Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN NABI MUHAMMAD SAW..........................................5
A. Kelahiran Nabi Muhammad SAW.............................................................5
B. Muhammad Diangkat Menjadi Rasul........................................................6
C. Wafatnya Nabi Muhammad SAW............................................................11
BAB III PENUTUP...............................................................................................13
KESIMPULAN..................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN
2
Tidak lama setelah kelahirannya, Muhammad SAW diserahkan kepada
Tsuwaibah, budak perempuan pamannya, Abu Lahab, yang pernah menyusui
Hamzah. Meskipun diasuh olehnya hanya beberapa hari, nabi tetap menyimpan
rasa kekeluargaan yang mendalam dan selalu menghormatinya. Selanjutnya
disusui oleh Halimah, seorang wanita badui dari Suku Bani Sa’ad. Nabi
Muhammad SAW diasuhnya dengan hati-hati dan penuh kasih sayang, dan
tumbuh menjadi anak yang sehat dan kekar. Pada usia lima tahun, nabi
dikembalikan Halimah kepada ibunya.
Pada usia enam tahun, ibunya meninggal, maka beliau diasuh oleh
kakeknya, Abdul Muthalib. Dua tahun kemudian, kakeknya yang berumur 82
tahun, juga meninggal dunia. Maka pada usia delapan tahun itu, nabi diasuh oleh
pamannya, Abi Thalib.
Ketika berusia dua belas tahun, Muhammad SAW mengikuti pamannya,
Abu Thalib untuk berdagang menuju Suriah. Ia dibesarkan dan hidup bersama
suku Quraisy Mekah, dan hari-hari yang dilaluinya penuh dengan pengalaman
yang sangat berharga. Pada masa mudanya, beliau telah menjadi pengusaha
sukses dan hidup berkecukupan. Kemudian pada usia 25 tahun, beliau menikah
janda kaya Mekah, Khadijah binti Khuwailid yang telah berusia 40 tahun.3[3]
Pada usia 30 tahun, Muhammad SAW bisa mendamaikan perselisihan
kecil yang muncul di tengah-tengah suku Quraisy yang sedang melakukan
renovasi Ka’bah. Mereka mempersoalkan siapa yang paling berhak menempatkan
posisi Hajar Aswad di Ka’bah. Beliau membagi tugas kepada mereka dengan
teknik dan strategi yang sangat adil dan melegakan hati mereka.4[4]
4
Jibril, yaitu ayat 1 sampai 5 dalam surat Al-‘Alaq. Dia merasa ketakutan karena
belum pernah mendengar dan mengalaminya. Dengan turunnya wahyu yang
pertama itu, berarti Muhammad SAW telah dipilih Allah sebagai nabi. Dalam
wahyu pertama ini, dia belum diperintahkan untuk menyeru manusia kepada suatu
agama.5[5]
Peristiwa turunnya wahyu itu menandakan telah diangkatnya Muhammad
SAW sebagai seorang nabi penerima wahyu di tanah Arab. Malam terjadinya
peristiwa itu kemudian dikenal sebagai “Malam Penuh Keagungan” (Laylah al-
qadar), dan menurut sebagian riwayat terjadi menjelang akhir bulan Ramadhan.
Setelah wahyu pertama turun, yang menandai masa awal kenabian. Ketika hati
Muhammad SAW diliputi kegelisahan yang sangat dan merasakan beban emosi
yang menghimpit, dia pulang ke rumah dengan perasaan waswas, dan meminta
istrinya untuk menyelimutinya. Saat itulah turun wahyu yang kedua yang
berbunyi: “Wahai kau yang berselimut! Bangkit dan berilah peringatan!.” Dan
seterusnya, yaitu surat al-Muddatstsir: 1-7. Wahyu yang telah, dan kemudian
turun sepanjang hidup Muhammad SAW, muncul dalam bentuk suara-suara yang
berbeda-beda. Tapi pada periode akhir kenabiannya, wahyu –surah-surah
Madaniyah- turun dalam satu suara.6[6]
Dengan turunnya awal surat al-Muddatstsir itu, mulailah Nabi Muhammad
SAW berdakwah, pertama-tama, beliau melakukannya secara diam-diam di
lingkungan sendiri dan di kalangan rekan-rekannya. Karena itulah, orang yang
pertama kali menerima dakwahnya adalah keluarga dan sahabat dekatnya. Mula-
mula istrinya sendiri, Khadijah, kemudian saudara sepupunya Ali bin Abi Thalib
yang baru berumur 10 tahun. Kemudian, Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat
karibnya sejak masa kanak-kanak. Lalu Zaid bin ‘Amr, bekas budak yang telah
menjadi anak angkatnya. Ummu Aiman, pengasuh nabi sejak Aminah masih
hidup, juga termasuk orang yang pertama masuk Islam.
Setelah beberapa lama dakwah Nabi Muhammad SAW tersebut
dilaksanakan secara individual, turunlah perintah agar nabi menjalankan dakwah
secara terbuka. Mula-mula beliau mengundang dan menyeru kerabat karibnya dan
6
Bani Abdul Muthalib. Beliau mengatakan di tengah-tengah mereka, “Saya tidak
melihat seorang pun di kalangan Arab yang dapat membawa sesuatu ke tengah-
tengah mereka lebih baik dari apa yang saya bawa kepada kalian. Kubawakan
kepada kalian dunia dan akhirat yang terbaik. Tuhan memerintahkan saya
mengajak kalian semua. Siapakah diantara kalian yang mau mendukung saya
dalam hal ini?”. Mereka semua menolak kecuali Ali bin Abi Thalib.7[7]
Karena mendapat perintah dan dipicu oleh tugas baru yang harus beliau
laksanakan sebagai seorang utusan Allah, Muhammad SAW menemui dan
berbaur di tengah masyarakatnya untuk mengajar, berdakwah, dan menyampaikan
risalah barunya. Kebanyakan mereka menertawakan dan memakinya. Pada tahap
itulah beliau berperan sebagai pemberi peringatan dan berusaha melaksanakan
misinya dengan memberikan gambaran yang jelas tentang nikmat surga dan siksa
neraka. Beliau juga memperingatkan kaumnya tentang kedatangan hari kiamat
yang tidak akan lama lagi. Singkat, tegas, ekspresif, dan mengesankan merupakan
karakteristik wahyunya yang paling awal, yaitu surah-surah Makiyah.
Langkah dakwah seterusnya yang diambil nabi adalah menyeru
masyarakat umum. Nabi mulai menyeru segenap lapisan masyarakat kepada Islam
dengan terang-terangan, baik golongan bangsawan maupun hamba sahaya. Mula-
mula beliau menyeru penduduk Mekah, kemudian penduduk negeri-negeri lain.
Di samping itu, beliau menyeru orang-orang yang datang ke Mekah, dari berbagai
negeri untuk mengerjakan haji. Kegiatan dakwah dijalankannya tanpa mengenal
lelah. Dengan usahanya yang gigih, hasil yang diharapkan mulai terlihat. Jumlah
pengikut Nabi yang tadinya hanya belasan orang, makin hari makin bertambah.
Mereka terutama terdiri dari kaum wanita, budak, pekerja dan orang-orang yang
tidak punya. Meskipun kebanyakan mereka adalah orang-orang yang lemah,
namun semangat mereka sungguh membaja.
Banyak cara yang ditempuh para pemimpin Quraisy untuk mencegah
dakwah Nabi Muahammad SAW. Pertama-tama mereka mengira bahwa kekuatan
nabi terletak dari perlindungan dan pembelaan Abu Thalib yang sangat disegani
itu. Karena itu mereka menyusun siasat bagaimana melepaskan hubungan nabi
dengan pamannya itu. Mereka pun mengancam Abu Thalib. Nampaknya Abu
7
Thalib cukup terpengaruh oleh ancaman mereka, sehingga ia mengharapkan
Muhammad SAW menghentikan dakwahnya. Namun, Nabi Muhammad SAW
menolak untuk menghentikan dakwahnya, meskipun diancam akan dikucilkan
oleh seluruh anggota keluarga dan sanak saudara.
Usaha orang-orang Quraisy untuk menghalangi hijrah ke Habsyah ini,
termasuk membujuk Negus (Raja) agar menolak kehadiran umat Islam di sana,
gagal. Bahkan, di tengah meningkatnya kekejaman itu, dua orang Quraisy masuk
Islam, Hamzah dan Umar ibn Khathab. Dengan masuk Islamnya dua tokoh besar
ini posisi Islam semakin kuat.
Kemudian kaum Quraisy menempuh cara baru dengan melumpuhkan
kekuatan Muahmmad SAW yang bersandar pada perlindungan Bani Hasyim. Cara
yang ditempuh adalah pemboikotan. Mereka memutuskan segala bentuk
hubungan dengan suku ini. Tidak seorang penduduk Mekah pun diperkenankan
melakukan hubungan jaul beli dengan Bani Hasyim. Tindakan pemboikotan yang
dimulai pada tahun ketujuh kenabian ini berlangsung selama tiga tahun. Ini
merupakan tindakan paling menyiksa dan melemahkan umat Islam.
Sekitar tiga tahun sebelum Hijrah, Khadijah meninggal dunia, dan tidak
berapa lama kemudian disusul oleh pamannya, Abu Thalib yang – meskipun tidak
sempat memeluk agama Islam – tetap setia membela anak saudaranya itu hingga
akhir hayatnya. Namun, menurut Badri Yatim bahwa Khadijah meninggal dunia
tiga hari setelah pamannya, Abu Thalib, meninggal dunia pada usia 87 tahun.
Peristiwa ini terjadi pada tahun kesepuluh kenabian. Tahun itu merupakan tahun
kesedihan bagi Nabi Muhammad SAW. Sepeninggal dua pendukung itu, kafir
Quraisy tidak segan-segan lagi melampiaskan nafsu amarahnya terhadap nabi.
Melihat reaksi penduduk Mekah demikian, nabi kemudian berusaha menyebarkan
Islam ke luar kota. Namun, di Thaif beliau diejek, disoraki, dan dilempari batu,
bahkan sampai terluka di bagian kepala dan badannya.8[8]
Dalam masa prahijrah ini, juga terjadi sebuah peristiwa dramatis, yaitu
Isra’, perjalanan di malam hari, ketika nabi diperjalankan secepat kilat dari
Ka’bah ke Yarusalem, lalu naik ke langit ketujuh (mi’raj). Karena menjadi transit
dalam perjalanan menuju langit, Yarusalem, yang saat itu telah menjadi tempat
8
suci umat Yahudi dan Kristen, kemudian menjadi kota suci ketiga umat Islam
setelah Mekah dan Madinah. Berita tentang Isra dan Mi’raj ini menggemparkan
masyarakat Mekah. Bagi orang kafir, ini dijadikan bahan propaganda untuk
mendustakan nabi. Sedangkan bagi orang yang beriman, ini merupakan ujian
keimanan.
Setelah peristiwa Isra’ dan Mi’raj, suatu perkembangan besar bagi
kemajuan dakwah Islam muncul. Perkembangan itu diantaranya datang dari
sejumlah penduduk Yatsrib yang berhaji ke Mekah. Mereka, yang terdiri dari
suku ‘Aus dan Khazraj, masuk Islam dalam tiga gelombang.
Kejadian itu disebut dengan “hijrah” bukan sepenuhnya sebuah
“pelarian”, tetapi merupakan rencana perpindahan yang telah dipertimbangkan
secara seksama selama sekitar dua tahun sebelumnya. Tujuh belas tahun
kemudian, Khalifah Umar bin Khattab menetapkan saat terjadinya peristiwa hijrah
sebagai awal tahun Islam, atau tahun qamariyah.
Setelah tiba dan diterima penduduk Yatsrib (Madinah), Nabi Muhammad
SAW resmi sebagai pemimpin penduduk kota itu. Babak baru dalam sejarah Islam
pun dimulai. Berbeda dengan periode Mekah, pada periode Madinah, Islam
merupakan kekuatan politik. Ajaran Islam yang berkenaan dengan kehidupan
masyarakat banyak turun di Madinah. Nabi Muhammad SAW mempunyai
kedudukan, bukan saja sebagai kepala agama, tetapi juga sebagai kepala negara.
Dengan kata lain, dalam diri nabi terkumpul dua kekuasaan, kekuasaam spiritual
dan kekuasaan duniawi. Kedudukannya sebagai rasul secara otomatis merupakan
kepala negara.
Dalam rangka memperkokoh masyarakat dengan negara baru ini, nabi
segera meletakan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat. Dasar pertama,
pembangunan mesjid, selain untuk tempat shalat, juga sebagai sarana penting
untuk mempersatukan kaum muslimin dan mempertalikan jiwa mereka,
disamping sebagai tempat bermusyawarah merundingkan masalah-masalah yang
dihadapi. Mesjid pada masa nabi bahkan juga berfungsi sebagai pusat
pemerintahan.
Dengan terbentuknya Negara Madinah, Islam makin bertambah kuat.
Perkembangan Islam yang pesat itu membuat orang-orang Mekah dan musuh-
musuh Islam lainnya menjadi risau. Kerisauan ini akan mendorong orang-orang
Quraisy berbuat apa saja. Untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan
gangguan dari musuh, nabi, sebagi kepala pemerintahan, mengatur siasat dan
membentuk pasukan tentara. Umat Islam diijinkan berperang dangan dua alasan:
(1) untuk mempertahankan diri dan melindungi hak miliknya, dan (2) menjaga
keselamatan dalam penyebaran kepercayaan dan mempertahankannya dari orang-
orang yang menghalang-halanginya.
Ajid Thohir. Kehidupan Umat Islam Pada Masa Rasulullah SAW. Bandung:
Pustaka Setia. 2004.
Nayla Putri dkk. Sirah Nabawiyah. Bandung: CV. Pustaka Islamika. 2008