribusi harus punya jumlah pasangan
elektron bebas (unpaired electron) yang sama. Contoh: struktur G bukan
bentuk resonansi dari E karena pada G punya 2 unpaired electron, sedangkan
pada E semua elektronnya berpasangan.
O O
H3C N dan H3C N
O
O
E G
7. Delokalisasi elektron menstabilkan molekul. Molekul yang elektronnya
terdelokalisasi lebih stabil daripada struktur Lewis masing‐masing. Derajat
kestabilan terbesar terjadi jika kestabilan setiap struktur Lewis yang
berkontribusi sama besar. Semakin banyak struktur resonansi yang ekivalen
semakin stabil = stabilisasi resonansi. Contoh: Nitrometana lebih stabil
karena kedua struktur resonansinya sama (ekivalen). Metil nitrit kurang
stabil dibandingkan nitrometana karena kedua struktur resonansinya tak
ekivalen (salah satu struktur resonansinya memiliki pemisahan muatan).
O O
H3C N
O H3C N
O
Nitrometana
H3C O N O H3C O N O
metil nitrit
ByDW‐KimiaITB‐2015 22
Beberapa contoh senyawa yang memiliki stabilisasi resonansi adalah sebagai
berikut:
1. Benzena (C6H6).
2. Ion karboksilat (RCO2).
3. Ozon (O3).
Latihan
Gambarkan struktur resonansi senyawa berikut: SCN; CH2N2 ; CH3CO2
Jawab:
Bentuk resonansi yang utama diberi kotak. Muatan formal di atas strukturnya.
SCN
0 0 -1 -1 0 0 +1 0 -2
S C N S C N S C N
Bentuk resonansi utama (dalam kotak) karena muatan negatif pada atom yang lebih
elektronegatif.
ByDW‐KimiaITB‐2015 23
CH2N2
H H
H C N N H C N N
0 0 +1 -1
-1 +1
Bentuk resonansi utama (dalam kotak) karena muatan negatif pada atom yang lebih
elektronegatif.
CH3CO2
H O H O
H C C O H C C O
H H
Tidak ada bentuk resonansi utama, keduanya ekivalen.
ByDW‐KimiaITB‐2015 24
D. STRUKTUR ATOM, MEKANIKA KUANTUM DAN STRUKTUR MOLEKUL
Struktur Lewis dapat menjelaskan komposisi dan susunan atom/unsur dalam suatu
molekul, tetapi tidak dapat menjelaskan fakta‐fakta bahwa struktur molekul memiliki
bentuk. Oleh karena itu dikembangkan teori lain berdasarkan teori ikatan valensi
dan orbital molekul. Kedua teori ini menggunakan pendekatan mekanika kuantum
yang memberikan penjelasan tentang orbital atom dan kemudian interaksi antar
orbital ketika terbentuk ikatan.
Mekanika gelombang dan mekanika kuantum
● Setiap fungsi gelombang () berhubungan dengan perbedaan tingkat energi
suatu elektron.
● Setiap tingkat energi merupakan subkulit tempat satu atu dua elektron dapat
menempatinya.
Fungsi gelombang merupakan alat untuk menghitung dua sifat penting:
● Energi yang berhubungan dengan posisi atau keadaan elektron dapat
dihitung.
● Probabilitas relatif suatu elektron menempati suatu posisi tertentu pada
subkulit dapat ditentukan.
Tanda fasa suatu persamaan gelombang menunjukkan apakah solusinya positif
atau negatif ketika dihitung untuk suatu titik tertentu dalam ruang relatif
terhadap inti atom.
Fungsi gelombang, untuk jenis gelombang apapun seperti gelombang suara,
gelombang air, ataupun gelombang energi elektron, memiliki posibilitas untuk
mengalami interferensi konstruktif maupun destruktif.
Interferensi konstruktif terjadi ketika fungsi gelombang yang memiliki tanda
fasa yang sama saling berinteraksi. Pada keadaan ini tejadi efek menguatkan
dan amplituda fungsi gelombang akan naik.
Interferensi destruktif terjadi ketika fungsi gelombang yang memiliki tanda
fasa yang berlawanan saling berinteraksi. Pada keadaan ini tejadi efek
melemahkan dan amplituda fungsi gelombang akan menjadi nol atau
berubah tanda.
ByDW‐KimiaITB‐2015 25
Gambar 10 Interferensi konstruktif dan destruktif gelombang (Sumber: Solomon dan
Fryhle, 2011)
Gambar 11 Bentuk orbital 1s, 2s dan 2p (Sumber: Solomon dan Fryhle, 2011)
ByDW‐KimiaITB‐2015 26
Teori Ikatan berdasarkan konsep mekanika kuantum
a. Teori Ikatan Valensi (VSEPR) dan Konsep Hibridisasi
Terbentuknya ikatan kimia secara kovalen menimbulkan konsekuensi kepada bentuk
molekul dalam ruang. Sebagai contoh adalah penjelasan bagaimana bentuk molekul
yang terjadi dalam struktur LiH; dalam hal ini terjadi tumpangsuh (overlap) antara
orbital 1s dari H dengan orbital 2s dari Li. Karena kedua orbital bentuknya bulat,
maka bentuk molekulnya pun bulat. Untuk BeH2, karena Be memiliki konfigurasi
elektron 1s22s2 yang semua orbitalnya terisi penuh elektron, bahgaima caranya
membentuk ikatan dengan hidrogen? Caranya adalah dengan mengalami hibridisasi
sebagai berikut, yaitu dengan memanfaatkan orbital kosong 2p yang masih berada
pada kulit atau tingkat energi yang sama dengan orbital 2s. Satu elektron dari orbital
2s pindah ke orbital 2p sehingga pada kulit kedua terdapat 2 elektron tak
berpasangan yang selanjutnya akan mengalami tumpangsuh dengan orbital 1s dari
H.
Gambar 12 Konfigurasi elektron Be pada keadaan dasar (kiri) dan keadaan tereksitasi
(kanan) (Sumber: Volhard dan Schore, 1999)
Bentuk molekul BeH2 hasil hibridisasi adalah linier. Berikut penggambaran bentuk
molekul BeH2 yang salah (Gambar 13) berdasarkan perpindahan/eksitasi elektron
pada orbital 2s ke orbital 2p yang ditunjukkan pada Gambar 12.
ByDW‐KimiaITB‐2015 27
Gambar 13 Penggambaran struktur molekul BeH2 yang keliru (Sumber: Volhard dan
Schore, 1999)
Gambar 14 Penggambaran struktur molekul BeH2 yang tepat berdasarkan konsep
hibridisasi (Sumber: Volhard dan Schore, 1999)
Untuk senyawa organik, sebagian besar yang terlibat dalam pembentukan ikatan
kovalen adalah antara orbital p pada karbon dengan orbital s ataua p dari atom lain.
Pada umumnya, ikatan dalam senyawa organik dijelaskan oleh orbital‐orbital hibrid:
sp, sp2 dan sp3. Orbital hibrid = hasil “perkawinan” dari orbital s dan p.
“perkawinan” 1 orbital s + 1 orbital p 2 orbital sp (bentuk: linier).
ByDW‐KimiaITB‐2015 28
“perkawinan” 1 orbital s + 2 orbital p 3 orbital sp2 (bentuk trigonal planar).
“perkawinan” 1 orbital s + 3 orbital p 4 orbital sp3 (bentuk: tetrahedral).
Jenis ikatan kovalen yang dapat terbentuk adalah ikatan sigma () dan ikatan phi
(). Berikut adalah beberapa kemungkinan pembentukan ikatan sigma dan ikatan
phi dari tumpangsuh orbital‐orbital atom maupun hibrida atom.
1s 1s 1s 1s
Ikatan
1s 2p 1s 2p
Ikatan
2p 2p 2p 2p
Ikatan
2p 3p 2p
3p
Ikatan
2p 2p 2p 2p
ByDW‐KimiaITB‐2015 29
3d 3d ikatan
3d 3d ikatan
Berikut pembentukan hibridisasi sp3 pada senyawa metana (CH4).
3
Gambar 15 Pembentukan hibridisasi sp (Sumber: Solomon dan Fryhle, 2011)
ByDW‐KimiaITB‐2015 30
Gambar 16 Penggambaran struktur molekul metana, CH4, yang tepat berdasarkan
konsep hibridisasi (Sumber: Solomon dan Fryhle, 2011)
ByDW‐KimiaITB‐2015 31
Berikut adalah pembentukan ikatan pada etana, C2H6.
Gambar 17 Penggambaran struktur molekul etana, C2H6, yang tepat berdasarkan
konsep hibridisasi (Sumber: Solomon dan Fryhle, 2011)
ByDW‐KimiaITB‐2015 32
Berikut adalah pembentukan hibridisasi sp2 pada etena, C2H4.
ByDW‐KimiaITB‐2015 33
Gambar 18 Penggambaran struktur molekul etena C2H4, yang tepat berdasarkan
konsep hibridisasi (atas) dan konsep teori orbital molekul (bawah) (Sumber: Solomon
dan Fryhle, 2011)
Pada gugus yang dihubungkan dengan ikatan rangkap akan mengalami
kesulitan mengalami rotasi (tidak seperti pada ikatan tunggal yang dapat
mengalami rotasi hingga 360o). Hal ini disebabkan oleh adanya halangan
energi sebesar ~264 kJmol‐1 (kekuatan/energi ikatan ) biala dibandingkan
dengan energi rotasi untuk ikatan tunggal C‐C yang hanya sebesar ~13‐26
kJmol‐1.
ByDW‐KimiaITB‐2015 34
Berikut adalah pembentukan hibridisasi sp2 pada gugus karbonil (‐C=O), contoh:
formaldehid (H2C=O).
Berikut adalah pembentukan hibridisasi sp3 pada etuna (etilena), C2H2.
ByDW‐KimiaITB‐2015 35
Gambar 19 Penggambaran struktur molekul etuna atau asetilena, C2H2, yang tepat
berdasarkan konsep hibridisasi (Sumber: Solomon dan Fryhle, 2011)
Berikut adalah pembentukan hibridisasi pada senyawa nitril, yaitu metilnitril
(hidrogen sianida), HCN.
Catatan penting:
Orbital sp memiliki karakter orbital s 50% dan karakter orbital p 50%.
Orbital sp2 memiliki karakter orbital s 33% dan karakter orbital p 66%.
Orbital sp3 memiliki karakter orbital s 25% dan karakter orbital p 75%.
ByDW‐KimiaITB‐2015 36
Tabel 3 Rangkuman teori ikatan VSEPR dan konsep hibridisasi (Sumber: Solomon
dan Fryhle, 2011)
b. Teori Orbital Molekul (Molecular Orbitals, MOs)
Ikatan terjadi akibat adanya tumpangsuh (overlap) dari orbital‐orbital atom
menghasilkan orbital molekul. Terdapat dua proses tum In phase overlap
(tumpangsuh orbital atom dengan fasa bertanda sama) orbital molekul ikatan
(bonding, (molec)). Out of phase overlap (tumpangsuh orbital atom dengan fasa
berlawanan tanda) orbital molekul anti‐ikatan (antibonding, (*molec)).
Gambar 20 Tumpangsuh orbital 1s membentuk ikatan (Sumber: Solomon dan Fryhle,
2011)
ByDW‐KimiaITB‐2015 37
Gambar 21 Tumpangsuh orbital 1s membentuk anti ikatan (Sumber: Solomon dan
Fryhle, 2011)
Tingkat energi orbital‐orbital akan mengalami pemisahan tingkat energi ketika
terjadi overlapping. Semakin baik proses overlap yang terjadi (misalnya karena tipe
orbitalnya sama, tingkat energinya sama (kulit yang sama)) maka semakin besar
pemisahan tingkat energinya. Untuk orbitl‐orbital yang memiliki tingkat energi
berbeda, maka orbital dengan tingkat energi lebih tinggi akan berada di atas dan
yang tingkat energinya lebih rendah akan berada di bawah.
antibonding
(simpul)
E 2p
1s 1s 1s
bonding
Gambar 22 Diagram energi orbital molekul untuk orbital 1s‐1s (kiri) dan 1s‐2p
(kanan) (Sumber: Volhard dan Schore, 1999)
ByDW‐KimiaITB‐2015 38
Berikut adalah contoh pembentukan ikatan pada molekul H2.
Gambar 23 Pembentukan ikatan pada molekul H2 menurut konsep orbital molekul
(Sumber: Volhard dan Schore, 1999)
Beberapa pola overlapping orbital ditampilkan pada gambar berikut.
Gambar 24 Beberapa pola tumpangsuh antar orbital (Sumber: Volhard dan Schore,
1999)
ByDW‐KimiaITB‐2015 39
Rangkuman konsep ikatan kimia yang berasal dari mekanika kuantum:
1. Orbital atom atau atomic orbital (AO) berhubungan dengan daerah dalam
ruang di sekitar inti suatu atom tunggal tempat terjadinya kebolehjadian
paling tinggi ditemukannya electron. Orbital s berbentuk bola/bulat, orbital p
seperti bentuk balon terpilin. Orbital dapat menampung maksimum 2
elektron dengan arah spin yang berlawanan.
2. Ketika orbital‐orbital atom saling tumpangsuh (overlap), maka akan
membentuk suatu orbital moleuk atau molecular orbitals (MOs). Ketika
orbital‐orbital atom dengan fasa bertanda sama saling berinteraksi, maka
terbentuklah orbital molekul ikatan (bonding). Suatu orbital molekul anti‐
ikatan (antibonding) terbentuk ketika dua orbital dengan fasa yang
berlawanan tanda saling tumpangsuh.
3. Energi elektron pada suatu orbital molekul ikatan lebih rendah daripada
energi electron pada orbital‐orbital atomnya.
4. Jumlah orbital molekul selalu sama dengan jumlah orbital‐orbital darimana
orbital molekul tersebut terbentuk.
5. Orbital atom hibrida diperoleh dari penggabungan (perkawinan/hibridisasi)
fungsi gelombang yang berlainan jenis (yaitu misalnya antara orbital s dan p)
tetapi masih berasal dari atom yang sama.
ByDW‐KimiaITB‐2015 40
Latihan
Gambarkan molekul di bawah ini dan tentukan geometri molekulnya: C2H2; CH2O;
CH4 HCN; NH3; H2O.
Jawab:
Rumus Molekul Struktur Geometri pasangan e– Geometri molekul
(sudut)
H C C H
C2H2 linier linier (180o)
O
H C H
CH2O trigonal planar trigonal planar
(120o)
H
C H
H
H
CH4 tetrahedral tetrahedral
(109,5o
H C N
HCN linier linier (180o)
N H
H
H
NH3 tetrahedral trigonal piramidal (107o)
O
H H
H2O tetrahedral bengkok (huruf V, 104,5o)
ByDW‐KimiaITB‐2015 41
Latihan
Gambarkan struktur Lewis senyawa berikut: CCl4; CHCl3 ; CH2O; CO2; berikan
molekul geometrinya serta tentukan apakah molekul bersifat polar atau non‐polar.
Jawab:
CCl4 Cl CHCl3 H
C C Cl
Cl Cl Cl
Cl Cl
O CO2
CH2O
C O C O
H H
CH3 OH
C CH
HO
ByDW‐KimiaITB‐2015 42
Jawab:
CH3 OH
C CH
HO
Sifat dan Parameter Ikatan
Berikut adalah beberapa parameter ikatan yang terutama menentukan ukuran,
bentuk dan sifat fisik senyawa:
o Panjang ikatan: jarak rata‐rata antara dua inti atom.
o Sudut ikatan: sudut yang dibentuk oleh tiga atom.
o Sudut dihedral: sudut yang dibentuk oleh empat atom.
o Kemampuan berputar pada poros ikatan.
Sedangkan beberapa parameter berikut yang terutama menentukan sifat kimia
senyawa:
o Kekuatan ikatan: mudah atau sukar diputuskan
o Kepolaran ikatan: adanya pengkutuban muatan pada ikatan
Panjang ikatan adalah jarak antar dua inti atom. Pengukuran yang akurat terhadap
parameter ikatan ini adalah KRISTALOGRAFI SINAR‐X, yaitu pengukuran difraksi
sinar‐X terhadap sampel senyawa organik yang berupa kristal.
Dalam senyawa organik, ikatan yang umum terbentuk adalah:
C‐H C‐C C=C CC
N‐H C‐N C=N CN
O‐H C‐O C=O
Secara umum, panjang ikatan:
C‐C > C‐N > C‐O > C=C > C=N > C=O > CC > CN > C‐H atau O‐H atau N‐H
ByDW‐KimiaITB‐2015 43
Hal ini tergantung kepada:
• jenis ikatan
• kepolaran ikatan
• derajat ikatan (struktur resonansi)
Sifat fisik dipengaruhi oleh interaksi antarmolekul.
Beberapa interaksi antarmolekul yang menentukan sifat fisik.
o Sifat fisik dalam senyawa ion ditentukan oleh gaya ion‐ion/elektrostatik.
Beberapa sifat fisik yang disebabkan oleh gaya elektrostatik dalam senyawa
ion adalah sebagai berikut:
Titik leleh. Titik leleh senyawa ion adalah suhu pada saat terjadi
kesetimbangan antara keadaan Kristal yang sangat teratur dengan
keadaan cair yang bersifat lebih acak. Jika suatu senyawa adalah senyawa
ion, maka gaya ion – ion yang membuat ion‐ion saling terikat pada
keadaan kristalin adalah gaya elektrostatik kisi kristal yang sangat kuat
antara ion positif dan ion negatif dalam struktur Kristal yang teratur.
Sejumlah energi termal yang sangat tinggi dibutuhkan untuk memutuskan
gaya ion‐ion tersebut agar dapat berubah menjadi cair (meleleh).
Titik didih. Titik didih adalah suhu pada saat tekanan uap cairan sama
dengan teknan atmosfer di atasnya. Titik didih senyawa ion relatif sangat
tinggi, sedemikian tingginya sehingga sebagian besar senyawa ion organik
mengalami dekomposisi sebelum mendidih.
o Sifat fisik dalam senyawa yang berikatan kovalen ditentukan oleh gaya tarik
antarmolekul, di antaranya adalah interaksi van der Waals, gaya dipol‐dipol,
ikatan hidrogen dan gaya London.
Titik leleh suatu senyawa berikatan kovalen tidak setinggi senyawa ion.
Tinggi rendahnya titik leleh dipengaruhi kekuatan interaksi antarmolekul,
semakin kuat interaksinya maka semakin titik lelehnya.
Titik didih senyawa berikatan kovalen yang berwujud cair bergantung
pada tekanan, dan titik didih selalu dituliskan dengan mencantumkan
tekanan pada saat dilakukan pengukuran. Contoh:
ByDW‐KimiaITB‐2015 44
Gambar 25 Struktur dan titik didih senyawa 1,2‐dimetil‐3‐nitrobenzena (kiri) dan (4‐
tert‐butilfenil)metanol (kanan) (Sumber: Solomon dan Fryhle, 2011)
Berikut data titik leleh dan titik didih beberapa senyawa organik.
Tabel 4 Data titik leleh dan titik didih beberapa senyawa organik (Sumber:
Solomon dan Fryhle, 2011)
o Interaksi van der Waals.
Interaksi van der Waals adalah gaya tarik antarmolekul yang tidak sekuat
gaya ion‐ion. Semua gaya antarmolekul atau gaya van der Waals berikut
memiliki sifat gaya listrik alami, di antaranya adalah:
● Gaya dipol‐dipol
● Ikatan hidrogen
● Gaya dispersi (gaya London)
Gaya dipol‐dipol adalah gaya tarik antara molekul‐molekul polar,
sebagaimana digambarkan pada skema berikut.
ByDW‐KimiaITB‐2015 45
Gambar 26 Interaksi dipol‐dipol antar senyawa organik (Sumber: Solomon dan
Fryhle, 2011)
Ikatan hidrogen adalah gaya dipol‐dipol yang terjadi antara atom hidrogen
yang terikat pada atom berukuran kecil dengan keelektronegatifan kuat
(yaitu O, N dan F) dengan pasangan elektron bebas non‐bonding pada atom‐
atom berukuran kecil dengan keelektronegatifan kuat tersebut. Ikatan
hidrogen (dengan energi disosiasi ikatan sekitar 4 – 38 kJ mol‐1) lebih lemah
daripada ikatan kovalen namun jauh lebih kuat daripada gaya dipol‐dipol
biasa. Contoh:
Gambar 27 Ikatan hidrogen (Sumber: Solomon dan Fryhle, 2011)
Ikatan hidrogen menjelaskan mengapa air, ammonia dan hidrogen fluorida
memiliki titik didih yang tinggi daripada metana (bp ‐161,6°C), walaupun
keempat senyawa tersebut memiliki berat molekul yang hampir sama. Salah
satu konsekuensi adanya ikatan hidrogen adalah wujud air pada 25°C adalah
ByDW‐KimiaITB‐2015 46
cair dan bukan gas. Hasil perhitungan menunjukan bahwa tanpa adanya
ikatan hidrogen dalam molekul air maka air akan memiliki titk didih sekitar ‐
80°C dan tidak akan berwujud cair kecuali di bawah suhu tersebut. Tentunya
hal ini menjelaskan fakta bahwa wujud air yang cair pada suhu kamar
disebabkan oleh adanya ikatan hidrogen.
Gaya Dispersi (gaya London). Distribusi muatan rata‐rata dalam suatu
molekul non‐polar selama periode waktu tertentu adalah seragam. Tetapi
pada suatu periode waktu yang singkat, karena elektron selalu bergerak,
maka distribusi muatan menjadi tidak seragam. Elektron pada suatu saat
yang singkat dapat sedikit terakumulasi pada sautu bagian dalam molekul
dan sebagai konsekuensinya terjadilah suatu dipol sementara. Dipol
sementara dalam suatu molekul dapat menginduksi (menarik) dipol yang
berlawanan di sekitar molekul tesebut. Dipol sementara ini berubah secara
konstan, tetapi hasil total keberadaan dipol sementara ini adalah untuk
menimbulkan gaya tarik antara molekul‐molekul non‐polar. Ada dua faktor
penting yang menentukan besarnya gaya dispersi:
Kebolehpolaran relatif elektron‐elektron dalam atom yang terlibat saat
interaksi. Elektron pada atom berukuran besar seperti iod terikat lebih
lemah dan lebih mudah terpolarisasi, sedangkan elektron pada atom
berukuran kecil seperti fluor terikat lebih kuat dan kurang terpolarisasi.
Gambar 28 Gaya dispersi London antar senyawa organik yang diakibatkan pleh
kebolehpolaran relatif elektron‐elektron dalam atom (Sumber: Solomon dan
Fryhle, 2011)
ByDW‐KimiaITB‐2015 47
Gambar 29 Gaya dispersi London antar senyawa organik yang diakibatkan pleh luas
permukaan relatif molekul‐molekul yang terlibat (Sumber: Solomon dan
Fryhle, 2011)
Beberapa konsekuensi adanya interaksi antarmolekul menyebabkan adanya sifat
fisik yang juga dipengaruhi oleh struktur molekul suatu senyawa, di antaranya
sebagai berikut:
Wujud zat: interaksi dari sekumpulan molekul yang sama (senyawa murni)
ditentukan oleh kedekatan molekul‐molekul (antarmolekul dan intermolekul):
Gas: berjauhan (hampir tidak ada interaksi fisik, jika tidak ada maka
dianggap ideal).
Cair: berdekatan (ada interaksi fisik).
Padat: sangat rapat (ada interaksi fisik sangat kuat).
Faktor‐faktor yang menentukan di antaranya adalah:
Interaksi dipol‐dipol: kuat.
ByDW‐KimiaITB‐2015 48
Gambar 30 Ikatan hidrogen antara metanol, CH3OH, dengan air
Beberapa istilah yang berhubungan dengan kelarutan suatu senyawa dalam air:
Hidrofob: artinya tidak dapat bercampur dengan air.
Hidrofil: artinya dapat bercampur dengan air.
ByDW‐KimiaITB‐2015 49
Gambar 31 Gugus hidrofob dan hidrofil dalam senyawa organik
Petunjuk kelarutan senyawa organik dalam air:
Seorang kimiawan di bidang kimia organik biasanya mendefinisikan suatu
senyawa organik larut dalam air apabila paling sedikit 3 g senyawa organik
dapat larut sempurna dalam 100 mL air.
Biasanya senyawa organik dengan satu hingga tiga atom karbon bersifat larut
dalam air; sedangkan senyawa dengan empat atau lima atom karbon berada
pada perbatasan antara larut dan tidak larut; dan senyawa dengan enam
atom karbon atau lebih bersifat tidak larut dalam air.
ByDW‐KimiaITB‐2015 50
Rangkuman kekuatan ikatan dan interaksi antarmolekul
Tabel 5 Rangkuman kekuatan ikatan dan interaksi antarmolekul (Sumber: Solomon
dan Fryhle, 2011)
ByDW‐KimiaITB‐2015 51
1. REAKSI UMUM DALAM SENYAWA ORGANIK
Reaksi kimia selalu diikuti oleh perubahan energi. Reaksi kimia selalu dikontrol oleh
dua hal penting yang berhubungan dengan energi, yaitu:
1. Termodinamika kimia: yaitu perubahan energi yang menyertai reaksi kimia,
berhubungan juga dengan penyempurnaan reaksi menuju kesetimbangan,
pergeseran reaksi kimia dari pereaksi ke produk atau sebaliknya, maupun energi
pendorong terjadinya reaksi.
2. Kinetika kimia: yaitu seberapa cepat suatu keadaan kesetimbangan dari suatu
reaksi kimia tercapai, yang berhubungan juga dengan seberapa cepat peraksi
berkurang hingga akhirnya habis dan seberapa cepat produk mulai terbentuk.
Terdapat dua tipe energi fundamental dalam reaksi kimia, yaitu energi kinetik dan
energi potensial.
Energi kinetik adalah energi yang dimiliki suatu benda yang disebabkan oleh
gerakannya; besarnya energi kinetik setara dengan setengah kali massa
benda dikalikan dengan kuadrat kecepatannya.
Energi kinetik = ½m2 (2)
Energi potensial adalah energi yang tersimpan dalam suatu benda. Energi ini
ada hanya ketika suatu gaya tarik atau gaya tolak terjadi di antara benda‐
benda. Energi kimia adalah salah satu bentuk dari energi potensial. Semakin
besar energi potensial suatu benda, semakin kurang stabil benda tersebut.
Dalam kasus atom‐atom yang terikat secara ikatan kovalen keadaan dengan
energi potensial terendah terjadi ketika atom‐atom berada pada jarak
antarinti atom yang paling ideal (panjang ikatan). Perpanjangan maupun
perpendekan jarak antarikatan meningkatkan energi potensial sehingga
menjadi kurang stabil.
Atom dan molekul memiliki energi potensial yang disebut energi kimia yang
dapat dilepaskan sebagai kalor ketika bereaksi. Karena kalor berhubungan
ByDW‐KimiaITB‐2015 52
aA + bB ⇌ eE + fF
tetapan kesetimbangan dinyatakan sebagai:
ByDW‐KimiaITB‐2015 53
ByDW‐KimiaITB‐2015 54
harus berjalan menuju keadaan kesetimbangan. Pada gambar (B), aluran G0
bernilai positif, artinya reaksi yang menuju penguraian kembali produk menjadi
pereaksi secara termodinamika berlangsung spontan. Pada kasus ini nilai K < 1,
artinya pada campuran kesetimbangan terdapat lebih banyak pereaksi daripada
produk.
Kenaikan Energi Bebas, G
Q<K Q>K
Q>K Q<K
Q=K Q=K
A B
kesetimbangan reaksi kimia (Sumber: Jespersen, Brady dan Hyslop, 2012)
Selain energi bebas Gibbs, Go, besaran termodinamika lain yang penting dalam
reaksi kimia adalah entapi, Ho, dan entropi, So. Entalpi adalah besaran reaksi yang
menunjukkan apakah reaksi dilepaskan atau dibutuhkan selama terjadinya reaksi.
Nilai perubahan entalpi negatif menunjukkan reaksi eksoterm (melepaskan energi)
dan biasanya terjadi pada proses pembentukan ikatan maupun interaksi
antarmolekul. Perubahan nilai entalpi yang positif menunjukkan reaksi endoterm
(membutuhkan energi) dan biasanya terjadi pada proses pemutusan ikatan maupun
interaksi antarmolekul. Nilai perubahan entalpi H° yang bernilai negatif
berkontribusi terhadap pembentukan nilai energi bebas Gibbs, G°, yang juga
ByDW‐KimiaITB‐2015 55
negatif, sehingga konsekuensinya mengarahkan reaksi ke arah pembentukan produk.
Entropi adalah besaran termodinamika yang menunjukkan kteratur atau tidaknya
suatu sistem. Semakin acak suatu sistem maka semakin besar nilai perubahan
entropi S°. Perubahan nilai entropi yang positif (perubahan sistem dari teratur
menjadi acak) memberikan kontribusi negatif terhadap nilai G° sehingga secara
energetika menjadi disukai untuk mengarahkan reaksi menuju pembentukan produk.
Hal penting lainnya yang berhubungan dengan reaksi kimia adalah kinetika kimia.
Kinetika kimia adalah ilmu yang mempelajari laju reaksi, atau seberapa cepat proses
reaksi berlangsung dalam waktu tertentu. Kinetika kimia menjelaskan hubungan
antara perubahan konsentrasi reaktan (atau produk) sebagai fungsi waktu.
Untuk reaksi: 2A + B 3C + 4 D
berlaku: ‐ 1/2d[A]/dt = ‐ d[B]/dt = +1/3 d[C]/dt = +1/4 d[D]/dt, dimana tanda negatif
(‐) menunjukkan pengurangan jumlah, sedangkan tanda positif (+) menunjukkan
peningkatan jumlah.
Secara umum untuk reaksi: eE + fF gG + hH, berlaku laju reaksi:
1 d E 1 d F 1 d G 1 d H
r (5)
e dt f dt g dt h dt
Laju reaksi kimia ditentukan oleh beberapa faktor berikut.
1. Energi penghalang. Semua reaksi kimia memiliki energi halangan, yang disebut
energi pengaktifan, Ea. ditentukan oleh struktur keadaan transisi. Jika struktur
keadaan transisi lebih menyerupai struktur produk, maka energi penghalang
semakin kecil dan laju ke arah pembentukan produk semakin cepat. Begitu pula
sebaliknya. Besarnya penghalang sangaSemakin besar nilai Ea, semakin lambat
laju reaksi. Secara kuantitatif besarnya energi penghalang dapat ditentukan
dengan persamaan Arrhenius berikut:
Ea
k Ae RT
(6)
dengan k adalah tetapan laju reaksi, A adalah tetapan Arrhenius, Ea adalah energi
pengaktifan; R tetapan gas = 8,314 J K‐1; dan T adalah suhu dalam satuan kelvin
(K).
ByDW‐KimiaITB‐2015 56
Gambar 33 Diagram energi terhadap koordinat reaksi dan hubungannya dengan
kinetika reaksi kimia (Sumber: Volhard dan Schore, 1999)
2. Konsentrasi. Molekul‐molekul harus saling bertumbukan untuk bereaksi.
Semakin banyak molekul yang terlibat, kemungkinan terjadi tumbukan makin
besar, reaksi terjadi lebih cepat: laju ~ frekuensi tumbukan ~ konsentrasi.
3. Wujud fisik: molekul‐molekul harus bercampur agar bereaksi. Frekuensi
tumbukan antarmolekul bergantung pada wujud fisik reaktan. Semakin besar
luas permukaan per satuan volume reaktan, semakin banyak kontak yang terjadi,
reaksi akan makin cepat.
4. Temperatur atau Suhu: molekul‐molekul harus bertumbukan dengan energi yang
cukup agar bereaksi. Semakin tinggi temperatur, akan lebih banyak tumbukan
yang terjadi per satuan waktu karena meningkatkan energi tumbukan: laju ~
energi tumbukan ~ temperatur.
5. Faktor „probabilitas“, yaitu seberapa mungkin tumbukan antarmolekul terjadi
yang mengarah ke arah terjadinya reaksi. Hal ini sangat bergantung kepada
beberapa faktor, di antaranya faktor sterik (meruah/besar atau tidaknya struktur
molekul) dan faktor elektronik (ada tidaknya interaksi elektrostatik ataupun
induksi elektronik antarmolekul yang saling bereaksi).
ByDW‐KimiaITB‐2015 57
ByDW‐KimiaITB‐2015 58
disebut tahap penentu laju. Tahap penentu laju adalah tahap yang paling lambat
atau yang memiliki energi penghalang atau energi pengaktifan terbesar.
Dalam kimia organik terdapat 3 kelompok utama tipe reaksi yang dapat terjadi pada
senyawa‐senyawa organik, yaitu:
1. Reaksi radikal bebas.
2. Reaksi asam‐basa.
3. Reaksi redoks.
Ketiga tipe reaksi utama didasarkan pada proses pembentukan dan pemutusan
ikatan yang terjadi, yaitu:
1. Proses homolitik (homo = sama; litik = pemutusan), yaitu pemutusan atau
pembentukan ikatan yang melibatkan radikal (elektron tunggal) dari masing‐
masing atom yang berikatan. Dalam penulisan reaksi pemutusan maupun
pembentukan ikatan secara homolitik proses perpindahan elektron tinggal
(radikal) dilambangkan menggunakan tanda panah separuh ( ). Proses ini
biasanya memerlukan energi yang sangat tinggi, seperti adanya foton
(cahaya, sinar UV) maupun suhu yang sangat tinggi (pirolisis). Contoh:
2. Proses heterolitik (hetero = berbeda; litik = pemutusan), yaitu pemutusan
atu pembentukan ikatan yang melibatkan perpindahan sepasang elektron
dari satu spesi ke spesi lain yang terlibat dalam ikatan. Dalam penulisan
reaksi pemutusan maupun pembentukan ikatan secara heterolitik proses
perpindahan sepasang elektron dilambangkan menggunakan tanda panah
penuh ( )Contoh:
ByDW‐KimiaITB‐2015 59
Reaksi radikal bebas melibatkan proses pembentukan dan pemutusan ikatan secara
homolitik. Reaksi asam‐basa melibatkan proses pembentukan dan pemutusan ikatan
secara heterolitik. Reaksi redoks bisa melibatkan proses pembentukan dan
pemutusan ikatan secara homolitik maupun heterolitik.
Hampir semua reaksi senyawa organik termasuk ke dalam salah satu dari keempat
kategori reaksi berikut:
o Substitusi: reaksi khas yang terjadi pada senyawa‐senyawa berikatan jenuh
seperti alkana dan alkil halida, dan juga senyawa aromatik (walaupun
kelompok senyawa ini ikatannya tak jenuh). Dalam reaksi substitusi, suatu
gugus menggantikan gugus lainnya. Contoh:
H3C Br + NaOMe H3C OMe + NaBr
MeOH
H + Br Br Br + HBr
h
H CH3
+ CH3Cl + HCl
AlCl3
ByDW‐KimiaITB‐2015 60
o Adisi: reaksi khas yang terjadi pada senyawa berikatan rangkap atau tak
jenuh. Dalam reaksi adisi, semua bagian dari pereaksi yang ditambahkan
akan muncul pada molekul produk; dua molekul menjadi satu. Contoh:
o Eliminasi: dalam reaksi eliminasi, satu molekul kehilangan unsur‐unsur atau
gugus yang merupakan molekul kecil. Reaksi eliminasi merupakan salah satu
cara untuk menghasilkan senyawa‐senyawa yang memiliki ikatan rangkap dua
dan tiga. Contoh:
o Penataan ulang: dalam reaksi penataan ulang, suatu molekul mengalami
penyusunan ulang bagian‐bagian atau gugus‐gugus penyusunnya
menghasilkan molekul yang berbeda. Contoh:
Keempat kategori tersebut termasuk ke dalam bagian dari tiga tipe reaksi utama
yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu: reaksi radikal, reaksi asam‐basa dan reaksi
redoks.
ByDW‐KimiaITB‐2015 61
2. KONSEP ASAM – BASA
Banyak reaksi yang terjadi dalam kimia organik adalah reaksi asam‐basa antar
sesama senyawa yang saling bereaksi maupun terlibat dalam suatu reaksi asam‐basa
pada beberapa tahap tertentu. Dua konsep asam‐basa yang menjadi dasar dalam
kimia organik adalah:
o Konsep asam‐basa Brønsted–Lowry
Konsep asam Brønsted–Lowry melibatkan transfer proton dari satu spesi ke
spesi lain. Asam Brønsted–Lowry adalah suatu zat yang dapat mendonorkan
(atau kehilangan) proton. Basa Brønsted–Lowry adalah zat yang dapat
menerima (akseptor) proton. Pada konsep ini dikenal konsep pasangan
asam‐basa konjugasi, yaitu spesi yang asalnya bersifat asam akan
menghasilkan produk yang bersifat basa setelah mendonorkan protonnya ke
spesi lain; sebaliknya, spesi yang asalnya bersifat basa akan menghasilkan
produk yang bersifat asam setelah menerima proton dari spesi lain. Contoh:
Basa Asam konjugat
(akseptor H+) dari H2O
H O + H Cl H O H + Cl
H H
Sifat asam dan basa dalam air menurut konsep Brønsted–Lowry adalah
sebagai berikut:
Ion hidronium (H3O+) adalah asam paling kuat yang bisa ditemukan dalam
air hingga besaran tertentu. Asam apapun yang lebih kuat daripada air
akan langsung mentransfer protonnya kepada air untuk membentuk ion
hidronium.
Ion hidroksida (HO) adalah basa paling kuat yang bisa ditemukan dalam
air hingga besaran tertentu. Basa apapun yang lebih kuat daripada air
akan langsung menarik proton dari air untuk menghasilkan ion hidroksida.
ByDW‐KimiaITB‐2015 62
Contoh:
o Konsep asam‐basa Lewis
Konsep asam‐basa Lewis melibatkan transfer sepasang elektron dari satu
spesi ke spesi lain. Asam Lewis adalah akseptor sepasang elektron. Basa
Lewis adalah donor sepasang elektron. Contoh:
Dalam konsep asam‐basa Lewis, gaya tarik antara spesi yang bermuatan
berlawanan merupakan dasar dari kereaktifan reaksi tersebut.
ByDW‐KimiaITB‐2015 63
Untuk setiap asam lemah yang larut dalam air:
Maka ungkapan tetapan kesetimbangan disosiasi asam adalah:
H+ A
Ka =
HA (8)
dengan Ka adalah tetapan kesetimbangan disosiasi asam. Asam yang memiliki nilai
Ka besar merupakan asam kuat dan asam yang memiliki nilai Ka kecil termasuk asam
lemah. Parameter yang sering digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan asam‐
basa adalah nilai pKa yang merupakan:
O H H H
O
Asam HCl Ph S OH H3C O H O HNO3
O H H
O
O
Basa
Cl Ph S O CH3OH H2O NO3
Konjugat
O
ByDW‐KimiaITB‐2015 64
OH O
Asam HC H H H
OH H
p 16 18 19,2 25 35
O O
Basa O HC C H
Konjugat
Gambar 35 Skema kekuatan asam‐basa beberapa senyawa organik dan senyawa
anorganik (bagian II) (Sumber: Solomon dan Fryhle, 2011)
ByDW‐KimiaITB‐2015 65
o Keasaman. Semakin stabil basa konjugat A, maka semakin disukai bergesernya
kesetimbangan ke arah produk, sehingga makin banyak H+ dalam larutan,
sehingga semakin kuat H‐A sebagai asam. Semakin stabil basa konjugat A,
semakin bersifat lemah basa tersebut, sehingga sifat asam dari basa konjugat
tersebut semakin kuat. Dengan demikian, harus dicari faktor penstabil basa
konyugat A untuk menentukan keasaman. Beberapa faktor yang
mempengaruhi kestabilan basa konjugat A, yaitu:
Keelektronegatifan. Dalam satu perioda di dalam tabel periodik, semakin
elektronegatif atom dalam suatu spesi anion basa konyugat, maka semakin
mudah menerima muatan negatif, sehingga basa konjugat tersebut semakin
stabil. Dengan demikian asam dari basa konjugat tersebut akan semakin
asam. Contoh: urutan keasaman HF>H2O>NH3>CH4 karena kelektronegatifan
F>O>N>C, sehingga urutan kestabilan basa konjugat menjadi F> OH > NH2
> CH3.
Ukuran . Dalam satu golongan, semakin besar ukuran atom A, maka semakin
lemah ikatan H‐A, sehingga semakin mudah membentuk muatan negatif
(kerapatan elektron/muatan rendah) yang menghasilkan basa konjugat A
semakin stabil. Karena basa konjugat Asemakin stabil, maka basa konjugat
tersebut semakin lemah dan implikasinya sifat asam dari basa konjugat
tersebut semakin kuat. Contoh: urutan keasaman HI>HBr>HCl>HF; karena
ukuran atom I>Br>Cl>F sehingga kekuatan ikatan HI<HBr<HCl<HF dan
kestabilan I>Br>Cl>F.
Resonansi. Adanya resonansi dalam struktur basa konjugat A akan
menyebabkan kestabilan yang lebih baik. Semakin stabil basa konjugat oleh
adanya resonansi maka semakin lemah kebasaan dari basa konjugat tersebut
sehingga sifat asam dari basa konjugat tersebut semakin kuat. Contoh:
keasaman RCO2H (asam karboksilat) > ROH (alkohol) karena dalam ion
ByDW‐KimiaITB‐2015 66
ByDW‐KimiaITB‐2015 67
Secara umum, faktor yang mempengaruhi sifat keasaman dan kebasaan suatu zat
adalah sebagai berikut:
1. Keelektronegatifan. Semakin besar kelektronegatifan suatu atom, semakin
mudah untuk membentuk suatu muatan negatif, sehingga dalam satu
perioda pada sistem periodik dari kiri ke kanan keasaman bertambah besar.
Tabel 6 Hubungan antara keelektronegatifan dengan keasaman senyawa dari
unsur‐unsur golongan 14, 15, 16 dan 17 pada period eke‐2 tabel periodik unsur
(Sumber: Solomon dan Fryhle, 2011)
Gambar 36 Skema kekuatan pasangan asam‐basa konjugasi senyawa organik dan
senyawa anorganik (Sumber: Solomon dan Fryhle, 2011)
2. Ukuran atom. Ukuran atom berhubungan erat dengan kekuatan ikatan
kovalen yang terbentuk. Semakin besar ukuran suatu atom, semakin besar
jarak antaratom, semakin lemah ikatan yang terbentuk. Dalam kasus asam H‐
X, semakin besar ukuran atom X, semakin panjang ikatan, semakin lemah
ikatannya, semakin mudah melepaskan H+, maka semakin asam.
ByDW‐KimiaITB‐2015 68
Gambar 37 Hubungan antara kekuatan asam halida dengan panjang ikatannya
(Sumber: Solomon dan Fryhle, 2011)
Gambar 38 Hubungan antara kekuatan asam dengan keelektronegatifan dan ukuran
atom (kekuatan ikatan) (Sumber: Solomon dan Fryhle, 2011)
3. Resonansi. Semakin banyak suatu struktur mengalami resonansi, maka
semakin stabil struktur tersebut sehingga untuk suatu basa konjugat yang
memiliki kestabilan resonansi seperti itu akan mengarah pada sifat asam yang
lebih kuat bagi asam konjugatnya. Efek resonansi terjadi jika dalam struktur
senyawa terdapat ikatan yang berselang‐seling dengan ikatan .
ByDW‐KimiaITB‐2015 69
R OH 18 R CH3 45 R NH2 28
OH 10 CH3 30 NH2 25
O O O
R C OH 5 CH3O C CH3 25 R C NH2 15
O
R C CH3 20
O
R C CH2 9
C O
R
Contoh: berikut adalah resonansi ion fenolat (C6H5O ) yang menunjukkan
struktur resonansi lebih banyak daripada ion asetat (CH3COO ), namun hibrida
resonansinya tidak ekivalen satu sama lain dan kontributor utamanya adalah
hibrida resonansi ion fenolat dengan muatan formal negatif terletak pada atom
O yang lebih elektronegatif. Sedangkan struktur resonansi pada ion asetat
sama/ekivalen satu sama lain, sehingga keduanya memiliki kontribusi sama
terhadap resonansi ion asetat yang menjadikannya menjadi ion yang stabil.
Dengan demikian, fenol merupakan asam yang lebih lemah daripada asam
asetat.
ByDW‐KimiaITB‐2015 70
O O O
_
_
_
O O
O
CH3 C
O
-H+ O_
CH3 C O H basa
Asam asetat
_
O
CH3 C
O
Ion asetat
Gambar 39 Perbandingan antara struktur resonansi ion fenolat (C6H5O) dan ion
asetat (CH3COO) (Sumber: Solomon dan Fryhle, 2011)
4. Hibridisasi. Semakin besar karakter orbital s yang dimiliki suatu spesi anion
basa konjugat berarti elektron pada anion tersebut secara rata‐rata akan
memiliki energi yang lebih rendah sehingga anion tersebut menjadi lebih
stabil. Semakin stabil anion tersebut maka sifat basanya semakin lemah dan
implikasinya asam konjugat dari anion tersebut akan semakin kuat sifat
asamnya.
Gambar 40 Hubungan antara karakter orbital s pada senyawa hidrokarbon (Sumber:
Solomon dan Fryhle, 2011)
ByDW‐KimiaITB‐2015 71
Keasaman relatif hidrokarbon:
H H H H
H C C H C C H C C
> > H
H H H H
Kebasaan relatif karbanion:
5. Efek induktif. Efek induktif adalah efek elektronik yang ditransmisikan
melalui ikatan sigma (). Efek induktif suatu gugus fungsi dapat berupa
gugus pendonor elektron ataupun gugus penarik elektron. Efek induktif
semakin lemah dengan semakin jauhnya gugus fungsi penarik atau
pendorong elektron dari pusat reaktif (pusat asam atau basa), biasanya efek
tersebut dapat dirasakan tidak melebihi dari jarak 3 ikatan. Gugus penarik
elektron biasanya adalah gugus yang memiliki atom yang bersifat
elektronegatif yang menarik kerapatan elektron dari karbon yang terikat
pada atom tersebut, di antaranya: F, Cl, Br, N, O. Gugus pendorong elektron
adalah gugus yang terdiri atas gugus alkil ataupun gugus yang memiliki atom
yang kurang elektronegatif dibandingkan karbon sehingga gugus tersebut
cenderung mendonorkan kerapatan elektronnya kepada karbon yang terikat
pada gugus tersebut, di antaranya adalah: ‐R (alkil), ‐CH3 (metal), B, Si. Pada
contoh berikut dalam senyawa fluoroetana, atom F sebagai gugus penarik
elektron menyebabkan kerapatan elektron pada karbon nomor 1 menjadi
berkurang dan menyebabkan muatan parsial positif. Efek induksi F terhadap
karbon nomor 2 lebih lemah karena jaraknya lebih jauh.
Gambar 41 Efek induktif dalam seyawa fluoroetana
ByDW‐KimiaITB‐2015 72
Keelektronegatifan Substituen
ber tambah Nilai pKa ber tambah
Tabel 9 Hubungan antara jarak gugus penarik dan gugus pendorong elektron dari
pusat keasaman dengan kekuatan asam beberapa senyawa organik (Sumber:
Solomon dan Fryhle, 2011)
Nilai pKa
CH3
Kemungkinan disebabkan efek
pelarut
6. Efek pelarut. Pelarutan merupakan suatu tipe ikatan atau interaksi lemah
antara molekul pelarut dengan zat terlarut. Ketika suatu ion dalam fasa gas
terlarut maka energi akan dilepaskan, sehingga energi ion dalam keadaan
ByDW‐KimiaITB‐2015 73
terlarut lebih rendah daripada ketika pada fasa gas. Tanpa adanya pelarut
(yaitu pada fasa gas), sebagian besar asam bersifat jauh lebih lemah sifat
asamnya dibandingkan ketika berada dalam larutan. Dalam larutan, molekul‐
molekul pelarut mengelilingi ion‐ion, mengisolasinya dari interaksi dengan
ion lainnya, menstabilkan ion‐ion tersebut, dan membuat ion‐ion tersebut
jauh lebih mudah untuk dapat terpisah satu sama lain dibandingkan ketika
dalam fasa gas. Pelarutan setiap spesi akan menurunkan entropi pelarut
karena molekul‐molekul pelarut menjadi jauh lebih teratur seiring dengan
pelarut tersebut mengelilingi molekul zat terlarut. Contoh: molekul air
melarutkan baik asam yang tak‐terdisosiasi (CH3CO2H) maupun anionnya
(CH3CO2) melalui ikatan hidrogen dengan spesi‐spesi tersebut. Walaupun
demikian, ikatan hidrogen molekul air dengan CH3CO2 jauh lebih kuat
daripada ikatan hidrogen antara air dengan CH3CO2H karena molekul air lebih
tertarik oleh spesi bermuatan negatif.
Proses pelarutan juga dipengaruhi oleh ukuran zat terlarut. Semakin panjang
rantai karbon pada suatu spesi asam akan menyebabkan sifat asamnya
berkurang. Percabangan juga menyebabkan keasaman berkurang karena ada
efek halangan sterik (ukuran meruah) dari gugus yang bercabang sehingga
proses pelarutan semakin sukar karena interaksinya dengan molekul pelarut
(air) semakin lemah. Beberapa contoh dapat dilihat pada skema berikut.
ByDW‐KimiaITB‐2015 74
Gambar 41 Skema hubungan antara efek halangan sterik dengan kekuatan asam
dalam beberapa senyawa organik (Sumber: Solomon dan Fryhle, 2011)
7. Muatan. Suatu atom yang bermuatan sangat positif (+) pada pusat dan
adanya kemungkinan berlipat terjadinya proses pengikatan balik (back‐
bonding) dari resonansi akan menjadikan suatu spesi asam yang kuat. Contoh
kasus adalah pada senyawa asam okso halogen dan asam okso sulfur. Basa
terkuat biasanya bermuatan negatif. Basa yang lebih lemah biasanya
merupakan molekul netral dengan sepasang elektron bebas.
ByDW‐KimiaITB‐2015 75
Tabel 10 Hubungan antara efek induktif muatan dengan kekuatan asam
beberapa asam anorganik (Sumber: Solomon dan Fryhle, 2011)
ByDW‐KimiaITB‐2015 76
Tabel 11 Hubungan antara efek induktif muatan positif dengan kekuatan asam
beberapa asam anorganik dan organik (Sumber: Solomon dan Fryhle, 2011)
8. Efek sterik. Efek sterik berhubungan dengan meruah atau tidaknya struktur
spesi basa konjugat. Semakin meruah struktur molekul menyebabkan proses
destabilisasi basa konjugat sehingga menjadikannya bersifat basa yang lebih
kuat sehingga keasaman dari asam konjugatnya akan menjadi lebih lemah.
ByDW‐KimiaITB‐2015 77
Rangkuman faktor‐faktor yang mempengaruhi keasaman/kebasaan suatu senyawa
organik
ByDW‐KimiaITB‐2015 78
RANGKUMAN
EFEK UTAMA
Keelektronegatifan
Kelima efek ini
Ukuran
membuat
Hibr idisasi perubahan pKa
Resonansi yang besar
Atom ber muatan sangat (+)
Sifat asam‐basa senyawa organik sangat penting untuk dapat mempelajari sifat fisik
maupun sifat kimia lainnya. Misalnya untuk kelarutan senyawa organik asam
ByDW‐KimiaITB‐2015 79
maupun basa di dalam air dapat ditingkatkan dengan cara menambahkan asam atau
basa ke dalam larutan agar menjadi spesi garam yang lebih larut dalam air. Contoh,
senyawa kelompok asam karboksilat biasanya masih larut dalam air hingga panjang
atom karbon 5. Lebih dari 5, senyawa asam karboksilat menjadi tak larut dalam air.
Namun apabila ke dalam larutan asam karboksilat tersebut ditambahkan larutan
basa kuat, misalnya NaOH, maka asam tersebut menjadi larut. Begitu pula halnya
dengan senyawa organik, seperti kelompok amina, kelarutannya dalam air akan
bertambah dengan penambahan asam, misalnya HCl, sehingga menjadi garam
ammoniumnya yang larut dalam air.
Beberapa reaksi kimia organik tidak dapat dilakukan dalam air karena justru air akan
ikut bereaksi, padahal hal tersebut tidak diinginkan. Contohnya adalah reaksi antara
etuna dengan ion amida (NH2, yang berasal dari natrium amida, NaNH2) tidak dapat
bereaksi dalam pelarut air karena air adalah asam yang lebih kuat daripada etuna,
sehingga yang terjadi justru air yang akan bereaksi dengan ion amida, bukan etuna.
Agar reaksi antara etuna dan sodium amida dapat berlangsung, maka biasanya
digunakan pelarut seperti n‐heksana, dietil eter dan ammonia cair.
ByDW‐KimiaITB‐2015 80
A. DISTRIBUSI ELEKTRON DALAM MOLEKUL
Atom‐atom tertentu dalam molekul dapat dianggap sebagai atom yang relatif miskin
atau kaya elektron, yang kemudian didefinisikan sebagai nukleofil (pencari inti yang
bermuatan positif) yang miskin elektron atau elektrofil (pencari elektron yang
bermuatan negatif) yang kaya elektron. Berikut adalah beberapa hal penting yang
diperlukan untuk memahami distribusi elektron dalam molekul.
1. Unsur‐unsur yang berada pada bagian kanan dari unsur‐unsur golongan IV
(14) memiliki pasangan elektron ketika berada dalam bentuk molekul
netralnya. Unsur‐unsur tersebut mewakili pusat‐pusat yang kaya elektron
ByDW‐KimiaITB‐2015 81
dalam molekul netral. Sebaliknya, unsur‐unsur yang berada di bagian kiri
golongan IV (14) – kecuali hidogen – justru berada dalam keadaan miskin
elektron yang memiliki orbital p yang kosong ketika berada dalam keadaan
molekul netralnya, sehingga mewakili pusat‐pusat yang miskin elektron.
Contoh:
Keterangan: Hal = halogen (F, Cl, Br, I)
2. Jika konsep no (1) di atas merupakan satu‐satunya criteria kerapatan elektron
atau distribusi elektron, maka atom H dan C (atau Si) tidak bisa dikatakan
sebagai pusat yang kaya ataupun miskin elektron dalam molekul netralnya.
Namun distribusi elektron dari atom‐atom tersebut dapat ditentukan
berdasarkan ikatannya dengan atom lain yang kemudian menghasilkan
adanya polarisasi ikatan sehingga atom tersebut bisa dinyatakan sebagai
pusat yang kaya atau miskin elektron. Polarisasi ini dikenal sebagai efek
induksi yang dapat digambarkan sebagwai salah satu dari bentuk berikut:
Contoh:
Jika X lebih elektronegatif Jika X lebih elektropositif
daripada C atau H daripada C atau H
ByDW‐KimiaITB‐2015 82
3. Atom yang bermuatan oleh adanya ikatan kovalen koordinasi tidak bersifat
kaya ataupun miskin elektron, namun memiliki kemampuan untuk
menginduksi ataom yang terikat langsung dengannya sehingga terjadi
polarisasi. Contoh:
4. Atom‐atom yang bermuatan karena kehilangan atom yang sebelumnya
terikat dengannya dengan ataupun tanpa adanya pasangan elektron bebas
menjadikan atom tersebut menjadi kaya ataupun miskin elektron. Contoh:
Miskin elektron Kaya elektron
ByDW‐KimiaITB‐2015 83
6. Dalam sistem terkonjugasi (ikatan rangkap ( yang berselang‐seling dengan
ikatan tunggal (), kerapatan elektron yang berlebih ataupun kurang dapat
ditransfer ke posisi lainnya dalam system tersebut yang disebut dengan
delokalisasi elektron. Oleh karena itu molekul yang sebenarnya adalah
hibrida dari sejumlah struktur resonansi yang berkontribusi terhadap
kestabilan struktur molekul. Resultan dari proses polarisasi akibat
delokaslisasi elektron ini disebut efek resonansi. Catatan: harus diingat
bahwa efek resonansi itu diakibatkan oleh adanya transmisi elektron‐elektron
; sedangkan efek induksi diakibatkan oleh adanya transmisi elektron‐
elektron melalui ikatan Contoh efek resonansi yang disebabkan oleh
delokalisasi elektron pada system terkonjugasi.
7. Tanda panah lengkung menggambarkan pemutusan dan pembentukan
ikatan. Hampir semua ikatan dalam kimia organik merupakan ikatan dengan
tipe 2‐pusat; 2‐elektron, yaitu ikatan antara dua atom dikarenakan ada
sepasang elektron di antara keduanya. Dengan demikian, pembentukan
iaktan harus digambarkan sebagai suatu tanda panah yang ujungnya berakhir
di ruang di antara kedua arom tempat elektron‐elektron antara kedua atom
tersebut berikatan. Tidak semua pasangan elektron terlibat dalam ikatan.
Pasangan elektron non‐bonding ini berhubungan dengan atom‐atom tertentu
(lihat no (1)) yang bisa digunakan untuk membentuk ikatan baru. Sebaliknya,
elektron non‐bonding ini dapat terbentuk oleh adanya proses suatu
ByDW‐KimiaITB‐2015 84
pemutusan ikatan lama, sehingga tanda panah dapat juga berawal dan
berakhir pada suatu atom secara individual. Contoh penulisan tanda panah
lengkung:
8. Dalam sistem terkonjugasi seperti benzena, dimana pasangan elektron
mengalami delokalisasi pada lebih dari dua atom, maka pergerakan elekton
dalam sistem tersebut perlu digambarkan untuk dapat memahami
pergerakan elektron pada ikatan p yang terkonjugasi. Contoh, penggambaran
struktur benzena sebaiknya menunjukkan ikatan rangkapnya (a) agar arah
pergerakan elektron dapat terlihat, walaupun struktur benzena sebenarnya
adalah yang hibrida resonansinya (b).
9. Dalam reaksi radikal bebas, pemutusan dan pembentukan ikatan
ByDW‐KimiaITB‐2015 85
Proses homolitik:
11. Dalam menuliskan mekanisme reaksi kimia organik, perhatikan spesi mana
yang harus bermuatan positif dan mana yang bermuatan negatif. Untuk
menentukan spesi bermuatan positif atau negatif, hitung jumlah elektron di
sekitar atom pada suatu gugus yang mengalami pergerakan elektron,
termasuk pasangan elektron bebas, kemudian bandingkan dengan jumlah
elektron total pada atom tersebut jika dalam keadaan bebas. Kekurangan 1
elektron mengakibatkan spesi tersebut bermuatan +1, kekurangan 2 elektron
menjadikkannya bermuatan +2, dst. Sebaliknya kelebihan 1 elektron
menjadikan spesi tersebut bermuatan ‐1, kelebihan 2 elektron
menjadikannya bermuatan ‐2, dst. Berikut adalah beberapa contoh spesi
yang sering ditemukan dalam reaksi kimia organik:
Perhatikan bahwa dalam beberapa spesi pasangan elektron bebas tidak
dituliskan untuk penyederhanaan; namun perlu diingat bahwa keberadaan
pasangan elektron bebas tersebut tak boleh dilupakan. Perhatikan juga ada
perbedaan antara spesi +CR3, +NR3 dan +OR3. Spesi +CR3 (karbokation atau
karbenium) memiliki total 6 elektron pada atom karbon, sedangkan spesi
ByDW‐KimiaITB‐2015 86
+
NR3 dan +OR3 (ammonium dan oksonium) keduanya memiliki total 8 elektron
pada atom nitrogen dan oksigen. Sebagai konsekuensi aturan oktet Lewis,
maka spesi karbokation atau karbenium akan diserang oleh spesi yang
memiliki pasangan elektron bebas (serangan nukleofilik) agar memenuhi
kaidah oktet; sedangkan spesi ammonium dan oksonium tidak akan
mengalami serangan nukleofilik tersebut karena sudah memeuhi kaidah
oktet.
12. Konsekuensi lain aturan oktet untuk unsur‐unsur pada periode kedua pada
tabel periodik adalah bahwa setiap serangan nukleofilik terhadap atom‐atom
dalam molekul yang sudah memiliki 8 elektron haruslah menghasilkan proses
penggantian sepasanga elektron yang menjadi bagian dari atom lainnya, yaitu
proses pembentukan dan pemutusan ikatan, sebagaimana contoh berikut:
13. Ketika menuliskan mekanisme reaksi, maka harus diperhatikan adanya
kesetaraan muatan dalam setiap spesi, termasuk ion pasangannya, baik di
sebelah kiri maupun sebelah kanan persamaan reaksi. Contoh:
14. Pembentukan maupun pemutusan ikatan pada posisi tertentu lebih baik
digambarkan apabila pergerakan elektron berada pada posisi yang lebih
dekat dan memungkinkan kemudahan transfer elektron terjadi. Contoh:
ByDW‐KimiaITB‐2015 87
Intermolekul (antarmolekul):
Intramolekul (dalam molekul itu sendiri):
15. Seringkali perlu menggambarkan beberapa tahap dalam mekanisme reaksi
untuk molekul yang memiliki gugus fungsi lebih dari satu. Mekanisme mana
yang lebih disukai harus dibuktikan secara eksperimen kinetika kimia, karena
penggambaran mekanisme reaksi ini hanya bersifat kualitatif. Contoh:
16. Elektron terorganisir dan terdisitribusi dalam orbital yang menyatakan aspek
arah distribusi kerapatan elektron dalam ruang. Oleh karena itu, proses
redistribusi elektron selama reaksi berlangsung harus mempertimbangkan
posisi arah distribusi elektron dalam orbital, sehingga faktor stereoelektronik
ByDW‐KimiaITB‐2015 88
a. Reaksi irreversibel:
b. Reaksi reversible atau kesetimbangan:
c. Resonansi:
ByDW‐KimiaITB‐2015 89
B. HETEROLISIS IKATAN PADA KARBON: KARBOKATION DAN KARBOANION
(KARBANION)
Pembentukan spesi karbokation (karbon bermuatan positif) dan karboanion (karbon
bermuatan negatif) adalah peristiwa yang lazim dalam reaksi kimia organik. Berikut
adalah proses pembentukannya.
Karbokation adalah spesi yang kekurangan elektron karena hanya memiliki enam
elektron dalam kulit valensinya, sehingga karbokation merupakan suatu asam Lewis.
Karboanion merupakan spesi yang memiliki sepasang elektron bebas sehingga
memiliki kemampuan untuk dapat mendonorkan pasangan elektron tersebut kepada
spesi lain, sehingga karboanion merupakan suatu basa Lewis.
C + B C B
Karbokation anion
(asam Lewis) (basa Lewis)
C + O H C O H
H H
Karbokation air
(asam Lewis) (basa Lewis)
C + E C E
Karboanion kation
(basa Lewis) (asam Lewis)
ByDW‐KimiaITB‐2015 90
C. ELEKTROFIL DAN NUKLEOFIL
Atom karbon yang miskin elektron akibat kepolaran ikatan yang bukan suatu
karbokation juga merupakan elektrofil. Contoh:
Karbanion adalah suatu basa Lewis, oleh karena itu merupakan spesi yang
mencari pusat positif untuk dapat diberikan pasangan elektron yang
dimilikinya kepada inti positif tersebut, sehingga disebut nukleofil (nukleo =
inti yang bermuatan positif; fil =suka)
Suatu nukleofil adalah suatu basa Lewis yang mencari suatu pusat bermuatan
positif, misalnya atom karbon bermuatan positif (karbokation), untuk dapat
diberikan pasangan elektron yang dimilikinya kepada pusat bermuatan positif
tersebut.
ByDW‐KimiaITB‐2015 91
C + Nu C Nu
elektrofil nukleofil
b. Reaksi antara basa dengan suatu proton (asam Brønsted–Lowry):
ByDW‐KimiaITB‐2015 92
- Ikatan C‐O (atau ikatan atom C dengan atom lain yang lebih elektronegatif)
menjadi lebih banyak
- Ikatan C‐H menjadi lebih sedikit
- Kehilangan elektron
- Bilangan oksidasi naik
B. DEFINISI REAKSI REDUKSI
- Ikatan C‐O (atau ikatan atom C dengan atom lain yang lebih elektronegatif)
menjadi lebih sedikit
- Ikatan C‐H menjadi lebih banyak
- Mendapatkan elektron
- Bilangan oksidasi turun
- Jika atom C terikat pada atom C (C‐C) maka bilangan oksidasi C = 0; jika C=C
maka bilangan oksidasi C = 2 x 0 = 0; jika C≡C maka bilangan oksidasi C = 3 x 0
= 0.
- Jika atom C terikat pada atom X (C‐X, dengan X = atom yang lebih
elektronegatif daripada C) maka bilangan oksidasi X = ‐1; jika C=X maka
bilangan oksidasi X = 2 x ‐1 = ‐2; jika C≡X maka bilangan oksidasi X = 3 x ‐1 = ‐
3.
- Jika atom C terikat pada atom H (C‐H) maka bilangan oksidasi H = +1.
- Bilangan oksidasi total = jumlah semua bilangan oksidasi semua atom yang
terikat pada atom C dan berilah tanda + atau –.
ByDW‐KimiaITB‐2015 93
H OH O O O
H C H H C H C C C
H H H H H OH O
Contoh:
Latihan
1. Tentukan bilangan oksidasi untuk karbon dalam tiap molekul berikut:
ByDW‐KimiaITB‐2015 94
H O H
2 1
H C N H C C O H H C Cl
Br OH
Jawab:
H O H
2 1
H C N H C C O H H C Cl
Br OH
2. Tentukanlah apakah reaksi berikut oksidasi, reduksi, atau bukan keduanya.
Br Br
H2 C CH2 + Br2 H2C CH2
H H
H2C CH2 + H2O H C C H
H OH
Jawab:
Br Br
H2C CH2 + Br2 H2C CH2
H H
H2C CH2 + H2O H C C H
H OH
ByDW‐KimiaITB‐2015 95
5. PENGELOMPOKAN SENYAWA ORGANIK BERDASARKAN GUGUS FUNGSI
ByDW‐KimiaITB‐2015 96
O C O
K = Karboksilat dan turunannya O
(asam karboksilat, ester,
anhidrida asam) serta R = ‐H, alkil, aril
C R' = ‐H, alkil, aril, alkoksida
karbondioksida
R OR'
O
A = Amida
C R = ‐H, alkil, aril
R NR'2 R' = ‐H, alkil, aril
O
Kereaktifan bertambah;
C R' = ‐H, alkil, aril
R R'
R = ‐H, alkil, aril
H = Hidroksialkana (alkohol), fenol, eter R OR' R' = ‐H, alkil, aril
A = Amina R NR2 R = ‐H, alkil, aril
R' = ‐H, alkil, aril
ByDW‐KimiaITB‐2015 97
Referensi
Clayden, J., Greeves, N., Warren, S., dan Wothers, P., 2001. Organic Chemistry,
Oxford University Press, Oxford, UK.
Hart, H., Craune, L.E., dan Hart, D.J., 2003. Kimia Organik: Suatu Kuliah Singkat,
Edisi ke‐11, penerjemah: SS Achmad, Penerbit Erlangga, Jakarta, Indonesia.
Jespersen, N.D., Brady, J.E., dan Hyslop, A., 2012. Chemistry: The Molecular Nature
of Matters, 6th Edition, John Wiley and Sons, New York, USA.
Klein, D., 2011. Organic Chemistry, John Wiley and Sons (Asia), Wiley International
Student version
Levy, D.E., 2008. Arrow Pushing in Organic Chemistry: An Easy Approach to
Understanding Reaction Mechanisms., John Wiley and Sons, New Jersey,
USA.
Solomon, T.W.G., Fryhle, C.B., dan Snyder, S., 2014. Organic Chemistry, 12th
edition, John Wiley and Sons (Asia), Wiley International Student version
Volhardt, K.P.C., dan Schore, N., 1999. Organic Chemistry: Structure and Function,
3rd Edition, W.H. Freeman and Company, New York, USA.
ByDW‐KimiaITB‐2015 98