Anda di halaman 1dari 11

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat
dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah Biomedik Mikrobiologi tentang
Zoonosis. Dalam menyelesaikan makalah ini, banyak kesulitan yang penulis hadapi. Namun
berkat bimbingan dari Dosen Biomedik, makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Kami berharap makalah ini dapat berguna dalam kegiatan belajar mengajar mahasiswa di
FKM UI ini serta menambah pengetahuan dan wawasan kita semua. Dalam pembuatan makalah
ini, tentu masih banyak kekurangan yang masih harus kami perbaiki. Maka dari itu, kami sebagai
penulis menerima segala kritik dan saran yang positif demi perbaikan makalah ini agar dapat
digunakan sebagaimana mestinya.

Semoga makalah yang telah kami susun ini dapat bermanfaat bagi kami sendiri sebagai
tim penulis maupun pembaca sekalian. Tidak lupa juga kami mohon maaf atas kesalahan kata,
istilah maupun informasi. Terimakasih atas segala kritik dan saran, semoga dapat dijadikan
bahan pembelajaran menuju yang lebih baik lagi.

Depok, 14 April 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Zoonosis berasal dari bahasa Perancis "zoonotic" yang artinya penyakit yang bersumber dari hewan
dan dapat ditularkan kepada manusia yang nantinya akan berkembang menjadi wabah. Indonesia sampai
sejauh ini selalu dirundung masalah penyakit zoonosis ini dan seolah-olah kasus penyakit zoonosis silih
berganti menyerang Indonesia. Kejadian wabah penyakit zoonosis yang paling sering terjadi di Indonesia
disebabkan oleh virus, bakteri dan parasit.

Penyakit zoonosis yang disebabkan oleh virus misalnya rabies pada anjing, kucing, dan kera dan
leptospirosis. Sedangkan untuk penyakit zoonosis yang disebabkan bakteri yaitu anthrax dan pes.
Penyakit-penyakit tersebut beresiko menyebabkan kematian pada manusia.
Jelaskan bagaimana virus dan bakteri tsb dapat menyebabkan kerusakan pada tubuh manusia. Dan
sebutkan gejala dan tanda penyakit yang disebabkan oleh bakteri/virus tersebut?

4.1 Mekanisme virus dan bakteri tersebut menyebabkan kerusakan pada tubuh manusia

4.1.1 RABIES
Setelah virus rabies masuk ke tubuh manusia, selama 2 minggu virus menetap pada tempat masuk
dan dijaringan otot di dekatnya virus berkembang biak atau langsung mencapai ujung-ujung serabut saraf
perifer tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya. Selubung virus menjadi satu dengan
membran plasma dan protein ribonukleus dan memasuki sitoplasma. Beberapa tempat pengikatan adalah
reseptor asetil-kolin post-sinapstik pada neuromuskular juction di susunan saraf pusat.

Dari saraf perifer virus menyebar secara sentripetal melalui endometrium sel-sel Schwan dan
melalui aliran aksoplasma mencapai ganglion dorsalis dalam waktu 60-72 jam dan berkembang biak.
Selanjutnya virus menyebar dengan kecepatan 3 mm/jam ke susunan saraf pusat (medula spinalis dan
otak) melalui cairan cerebrospinalis.

Di otak virus menyebar secara luas dan memperbanyak diri dalam semua bagian neuron,
kemudian bergerak ke perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf otonom. 
Penyebaran selanjutnya dari SSP ke saraf perifer termasuk serabut saraf otonom, otot skeletal, otot
jantung, kelenjar adrenal (medula), ginjal, mata, pankeas. Pada tahap berikutnya virus akan terdapat pada
kelenjar ludah, kelenjar lakrimalis, sistem respirasi. Virus juga tersebar pada air susu dan urin.

Pada manusia hanya dijumpai kelainan pada midbrain dan medula spinalis pada rabies type
furious (buas) dan pada medula spinalis pada tipe paralitik. Perubahan patalogi berupa degenerasi sel
ganglion, infiltrasi sel mononuklear dan perivaskuler, neuronovagia dan pembentukan nodul pada glia
pada otak dan medula spinalis. Dijumpai Negri bodies yaitu benda intrasitoplasmik yang berisi komponen
virus terutama protein ribonuclear dan fragmen organela seluler seperti ribosome. Negri bodies dapat
ditemukan pada seluruh bagian otak, terutama pada korteks serebri, barang otak, hipotalamus, sel
purkinje, serebelum, ganglia dorsalis medulla spinalis. Pada 20% kasus rabies tidak ditemukan Negri
bodies. Adanya miokarditis menerangkan tejadinya aritmia pada Pasien rabies.

4.1.2 ANTRAKS
Antraks dapat memasuki tubuh manusia melalui usus, paru-paru (dihirup), atau kulit
(melalui luka). Antraks tidak mungkin tersebar melalui manusia kepada manusia.
Bakteri B. anthracis ini termasuk bakteri gram positif, berbentuk basil, dan dapat
membentuk spora. Endospora yang dibentuk oleh B. anthracis akan bertahan dan akan terus berdormansi
hingga beberapa tahun di tanah. Di dalam tubuh hewan yang saat ini menjadi inangnya tersebut, spora
akan bergerminasi menjadi selvegatatif dan akan terus membelah di dalam tubuh. Setelah itu, sel vegetatif
akan masuk ke dalam peredaran darah inangnya. Proses masuknya spora anthrax dapat dengan tiga cara,
yaitu :
1. inhaled anthrax, di mana spora anthrax terhirup dan masuk ke dalam saluran pernapasan.
2. cutaneous anthrax, di mana spora anthrax masuk melalui kulit yang terluka. Proses masukkanya
spora ke dalam manusia sebagian besar merupakan cutaneous anthrax (95% kasus).
3. gastrointestinal anthrax, di mana daging dari hewan yang dikonsumsi tidak dimasak dengan baik,
sehingga masih megandung spora dan termakan.
Setelah endospora masuk ke dalam tubuh manusia, melalui luka pada kulit, inhalasi (ruang alveolar)
atau makanan (mukosa gastrointestinal), kuman akan difagosit oleh makrofag dan dibawa ke kelenjar
getah bening regional. Pada antraks kutaneus dan gastrointestinal terjadi germinasi tingkat rendah di
lokasi primer yang menimbulkan edema lokal dan nekrosis. Endospora akan mengalami germinasi di
dalam makrofag menjadi bentuk vegetatif. Bentuk vegetatif akan keluar dari makrofag, berkembang biak
di dalam sistem limfatik, mengakibatkan limfadenitis hemoragik regional, kemudian masuk ke dalam
sirkulasi,dan menyebabkan septikemia.
Faktor virulensi utama B.anthracis dicirikan (encoded) pada dua plasmid virulen yaitu pXO1 dan
pXO2. Plasmid pXO1 mengandung gen yang memproduksi kompleks toksin antraks berupa faktor letal,
faktor edema, dan antigen protektif. Antigen protektif merupakan komponen yang berguna untuk
berikatan dengan reseptor toksin antraks (ATR = Anthrax Toxin Receptor) di permukaan sel. Setelah
berikatan dengan reseptor maka oleh furin protease permukaan sel, antigen protektif yang berukuran 83-
kDa itu membelah menjadi bentuk 63-kDa dan selanjutnya bentuk itu akan mengalami oligomerisasi
menjadi bentuk heptamer.
Pembelahan antigen protektif diperlukan agar tersedia tempat pengikatan FL dan atau FE. Antigen
protektif yang telah mengalami pembelahan, bersama reseptornya akan melakukan pengelompokan ke
dalam lipid rafts sel kemudian mengalami endositosis. Melalui lubang yang terbentuk terjadilah
translokasi FE dan FL ke dalam sitosol yang selanjutnya dapat menimbulkan edema, nekrosis, dan
hipoksia. FE merupakan calmodulin-dependent adenylate cyclase yang mengubah adenosine triphosphate
(ATP) menjadi cy-clic adenosine monophosphate (cAMP) yang menyebabkan edema. FE menghambat
fungsi netrofil dan aktivitas oksidatif sel polimormonuklear (PMN). FL merupakan zinc metal-loprotease
yang menghambat aktifitas mitogen-activated protein kinase kinase (MAPKK) in vitro dan dapat
menyebabkan hambatan signal intraselular. FL menyebabkan makrofag melepaskan tumor necrosis-α
(TNF-α) dan interleukin-1 (IL-1) yang merupakan salah satu faktor penyebab kematian mendadak.
Sebagai respon terhadap toxin, tubuh akan membentuk cytokines(TNF-α, dan IL-1) dan vasodilator
substance (nitric oxide, prostaglandin E₂, prostacycline) yang disebut juga proinflamatory cytokines.
Pada waktu yang bersamaan tubuh membentuk anti inflamatory cytokines (IL-10, IL-11, IL-13 dsb). Bila
keduanya seimbang akan terjadi homeostasis, bila proinflamatory lebih dominan, maka akan terjadi
Systemic Inflamatory Respons (SIRS). Plasmid pXO2 mengkode tiga gen (capB, capC dan capA) yang
terlibat dalam sintesis kapsul polyglutamyl. Kapsul menghambat proses fagositosis bentuk vegetatif
B.anthracis.

4.1.3 LEPTOSPIROSIS
Leptospira dapat masuk melalui luka dikulit atau menembus jaringan mukosa seperti konjungtiva,
nasofaring dan vagina. Setelah menembus kulit atau mukosa, organisme ini ikut aliran darah dan
menyebar keseluruh tubuh. Leptospira juga dapat menembus jaringan seperti serambi depan mata dan
ruang subarahnoid tanpa menimbulkan reaksi peradangan yang berarti. Faktor yang bertanggung jawab
untuk virulensi leptospira masih belum diketahui. Sebaliknya leptospira yang virulen dapat bermutasi
menjadi tidak virulen. Virulensi tampaknya berhubungan dengan resistensi terhadap proses pemusnahan
didalam serum oleh neutrofil. Antibodi yang terjadi meningkatkan klirens leptospira dari darah melalui
peningkatan opsonisasi dan dengan demikian mengaktifkan fagositosis.
Beberapa penemuan menegaskan bahwa leptospira yang lisis dapat mengeluarkan enzim, toksin,
atau metabolit lain yang dapat menimbulkan gejala-gejala klinis. Hemolisis pada leptospira dapat terjadi
karena hemolisin yang tersirkulasi diserap oleh eritrosit, sehingga eritrosit tersebut lisis, walaupun
didalam darah sudah ada antibodi. Diastesis hemoragik pada umumnya terbatas pada kulit dan mukosa,
12 pada keadaan tertentu dapat terjadi perdarahan gastrointestinal atau organ C vital dan dapat
menyebabkan kematian. Beberapa penelitian mencoba menjelaskan bahwa proses hemoragik tersebut
disebabkan rendahnya protrombin serum dan trombositopenia. Namun terbukti, walaupun aktivitas
protrombin dapat dikoreksi dengan pemberian vitamin K, beratnya diastesis hemoragik tidak terpengaruh.
Juga trombositopenia tidak selalu ditemukan pada pasien dengan perdarahan. Jadi, diastesis hemoragik ini
merupakan refleksi dari kerusakan endothelium kapiler yang meluas. Penyebab kerusakan endotel ini
belum jelas, tapi diduga disebabkan oleh toksin.
Beberapa teori menjelaskan terjadinya ikterus pada leptospirosis. Terdapat bukti yang
menunjukkan bahwa hemolisis bukanlah penyebab ikterus, disamping itu hemoglobinuria dapat
ditemukan pada awal perjalanan leptospirosis, bahkan sebelum terjadinya ikterus. Namun akhir-akhir ini
ditemukan bahwa anemia hanya ada pada pasien leptospirosis dengan ikterus. Tampaknya hemolisis
hanya terjadi pada kasus leptospirosis berat dan mungkin dapat menimbulkan ikterus pada beberapa
kasus. Penurunan fungsi hati juga sering terjadi, namun nekrosis sel hati jarang terjadi sedangkan SGOT
dan SGPT hanya sedikit meningkat. Gangguan fungsi hati yang paling mencolok adalah ikterus,
gangguan factor pembekuan, albumin serum menurun, globulin serum meningkat.
Gagal ginjal merupakan penyebab kematian yang penting pada leptospirosis. Pada kasus yang
meninggal minggu pertama perjalanan penyakit, terlihat pembengkakan atau nekrosis sel epitel tubulus
ginjal. Pada kasus yang meninggal pada minggu ke dua, terlihat banyak focus nekrosis pada epitel tubulus
ginjal. Sedangkan yang meninggal setelah hari ke dua belas ditemukan sel radang yang menginfiltrasi
seluruh ginjal (medula dan korteks). Penurunan fungsi ginjal disebabkan oleh hipotensi, 13 hipovolemia
dan kegagalan sirkulasi. Gangguan aliran darah ke ginjal menimbulkan nefropati pada leptospirosis.
Kadang-kadang dapat terjadi insufisiensi adrenal karena perdarahan pada kelenjar adrenal. Gangguan
fungsi jantung seperti miokarditis, perikarditis dan aritmia dapat menyebabkan hipoperfusi pada
leptospirosis. Gangguan jantung ini terjadi sekunder karena hipotensi, gangguan elektrolit, hipovolemia
atau anemia. Mialgia merupakan keluhan umum pada leptospirosis, hal ini disebabkan oleh vakuolisasi
sitoplasma pada myofibril. Keadaan lain yang dapat terjadi antara lain pneumonia hemoragik akut,
hemoptisis, meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis, radikulitis, mielitis dan neuritis perifer.
Peningkatan titer antibody didalam serum tidak disertai peningkatan antibody leptospira (hamper tidak
ada) di dalam cairan bola mata, sehingga leptospira masih dapat bertahan hidup diserambi depan mata
selama berbulan-bulan. Hal ini penting dalam terjadinya uveitis rekurens, kronik atau laten pada kasus
leptospirosis.

4.1.4 PES (SAMPAR)


Bakteri Yersinia Pestis ini dapat hidup pada kutu tikus umumnya dari spesies Xenopsilla cheopis.
Bakteri Yersinia pestis ini ada dalam darah, karena bakteri ini merupakan patogen obligat intraseluler
yang memerlukan darah untuk hidup. Infeksi bakteri pada kutu dimulai ketika kutu tikus (Xenopsilla
cheopis) yang sehat, mengisap darah pada inangnya, dalam hal ini tikus yang sebelumnya sudah terinfeksi
bakteri Yersinia pestis. Darah tikus yang mengandung bakteri yang diisap oleh kutu tikus ini, selanjutnya
akan sampai ke dalam sistem pencernaan yaitu di proventikulus kutu tikus (Xenopsilla cheopis).
Proventikulus merupakan daerah atau organ pada kutu yang berfungsi seperi gastroesophageal pada
manusia.

Kunci untuk virulensi organisme adalah fenomena "penyumbatan," yang membantu transmisi
bakteri oleh kutu. Seperti yang telah di jelaskan bahwa bakteri Yersinia pestis menguraikan endotoksin
lipopolisakarida, koagulase, dan fibrinolisin, yang merupakan faktor utama dalam patogenesis
penyakit. Endotoksin dapat menimbulkan gejala panas, koagulasi intravaskular deseminata dan
mengaktifkan sistem komplemen (imun). Adanya koagulase menyebabkan penyumbatan pada daerah
proventrikulus kutu, sehingga tidak ada makanan yang dapat lewat ke ususnya. Karena itu, pinjal atau
kutu tikus menjadi sangat lapar karena darah yang di isapnya hanya sampai pada daerah proventikulusnya
(setara dengan daerah gastroesophageal pada manusia). Karena laparnya, maka kutu tikus ini akan
menggigit dengan ganas inangnya dalam hal ini manusia atau tikus. Pada saat menggigit inangnya, kutu
ini sambil mengisap juga memuntahkan darah dalam luka gigitan yang mengandung kuman atau
bakteri Yersinia pestis dari tubuhnya ke inangnya (tikus atau manusia). Bakteri Yersinia pestis sendiri
dapat bertahan dalam hidup dalam proventikulus kutu karena plasmid-encoded fosfolipase D yang
melindungi mereka dari sistem pencernaan kutu (Xenopsilla cheopis), bakteri juga dapat melakukan
kolonisasi dan perkembangan dalam proventikulus kutu karena kehadiran gen hemin, yang diperlukan
untuk pembentukan biofilm yang memungkinkan kolonisasi bakteri di proventrikulus kutu. Karena
penyumbatan itu, maka kutu akan menggigit dengan ganas inangnya (tikus atau manusia), tapi karena
adanya penyumbatan itu, kutu tetap saja kelaparan dan akhirnya mati karena kelaparan.

Perjalanan kuman selanjutnya adalah pada tubuh inangnya, dalam hal ini tikus atau manusia. Kita
akan membahas pada manusia karena sesuai dengan pembahasan tentang penyakit sampar atau pes atau
plague pada manusia. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bakteri Yersinia pestis masuk kedalam tubuh
manusia melalui gigitan kutu atau pinjal tikus (Xenopsilla cheopis) yang kemudian mengikuti aliran getah
bening dan selanjutnya menyebar melalui sirkulasi darah. Pada saat bakteri masuk, sebenarnya daya tahan
tubuh kita melakukan perlawanan, akan tetapi sel-sel mononuklear yang merupakan sistem imun kita,
tidak mampu untuk membunuh kuman Yesernia tersebut dan bahkan kuman justru mampu berkembang
biak membentuk dinding sel-dinding selnya yang merupakan endotosin.  Untuk bertahan hidup dalam
host dan mempertahankan infeksi persisten, Y. pestis menggunakan berbagai mekanisme untuk
menghindari atau mengatasi sistem kekebalan tubuh inang, terutama sistem kekebalan tubuh bawaan
(imunitas nonspesifik seluler seperti sel mononuklear (monosit dan makrofag) serta sel polimorfonuklear
seperti neutrofil.). Y. pestis mengatasi sistem kekebalan tubuh kita dengan melakukan blokade terhadap
sistem  fagositosis imun kita melalui sistem sekresi tipe III dengan menyuntikan setidaknya enam macam
protein kedalam makrofag kita, dimana protein ini dikenal dengan Yersinia Protein Outer (Yops). Racun
Yop ini menonaktifkan sistem imun kita  dan juga mempengaruhi adhesi sel. Kemampuan Yersinia pestis
untuk menghambat fagositosis memungkinkan bakteri ini untuk tumbuh dalam kelenjar getah bening dan
menyebabkan limfadenopati . Keenam protein YOP ini bekerja dengan mekanisme sendiri-sendiri,
Misalnya, YopH adalah fosfatase phosphotyrosine atau tirosin fosfatase protein yang menginaktivasi
komponen kompleks adhesi fokus dalam sel mamalia  dan menginduksi apoptosis dari sel T terinfeksi.
YopT adalah protease sistein yang menghambat RhoA dengan menghapus kelompok isoprenyl , yang
penting untuk lokalisasi protein ke membran sel . Telah diusulkan bahwa YopE dan YopT dapat
berfungsi untuk membatasi YOPB / D-induced sitolisis. Dua efektor Yop lainnya, YopJ / P dan YopM,
mempengaruhi komponen jalur transduksi sinyal dalam sitosol atau inti. YopJ adalah protease sistein
yang menghambat MAPK signaling dan jalur NF-kB dan mempromosikan apoptosis dalam makrofag.
YopM sebagian besar kaya leusin, terakumulasi dalam inti dan tampaknya tidak mempunyai aktivitas
enzim.  YopO adalah protein kinase juga dikenal sebagai Yersinia protein kinase A (YpkA). YopO
merupakan inducer kuat apoptosis makrofag manusia.

Selain karena faktor protein outer membran (YOp), kemampuan virulensi bakteri Y. pestis juga
disebabkan karena kemampuan adhesin bakteri yang memungkinkan untuk kemudian menembus
permukaan sel. Juga karena F1 antigen antiphagocytic, Plasminogen activator (Pla), V dan W antigen,
Lipopolisakarida. Adanya LPS menyebabkan endotoksin yang dapat menyebabkan syok. Antigen V dan
W  (diproduksi pada 37 ° C) menyebabkan organisme resisten terhadap fagositosis, antigen V penting
bagi kelangsungan hidup Y pestis dalam makrofag. Plasminogen activator (Pla) adalah protease yang
muncul untuk menurunkan fibrin dan protein ekstraseluler lainnya dan untuk memfasilitasi penyebaran
sistemik dari situs inokulasi. Ekspresi Pla memungkinkan Y pestis untuk mereplikasi dengan cepat di
saluran udara. Pla penting bagi Y pestis menyebabkan wabah pneumonia.

Setelah di dalam tubuh, karena gagal difagositosis atau dibunuh oleh sitem imun tubuh kita,
melalui mekanisme singkat yang dijelaskan diatas, maka bakteri  Y pestis dapat masuk ke sistem limfatik.
Bakteri mengeluarkan beberapa racun, salah satunya diketahui berbahaya dimana menyebabkan blokade
beta-adrenergik . Y. pestis menyebar melalui sistem limfatik manusia yang terinfeksi sampai mencapai
kelenjar getah bening regional. Di kelenjar getah bening regional, bakteri ini menimbul reaksi imflamasi
atau peradangan dan supurasi ( limfadenitis ), dikelilingi daerah yang mengalami edema hemoragik yang
dikenal sebagai buboes (bubo) dan dalam perkembangan selanjutnya akan menjadi nekrosis yang meluas.

Dari sistem limfatik, bakteri juga bisa menuju ke aliran darah, biasanya dalam beberapa jam dari
awal gigitan kutu, infeksi menciprat ke dalam aliran darah ataupun infeksi dapat langsung ke aliran darah
tanpa lewat sistem limfatik, yang mengarah ke keterlibatan hati, limpa, dan paru-paru. Endotoksin bakteri
menyebabkan koagulasi intravaskular diseminata (DIC), yaitu menyebabkan gumpalan kecil di seluruh
tubuh dan nekrosis atau iskemik (kematian jaringan akibat kurangnya sirkulasi / perfusi ke jaringan)
akibat dari gumpalan. Adanya DIC menyebabkan gangguan pembekuan darah, sehingga tidak bisa lagi
mengontrol perdarahan. Akibatnya, terjadi perdarahan di dalam kulit dan organ lain, yang dapat
menyebabkan ruam kemerahan dan / atau kehitaman dan hemoptisis / hematemesis (batuk / muntah
darah), jika tidak diobati,  biasanya berakibat fatal.

Penyebaran secara hematogen (aliran darah) juga dapat memberikan gejala yang jelas pada paru-
paru berupa pneumonia sekunder jika menyebar sampai paru-paru. Hal inilah yang menjelaskan kenapa
penyakit sampar dapat juga menyebar secara aerogen atau lewat udara melalui droplet yang
infeksius. Pneumonia adalah sebuah penyakit pada paru-paru di mana pulmonary alveolus (alveoli) yang
bertanggung jawab menyerap oksigen dari atmosfer meradang dan terisi oleh cairan, dan disebut sekunder
karena peradangannya bukan langsung pada paru-paru tetapi akibat penyebaran secara hematogen bakteri
Yesernia ke paru-paru. Pada kulit tempat gigitan pinjal atau kutu dapat timbul papula (benjolan kecil
padat), pustula (berisi cairan pus atau nanah), karbunkel (sekumpulan bisul), atau tidak menunjukan
reaksi jaringan setempat sama sekali. Penyebaran di daerah kulit dapat menimbulkan petekie (bercak
merah dalam yang merupakan perdarahan kecil di bawah kulit), vaskulitis (radang pembuluh darah) dan
perdarahan yang disebabkan trombositopenia (trombosit rendah).

4.2.1 RABIES

Masa inkubasi (waktu dari infeksi sampai saat perkembangan gejala) virus rabies pada manusia
adalah sekitar 30 sampai 60 hari. Karena itu, Anda mungkin baru akan mengalami gejalanya lama setelah
Anda digigit atau dicakar oleh anjing rabies. Kebanyakan orang pertama kali mengalami gejala sakit yang
dimulai dengan kesemutan atau gatal yang dari tempat gigitan atau tempat masuknya virus.

Keluhan lainnya seperti demam tinggi, menggigil, kelelahan, nyeri otot, dan mengalami susah
tidur. Gejala ini mungkin tampak serupa dengan gejala-gejala flu.

Secara bertahap, virus akan menyebar sehingga menyebabkan penderita merasa gelisah,
kebingungan, kelumpuhan, kesulitan menelan, dan akhirnya menjadi kejang hingga menyebabkan koma.

Penderita rabies juga akan mengalami takut pada air (hydrophobia) dan takut pada hembusan
udara (aerophobia). Akhirnya, berbagai organ tubuh terasa semakin sakit dan menyebabkan kematian
meski sudah mendapatkan pengobatan.

Karena itu, bila Anda mencurigai hewan peliharaan Anda kena rabies, segera periksakan ke
dokter hewan. Begitu juga kalau Anda habis digigit hewan liar atau anjing yang tidak Anda kenal. Segera
periksa ke dokter sebelum gejalanya tambah parah.

4.2.2 ANTRAKS

Gejala penyakit antraks tergantung tipe infeksi dan dapat dimulai kapan saja, dari 1 hari hingga
lebih dari 2 bulan untuk muncul. Penyakit sapi gila ini bisa terbagi dalam 3 jenis infeksi yakni anthrax
kulit, inhalasi dan gastrointerstinal.

Penyakit anthrax kulit menyerang kulit. Bakteri biasanya memasuki tubuh melalui kulit terbuka
atau luka. Benjolan merah kecoklatan yang gatal dan tidak nyeri muncul 1-12 hari setelah paparan.
Kebanyakan benjolan muncul di daerah wajah, leher, lengan, atau tangan. Benjolan ini membentuk
lenting yang akhirnya pecah dan membentuk koreng hitan (eschar) dengan bengkak di sekitarnya.
Kelenjar getah bening terdekat dapat membesa dan terasa sakit. Penderita juga terkadang megalami nyeri
otot, sakit kepala, demam, mual dan muntah.

Penyakit anthrax inhalasi ini menyerang paru-paru. Bakteri dapat memasuki paru-paru saat Anda
menghirup spora. Gejala awalnya mirip dengan flu namun akan memburuk dengan cepat.

 Demam dan menggigil


 Berkeringat (sering basah)
 Nyeri badan
 Lelah berlebih
 Sakit kepala, pusing, atau pening
 Rasa tidak nyaman pada dada, seperti sesak dan batuk
 Mual, muntah atau nyeri perut

Penyakit Anthrax gastrointestinal jarang terjadi. Anthrax ini menyerang sistem pencernaan. Anda
dapat terkena anthrax ini dengan makan daging yang terkontaminasi.Gejala antraks gastrointestinal yaitu:

 Leher atau kelenjar di leher membengkak


 Sakit tenggorokan
 Nyeri menelan
 Suara serak
 Mual dan muntah, khususnya muntah darah
 Diare atau BAB berbdarah
 Nyeri perut
 Perut membesar

4.2.3 LEPTOSPIROSIS

Tanda dan gejala umum dari leptospirosis adalah penyakit yang seringkali terjadi dalam 2 fase.

Fase pertama, yang biasanya berlangsung selama 5 sampai 7 hari, dimulai secara mendadak dengan
gejala yang meliputi:

 demam tinggi
 muntah
 diare
 mata merah
 nyeri otot (terutama otot paha dan betis)
 ruam
 panas-dingin
 sakit kepala

Fase kedua dari penyakit (fase imun) dapat terjadi 1 sampai 2 minggu kemudian, dengan gejala
antara lain:

 demam kuning (menguning di kulit dan mata)


 gagal ginjal
 detak jantung tak teratur
 masalah paru-paru
 meningitis (peradangan selaput otak)
 mata merah

4.2.4 PES (SAMPAR)


Pes dapat dibagi menjadi tiga jenis utama, yakni bubonik, septisemik, dan pneumonik,
bergantung dari bagian tubuh yang terlibat. Tanda dan gejala yang timbul bergantung dari jenis pes yang
terjadi.

Pes tipe bubonik merupakan jenis yang tersering, yang dinamakan sesuai dengan bubo, atau
kelenjar getah bening yang bengkak, dan umumnya menunjukkan gejala sekitar satu minggu setelah
tergigit oleh kutu yang terinfeksi. Bubo dapat berkolasi di selangkangan, ketiak, atau leher, berukuran
sebesar telur ayam, dan nyeri atau hangat pada sentuhan. Tanda dan gejala lain yang dapat timbul pada
pes tipe bubonik adalah:

 Timbul demam dan menggigil yang tiba-tiba


 Nyeri kepala
 Rasa lelah
 Nyeri otot

Pes tipe pneumonik memengaruhi paru-paru. Ini adalah jenis pes yang paling jarang terjadi, namun
paling berbahaya, karena dapat menyebar dari individu ke individu melalui droplet dari saluran
pernapasan. Tanda dan gejala dapat timbul mulai dari beberapa jam setelah terinfeksi, dan dapat
mencakup:

 Batuk, dengan dahak yang disertai darah


 Kesulitan bernapas
 Mual dan muntah
 Demam tinggi
 Nyeri kepala
 Rasa lemah

Pes tipe pneumonik dapat memiliki progresivitas yang cepat dan menyebabkan gagal napas dalam
beberapa hari setelah terinfeksi. Bila penanganan tidak segera diberikan pada saat timbul tanda dan
gejala, infeksi dapat menjadi fatal.

REFERENSI
Digilib.unimus.ac.id. (2019). [online] Available at: http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/133/jtptunimus-
gdl-sitinurcha-6633-3-babii.pdf [Accessed 15 Apr. 2019].

Kartika Nugroho, D., IK, D., S, T. and L, S. (2019). [online] R.search.yahoo.com. Available at:
https://r.search.yahoo.com/_ylt=Awr9IlTWN7Nco_kAJPlXNyoA;_ylu=X3oDMTByMXM3OWtoBGNv
bG8DZ3ExBHBvcwM4BHZ0aWQDBHNlYwNzcg--/RV=2/RE=1555277911/RO=10/RU=http%3a%2f
%2fwww.osirjournal.net%2findex.php%2fosir%2farticle%2fdownload
%2f51%2f97/RK=2/RS=.zVNUrGu5PWHUkDsmt3jlE5NtUY- [Accessed 14 Apr. 2019].

Jafar, S. (2019). [online] Available at: https://www.academia.edu/20250204/Makalah_Antraks [Accessed


15 Apr. 2019].
Bagus Yudhianto, A. (2019). [online] Skp.unair.ac.id. Available at: http://skp.unair.ac.id/repository/web-
pdf/web_Zoonosis_Alfian_Bagus_Yudhianto.pdf [Accessed 20 Apr. 2019].

Anda mungkin juga menyukai