Diuretika adalah zat-zat yang dapat memperbanyak pengeluaran kemih (diuresis) melalui
kerja langsung terhadap ginjal. Obat-obat lainnya yang menstimulasi diuresis dengan
mempengaruhi ginjal secara tidak langsung tidak termasuk dalam defenisi ini, misalnya, zat-zat
yang memperkuat kontraksi jantung (digoksin, teofilin),memperbesar volume darah (dekstran),
atau merintangi sekresi hormon anti diuretik ADH (Tjay, T.H., K. Rahardja, 2002).
Mekanisme Kerja Diuretik ada tiga faktor utama yang mempengaruhi respon diuretik ini.
Pertama, tempat kerja diuretik di ginjal. Diuretik yang bekerja pada daerah yang reabsorbsi
natrium sedikit, akan memberi efek yang lebih kecil bila dibandingkan dengan diure-tik yang
bekerja pada daerah yang reabsorbsi natrium banyak. Kedua, status fisiologi dari organ.
Misalnya dekompensasi jantung, sirosis hati, gagal ginjal. Dalam keadaan ini akan memberikan
respon yang berbeda terhadap diuretik. Ketiga, interaksi antara obat dengan reseptor.
Sebagaimana umumnya diketahui, diuretik digunakan untuk merangsang terjadinya diuresis.
Penggunaan diuretik sudah demikian luas (Siregar, P., W.P., R. Oesman, R.P. Sidabutar , 2008).
Kebanyakan diuretika bekerja dengan mengurangi reabsorpsi natrium dan air, sehingga
pengeluarannya lewat kemih diperbanyak. Obat-obat ini bekerja khusus terhadap tubuli. Tetapi
juga di tempat lain, yakni di:
1) Tubuli Proksimal
Ultrafiltrat mengandung sejumlah besar garam yang di sini direabsorpsi secara aktif
untuk lebih kurang 705, antara lain ion Na+ dan air, begitu pula glukosa dan ureum. Karena
reabsorpsi berlangsung secara proporsionalk, maka susunan filtrat tidak berubah dan tetap
isotonis terhadap plasma. Diuretika osmotis (manitol, sorbitol) bekerja di sini dengan
merintangi reabsorpsi air dan juga natrium.
2) Lengkungan Henle.
Di bagian menaik lengkungan Henle ini, sekitar 25% dari semua ion Cl- yang telah
difiltrasi direabsorpsi secara aktif, disusul dengan reabsorpsi pasif dari Na + dan K+, tetapi
tanpa air, hingga filtrat menjadi hipotonis. Diuretika lengkungan, seperti furosemid,
bumetanida, dan etakrinat bekerja terutama di sini dengan merintangi transpor Cl - dan
demikian reabsorpsi Na+. Pengeluaran K+ dan air juga diperbanyak.
3) Tubuli distal.
Di bagian pertama segmen ini, Na+.direabsorpsi secara aktif pula tanpa air hingga filtrat
menjadi lebih cair dan lebih hipotonis. Senyawa thiazida dan klortalidon bekerja di tempat ini
dengan memperbanyak ekskresi Na+ dan Cl- sebesar 5-10%. Di bagian kedua segmen ini, ion
Na+ ditukarkan dengan ion K+ atau NH4+(Tjay, T.H., 2002).
Berdasarkan aspek mekanisme kerjanya, diuretik dibagi menjadi 2, yaitu (Rang HP,
2011):
1. Diuretik Osmotik
2. Diuretika Penghambat Mekanisme Transport Elektrolit di dalam tubuli ginjal
1. Diuretik Osmotik
Istilah diuretic Osmotik biasanya dipakai untuk zat bukan elektrolit yang mudah dan
cepat diskskresi oleh ginjal. Suatu zat dapat bertindak sebagai diuretic osmotic apabila
memenuhi 4 syarat:
Tubulus kontortus proksimal dan ansa henle cabang desenden sangat permeabel terhadap
air. Agen apapun yang aktif secara osmotik yang difiltrasi glomerulus tapi tidak direabsorpsi
menyebabkan retensi air di segmen ini sehingga menimbulkan diuresis air. Agen seperti
demikian dapat digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial dan untuk cepat
menghilangkan racun ginjal. Manitol adalah prototipe dari diuretik osmotik. Selain manitol,
ada juga gliserin, isosorbid, dan urea (Katzung,2010).
Obat-obat ini direabsorpsi sedikit oleh tubuli sehingga reabsorpsi air juga terbatas.
Efeknya al diuresis osmotik dengan ekskresi air tinggi dan eksresi Na sedikit. Istilah diuretik
osmotik biasanya dipakaiuntuk zat bukan elektrolit yang mudah dan cepat diekskresi oeh
ginjal. Contoh dari diuretik osmotik adalah ; manitol, urea, gliserin dan isisorbid (Aidan,
2008).
Manitol adalah alkohol gula yang terdapat dalam tumbuh-tumbuhan dan getahnya. Efek
diuresisnya pesat tetapi singkat an dapat melintasi glomeruli secara lengkap, praktis tanpa
reabsorpsi pada tubuli, sehingga penyerapan kembali air dapat dirintangi secara osmotik.
Terutama digunakan sebagai infus untuk menurunkan tekanan intraokuler pada glaucoma
(Aidan, 2008).
Beberapa Mekanisme aksi dari kerja Manitol sekarang ini adalah sebagai berikut:
2) Manitol tidak terbukti bekerja menurunkan kandungan air dalam jaringan otak yang
mengalami injuri, manitol menurunkan kandungan air pada bagian otak yang yang tidak
mengalami injuri, yang mana bisa memberikan ruangan lebih untuk bagian otak yang injuri
untuk pembengkakan (membesar).
3) Cepatnya pemberian dengan Bolus intravena lebih efektif dari pada infuse lambat dalam
menurunkan Peningkatan Tekanan intra cranial.
4) Terlalu sering pemberian manitol dosis tinggi bisa menimbulkan gagal ginjal. ini dikarenakan
efek osmolalitas yang segera merangsang aktivitas tubulus dalam mensekresi urine dan dapat
menurunkan sirkulasi ginjal.
5) Pemberian Manitol bersama Lasik (Furosemid) mengalami efek yang sinergis dalam
menurunkan PTIK. Respon paling baik akan terjadi jika Manitol diberikan 15 menit sebelum
Lasik diberikan. Hal ini harus diikuti dengan perawatan managemen status volume cairan dan
elektrolit selama terapi Diuretik (Aidan, 2008).
Tubulus kontortus proksimal dan ansa henle cabang desenden sangat permeabel terhadap
air. Agen apapun yang aktif secara osmotik yang difiltrasi glomerulus tapi tidak direabsorpsi
menyebabkan retensi air di segmen ini sehingga menimbulkan diuresis air. Agen seperti
demikian dapat digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial dan untuk cepat
menghilangkan racun ginjal. Manitol adalah prototipe dari diuretik osmotik. Selain manitol, ada
juga gliserin, isosorbid, dan urea (Katzung BG, 2010).
Farmakokinetik
Diuretik osmotik sulit diabsorpsi. Sehingga obat ini harus diberikan secara parenteral.
Jika diberikan peroral, manitol menyebabkan diare osmotik. Manitol tidak dimetabolisme dan
diekskresi melalui filtrasi glomerulus dalam waktu 30-60 menit, tanpa adanya reabsorpsi ataupun
sekresi tubular yang berarti (Katzung BG, 2010).
Farmakodinamik
Diuretik osmotik terutama bekerja di tubulus kontortus proksimal dan ansa henle cabang
desenden. Melalui efek osmotik, diuretik ini melawan kerja ADH di tubulus koligen renalis.
Adanya bahan yang tidak dapat direabsorpsi, seperti manitol mencegah absorpsi normal air
dengan menimbulkan tekanan osmotik yang melawan keseimbangan. Akibatnya, volume urin
meningkat. Peningkatan laju aliran urin menurunkan waktu kontak antara cairan dan epitel
tubulus sehingga menurunkan reabsorpsi Na+ dan juga reabsorpsi air. Natriuresis yang terjadi
kurang berarti dibandingkan dengan diuresis air, yang kemudian menyebabkan kehilangan
banyak cairan tubuh dan hipernatremia (Katzung BG, 2010).
Dosis yang diberikan untuk tujuan meningkatkan volume urin awalnya 12.5 g secara intra
vena (dosis uji) sebelum memulai infus kontinu. Manitol tidak boleh dilanjutkan kecuali terdapat
peningkatan laju aliran urinlebih dari 50 ml/jam dalam waktu 3 jam setelah pemberian dosis uji.
Manitol dengan dosis 12.5-25 g dapat diulang pemberiannya tiap 1-2 jam untuk
mempertahankan laju aliran urin agar berada diatas 100 ml/jam. Penggunaan jangka panjang
tidak dianjurkan. Untuk fungsi penurunan tekanan intrakranial dan intraokular dapat diberikan
manitol secara intravena dengan dosis 1-2 g/kg. monitoring tekanan intrakranial, karena tekanan
intrakranial harus turun dalam waktu 60-90 menit (Katzung BG, 2010).
Efek Samping
Farmakokinetik
Diuretik loop cepat diabsorpsi dan dieliminasi oleh ginjal melalui filtrasi glomerulus dan
sekresi tubulus. Torsemid oral diabsorpsi dalam waktu 1 jam dan jika diberikan intravena
absorpsinya hampir sempurna. Durasi efek torsemid sekitar 4-6 jam. Sedangkan furosemid
memerlukan waktu yang lebih panjang untuk diabsorpsi yaitu 2-3 jam, dan dengan durasi efek
yang lebih pendek yaitu 2-3 jam. Waktu paruh keduanya bergantung pada fungsi ginjal.
Pemberian obat-obat lain seperti NSAID atau probenesid dapat mengurangi sekresi asam lemah
yang menyebabkan penurunan sekresi diuretik loop (Katzung BG, 2010).
Farmakodinamik
Mekanisme kerja dari diuretik loop adalah dengan menghambat symport Na +-K+-2Cl- di
lumen ansa henle cabang ascenden tebal. Hal ini menyebabkan penurunan reabsorpsi terhadap
NaCl serta mengurangi potensial positif di lumen akibat difusi kembali K + yang meningkatkan
ekskresi dari Mg2+ dan Ca2+. Hal ini dapat memicu terjadinya hipomagnesium pada penggunaan
berkepanjangan. Hipokalsemia tidak terjadi pada pemberian diuretik loop dikarenakan absorpsi
Ca2+ di usus dapat dipicu oleh vitamin D dan Ca2+ juga aktif direabsorpsi pada tubulus kontortus
distal (Katzung BG, 2010).
Pada pasien dengan gangguan hiperkalsemia, dapat diberikan kombinasi antara diuretik loop dan
infus saline untuk meningkatkan ekskresi Ca 2+. Agen seperti NSAID dapat mengganggu kerja
diuretik loop melalui penurunan sintesis prostaglandin (berperan dalam kerja diuretik di ginjal)
sehingga perlu berhati-hati terutama pada pasien dengan sindrom nefrotik atau sirosis hepatik
(Katzung BG, 2010).
Selain memiliki aktivitas diuretik, diuretik loop juga memiliki efek yang belum diketahui secara
lengkap terhadap aliran darah. Contohnya pada penggunaan furosemid secara intravena pada
pasien dengan edema paru et causa gagal jantung akut, dapat memberikan efek vasodilator
(terapi yang berguna) sebelum muncul efek diuretik (Rang HP, 2011).
sebagai dosis tunggal atau terbagi dalam dua dosis (Guyton AC, 2006).
Efek Samping
Efek samping yang dapat terjadi antara lain, yaitu (Katzung,2010):
Farmakokinetik
Semua tiazid dapat diberikan per oral, tetapi terdapat perbedaan dalam metabolismenya.
Klorotiazid, yakni senyawa induk kelompok ini, bersifat kurang larut dalam lemak dan harus
diberikan dalam dosis yang relatif besar. Klortalidon diabsorpsi secara perlahan dan durasi
kerjanya lebih panjang. Meskipun indapamid diekskresi melalui sistem empedu, bentuk aktif
obat ini yang di ekskresi oleh ginjal cukup untuk menimbulkan efek diuretiknya di tubulus
kontortus distal (Katzung BG, 2010).
Semua tiazid diekskresikan oleh urin dan kebanyakan melalui sistem sekresi tubular. Hal
ini menyebabkan terjadi persaingan dengan sekresi asam urat oleh sistem sekresi tersebut.
Akibatnya, penggunaan tiazid dapat menurunkan ekskresi asam urat dan meningkatkan kadar
asam urat serum (Rang HP, 2011).
Farmakodinamik
Tiazid menghambat reabsorpsi NaCl dari sisi lumen sel epitel tubulus kontortus distal
dengan memblokade transporter Na+/Cl-. Berbeda dengan tempat kerja diuretik loop, ansa henle
cabang ascenden tebal, tiazid sangat meningkatkan reabsorpsi dari Ca 2+. Peningkatan ini
diperkirakan terjadi akibat efek tiazid pada tubulus kontortus proksimal dan distal. Dalam
tubulus kontortus proksimal, hilangnya volume cairan tubuh akibat tiazid menyebabkan
peningkatan absorpsi pasif Ca2+ dan Na+. Dalam tubulus kontortus distal, penurunan kadar Na +
intrasel akibat blokade pemasukan Na+ oleh tiazid meningkatkan pertukaran Na+/ Ca2+
keseluruhan. walaupun jarang menyebabkan hiperkalsemia karena peningkatan reabsorpsi, tiazid
dapat memperberat hiperkalsemia pada pasien yang menderita hiperparatiroidisme, karsinoma,
dan sarkoidosis. Tiazid juga bermanfaat dalam pengobatan batu ginjal yang disebabkan oleh
hiperkalsiuria. Karena kerja tiazid bergantung pada produksi prostaglandin ginjal, tiazid juga
dapat dihambat oleh NSAID pada berbagai kondisi (Katzung BG, 2010).
Efek Samping
Efek samping yang dapat terjadi antara lain, yaitu (Katzung,2010):
- Hiperlipidemia
- Hiponatremia
- Reaksi alergi
- Hipertensi
Farmakokinetik
Spironolakton diabsorpsi dengan baik di usus. Awitan dan durasi kerja spironolakton
ditentukan oleh kinetik respons aldosteron di jaringan sasaran. Waktu paruh spironolakton dalam
plasma hanya 10 menit, akan tetapi bentuk metabolit aktifnya, canrenone memiliki waktu paruh
16 jam. Spironolakton sebagian besar di inaktivasi di hati. Secara keseluruhan, awitan kerja
spironolakton agak lambat, dibutuhkan beberapa hari sebelum efek terapi penuh dicapai.
Eplerenon adalah analog spironolakton yang lebih selektif terhadap reseptor aldosteron (Katzung
BG, 2010).
Amilorid dan triamteren adalah penghambat langsung influks Na+ di tubulus koligen
renalis. Triamteren dimetabolisme di hati, tetapi ekskresi ginjal merupakan jalur eliminasi bentuk
aktif dan metabolit triamteren yang utama. Triamteren memiliki waktu paruh yang lebih singkat
sehingga harus diberikan lebih sering dibandingkan dengan amilorid (yang tidak dimetabolisme)
(Katzung BG, 2010).
Farmakodinamik
Diuretik hemat kalium menurunkan absorpsi di tubulus dan tubulus koligen renalis.
Absorpsi Na+ (dan sekresi K+) pada tempat ini diatur oleh aldosteron. Antagonis aldosteron
mempengaruhi proses ini. Efek serupa diamati pada pengaturan H+ oleh sel interkalaris tubulus
koligen renalis. Hal ini menjelaskan alasan terjadinya asidosis metabolik pada penggunaan
antagonis aldosteron (Katzung BG, 2010).
Spironolakton dan eplerenon berikatan dengan reseptor aldosteron dan dapat pula
menurunkan pembentukan metabolit aktif aldosteron di dalam sel. Amilorid dan triamteren tidak
memblokade reseptor aldosteron tetapi langsung mempengaruhi masuknya Na+ melalui kanal ion
natrium epitel (ENaC) pada membran apikal tubulus koligen renalis. Karena sekresi K + digabung
dengan masuknya Na+ pada segmen ini, agen-agen ini juga merupakan diuretik hemat kalium
yang efektif. Kerja antagonis aldosteron bergantung pada produksi prostaglandin, sehingga
kerjanya dapat dihambat oleh NSAID pada berbagai kondisi (Katzung BG, 2010).
Dosis diuretik hemat kalium dan preparat kombinasi (Katzung BG, 2010).
Nama Dagang Diuretik Hemat Kalium Hidroklorotiazid
Aldactazid Spironolakton 25 mg 50 mg
Aldacton Spironolakton 25, 50, atau 100 mg ---
Dyazid Triamteren 37.5 mg 25 mg
Dyrenium Triamteren 50 atau 100 mg ---
Inspra Eplerenon 25, 50, atau 100 mg ---
Maxzid Triamteren 75 mg 50 mg
Maxzide-25 mg Triamteren 37.5 mg 25 mg
Midamor Amilorid 5 mg ---
Moduretic Amilorid 5 mg 50 mg
eplerenon saat ini disetujui penggunaannya hanya untuk hipertensi (Guyton AC,
2006).
Efek Samping
Efek samping yang dapat terjadi antara lain, yaitu (Katzung,2010) :
- Hiperkalemia
- Ginekomastia
- Batu ginjal
Kimiawi
Awalnya sulfonamid diperkenalkan sebagai suatu senyawa kemoterapeutik dengan efek
samping metabolik asidosis. Penemuan ini menyebabkan dilakukan penelitian in vitro dan in
vivo yang menyatakan bahwa sulfonamid adalah suatu inhibitor karbonik anhidrase. Motif
umum molekul inhibitor karbonik anhidrase yang tersedia saat ini adalah terdapat gugus
sulfonamid yang tidak tersubstitusi (Hardman JG, 2005).
Farmakokinetik
Penghambat karbonik anhidrase diabsorpsi secara baik setelah pemberian oral.
Peningkatan pH urin akibat diuresis HCO3- tampak dalam waktu 30 menit, maksimal setelah 2
jam, dan bertahan selama 12 jam setelah pemberian dosis tunggal. Obat diekskresi melalui
sekresi di segmen S2 tubulus proksimal sehingga dosis obat harus diturunkan pada pasien
insufisiensi ginjal (Hardman JG, 2005).
Farmakodinamik
Inhibisi aktivitas karbonik anhidrase sangat menekan reabsorpsi HCO 3- di tubulus
kontortus proksimal. Pada dosis teraman, inhibitor karbonik anhidrase menghambat 85%
kapasitas reabsorpsi HCO3- dari tubulus kontortus proksimal superfisial. Beberapa HCO3- tetap
dapat diabsorpsi ditempat lain di nefron melalui mekanisme yang tidak bergantung pada
karbonik anhidrase sehingga efek keseluruhan penghambatan oleh dosis maksimal acetazolamide
hanyalah sebesar 45% dari seluruh reabsorpsi HCO3- di ginjal. Walaupun demikian, inhibisi
karbonik anhidrase menyebabkan pelepasan HCO3- dan asidosis metabolik hiperkloremik yang
signifikan. Karena penurunan kadar HCO3- dalam filtrat glomerulus dan fakta bahwa deplesi
HCO3- menyebabkan peningkatan reabsorpsi NaCl di segmen nefron lain, efektivitas diuretik
acetazolamide menurun secara signifikan setelah digunakan selama beberapa hari (Katzung BG,
2010).
Saat ini aplikasi klinis acetazolamide yang utama menyangkut transport cairan dan HCO3-
yang bergantung pada karbonik anhidrase di tempat lain selain ginjal. badan siliaris mata
menyekresi HCO3- dari darah ke dalam aqueous h7umor. Pembentukan cairan serebrospinal oleh
pleksus koroideus juga menyangkut sekresi HCO3-. Walaupun berbagai proses ini memindahkan
HCO3- dari darah (arah yang berlawanan dengan arah di tubulus proksimal), proses-proses ini
juga dihambat oleh penghambat karbonik anhidrase (Katzung BG, 2010).
Dosis diuretik inhibitor karbonik anhidrase yang digunakan per oral dalam terapi
glaukoma (Katzung BG, 2010).
Obat Dosis Oral Normal
Acetazolamide 250 mg 1-4 kali sehari
Diklorfenamide 50 mg 1-3 kali sehari
Methazolamide 50-100 mg 2-3 kali sehari
Efek Samping
Efek samping yang dapat terjadi antara lain, yaitu (Katzung,2010):
- Asidosis metabolik hiperkloremik
- Batu ginjal
- Pembuangan kalium ginjal
- Rasa mengantuk, paresthesia, toksisitas sistem saraf, dan reaksi hipersensitivitas
- Depresi sum-sum tulang
- Toksisitas pada kulit
Kombinasi dari obat-obat lain bersama diuretika dapat menimbulkan interaksi yang
tidakdikehendaki, seperti:
- Penghambat ACE, dapat menimbulkan hipotensi yang hebat, maka sebaiknya baru
diberikan setelah penggunaan diuretikum dihentikan selama 3 hari.
- Obat-obat rema (NSAID’s) dapat agak memperlemah efek diuretis dan antihipertensif
akibat retensi natrium dan airnya.
- Kortikosteroid dapat memperkuat kehilangan kalium.
- Aminoglikosida: ototoksisitas diperkuat berhubung diuretika sendiri dapat menyebabkan
ketulian (reversibel).
- Antidiabetika oral dikurangi efeknya bila terjadi hiperglikemia. Litiumklorida dinaikkan
kadar darahnya akibat terhambatnya ekskresi (Rosy , 2009)
DAFTAR PUSTAKA
Aidan, 2008, Penggolongan Diuretik. http://kamusehat.blogspot.com/08/diuretik.html, Diakses
tanggal : 14 Juni 2015
Guyton AC, Hall JE, 2006, Textbook of Medical Physiology: The Body Fluids and Kidneys. 11th
Edition, Elsevier Saunders, Philadelphia, p. 308-10.
Halimudin, 2007, Terapi Diuretik Osmotik (Manitol) Pada Gangguan Sistem Persarafan.
www.nardinurses.files.wordpress.com, Diakses pada 14 Juni 2015.
Hardman JG, Limbird LE, Gilman AG, 2005,Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basic
of Therapeutics: Drugs Affecting Renal and Cardiovascular Function, 11th Edition,
McGraw-Hill, California, p. 735-62.
Katzung BG, 2010, Farmakologi Dasar dan Klinik: Obat-Obat Kardiovaskular-Ginjal, Edisi 10,
EGC, Jakarta, p. 240-58.
Rang HP, Dale MM, R itter JM, Flower RJ, Henderson G, 2011, Rang and Dale’s
Pharmacology: DrugsAffecting Major Organ Systems, 7th Edition, Elsevier Saunders,
Philadelphia, p. 353-56.
Siregar, P., W.P., R. Oesman, R.P. Sidabutar, 2008, Masalah Penggunaan Diuretika.
www.kalbe.co.id, Diakses pada 14 Juni 2015 Pukul 21:52.
Tjay, T.H., K. Rahardja, 2002, Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-
Efek Sampingnya, Edisi Kelima, Cetakan Pertama, PT Elex Media Komputindo, Jakarta.