Makalah Pendidikan Agama Islam Dan Budi Pekerti
Makalah Pendidikan Agama Islam Dan Budi Pekerti
Disusun oleh :
Neza Fazira Maulida (25)
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Saya
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah tentang “dakwah
rasulullah di makkah”. Saya membahas makalah ini karena sejarah rasulullah itu sangat
penting diketahui oleh umat islam.
Makalah ini telah saya susun dengan sebaik-baiknya dan mendapatkan sumber dari
berbagai situs sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu,
Saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat
maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya menerima segala kritik
dan saran dari pembaca agar saya dapat mengevaluasi makalah sejarah ini.
Akhir kata saya berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun
inpirasi terhadap pembaca.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Rumusan Masalah
3. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
1. Kesimpulan
2. Saran
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana lahirnya rasulullah hingga remaja?
2. Bagaimana Muhammad bisa diangkat menjadi rasul?
3. Bagaimana dakwah yang dilakukan rasulullah secara sembunyi sembunyi dan apa
tantangan nya?
4. Bagaimana dakwah yang dilakukan rasulullah secara terang terangan dan apa tantangan
nya?
5. Bagaimana Rasulullah melakukan hirah ke Habsyi dan thoif 4 di Madinah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Lahirnya Rasulullah SAW hingga remaja
Nabi Muhammad Shallallahu ' Alaihi wa Sallam lahir di Kampung Bani Hasyim, Makkah
pada Senin 12 Rabiul Awal bertepatan dengan tahun Gajah atau 23 April 571 Masehi. Setiap
tanggal 12 Rabiul Awal diperingati sebagai Maulid Nabi. Ada juga sebagian pendapat yang
menyebut Nabi Muhammad SAW lahir pada Senin, 9 Rabiul Awal atau 20 Arpil 571 Masehi.
Namun para ulama sepakat tanggal 12 Rabiul Awal sebagai tanggal kelahiran Nabi
Muhammad SAW.
Beliau lahir dua bulan setelah pasukan Gajah menyerang Kota Makkah. Dikutip dari Sirah
Nabawiyah karya Abdul Hasan 'Ali Al-Hasani An-Nadwi, sejumlah sejarawan dan pakar
hadits menyebut adanya peristiwa-peristiwa besar yang muncul di Makkah menjelang
kelahiran Rasulullah."Peristiwa-peristiwa di luar daya nalar manusia, yang mengarah pada
dimulainya era baru bagi alam dan kehidupan manusia," tulis Abdul Hasan dalam Sirah
Nabawiyah.
Di antara peristiwa tersebut adalah singgasana Raja Persia Kisra Anusyirwan yang
bergoyang-goyang hingga menimbulkan bunyi. Tak hanya singgasana, 14 balkon Istana Raja
Kisra juga runtuh.Peristiwa berikutnya yang diyakini sebagai pertanda jelang kelahiran Nabi
Muhammad SAW adalah padamnya api sesembahan kaum Majusi atau zoroaster, di kuil
pemujaan di Persia (kini Iran). Padahal api ini diyakini sudah menyala seribu tahun lebih dan
tak pernah padam sekalipun. Masyarakat Majusi berusaha untuk menghidupkan kembali api
tersebut untuk disembah, namun upaya mereka gagal.Ada juga pertanda di tempat lain
menjelang Maulid Nabi, yakni surutnya Danau 'A' yang dikultuskan oleh orang-orang Persia.
Tasik Sava atau Semenanjung yang dianggap suci oleh rakyat Persia juga tenggelam.
Muhammad SAW lahir dari pasangan Abdullah dan Aminah. Abdullah adalah putra dari
Abdul Mutholib pemimpin suku Quraisy. Sementara Aminah merupakan putra dari Wahb
pemimpin Bani Zuhrah.
Menjadi kebiasaan warga Makkah ketika itu yakni berdagang ke Syam. Abdullah pun pergi
ke Syam bersama rombongan pedagang Makkah. Mereka tak hanya ke Syam, tapi juga
singgah di beberapa kota lain sehingga perjalanan memakan waktu yang lama.Saat hendak
pulang ke Makkah, Abdullah kecapekan dan jatuh sakit. Dia singgah di tempat saudara-
saudaranya dari garis ibu di Kota Yatsrib,-kini Madinah. Abdullah wafat di Madinah. Saat
Abdullah wafat, itu Aminah tengah mengandung Nabi Muhammad SAW. Usia kandungan
Aminah baru berusia 3 bulan.
Orang-orang Arab mempunyai tradisi untuk menyusukan anaknya kepada para perempuan
kampung. Selain perempuan kampung dapat menjamin gizi yang bagus, nilai sastra dan
bahasa orang perkampungan Arab juga tinggi.
Suatu hari, saat Rasulullah SAW berusia tiga hari, Halimah as-Sa’diyah bersama sekitar 70
orang wanita dari perkampungan pergi ke Mekah untuk menawarkan susuan demi mencari
penghidupan, karena pada saat itu, di Thaif sedang dalam masa paceklik. Mereka
mengendarai keledai yang kurus, juga membawa unta-unta yang tak memiliki air susu setetes
pun. Ketika mereka sampai di Hudaibiyah di sore hari, mereka pun mendirikan tenda. Saat
itu, anak Halimah yang masih bayi menangis tiada henti karena kelaparan.
Keesokan harinya, mereka bersama-sama memasuki Mekah untuk mencari ibu-ibu yang
memiliki bayi untuk disusukan, kemudian mereka akan mengambil upah darinya. Semua
teman-teman Halimah telah mendapatkan bayi untuk mereka susukan. Sementara Halimah
tak kunjung mendapatkannya.Setiap ia bertanya kepada penduduk di sana tentang siapa yang
memiliki bayi, semua akan menjawab Aminah. Sementara ia tahu bahwa Aminah tidak lagi
bersuami. Padahal, upah dari ayah sang bayilah yang diharapkan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Semua teman-teman Halimah tak ada yang mau untuk mengambil bayi Nabi Muhammad
Saw. Halimah juga enggan untuk menemui Aminah. Namun karena tak ada lagi bayi,
akhirnya Halimah pergi ke rumah Aminah. Tapi tetap saja, karena Aminah tak memiliki apa-
apa sebagai upah menyusui, Halimah kembali ke tenda tanpa membawa apa-apa,
Setelah ia melihat wajah bayi itu, ia berucap, “Aduhai, tak pernah sebelumnya kulihat ada
anak seindah ini.” Halimah pun mendekap bayi itu sambil menangis haru bahagia. Halimah
bersama suaminya kemudian membawa bayi Rasulullah SAW pulang ke Thaif, setelah
sebelumnya membuat perjanjian dengan Halimah lamanya masa menyusui.
Tak hanya Halimah yang terkejut dengan bayi Muhammad, Aminah, yang merupakan
ibunya sendiri pun mengalami hal yang sama, ia berkata “Sungguh, anakku ini memang anak
yang membawa berkah. Aku tak pernah merasa dan tak pernah tau bahwa aku sedang
mengandung (karena tidak merasakan berat di perutnya, juga kesusahan lainnya yang
biasanya dirasakan ibu-ibu hamil), kecuali dari mimpi-mimpiku setiap bulan. Dalam setiap
mimpi itu, Asiah, Maryam, dan bidadari-bidadari lainnya memberi tahu padaku ‘wahai
Aminah, kamu sedang mengandung sayyid-nya bani Adam, berilah ia nama dengan nama
Muhammad, karena kelak ia akan selalu dipuji.’’
Sesampai di Thaif, keberkahan dari Rasulullah SAW pun terbukti. Saat malam hari, mereka
ditimpa kelaparan, suami Halimah pun memerah susu unta. Unta yang sebelumnya memiliki
air susu yang sangat sedikit, tiba-tiba menjadi banyak setelah Nabi Muhammad SAW hadir di
rumah itu. Mereka pun tidur dalam keadaan perut kenyang pada malam itu. Nabi Muhammad
SAW telah banyak memberi keberkahan dalam kehidupan Halimah. Kambing-kambingnya
yang digembalakan bersama kambing-kambing orang lain, selalu kembali pulang dengan
keadaan perut kenyang dan memiliki air susu yang banyak.
Hal ini berbeda dengan kambing-kambing orang lain yang kembali dengan keadaan
sebagaimana ketika pergi. Begitulah kehidupan Halimah selama dua tahun yang senantiasa
diberkahi.Selain banyak membawa keberkahan, Rasulullah SAW juga merupakan sosok yang
berakhlak indah, bahkan semenjak bayi. Ketika menyusu kepada Halimah, ia selalu menyusu
di sebelah kanan, dan menyisakan yang sebelah kiri untuk saudara sepersusuannya—anak
Halimah—. Hari-hari berlalu. Halimah menyusui, merawat dan mencintai nabi Muhammad
SAW dengan sepenuh hati, bahkan menyayangi Nabi SAW melebihi anakanya sendiri,
hingga tibalah waktu bagi Halimah untuk mengembalikan Nabi ke pangkuan ibunya.
Halimah pun menuju Mekah untuk membawa nabi ke pangkuan ibunya, Siti Aminah. Saat
itu, Halimah masih sangat ingin untuk merawatnya. Halimah lalu memohon kepada Aminah
untuk memberi tambahan waktu. Aminah lalu menyetujuinya.Halimah kembali ke Thaif
membawa anak susuannya. Begitulah, Nabi Muhammad SAW tumbuh di lingkungan bani
Sa’ad sampai berusia 4 tahun, hingga terjadilah proses “pembelahan dada” yang membuat
Halimah takut, takut akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan kepada anaknya itu. Halimah
pun mengembalikan Nabi Muhammad SAW kepada ibunya.
Setelah empat tahun diasuh oleh Halimah, Muhammad pun diasuh kembali oleh ibundanya;
Aminah bin Wahb.
Pada suatu ketika Aminah membawa Muhammad pergi ke Madinah untuk bersilaturrahim
kepada paman-paman ayah Nabi saw. dari pihak ibu, yaitu Bani Addy Ibnu Najjar. Dalam
perjalanan pulang ke Makkah, tiba-tiba Aminah diserang sakit keras.Ketika di suatu desa
yang bernama Al-Abwa’ (nama sebuah desa yang terletak di antara Makkah dan Madinah,
lebih dekat ke Madinah kurang lebih 37 km.) Aminah meninggal dunia dan dimakamkan di
tempat tersebut.
Selanjutnya Muhammad yang masih berumur enam tahun berada di bawah asuhan Ummu
Aiman dan di bawah tanggungan kakeknya; Abdul Muthalib. Abdul Muthalib sangat sayang
kepada cucunya itu. Hal seperti ini belum pernah dirasakannya kepada anak-anaknya karena
dari dalam diri Muhammad tampak tanda-tanda yang menunjukkan bahwa kelak di masa
mendatang ia akan memiliki suatu perkara yang agung. Abdul Muthalib pun memuliakannya.
Tidak berapa lama kemudian, Abdul Muthalib meninggal dunia, sedangkan Muhammad
masih baru menginjak usia ke delapan tahun. Kemudian Muhammad dijamin oleh saudara
kandung ayahnya; atau pamannya yang bernama Abu Thalib.
Abu Thalib mengasuh Muhammad dengan penuh kasih sayang dan perhatian. Harta yang
dimiliki Abu Thalib waktu itu hanya sedikit, tetapi berkat adanya Muhammad akhirnya Allah
swt. melimpahkan keberkahan pada hartanya. Selama di dalam asuhan Abu
Thalib, Muhammad merupakan teladan yang paling baik. ia bersikap qana’ah (menerima apa
adanya) dan jauh dari perbuatan-perbuatan rendah yang biasa dilakukan kebanyakan anak-
anak seusia dengannya.
Ketika berusia 12 tahun, Nabi Muhammad SAW diajak oleh pamannya itu pergi berdagang
ke Syam. Sampai di suatu dusun perbadatasan Syam, Abu Thalib bersama keponakan nya itu
singgah di rumah seorang pendeta Nasrani yang soleh, bernama Bahira. Dari kitab Taurat dan
Injil yang dipelajarinya, pendeta Bahira dapat mengetahui ciri-ciri kenabian yang ada pada
diri Nabi Muhammad SAW yang masih kecil itu. Maka dengan serta-merta, pendeta Bahira
memberitahukan hal itu kepada Abu Thalib seraya berkata : “Wahai saudaraku,
sesungguhnya anakmu ini adalah manusia pilihan Allah, calon pemimpin umat manusia di
dunia ini. Maka jagalah ia baik-baik. Bawalah ia kembali, sebab aku khawatir ia diganggu
oleh orang-orang Yahudi di negeri Syam. Bahkan, jika sekiranya kaum Yahudi itu
mengetahui bahwa ia adalah calon Rasul Allah, maka tentulah ia akan membunuhnya.”.
Maka pulanglah Abu Thalib ke Makkah bersama Nabi Muhammad SAW sebelum mereka
sampai ke negeri Syam. Pulang kembali ke Mekkah. Nabi Muhammad Saw. kemudian
bekerja sebagai pengembala kambing.
Ketika berusia 25 tahun, beliau SAW pergi berdagang ke negeri Syam dengan modal yang
diperoleh dari Khadijah radhiallahu 'anha (RA). Ibnu Ishaq berkata: "Khadijah binti
Khuwailid adalah seorang wanita pedagang yang memiliki banyak harta dan bernasab baik.
Dia menyewa banyak kaum lelaki untuk memperdagangkan hartanya dengan sistem bagi
hasil.
Kabilah Quraisy dikenal sebagai pedagang andal, maka tatkala sampai ke telinganya perihal
kejujuran bicara, amanah dan akhlak Rasulullah yang mulia, dia mengutus seseorang untuk
menemuinya dan menawarkannya untuk memperdagangkan harta miliknya ke negeri Syam.
Dia menyerahkan kepada beliau barang dagangan yang istimewa yang tidak pernah
dipercayakannya kepada pedagang-pedagang lainnya. Beliau juga didampingi oleh seorang
pembantunya bernama Maisarah. Beliau menerima tawaran itu dan berangkat dengan barang-
barang dagangannya bersama pembantunya itu hingga sampai ke Syam.
Ketika beliau pulang ke Mekkah dan Khadijah melihat betapa amanahnya beliau terhadap
harta yang diserahkan kepadanya. Begitu juga dengan keberkahan dari hasil perdagangan
yang belum pernah didapatinya sebelum itu. Ditambah lagi informasi dari Maisarah,
pembantunya tentang budi pekerti beliau, kejeniusan, kejujuran dan keamanahannya. Maka
dia seakan menemukan apa yang dicarinya selama ini (calon pendamping). Padahal banyak
kaum laki-laki bangsawan dan pemuka yang sangat berkeinginan untuk menikahinya, namun
semuanya dia tolak.
Akhirnya dia menceritakan keinginan hatinya kepada teman perempuannya, Nafisah binti
Munayyah yang kemudian bergegas menemui beliau SAW dan meminta kesediaan beliau
untuk menikahi Khadijah. Nabi Muhammad pun menyetujuinya dan menceritakan hal itu
kepada paman-pamannya. Kemudian mereka mendatangi paman Khadijah untuk melamar
keponakannya. Maka pernikahan pun berlangsung setelah itu dan 'akad tersebut dihadiri oleh
Bani Hasyim dan para pemimpin Mudhar.
Pernikahan itu berlangsung dua bulan setelah kepulangan beliau dari negeri Syam. Beliau
memberikan mahar berupa 20 ekor unta muda, sedangkan Khadijah ketika itu sudah berusia
40 tahun. Khadijah adalah perempuan kabilahnya yang paling terhormat nasabnya, paling
banyak hartanya dan paling brilian otaknya
Khadijah; beliau sering menyendiri/’uzlah dari khalayak ramai, dengan tujuan untuk
menenangkan pikiran, membersihkan hati dan jiwa, dan diharapkan dan pengasingannya itu
Hira’. Gua Hira’ ini terletak kira-kira 6 Km sebelah utara kota Mekkah; tingginya kira-kira
200 meter.
kadang 10 sampai 20 hari, dengan dibekali oleh isti tercintanya yang cukup. Ketika
persediaan makanan sudah habis barulah beliau pulang ke kota Mekkah untuk bertemu
Khalwat dan penyendirian Muhammad ke gua Hira’ ini bukannya untuk mencari nomer
atau wangsit; akan tetapi untuk mencari kebenaran yang hakiki, untuk memantapkan hati; dan
tentunya khalwatnya Rasulullah ke gua Hira’ ini dituntun oleh Allah, dalam rangka untuk
tepatnya dalam usia 40 tahun, 7 bulan dan 8 hari menurut perhitungan tahun Qomariyah,
Muhammad telah diutus oleh Allah swt. menjadi Rasulullah (utusan Allah), dengan
tanggal 17 Ramadhan tahun ke-40 dan hari kelahiran Muhammad, atau bertepatan dengan
tanggal 6 Agustus 610 Miladiyah. Malaikat Jibril mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
“Bacalah” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Saya tidak bisa membaca,” beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,”Lalu Malaikat Jibril merangkulku, sampai aku
merasa kepayahan, kemudian dia melepasku dan mengatakan : “Bacalah!”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Saya tidak bisa membaca,” dia merangkulku
untuk kali kedua, sampai aku merasa kepayahan, kemudian dia melepasku dan
mengatakan,”Bacalah!” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Saya tidak bisa
membaca,” dia merangkulku untuk ketiga kalinya, sampai aku merasa kepayahan, kemudian
dia melepasku, dan mengatakan :
Bacalah dengan (menyebut) nama Rabb-mu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabb-mulah Yang Paling Pemurah, Yang
mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya. [al ‘Alaq/96 : 1-5].
Lalu Khadijah membawanya mendatangi Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul
Uza, sepupu Khadijah, yaitu anak dari saudara bapaknya. Pada masa jahiliyah, Waraqah ini
penganut agama Nashrani. Dia bisa menulis kitab dalam bahasa Ibrani. Dia menulis Injil
dalam bahasa Ibrani, sesuai dengan kehendak Allah. Dia sudah lanjut usia dan buta.
Khadijah berkata kepadanya : “Wahai, anak pamanku (sepupuku). Dengarkanlah
cerita dari anak saudaramu ini,” Waraqah menyahut,”Wahai, anak saudaraku! Apa yang
engkau lihat?”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai menceritakan apa yang dilihatnya.
Setelah mendengar cerita itu, Waraqah berkata : “Ini adalah an Namus yang pernah turun
kepada Nabi Musa Alaihissallam . Seandainya aku masih muda saat itu, seandainya aku
masih hidup dikala engkau diusir oleh kaummu,” (mendengar ini) Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya,”Apakah mereka akan mengusirku?”
Waraqah menjawab,”Ya. Tidak ada seorang pun yang datang membawa seperti yang
apa engkau bawa, kecuali dia akan dianiaya. Seandainya aku masih mendapatkan zamanmu,
pasti aku akan benar-benar menolongmu,” dan tak lama kemudian Waraqah meninggal. [HR
Imam Bukhari, no. 6982] [6].
1. Iqra’ (al Alaq ayat 1-5) merupakan bagian dari al Qur`an yang pertama kali turun kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Peristiwa ini terjadi saat beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berusia 40 tahun. Sedangkan riwayat yang menyatakan beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menerima wahyu saat usia empat puluh tiga tahun adalah riwayat yang sadz (riwayat
dari orang tsiqah, namun menyelisihi riwayat dari orang-orang yang lebih tsiqah). Hal ini
sebagaimana dikatakan oleh Imam an Nawawi dan Imam Ibnu Hajar al Asqalani. [Lihat ash
Shirat an Nabawiyah ash Shahihah, hlm. 124].
2. Turunnya wahyu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan peristiwa yang
tidak disangka-sangka. Oleh karena itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan
ketakutan teramat sangat.
4. Menunjukkan kadar pengetahuan Waraqah tentang para nabi dan peringatannya kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kejadian-kejadian yang dialaminya. Juga
menjelaskan tentang keinginannya untuk membantu dan mendukung Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam , jika dia masih hidup, namun dia meninggal sebelum peristiwa yang diperkiraan
itu terjadi.
Setelah turun ayat ْ( قُ ْم فَأ َ ْن ِذرBangunlah dan berilah peringatan!), Rasūlullāh ﷺakhirnya
sadar bahwa beliau telah diutus oleh Allāh untuk mengemban risalah, suatu beban dan
tanggung jawab serta amanat yang sangat berat, yaitu mendakwahi manusia yang kala itu
dalam keadaan serusak-rusaknya manusia, secara umum di muka bumi dan secara khusus di
kota Mekkah. Mulai dari merebaknya perzinahan, saling membunuh (peperangan antar
kabilah), perjudian, minum khamr, berbagai macam kesyirikan, seperti penyembelihan
kepada selain Allāh Subhānahu wa Ta’āla, perdukunan, pengkeramatan terhadap hewan-
hewan dan bahkan di Ka’bah ada 360 berhala yang berada di sekitarnya.
Nabi ﷺdiperintah oleh Allāh dengan “Qum fa Andzir” (bangunlah dan berilah
peringatan!). Rasūlullāh ﷺpun dengan sigap berupaya menjalankan tugas yang Allāh
embankan kepada Beliau. Disebutkan oleh para ulama, sebelum Beliau berdakwah dengan
terang-terangan, Beliau mengalami suatu fase dakwah yang disebut dengan ad-da’wah as-
sirriyyah, yaitu dakwah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Ada perbedaan pendapat diantara para ulama tentang berapa tahun Nabi ﷺmenjalankan
dakwah secara sembunyi-sembunyi, ada yang berpendapat 3 tahun dan ada pula yang
berpendapat 4 tahun[1]. Saat Rasūlullāh ﷺberdakwah secara sembunyi-sembunyi, maka
secara tabi’at dan alami, beliau akan memulai dakwah dari orang yang terdekat terlebih
dahulu, orang yang mengenal dan mengetahui seluk beluk kehidupan Nabi ﷺ, serta
Beliau adalah orang yang pertama kali beriman kepada Nabi ﷺsecara mutlak. Di saat
Nabi ﷺdidatangi oleh malaikat Jibrīl dan gemetaran ketakutan, beliaulah yang
menenangkannya.
Beliau adalah seorang pendeta Nashrani yang masih di atas tauhid (Hanifiyah). Beliau
mengatakan, “Wahai Muhammad, seandainya aku masih muda saat kaummu mengusirmu
maka saya lah yang akan menolongmu dengan sekuat tenaga.” Ini menunjukkan bahwa
Waraqah beriman kepada Nabi ﷺ, meskipun setelah itu dia meninggal dunia dan tidak
sempat menjalani Islam. Namun Rasūlullāh ﷺmengabarkan dalam hadīts yang shahīh yang
“Jangan kalian cela Waraqah bin Naufal. Sesungguhnya aku melihat dia memiliki satu
atau dua taman (di surga).” (HR. al-Hakim 4211. Dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam
ash-Shahihah 405).
Oleh karenanya kita yakin dalam hadits yang shahih bahwasanya Waraqah telah dijamin
masuk surga oleh Rasūlullāh ﷺdan dia adalah lelaki yang pertama kali beriman.
Waraqah adalah orang yang lebih dahulu beriman daripada Abū Bakr Ash-Shiddīq,
akan tetapi Waraqah radhiyallāhu ‘anhu tidak sempat menjumpai fase dakwah Nabi ﷺ
karena beliau meninggal terlebih dahulu. Karena itu, lelaki pertama Islam yang berperan
dalam dakwah adalah Abū Bakr Ash-Shiddīq radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu. Peran Abū Bakr
Ash-Shiddīq sangatlah banyak, nanti akan dipaparkan dan disebutkan sebagiannya. Beliau
juga turut merasakan beban yang dipikul oleh Nabi ﷺ. Banyak para sahabat yang masuk
Islam, dan termasuk yang dijamin masuk surga oleh Nabi ﷺmelaluis sebab dakwah adalah
فَإِنَّهُ لَ ْم يَتَلَ ْعثَم فِي قَوْ لِ ِه،أَبُو بَ ْك ٍر َّ إِال،ٌ َك ْب َوة َُت لَه
ْ ت ا ِإل ْسالَ َم َعلَى أَ َح ٍد إِالَّ َكان
ُ ْ َع َرض َما
Tidak ada seorangpun yang aku tawarkan Islam kepadanya kecuali semuanya ragu-
ragu, kecuali Abū Bakr Ash-Shiddīq radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu. Karena beliau tidak terbata-
bata di dalam perkataannya (yaitu dalam menerima Islam).” (Hadits ini diriwayatkan dari
beberapa jalan diantaranya HR Ad-Dailami di Musnad al-Firdaus no 6286, demikian juga
Ibnu Ishaq dalam sirohnya, akan tetapi semua sanadnya lemah. Namun meskipun lemah
maknanya benar karena ditunjukan oleh hadits-hadits shahih sehingga sering dijadikan dalil
oleh para ulama).
Nabi ﷺbersabda :
“Dan pada saat seseorang sedang membawa seekor sapi dan ia telah memikulkan (barang)
di atasnya, maka sang sapi menoleh ke orang tersebut dan berkata kepadanya,
“Sesungguhnya aku tidak diciptakan untuk ini, tetapi aku diciptakan untuk pertanian.” Maka
orang-orang berkata: “Maha suci Allah, apakah sapi berbicara?” Nabi ﷺberkata:
“Sesungguhnya aku beriman akan hal ini, begitupun Abu Bakar, serta Umar bin Al-
Khaththab.” (HR. Al-Bukhari No. 3663 dan Muslim No. 2388)
“Bahwasanya Nabi ﷺnaik di atas gunung Uhud bersama Abu Bakar, Umar, dan Utsman.
Maka gunung Uhud pun bergetar, Nabi berkata: “Diamlah Uhud, sesungguhnya yang ada di
atasmu hanyalah seorang Nabi, seorang siddiiq, dan dua orang yang akan mati
syahid.” (HR. Al-Bukhari No. 3675)
Dalam hadits ini jelas Abu Bakar disebut oleh Nabi ﷺsebagai Ash-Shiddiq yaitu
yang selalu membenarkan. Abū Bakr Ash-Shiddīq adalah salah satu teman dekat Rasūlullāh
ﷺ. Umurnya sebaya, mungkin selisihnya hanya sekitar 2 tahun. Ketika Rasūlullāh ﷺ
diangkat menjadi Nabi berumur 40 tahun sedangkan Abū Bakr Ash-Shiddīq berumur 38
tahun.
Karenanya Rasūlullāh ﷺmemuji Abū Bakr Ash-Shiddīq. Abu Hurairah berkata, Rasulullah
bersabda :
“Tidak ada harta yang bermanfaat bagiku sebagaimana bermanfaatnya harta Abū Bakr Ash-
Shiddīq”. Maka Abu Bakarpun menangis dan ia berkata, “Tidaklah diriku dan hartaku
kecuali untukmu (wahai Nabi)” (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban no 6819 dan dishahihkan
oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no 2718)
Artinya, setelah Islam berkembang banyak orang yang menyumbang hartanya bisa
jadi lebih banyak dari hartanya Abū Bakr Ash-Shiddīq. Akan tetapi di awal Islam, Rasūlullāh
ﷺsangat butuh bantuan dalam dakwahnya. Oleh karena itu, meskipun harta yang dikeluarkan
Abū Bakr Ash-Shiddīq mungkin lebih sedikit dibandingkan sahabat kaya lainnya, tetapi harta
beliau dikeluarkan di saat-saat penting di awal Islam sehingga tidak ada yang bisa memberi
manfaat sebagaimana bermanfaatnya harta Abū Bakr Ash-Shiddīq radhiyallāhu Ta’āla
‘anhu.
Abū Bakr Ash-Shiddīq ketika masuk Islam, beliau langsung aktif berdakwah secara
sembunyi-sembunyi sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ﷺ. Beliau berdakwah dengan
luar biasa sehingga masuklah ke dalam Islam orang-orang yang hebat melalui perantaraan
Abū Bakr Ash-Shiddīq. Diantara mereka adalah 5 orang yang dijamin masuk surga oleh Nabi
ﷺ, yaitu:
Inilah 5 dari 10 orang sahabat yang dijamin masuk surga, sebagaimana dalam hadīts bahwa
Rasūlullāh ﷺmenyebutkan orang-orang yang dijamin masuk surga.
َوع ُْث َم‘‘انُ فِي، َو ُع َم ُر فِي ال َجنَّ ِة، أَبُو بَ ْك ٍر فِي ال َجنَّ ِة:صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم
َ ِال َرسُو ُل هللا َ َ ق: قَا َل،ف ٍ ْع َْن َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن ْب ِن عَو .E
،الجنَّ ِة
َ َو َس‘‘ ْع ٌد فِي،ف فِي ال َجنَّ ِة ٍ ْ َو َعبْ‘‘ ُد ال‘‘رَّحْ َم ِن بْنُ عَ‘‘و،الجنَّ ِة َ الزبَيْ‘‘ ُر فِيُّ َوطَ ْل َح‘‘ ةُ فِي ال َجنَّ ِة َو، َو َعلِ ٌّي فِي ال َجنَّ ِة،ال َجنَّ ِة
َّاح فِي ال َجنَّ ِة َ ُ َوأَبُو ُعبَ ْي َدةَ بْن،َو َس ِعي ٌد فِي ال َجنَّ ِة
ِ الجر
“Dari Abdurrahman bin ‘Auf, dia berkata: Rasūlullāh ﷺbersabda: Abu Bakr di surga,
Umar di surga, Utsman di surga, Ali di surga, Thalhah di surga, Az-Zubair di surga,
Abdurrahman bin ‘Auf di surga, Sa’ad di surga, Sa’id di surga, dan Abu Ubaidah ibnul Jarrah
di surga.” (HR At Tirmidzi (3747), hadits shahih). Seluruh kebaikan yang dikerjakan oleh
‘Utsman, Az-Zubair, Thalhah, Abdurrahman bin ‘Auf, dan Sa’ad bin Abi Waqqash
pahalanya mengalir kepada Abū Bakr Ash-Shiddīq karena Abū Bakr Ash-Shiddīq lah yang
menyebabkan mereka masuk Islam. Demikian pula sahabat lainnya yang masuk Islam
melalui perantaraan beliau.
Dari sini kita bisa mengatahui bagaimana hebatnya Abū Bakr Ash-Shiddīq dalam
berdakwah. Para ulama menyebutkan beberapa rahasia dan alasan kenapa dakwah Abū Bakr
Ash-Shiddīq begitu mudah untuk diterima? Disebutkan diantaranya karena Abū Bakr Ash-
Shiddīq adalah orang yang berakhlaq mulia. Beliau adalah pedagang besar dan cara
berdagangnya membuat orang lain senang kepada beliau. Beliau juga orang yang cerdas dan
berilmu, banyak mengetahui tentang nasab Arab sehingga sebagian shahābat senang dengan
pembicaraan Abū Bakr Ash-Shiddīq, karena beliau orang yang mudah bergaul.
‘Ali bin Abī Thālib radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu adalah seorang pahlawan pemberani yang
sangat hebat. Beliau adalah salah satu putera Abū Thālib. Abū Thālib memiliki 3 orang putra;
Ja’far, Aqīl dan ‘Ali. Ketika Rasūlullāh ﷺmelihat pamannya, Abu Thalib, hidup dalam
kesusahan, beliau memberi usul kepada pamannya yang lain, ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib,
yang saat itu adalah seorang yang kaya, agar turut membantu Abu Thalib? Paman Nabi ﷺ
yang lain adalah Hamzah dan Abū Lahab. Hamzah adalah paman Nabi ﷺyang menyambut
Islam sedangkan Abū Thālib enggan masuk Islam hingga akhir hayatnya, tetapi beliau
memiliki andil besar di dalam membela Rasulullah. Adapun Abū Lahab adalah paman Nabi
yang paling memusuhi Islam, sedangkan ‘Abbas masuk Islam belakangan.
Menyambut usulan Muhammad ﷺ, maka berangkatlah mereka berdua (Rasulullah dan
‘Abbas) menemui Abū Thālib, kemudian menawarkan bantuan untuk merawat anak-anaknya
Abū Thālib. Lantas Abū Thālib mengizinkan dan mengatakan “selama Aqil bersama saya,
lakukanlah apa yang dikehendaki.” Akhirnya, Rasūlullāh ﷺmengambil ‘Ali bin Abī Thālib,
Al-‘Abbas mengambil Ja’far sedangkan Aqil masih bersama bapaknya Abū Thālib.
Jadi, ‘Ali bin Abī Thālib sebenarnya dirawat oleh Rasūlullāh ﷺ, seakan-akan anak Nabi
ﷺ. Karena itulah ketika ‘Ali ditawarkan untuk masuk Islam, beliau langsung menerimanya
dan masuk Islam, saat itu umur ‘Ali baru 10 tahun. Meski masih 10 tahun, Rasulullah tahu
betapa cerdas dan pintarnya ‘Ali bin Abī Thālib radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu.
⑸ Zaid bin Hāritsah (Budaknya Rasūlullāh )ﷺ
Zaid bin Hāritsah bin Syurahbil al-Ka’biy adalah seorang Arab, yang suatu hari -di zaman
jahiliyah- ia keluar bersama ibunya, tiba-tiba datang sebagian kabilah dan menculik si kecil
Zaid bin Hāritsah dari ibunya. Setelah diculik, Zaid lalu dijadikan budak dan diperjualbelikan
di pasar ‘Ukaazh dan akhirnya dibeli oleh seorang shahābat bernama Hakīm bin Hizam
(keponakannya Khadījah) dengan harga 400 dirham. Setelah itu, Hakīm bin Hizam
menghadiahkan Zaid bin Hāritsah kepada Khadījah bintu Khuwailid radhiyallāhu Ta’āla
‘anhā. Tatkala Khadijah menikah dengan Rasūlullāh ﷺ, maka Khadījahpun menghadiahkan
Rasūlullāh ﷺsangat menyayangi Zaid bin Hāritsah, sampai-sampai para shahābat pun
mengenal bahwa Zaid bin Hāritsah adalah kesayangan Rasūlullāh ﷺ. Saat Rasūlullāh ﷺ
menikah dengan Khadījah, mereka dikaruniai 6 orang anak (2 laki-laki dan 4 perempuan),
sementara saat diangkat menjadi Nabi kedua putranya sudah meninggal dunia semua, yang
bersisa tinggal putri-putrinya. Maka tatkala Zaid bin Hāritsah tinggal dirumahnya, Rasūlullāh
ﷺbegitu sayang kepadanya karena Rasulullah ﷺsudah tidak punya anak laki-laki.
Seiring berjalannya waktu, akhirnya keluarga Zaid bin Hāritsah mengetahui bahwa Zaid
bin Hāritsah masih hidup. Mereka telah mencari-cari anaknya yang hilang selama bertahun-
tahun. Ayahnya (yaitu Haritsah bin Syurahbil) dan pamannya (yaitu Ka’ab) lalu menemui
Rasūlullāh ﷺuntuk meminta kembali anak mereka. Mereka mengatakan “Kami ingin
membayar kepadamu uang untuk menebus anak kami.” Kemudian kata Rasūlullāh ﷺ, “Tidak
perlu Anda membayar apapun, cukup tanyakan saja kepada Zaid, jika dia mau maka silakan
ambil dia dan tidak usah membayar.”
Kemudian mereka menemui Zaid bin Hāritsah dan menawarkan kepada dirinya apakah ia
ingin kembali kepada keluarganya atau tetap bersama Muhammad. Maka Zaid bin Hāritsah
memilih untuk tetap bersama Muhammad. Padahal bapak dan paman Zaid bin Hāritsah
sendiri yang langsung meminta. Hal ini menyebabkan mereka marah lalu mengatakan,
“Apakah engkau lebih memilih menjadi budaknya Muhammad daripada ikut kami, ayah,
paman dan keluargamu?” Zaid menjawab, “Iya, sungguh aku telah melihat sesuatu pada
orang ini (yaitu Muhammad) yang menjadikan aku tidak bisa meninggalkannya dan
mengikuti yang lain”. Walaupun statusnya budak, tetapi Zaid bin Hāritsah sudah dianggap
seperti anak sendiri oleh Rasūlullāh ﷺ. (Lihat Al-Ishabah fi Tamyiz As-Shahabah, Ibnu Hajar
2/495-496)
Zaid tadinya dikenal dengan nama Zaid bin Muhammad, sampai akhirnya Allāh melarang
dan menghapuskan hukum bahwa tidak boleh seseorang menyandarkan nasab kepada yang
bukan ayahnya. Jadilah Zaid bin Hāritsah, kembali ke nasab sebelumnya. Setelah menikah,
Zaid memiliki anak yang bernama Usamah bin Zaid yang juga dicintai oleh Nabi ﷺdan
Perhatikanlah, sebagian besar yang pertama kali masuk Islam adalah para pemuda. Abū
Bakr Ash-Shiddīq bisa dianggap yang paling tua saat itu, usia beliau sebaya dengan Nabi ﷺ
yaitu sekitar 38 tahun (2 tahun lebih muda dari Nabi). Adapun ‘Utsman berumur sekitar 34
tahun, ‘Ali baru berusia 10 tahun, sedangkan Zaid bin Hāritsah sekitar 20 tahunan. Zubair bin
Awwam masih 15 tahun, ‘Abdurrahman bin ‘Auf 30 tahun, Sa’ad bin Abi Waqqash masih 14
tahun, Thalhah bin ‘Ubaidillah masih 15 tahun, dan pemuda-pemuda lainnya semoga Allah
merahmati mereka semua.
Para ulama menjelaskan bahwa Nabi ﷺmemulai dakwahnya kepada para pemuda karena
para pemuda lebih mudah menerima daripada orang-orang yang lebih tua. Banyak faktor
yang menyebabkan mengapa anak muda mudah menerima dakwah, diantaranya:
⑴ Orang tua lebih sulit menerima dakwah karena mereka sudah lebih lama dan bertahun-
tahun terbiasa dengan tradisi. Berbeda dengan anak muda, yang lebih dinamis dan mudah
menerima perubahan. Selain itu, tradisi berlum terlalu mendarah daging dalam diri mereka.
⑵ Anak-anak muda cenderung kritis dan senang dengan hal-hal yang “baru” (fresh).
Rasūlullāh ﷺsendiri membawa ajaran “baru” yang menyelisihi tradisi. Sebenarnya ajaran
Islam bukanlah ajaran yang “baru”, namun ajaran yang “memperbaharui” (tajdid), yang
sejatinya mengembalikannya kepada ajaran Nabi Ibrāhīm ‘alayhissalām. Ajaran ini
sebenarnya ajaran yang lebih tua tetapi karena lama ditinggalkan, maka kaum musyrikin
menganggapnya sebagai ajaran yang baru.
⑶ Anak muda lebih semangat dan antusias.
Karena itu tidak boleh meremehkan anak-anak muda, karena mereka adalah pelanjut
dakwah yang mulia ini. Mereka harus dibimbing, didakwahi, dan diarahkan. Sebagaimana
pula tidak boleh meremehkan orang tua, karena mereka tetap harus dihormati dan
dimuliakan. Ketika orang-orang yang lebih tua cenderung sulit atau bahkan menolak dakwah,
maka anak-anak mudanya yang didakwahi dan dibimbing, sebagaimana cara Nabi di dalam
berdakwah. Anak-anak muda dari kalangan shahābat Nabi inilah yang akan menjadi pejuang
Islam dan generasi masa depan. Jangan heran apabila orang-orang kafir sangat memahami
bahwa untuk merusak suatu bangsa maka tidak perlu memeranginya tetapi cukup merusak
generasi mudanya. Karena rusaknya generasi muda adalah rusaknya suatu bangsa.
Ada beberapa faidah yang bisa dipetik dari dakwah Nabi ﷺsecara sembunyi-sembunyi ini
⑴ Jika kaum muslimin saat itu dalam kondisi lemah dan dalam keadaan ditekan, maka tidak
mengapa berdakwah secara sembunyi-sembunyi, sebagaimana yang dilakukan Nabi selama 3
atau 4 tahun. Para ulama mengatakan bahwa hukum asal berdakwah bagi kaum muslimin
adalah secara terang-terangan, selama itu tidak mendatangkan mudharat. Misalnya
pemerintah jahat melarangnya, dan yang berani melanggar akan ditangkap atau dibunuh,
maka dalam kondisi inilah berdakwah itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Lain halnya
jika tidak ada mudharat ketika menampakkan dakwah, namun ternyata ada kelompok yang
malah berdakwah secara sembunyi-sembunyi, maka yang demikian kita wajib berhati-hati,
sebab seringkali dakwah yang seperti ini mereka telah menyembunyikan sesuatu dan mereka
berada di atas kebathilan.
⑵ Dakwah Islam adalah dakwah yang universal (menyeluruh), bukan untuk satu bangsa atau
suku Arab saja. Ketika Rasūlullāh ﷺmulai berdakwah dan dibantu oleh sahabat setia beliau
Abū Bakr Ash-Shiddīq, banyak orang yang masuk Islam dari berbagai kalangan, dari
kalangan orang yang nasabnya tinggi hingga yang biasa, ada orang-orang yang kaya dan ada
pula orang yang miskin. Ini menunjukkan bahwa Rasūlullāh ﷺmenawarkan Islam kepada
siapa saja. Bahkan bukan hanya kepada orang merdeka, budak pun juga diajak untuk masuk
Islam. Tanpa terkecuali orang Persia dan orang Romawi. Semua orang berhak untuk ditarik
dan diajak masuk ke dalam Islam. Meskipun Islam turun di Jazirah Arab, namun Islam adalah
agama untuk semua tanpa pandang bulu dan warna. Islam tidak memuliakan seseorang
lantaran nasab, jabatan, atau harta, tetapi Islam memuliakan dengan takwa.
ketika turun ayat surah al-Syu’ara 214 yang berbunyi: “Dan berilah peringatan kepada
kerabat-kerabatmu yang terdekat.”Langkah pertama yang dilakukan oleh Nabi saw. setelah
turun ayat ini adalah mengundang Bani Hasyim. Nabi dilindungi oleh Abu Thalib. Suatu hari
Nabi berdiri di atas bukit Shafa lalu berseru, “Wahai semua orang, apa pendapat kalian jika
aku kabarkan bahwa di belakang ini ada sepasukan kuda yang mengepung kalian, apakah
kalian percaya padaku?” Mereka menjawab, “Benar, kami tidak pernah melihat engkau
kecuali kejujuran.” Kemudian Nabi berkata, “Sesungguhnya aku memberi peringatan kepada
kalian sebelum datangnya azab yang pedih.” Abu Lahab berkata, “Cekalah engkau selama-
lamanya untuk inikah engkau mengumpulkan kami!? Kemudian turunlah ayat, “Celakalah
kedua tangan Abu Lahab.”Kemudian Allah menurunkan ayat-Nya: “Maka sampaikanlah
olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah
dari orang-orang yang musyrik.” (QS. Al-Hijr: 94)
Rasulullah langsung bangkit dan menyerang berbagai khurafat dan kesyirikan. Nabi
terlebih dahulu menyeru penduduk Mekah, lalu penduduk negeri-negeri lain. Ia juga menyeru
orang-orang yang datang berhaji ke Mekah dari berbagai negeri untuk memeluk Islam.
Dakwah Nabi tidak berjalan mulus, sebagaimana yang pernah dikatakan oleh
Waraqah bin Naufal, sepupu Khadijah yang beragama Nasrani bahwa suatu saat Muhammad
akan dibenci oleh kaumnya, dinamakannya pembohong, dikucilkan, bahkan diperangi. Para
pemuka Quraisy seperti Abu Lahab, Abu Sufyan, Abu Jahal, dan bangsawan Quraisy
terkemuka lainnya mulai merasakan bahwa ajaran Muhammad itu merupakan bahaya besar
bagi kedudukan mereka. Yang mula-mula mereka lakukan adalah menyerangnya dengan cara
mendiskreditkan, dan mendustakan kenabiannya.
Kaum Quraisy mengutus Utbah bin Rabi’ah, seorang ahli retorika untuk membujuk
Nabi. Mereka menawarkan harta, tahta, dan wanita agar Nabi bersedia menghentikan
dakwahnya. Semua tawaran itu ditolak. Nabi berkata kepada pamannya, Abu Thalib, “Paman,
jika mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak
akan berhenti melakukan ini, hingga agama ini menang atau aku binasa karenanya.”
Banyak di kalangan orang-orang lemah dan budak yang mengikuti dakwah Nabi
mendapat tantangan dan penganiayaan dari tuan-tuan mereka, diantaranya adalah keluarga
Yasir. Istri Yasir, Sumayyah harus menemui ajal setelah dibunuh oleh majikannya karena
tidak mau melepaskan keislamannya. Begitu juga siksaan yang dialami oleh bilal. Ia diseret
di atas padang pasir di bawah terik matahari dan dadanya ditindih dengan batu besar.
Kaum Muslimin yang lain juga tak lepas dari penganiayaan. Tidak terkecuali Nabi
Muhammad, ia mengalami gangguan-gangguan meskipun sudah dilindungi oleh Bani
Hasyim dan Bani al-Muttalib. Ummu Jamil, isteri Abu Jahal, melemparkan najis ke depan
rumahnya. Dan pada waktu beribadah, Abu Jahal melemparinya dengan isi perut kambing
yang sudah disembelih untuk sesajen kepada berhala-berhala. Umat Islam harus menerima
kata-kata keji kemana saja mereka pergi. Cukup lama hal serupa berjalan tetapi mereka tetap
teguh dengan keimanan mereka.
Penderitaan makin menjadi-jadi ketika Abu Thalib dan Khadijah yang selalu
melindungi dan membantu Nabi Muhammad meninggal dunia. Peristiwa ini terjadi pada
tahun kesepuluh kenabian. Tahun ini dinamakan Am al-Huzn atau tahun kesedihan.
Menurut Ahmad Syalabi, 5 faktor yang mendorong orang Quraisy menentang dakwah Islam
1. Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Mereka mengira bahwa
tunduk kepada seruan Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abd al-
Muttalib.
2. Nabi Muhammad saw. menyerukan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya.
Hal ini tidak disetujui oleh kelas bangsawan Quraisy.
3. Para pemimpin Quraisy tidak menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan
pembalasan di akhirat.
4. Taklid kepada nenek moyang adalah kebiasaan berakar pada bangsa Arab.
Meskipun demikian, Nabi tidak berhenti berdakwah dan menyerukan Islam. Di antara
yang didakwahi oleh Rasulullah adalah penduduk Yatsrib, suku Aus dan Khazraj. Mereka
datang ke Mekah untuk memeluk agama Islam dan menerapkan ajarannya sebagai upaya
untuk mendamaikan permusuhan antara kedua suku. Pada tahun keduabelas kenabian mereka
datang kembali menemui Nabi dan mengadakan perjanjian yang dikenal dengan perjanjian
Aqabah pertama, yang berisi ikrar kesetiaan. Rombongan ini kemudian kembali ke Yasrib
sebagai juru dakwah disertai sahabat Rasulullah, Mush’ab bin Umair yang diutus oleh Nabi
untuk berdakwah di sana. Gelombang ketiga, pada tahun ketiga belas kenabian, mereka
datang kembali kepada Nabi untuk hijrah ke Yasrib. Mereka membai’at Nabi sebagai
pemimpin. Nabi pun akhirnya menyetujui usulan mereka untuk berhijrah. Perjanjian ini
disebut perjanjian Aqabah Kedua.
HIJRAH KE THAIF
Peristiwa hijrah Nabi Muhammad ke Thaif terjadi pada tahun ke-10 Kenabian ketika para
ketua
dan pembesar musyrikin Quraisy menyadari bahwa Nabi tidak mempunyai tulang punggung
yang dapat melindungi beliau apabila disakiti dan dianiaya atau diperlakukan dengan kejam
karena orang yang beliau sayangi dan kasihi telah meninggal dunia, yaitu Abu Thalib dan
Khadijah sehingga disebut tahun kesedihan (Ammul Huzni), maka mereka semakin
menghalangi dan memusuhi beliau. Setiap hari, siang dan malam, beliau tidak henti-henti
menerima celaan, cercaan, penghinaan, dan perbuatan yang menyakitkan dari para musyrikin
Quraisy. Oleh sebab itu, teringat oleh beliau bahwa di kota Thaif ada seorang yang masih
termasuk keluarga dekat beliau dari keturunan Tsaqif. Di kota Thaif, merekalah yang memegang
kekuasaan. Ketika itu tinggal tiga orang, yaitu: Kinanah yang bergelar Abdu Jaffi, Mas’ud yang
bergelar Abdul Kulal, dan Habib. Ketiganya adalah anak dari Amr bin Umair bin Auf ats-
Tsaqafi dan masing-masing memegang kekuasaan di kota Thaif.
Nabi Muhammad memilih Thaifkarena Thaif adalah wilayah yang sangat strategis bagi
masyarakat Quraisy. Bahkan kaum Quraisy sangat menginginkan wilayah tersebut dapat mereka
kuasai. Sebelumnya mereka telah mencoba untuk melakukan hal itu. Bahkan mereka melompat
ke lembah Wajj. Hal demikian lantaran Thaif memiliki sumber daya pertanian yang sangat kaya.
Hingga akhirnya orang-orang Tsaqif takut kepada mereka dan mau bersekutu dengan mereka.
Bergabung pula bersama mereka Bani Daus.[4] Tidak sedikit dari orang-orang kaya di Makkah
yang memiliki simpanan harta di Thaif. Disana juga mereka mengisi waktu-waktu rehat pada
musim panas. Adapun Kabilah Bani Hasyim dan Abdu Syam senantiasa menjalin komunikasi
baik dengan orang-orang Thaif. Pergerakan dakwah yang penuh strategi yang dijalankan oleh
Rasulullah ini sebagai bentuk upaya beliau, antusias beliau, untuk mendirikan negara Islam
tangguh yang sanggup bertahan dalam arena pertarungan. Karena, sesungguhnya suatu negara
yang kuat merupakan fasilitas dakwah yang teramat penting dan utama. Maka tatkala beliau tiba
di Thaif, beliau langsung menuju pusat kekuasaan, tempat diputuskannya suatu ketetapan politik
di Thaif.
Nabi SAW berharap apabila beliau datang ke Thaif dan bertemu dengan mereka, mereka
bisa mengikuti seruannya dan ikut serta menggerakkan dakwah beliau di kota itu. Dengan
demikian, penduduk kota itu akan segera mengikuti seruan beliau dan selanjutnya mereka
dapat memberi bantuan untuk kepentingan penyiaran Islam di kota Mekah. Dengan tidak
berpikir panjang, Nabi saw berangkat ke Thoifsecara diam-diam bersama Zaid bin Haritsah
(bekas budak Khadijah yang telah diangkat sebagai anak beliau)dengan berjalan kaki.
Setiba Nabi saw. di Thaif bersama Zaid, beliau mencari tempat kediaman orang yang
ditujunya, yakni para pemimpin Bani Tsaqif yang sedang berkuasa disana. Beliau lalu
menyatakan maksud kedatangannya kepada mereka, yaitu selain hendak menyambug tali kasih
sayang dengan mereka dan mengekalkan persaudaraan dengan mereka sepanjang adat istiadat
bangsa Arab, beliau menganjurkan kepada mereka supaya mengikut apa yang diserukannya.
Setelah mereka mendengar seruan beliau, seketika itu penduduk Thaif yang bodoh marah,
mencaci maki, dan mendustakan beliau dengan perkataan-perkataan yang sangat kasar. Mereka
mengusir beliau dari rumah mereka dan pergi dari kota Thaif. Jika tidak, beliau diancam akan
dibinasakan saat itu juga.
Setelah mendengar celaan, caci maki, dan ancaman mereka, beliau mohon diri seraya
berkata, “Jikalau kamu tidak sudi menerima kedatanganku ke sini, tidak mengapa. Tetapi
janganlah kedatanganku kemari disiarkan kepada penduduk kota ini.”
Beliau tidak ingin hal tersebut terdengar oleh kaumnya sehingga akan memperunyam
keadaan. Karena dalam misinya ini, beliau berusaha melakukan serahasia mungkin, dan tidak
ingin tercium pergerakanya oleh kaum Quraisy, karena beliau sangat memperhatikan hal-hal
berikut ini:
* Saat berangkat ke Thaif, beliau tidak menggunakan kendaraan, namun dilakukan
dengan berjalan kaki, agar orang Quraisy tidak mengira bahwa beliau akan keluar dari
Makkah. Sebab jika sampai beliau menggunakan kendaraan, mereka akan membaca bahwa
beliau sedang menuju suatu tempat tertentu, dan boleh jadi mereka akan melakukan
penghadangan dan pencekalan.
* Rasulullah mengajak Zaid, anak angkat beliau dalam keberangkatan tersebut. Jika
dicermati, dengan memiih Zaid sebagai teman perjalanan, terdapat beberapa aspek keamanan
yaitu, jika orang melihat bahwa ada orang lain yang menemani keberadaannya, tentunya
mereka akan membaca bahwa Rasulullah tidak bergerak sendirian. Disamping itu, beliau
mengenal Zaid sangat dekat. Beliau percaya Zaid dapat menjaga rahasia, karena dia adalah
orang yang ikhlas, jujur, dan amanah. Dan itulah yang ditampakkan Zaid tatkala beliau
diserang dengan lemparan batu. Dia dengan berani melindungi Rasulullah dengan mnjadikan
dirinya sebagai perisai beliau dari lemparan tersebut walaupun kepalanya harus cedera.
Tatkala perlakuan para pemuka dan masyarakat Thaif sangat buruk kepada beliau. Beliau
dengan sabar menanggunnya, tidaklah beliau marah atau mendendam, namun beliau hanya
meminta agar mereka tidak menutupi semua kejadian ini. Inilah langkah kerahasiaan yang
sangat optimal. Sebab jika sampai orang Quraisy mengetahui hal itu, tidak hanya mereka akan
mencerca beliau, namun boleh jadi mereka akan semakin keras dalam melakukan penindasan
dan tekanan, maka semakin terhalangilah semua gerakan beliau di dalam dan luar Makkah.
1. Berserah diri dan berdoa kepada Allah
Sungguh, Bani Amr adalah orang-orang yang tercela, bukannya menutupi peristiwa itu,
mereka malah membesar-besarkannya dengan melakukan aksi penyerangan kepada Rasul.
Mereka melempari beliau hingga berdarah-darah. Hingga akhirnya beliau dan Zaid terpojok di
perkebunan Atabah dan Syaibah.Keduanya adalah putra Rabi’ah yang sedang berada di dalam
kebun tersebut. Lalu setelah melihat kondisi yang demikian, orang-orang Tsaqif yang semula
mengejar beliau akhirnya kembali pulang. Lalu beliau bersandar di salah satu batang anggur.
Di sana beliau dan anak angkatnya Zaid terduduk lemas, berusaha memulihkan tenaga dari apa
yang baru saja keduanya rasakan, dan kedua putra Rabi’ah si pemilik kebun melihat kepada
beliau dan Zaid. Keduanya pun menyaksikan dengan mata kepala apa yang diterima Rasulullah
dari keburukan orang-orang Tsaqif. Maka dalam kondisi yang lemah dan tekanan psikis
tersebut, beliau bermunajat kepada-Nya mengharap ridha-Nya semata.
“Ya, Allah kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kesanggupanku, dan
kerendahan diriku berhadapan dengan manusia. Wahai Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Engkaulah Peindung bagi si lemah dan Engkau jualah pelindungku! Kepada siapa
diriku hendak Engkau serahkan? Kepada orang jauh yang berwajah suram terhadapku, ataukah
kepada musuh yang akan menguasai diriku? Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka semua
itu tak kuhiraukan, karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku. Aku
berlindung pada sinar cahaya wajah-Mu, yang menerangi kegelapan dan mendatangkan
kebajikan di dunia dan di akhirat dari murka-Mu yang hendak Engkau turunkan dan
mempermasalahkan diriku. Engkau berkenan, sungguh tiada daya dan kekuatan apa pun selain
atas perkenan-Mu”
2. Pertemuan Addas dengan Nabi Muhamad SAW
Utbah dan Syaibah yang sedang berada di kebun itu selalu mengamati gerak-gerik Nabi
dan Zaid. Keduanya pun mengetahui bahwa kedua orang itu tengah menderita karena tampak
oleh mereka bahwa keduanya sedang terluka parah dan berlumuran darah. Timbullah rasa
kasihan mereka terhadap dri Nabi dan Zaid. Mereka lalu menyuruh bujangnya bernama
Addas supaya mengantar sepiring anggur kepada Nabi.
Addas adalah seorang pengikut agama Nasrani. Ketika ia mendapat perintah dari tuannya
supaya mengantar sepiring anggur, ia segera mengambil buah dan diantarkannya kepada
Nabi. Sebelum anggur itu diantar, Addas dipesan oleh tuannya bahwa apabila anggur itu telah
sampai, Nabi segera dipersilakan memakannya. Pesan itu oleh Addas dipeerhatikan benar-
benar. Setelah sampai kepada Nabi saw, Addas mempersilahkan beliau untuk segera
memakanya. Sepiring anggur itu diterima Nabi saw dengan baik dan sebagian anggur itu
diberikan kepada Zaid lalu mereka segera memakannya. Ketika hendak memakannya mereka
membaca bismillah.
Addas selalu memperhatikan gerak-gerik Nabi saw. dari jauh, Utbah dan Syaibah
memperhatikan juga. Sesudah Nabi dan Zaid memakan buah anggur tadi, Addas lalu bertanya
kepada Nabi tentang kalimat yang dibaca oleh beliau ketika makan.
Beliau bertanya, “dari negeri apakah engkau wahai Addas? Dan apa agamamu?” dia
menjawab, aku seorang Nasrani dan aku adalah seorang yang berasal dari negeri Ninawa.”
Rasul bertanya lagi, “ apakah dari desa seorang lelaki yang shaleh bernama Yunus bin
Mata?”
Addas menjawab, “ apa yang engkau ketahui tentang Yunus bin Mata?”
Beliau bersabda, “dia adalah saudaraku, dia seorang Nabi dan aku pun seorang Nabi.”
Lalu Addas langsung memeluk Rasulullah, mencium tangan dan kakinya. Melihat tingkah
Addas, kedua putra Rabi’ah yang merupakan majikannya berkata antara satu dengan yang
lainnya, “budakmu telah dirusak di hadapanmu.”Maka ketika Addas datang kembali kepada
majikannya, keduanya berkata,”celakalah engkau wahai Addas, mengapa engkau tadi
mencium kepada tangan dan kaki lelaki itu?”
Addas menjawab,”wahai tuanku, tidak ada di muka bumi ini yang lebih baik dari lelaki ini.
Sungguh dia telah menyampaikan kepadaku tentang suatu perkara yang tak seorang pun
mengetahuinya selain aku.”
Keduanya berkata, “celakalah engkau, jangan sampai dia membuatmu berpaling dari
agamamu, sesungguhnya agamamu lebih baik daripada agamanya.”
Keteladanan terkait dengan kesabaran Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa hijrah ke
Thaif dan Habsyah Nabi Muhammad Saw adalah seorang manusia yang mulia pilihan Allah
SWT. Tak salah jika perkataan dan perbuatannya dijadikan sebagai teladan oleh umat Islam
dalam kehidupan manusia. Sikapnya yang lembut dan tak pendendam menjadikan ciri suri
tauladan yang dicontohkan beliau. Rasulullah juga selalu tenang dan tidak gegabah dalam
menjalankan suatu misi atau peperangan untuk menyiarkan agama Islam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari rasulullah kecil beliau mendapat cobaan yang begitu besar seperti ditinggalkan kedua
orang tuanya. Meskipun begitu rasulullah juga telah menunjukkan jiwa kenabian nya sejak
kecil seperti pada usia 4 tahun dada nya di cuci oleh malaikat jibril. Menginjak remaja beliau
mengembala kambing dan berdegang. Beliau sangat amanah sehingga seorang pengusaha
kaya bernama khadiah jatuh hati kepada rasulullah. Usia 25 tahun rasulullah memutuskan
menikahi khadijah. Pada usia ke 40 tahun beliau mendapatkan wahyu pertama kali di gua hira
melalui perantara malaikat jibril. Wahyu pertama kali yang turun yaitu surat al alaq ayat 1-5.
Rasulullah memutuskan menyampaikan wahyu trsebut dengan berdakwah scara sembunyi
smebunyi. Ketika dakwah secara sembunyi sembunyi Rasulullahmendapatkan sekitar 10
orang yang masuk islam. Setelah itu Rasulullah memutuskan dakwah secara terang terangan.
Meskipun hal tersebut sangat membahayakan tetapi Rasulullah oantang menyerah untuk
melakukannya. Kemudian rasulullah melakukan hijrah ke habsyi dan thaif. Begitu juga ketika
Rasulullah melakukan hijrah ke negeri Habsyah dan Thaif. Beberapa teladan yang dapat
dipetik dalam peristiwa tersebut adalah diantaranya Tidak mengandalkan keajaiban di luar
kemampuan manusia biasa. Apa yang dapat dilakukan diperhitungkan dengan matang. Sabar
dalam menghadapi setiap musuh yang menghadang beliau. Tidak membalas kekerasan yang
dilakukan oleh musuh. Hijrah Rasulullah Saw dilakukan semata-mata hanya untuk
menyiarkan agama Islam. Tawakal selalu melekat dalam hatinya dalam menghadapi segala
masalah.
B. Saran
Dari makalah yang saya susun ini saya berharap agar pembaca dapat memahami maksud dari
makalah ini dan bisa menambah pengetahuan dan wawasan tentang mengenai dakwah Nabi
Muhammad Saw di makkah.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
https://www.seputarpengetahuan.co.id/2015/04/sejarah-singkat-nabi-muhammad-saw-
terlengkap.html
https://islami.co/kisah-rasulullah-saw-dan-ibu-susuannya-halimah-as-sadiyah/
https://bincangsyariah.com/khazanah/wafatnya-aminah-ibunda-nabi-muhammad-saw/
https://kisahmuslim.com/1706-nabi-muhammad-bersama-kakeknya.html
http://blog-mza.blogspot.com/2016/02/kisah-diangkatnya-muhammad-menjdai-rasul.html
https://almanhaj.or.id/804-diangkatnya-muhammad-menjadi-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam.html
https://firanda.com/2510-sirah-nabi-22-dakwah-sembunyi-sembunyi.html
http://aliyahumatul.blogspot.com/2017/12/hijrahnya-nabi-muhammad-ke-habsyi-thaif.html