Anda di halaman 1dari 10

FILSAFAT PANCASILA

PERANG ANTAR SUKU di PAPUA DITINJAU DARI TEORI KONFLIK

DOSEN
Dr. Agustinus W. Dewatara, S.S., M.Hum.

DISUSUN OLEH
Robica Aucia Penuh Reza (52418016)

UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA MADIUN


FAKULTAS EKONOMI dan BISNIS
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
2018
ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membahas mengenai perang antar suku di
Papua yang ditinjau dari teori konflik. Papua masih menyimpan banyak konflik sosial
termasuk perang antar suku. Konflik sosial adalah perselisihan antara dua golongan
(suku) yang berusaha mendapatkan keinginanya, tetapi cara mendapatkannya dengan
menghancurkan. Meskipun mereka sama-sama dalam naungan Papua namun
kebudayaan mereka berbeda, primodial mereka sangat tinggi terhadap sukunya
masing-masing. Primodial adalah sebuah pemikiran yang memegang teguh hal-hal
yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun
segala sesuatu yang berada dilingkungan pertamanya. Solusi yang tepat untuk
menghapus budaya perang antar suku di Papua adalah dengan cara mengubah
mindset masyarakat Papua. Mindset adalah cara berfikir atau kebiasaan berpikir.
Kata kunci : Perang, Suku, Konflik

1
PERANG ANTAR SUKU di PAPUA DITINJAU DARI TEORI KONFLIK

I. Perang Antar Suku di Papua


Papua adalah salah satu provinsi di Indonesia yang masih sangat sedikit
tersentuh moderenisasi, masyarakatnya masih banyak yang tinggal dipedalaman
dan cenderung menolak modernisasi yang datang. Masyarakat Papua mayoritas
masih dikatakan primitif karena masih memegang teguhnya apa yang diturukan
nenek moyang termasuk meniru cara nenek moyang dalam menyelesaikan
masalah dengan cara perang dengan menggunakan senjata (pisau belati, busur,
panah, dll). Setiap terjadi suatu masalah masyarakat suku adat Papua
menetapkan babi sebagai denda yang harus dibayarkan kepada pihak yang
dirugikan dan jika tidak dituruti maka terjadilah perang antar suku. Selain itu
jika ada anggota mereka meninggal karena ulah suku lain maka mereka akan
membalas membunuh anggota lain tersebut, bagi mereka nyawa harus dibayar
dengan nyawa yang setimpal atau setara. Papua masih menyimpan banyak
permasalahan sosial termasuk yang sering diungkap ke permukaan adalah
permasalahan berupa konflik atau perang antar suku. Meskipun mereka sama-
sama dalam naungan budaya Papua namun kebudayaan mereka berbeda,
primodial mereka sangat tinggi terhadap sukunya masing-masing, ketika ada
seseorang atau sesuatu dari bagian sukunya merasa dirugikan bahkan sekecil
apapun oleh suku lain, mereka akan merasa turut dirugikan hingga akhirnya
masalah sepele/kecil pun bisa berakhir perang diantara suku tersebut.
Permasalahan masa lalu dalam internal antar suku pun kerap kali masih
diungkit hingga sekarang. Penyelesaian secara damai pun sulit untuk dilakukan
karena mereka memilih untuk menyelesaikan masalah dengan cara adat mereka
sendiri. Suku Dani dan suku Moni adalah dua diantaranya banyak suku asli
Papua yang memiliki budaya perang sangat tinggi. Konflik yang terjadi adalah
perebutan wilayah di daerah Timika. Meskipun sebenarya telah ada perjanjian
damai, namun pada kenyataan konflik perebutan wilayah masih saja berlanjut.
Perang berakhir dengan adanya pembubaran paksa oleh pemerintah setempat

2
dan banyak memakan korban tewas serta ratusan warga luka akibat benda-
benda tajam. Selanjutnya pemerintah setempat membentuk satuan tugas
(satgas) yang berfokus untuk menyelesaikan perang tersebut. Namun ternyata
konflik tersebut tetap masih berlanjut. Perang antar suku Dani dan suku Moni
termasuk dalam indikator armed attack atau serangan bersenjata. Armed attack
ditandai dengan adanya pertumpahan darah, pergulatan fisik maupun perusakan
barang-barang. Armed attack yang dilakukan suku Dani maupun suku Moni
bertujuan untuk kepentingan mempertahankan wilayah yang diklaim oleh
masing-masing pihak. Di Indonesia terdapat suatu pengakuan yaitu “Pertama
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu tanah
Indonesia. Kedua Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang
satu, bangsa Indonesia. Ketiga Kami putra dan putri Indonesia menjujung
bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Pengakuan tersebut menjadi consensus
umum bagi masyarakat Indonesia. Jika pengakuan tersebut benar-benar dihayati
oleh setiap masyarakat Indonesia maka akan menjadi suatu alat integrasi yang
luar biasa dan tidak ada lagi konflik bahkan perang seperti yang terjadi di suku
Dani dengan suku Moni. Integrasi nasional bisa terhambat dipengaruhi oleh 2
dimensi, yaitu dimensi horizontal dan dimensi vertikal, seperti yang
dikemukakan oleh R. William Liddle. Dimensi horizontal berupa masalah
akibat adanya perbedaan suku, ras, agama, dll. Dimensi ini sering terjadi karena
adanya kekentalan primordialisme masyarakat. Sedangkan dimensi vertikal
berupa masalah yang terjadi akibat munculnya kelompok-kelompok tertentu
yang menjelma sebagai celah pemisah antara mayoritas dengan minoritas.
Perang yang terjadi di Timika Papua jelas merupakan konflik dalam dimensi
horizontal karena terjadi antar suku yang masing-masing memegang primordial
yang tinggi. Masyakarat Indonesia yang beragam disegala aspek kehidupan
sangat rawan terjadi konflik dan oleh karena integrasi nasional pun akan sulit
tercapai. Jacobs Ranjabar dalam bukunya mengutip pengklasifikasian konflik
yang dikemukakan oleh H. Kusnadi dan Bambang Wahyudi. Pengklasifikasian

3
cukup lengkap mencakup berbagai macam aspek. Berikut adalah
pengklasifikasian konflik perang suku Dani dan suku Moni di Papua:
a. Menurut hubunganya dengan tujuan organisasi perang antara suku
Dani dan suku Moni termasuk jenis konflik disfungsional. Konflik
jenis ini menghambat tercapainya tujuan organisasi dalam hal ini
berupa integrasi nasional.
b. Menurut hubungannya dengan posisi pelaku yang berkonflik. Perang
antara suku Dani dan suku Moni termasuk jenis konflik horizontal.
Konflik ini terjadi antara sesama suku asli Papua yang memilik derajat
yang sama, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah
kedudukannya antara suku Dani dan suku Moni.
c. Menurut hubungannya dengan sifat pelaku yang berkonflik
peperangan antara suku Dani dan suku Moni termasuk jenis konflik
terbuka. Perang tersebut diketahui banyak masyarakat Indonesia.
d. Menurut hubungannya dengan waktu perang antara suku Dani dan
suku Moni termasuk jenis konflik berkelanjutan. Konflik jenis ini
berlangsung dalam waktu yang lama dan sulit untuk diselesaikan,
seperti perang antara kedua suku tersebut, meskipun telah dicapai kata
damai namun tetap saja di kemudian hari tidak menutup kemungkinan
akan ada konflik lanjutan yang baru.
e. Menurut hubungannya dengan pengendalian perang antara suku Dani
dan suku Moni termasuk jenis konflik tidak terkendali. Konflik yang
terjadi tidak dapat dengan mudah dikendalikan dan bahkan semakin
meluas.
f. Menurut hubungannya dengan sistematika konflik perang antara suku
Dani dan suku Moni termasuk jenis konflik sistematis. Perang yang
mereka lakukan terjadi karena telah direncanakan, ada yang
mengomando serta memiliki suatu tujuan yaitu mempertahankan
wilayah mereka.

4
g. Menurut hubungannya dengan konsentrasi aktivitas manusia di dalam
masyarakat perang antara suku Dani dan suku Moni termasuk jenis
konflik budaya serta konflik pertahanan.
II. Teori Konflik
Menurut Lewis A. Coser konflik adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau
tuntunan-tuntunan berkenaan dengan status, kuasa, dan sumber-sumber
kekayaan yang persediannya tidak mencukupi, dimana pihak-pihak yang
sedang berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh barang yang
diinginkan, melainkan juga memojokan, merugikan, atau mengahancurkan
lawan mereka. Lewis A. Coser juga mengatakan, bahwa perselisihan atau
konflik dapat berlangsung antara individu-individu, kumpulan-kumpulan
(collectivities), atau antara individu dengan kumpulan. Teori konflik ini
mengatakan bahwa perselisihan, baik yang bersifat antara kelompok, antar
individu, ataupun antara keduanya, selalu ada di dalam hidup bersama. Konflik
merupakan unsur interaksi yang amat penting. Bahkan menurut teori ini,
konflik sama sekali tidak boleh dikatakan sebagai sesuatu yang jelek, merusak,
atau memecah belah. Justru konflik dapat menyumbang banyak hal kepada
kelestarian masyarakat dan mempererat hubungan setiap anggotanya. Konflik
ini dianut antara lain oleh Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf. Akan tetapi
paradigma ini sebenarnya menemukan asal-mulanya pada pemikiran Karl
Marx. Analisis masyarakat dengan memakai teori konflik ini bertitik tolak dari
kenyataan bahwa ada paling tidak dua golongan yang besar didalamnya, yaitu
golongan berkuasa dan golongan yang dikuasai. Inilah yang memunculkan
konflik. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Karena dua golongan besar ini
memiliki kepentingan yang berbeda. Jika kepentingannya berbeda maka
tercetuslah benturan atau konflik, karena masing-masing golongan pasti ingin
memperjuangkan kepentingannya. Kepentingan dari pihak yang berkuasa pasti
berbeda dengan kepentingan dari pihak yang lemah. Kepentingan yang sering
muncul dari pihak yang berkuasa menurut Karl Marx adalah bagaimana mereka
bisa melanggengkan kekuasaanya. Kepentingan golongan atas dengan demikian

5
adalah bagaimana mereka menggunakan kekuasaan dan mempertahankan
kedaulatan ekonominya.
III. Hubungan Perang Antar Suku di Papua Dengan Teori Konflik
Konflik memang merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari dalam hidup
manusia namun tidak bisa dibenarkan jika konflik tersebut diikuti dengan
kekerasan seperti perang antara suku Dani dan suku Moni. Di Indonesia sendiri
memang beberapa masyarakat tertentu menganggap penyelesaian konflik
dengan kekerasan merupakan suatu adat tersendiri dan tertanam kuat dalam
mindset mereka oleh karenanya masih sulit untuk dihentikan.
Hal penting dalam teori konflik:
a. Kekuasaan
Kekuasaan adalah setiap kemampuan untuk memenangkan
keinginannya sendiri, jika kemauan itu bertentangan dengan kemauan
orang lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa konsep dan terminus
kekuasaan selalu muncul dalam suatu relasi. Pengandaian dari relasi
semacam ini adalah adanya kekuasaan. Pihak yang mempunyai
kekuasaan sehingga ia merasa mempuyai wewenang untuk
memerintah dan memaksa pihak yag berada di bawah untuk
menaatinya. Perang antara suku Dani dan suku Moni sama-sama
merasa berkuasa atas wilayah yang diperebutkan di wilayah daerah
Timika. Dan terdapat dorongan emosional antara suku Dani dan suku
Moni. Sehingga masalah tersebut tidak dapat diselesaikan secara
damai atau dibicarakan baik-baik, maka timbulah perang antar suku.
b. Kepentingan
Masyarakat terdiri dari kelas-kelas. Kelas yang satu tentu mempunyai
perbedaan kepentingan dengan kelas yang lain. Pihak penguasa
memiliki kepentingan untuk mempertahankan apa yang dimilikinya,
sedangkan pihak bawah akan cenderung berkepentingan untuk
mengadakan suatu perubahan. Masyarakat Papua terdiri dari banyak
suku. Salah satu sukunya adalah suku Dani dan suku Moni. Suku

6
tersebut mempuyai kepentingan yang berbeda. Pihak penguasa
memiliki kepentingan untuk mempertahankan apa yang dimilikinya,
sedangkan pihak bawah akan cenderung berkepentingan untuk
mengadakan suatu perubahan.
IV. Kesimpulan
Dalam kenyataannya untuk menangani perang antara suku Dani dan suku Moni
pemerintah hanya melakukan upaya represif padahal konflik sejenis ini relatif
sering terjadi di Papua. Pedamaian perang suku yang dilakukan oleh Pemda dan
lembaga kemasyarakatan pada dasarnya memiliki pola penanganan yang sama.
Perang suku dilihat sebagai suatu tindakan yang negative, kriminal dan
bertentangan dengan hukum. Karena pemahaman semacam ini, perang suku
harus dihentikan dan ditiadakan. Dengan pemahaman semacam ini, peran
pemda dan lembaga kemasyarakatan tidak lebih dari seorang polisi penjaga
yang hanya melerai dan menghentikan pertikaian. Penanganan konflik seperti
diatas bisa saja menyelesaikan masalah namun tetap memiliki kelemahan. Pola
penanganan semacam ini bersifat parsial atau hanya efektif untuk satu kasus.
Ketika kasus yang lain muncul maka perang akan muncul kembali. Meskipun
perdamaian secara adat telah sering dilakukan untuk menghentikan dan
mendamaikan pihak-pihak yang terlibat dalam perang suku, akan tetapi ketika
masalah yang baru muncul maka perang kembali terjadi. Penanganan secara
adat juga akan semakin memperkokoh keutamaan kategorisasi (kelompok)
sosial. Padahal kategorisasi sosial justru menjadi penyebab utama dari berbagai
konflik sosial. Ketika kultur setiap suku yang ada di pedalaman Papua terus
menerus dipertahankan dan mendapat legalitas secara politik maupun religious
maka perang antar suku akan terus menerus terjadi. Penanganan perang antara
suku Dani dan suku Moni yang dilakukan pemda dengan membentuk satuan
tugas atau satgas, mempertemukan kedua pihak yang bertikai dengan
dijembatani pihak ketiga serta upacara bakar batu seperti adat di Papua benar
bisa menghentikan konflik yang terjadi. Segala upaya tersebut sebagai upaya
preventif bisa dikatakan cukup efektif namun tetap tidak bisa menghapus

7
permasalahan hingga ke akarnya, permasalahan baru yang serupa sangat
mungkin terjadi lagi dikemudia hari.
Solusi yang paling tepat untuk menghapus budaya perang antar suku ini adalah
dengan mengubah mindset masyarakat Papua. Pemerintah harus berupaya lebih
keras untuk melakukan pendekatan dengan masyarakat Papua secara
keseluruhan bahkan hingga ke masyarakat pedalaman yang masih sangat
primitif. Upaya untuk mengubah mindset ini memerlukan proses dan kerjasama
dari berbagai bidang mulai agama, pendidikan serta pemerintah agar mampu
mengubah masyarakat Papua menjadi masyarakat yang lebih rasional, potitif
dan openmind. Masyarakat Papua secara menyeluruh harus diedukasi tentang
bagaimana memisahkan pesoalan pribadi dengan persoalan kelompok dan
perlahan menghapus primordialisme yang berlebihan.

8
DAFTAR PUSTAKA
Dewantara, A. (2017). Filsafat Moral (Pergumulan Etis Keseharian Hidup Manusia).

Dewantara, W. Agustinus (2017) Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa


Ini. Yogyakarta. Kanisius.

Dewantara, A. (2017). Alangkah Hebatnya Negara Gotong Royong (Indonesia dalam


Kacamata Soekarno).

Dewantara, A. (2017). Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini.

Dewantara, A. W. (2015). PANCASILA SEBAGAI PONDASI PENDIDIKAN


AGAMA DI INDONESIA. CIVIS, 5(1/Januari).

Dewantara, A. W. (2013). Merefleksikan Hubungan antara Etika Aristotelian dan


Bisnis dengan Studi Kasus Lumpur Lapindo. Arete, 2(1), 23-40.

DEWANTARA, A. W., Lasiyo, M. A., & Soeprapto, S. (2016). GOTONG-ROYONG


MENURUT SOEKARNO DALAM PERSPEKTIF AKSIOLOGI MAX SCHELER,
DAN SUMBANGANNYA BAGI NASIONALISME INDONESIA(Doctoral dissertation,
Universitas Gadjah Mada).

Dewantara, A. Kasus Loli Candy’s Ditinjau Dari Etika Dan Teori Hati Nurani.

https://www.viva.co.id/tvone/tvone-news/69251-perang-antar-dua-kelompok-suku-
di-timika-kembali-terjadi

Anda mungkin juga menyukai