Anda di halaman 1dari 6

Terapi Non- farmakologi

1. Pasien akan dianjurkan untuk menjalani pengobatan epilepsi dengan operasi atau disebut
juga dengan bedah epilepsi. Ada tiga tujuan utama operasi epilepsi, di antaranya:
1. Mengangkat area otak yang memicu kejang.
2. Memblokir jalur saraf otak yang menyebabkan kejang.
3. Memasukkan alat tertentu ke otak untuk mengurangi dampak epilepsi terhadap
kesehatan pasien, yaitu kerusakan otak, kerusakan tulang, hingga kematian
mendadak.
Pengobatan epilepsi dengan operasi boleh dilakukan pada pasien epilepsi dari
berbagai usia. Namun, terdapat dua syarat utama dilakukannya operasi yaitu pasien
mengalami kejang epilepsi yang tidak dapat dikendalikan oleh terapi obat serta pasien
mengidap penyakit lain seperti tumor otak, kelainan pembuluh darah, atau stroke yang
memicu kejang.
Operasi hanya bisa dilakukan jika area otak penyebab kejang tidak memegang
fungsi vital pada tubuh, seperti pusat gerak tubuh, bahasa, atau sentuhan. Jika area otak
ini terkena dampak operasi, maka pasien bisa saja menjadi sulit bergerak dan sulit
berbicara. Terdapat tiga jenis operasi yang dilakukan untuk mengatasi epilepsi, yaitu :
1. Resective Surgery
Jenis operasi ini paling sering dilakukan untuk mengendalikan kejang
epilepsi. Resective surgery dilakukan dengan mengangkat sedikit area otak, biasanya
sebesar bola golf, dimana area ini merupakan area yang memicu terjadinya kejang.
2. Corpus callosotomy
Operasi corpus callosotomy lebih sering dilakukan pada anak-anak yang mengalami
kejang parah. Caranya adalah dengan dengan memotong jaringan saraf yang
menghubungkan belahan otak kanan dan kiri yang menyebabkan kejang. Hal ini
dapat membantu mengurangi keparahan kejang pada anak-anak.
3. Hemispherectomy
Mirip seperti cospus callosotomy, prosedur hemispherectomy juga lebih sering
dilakukan pada anak-anak yang mengalami kejang akibat kerusakan pada salah satu
belahan otak, entah itu sisi kanan atau kiri. Operasi epilepsi ini dilakukan dengan
mengangkat lapisan luar pada separuh bagian otak.
Beberapa risiko dan efek samping operasi epilepsi yang mungkin terjadi meliputi:
1. Amnesia
Area lobus temporal otak bertanggung jawab terhadap pemrosesan ingatan sekaligus
menggabungkannya dengan sensasi rasa, suara, penglihatan, sentuhan, dan emosi.
Operasi epilepsi yang dilakukan pada area otak ini dapat membuat pasien sulit
mengingat, berbicara, atau memahami informasi yang diberikan.
2. Perubahan Perilaku
Area lobus frontal adalah bagian otak yang terletak di bekakang dahi. Fungsinya
untuk mengendalikan pikiran, penalaran, dan perilaku. Jika operasi epilepsi dilakukan
pada area otak ini, pasien cenderung akan hilang kendali, perubahan suasana hati
yang drastis, hingga depresi.
3. Penglihatan Ganda
Penglihatan ganda dapat terjadi jika operasi epilepsi dilakukan pada lobus temporal
otak. Anda mungkin juga akan mengalami kesulitan untuk melihat benda pada jarak
jauh akibat efek samping dari operasi epilepsi (Mitchell dkk., 2012).
2. Stimulasi N.Vagus
Terapi ajuvan untuk mengurangi frekuensi bangkitan pada penyandang epilepsi refrakter
usia dewasa dan anak-anak yang tidak memenuhi syarat operasi. Dapat digunakan pada
bangkitan parsial dan bangkitan umum. Terapi tersebut berupa pemasangan stimulator
saraf di bawah kulit daerah tulang selangka (saraf vagus), untuk mengurangi frekuensi
dan intensitas kejang(National institute of clinical Excellence, 2012 dan Buchhalter
Jdkk., 2013).
3. Deep Brain Stimulation
Terapi lainnya adalah pemasangan elektroda pada bagian otak yang
disebut thalamus, yang disambungkan dengan stimulator di tulang dada atau tulang
kepala, untuk mengirim sinyal listrik pada otak dan meredakan kejang (National institute
of clinical Excellence, 2012).
4. Diet ketogenik
Diet ketogenik adalah terapi lini pertama pada pasien dengan defisiensi transportasi
glukosa GLUT-1, di mana glukosa tidak dapat diangkut ke dalam cairan serebrospinal
untuk digunakan oleh otak, diet ketogenik juga berguna bagi pasien yang mengalami
defisiensi piruvat dehidrogenase (E1) untuk pengobatan kejang karena defisiensi protein
transporter glukosa. Terapi ini merupakan terapi yang cukup efektif dalam mengatasi
kejang pada pasien anak dimana diet ketogenik dilakukan dengan mengatur pola makan
yaitu mengkonsumsi kadar lemak tinggi, kadar protein rendah, dan bebas karbohidrat (V.
S. Saxena dan V. V. Nadkarni, 2011)
5. Intervensi Psikologi
 Relaksasi :
Terapi tambahan untuk menghindari pemicu kejang dapat dilakukan
dengan aromaterapi yang membuat penderita merasa rileks dan meredakan stress.
Selain aroma terapi, relaksasi pada pasien juga bisa dilakukan dengan melakukan
yoga atau meditasi, suatu aktifitas yang dapat meningkatkan konsentrasi,
kelancaran aliran darah dan oksigen pada tubuh serta proses metabolisme dalam
tubuh.
 Akupuntur :
Akupuntur merupakan suatu terapi menggunakan jarum, dimana jarum digunakan
untuk merangsang ujung syaraf. Goal terapi dari akupuntur adalah pasien
memiliki keseimbangan mental, emosional serta fisik yang baik.
 biofeedback :
teknik biofeedback merupakan suatu teknik pengobatan epilepsi menggunakan
mesin electroencephalography (EEG) untuk membantu pasien dalam
mengidentifikasi dan mengatur aktivitas otak terkait dengan kejang yang dialami.
Pemeriksaan otak dengan metode ini dilakukan dengan menggunakan cakram
logam kecil (elektroda) yang dilekatkan pada kulit kepala. Aktivitas ini kemudian
ditampilkan sebagai garis bergelombang pada rekaman EEG. Pasien akan dilatih
dari waktu ke waktu untuk menghasilkan pola gelombang otak yang lebih normal
dan dapat membantu mengurangi terjadinya kejang (V. S. Saxena and V. V.
Nadkarni, 2011).

Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi pada pasien epilepsi menggunakan obat anti epilepsi (OAE).
Mekanisme dari OAE bekerja dengan meningkatkan ekresi neurotransmisi inhibitori (GABA)
dan mengahambat eksresi neurotransmisi eksitori (glutamat dan aspartat). Pemilihan obat untuk
penderita epilepsi didasarkan pada tipe bangkitan, efek samping obat dan kondisi pasien (Wells
dkk., 2015). OAE diberikan bila pasien sudah terdiagnosa epilepsi, terdapat minimum dua
bangkitan dalam setahun, dan bangkitan terjadi berulang meskipun faktor pemicu sudah
dihindari. Terapi OAE dimulai dengan monoterapi sesuai dengan tipe epilepsi. Pemberian OAE
dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan secara bertahap hingga dosis efektif tercapai atau
ketika timbul efek samping. Bila penggunaan OAE pertama tidak dapat mengontrol bangkitan,
maka diganti dengan OAE kedua dengan cara menurunkan dosis OAE pertama secara bertahap
dan diberikan OAE kedua mulai dosis rendah. Dosis OAE kedua dinaikkan secara bertahap
dengan menurunkan dosis OAE pertama (tapering off). OAE tidak boleh dihentikan secara
mendadak karena dapat memicu kejang. Pemilihan OAE didasarkan pada tipe bangkitan, dosis
OAE, efek samping OAE, profil farmakologi dan interaksi antara AOE (Kusumastuti, 2014).

Pemilihan OAE berdasarkan tipe bangkitan


Bangkitan Bangkitan
Bangkitan Bangkitan Bangkitan
OAE umum tonik
fokal lena mioklonik
sekunder klonik
Phenytoin +A +A +C - -
Carbamazepine +A +A +C - -
Valproic acid +B +B +C +A +D
Phenobarbital +C +C +C - +
Gabapentin +C +C +D - -
Lamotrigine +C +C +C +A +-
Topiramate +C +C +C - +
Zonisamide +A +A + + +D
Levetiracetam +A +A +D + +
Oxcarbamazepine +C +C +C - -
Clonazepam +C - - - -
Keterangan: A = efektif sebagai monoterapi; B = sangat mungkin efektif sebagai monoterapi; C =
mungkin efektif sebagai monoterapi; D = berpotensi untuk efektif sebagai monoterapi.

Algoritma terapi epilepsi


Kusumastuti, Kurnia; Gunadharma, Suryani dan Kustiowati, Endang. 2014. Pedoman
Tatalaksana Epilepsi. Surabaya: Airlangga University Press.
Mitchell, J. W., S. Seri, dan A. E. Cavanna. 2012. Pharmacotherapeutic and non-pharmacological
options for refractory and difficult-to-treat seizures. Journal of Central Nervous System
Disease. 4:JCNSD.S8315.

Morris GI, Gloss D. Buchhalter J, Mack KJ, Nickels K, H. c. 2013. Vagus nerve stimulation for
the treatment of epilepsi. Report of Guideline Development Subcommittee of the American
Academy of Neurology. 81:1–7.

National institute of clinical Excellence. 2012. The epilepsies: the diagnosis and management of
the epilepsies in adult and children in primary and secondary car. NICE Clinical Guideline.
137.

V. S. Saxena and V. V. Nadkarni. 2011. Nonpharmacological treatment of epilepsy. Ann Indian


Acad Neurol. 14(3):148–152.

Wells, B. G., J. T. DiPiro, C. V. DiPiro, dan T. L. Schwinghammer. 2015. Pharmacotherapy


Handbook Ninth Edition. USA: McGraw-Hill Education.

Anda mungkin juga menyukai