Anda di halaman 1dari 4

Judul Cerita : Mahogany Hills

Genre : Romance

Penulis : Tia Widiana

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

1. Kesan Pertama
Kesan pertama saya terhadap novel ini adalah menarik. Setiap pembaca tentunya memiliki
selera yang berbeda dalam menentukan buku mana yang mencuri perhatiannya untuk pertama kali.
Ketika membaca judul dari novel karya Tia Widiana ini—yaitu Mahogany Hills—saya langsung tertarik.
Pemilihan judulnya unik, sejenak saya pikir ini adalah cerita romance-fantasy. Namun, ternyata saya
salah. Sebenarnya ada sedikit kekecewaan sebab apa yang saya bayangkan tidak sesuai dengan
kenyataan. Tetapi, saya tetap berniat untuk membacanya, masih penasaran lebih jauh, seperti apakah
cerita yang hendak disampaikan oleh penulis sehingga novel ini mendapatkan posisi pertama dalam
lomba Novel Amora yang diadakan Gramedia pada tahun 2012 silam.
2. Cover
Tidak ada yang kurang terkait cover. Saya rasa cover-nya sudah sangat sesuai dengan judul. Paling
tidak, sudah memberikan cukup gambaran kepada pembaca tentang apa itu Mahogany Hills. Sebuah
gambar rumah berdinding kayu di daerah perbukitan, dengan bunga mawar merah dan melati yang
terawat apik di halamannya serta terdapat jalan setapak kecil di tengah halaman menuju ke teras
rumah. Terlebih, cover disajikan dalam nuansa artistik, bak lukisan, sehingga membuat siapa pun yang
memandangnya merasa terhibur.
3. Short Summary
Secara singkat, novel ini mengisahkan kehidupan pernikahan Jagad Arya dan Paras Ayunda yang
digadang-gadang tidak sehat. Mengapa tidak sehat? Sebab yang paling kental adalah mereka menikah
akibat perjodohan. Blurb atau short summary yang ada di bagian belakang buku sudah singkat, padat,
dan jelas. Blurb menurut saya sangat penting karena selain melihat dari judul, penulis, dan cover, blurb
ikut andil dalam menentukan apakah cerita tersebut layak dibaca atau tidak. Semakin menarik
menyajikan blurb, maka semakin dibuat penasaran pula pembaca. Poin plus lainnya yang saya dapatkan
dari blurb Mahogany Hills yaitu dimunculkannya pertanyaan, “Sanggupkah mereka (Paras dan Jagad)
bertahan dalam pernikahan yang tidak sempurna itu?” Sementara di sisi lain, baik Paras maupun Jagad,
mereka menyimpan rahasianya masing-masing. Pembaca seolah diberikan warning bahwa di dalam
cerita ini, emosi mereka akan diaduk-aduk dengan rasa kesepian, amarah, penyesalan yang bercampur
dengan rindu dan kata cinta yang tak pernah terucapkan.
4. Isi Cerita
Isi cerita mengenai dua insan yang dipersatukan dalam ikatan pernikahan melalui sebuah
perjodohan. Sebuah tema yang terkesan klise. Namun, memang tidak dapat dipungkiri bahwa novel
romance bertemakan perjodohan selalu memiliki daya tarik yang besar. Banyak sekali pecinta novel
dengan tema ini, termasuk saya. Ketika yang lain sudah mulai bosan-bosannya dihadapkan dengan
perjodohan sang tokoh utama, saya justru semakin tertarik untuk membaca Mahogany Hills. Terutama,
karena penulis memberikan gaya kepenulisan yang berbeda. Dan sesuai dengan blurb-nya, kalimat-
kalimat sederhana, tidak berbelit, dan mudah diterima dari novel ini malah menguras emosi saya.
Memang benar pendapat bahwa tidak peduli seberapa sering atau familiar sebuah tema yang diangkat,
asalkan penulis mampu memberikan bumbu yang berbeda dalam karangannya, maka cerita yang
awalnya biasa menjadi luar biasa. Dan menurut saya, kelebihan Tia Widiana adalah dengan gaya
bahasanya yang ringan, ia mampu menghanyutkan perasaan para pembaca.
5. Alur
Alur cerita berjalan maju. Diawali dengan perjalanan Jagad dan Paras ke Mahogany Hills, sampai
mulai munculnya rentetan konflik yang ikut mewarnai kisah romansa keduanya. Alur demi alur cerita
tersusun runtut dan rapi. Saya tidak menemukan adanya plothole di sini. Tia Widiana mengemas
ceritanya dengan sangat detail dan terstruktur sampai-sampai saya bingung, di mana menemukan letak
kesalahan dalam cerita ini. Satu kata, perfect!
6. Latar
Lagi-lagi saya membahas soal kelebihan dari penulis Tia. Latar diambil dari kaki Gunung Halimun, di
Sukabumi, tepatnya di sebuah rumah warisan milik kakek Jagad yang dinamakan Mahogany Hills.
Penggambaran suasana yang begitu sarat akan pegunungan, membuat saya dengan mudahnya
membayangkan lokasi tersebut dalam imajinasi, terlebih mengenai hutan kecil, perbukitan, pohon
cemara, sayur-sayuran hingga buah-buahan yang sering ditanam di dataran tinggi. Hal yang membuat
saya terheran-heran adalah bagaimana mungkin penulis bisa merangkum seluruh idenya—termasuk
konflik dan kejadian sehari-hari—hanya dalam satu lokasi, yaitu Mahogany Hills? Meskipun beberapa
menunjukkan latar tempat di resor, atau rumah sakit, namun tetap saja. Mahogany Hills menjadi latar
kunci dalam cerita ini.
7. Penokohan
Untuk penokohan, saya sangat menyukai karakter Paras, terlebih sikapnya yang sopan, tenang,
sabar, dan bijaksana. Paras adalah wanita terpelajar, terlihat dari omongannya yang diplomatif.
Karakter Paras yang demikian, mampu memikat sosok Jagad yang sifatnya berkebalikan. Ia lelaki
yang kasar, emosional, dan egois. Jagad sadar bahwa dirinya menyukai Paras, tetapi ia berusaha
menolak perasaannya dengan terus menyakiti wanita itu, agar wanita itu menggugat cerai dan Jagad
bisa menunaikan janjinya terhadap Nadia, sahabat masa kuliahnya sekaligus cinta pertamanya.
Jagad berjanji untuk menikahi Nadia setelah Nadia ditinggal Erfan.

Kekurangan di sini adalah terkait karakter Nadia sendiri. Berdasarkan penuturan Jagad, Nadia
adalah wanita yang nekat untuk mendapatkan apapun yang dia mau. Namun, dengan mudahnya
Nadia mundur setelah Jagad memutuskan hubungan mereka dan lebih memilih bersama Paras.
Paling tidak, tokoh Nadia menunjukkan perlawanan finalnya terhadap Jagad. Memangnya, wanita
mana yang mau ditinggalkan lelaki setelah diberi janji? Apalagi, sebelumnya Nadia juga sudah
pernah ditinggalkan Erfan—pernikahan mereka batal sebab tanpa restu orangtua.

Selain itu, terdapat beberapa tokoh figuran. Misalnya saja reporter dan fotografer yang
diundang sekretaris ayah Jagad ke Mahogany Hills. Terdapat ketidak-konsistenan nama di sini.
Mungkin salah ketik, tetapi cukup mengganggu. Pewawancara yang pada awalnya disebut Sinta,
tiba-tiba menjadi Santi di beberapa paragrapf berikutnya, pun juga Roni—si fotografer—yang tiba-
tiba berubah nama menjadi Agus. Tidak hanya itu, pada Bab 10, di mana tokoh Jagad menemui
Nadia di penginapan untuk memutuskan hubungan mereka, ketidak-konsistenan juga terjadi.
Seharusnya, penulis menggunakan nama Nadia, bukannya Paras.

Nadia menatap Jagad, wajahnya kini terlihat kesal. Dengan tidak sabar dia mengisap rokok, lalu
menekan ujung rokok itu ke asbak. Paras menyilangkan kaki dan melipat tangan di depan dada.

8. Kesimpulan dan Penutup


Secara keseluruhan, Novel Magohany Hills, memang layak untuk dibaca. Khususnya, bagi pembaca
yang suka emosinya diaduk-aduk. Untuk konflik, saya rasa ringan dan mudah tersampaikan. Apalagi,
temanya juga sudah umum. Pembaca sebagian mungkin bisa saja menebak kelanjutan cerita, oleh
karena itu, menurut saya penulis Tia kurang memberikan kejutan-kejutan yang menjadikan konflik
terasa lebih menggemaskan dan menantang. Untuk adegan dewasa, tidak terkesan vulgar, malah
dikemas dengan dramatis sehingga aman untuk tetap dibaca. Kesalahan dalam hal PUEBI tidak banyak,
sebagian besar salah ketik. Misalnya lagi, pada bagian epilog, di mana kata memakan seharusnya
memakai.
Karin dan Rasya berjalan keluar dari kamar, memakan baju pesta putih yang berpotongan pas
dengan tubuh mereka.

Anda mungkin juga menyukai