Chapter 4
Chapter 4
Oleh : Kelompok 4
UNIVERSITAS UDAYANA
2020
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang
sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk
maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan dalam profesi keguruan.
Paper ini kami susun berdasarkan pengetahuan yang kami peroleh dari buku dengan
harapan semoga paper ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya
dapat lebih baik.
Paper ini saya akui masih jauh dari sempurna dalam penulisannya karena pengalaman
yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
Namun, ada satu ciri yang dimiliki oleh kedua kelompok tersebut dan itu adalah bagaimana
hubungan tersebut dikelola. Berbeda dengan Barat, bisnis di negara-negara Asia lebih banyak
berkaitan dengan hubungan antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan transaksi itu sendiri.
Hal ini memerlukan perhatian besar untuk membangun kepercayaan dan membangun rasa
hormat sambil menunjukkan sikap sopan santun, terutama terhadap mereka yang berada di posisi
senior. Keharmonisan antara peserta dari setiap pertemuan diperlukan, jadi semuanya harus
dilakukan dengan sopan, cara terhormat untuk memastikan bahwa tidak ada yang tersinggung
atau kehilangan muka (malu). Kesabaran adalah intinya: diperlukan waktu untuk membangun
hubungan, untuk memutuskan apakah kesepakatan dapat dibuat dan, jika bisa, untuk benar-benar
bisa membuat kesepakatan.
Semua elemen ini menyebabkan orang Barat frustrasi ketika mencoba melakukan bisnis di
Asia. Mereka sering mencoba membuat kesepakatan di bawah tekanan waktu, dengan
melakukan “hard selling” yang mana hal tersebut dipercayai berhasil oleh budaya bisnis di Asia.
Egosentris, perilaku kurang ajar tidak mendorong terciptanya hubungan yang harmonis, apalagi
upaya orang Barat untuk memaksakan tenggat waktu pada kesepakatan apa pun.
Dengan demikian, kesepakatan yang dibuat, hubungan antara Asia dan Barat berkembang,
dan semakin banyak usaha bersama atau kemitraan terbentuk. Orang Asia selalu tertarik pada
kesepakatan dan kerjasama. Dasarnya harus tepat: kepercayaan adalah kunci utama untuk
membangun hubungan yang baik seperti yang diilustrasikan dalam kesepakatan antara industri
Perancis dan India. Yang mana Prancis siap berbagi rahasia industrinya dengan sektor yang baru
muncul di India, di sektor sensitif, tetapi menguntungkan seperti industri nuklir, militer, dan
teknologi tinggi.
KONFUSIANISME ASIA
Konfusianisme adalah filsafat yang dikembangkan oleh Konfusius. Dilahirkan pada tahun
551 SM di provinsi Lu, Cina, Konfusius adalah tokoh politik, pendidik, dan filsuf yang hidup
pada masa ketika Cina dibagi menjadi negara-negara kecil yang terkunci dalam konflik tanpa
akhir dan perebutan kekuasaan. Ajarannya tentang perdamaian dan cinta universal di antara umat
manusia yang kemudian dilanjutkan secara turun temurun oleh para pengikutnya dan membentuk
dasar pemikiran tentang bagaimana manusia yang ideal harus hidup dan berinteraksi, serta
bagaimana masyarakat dan pemerintah harus dibentuk. Konfusianisme akhirnya menyebar dari
Cina ke bagian lain di Asia, ke Korea, Jepang, dan Vietnam. Bahkan hari ini nilai-nilai
Konfusianisme masih memiliki peran penting dalam kehidupan Asia Timur, bahkan ketika laju
modernisasi meningkat.
ASIA SELATAN
Fenomena bisnis keluarga adalah sesuatu yang India bagikan dengan budaya Asia
lainnya. Apakah Anda berada di India, di Malaysia atau di Indonesia, Anda akan menemukan
dominan yang sama dari perusahaan keluarga, dan ini berlaku di semua sektor ekonomi. Namun,
ini tidak berarti bahwa perusahaan-perusahaan ini bukannya tanpa masalah, terutama ketika
mereka memutuskan hubungan dengan tradisi
Selain India, Thailand juga memiliki budaya bisnis yang menganut prinsip-prinsip agama
Buddha. Kedua negara ini ditandai di bawah ini.
India dan Karma Capitalism
Menurut sebuah artikel yang berjudul ‘Karma Capitalism’ dalam majalah Business Week
AS (30 Oktober 2006), tren di dunia bisnis adalah perkembangan informasi tertentu dengan
filosofi India. Hal ini disebabkan tidak sedikit pengaruh dari sejumlah guru bisnis terkemuka
dunia yang keturunan India, seperti C.K. Prahalad, Ram Charan, dan Vijay Govindrajan.
Pekerjaan mereka mengandung tema umum, termasuk gagasan dasar bahwa pemimpin
seharusnya tidak termotivasi hanya karena uang saja. Pada artikel yang sama C.K. Prahalad
mangatakan: ‘Gagasan bahwa perusahaan secara bersamaan dapat menciptakan nilai dan
keadilan sosial.’ Perusahaan juga harus menunjukkan kepedulian terhadap masyarakat dan
lingkungan serta mereka yang terlibat langsung dalam kegiatan mereka.
Budaya india, yang ditunjukan di banyak daerah di Asia, menekankan pada keluarga.
Setiap karyawan di perusahaan bekerja demi kelangsungan hidup keluarganya. Keluarga menjadi
prioritas tertinggi dibandingkan dengan perusahaan, walaupun lambat laun perusahaan juga bisa
menjadi prioritas jika mampu mempertahankan profesionalitas dalam bekerja. Loyalitas baik
pada keluarga maupun perusahaan bisa terjalin: kesuksesan dalam berkarir juga mampu
meningkatkan status keluarga. Hal ini tentunya berlaku juga bagi mereka yang berkecimpung di
bisnis keluarga
Sifat kerja keras orang india terkbukti dalam bisnis keluarga. Kesuksesan materiil
memanglah penting, bukan bagi diri sendiri, tetapi lebih kepada memberikan kebanggaan pada
keluarga bahwa kita mampu menjamin keberlangsungan hidup keluarga di masa depan. Untuk
menuju kesuksesan tidak cukup hanya dengan bekerja dalam waktu yg lama, tetapi juga harus
kreatif, mampu memberikan ide baru dan merealisasikannya. Kegagalan mungkin terjadi tapi
bagi mereka itu hanyalah masalah nasib. Agama Hindu, dianut oleh tiga perempat populasi (1.22
miliar pada tahun 2013) telah menanamkan sifat fatalisme bagi penganutnya, dan seperti yang
dicatat oleh Lewis (1996), dia menghapus stigma mengenai kegagalan. Sikap ini tercermin dalam
bisnis dimana orang India berani dalam mengambil risiko.
Seperti halnya orang India menerima hierarki dewa dalam agama mereka, mereka juga
menerima hierarki sosial yang ketat dalam masyarakat mereka dan hierarki di lingkungan bisnis.
Thailand dan Karma
Tidak seperti Kamboja, Laos, Vietnam, dan Malaysia, Thiland tidak dijajah oleh negara
Eropa. Salah satu alasannya adalah perannya sebagai negara buffer antara koloni Prancis dan
Inggris. Thailand, awalnya bernama Siam dan kemudian berubah menjadi Thailand pada tahun
1949 (Thai yang berarti kebebasan dan juga nama kelompok etnis utama) memiliki tradisi
perdagangan yang panjang, terutama dengan negara-negara Barat. Pada awal abad kedua puluh
ia mengembangkan kelas sosial baru yang terdiri dari pedagang dan pejabat.
Agama Buddha memainkan peran dominan dalam nilai-nilai masyarakat Thailand.
Agama ini dipraktekkan oleh lebih dari 90 persen populasi dan bagi penganut awamnya bersifat
pragmatis. Meskipun leluhur mereka memiliki kepercayaan bahwa mereka hidup untuk nirwana,
banyak umat Buddha puas untuk meningkatkan kehidupan mereka dengan mengejar prinsip-
prinsip etika dan dengan menegaskan tanggung jawab pribadi dan sosial untuk memastikan
kedamaian dan ketenangan. Dengan melakukan itu, mereka berharap dapat mengakumulasikan
karma positif (tindakan dan hasil) yang cukup dan memastikan kelahiran kembali mereka di
keadaan kehidupan yang bahagia.
Gagasan karma ini, yang didefinisikan secara ringkas oleh Scarborough (1998: 82)
sebagai 'efek bersih kumulatif dari jasa maupun kekurangan selama rentang kehidupan individu
yang akan menentukan nasibnya', yang dimana hal tersebut berkontribusi pada pengembangan
jenis paternalisme. Orang yang berada dalam posisi pemimpin dianggap telah mencapai status itu
berkat akumulasi karma baik daripada buruk mereka. Kepemimpinan membutuhkan pelaksanaan
tanggung jawab pribadi terhadap masyarakat.
Dalam sebuah wawancara dengan Chamlong Srimuang, mantan gubernur Bangkok, pada
ekonomi Asia Timur di Kuala Lumpur (Bangkok Post, 9/10/2002, hlm. 11). Chamlong Srimuang
menganggap bahwa kepemimpinan baik dalam politik maupun bisnis yaitu:
“Pengorbanan diri atau ketidakegoisan. Kepemimpinan atau kekuasaan atas rakyat seperti
itu berlangsung lebih lama dari pada kehidupan pemimpin. Yesus Kristus, Mohammad dan
Buddha, merupakan contoh yang jelas dari kepemimpinan spiritual yang bertahan lama.”
Dalam pandangannya, orang tidak dilatih atau dibentuk untuk menjadi pemimpin, tetapi
pemimpin yang baik, yang berarti dapat melihat dengan jelas manfaat dari kerja keras, ekonomis,
jujur, berkorban dan berterima kasih. Berusaha menjadi yang terbaik bukanlah kunci kesuksesan.
Memiliki keuntungan pribadi sebagai satu-satunya tujuan dapat menjadi hal yang tidak berguna
atau bahkan berbahaya. Menjadi yang terbaik adalah tentang 'jujur pada diri sendiri, hati nurani
seseorang'.
The Economist (2011) memberikan contoh nyata dimana imigrasi beroperasi dengan
menggambarkan bagaimana seorang pengusaha Cina di Afrika Selatan yang melihat permintaan
untuk vuvuzela plastik akan cepat menginformasikan sepupunya yang menjalankan sebuah
pabrik di Cina:
Bahwa pemilik dari pabrik di Cina tersebut akan percaya pada apa yang sepupunya
katakan kepadanya, dan mereka akan bertindak cepat, seperti membuat kesepakatan bernilai
jutaan dengan percakapan tunggal pada Skype. Masalah kepercayaan ini juga memainkan peran
penting dalam memfasilitasi bisnis antara orang asing dan negara induk yang bersangkutan.
Tujuan dari konsep ini, kami akan mempertimbangkan Afrika dalam hal Afrika Sub-Sahara,
termasuk Afrika Selatan. Ini telah dilakukan karena Afrika Utara dipandang lebih dekat secara
budaya ke Timur Tengah.
AFRIKA
Negara-negara di Afrika memiliki batas-batas mereka yang ditetapkan oleh penjajah Eropa
Barat yang terpecah oleh benua di antara mereka sendiri pada awal abad kesembilan belas.
Pengelompokan etnis, atau suku-suku, membuat diri mereka terbagi oleh batas-batas politik yang
tergambar pada peta. Identitas nasional sulit ditentukan, dengan berbagai suku mendiami satu
negara yang ditentukan secara sewenang-wenang.
Selain bahasa-bahasa kolonial sebelumnya Inggris, Prancis, Jerman, Portugis dan
Spanyol, ada 20 bahasa resmi di tingkat nasional di Afrika. Pembentukan batas-batas kolonial
menghasilkan fenomena 'bahasa lintas batas', yang mungkin secara keliru menyarankan bahwa
penutur memang melintasi batas. Bahkan, ini menggambarkan kenyataan bagi banyak negara
Afrika, menghasilkan perbedaan linguistik dan budaya antara kelompok etnis di kedua sisi
perbatasan, terutama karena bahasa resmi sering berbeda. Beberapa orang Afrika terkemuka
menyebut bahasa lintas batas sebagai faktor yang dapat mempromosikan persatuan Afrika.
Sub-Saharan Africa
Penduduk Afrika beragam dalam segala hal - bahasa, agama, tempat tinggal dan kegiatan
ekonomi. Mereka hidup dalam beberapa tingkat masyarakat, beberapanya kuno, sedangkan yang
lainnya maju.
Mayoritas penduduknya tinggal di luar kota dan di kota-kota dalam budaya yang masi
primitif di mana agama animisme kuno menentukan tatanan sosial. Organisasi ini didasarkan
pada keluarga patriarki yang mengikuti hierarki yang ketat di mana patriark memiliki otoritas
absolut atas seluruh komunitas garis keturunan atau klan. Otoritas ini umumnya diturunkan
melalui garis keturunan patriark
Dengan meningkatnya kegiatan ekonomi dan peningkatan transportasi lokal, orang-orang
bermigrasi ke kota-kota dari negara itu untuk mendapatkan pekerjaan dan untuk mendukung
keluarga mereka kembali di pedesaan. Pendidikan, agama-agama Kristen yang masuk, dan Islam
seringkali menggantikan agama-agama animisme di daerah-daerah perkotaan yang sedang
berkembang. Meskipun peningkatan mobilitas ini masih ada identifikasi dari suku-suku,
meskipun ini semakin lemah dari waktu ke waktu.
Orang Eropa sampai batas tertentu mengembangkan tanah yang mereka jajah, tetapi sejak
merdeka, kediktatoran yang muncul di masing-masing negara telah menghapuskan sebagian
besar keuntungan ekonomi yang diciptakan. Hanya baru-baru ini benua mulai melakukan transisi
ke pemerintahan yang terpilih secara demokratis dan bisnis yang diprivatisasi.
Contoh dari negara yang baru-baru ini mengalami perkembangan bisnis yang cepat
adalah Nigeria. Di sini gaya profesional Barat diberlakukan pada hubungan antara rekan kerja di
perusahaan. Pekerja telah merespons secara positif terhadap organisasi, yang berjalan sejajar
dengan hierarki dalam keluarga mereka. Terlepas dari sikap fleksibel dan santai mereka terhadap
waktu, mereka juga merespons kebutuhan akan keteraturan dan ketepatan waktu dalam pekerjaan
rutin.
Shepherd Shonhiwa, seorang ekspatriat Zimbabwe dan sesama Institute of Directors di
Afrika Selatan baru-baru ini meminta Eropa untuk menilai kembali pandangannya tentang bisnis
Afrika. Dalam kontribusi ke Financial Times series, ‘Mastering Management, ia mencatat bahwa
budaya Afrika memiliki perasaan komunalisme yang berbeda daripada separatisme. Dia
melanjutkan untuk menggambarkan apa yang dianggapnya sebagai sifat kepribadian Afrika yang
mendasar:
Pada dasarnya, budaya Afrika itu non-diskriminatif. Ini menjelaskan kesiapan orang Afrika
melakukan rekonsiliasi dalam politik dan bisnis.
Orang Afrika memiliki mentalitas kepercayaan yang melekat dan kepercayaan pada keadilan
umat manusia.
Mereka memiliki standar moralitas dasar yang tinggi, berdasarkan historis. Ini didukung oleh
kekerabatan dekat yang diamati melalui totem atau nama klan dan sistem keluarga besar.
Ideologi politik hierarkis, tetapi didasarkan pada sistem konsultasi inklusif. Hubungan pekerja
dan praktik manajemen orang akan mengoptimalkan sifat ini.
Optimisme yg sangat tinggi adalah bagian yg melengkapi afrika, terutama karna keyakinan yg
kuat.
Mutabazi (2001: 100) menggarisbawahi karakteristik yang dikemukakan oleh Shonhiwa
dengan menekankan bahwa kesatuan budaya masyarakat Afrika melebihi keanekaragaman
mereka ’. Masyarakat-masyarakat ini berbagi sekumpulan nilai dan kepercayaan sebagai hasil
dari mana setiap desa atau kota, administrasi atau perusahaan setempat menampilkan fenomena
dan perilaku sosial yang sama. Dasar nilai dan aturan budaya yang dibagikan ini akan diturunkan
dari generasi ke generasi ke dalam suku-suku dan diteruskan melalui jaringan keluarga dan
teman ke komunitas yang tinggal di 'negara' lain.
Model-model budaya yang diimpor dari Barat tidak berhasil menggantikan basis budaya
Afrika yang umum ini, yang menurut Mutabazi (2001) dicirikan oleh hubungannya dengan
waktu dan pekerjaan (terorganisir), serta hubungannya dengan orang lain (keluarga, hierarki,
kolega, bawahan, orang luar). Hubungan-hubungan ini sama di daerah-daerah yang secara
geografis sangat jauh satu sama lain, atau sangat berbeda satu sama lain dalam hal iklim, agama
atau bahasa. Mutabazi memberikan Pantai Gading dan Rwanda sebagai contoh negara yang
sangat berbeda di mana, di tingkat bisnis, ada sikap yang sama tentang bagaimana keputusan
harus dibuat, bagaimana manajer harus memberi perintah. Ada juga kesamaan dalam cara
karyawan berperilaku terhadap perusahaan. Ini dapat disaksikan, misalnya, dalam tingkat
kehadiran yang rendah, ketidakhadiran mereka yang sering dan kurangnya inisiatif.
Selain itu, sebagian besar perusahaan lokal menolak gagasan persaingan antarpribadi di
antara karyawan, seperti yang dijumpai dalam model Amerika Utara. Karena itu mereka,
misalnya, tidak mengalokasikan bonus kepada individu untuk kinerja atau produktivitas ekstra.
Prosedur birokrasi tertentu yang berasal dari masa kolonial Prancis, seperti kontrak dan arahan
tertulis lainnya, juga ditolak oleh orang Afrika. Mereka menempatkan nilai lebih besar pada
komitmen verbal.
Selain itu, sebagian besar perusahaan lokal menolak gagasan persaingan antarpribadi di
antara karyawan, seperti yang dijumpai dalam model Amerika Utara. Karena itu mereka tidak
mengalokasikan bonus kepada individu untuk kinerja atau produktivitas ekstra. Prosedur
birokrasi tertentu yang berasal dari masa kolonial Prancis, seperti kontrak dan arahan tertulis
lainnya, juga ditolak oleh orang Afrika. Mereka menempatkan nilai lebih besar pada komitmen
verbal.
AFIKA SELATAN, Negara Pelangi.
Pelangi, simbol Afrika Selatan yang baru-baru ini diadopsi, mencerminkan keragaman
budaya yang sangat besar di negara ini. Terlepas dari masyarakat kulit hitam pribumi, ada orang
Eropa berkulit putih, India, Cina, dan imigran lainnya dari berbagai negara di Asia.
Populasi kulit putih tidak homogen secara etnis dan berasal dari banyak latar belakang
etnis. Secara budaya dan bahasa, mereka dibagi menjadi Afrikaner, yang berbicara bahasa Afrika
(bahasa dari pemukim Belanda asli) dan kelompok berbahasa Inggris, banyak dari mereka adalah
keturunan dari pemukim Inggris berikutnya. Secara resmi ada sebelas bahasa yang secara formal
sama, tetapi beberapa bahasa diucapkan lebih banyak daripada yang lain oleh penduduk.
Sementara sekitar 65 persen penduduk kulit putih berbicara bahasa Afrikaans di rumah dan 35
persen berbahasa Inggris, hanya 0,7 persen penduduk kulit hitam berbicara bahasa Afrikaans dan
0,5 persen berbahasa Inggris di rumah.
Sejak pembongkaran kebijakan apartheid, yang tidak hanya memungkinkan minoritas
kulit putih mempertahankan dominasinya di negara itu melalui kontrol sistem ekonomi dan
sosialnya, tetapi juga melembagakan diskriminasi suku, Afrika Selatan secara rahasia
mempromosikan masyarakat multikulturalnya dan berusaha untuk menarik beragam kelompok
etnis, budaya dan agama ke dalam pembangunan sosial dan ekonomi negara.
Meningkatnya migrasi ke kota-kota dari negara itu, seperti yang disebutkan sebelumnya
mengenai Afrika secara keseluruhan, telah membantu menciptakan kontras perkotaan / pedesaan
yang tajam dalam masyarakat Afrika Selatan. Di daerah pedesaan nilai-nilai tradisional masih
berlaku: kepala keluarga menentukan cara di mana bisnis berlangsung dan cara itu dijalankan.
Koneksi suku / keluarga dapat memainkan peran penting dalam proses ini, bahkan ketika harus
melakukan bisnis dengan perusahaan di negara tetangga. Mereka yang telah pindah ke daerah
perkotaan mengalami banyak pengaruh dari yang lain yang tinggal di sana, termasuk arus besar
migran dari negara-negara tetangga. Pada saat yang sama mereka mungkin menemukan gaya
manajerial profesional, top-down yang lebih fokus pada tugas.
Ini membawa kita ke sifat manajemen umumnya di Afrika Selatan. Seperti yang
ditunjukkan oleh Booysen dan van Wyk (2008), sulit untuk berbicara tentang pendekatan khusus
terhadap manajemen di negara multi-etnis ini. Mereka merujuk pada dilema yang dihadapi
manajer di negara ini: memilih antara pendekatan 'Eurocentric' dan pendekatan 'Afrocentric'.
Menggunakan temuan GLOBE asli pada manajer pria kulit putih di Afrika Selatan dan penelitian
selanjutnya di antara manajemen kulit hitam dan Afrika, mereka menggambarkan kedua
pendekatan dalam hal dimensi GLOBE. Mereka menggambarkan pendekatan 'Eurocentric'
sebagai salah satu yang mencerminkan orientasi kinerja tinggi pada tingkat individu serta
ketegasan yang tinggi. Pendekatan 'Afrocentric', di sisi lain, mencerminkan kolektivisme tinggi
dan, orientasi manusiawi, serta ketegasan di bawah rata-rata. Meskipun Booysen dan van Wyk
(2008: 470) menyerukan agar kedua pendekatan tersebut dianut, mereka berpendapat bahwa
Sementara mengejar tujuan bisnis mereka, manajer harus lebih memilih konsiliasi daripada
konfrontasi, sehingga mencerminkan kebutuhan untuk menjaga harmoni sosial dalam
multikultural ini lingkungan Hidup.
Timur Tengah
Timur Tengah, yang membentang dari Irak melalui semenanjung Arab dan di sepanjang
pantai utara Afrika, telah berabad-abad menjadi persimpangan di mana Barat dan Timur
bertemu. Di sini, penduduk telah berhasil berdagang di antara keduanya, membeli dan menjual
barang-barang dari negara lain, serta milik mereka sendiri.
Lima dari negara-negara ini di Afrika Utara - Mauritania, Maroko, Aljazair, Tunisia dan
Libya - sering disebut secara kolektif dengan kata Arab Maghreb. Semua negara ini sering
dikelompokkan bersama karena banyaknya fitur budaya yang mereka bagi.
Bahasa dan budaya adalah faktor pemersatu, dengan agama Islam memberikan tubuh
kepercayaan yang luas dan rasa identitas dan komunitas yang kuat. Islam menyebar pada abad
ketujuh dan seiring dengan itu bahasa Arab, yang pernah menjadi bahasa suku di semenanjung
Arab. Negara-negara Arab saat ini dibentuk setelah pecahnya Kekaisaran Ottoman selama
Perang Dunia Pertama (1914–18). Kami akan fokus secara spesifik pada orang-orang Arab di
Timur Tengah, istilah geografis yang dibuat di Barat untuk menggambarkan kelompok negara-
negara di bagian dunia ini.
Keluarga tetap di dasar struktur sosial Arab. Seperti yang telah disaksikan di Asia, ini
berarti pengertian keluarga yang lebih luas, kelompok kerabat atau klan yang melibatkan
beberapa rumah tangga dan sepupu di pihak ayah. Kesejahteraan keluarga menjadi perhatian
utama. Ikatan keluarga membawa keamanan tetapi juga komitmen. Ini dapat mengesampingkan
kepentingan anggota dekat demi keponakan atau sepupu jika kepentingan klan secara
keseluruhan dilayani lebih baik.
Keluarga dijalankan dengan cara yang disiplin oleh seorang ayah yang otoriter. Kepala
klan keluarga biasanya merupakan anggota tertua dari kelompok yang berkompeten dan
menjalankan klan dengan cara yang sama-sama otoriter. Sebagian besar bisnis Arab adalah milik
keluarga dan disiplin dikelola oleh seorang pemimpin yang memiliki kontrol pusat yang kuat dan
hierarki yang ketat.
Kesadaran yang cukup besar bahwa orang Arab memiliki lingkungan sosial dan ekonomi
mereka adalah fitur nyata dari budaya bisnis mereka. Mereka sangat sensitif terhadap pedagang
dan dapat menolak kesepakatan bisnis yang menguntungkan karena mereka tidak menyukai
orang yang mereka hadapi, terutama jika orang-orang ini tidak meningkatkan reputasi pribadi
mereka. Ini sangat penting, karena kerusakan pada satu anggota keluarga merusak seluruh
keluarga. Sering kali diperdebatkan bahwa ketika suatu urusan keluarga harus berurusan dengan
pemerintah, seringkali lebih merupakan masalah dari dua bisnis keluarga. Namun, pergolakan
baru-baru ini di sejumlah negara Arab telah merusak banyak hubungan tradisional antara bisnis
dan 'keluarga' pemerintah.
Ungkapan 'Inshalah', sering diterjemahkan sebagai 'Insya Allah' atau 'jika Allah
menghendaki', adalah salah satu yang sering digunakan dalam percakapan sehari-hari dan
mencerminkan kepercayaan yang mengakar dalam takdir dan fatalisme. Penggunaannya juga
menekankan sensitivitas ekstrem yang ditunjukkan pada konteks diskusi apa pun. Makna yang
tepat tergantung pada subjek di tangan, tujuan tertentu dari diskusi, dan hubungan antara
individu yang terlibat. Pada beberapa kesempatan itu bisa berarti 'ya', pada orang lain 'tidak';
terkadang ini bisa berarti 'Saya akan mengaturnya', di lain waktu 'Jangan membicarakan ini lebih
lanjut'. Oleh karena itu, komunikasi dapat menjadi hal yang berbahaya tidak hanya bagi orang
luar tetapi juga bagi penerjemah yang terlibat, terutama karena mereka juga harus
mempertimbangkan intonasi dan bahasa tubuh yang digunakan.
Menjaga wajah sering disebut sehubungan dengan masyarakat Arab dan terkait dengan
pertanyaan reputasi ini. Kekaguman dan rasa hormat dicari sebanyak, jika tidak lebih dari,
kesuksesan finansial. Dan kehormatan ini bukan untuk individu yang bersangkutan, tetapi untuk
keluarga yang menjadi milik individu tersebut. Oleh karena itu, wajah atau gambar yang
disampaikan kepada orang lain, terutama di depan umum, mendapat perhatian yang cukup besar,
bahkan ketika ini melibatkan berurusan dengan orang asing. Orang-orang Arab terkenal karena
kemurahan hati dan keramahan mereka, tetapi 'tugas' ini juga dapat menjadi awal untuk mencari
semacam komitmen atau permintaan. Komentar-komentar tentang keluarga dan wajah ini
menyoroti paradoks yang dirujuk oleh Hickson dan Pugh (2001: 221).Komentar ini menjadi
paradoks yng berbeda dari pendapat hickson dan pugh ketika mendiskusikan model manajemen
arab. Arab sebenernya menjaga jarak dengan dunia luar, tapi di waktu yang sama mereka juga
berkeinginan untuk membuka pintu untuk dunia luar
Dan sekarang arab sudah mau membuka diri dari timur atau barat, menerima budaya dan
menerapkan di banyak negara arab. Semakin banyak orang Timur Tengah juga berpartisipasi
dalam program pendidikan manajemen di Barat dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan
ke lingkungan bisnis asli mereka. Namun proses ini dikendalikan tidak hanya oleh mereka yang
menerapkan perubahan, tetapi juga oleh wali masyarakat Arab yang ingin mencegah norma-
norma dan nilai-nilainya, sebagaimana diabadikan dalam hukum sipil dan agama, dari
disalahgunakan. Singkatnya, kita dapat mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan Arab
menghadapi dilema yang membawa globalisasi ekonomi ke dalam konflik dengan kasih sayang
terhadap nilai-nilai budaya masa lalu.
Namun, kelas menengah menjadi jelas di sejumlah negara Timur Tengah yang berusaha
menyesuaikan proses modernisasi ekonomi dengan pengembangan nilai-nilai baru, seperti
toleransi, individualisme dan kepedulian terhadap masa depan.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pada materi ini telah menyajikan beberapa fitur utama dari budaya (bisnis)
negara-negara dalam kelompok Asia, Afrika dan Timur Tengah. Ini telah menyoroti
pentingnya hubungan dan jaringan dalam kelompok-kelompok ini, yang diungkapkan,
misalnya, dalam bentuk guanxi di Cina dan karma di India dan telah menunjukkan secara
umum bagaimana Konfusianisme dan Buddhisme memengaruhi aktivitas ekonomi.
Sekarang tampaknya tepat untuk masuk lebih jauh ke dalam sistem nilai yang melekat
pada setiap budaya dalam konteks bisnis, dan untuk mengedepankan beberapa dilema
yang dapat dihasilkan oleh nilai-nilai kontradiktif ini.
DAFTAR PUSTAKA
Roger Price and Marie-Joelle. (2015). Understanding Cross-Cultural Management, 3th edition:
Pearson.