Anda di halaman 1dari 12

ABSES EPIDURAL DAN EMPIEMA SUBDURAL KRANIAL

PENDAHULUAN
Abses epidural kranial merupakan kumpulan nanah yang terlokalisasi antara dura mater
dan tulang tengkorak di atasnya. Abses epidural kranial dapat menembus dura mater sepanjang
vena sehingga menyebabkan komplikasi empiema subdural kranial.1 Abses epidural kranial
sering menjadi komplikasi dari kraniotomi atau trauma kepala. Abses epidural kranial juga dapat
menjadi komplikasi dari infeksi telinga-hidung-tenggorokan (THT) atau operasi daerah leher dan
dada.2,3
Empiema subdural kranial adalah infeksi piogenik yang terletak di ruang antara dura
mater dan araknoid.4 Penyakit ini adalah kondisi yang langka, terhitung 15% -20% dari infeksi
intrakranial terlokalisasi. Sekitar 95% empiema subdural terletak di dalam kranium. Paling
banyak terjadi di regio frontal. Hanya sekitar 5% terjadi di tulang belakang. Kondisi paling
umum yang menjadi predisposisi empiema subdural kranial adalah infeksi THT, terutama sinus-
sinus paranasalis, yang terjadi pada 40-80% pasien. 5 Tiga gejala yang paling umum yang terjadi
adalah demam, sakit kepala, dan muntah.

EPIDEMIOLOGI
Secara keseluruhan insidens abses epidural kranial belum diketahui pasti. Diperkirakan
hanya 2-5% dari abses intrakranial. Hal dikarenakan penanganan awal infeksi bakteri di telinga
tengah dan sinus umumnya sudah adekuat.6,7 Abses epidural kranial dapat terjadi pada semua
rentang usia namun sering dilaporkan didapati pada usia 60-an tahun. Penyakit ini juga lebih
sering ditemukan pada laki-laki.
Meskipun jarang ditemukan, abses epidural kranial menempati peringkat ketiga infeksi
fokal piogenik intrakranial setelah abses otak dan empiema subdural. Di masa lalu, abses
epidural kranial merupakan komplikasi dari infeksi kepala dan leher yaitu sinusitis, mastoiditis,
dan otitis tetapi di masa kini kebanyakan abses epidural kranial merupakan komplikasi dari
prosedur bedah saraf.8
Empiema subdural kranial merupakan 15-22% dari infeksi intrakranial fokal. Sinusitis
merupakan faktor predisposisi paling sering di negara maju. Empiema subdural kranial lebih
sering terjadi pada laki-laki (mencapai 80% kasus). Meskipun dapat terjadi di segala usia tetapi
sekitar dua pertiga pasien berada pada rentang usia 10-40 tahun.

ETIOLOGI
Penyebab utama pada abses epidural kranial dan empiema subdural kranial adalah
sinusitis (mastoid, etmoid, sfenoid, dan frontal), trauma yang berhubungan dengan fraktur tulang
tengkorak, pascakraniotomi, selulitis orbita, osteomielitis kranial, dan flebitis sinus sagitalis.9
Abses epidural kranial sendiri sering menjadi penyulit prosedur bedah saraf. Kebanyakan abses
epidural kranial berasal dari infeksi bakteri polimikroba dan termasuk dalam kokus Gram positif,
basil Gram negatif, dan kuman anaerob.10,11
Mikroorganisme yang ditemukan pada kasus empiema subdural kranial juga mirip
dengan abses epidural kranial (Tabel).

Tabel. Mikrorganisme Yang Umum Diisolasi dari Empiema Subdural Kranial


Sumber infeksi Organisme
Sinus Paranasal Streptokokus Alpha-hemolitik
Streptokokus Anaerob
Streptokokus Nonhemolitik
Stafilokokus aureus
Trauma Stafilokokus aureus
Stafilokokus epidermidis
Luka infeksi Stafilokokus aureus
Pasca Bedah Saraf Stafilokokus epidermidis
Meningitis Haemophilus influenza
Escherichia coli
Streptokokus pneumonia
Otitis media Streptokokus Alpha-hemolitik

PATOFISIOLOGI
Abses epidural kranial dapat terjadi akibat penyebaran infeksi ke ruang epidural kranial
dari sinus paranasal, telinga tengah, orbita, atau mastoid. Rute penyebaran meliputi kontaminasi
langsung dari trauma tembus atau kontaminasi pada saat operasi, penyebaran langsung dari
osteomielitis, trombus septik yang memasuki pembuluh darah, dan penyebaran secara
hematogen. Empiema epidural kranial jarang terjadi akibat penyebaran secara hematogen.
Trauma, pembedahan, atau pembedahan sebelumnya, penyebaran infeksi lebih lanjut
mengakibatkan komplikasi, termasuk osteomielitis kranial, trombosis sinus dural, empiema
subdural, leptomeningitis purulen, dan abses otak. Virulensi organisme dan daya tahan inang
mempengaruhi hasil kondisi ini secara signifikan. Setelah organisme memasuki ruang epidural
terjadi hiperemia dan deposisi fibrin diikuti oleh pengumpulan bahan purulen dan perkembangan
jaringan granulasi dan jaringan fibrosa.12
Empiema subdural kranial memiliki kecenderungan untuk menyebar dengan cepat
melalui ruang subdural kranial hingga dibatasi oleh batas-batas tertentu. Ruang subdural kranial
tidak memiliki septa kecuali di daerah di mana granulasi araknoid melekat pada dura mater.
Empiema subdural kranial biasanya unilateral.
Empiema subdural kranial juga memiliki kecenderungan untuk berperilaku seperti lesi
massa yang membesar dan dihubungkan dengan peningkatan tekanan intrakranial dan penetrasi
intraparenkim otak. Edema otak dan hidrosefalus juga dapat menjadi penyebab terjadinya
gangguan aliran darah atau aliran cairan serebrospinal (CSS). Dapat ditemukan infark otak akibat
trombosis vena kortikal, sinus kavernosus, atau vena-vena yang berdekatan dengan empiema.13
Pada bayi dan anak kecil, empiema subdural kranial paling sering terjadi sebagai
komplikasi meningitis. Pada anak-anak yang lebih besar dan orang dewasa, penyakit ini terjadi
sebagai komplikasi dari sinusitis paranasal, otitis media, atau mastoiditis. Dalam beberapa kasus,
empiema subdural kranial harus dibedakan dari efusi subdural reaktif.
Penyebaran infeksi gigi ke intrakranial dapat terjadi melalui 2 jalan. Penyebaran langsung
oleh kuman melalui kerusakan skull yang didahului oleh terjadinya sinusitis atau mastoiditis.
Penyebaran tidak langsung merupakan rute yang paling sering, terjadi melalui thrombophlebitis
retrograde melalui pembuluh vena dari sistem vena basal yang menghubungkan ruang
intrakranial dan ekstrakranial. Infeksi pada organ pengunyah akibat dari osteomyelitis pada
mandibula yang disebabkan oleh infeksi gigi yang tidak terkontrol. Jenis organisme pada
empiema subdural mencerminkan sumber primer dari infeksi. Sinusitis merupakan faktor
predisposisi yang paling sering terutama pada kondisi anaerob. Kuman penyebab yang umum
pada empiema subdural sekunder dari sinusitis paranasal adalah kuman anareob dan
streptokokus terutama grup streptokokus milleri. Stafilokokus aureus dan streptokokus baik
anaerob maupun aerob dan kuman anaerob lainnya merupakan kuman yang paling sering
diisolasi dari pus pasien empiema subdural. Literatur lainnya menyebutkan streptokokus
microaerophilic dan spesies enterobacter juga diisolasi dari infeksi subdural.

GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis pasien abses epidural kranial mungkin tertutupi oleh gambaran klinis
akibat fokus infeksi utama (misalnya sinusitis atau otitis media).14 Demam dan nyeri kepala
adalah keluhan yang biasa ditemui akan tetapi pasien mungkin merasa baik-baik saja (yang
menyebabkan keterlambatan dalam diagnosis) kecuali jika perjalanan klinisnya rumit (misalnya
dari empiema subdural, abses otak, atau meningitis). Abses biasanya membesar secara perlahan-
lahan yang dapat menimbulkan defisit neurologis (berbeda dengan gambaran klinis pasien
empiema subdural kranial) kecuali terdapat perluasan intrakranial yang lebih dalam. Di tahap
lanjut dapat terjadi tanda-tanda neurologis fokal dan kejang (baik fokus atau umum).
Sekitar 45% pasien memiliki selulitis periorbita atau edema frontal. Pada pasien yang
tidak diobati, abses dapat terus membesar dan menyebabkan papiledema serta tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial lain. Otitis media dan mastoiditis dapat menyebar ke tulang
temporal, ke piramida os petrosus (petrositis), dan menyebabkan sindrom Gradenigo, yang
ditandai oleh lesi nervus kranialis V dan VI, dengan nyeri wajah unilateral dan kelemahan otot
rektus lateralis.15
Gambaran klinis empiema subdural kranial dapat terjadi dengan cepat dan progresif,
dengan gejala dan tanda sekunder karena adanya peningkatan tekanan intrakranial, iritasi
meningen, atau peradangan area fokal korteks. Pasien umumnya mengalami demam tinggi
dengan suhu badan >39oC. Ada nyeri kepala yang mungkin terlokalisasi pada sinus atau telinga
yang terinfeksi. Adanya muntah proyektil berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial.
Selanjutnya dapat ditemukan perubahan status mental, hemiparesis, dan bangkitan umum atau
fokal.15

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan darah dapat menunjukkan adanya leukositosis dan peningkatan laju
endap darah. Kultur darah bisa positif jika telah terjadi bakteremia. Pada 30% kasus ditemukan
hiponatremia. Pemeriksaan darah ini tidak dapat dijadikan dasar diagnosis karena tidak spesifik.
Lumbal Pungsi dan analisis CSS merupakan kontraindikasi karena berisiko menyebabkan
herniasi otak akibat peningkatan Tekanan Intrakranial. Lumbal Pungsi dapat dilakukan dalam
pemeriksaan untuk menyingkirkan infeksi meningeal ketika peningkatan tekanan intrakranial
telah disingkirkan. Foto polos kepala dapat menunjukkan sinusitis atau osteomielitis.15
Diperlukan pemeriksaan pencitraan otak seperti CT scan dan MRI otak guna membuat
diagnosis. Diagnosis pasti dapat dibuat jika dilakukan tindakan operatif.
Gambaran CT scan abses epidural kranial kurang sensitif untuk mendeteksi abses
epidural dibandingkan dengan MRI. Fitur pada CT meliputi: lokasi ekstra aksial, isodense atau
hipodens ke otak sekitarnya, bentuk bikonveks, biasanya tidak melewati garis sutura, dapat
melewati midline, peningkatan perifer yang kuat dengan kontras.16
Abses epidural dapat melewati midline, membantu membedakannya dari empiema
subdural. Selain itu, parenkim otak yang berdekatan cenderung tampak normal, sedangkan sinyal
abnormal pada jaringan otak yang berbatasan dapat dilihat pada empiema subdural. Pada CT,
abses epidural biasanya muncul sebagai massa ekstra aksial atenuasi rendah.16
Pemeriksaan MRI otak dengan atau tanpa pemberian zat kontras gadolinium merupakan
prosedur diagnostik pilihan untuk abses epidural kranial.1 Hal ini karena MRI mampu
membedakan abses epidural kranial yang hanya berisi cairan dan hematom, yang bisa ditemukan
pada pasien trauma atau pascakraniotomi.16 MRI menggambarkan abses epidural sebagai
gambaran massa hyperintense dan disertai dengan peningkatan intensitas pada T1WE-Gd.
Gambar pada MRI di aksial dan sagital berguna dalam perencanaan pra operasi. CT scan otak
dapat digunakan jika pemeriksaan MRI otak tidak dapat dikerjakan. CT scan otak juga dapat
memperlihatkan gambaran osteomielitis.16
CT Scan otak adalah teknik standar untuk diagnosis cepat sebelum munculnya MRI. CT
scan dapat meningkatkan hasil diagnostik, meskipun kadang-kadang memberikan hasil equivocal
atau normal. Gambaran CT scan otak pada empiema subdural kranial yang khas menunjukkan
bentuk bulat sabit atau elips yang hipodens di bawah rongga cranium yang menunjukkan efek
massa serta pada pemberian zat kontras akan menampakkan adanya suatu pita pembatas yang
hiperdens dekat parenkim otak.16,17
Dalam hal ini selain dapat menunjukkan keberadaan dan lokasi koleksi ekstraserebral, CT
Scan juga dapat menampilkan derajat dan ekstensi edema serebri yang terjadi. Pemeriksaan
angiografi yang invasive hanya dipakai sebagai pemeriksaan penunjang diagnostic tambahan
yang menampilkan gambaran avaskular di daerah ekstraserebral. Pada CT scan, subdural
empiema ditunjukkan sebagai area hipodense sebelah atas belahan atau sepanjang falx; margin
lebih baik digambarkan dengan infus bahan kontras. Keterlibatan otak juga terlihat. Osteomielitis
kranial dapat dilihat. CT scan merupakan modalitas pilihan jika pasien sakit kritis atau koma dan
MRI tidak dimungkinkan atau merupakan kontraindikasi. 16,17
MRI adalah salah satu pemeriksaan penunjang pilihan untuk memperlihatkan lesi pada
empiema subdural/abses epidural kepala. Gambaran MRI otak pada empiema subdural tampak
sebagai akumulai cairan ekstra-aksial dengan T1 dan T2 namun tampilan ini tidak spesifik
mengingat gambaran empiema subdural dan epidural kadang-kadang identik.16,17

DIAGNOSIS
CT scan tampaknya menjadi investigasi pilihan dalam menegakkan diagnosis dengan
mudah dan menunjukkan cincin purulent yang meningkat pada abses epidural. Selain itu,
pencitraan sinus paranasal dan telinga tengah mungkin diperlukan untuk menentukan faktor
predisposisi. Sebelum CT scan, investigasi invasif angiografi serebral sering diperlukan, dan
diagnosis disarankan ketika massa avaskular terlihat memindahkan sinus dural menjauh bagian
dalam tengkorak.17
Leukositosis pada pemeriksaan lab merupakan kelainan yang paling umum pada abses
epidural intrakranial. Pungsi lumbal mungkin berbahaya, tetapi kadang-kadang akan dilakukan
ketika diagnosis meningitis atau ensefalitis dipertimbangkan sebelum abses epidural. Seperti
pada penelitian yang dilakukan, hasil pemeriksaan CSF mungkin tidak diagnostik, sering
menunjukkan leukositosis, tetapi dengan konsentrasi glukosa normal dan pewarnaan dan kultur
Gram negatif.17
Salah satu tantangan yang dihadapi dokter dalam mengobati empiema subdural adalah
pasien sering memiliki manifestasi klinis yang tidak khas, 'trias klasik' yang sering yaitu demam,
sakit kepala dan muntah, hanya terjadi kurang dari 20% pada pasien empiema subdural. Namun,
ada juga laporan yang menyebutkan apabila pasien pernah menjalani prosedur bedah intrakranial
sebelumnya berisiko terjadi empiema subdural di atas 50%, sementara itu hanya 0,44-1,8%
apabila hanya menjalani satu prosedur bedah intrakranial.17
CT Scan kepala dengan kontras umumnya digunakan sebagai penyelidikan awal pada
pasien dengan dugaan empiema subdural karena CT scan sudah tersedia dan hasilnya dapat
diperoleh dengan cepat. CT scan adalah modalitas pilihan jika pasien koma atau sakit kritis dan
MRI tidak mungkin atau dikontraindikasikan. Namun, jika CT tidak dapat disimpulkan, MRI
dengan gadolinium harus dilakukan. MRI kranial sekarang merupakan studi pencitraan pilihan.
Sensitivitas MRI lebih tinggi dengan menggunakan media kontras gadolinium. Lokasi yang
paling sering terjadinya empiema subdural adalah pada area konveksitas frontal dan
frontoparietal. 17

DIAGNOSIS BANDING
Empiema subdural kranial dan abses epidural kranial sulit dibedakan dengan lesi desak ruang
karena neoplasma, tuberkuloma, dan abses tuberkulosis. Gambaran klinis dan pencitraan sering
kali mirip.18

PENATALAKSANAAN
Penanganan abses epidural membutuhkan kombinasi dari prosedur pembedahan dan
terapi antibiotik. Di saat awal dapat diberikan antibiotik empirik secara intravena. Antibiotik
empirik umumnya diberikan secara kombinasi berupa sefalosporin generasi ketiga ditambah
vankomisin ditambah metronidazol.19
Pembedahan dilakukan untuk mengevakuasi/drainase abses. Dapat dilakukan kraniotomi
atau burr-hole sederhana untuk melakukan drainase. Jaringan yang dievakuasi dapat dikirim
untuk pemeriksaan Patologi Anatomi dan kultur. Antibiotik lanjutan diberikan sesuai hasil
kultur. Antibiotik umumnya diberikan dalam waktu 3-6 minggu.19
Penanganan Empiema subdural membutuhkan pengobatan empiris dengan antibiotik
spektrum luas. Kombinasi penisilin atau sefalosporin, metronidazole, dan aminoglikosida
biasanya digunakan untuk terapi. Rejimen antibiotik diubah setelah sensitivitas diperoleh, sesuai
dengan rekomendasi sebelumnya yang menganjurkan terapi medis yang dipandu sensitivitas
pada pasien dengan Empiema subdural.17
Kejang umum terjadi pada pasien Empiema subdural, sehingga sebagian besar pusat
menganjurkan penggunaan antikonvulsan sebagai profilaksis. Kejang menjadi penyebab
morbiditas yang signifikan. Tingkat kejang menunjukkan perlunya penelitian lebih lanjut tentang
terapi antikonvulsan pada pasien Empiema subdural untuk mengurangi kejadian komplikasi ini.17
Pilihan bedah untuk pasien Empiema subdural adalah kraniotomi atau teknik operasi
burr-hole, dengan kraniotomi dianggap lebih unggul. Manfaat kraniotomi termasuk eksisi parsial
dinding abses dan kemampuan untuk meninggalkan area bernanah terbuka sepenuhnya. Studi
yang dilakukan menunjukkan bahwa pada pasien dengan Empiema subdural, bedah kraniotomi
harus menjadi metode awal drainase bedah karena menunjukkan angka keberhasilan yang lebih
baik.17

PROGNOSIS
Angka mortalitas abses epidural kranial adalah 100% di era preantibiotik. Angka ini jauh
menurun di era antibiotik, yaitu menjadi 6-20%. Penyebabnya adalah teknik pencitraan otak
yang lebih maju, tersedianya antibiotik yang lebih baik, dan kemampuan melakukan tindakan
operatif.
Sekitar 55% pasien abses epidural kranial memiliki defisit neurologis pada saat keluar
rumah sakit. Tingginya persentase defisit neurologis ini sebenarnya dikaitkan dengan periode
pengambilan tindakan yang lebih cepat sehingga menurunkan angka kematian tetapi pasien yang
bertahan hidup tetap memiliki defisit neurologis. Di masa lalu, seperti yang sudah disampaikan
di atas, pasien umumnya akan meninggal dunia. Namun demikian, saat ini mereka bertahan
hidup dengan defisit neurologi sebagai gejala sisa.20
Empiema subdural adalah infeksi mematikan yang menyumbang hingga 25% dari semua
infeksi intrakranial. Tingkat kematian dari Empiema subdural telah menurun secara signifikan
dari 40% menjadi 10% dalam 60 tahun terakhir karena kemajuan bedah saraf dalam modalitas
pengobatan, pencitraan dan dalam peningkatan rejimen pengobatan antimikroba.20
Tingkat kematian secara bertahap menurun karena diagnosis dan intervensi yang lebih
tepat waktu (misalnya, antibiotik, drainase bedah). Gejala empiema subdural mungkin ringan dan
dapat menyerupai sinusitis. Pengenalan dan perawatan yang cepat sangat penting. MRI otak
dengan peningkatan gadolinium adalah studi pencitraan pilihan, CT scan bisa samar-samar atau
normal pada empiema Subdural. Kunci untuk diagnosis dini terutama didasarkan pada riwayat
pasien dan presentasi klinis. Empiema subdural harus selalu diingat, karena diagnosis dan
pengobatan dini adalah cara yang paling penting untuk hasil yang lebih baik.20
Prognosis empyema subdural tergantung kepada seberapa cepat tatalaksana emergensi
dilakukan dan seberapa berat empyema subdural yang terjadi. Pada 55% pasien yang
dipulangkan setelah perawatan dari rumah sakit didapatkan defisit neurologis. Sekitar 34%
pasien ditemukan kejang yang menetap. Diikuti dengan hemiparese yang menetap pada 17%
pasien. Sedangkan angka kematian mencapai 10% yang didapatkan pada pasien yang telah
terjadi infark.21
DAFTAR PUSTAKA
1
Silverberg AL, DiNubile MJ. Subdural empyema and cranial epidural abscess. Med Clin North
Am. 1985;69:361–374.
2
Boody BS, Tarazona DA, Vaccaro AR. Evaluation and Management of Pyogenic and Tubercular
Spine Infections. Curr Rev Musculoscelet Med. 2018 Dec;11(4):643-652.[PMC free article:
PMC6220010][PubMed: 30280287]
3
Babu JM, Patel SA, Palumbo MA, Daniels AH. Spinal Emergencies in Primary Care Practice.
Am. J. Med. 2019 Mar;132(3):300-306. [PubMed: 30291892]
4
French H, Schaefer N, Keijzers G, Barison D, Olson S. Intracranial Subdural Empyema: A 10-
Year Case Series. The Oschsner Journal. 2014.14:188-194.
5
Roos KL, Tunkel AR. Bacterial infections of the central nervous system. Edinburgh:
Elsevier; 2010.
6
Erman T, Demirhindi H, Gocer Al, Tuna M, Ildan F, Boyar B. Risk factors for surgical site
infections in neurosurgery patients with antibiotic prophylaxis. Surg Neurol. 2005 Feb.
63(2):107-12; discusion112-3. [Medline].
7
Korinek AM, Golmard JL, Elcheick A, Bismuth R, van Effentere R, Coriat P. Risk Factors for
neurosurgical site infections after craniotomy: a critical reappraisal of antibiotic prophylaxis on
4,578 patients. Br J Neurosurg. 2005 Apr. 19(2):155-62. [Medline]
8
Alerhand S, Wood S, Long B, Koyfman A. The time-sensitive challenge of diagnosing spinal
epidural abscess in the emergency department. Intern Emerg Med. 2017 Dec;12(8):1179-1183.
[PubMed]
9
Seto T, Takesada H, Matshushita N, Ishibasi K, Tsuyuguchi N, Shimono T, et al. Twelve-year-
old girl with intracranialepidural abscess and sphenoiditis. Brain Dev. 2014 Apr. 36(4):359-61.
[Medline].
10
Pradilla G, Ardila GP, Hsu W, et al. Epidural abscesses of the CNS. Lancet Neurol. 2009;8:292–
300.
11
Babu JM, Patel SA, Palumbo MA, Daniels AH. Spinal Emergencies in Primary Care Practice.
Am. J. Med. 2019 Mar;132(3):300-306. [PubMed]
12
Britton CB. Infections of the nervous system complicating alcoholism and illicit drug use.
Continuum: Lifelong Learning in Neurology. 2004 Oct. 5:48-76.
13
Voravan S, Manish G, John N, et al. Subdural empyema secondary to odontogenic masticator
space abscess: Detection by indium-111-labeled white stem cell scan. Journal of clinical
imaging. 2011;25:18-22.
14
Bleck TP, Greenlee JE. Mandell GL, et al. Principles and Practice of Infectious Diseases. New
York: Churchill Livingstone; 2000. 1028-1031.
15
Valles JM, Fekete R. Gradenigo syndrome: unusual consequence of otitis media. Case Rep
Neurol. 2014;6:197-201.
16
Pradilla G, Ardila GP, Hsu W, et al. Epidural abscesses of the CNS. Lancet Neurol. 2009;8:292-
300.
17
Doan N, Patel M, Nguyen H, et al. Intracranial subdural empyema mimicking a recurrent chronic
subdural hematoma. J Surg Case Rep. 2016;9:1–2.
18
Kembuan M, Mawuntu A. Gangguan Sistem Saraf Pusat Bagian 1. Manado, Sulawesi Utara.
2019.
19
Eggart MD, Greene C, Fannin ES, Roberts OA. A 14-Year Review of Socioeconomics and
Sociodemographics Relating to Intracerebral Abscess, Subdural Empyema, and Epidural Abscess
in Southeastern Louisiana. Neurosurgery. 2016 Aug;79(2):265-9. [Pubmed:26909804]
20
Bagher R, Setareh M, Sadegh R, et al. Subdural Empyema (Case Report). Asian J Med Pharm
Res Asian. 2013;3(3):74-77.
21
Nica D, Constantinescu R, Copaciu R, et al. Multidisciplinary management and outcome in
subdural empyema: a case report. Chirurgia, 2011;106(5):673-676.

Anda mungkin juga menyukai