dan Fasor
1. Bilangan Kompleks
1.1. Definisi
Dalam buku Erwin Kreyszig kita baca definisi bilangan bilangan
kompleks sebagai berikut [1]
Bilangan kompleks z ialah suatu pasangan terurut (x,y) dari
bilangan nyata x, y, yang kita tuliskan
z = ( x, y )
1
| | | | | | | | m
-2 -1 0 1 2 3 4 5
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Gb.1.2. Plot y = x
maka
− 4 = − 1× 4 = − 1 × 4 = j 2
− 9 = − 1× 9 = j 3
− 81 = j 9
− 100 = j10 dst.
Sekarang kita dapat memandang j sebagai sebuah operator; artinya
jika j beroperasi pada bilangan nyata 5 misalnya, kita mendapatkan
bilangan imajiner j5 dan jika beroperasi pada bilangan nyata b kita
mendapatkan bilangan imajiner jb.
Sumbu tegak pada Gb.1.2. dapat diubah menjadi sumbu imajiner
untuk memosisikan bilangan imajiner sehingga sumbu-sumbu yang
membatasi bidang sekarang adalah sumbu nyata (diberi tanda Re)
dan sumbu imajiner (diberi tanda Im); bidang yang dibatasi oleh
kedua sumbu ini disebut bidang kompleks.
Jika setiap titik di bidang kompleks menunjukkan posisi bilangan-
kompleks (x,,y) dengan x adalah komponen nyata dan y adalah
komponen imajiner-nya sebagaimana dikatakan dalam pendefisian
bilangan kompleks yang diberikan di awal sub-bab ini.
3
Im
jb • z = a + jb
ρ
θ
a Re
Gb.1.3. Representasi grafis bilangan kompleks.
Bentuk penulisan bilangan kompleks seperti (1.1) disebut bentuk
sudut siku. Sebutan ini mudah difahami jika kita melihat Gb.1.3 di
mana z merupakan sudut siku dari segitiga siku-siku dengan sisi a
dan jb.
Bilangan kompleks z juga dapat ditulis dengan cara lain, yaitu
dengan melihat panjang penggal garis yang menghubungkan titik
asal dengan z, yang dalam Gb.1.3. diberi nama ρ, dan sudut yang
dibentuk oleh garis ini dengan sumbu nyata yang pada Gb.1.3.
diberi tanda θ. Dari Gb.1.3. jelas terlihat bahwa
a = ρ cos θ dan b = ρ sin θ (1.3)
b
arg z = θ = tan −1 (1.5)
a
sedangakan modulus z adalah ρ
modulus z = ρ = a 2 + b 2 (1.6)
Dengan demikian maka (1.2) dapat ditulis sebagai
θ1 = tan −1 (4 / 3) ≈ 53,1o
Pernyataan z1 dapat kita tuliskan
(
z1 = 3 2 + 4 2 cos 53,1o + j sin 53,1o )
(
= 5 cos 53,1o + j sin 53,1o )
2). Suatu bilangan kompleks dinyatakan sebagai
(
z 2 = 10 cos 20 o + j sin 20 o )
Pernyataan ini dapat kita tuliskan
(
z 2 = 10 cos 20 o + j sin 20 o )
≈ 10(0,94 + j 0,34) = 9,4 + j 3,4)
5
Im
jb • z = a + jb
ρ
θ + 180 o θ
a Re
ρ
− z = −a• − jb
Gb.1.4. Negatif dari suatu bilangan kompleks.
COTOH:
1). Jika z1 = 4 + j 6 maka z 2 = − z1 = −4 − j 6
θ1 = tan −1 (6 / 4) = 56,3 o
(
z1 = 4 2 + 6 2 cos 56,3 o + j sin 56,3 o )
(
= 7,2 cos 56,3 o + j sin 56,3 o )
(
− z1 = 7,2 cos(56,3 o + 180 o ) + j sin(56,3 o + 180 o ) )
= 7,2(− 0,55 − j 0,83) = −3,96 − j 6
Perhatikan Gb.1.5.
− jb • z ∗ = a − jb
Gb.1.5. Kompleks konjugat.
COTOH:
θ = tan −1 (6 / 5) = 50,2 o
θ ∗ = −50,2 o
(
z = 5 2 + 6 2 cos 50,2 o + j sin 50,2 o )
( o
= 7,8 cos 50,2 + j sin 50,2 o
)
z∗ = 7,8(cos 50,2 o
− j sin 50,2 o )
4). Jika z = −5 − j 6 maka z ∗ = −5 + j 6
7
Im
z ∗ = −5 + j 6 •
Re
z = −5 − j 6 •
Im
• z∗ = 5 + j6
Re
• z = 5 − j6
COTOH:
Jika s1 = 2 + j 3 dan s2 = 3 + j 4 maka
s1 + s 2 = (2 + j 3) + (3 + j 4)
= 5 + j7
s1 − s 2 = (2 + j 3) − (3 + j 4)
= −1 − j1
9
2.2. Perkalian Bilangan Kompleks
Perkalian dua bilangan kompleks dialksanakan seperti halnya kita
melakukan perkalian jumlah dua bilangan, yaitu dengan malakukan
perkalian komponen per komponen.
( z1 )( z 2 ) = (a1 + jb1 )(a 2 + jb2 )
= a1 a 2 + jb1a 2 + jb1a 2 − b1b2 (2.2)
= a1 a 2 + 2 jb1a 2 − b1b2
( z1 )( z 2 ) = (2 + j 3)(3 + j 4)
= 6 + j 9 + j 9 − 12
= −6 + j18
COTOH:
( z1 )( z1∗ ) = (2 + j 3)(2 − j 3)
= 4 − j6 + j6 + 9
= −5 + 9 = 4
Jadi perkalian suatu bilangan kompleks dengan konjugatnya akan
menghasilkan bilangan nyata. Sifat ini akan kita manfaatkan dalam
melakukan pembagian bilangan kompleks.
COTOH:
Jika z1 = 2 + j 3 dan z 2 = 3 + j 4 maka
z1 2 + j 3 3 − j 4 (6 + 12) + j (−8 + 9) 18 1
= × = = +j
z2 3 + j4 3 − j4 2
3 +4 2 25 25
11
Fungsi Eksponensial Kompleks. Kita telah mengenal fungsi
eksponensial nyata. Jika x adalah bilangan nyata maka fungsi
ekponensial
y = ex
e z = e σ e jθ (2.5)
z = ρe jθ (2.6)
Im
•z
ρ
θ
Re
Gb.2.1. z = ρe jθ ; arg z = ∠z = θ .
Im
• z = 5e j 0,5
10
0,5 rad
Re
COTOH:
Misalkan suatu bilangan kompleks z = 3+ j4.
Modulus z adalah | z | = ρ = 3 2 + 4 2 = 5
4
Argumennya adalah ∠z = θ = tan −1 = 0,93 rad .
3
Representasi polar adalah: z = 5e j0,93
Im
• z = 5e j 0,93
5
0,93 rad
Re
13
COTOH:
Misalkan suatu bilangan kompleks z = −2 + j 0 .
Modulus z adalah | z | = ρ = 4 + 0 = 2 .
Argumen θ = tan −1 (0 / − 2 ) = ± π tidak bernilai tunggal. Kita
harus berhati-hati menentukan argumennya. Di sini kita harus
memilih θ = π rad karena komponen imajiner 0 sedangkan
komponen nyata −2. Representasi polar adalah z = 2e jπ .
Im
z = 2e j π
• Re
−2
COTOH:
Misalkan suatu bilangan kompleks z = 0 − j 2 .
Modulus z adalah | z | = ρ = 0 + 4 = 2 .
Argumen θ = tan −1 (− 2 / 0 ) = −π / 2 ; komponen imajiner 0
sedangkan komponen nyata −2.
Representasi polar adalah z = 2e − jπ / 2 .
Im
Re
− jπ / 2
− j 2 • z = 2e
COTOH:
Misalkan bilangan kompleks z1 = 10 e j0,5 dan z2 = 5 e j0,4.
z1 10e j 0,5
= = 2e j 0,1
z2 5e j 0,4
a) b)
Gb. 2.2. Bilangan kompleks konjugat.
15
Jika dinyatakan dalam bentuk polar, sudut argumen konjugat
berlawanan dengan argumen bilangan kompleks asalnya, seperti
diperlihatkan secara grafis oleh Gb.2.2.b.
Relasi-relasi antara suatu bilangan kompleks dengan konjugatnya
adalah sebagai berikut.
∗ ∗
z1 10e j 0,5
= j 0 , 4 = 2e
z 5e
j 0,1 ∗
[
= 50e − j 0,1 ]
3). 2
10e − j 0,5
= = 2e − j 0,1
− j 0, 4
5e
y y
A A
0 0 0
ωt 0θ ωt
−A −A
a) y = A cos ωt b) y = A cos(ωt − θ)
y = A cos(ωt − π / 2)
17
3.2. Fasor
Kita mengenal pernyataan suatu bilangan kompleks yang berbentuk
Gb.3.1. Fasor V = Ae jθ
Jadi dengan notasi fasor, kita hanya memperhatikan amplitudo dan
sudut fasa dari suatu sinyal sinus, dengan pengertian bahwa
frekuensinya sudah tertentu. Karena kita hanya memperhatikan
amplitudo dan sudut fasa saja, maka fasor dapat kita tuliskan dengan
menyebutkan besarnya dan sudut fasanya. Pengertian ini ekivalen
dengan modulus dan argumen pada bilangan kompleks. Jadi
penulisan fasor dalam bentuk yang juga kita sebut bentuk polar
adalah
b
V = a + jb = a 2 + b 2 ∠ tan −1 (3.9)
a
Transformasi timbal balik antara pernyataan dalam bentuk sudut-
siku dan bentuk polar, memudahkan kita dalam melakukan operasi-
operasi fasor yang akan kita lihat berikut ini, yang pada hakekatnya
sama seperti operasi aljabar pada bilangan kompleks yang sudah
kita pelajari.
19
3.3. Operasi Fasor
Perkalian Fasor. Perkalian fasor mudah dilakukan bila fasor
dituliskan dalam bentuk polar.
−A A∗
21
Dalam bentuk polar,
Jika A = A∠θ
maka (
− A = A∠ θ + 180 o ) (3.14)
= A∠( θ − 180 ) dan A o *
= A∠ − θ
Fasor Dengan Sudut Fasa 90o dan 0o. Bentuk sudut-siku dari
fasor dengan sudut 90o dan 0o adalah
A = A∠90 o = jA ;
B = B∠ − 90 o = − jB ; (3.15)
o
C = C∠0 = C
COTOH:
a). v1 (t ) = 10 cos(500t − 45 o )
V1 = 10∠ − 45 o atau
V1 = 10 cos(−45 ) + j10 sin(−45 o ) = 7,07 − j 7,07
o
b). v 2 (t ) = 15 cos(500t + 30 o )
V2 = 15∠30 o atau
V2 = 15 cos(30 ) + j15 sin(30 o ) = 12,99 + j 7,5
o
−3
I 3 = (−4) 2 + (−3) 2 ∠ tan −1 = 5∠ 216,9
o
−4
f). S1 = V1I1* ; S 2 = V2 I *2
V1 V2
g). Z1 = ; Z2 =
I1 I2
V1 10∠ − 45 o
Z1 = = = −2.5∠ − 45 o ;
I1 − 4∠0 o
V2 15∠30 o
Z2 = = = 5∠ − 60 o
I2 3∠90 o
23
3.3. Konsekuensi Pernyataan Sinyal Sinus dalam Fasor
Karakteristik piranti dalam rangkaian listrik dinyatakan oleh
hubungan antara arus dan tegangannya. Untuk resistor , induktor,
dan kapasitor hubungan tersebut adalah:
Resistor : v R = Ri R
di L
Induktor : v L = L (3.16)
dt
dvC 1
Kapasitor : iC = C
dt
atau v C =
C
iC dt ∫
R, L, dan C berturut-turut adalah resistansi, induktansi, dan
kapasitansi dari piranti yang bersangkutan. Relasi-relasi ini adalah
relasi di mana tegangan maupun arus merupakan fungsi waktu. Jika
tegangan dan arus dinyatakan dalam bentuk fasor maka harus
dilakukan penyesuaian pada relasi tegangan-arus elemen tersebut.
Resistor. Jika arus pada resistor adalah
i R (t ) = I Rm cos(ωt + θ) = I Rm e j ( ωt + θ)
v R (t ) = Ri R (t ) = RI Rm e j ( ωt + θ)
i L (t ) = I Lm cos(ωt + θ) = I Lm e j ( ωt + θ)
v L (t ) = L
di L (t )
=L
(
d I Lm e j ( ωt + θ) )
= jωL( I m e j ( ωt + θ) )
dt dt
VL = jωL I L = jX L I L = Z L I L
(3.18)
dengan : X L = ωL dan Z L = jωL
Jadi dengan pernyataan sinyal dalam fasor, hubungan tegangan dan
arus induktor tidak lagi berbentuk hubungan diferensial, melainkan
berbentuk linier dengan faktor proporsionalitas sebesar ZL = jXL ;
XL disebut reaktansi induktif , ZL disebut impedansi induktor.
i C (t ) = C
dv C
=C
(
d (VCm e j ( ωt + θ) )
= jωC (VCm e j ( ωt + θ) )
dt dt
yang dalam bentuk fasor dapat kita tuliskan sebagai
I C = jωC VC atau
1 j
VC = IC = − I C = jX C I C = Z C I C (3.19)
jωC ωC
1 j
dengan : X C = dan Z C = −
ωC ωC
Seperti yang kita peroleh pada induktor, hubungan tegangan dan
arus kapasitor tidak lagi berupa hubungan integral, melainkan
berupa hubungan linier dengan faktor proporsionalitas sebesar ZC =
jXC ; XC kita sebut reaktansi kapasitif, ZC kita sebut impedansi
kapasitor.
25