Secara etimologis, nuzulul Al-Qur’an yang berasal dari dua kata, yaitu nuzul dan qur’an. Nuzul sendiri secara bahasa arab, nazala-yanzilu-nuzulan, yang berarti turun. Dengan demikian, nuzul Al-Qur’an dapat diartikan sebagai turunnya Al-Qur’an. Al-Qur’an untuk pertama kali diturunkan pada malam hari bulan Ramadhan, yang oleh Al-Qur’an dijuluki dengan malam kemuliaan (Lailah al-Qadar) dan malam yang diberkahi (Lailah Mubarakah). Menurut sebagian ahli sejarah, diantaranya Abu Ishaq, Al-Qur’an diturunkan pada malam ke-17 dari bulan Ramadhan. Penempatan tanggal 17 Ramadhan sebagai malam nuzulul Al-Qur’an, ini di dasarkan pada berbagai isyarat yang di lansir Al-Qur’an yang menggambarkan bahwa hari turunnya Al-Qur’an itu sama dengan peristiwa peperangan Badar yang diabadikan Al- Qur’an dengan julukan Yaum al-Furqan (hari yang membedakan Islam dan Kafir) dan Yaum al-Taqa al-Jam,an (hari bertemunya dua pasukantempur dalam hal ini pasukan Muslim dan pasukan Kafir). Tetapi tidak sedikit pendapat yang menyatakan keberatan dengan penentuan turunnya Al-Qur’an pada tanggal 17 Ramadhan. Pendapat ini didasarkan atas pemahaman mereka terhadap malam Al-Qadar, yang dalam banyak riwayat menurut pemahaman mereka menjadi malam sepuluh terakhir ( al-‘asyr al –awakir) dari bulan Ramadhan. Proses pembukuan ayat Al-Qur’an ada tiga periode yaitu pada masa Rasulullah SAW., masa kekhalifahan Abu Bakar as-Syidiq, dan masa kekhalifaan Utsman bin Affan. Pada massa ini Rasulullah SAW. memerintah 4 orang sahabat untuk mencatat setiap wahyu yang turun sehingga menjadi Al-Qur’an. Parasahabat Nabi mencatatnya dipermukaan batu, diatas pelepah kurma, pada tulang-tulang unta, dan kambing yang telah kering, diatas pelana kuda, dan lembaran-lembaran kulit. Dalam pengumpulan ayat ayat Al Qur'an, Khalifah Abu Bakar memberi arahan agar yang diterima adalah hanya yang ditulis atau dicatat dihadapan Nabi saja. Bukan yang salinan. Meskipun Zaid bin Tsabit hafal seluruh Al Qur'an seutuhnya, dia di larang oleh Khalifah untuk menuliskan teks baru dari Hafalannya, melainkan harus berdasarkan teks tertulis. Hal ini bertujuan untuk menjaga keotentikan Al-Qur’an. Sebelum meninggal, Abu Bakar sempat berpesan dan mempercayakan mushaf Al-Qur'an yang disimpan sebagai arsip kenegaraan kepada Umar bin Khattab, yang kemudian menggantikan nya menjadi Khalifah.
Kholifah Utsman membuat satu tim yang beranggota empat orang
yaitu : Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id ibn al-‘AS, dan Abd al- Rahman ibn al-Haris ibn Hisyam. Keempat sahabat ini adalah penulis wahyu. Tim ini bertugas menyalin mushaf al-Qur’an yang tersimpan di rumah Hafsah, karna dipandang sebangai mushaf yang standar. Hasil kerja dari tim tersebut berhasil mewujudkan empat mushaf al-Qur’an yang standar. Tiga mushaf yang dikirim ke Syam, Kufah, dan Basrah dan satu mushaf ditinggal di Madinah untuk Kholifah Utsman yang nantinya dikenal sebagai al-mushaf al-imam. Mushaf Al-Qur’an yang dijadikan rujukan bagi umat muslimin adalah Mushaf Ustmani. Untuk Mushaf yang tidak sesuai dengan mushaf Ustmani dimusnahkan Qiro’at yang digunakan dari riwayat hafs mengenai Qiro’at ‘Ashim. 2. BAB ASBABUN NUZUL Asbabun nuzul merupakan sebab turunnya Al-Qur’an. Menurut istilah, Asbabun Nuzul adalah sebab/peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat-ayat Al-Qur’an sebagai penjelas kisah masa lalu . Namun tak semua ayat Al-Qur’an memiliki azbabun Nuzulnya, mengingat isi dari Al- Qur’an bukan hanya tentang peristiwa dan kisah-kisah masa lalu namun juga berisikan tentang kejadian masa depan, akidah iman, kewajiban islam, dan syariat Allah dalam kehidupan pribadi dan sosial. Dilihat dari sudut pandang redaksi yang dipergunakan dalam riwayat asbab an-nuzul, dapat dibagi menjadi 2 yaitu, Sarih (jelas) dan Muhatamilah (kemungkinan atau masih belum pasti). Kemudian Dilihat dari sudut pandang terbilangnya untuk satu ayat atau terbilangnya ayat untuk satu sebab asbab an-nuzul. Dilihat dari segi bentuk turunnya ayat, asbab an-nuzul dibagi menjadi 2 yaitu, Berbentuk peristiwa dan Berbentuk Pertanyaan. Hukum Islam sendiri salah satunya lahir karena ada Asbabun Nuzul. Untuk memberikan sebuah hukum harus mengetahui terlebih dahulu asbabun nuzulnya. Karena jika kita menafsirkan sebuah ayat Al-Qur’an yang mengenai hukum, tanpa memperhatikan Asbabun Nuzulnya, dikhawatirkan kita akan salah menafsirkan maksud ayat tersebut. Berikut ini adalah beberapa manfaat Asbabun Nuzul 1. Pengetahuan tentang asbab nuzul membantu dalam memahami ayat dan menghindarkan kesulitan. 2. Membawa kepada pengetahuan tentang rahasia dan tujuan Allah secara khusus mensyariatkan agama-Nya melalui Al-Quran. 3. Mengetahui hikmah pemberlakuan suatu hukum, dan syariat terhadap kemaslahatan umum. 4. Memberi batasan hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi jika hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum. 3. BAB NASIKH DAN MANSUKH Nasikh secara etimologi yaitu menghapus / mengganti / memindahkan / mengutip. Sedangkan secara terminologi, nasikh berarti menghapus suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian, dengan catatan kalau sekiranya tidak ada nasikh itu tentulah hukum yang pertama akan tetap berlaku. Mansukh secara etimologi yaitu sesuatu yang diganti. Sedangkan secara terminologi, mansukh berarti hukum syara’ yang menempati posisi awal, yang belum diubah dan belum diganti dengan hukum syara’ yang datang kemudian. Arti nasikh mansukh dalam istilah fuqaha’ antara lain, pertama membatalkan hukum yang telah diperoleh dari nas yang telah lalu dengan suatu nas yang baru datang. Seperti cegahan terhadap ziarah kubur oleh Nabi, lalu Nabi membolehkannya. Yang kedua mengangkat nas yang umum, atau membatasi kemutlakan nas. Terjadinya Nasikh-Mansukh mengharuskan adanya syarat-syarat, yaitu Hukum yang mansukh adalah hukum syara’, Adanya dalil baru yang mengganti (nasikh) harus setelah ada tenggang waktu dari dalil hukum yang pertama (mansukh), Antara dua dalil nasikh dan mansukh harus ada pertetangan yang nyata (kontradiktif), Dalil yang mengganti (nasikh) harus bersifat mutawatir. Macam-macam Naskh dapat dilihat berdasarkan dari ada tidaknya badal dalam suatu ayat. Dan macam-macam Naskh dilihat dari segi kejelasannya yaitu Naskh Sharih dan Nasikh Dhimmi. Tidak diragukan bahwa mengganti teks dengan teks lain dengan segala konsekuensinya berupa membatalkan suatu hukum dengan hukum lain, dapat dikaji dari berbagai sudut, yang terpenting adalah melakukannya bertahap selangkah demi selangkah, dengan memperhatikan hukum penahapan dalam proses perubahannya. Adapun hikmah-hikmah dari adanya Naskh dan Mansukh adalah sebagai berikut: 1. Naskh merupakan salah satu keistimewaan yang diberikan Allah secara khusus bagi umat manusia dalam rangka memberikan kemudahan 2. Adanya Naskh dan Mansukh dapat menyesuaikan antara perkembangan umat islam dengan zamannya.