Anda di halaman 1dari 20

Referat

BABY BLUES SYNDROME

Oleh
Radhiyatul Husna 04054821820104
Karina Dinsyafuri Siregar 04084821921018
Arisda Oktalia 04084821921040

Pembimbing
dr. Bintang Arroyantri, Sp.KJ

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA


RUMAH SAKIT ERNALDI BAHAR PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Telaah Ilmiah

Baby Blues Syndrome

Oleh:
Radhiyatul Husna 04054821820104
Karina Dinsyafuri Siregar 04084821921018
Arisda Oktalia 04084821921040

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 11 Maret s.d 15 April 2019.

Palembang, Maret 2019

dr. Bintang Arroyantri, Sp.KJ

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan YME karena atas rahmat dan
berkat-Nya Telaah Ilmiah yang berjudul “Baby Blues Syndrome” ini dapat
diselesaikan tepat waktu. Telaah Ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat
ujian kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Rumah Sakit Ernaldi
Bahar Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Bintang Arroyantri,
Sp.KJ atas bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan
telaah Ilmiah ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis
harapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Penulis

iii
DAFTAR ISI

JUDUL ......................................................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................... ii
KATA PENGANTAR............................................................................................... iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. iv
BAB I ........................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1
BAB II ......................................................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 2
2.1 Baby Blues Syndrome ..................................................................................... 2
2.1.1 Definisi ...................................................................................................... 2
2.1.2 Epidemiologi ............................................................................................ 2
2.1.3 Etiologi ...................................................................................................... 3
2.1.4 Faktor Resiko ........................................................................................... 5
2.1.5 Gambaran Klinis ..................................................................................... 7
2.1.6 Diagnosis ................................................................................................... 8
2.1.7 Diagnosis Banding ................................................................................. 10
2.1.8 Tatalaksana ............................................................................................ 11
2.1.9 Prognosis ................................................................................................ 13
BAB III...................................................................................................................... 14
KESIMPULAN ........................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 15

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Baby Blues merupakan depresi ringan yang terjadi pada ibu-ibu dalam masa
beberapa jam sampai beberapa hari setelah melahirkan, kemudian akan hilang dengan
sendirinya jika diberikan pelayanan psikologis yang baik.1 Sindroma ini berupa
gangguan afek (emosi) ringan yang ditandai dengan gejala seperti reaksi depresi,
menangis, mudah tersinggung (irritabilitas), cemas, perasaan yang labil, cenderung
menyalahkan diri sendiri, gangguan tidur dan gangguan nafsu makan dan pada
umumnya akan menghilang setelah beberapa hari, minggu, atau bulan kemudian,
bahkan dapat berkembang menjadi keadaan yang lebih berat. 2
Sekitar 70% dari semua ibu yang melahirkan pernah mengalmani Baby Blues.1
Hal ini pada umumnya disebabkan oleh beberapa faktor fisiologis, hormonal, maupun
psikologis ibu. Sekitar 10 – 20 % dari ibu yang mengalami baby blues berlanjut
menjadi depresi postpartum.1 Pada sebuah penelitian oleh Thurgood, Avery, dan
Williamson tahun 2009 menunjukkan bahwa 75% ibu yang mengalami stress pasca
melahirkan berada pada rentang usia 32 – 45 tahun.3
Penderita baby blues menunjukkan angka yang tidak sedikit, penegakkan
diagnosis dengan cepat dan pengawasan klinis yang tepat tentunya penting dalam
tindakan dan tatalaksana efektif baby blues syndrome agar tidak berkembang lebih
lanjut menjadi depresi postpartum. 11 Pada penelitian oleh Benedict, Augustinus, dan
Seyi tahun 2015 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
kondisi depresi maternal dengan tingginya tingkat morbiditas dan mortalitas dari bayi.
20
Tatalaksana baby blues cukup dengan edukasi kepada ibu dan keluarga tanpa ada
tindakan farmakologis, bila dilakukan dengan baik dapat mencegah kondisi baby blues
berlanjut menjadi depresi postpartum yang membahayakan keselamatan ibu dan
bayi.11 Hal ini menuntut kita untuk mengetahui lebih lanjut serta mengevaluasi dengan
tepat gangguan afek depresi paska ibu melahirkan. Referat ini disusun dengan tujuan
untuk menambah pengetahuan penulis mengenai baby blues syndrome sehingga dapat
mengetahui dan segera menatalaksana apabila menemukan kasus tersebut.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Baby Blues Syndrome


2.1.1 Definisi
Baby Blues adalah depresi ringan yang terjadi pada ibu-ibu dalam masa
beberapa jam setelah melahirkan, sampai beberapa hari setelah melahirkan, dan
kemudian dia akan hilang dengan sendirinya jika diberikan pelayanan psikologis
yang baik.1
Saryono dan Pramana (2010) menyatakan bahwa baby blues syndrome atau
maternity blues atau postpartum blues diartikan sebagai suatu sindroma gangguan
afek (emosi) ringan yang sering tampak dalam minggu pertama setelah persalinan
dan ditandai dengan gejala-gejala seperti reaksi depresi, menangis, mudah
tersinggung (irritabilitas), cemas, perasaan yang labil, cenderung menyalahkan diri
sendiri, gangguan tidur dan gangguan nafsu makan. Gejala-gejala ini muncul
setelah persalinan dan pada umunmya akan menghilang dalam waktu antara
beberapa jam sampai beberapa hari. Namun pada beberapa kasus gejala-gejala
tersebut terus bertahan dan baru menghilang setelah beberapa hari, minggu atau
bulan kemudian, bahkan dapat berkembang menjadi keadaan yang lebih berat.2,14
Adapun, posnatal depression adalah merupakan suatu masa terganggunya
fungsi psikologis ibu setelah melahirkan, yang berkaitan dengan alam perasaan
sedih yang berlebihan, dan diikuti dengan gejala penyertanya, termasuk perubahan
pada pola tidur, dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus
asa, tak berdaya, serta adanya gagasan ingin bunuh diri.1,15 Baby blues dapat
berlanjut menjadi postnatal depression apabila gejala-gejala yang ada menetap
hingga lebih dari 2 minggu.4

2.1.2 Epidemiologi
Dari beberapa hasil penelitian ditemukan kasus ibu yang mendapat Baby
Blues dan Postnatal Depression cukup tinggi, yaitu1:

2
1. Satu dari dua ibu yang melahirkan (50%) pernah mengalami Baby Blues, dan
sekitar 10% akan berlanjut menjadi Postnatal Depression.
2. Sekitar 70% dari semua ibu yang melahirkan pernah mengalami Baby Blues, dan
sekitar 10%- 20% dari ibu-ibu yang baru melahirkan mengalami Postpartum
Depression.
3. Sekitar 10%-22% ibu-ibu yang baru pertama melahirkan menderita Postpartum
Psychosis.
4. Satu dari dua ibu yang melahirkan, dalam beberapa menit atau beberapa jam
pertama setelah melahirkan, merasa bahagia, kemudian secara tiba-tiba tanpa
sebab yang jelas dia menangis seharian tanpa bisa dihentikan.
Adapun berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Thurgood, Avery, dan
Williamson pada tahun 2009 di Kanada, Jerman, Belanda, dan Irlandia dengan
subjek wanita rentang usia 32-45 tahun menunjukkan bahwa sekitar 75%
mengalami stress pasca melahirkan.3

2.1.3 Etiologi
Baby Blues disebabkan oleh banyak hal, diantaranya perubahan pada
fisiologis, hormonal, maupun psikologis.3
Pada saat bayi lahir, akan terjadi perubahan kadar hormon secara tiba-tiba
dalam tubuh ibu. Di mana kadar hormon itu ada yang turun dengan cepat, dan ada
pula yang naik dengan pesatnya. Perubahan kadar hormon-hormon dalam waktu
singkat dan tiba-tiba inilah salah satu pemicu timbulnya Baby Blues.1
Onset kesedihan diperkirakan terjadi bersamaan dengan perubahan hormonal
masa nifas dan perubahan psikologi yang lain. Terjadi penurunan kadar oestradiol
progesterone dan total triptofan dalam sirkulasi atau fluktuasi kadar prolaktin dapat
menyebabkan hal tersebut, sedangkan konsentrasi kortisol meningkat pada akhir
kehamilan dan meningkat lagi selama persalinan, lalu konsentrasinya berkurang
setelah melahirkan dan kemudian berangsur normal kembali pada bulan berikutnya.
Disimpulkan bahwa peranan hormone tersebut cukup besar selama masa post
partum. Sindroma depresi yang muncul tiba-tiba pada pasien yang ditandai oleh

3
defisiensi estradiol terjadi perbaikan setelah diberikan terapi dengan estradiol 17
beta. 17
Peningkatan progresif kadar CRH maternal selama kehamilan akibat sekresi
CRH intrauterine ke dalam sirkulasi maternal. Kadar tertinggi ditemukan selama
persalinan. Protein pengikat untuk CRH terdapat pada sirkulasi manusia dan
diproduksi di plasenta, fetal membrane, dan desidua. Plasental CRH dan maternal
CRH merangsang hipofisis anterior untuk meningkatkan ACTH, sehingga
merangsang sekresi maternal kortisol dari korteks adrenal. 18
Peningkatan glukokortikoid menginisiasi umpan balik negative pada aksis
HPA, menghambat pelepasan maternal CRH, namun kortisol yang dilepaskan oleh
korteks adrenal memiliki efek umpan balik positif dengan CRH plasenta, sehingga
merangsang sekresi hipofisis ACTH dan kortisol. 19
Wanita yang mengalami depresi selama hamil memproduksi kortisol yang
lebih tinggi dan kadar CRH yang lebih tinggi selama trimester ke dua. Konsentrasi
CRH yang bersirkulasi meningkat sejalan dengan berkembangnya kehamilan.
Setelah plasenta lahir, kadar CRH tersebut secara cepat menurun selama 24 jam
begitu juga dengan kortisol. Hal ini menyebabkan aktivasi otak untuk mensekresi
preptida CRH dan AVP (Arginine Vasopressin) oleh karena hilangnya umpan balik
negative dari system CRH-ACTH-kortisol pada hipotalamus yang kemudian
menyebabkan perubahan mood pada awal pasca persalinan. 19
Fungsi aksis HPA yang abnormal ditemukan pada depresi, dimana pada
depresi terjadi peningkatan aktivitas aksis HPA. Peningkatan aktivitas ini diatur
oleh hipersekresi CRH dan AVP (Arginine Vasopressin), sebagai akibat
terganggunya umpan balik negatif reseptor glukokortikoid dan atau
mineralokortikoid dalam hipotalamus. 19
Selama hamil, oestriol disintesis dalam plasenta dari dehidroepiandrosteron
sulfat (DHEAS) yang merupakan derivat dari kelenjar adrenal fetal.
Dehidroepiandrosteron sulfat adalah produk utama yang sekresinya dikontrol oleh
sekresi CRH plasental. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kadar oestriol
menurun secara signifikan pada postpartum blues, namun seperti diketahui oestriol
adalah oestrogen yang lemah. Penelitian ini menunjukkan bahwa penurunan

4
oestriol hanya berhubungan dengan tingkat perubahan emosional yang berat.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa terjadi penurunan konsentrasi progesteron
dari saat persalinan sampai dengan hari ke lima postpartum hal ini menunjukkan
terjadinya progesterone withdrawal. Penurunan curam dari kadar progesteron
berhubungan dengan tampilan gejala postpartum blues. Progesteron dan estrogen
memiliki efek pada produksi CRH, dimana estrogen berperan sebagai stimulator
dan progesterone berperan sebagai inhibitor. 19
Banyak ibu-ibu hamil tidak tahu, dan tidak mempersiapkan diri untuk
menghadapi kelelahan pada saat melahirkan. Rasa lelah yang berlebihan yang
dialami ibu pada saat melahirkan juga merupakan salah satu faktor penyebab
timbulnya Baby Blues. Dari beberapa kasus juga ditemui ada ibu-ibu ini sebetulnya
dia tidak suka atau tidak mau lagi untuk melahirkan.1
Dari banyak hasil pemeriksaan fisik memang banyak ditemui penyebab Baby
Blues ini adalah karena kelelahan, keletihan yang dialami ibu pada saat proses
persalinan.1
Selain itu juga ditemui penyebab Baby Blues ini adalah karena kecemasan,
kekhawatiran ibu untuk tidak siap, tidak bisa, tidak mau, dan lain-lain untuk
merawat bayinya sendiri.1

2.1.4 Faktor Resiko


Faktor Resiko dari baby blues antara lain: 14
a. Faktor biologis
Depresi postpartum merupakan akibat dari kadar hormon seperti estrogen,
progesteron, dan prolaktin yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dalam masa
nifas atau mungkin perubahan hormon tersebut terlalu lambat. Ketika berada
dalam masa kehamilan, kadar hormon estrogen dan progesteron wanita
meningkat drastis. Pada 24 jam pertama setelah bayi lahir, kadar hormonal
kembali normal secara cepat. Perubahan kadar hormonal yang besar dan cepat
ini dapat menyebabkan depresi. Perubahan kadar estrogen, progesteron,
prolaktin, dan estradiol yang terlalu rendah. Kadar estrogen turun secara
bermakna, setelah melahirkan ternyata estrogen memiliki efek supresi aktifitas

5
enzim nonadrenalin maupun serotin yang berperan dalam suasana hati dan
kejadian depresi.
b. Karakteristik ibu, yang meliputi :
1) Faktor umur dan paritas. Sebagian besar masyarakat percaya bahwa saat
yang tepat bagi seorang perempuan untuk melahirkan yaitu pada usia antara
20-30 tahun, dan hal itu mendukung masalah periode yang optimal bagi
perawatan bayi oleh ibunya. Faktor usia perempuan yang bersangkutan saat
kehamilan dan persalinan sering kali dihubungkan dengan kesiapan mental
perempuan tersebut untuk menjadi seorang ibu. Anak pertama dan
kehamilan yang sangat dinanti-nantikan akan menimbulkan risiko stres
yang tinggi atau kehamilan yang tidak diinginkan juga dapat menimbulkan
masalah.
2) Faktor pengalaman. Beberapa penelitian di antaranya adalah penelitian
yang dilakukan oleh Paykel Dab Inwood mengatakan bahwa depresi pasca
persalinan lebih banyak ditemukan pada primipara, mengingat bahwa peran
seorang ibu dan segala yang berkaitan dengan bayinya merupakan situasi
yang sama sekali baru bagi dirinya dan dapat menimbulkan stres. Selain itu,
penelitian yang dilakukan oleh Le Masters yang melibatkan suami istri
muda kelas sosial menengah mengajukan hipotesis bahwa 83% dari mereka
mengalami krisis setelah kelahiran bayi pertama.
3) Faktor pendidikan. Perempuan yang berpendidikan tinggi sering
menghadapi tekanan sosial dan konflik peran, antara tuntutan sebagai
perempuan yang memiliki dorongan untuk bekerja atau melakukan aktivitas
di luar rumah, dengan peran mereka sebagai ibu rumah tangga dan orang
tua dari anak-anak mereka. Faktor pendidikan juga diduga berpengaruh
terhadap pemahaman ibu tentang bagaimana beradaptasi menghadapi
perubahan yang terjadi pascapersalinan. Informasi yang luas tentang
bagaimana perubahan yang akan terjadi pascapersalinan dan bagaimana
melakukan peran yang baik sebagai seorang ibu sangat penting bagi ibu.
4) Faktor selama proses persalinan. Hal ini mencakup lamanya persalinan,
serta intervensi medis yang digunakan selama proses persalinan. Diduga

6
semakin besar trauma fisik yang ditimbulkan pada saat persalinan, maka
semakin besar pula trauma psikis yang muncul dan kemungkinan
perempuan yang bersangkutan akan menderita depresi pascapersalinan.
c. Faktor dukungan sosial
Banyaknya kerabat yang membantu pada saat kehamilan, persalinan, dan
pascasalin, akan mengurangi beban seorang ibu karena kehamilannya,
terutama dukungan dari pasangan.
d. Faktor psikososial lainnya
Latar belakang psikososial wanita yang bersangkutan, seperti, status
perkawinan, kehamilan yang tidak diinginkan, riwayat gangguan kejiwaan
sebelumnya, sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap munculnya depresi
pascapersalinan.

2.1.5 Gambaran Klinis


Ibu pasca melahirkan di Indonesia hampir sebagian besar yang tidak
menyadari bahwa mereka mengalami postpartum blues dan masyarakat sendiri
masih menganggap bahwa gejala-gejala yang muncul pada ibu baru itu merupakan
sesuatu yang wajar. Masyarakat menganggap bahwa apa yang dirasakan oleh ibu
baru merupakan naluri seorang ibu karena baru memiliki bayi dan rasa ingin selalu
di dekat bayinya. Selain itu belum ada survey resmi dari pemerintah terkait dengan
postpartum blues pada ibu pasca melahirkan.1
Baby blues memiliki gambaran klinis berupa perubahan emosi seperti
mengalami kesedihan atau kemurungan, mudah cemas tanpa sebab, menangis tanpa
sebab, tidak sabar, tidak percaya diri, perasaan putus asa, sensitif atau mudah
tersinggung, serta merasa kurang mampu mengurus dan menyayangi bayinya.
Masalah – masalah kecil saja jika tidak cepat diatasi pada masa hamil, atau sebelum
melahirkan dapat menimbulkan Baby Blues. Sebagian ibu merasa tidak enak, tidak
nyaman, sakit, nyeri di mana-mana serta sakit kepala, dan tidak ada obat yang dapat
menolongnya atau menyembuhkannya. Hampir semua ibu dengan baby blues ini
merasa sangat capek, lesu ataupun malas pada hampir setiap waktu setelah
melahirkan. Selain itu juga sering ditemui para ibu-ibu ini mengalami sulit untuk

7
tidur, bahkan ada yang tidak bisa tidur sama sekali. Perasaan-perasaan ini biasanya
muncul sementara waktu, yaitu sekitar dua hari hingga dua minggu sejak kelahiran
bayi atau biasa disebut dengan post partum blues. Masyarakat umum menyebutnya
dengan baby blues atau maternity blues.1,2,15

2.1.6 Diagnosis
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental disorders (DSM) IV,
baby blues dikategorikan dalam Major Depression. Terdapat gejala berupa
kesedihan, disforik, sering menangis dan ketergantungan untuk “lengket”. Kondisi
ini berlangsung beberapa hari, perubahan emosi pada hari puncak yaitu hari ke 4
atau ke 5 dan kembali normal pada hari ke 10.4,6 Penegakkan diagnosis postpartum
blues menggunakan kriteria Pitt dan Kriteria Handley.7
Tabel 1. Kriteria Postpartum Blues Menurut Pitt dan Handley.7
Kriteria Pitt
Periode berlangsung setidaknya dalam satu hari (dari 1 minggu hingga 10 hari
pasca persalinan) dimana wanita merasa sangat depresi dan sedih.
Kriteria Handley
Sedikitnya empat dari tujuh gejalah ini ada dalam 1 minggu hingga 10 hari pasca
persalinan:
 Mood dismorfik setidaknya dalam 1 hari
 Mudah berganti mood yang secara jelas terlihat
 Sering menangis dalam periode 1 hari
 Perasaan cema yang secara jelas ditemukan
 Insomnia sedikitnya selama 3 hari
 Nafsu makan yang menurun, yang terlihat jelas
 Iritabilitas (mudah tersinggung) yang terlihat secara jelas

Skrining untuk mendeteksi gangguan mood/depresi sudah merupakan acuan


pelayanan pasca salin yang rutin dilakukan. Untuk skrining ini dapat dipergunakan
beberapa kuesioner dengan alat bantu. Edinburgh Postnatal Depression Scale
(EPDS) merupakan kuesioner dengan validasi yang teruji yang dapat mengukur

8
intensitas perubahan perasaan depresi selama 7 hari pasca salin. Pertanyaan-
pertanyaan berhubungan dengan labilitas perasaan, kecemasan, perasaan bersalah
serta mencakup hal-hal lain yang terdapat pada postpartum blues. Kuesioner ini
terdiri dari 10 pertanyaan, dimana setiap pertanyaan memiliki 4 pilihan jawaban
yang mempunyai nilai skor dan harus dipilih satu sesuai dengan gradasi perasaan
yang dirasakan ibu pasca salin saat itu. Pertanyaan harus dijawab sendiri oleh ibu
dan rata rata dapat diselesaikan dalam waktu 5 menit, nilai skoring lebih besar 12
memiliki sensitifitas 86% dan nilai prediksi positif 73% untuk mendiagnosis
postpartum blues. EPDS dapat dipergunakan dalam minggu pertama pasca salin
dan bila hasilnya meragukan dapat diulangi pengisiannya 2 minggu kemudian. 8
Tabel 2. EPDS.8

Cara Penilaian EPDS:9,16


1. Pertanyaan 1, 2, dan 4
Mendapatkan nilai 0, 1, 2, atau 3 dengan kotak paling atas mendapatkan nilai 0
dan kotak paling bawah mendapatkan nilai 3
2. Pertanyaan 3,5 sampai dengan 10

9
Merupakan penilaian terbalik, dengan kotak paling atas mendapatkan nilai 3 dan
kotak paling bawah mendapatkan nilai 0
3. Pertanyaan 10 merupakan pertanyaan yang menunjukkan keinginan bunuh diri,
dan merupakan suatu tanda dimana dibutuhkan keterlibatan segera dari
perawatan psikiatri.
4. Nilai maksimal : 30
5. Kemungkinan depresi: pada pasien tanpa riwayat PPD sebelumnya, nilai ≥12
memiliki sensitivitas 86% dan spesifisitas 78% untuk mengalami PPD.
6. Semakin tinggi skor yang didapat menyatakan semakin berat gangguan depresi
yang dialami.
7. Skor antara 5 hingga 9 tanpa adanya pikiran untuk bunuh diri sebaiknya
dilakukan evaluasi ulang setelah 2 minggu untuk menentukan apakah episode
depresi mengalami perburukan atau membaik.

2.1.7 Diagnosis Banding


Aspek psikiatris dalam kehamilan menurut Kaplan, terdiri atas depresi
postpartum dan psikosis postpartum (psikosis puerperal). Baby blues merupakan
klasifikasi yang lebih ringan didalam kondisi depresi postpartum. Berikut tabel
perbandingan antara baby blues dan depresi postpartum.4
Tabel 3. Perbedaan baby blues dan postpartum depression

10
Psikosis postpartum jarang ditemukan, angka kejadiannya adalah 1-2 orang
per 1000 kelahiran. Gejala-gejala psikosis postpartum dapat mulai terlihat dalam
beberapa hari setelah melahirkan, meskipun waktu rata-rata untuk onset adalah
dalam 2 sampai 3 minggu dan hampir selalu dalam 8 minggu setelah melahirkan.
Secara karakteristik, pasien akan mulai mengeluh kelelahan, susah tidur, dan
gelisah, menangis dan labil secara emosional. Kemudian kecurigaan, kebingungan,
inkoherensi, pernyataan tidak rasional, dan kekhawatiran yang obsesif tentang
kesehatan dan kesejahteraan bayi akan muncul. Delusi yang terjadi akan melibatkan
gagasan bahwa bayi itu sudah mati atau cacat. Pasien dapat menolak kelahiran dan
mengekspresikan pikiran bahwa ia tidak menikah, perawan, dianiaya, dipengaruhi,
atau sesat. Halusinasi umumnya menyarankan sang ibu untuk membunuh bayinya
sendiri. Keluhan tentang ketidakmampuan untuk bergerak, berdiri, atau berjalan
juga biasa terjadi. 4

2.1.8 Tatalaksana
Penatalaksanaan pasien gangguan mood harus diarahkan kepada beberapa
tujuan. Pertama, keselamatan pasien harus terjamin. Kedua, kelengkapan evaluasi
diagnostik pasien harus dilaksanakan. Ketiga, renacana terapi bukan hanya untuk
gejala, tetapi kesehatan jiwa pasien kedepan juga harus diperhatikan. Walaupun

11
penatalaksanaan farmakoterapi dan psikoterapi harus dipikirkan pada pasien,
peristiwa kehidupan yang penuh ketegangan dapat meningkatkan angka
kekambuhan pasien dengan gangguan mood.10
Selanjutnya melalui terapi harus dapat menurunkan banyaknya stresor berat
dalam kehidupan pasien. Remisi penuh akan dialami pasien dalam waktu 4 bulan
dengan pengobatan yang adekuat.10
Rawat inap. Indikasi untuk rawat inap adalah kebutuhan untuk prosedur
diagnostik, risiko untuk bunuh diri dan melakukan pembunuhan, dan berkurangnya
kemampuan pasien secara menyeluruh untuk mendapatkan asupan makanan dan
mendapatkan tempat perlindungan. Riwayat gejala berulang dan hilangnya sistem
dukungan terhadap pasien juga merupakan indikasi rawat inap. 10
Tanda klinis yang tidak terlalu kuat sebagai bahan pertimbangan adalah
penurunan berat badan, perbaikan yang minimal dari insomnia. Sistem pendukung
pasien harus kuat, dimana tidak terlalu mencampuri maupun menjauhi pasien. Tiap
perubahan yang kurang baik pada gejala atau tingkah laku atau sikap pasien
merupakan tanda untuk rawat inap. 10
Pasien dengan gangguan mood sering tidak mau menjalani rawat inap atas
dasar keinginan sendiri. Pasien tidak dapat membuat keputusan karena lambat
berpikir, berpikir negatif, dan tidak mempunyai harapan. 10
Terapi Keluarga. Terapi keluarga dapat membantu pasien dengan gangguan
mood untuk mengurangi dan menghadapi stres dan untuk mengurangi adanya
kekambuhan. 10
Terapi keluarga diindikasikan untuk gangguan yang membahayakan
perkawinan pasien atau fungsi keluarga, atau jika gangguan mood didasari, atau
dapat ditangani oleh situasi keluarga. Terapi keluarga menguji peran pasien yang
mengalami gangguan mood pada seluruh keluarga, juga menguji peran dari
keluarga untuk menangani gejala pasien. Pasien dengan gangguan ini mempunyai
angka perceraian yang tinggi, dan sekitar 50 persen pasangan dilaporkan tidak akan
menikah atau punya anak jika mereka tahu pasien mempunyai gangguan mood. 10
Pada umumnya, tidak ada perawatan khusus untuk baby blues jika tidak ada
gejala yang signifikan. Empati dan dukungan keluarga serta staf kesehatan

12
diperlukan.11 Selain itu, dukungan suami memiliki efektivitas yang cukup besar
dalam hubungannya dengan kejadian baby blues syndrome (depresi pasca
persalinan) yaitu sebesar 33%.12 Jika gejala tetap ada lebih 2 minggu diperlukan
bantuan profesional.11
Konsultasi kejiwaan umumnya tidak diperlukan. Namun, pasien harus
diinstruksikan untuk menghubungi dokter kandungan atau primary care provider-
nya jika gejala menetap lebih dari dua minggu untuk menidentifikasi dini gangguan
afektif yang lebih parah. Wanita dengan riwayat penyakit jiwa, terutama depresi
postpartum harus dipantau lebih dekat karena mereka berisiko lebih tinggi untuk
terkena penyakit nifas yang signifikan.12

2.1.9 Prognosis
Tidak ada bukti konklusif yang menunjukkan bahwa baby blues akan
mengarah ke episode depresi berikutnya, walaupun beberapa penelitian
menunjukkan bahwa suatu episode depresi postpartum meningkatkan risiko
episode depresi berat.4 Dalam 2 minggu pertama pasca persalinan skriniing untuk
postpartum blues, depresi dan kecemasan sebaiknya dilakukan untuk
mengidentifikasi wanita yang memiliki risiko terjadinya penyakit psikiatri yang
secara klinis signifikan pada periode pasca persalinan untuk dapat mencegah dan
memberikan terapi.13

13
BAB III
KESIMPULAN

Baby blues merupakan salah satu gangguan afek depresif yang sering terjadi
pada ibu paska melahirkan, yang muncul pada beberapa jam sampai beberapa hari
setelah melahirkan. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor berupa
perubahan pada fisiologis, hormonal, maupun psikologis.
Penegakan diagnosis baby blues dapat menggunakan kriteria Pitt dan
Handley dan skrinning untuk mendeteksi gangguan mood/deprei dapat
menggunakan kuesioner alat bantu berupa Edinburgh Postnatal Depression Scale
(EDPS). Hal ini bermanfaat agar dapat mencegah perkembangan lebih lanjut
gejala-gejala menetap lebih dari 2 minggu yang mengarah ke postnatal depression

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Suryati. 2008. The baby blues and post natal depression. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. http://jurnal.fkm.unand.ac.id/index.php/jkma/article/view/32/63
(diakses pada 23-03-2019)
2. Rai, Shasi, dkk. 2015. Postpartum psychiatric disorders: Early diagnosis and
management. Indian Journal of Psychiatry. 57(2): 216-221.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4539865/ (diakses pada 14-
04-2019)
3. Scrandis, Debra A.,dkk. 2007. Depression after Delivery: Risk Factors,
Diagnostic and Therapeutic Considerations. The Scientific Wourld Journal.
7:1670-1680 http://downloads.hindawi.com/journals/tswj/2007/354680.pdf.
(diakses pada 14-04-2019)
4. Sadock, Benjamin J. 2015. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry
Postpartum Depression. Edisi ke-11. Jerman: Wolters Kluwer.
5. National Institute of Mental Health. Postpartum depression
facts. http://www.nimh.nih.gov/health/publications/postpartum-depression-
facts/index.shtml#pub9. (diakses pada 14-04-2019)
6. DelRosario, Genevieve A. 2013. Postpartum depression: Symptoms,
diagnosis, and treatment approaches. JAAPA. 26(2): 50-4.
7. O’Hara MW, Segre LS. 2008. Psychologic Disorders of Pregnancy and the
Postpartum Period. In : Danforth's Obstetrics and Gynecology 10th ed.
Lippincott Williams & Wilkins.
8. Cox, J.L., Holden, J.M., and Sagovsky, R. 1987. Detection of postnatal
depression: Development of the 10-item Edinburgh Postnatal Depression
Scale.http://www.fremantlemedicarelocal.com.au/wpcontent/uploads/2012/
05/Postnatal-Depression-Scale-guide-for-health-professionals.pdf (diakses
pada tanggal 22-03-2019).
9. Latifah L, Hartati. 2006. Efektivitas Skala Edinburgh dan Skala Beck dalam
Mendeteksi Risiko Depresi Post Partum di Rumah Sakit Umum Prof.
Margono Soekarjo Purwokerto. Jurnal Keperawatan Soedirman (The
Soedirman Journal of Nursing).1(1): 15-9
10. Graber MA, Toth PP, Herting RL. 2006. Buku Saku Dokter Keluarga. Edisi
3. Jakarta: EGC.
11. World Health Organization. tanpa tahun. Maternal mental
health. http://www.who.int/mental_health/maternal-child/maternal_mental_
health/en. (diakses pada 14-04-2019)
12. Alfiben, 2000. Efektifitas Peningkatan Dukungan Suami Dalam Menurunkan
Terjadinya Depresi Postpartum: (Tesis) Program Pendidikan Dokter
Spesialis I Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta.
13. Reck, C. Stehle E, Reinig K, dkk. 2009. “Maternity blues as a predictor of
DSM-IV depression and anxiety disorders in the first three months
postpartum. Journal of Affective Disorders. Elsevier B.V. 113(1–2): 77–87.
14. Saryono dan Permana, R.H., 2010. Depresi Pasca Persalinan. Bogor:
Rekatama, pp: 13; 23-26; 36-39; 49-51; 81-82; 93-94.

15
15. CDC. 2018. Maternal depression. http://www.cdc.gov/features/maternal-
depression/index.html. (diakses pada 14-04-2019)
16. Hirst, Kathryn P. 2010. Post Partum Major Depression. American Family
Physician. 15(8):926-933. https://www.aafp.org/afp/2010/1015/p926.html
(diakses pada 14-04-2019)
17. Ibrahim HAS. 2011. Gangguan Alam Perasaan Manik Depresi. Edisi 1.
Tangerang: Jelajah Nusa.
18. Gondo HK. Skrining Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) Pada
Postpartum Blues. Bagian Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
19. O’Keane V,.dkk. 2011. Change in Maternal Hypothalamic-Pituitary-
Adrenal Axis During the Early Puerperium may be Related to the Postpartum
‘Blues’. Journal of Neuroendocrinology. 23: 1149-55.
20. Weobong, B; Asbroek, T; Soremekun,S; dkk. 2015. “Association between
probable postnatal depression and increased infant mortality and morbidity:
Findings from the DON population-based cohort study in rural Ghana,” BMJ
Open, 5(8).

16

Anda mungkin juga menyukai