Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTIKUM METODE ANALISIS INSTRUMEN

PERCOBAAN 6
PEMISAHAN ZAT AKTIF DENGAN EKSTRAKSI FASE PADAT

Disusun oleh:

Muzdalifah 10060317018
M. Ilham Hardian 10060317019
Shafira Rizqika 10060317020
Muhammad Shofiyanta 10060317021
Nur karimah 10060317022
Shift/kel :E/3
Tanggal Praktikum : 27 Februari 2020
Tanggal Laporan : 5 Maret 2020
Nama Asisten : Nur Annisa, S. Farm.

LABORATORIUM FARMASI TERPADU UNIT A


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
BANDUNG
2020 M/1441 H
PERCOBAAN 6
PEMISAHAN ZAT AKTIF DENGAN EKSTRAKSI FASE PADAT

I. Tujuan Percobaan
1. Dapat melakukan pemisahan paracetamol dari sediaan obat tradisional
(jamu) dengan mengunakan metode ekstraksi fase padat
2. Dapat melakukan analisis kualitatif hasil ekstraksi fase padat dengan
metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan Kromatografi Cair
Kinerja Tinggi (KCKT)

II. Teori Dasar


Ekstraksi fase padat (EFP) atau yang lebih dikenal dengan solid phase
extraction (SPE) merupakan metode pemisahan dimana senyawa yang terlarut
atau tersuspensi dalam campuran cairan dipisahkan dari senyawa lain dalam
campuran sesuai dengan sifat fisik dan kimianya. Ekstraksi fase padat digunakan
untuk memekatkan dan memurnikan sampel untuk analisis. Prinsip ekstraksi fase
padat yaitu analit yang terlarut dalam suatu pelarut yang memiliki daya elusi
rendah dimasukkan ke dalam cartridge dan kemudian akan terperangkap pada
medium SPE. Analit tersebut kemudian dapat dibilas dengan pelarut lain yang
berdaya elusi rendah dan kemudian akhirnya dielusi dengan pelarut berdaya
melusi kuat bervolume kecil (Watson, 2010).
SPE dapat dibagi menjadi 4 berdasarkan jenis fase diam atau penjerap
yang dikemas dalam cartridge, yakni fase normal (normal phase), fase terbalik
(reversed phase), adsorpsi (adsorption) dan pertukaran ion (ion exchange).
Pemilihan penjerap didasarkan pada kemampuannya berikatan dengan analit,
dimana ikatan antara analit dengan penjerap harus lebih kuat dibandingkan ikatan
antara analit dengan matriks sampel. Sehingga analit akan tertahan pada penjerap.
Selanjutnya dipilih pelarut yang mampu melepaskan ikatan antara analit dengan
penjerap pada tahap elusi. Adapun 4 langkah utama dalam penggunaan ekstraksi
fase padat, yaitu pengondisian, retensi sampel, pencucian, dan elusi.
Jika dibandingkan dengan ekstraksi cair-cair, ekstraksi fase padat yang
biasa disebut Solid Phase Extraction (SPE) merupakan teknik yang relatif baru
akan tetapi SPE cepat berkembang sebagai alat yang utama untuk pra-perlakuan
sampel atau untuk clean-up sampel-sampel yang kotor, misal sampel-sampel yang
mempunyai kandungan matriks yang tinggi seperti garam-garam, protein,
polimer, resin, dll.
Bahan kimia obat merupakan senyawa kimia tunggal yang dapat
memberikan efek farmakologi. BKO adalah senyawa sintetis atau produk kimiawi
berasal dari bahan alam yang umumnya digunakan pada pengobatan modern.
Pada umumnya BKO merupakan obat keras, contohnya deksametason. Apabila
dikonsumsi berlebihan dan digunakan dalam jangka waktu yang panjang, BKO
dapat memberikan efek samping bagi kesehatan tubuh.
Parasetamol merupakan obat analgetik non narkotik yang bekerja
menghambat sintesis prostaglandin terutama di sistem syaraf pusat. Parasetamol
merupakan obat yang aman dan efektif untuk pegal dan nyeri otot, dan demam
akibat infeksi virus. Parasetamol dapat menimbulkan hepatotoksisitas karena
sangat toksik terhadap sel hati apabila digunakan secara berlebihan dan dapat
menimbulkan gangguan pada lambung apabila digunakan dalam jangka waktu
lama (Kee, 1996).
Parasetamol memiliki berat molekul 151,16 g/mol dengan rumus molekul
C8H9NO2. Nama kimia parasetamol adalah N-asetil-4-aminofenol. Pemerian
parasetamol yaitu serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit. Kelarutan:
larut dalam air mendidih dan dalam natrium hidroksida 1 N, mudah larut dalam
etanol (Dirjen POM, 2014: 998).

Gambar 1. Struktur kimia Parasetamol


Parasetamol adalah paraaminofenol yang merupakan metabolit fenasetin
dan telah digunakan sejak tahun 1893 (Wilmana, 1995). Parasetamol
(asetaminofen) mempunyai daya kerja analgetik, antipiretik, tidak mempunyai
daya kerja anti radang dan tidak menyebabkan iritasi serta peradangan lambung
(Sartono,1993).
Hal ini disebabkan Parasetamol bekerja pada tempat yang tidak terdapat
peroksid sedangkan pada tempat inflamasi terdapat lekosit yang melepaskan
peroksid sehingga efek anti inflamasinya tidak bermakna. Parasetamol berguna
untuk nyeri ringan sampai sedang, seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri paska
melahirkan dan keadaan lain (Katzung, 2011) .

III. Data Fisika dan Kimia


1. Paracetamol

Pemerian : Hablur atau serbuk hablur putih; tidak berbau; rasa pahit.
Kelarutan : Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95%) P,
dalam 13 bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P dan
dalam 9 bagian propilenglikol P; larut dalam larutan alkali
hidroksida.
Bobot molekul : 151,16 g/mol
Bobot jenis : 1,293
Titik leleh : 169-170˚ C
Titik didih : > 500 ˚C
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya.
Khasiat dan penggunaan : Analgetikum (pereda nyeri ringan) dan
antipiretikum (menurunkan suhu tubuh atau penurun
demam). ( Depkes RI, 2014 )

2. Metanol (CH3 – OH)


Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, berbau khas alkohol
Titik didih : 64,7 ˚C
Titik leleh : -97,8˚ C
Kelarutan : Dapat bercampur dengan air, membentuk cairan jernih
tidak berwarna
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup
Kegunaan : Sebagai pereaksi. ( Depkes RI, 2014 )

3. Aquadest
Pemerian : Cairan, jernih, tidak berwarna, tidak berbau.
Fungsi : Pembawa atau pelarut
Sterilisasi : Autoklaf 121˚C, 15 menit.
Inkompatibilitas : Dalam formulasi farmasi, air dapat bereaksi dengan
obat-obatan dan eksipien lain yang rentan terhadap hidrolisis
(penguraian dalam keberadaan air atau uap air) di suhu kamar yang
tinggi. Air dapat bereaksi cepat dengan logam alkali dan dengan logam
alkali dan oksida mereka, seperti kalsium oksida dan magnesium
oksida. Air juga bereaksi dengan garam anhidrat untuk membentuk
hidrat dari berbagai komposisi, dan dengan beberapa organik bahan
dan kalsium karbida. ( Depkes RI, 2014 )
4. C18 (Karbon Oktadesil)
Pemerian : Serbuk berwarna putih
Bobot molekul : 253,4. ( Depkes RI, 2014 )
5. Kloroform (CHCl3)
Nama resmi : CHOLOROFORNUM
Nama lain : Kloroform
Rumus molekul/BM : CHCl3/ 119,38
Pemerian : Cairan, mudah menguap, tidak berwarna;bau khas; rasa
manis dan membakar
Kelarutan : larut dalam lebih kurang 200 bagianair;mudah larut
dalam etanol mutlak p, dalam minyak atsiri dan dalam minyak
lemak
Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik, bersumbat kaca,
terlindung dari cahaya
Kegunaan : eluen. ( Depkes RI, 2014 )
6. Ammonium hidroksida (NH4OH)
Nama resmi : AMMONIA
Nama lain : Ammonia hidroksida
Rumus molekul/BM : NH4OH / 35,05
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, bau khas,menusuk kuat
Kelarutan : mudah larut dalam air
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : Pelarut sampe. ( Depkes RI, 2014 )
7. Asam Format (HCO2H)
Nama lain :Asam format,asam aminat,asam hidrogen karboksilat
Rumus molekul :HCOOH
Berat Molekul :46,03 gr/mole. 
Pemerian : Cairan tidak berwarna,bau sangat tajam,sangat korosif.
Bobot jenis :1,2 gr/cm
Kelarutan :dapat bercampur dengan air dan etanoli.
Kegunaan :sebagai zat tambahan. ( Depkes RI, 2014 )

IV. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan pada percobaan ini diantaranya yaitu, timbangan
analitik, spatel, pipet tetes, shacker, corong, vial, filter membran PTFE
ukuran 0,45µm, pipet mikro, pipa kapiler, kaca arloji, cartridge C18, gelas
kimia, gelas ukur, penampak bercak sinar UV 254 nm, instrumen KCKT
Bahan yang digunakan pada percobaan kali ini diantaranya yaitu
serbuk jahe yang sudah ditambahkan paracetamol, baku pembanding
paracetamol, kertas saring dan plat KLT.
Pereaksi yang digunakan pada percobaan kali ini diantaranya yaitu
aquadest, asam format, NH4OH, metanol, dan kloroform.
V. Diagram Percobaan

Jamu simulasi + Paracetamol

Ekstraksi fase padat

Ekstrak

Analisis kualitatif Analisis kuantitatif

Lar. Standar Lar. Uji


KLT

Analisis HPLC Analisis HPLC


Rf Bercak

Waktu retensi

VI. Prosedur Percobaan


a. Ekstraksi Fase Padat
Sampel jamu simulasi yang telah ditambah parasetamol
ditimbang sebanyak 1 gram, kemudian ditambahkan beberapa tetes
asam format 5% dalam air sampai semua kertas saring terbasahi, lalu
dikocok dengan shaker selama 15 menit dan kemudian campuran
disaring dan diambil filtratnya. Setelah itu sebelumnya dilakukan
pengkondisian kolom dengan cara berturut turut dibilas dengan 1,5
mL metanol dan 1,5 mL aquadest, kemudian sampel sebanyak 800µL
dimasukan kedalam kolo cartridge C18 dan dibiarkan menetes
perlahan dan kemudian kolom dicuci dengan 3 mL aquadest, lalu
dielusi dengan 3 mL NH4OH 2,5% dalam metanol. Setelah itu
dilakukan analisis kualitatif dengan KLT dan KCKT.

b. Analisis Kualitatif dengan KLT


Larutan standar parasetamol filtrat jamu simulasi, larutan sisa
retensi, larutan hasil cucian dan hasil elusi ditotolkan pada plat KLT,
kemudian dimasukan kedalam bejana yang sudah dijenuhkan dengan
fase gerak, lalu dielusi dengan menggunakan eluen kloroform-
metanol (9:1) hingga tanda batas. Setelah itu plat dikeringkan dan
dilihat dibawah penampak bercak sinar UV 254 nm dan dibandingkan
bercak dengan standar.

c. Analisis Kualitatif dengan KCKT


Dibuat larutan standar dengan cara baku pembanding
paracetamol ditimbang sebanyak 25 mg kedalam labu takar 50 mL,
kemudian diencerkan dengan fase gerak sampai tanda batas, lalu
larutan dikocok hingga homogen dan larutan dipipet sebanyak 1 mL
kedalam labu takar 10 mL. Setelah itu diencerkan dan disaring
dengan memran PTFE ukuran 0,45µm. Larutan siap diinjeksikan ke
instrument KCKT
Larutan uji adalah filtrat jamu simulasi, larutan sisa retensi,
larutan hasil cucian dan larutan hasil elusi disaring dengan membran
filter PTFE ukuran 0,45µm, kemudian ditampung dalam vial.
Setelah dibuat larutan standar dan larutan uji, kedua larutan
diinjeksikan kedalam alat KCKT, kemudian direkan kromatogram
yang terbentuk dan dibandingkan. Dibandinhkan pula waktu retensi
dari larutan uji dengan larutan standar
VII. Hasil Pengamatan dan Perhitungan

Tanda merah : larutan standar


Tanda kuning : filtrat
Tanda biru : hasil pencucian
Tanda orange : hasilelusi
VII.1. Analisis Kualitatif dengan KLT
3
Nilai Rf standar : = 0,54
5,5
2,7
Nilai Rf filtrat : = 0,49
5,5
2,9
Nilai Rf pencucian: = 0,52
5,5
3,1
Nilai Rf elusi : = 0,56
5,5
VII.2. Analisis Kualitatif dengan KCKT
 Waktu retensi larutan standar : 3,243
 Waktu retensi larutan hasil elusi: 3,03
 Waktu retensi hasil pencucian : 3,317

VIII. Pembahasan
Pada percobaan kali ini dilakukan isolasi senyawa paracetamol
yang terdapat didalam jamu. Jamu dibuat dari bahan-bahan alami, berupa
bagian dari tumbuhan seperti rimpang (akar-akaran), daun-daunan, kulit
batang, dan buah. Bentuk jamu tidak memerlukan pembuktian ilmiah
sampai dengan klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris turun temurun.
Bahan kimia obat (BKO) merupakan zat-zat kimia yang
digunakan sebagai bahan utama obat kimiawi yang biasanya ditambahkan
dalam sediaan obat tradisional/jamu untuk memperkuat indikasi dari obat
tradisional tersebut (BPOM, 2013).
Beberpa tahun kebelakang banyak pedangan yang tidak
bertanggung jawab mencampurkan BKO kedalam jamu yang bertujuan
untuk meningkatkan khasiat dari jamu tersebut sehingga lebih berefek
daripada jamu yang tidak ditambahkan BKO Bahan-bahan kimia obat
tersebut dapat menimbulkan efek negatif di dalam tubuh pemakainya jika
digunakan dalam jumlah banyak karena dosis yang digunakanya tidak
jelas. Jamu yang asli menghasilkan efek farmakologi yang lama hal ini
dikarenakan jamu masih kompleks sehinga proses adsorbsi akan lama
sehingga efek yang dihasilkan juga akan lama. Sedangkan bahan kimia
obat merupakan senyawa tunggal sehingga mudah teradsorbsi sehingga
menghasilkan efek farmakologi yang cepat.
Jamu yang asli dan jamu yang ditambahkan BKO memang sulit
untuk dibedakan secara kasat. Oleh karena itu terdapat metode yang dapat
mengisolasi suatu senyawa yang dicurigai adalah BKO dalam jamu.
Metode ini adalah ekstraksi fase padat atau Solid Phase Extraction.
Ektraksi fase padat termasuk kedalam salah satu metode ekstraksi
yang merupakan ektraksi cair padat. Dikatakan ekstraksi cair padat karena
menggunakan pelarut pengekstrak berupa padatan (sorben). Pada
praktikum ini digunkan sorben berupa C18. Keunggulan SPE
dibandingkan dengan ekstraksi cair-cair adalah: proses ekstraksi lebih
sempurna, pemisahan analit dari penganggu yang mungkin ada menjadi
lebih efisien, mengurangi pelarut organik yang digunakan, fraksi analit
yang diperoleh lebih mudah dikumpulkan, mampu menghilangkan
partikulat, dan lebih mudah diotomatisasi. Karena SPE merupakan proses
pemisahan yang efisien maka untuk memperoleh recovery yang tinggi
(>99%) pada SPE lebih mudah dari pada ekstraksi cair-cair. Dengan
ekstraksi cair-cair diperlukan ekstraksi beberapa kali untuk memperoleh
recovery yang tinggi, sedangkan dengan SPE hanya dibutuhkan satu tahap
saja untuk memperolehnya.
SPE memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan ekstraksi cair-
cair yaitu dengan menggunakan SPE proses ekstraksi menjadi lebih
sempurna, pemisahan analit dari matriks menjadi lebih efisien,
mengurangi pelarut organic yang digunakan. SPE merupakan proses
pemisahan yang efisien sehingga recovery yang tinggi (>99%) lebih
mudah dicapai jika dibandingkan dengan ekstraksi cair-cair. Selain itu
kerugian SPE adalah banyaknya jenis cartridge (berisi penjerap tertentu)
yang beredar di pasaran sehingga reprodusibilitas hasil bervariasi jika
menggunakan cartridge yang berbeda dan juga adanya adsorpsi yang
bolak-balit pada cartridge SPE.
Pertama-tama dilakukan tahap pengkondisian. Tahap ini bertujuan
untuk membuka pori-pori pada cartridge C18 sehingga memudahkan
proses pada tahap elusi. Selain itu tahap ini juga bertujuan untuk membuat
suasana yang sama agar tidak terjadi perubahan kimia selama proses
pengerjaan. Pada tahap ini pelarut yang digunakan harus pelarut yang
memiliki daya elusi yang kuat contohnya methanol, asetonitril, karbon
disulfide. Pada percobaan ini digunakan pelarut methanol dan air sebanyak
masing-masing 1,5 ml yang dimasukkan kedalam cartridge C18 dan
dibiarka menetes sampai habis dan di tampung pada vial pengkondisian.
Seharusnya pada vial ini tidak terdapat analit karena cairan yang
dimasukkan kedalam cartridge C18 tidak mengandung sampel
paracetamol.
Selanjutnya dilanjutkan dengan tahap retensi atau penjerapan.
Tahap ini bertujuan untuk menjerap analit dan mengeluarkan atau
mengelusi matriks. Matriks adalah komponen lain selain analit yang ikut
terelusi. Pada tahap ini diharapkan analit terjerap pada sorben karena
kesamaan sifat antara sorben dengan analit. Sorben bersifat non polar
sehingga efektif untuk analit yang bersifat semipolar hingga non polar.
Dalam hal ini paracetamol bersifat semipolar sehingga akan terjadi
interaksi antara paracetamol dengan cartridge C18 dan mempunyai afinitas
yang tinggi sehingga paracetamol akan terjerap pada cartridge C18.
Pelarut yang digunakan pada tahap ini bersifat asam. Digunakan pelarut
asam karena pelarut asam dapat mengurangi jumlah matriks sehingga yang
terjerap hanya analit. Pelarut asam yang digunakan adalah asam format.
Pemilihan ini berdasarkan hasil optimasi dari berbagai percobaan. Selain
itu pelarut yang digunakan pada tahap ini harus mempunyai daya elusi
yang rendah sehingga dapat menjerap analit lebih lama. Hasil pada tahap
ini ditampung dalam vial hasil retensi. Seharunya pada vial ini tidak
terdapat analit karena diharapkan analit terjerap sempurna pada cartridge
C18.

Tahap selanjutnya adalah pencucian atau pembilasan. Tahap ini


bertujuan untuk mengeluarkan matriks-matriks yang masih tertinggal pada
cartridge C18. Hal ini dapat terjadi karena pada tahap retensi belum tentu
semua matriks terelusi oleh karena itu perlu dilakukan pembilasan. Pelarut
yang digunakan pada tahap ini adalah pelarut yang tidak dapat melarutkan
analit. Pada percobaan ini digunakan pelarut aquadest karena kelaruan
paracetamol dalam aquadest adalah 1 gram dalam 70 bagian atau agak
sukar larut (Depkes RI, 1995). Dipilih pelarut yang tidak melarutkan analit
agar analit tetap terjerap pada cartridge C18. Hasil tahap ini ditampung
dalam vial hasil pembilasan. Seharsunya pada vial ini tidak terdapat analit
karena pada tahap ini analit masih diharapkan terjerap cartridge C18.
Tahap terakhir adalah tahap elusi. Tahap ini bertujuan untuk
mengeluarkan analit dari penjerap yaitu cartridge C18. Digunakan pelarut
yang bisa melarutkan paracetamol. Paracetamol adalah senyawa yang
bersifat asam sehingga digunakan pelarut basa sehingga asam dan basa
bercampur menghasilkan garam sehingga paacetamol dapat larut dan
terelusi keluar cartridge C18. Pada percobaan ini digunakan pelarut basa
berupa NH40H. Hasil tahap ini ditampung dalam vial hasil analit.
Seharusnya pada vial ini mengandung analit saat dianalisis lebih lanjut.
Selanjutnya semua vial hasil ektraksi fase padat dianalisis kualitatif
dengan KLT untuk melihat pada vial mana saja yang terkandung analit
dengan menggunakan pembanding baku paracetamol.
Kromatografi sendiri adalah metode pemisahan didasarkan pada
perbedaan distribusi molekul-molekul komponen diantara dua fase (fase
gerak dan fase diam) yang kepolarannya berbeda. KLT termasuk kedalam
jenis kromatografi planar atau datar dimana fase diam berupa padatan dan
fase gerak adalah cairan.
Pada kromatografi ada namanya fase diam dan fase gerak. Fase
diam untuk kromatografi lapis tipis seringkali mengandung substansi yang
dapat berpendar dalam sinar ultra violet. Pada percobaan ini fase diam
yang digunakaan adalah silica gel. Permukaan gel silika sangat polar dan
karenanya gugus -OH dapat membentuk ikatan hidrogen dengan senyawa-
senyawa yang sesuai di sekitarnya. Silika gel yang digunakan pada
praktikum ini adalah silica gel tipe GF 254 dimana silica gel ini sudah
mengandung pengikat dan sudah dilengkapi oleh senyawa yang mampu
berfluoresensi sehingga saat dilihat dibawah sinar UV 254 nm dan akan
menghasilkan bercak atau noda.
Fase gerak adalah pelarut organik tunggal ataupun kombinasi
pelarut. Fase gerak yang kali ini digunakan adalah pelarut organik yang
terdiri dari campuran kloroform dan methanol (9:1) dalam 10 ml.
Penggunaan pelarut kloroform-metanol diharapkan dapat memperoleh
baik senyawa polar maupun nonpolar yang terkandung dalam sampel
karena kombinasi pelarut ini bersifat semi polar. Dalam hal ini tujuan
utama kita adalah mengidentifikasi adanya paracetamol atau tidak pada
suatu sampel jamu. Karena paracetamol merupakan senyawa semipolar,
maka digunakan kombinasi pelarut yang bersifat semi polar juga sehingga
memungkinkan paracetamol dapat terelusi. Dikarenakan fase diam pada
kromatografi ini lebih polar daripada fase geraknya maka kromatografi ini
termasuk kedalam kromatografi normal, dimana fase diam lebih polar
sedangkan fase geraknya kurang polar.
Kromatrogafi Lapis Tipis digunakan untuk analisis kualitatif yaitu
untuk menganalisis keberadaan suatu senyawa didalam campuran
menggunakan suatu pembanding, hasil yang didapatkan adalah nilai Rf. Rf
merupakan nilai dari jarak relatif pada pelarut. Harga Rf dihitung sebagai
jarak yang ditempuh oleh komponen dibagi dengan jarak tempuh oleh
eluen (fase gerak). Rf juga menyatakan derajat retensi suatu komponen
dalam fase diam. Karena itu Rf juga disebut faktor retensi. Nilai
maksimum Rf adalah 1 dan nilai minimumnya 0. Harga Rf yang baik
adalah diantara 0,2 - 0,8. Setiap komponen memiliki harga Rf sendiri-
sendiri, dengan bantuan dari sinar ultraviolet maka dapat ditentukan noda
yang tidak tampak oleh kasat mata. Keuntungan menggunakan
kromotografi lapis tipis diantaranya adalah: KLT memberikan fleksibilitas
yang lebih besar, dalam hal memilih fase gerak, proses kromatografi dapat
diikuti dengan mudah dan dapat dihentikan kapan saja, hanya
membutuhkan sedikit pelarut, waktu analisis yang singkat (15-60 menit),
preparasi sample yang mudah, dan cocok untuk memonitor identitas dan
kemurnian sampel
Petama-tama plat KLT diberi tanda pada ujung atas dan bawah
sebesar masing-masing 0,5 cm 1 cm menggunakan pensil, tidak
diperbolehkan menggunakan bolpoint, hal ini disebabkan tinta pada
bolpoint akan menganggu saat dicelupkan di fase gerak, tinta akan ikut
masuk dan menganggu pengamatan. Kemudian plat KLT diaktivasi
dengan cara memanaskannya didalam oven selama 15 menit pada suhu
100,5oC. Hal ini bertujuan untuk mengeringkan molekul-molekul air yang
mungkin terjerat selama proses penyimpanan plat. Disiapkan
chamber/bejana yang berupa wadah kaca tembus pandang beserta
tutupnya. Chamber ini digunakan untuk menjenuhkan fase gerak dalam hal
ini adalah kloroform dan methanol (9:1). Kloroform dan methanol
dimasukkan kedalam chamber kemudian diberi kertas saring dan ditutup.
Penjenuhan ini selesai ditandai dengan kertas saring yang seluruhnya
basah dari bawah sampai atas oleh eluen. Kemudian sambil menunggu
chamber jenuh, totolkan 5 macam sampel yaitu: larutan standar
paracetamol, larutan filtrat jamu, larutan hasil retensi, larutan hasil
pencucian, dan larutan hasil elusi. Setelah eluen sudah jenuh maka plat
KLT yang sudah diaktivasi ditotolkan dengan 5 macam larutan sampel
tersebut. Penotolan harus hati-hati jangan terlalu tebal dan jangan terlalu
tipis, serta diperhatikan batas antara totolan dan pelarut fase gerak agar
totolan tidak larut dalam fase gerak sehingga tidak terjadi elusi. Penotolan
dilakuakan masing-masing senyawa sebanyak dua kali. Setelah ini plat
KLT dielusi dengan pelarut organik yang sudah jenuh tersebut. Elusi ini
dilakukan sampai eluent mencapai batas ujung plat. Setelah itu plat
dikeringkan dan diamati dibawah sinar UV 256 nm
Dari data hasil pengamatan proses elusi pada larutan standar
terdapat satu bercak dengan nilai Rf 0,54. Hal ini sudah sesuai karena pada
larutan standar paracetamol pasti mengandung paracetamol. Nilai Rf ini
dijadikan patokkan larutan lain jika mempunyai nilai Rf yang sama maka
dicurigai mengandung paracetamol juga. Pada filtrat jamu simulasi
terdapat satu bercak dengan nilai Rf 0,49, hal ini sudah sesuai karenapada
filtrat jamu memang mangandung paracetamol karena sudah ditambahkan
paracetamol kedalam jamu tersebut. Pada larutan hasil retensi tidak
terdapat bercak, hal ini sudah sesuai karena pada larutan hasil retensi
memang diharapkan tidak terdapat paracetamol yang ikut terelusi karena
paracetamol masih terjerap pada cartridge C18. Pada larutan hasil
pencucian terdapat satu bercak tipis dengan nilai Rf 0,52, seharunya pada
larutan hasil pencucian tidak terdapat bercak karena pada tahap ini
diharapkan yang terlusi hanya sisa-sisa matriks. Hal ini mungkin terjadi
karena paracetamol bersifat semi polar dan pada tahap ini digunakan
pelarut aquadest yang bersifat polar sehingga memungkinkan ada sebagian
paracetamol yang terlarut dan ikut terelusi. Selain itu digunakan sorben
cartridge C18 yang bersifat non polar sedangkan paracetamol yang bersifat
polar sehingga mungkin afinitas paracetamol pada sorben yang tidak
terlalu kuat sehingga memungkin ada sebagian paracetamol yang terelusi.
Pada larutan hasil elusi terdapat satu bercak dengan nilai Rf 0,56, hal ini
sudah sesuai karena pada tahap elusi diharapkan paracetamol dapat keluar
dan ditampung pada vial. Dilihat dari nilai Rfnya pada larutan ini juga
sudah mirip dengan larutan standar sehingga dicurigai bercak tersebut
memang paracetamol.
Nilai Rf yang masih belum bisa dijadikan acuan karena nilai Rf ini
sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, suhu, kelebaban dan tekanan.
Sehingga perlu dilakukan pengujian berikutnya untuk memastikan bahwa
bercak yang didapatkan memang benar paracetamol. Pengujian berikutnya
adalah analisis kualitatif dengan metode KCKT. Instrumen yang
digunakan adalah KCKT.
Pada tahap ini hanya larutan yang mempunyai bercak yang dianalisis
lebih lanjut dengan KCKT. Larutan yang diinjeksikan adalah larutan
standar paracetamol, larutan hasil elusi, dan larutan sisa pencucian.
Larutan sisa pencucian ikut diinjeksikan karena memiliki bercak pada
analisis KLT sehingga untuk memastikannya larutan tersebut ikut
diinjeksikan. KCKT didefinisikan sebagai kromatografi cair dengan fase
diam yang terikat secara kimia pada penyangga halus yang distribusi
ukuranya sempit (kolom) dan fase gerak yang dipaksa mengalir dengan
laju alir yang terkendali dengan memakai tekanan tinggi sehingga
menghasilkan pemisahan dengan resolusi tinggi dan waktu yang relative
singkat. Prinsip KCKT adalah larutan sampel dimasukkan ke dalam
injektor kemudian oleh fase gerak larutan sampel dibawa ke kolom dengan
bantuan pompa. Didalam kolom dilakukan pemisahan berdasarkan
kepolarannya yang kemudian akan terdeteksi oleh detektor dan dibaca
berapa peak atau kromatogram, sedangkan data kualitatif diketahui berapa
waktu retensi, sedangkan secara kuantitatif berapa luas area AUC.

Parameter yang digunakan adalah waktu retensi. Waktu retensi


adalah jarak mulai sampel diinjeksikan sampai muncu al puncak
maksimal. Waktu retensi yang baik adalah 3-4. Seharusnya waktu retensi
larutan standar paracetamol mendekati atau sama dengan waktu retesi
larutan hasil elusi. Dari data hasil pengamatan, waktu retensi larutan
standar 3,243. Sedangkan waktu retensi larutan pembilasan 3, 317, dan
watu retensi larutan hasil elusi 3,03. Berdasarkan data tersebut semua
waktu retensinya berdekatan. Hal ini membuktikan bahwa didalam larutan
hasil elusi dan larutan pembilasan positif mengandung paracetamol.

IX. Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, paracetamol yang
terkandung dalam sampel jamu simulasi dapat diisolasi dengan metode
SPE menggunakan cara catridge, hal tersebut terbukti setelah dilakukan
analisis kualitatif dengan KCKT yang menunjukkan waktu retensi puncak
larutan elusi sebesar 3,030 yang hampir mendekati standar paracetamol
seperti yang tercantum pada beberapa literatur.

DAFTAR PUSTAKA
Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi ke IV. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.

Dirjen POM. 2014. Farmakope Indonesia Edisi ke V. Jakarta: Departemen


Kesehatan Republik Indonesia.

Kee, J.L., and Hayes E.R., 1996, Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan,
140-151, Alih Bahasa Peter Anugerah. EGC, Jakarta.

Watson dan David, G., 2009, Analisis Farmasi: Buku Ajar untuk Mahasiswa
Farmasi dan Praktisi Kimia Farmasi, Diterjemahkan dari Bahasa Inggris
oleh Winny, R., Syarief, Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Wilmana, P. F., 1995, Analgesik – Antipiretik Analgesik Anti-Inflamasi


Nonsteroid dan Obat Pirai, dalam: Farmakologi dan Terapi, Sulistia G.
Ganiswarna (Ed.), edisi 4, Gaya Baru, Jakarta.

Sartono, 1993. Pengaruh pemberian dosis tunggal parasetamol terhadap komposisi


metabolit parasetamol dalam urin tikus jantan malnutrisi. Majalah
Kedokteran Diponegoro 30 (3,4): 227-32

Katzung, B.G. 2011. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai