Anda di halaman 1dari 17

Arsitektur Sumatera Barat

Padang, Minangkabau

Ruchlia Alamsyah, Aditya Rizka Waluyo, M. Iqbal Fadilah, Shania Noor Aisyah, Unun
Raudhatul J, Awaludin Andisalam
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Pancasila

Bab 1. Pendahuluan
Arsitektur Nusantara yang berkembang memiliki keilmuan antara manusia alam dan Tuhan.
Arsitektur Nusantara yang berangkat dari ‘tradisional’ berasal dari pengembangan konsep green
architecture, dan konsep tersebut bukan keilmuan arsitektur dari Eropa maupun Amerika. Teknologi
‘tradisional’ mampu mengantisipasi permasalahan cuaca, iklim dan kondisi apapun yang ada di wilayah
Indonesia.

Bab 2. Letak Geografis


Kata Minangkabau terdiri dari dua kata : Minang dan Kabau. Kata tersebut diperoleh berdasarkan
kisan tambo yang menceritakan asal-usul Minangkabau. Pada suatu waktu datanglah pasukan asing
dari Jawa. Pasukan tersebut dikirim untuk menaklukan kerajaan Minangkabau. Kerbau minang
memiliki tubuh yang lebih kecil disbanding kerbau jawa. Kalau diadu sudah pasti kerbau jawalah yang
jadi pemenangnya. Masyarakat minang memiliki strategi agar menang. Kerbau yang dipilih untuk diadu
ialah kerbau peranakan yang masih menyusui. Kerbau tersebut tidak diberi susu oleh induknya
sehingga merasa kehausan. Analoginya jika kerbau anakan ini melihat kerbau yang besar ia merasa
kerbau itulah induknya. Disinilah strategi agar kerbau jawa kalah, pada tanduk kerbau minang
dipasang pisau kecil. Sehingga ketika ia menghampiri kerbau jawa, terlukalah perutnya.
Rumah tempat tinggal Minangkabau disebut sebagai Rumah Gadang (Rumah Besar/Rumah
Buranjang). Dikatakan Gadang (besar) bukan karena fisiknya yang besar melainkan karena fungsinya
selain sebagai tempat kediaman keluarga, Rumah Gadang merupakan perlambang kehadiran satu
kaum dalam satu nagari1, serta sebagai pusat kehidupan dan kerukunan seperti tempat bermufakat
keluarga kaum dan melaksanakan upacara. Bahkan sebagai tempat merawat anggota keluarga yang
sakit.

Gambar 1. Rumah Gadang dan Rangkiang


Sumber : pinteres.id
ARSITEKTUR SUMATERA – RUMAH GADANG | 53
2.1 Landscape

Provinsi Sumatra Barat yang merupakan bagian dari wiliyah negara kesatuan republik indonesia.
Pada umumnya didiami oleh Suku Minangkabau (etnis) minangkabau, kecuali Kepulauan Mentawai
yang didiami oleh Etnis Mentawai. Namun sejatinya etnis minangkabau tidak hanya mendiami wiliyah
yang sekarang menjadi provinsi sumatra barat saja, sebagian dari pulau sumatra bagian tengah lainya
seperti pulau jambi dan riau juga termasuk kawasan yang didiami oleh etnis minangkabau yang di
sebut dengan alam minangkabau. Wiliyah alam minangkabau sendiri terbagi atas wilayah darek,
pasistia dan rantau.

Gambar 2. Letak Wilayah Sumatera Barat


Sumber : bukittinggikota.go.id (2012)

Kondisi topografi ranah minang memiliki kontur cukup beragam. Di wilayah ini terdapat bukit-bukit
yang diantaranya merupakan bukit barisan, gunung-gunung seperti Marapi, Sago, Singgalang,
Tandikek, dan Talang; sungai; serta danau seperti Maninjau dan Singkarak. Kondisi topografis yang
seperti ini memberikan pengaruh terhadap pembentukan pola perkampungan masyarakat.

Alam takambang jadi guru merupakan pepatah yang selalu digunakan oleh masyarakat minang
dalam menjalankan seluruh aspek kehidupannya. Mereka sangat jeli terhadap alam dan mampu
menangkap isyaratnya. Itu merupakan upaya untuk bersahabat dengan alam guna menjauh dari
bencana alam. masyarakat minang sangat bijak dalam pemanfaatan alam. Oleh karena itu, ketentuan
alam akan mempengaruhi setiap tindakan masyarakat Minangkabau. Salah satunya berasritektur.

Gambar 3. Topografi Sumatera Barat


Sumber: Inventarisasi POtensi Warisan Budaya Luhak Tanah Datar (2002)

ARSITEKTUR SUMATERA – RUMAH GADANG | 54


Wilayah Kota Padang memiliki topografi yang bervariasi, perpaduan daratan yang landai dan
perbukitan bergelombang yang curam. Sebagian besar topografi wilayah Kota Padang memiliki tingkat
kelerengan lahan rata-rata lebih dari 40 persen. Ketinggian wilayah Kota Padang dari permukaan laut
juga bervariasi, mulai 0 meter dpl sampai lebih dari 1.000 meter dpl. Peta topografi Kota Padang
dimuat pada Lampiran 3. Kondisi topografi Kota Padang yang bervariasi menyebabkan kelerengan
Kota Padang juga bervariasi dari yang datar dengan kemiringan 0 persen sampai dengan daerah yang
mempunyai kemiringan lebih dari 40 persen. Secara garis besar wilayah Kota Padang dikelompokan
dalam empat klasifikasi kemiringan dan luas masing-masing wilayah yang diuraikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Kemiringan Tanah Wilayah Padang


Sumber: Bappeda Kota Padang (2010)

Berdasarkan Tabel 2, dapat dilihat bahwa wilayah Kota Padang yang berada pada ketinggian 0-
250 meter dpl sebesar 30,67 persen dan wilayah dengan ketinggian di atas 250 meter mencapai 69,33
persen. Topografi wilayah yang beragam ini secara tidak langsung akan menyebabkan karakteristik
SDM, pengelolaan SDA, penyebaran pemukiman serta berbagai kondisi kependudukan lainnya
berkaitan erat dengan kondisi wilayah tersebut.

Tabel 2. Klasifikasi Ketinggian Wilayah


Sumber: Bappeda Kota Padang, (2010)

Kawasan dengan kelerengan lahan antara 0–2 persen umumnya terdapat di Kecamatan Padang
Barat, Padang Timur, Padang Utara, Nanggalo, sebagian Kecamatan Kuranji, Kecamatan Padang
Selatan, Kecamatan Lubuk Begalung dan Kecamatan Koto Tangah. Kawasan dengan kelerengan lahan
antara 2–15 persen tersebar di Kecamatan Koto Tangah, Kecamatan Pauh dan Kecamatan Lubuk
Kilangan yakni berada pada bagian tengah Kota Padang. Kawasan dengan kelerengan lahan 15–40
persen tersebar di Kecamatan Lubuk Begalung, Lubuk Kilangan, Kuranji, Pauh dan Kecamatan Koto
Tangah. Sedangkan kawasan dengan kelerengan lahan lebih dari 40 persen tersebar di bagian Timur
Kecamatan Koto Tangah, Kuranji, Pauh, dan bagian Selatan Kecamatan Lubuk Kilangan dan Lubuk

ARSITEKTUR SUMATERA – RUMAH GADANG | 55


Begalung serta sebagian besar Kecamatan Bungus Teluk Kabung. Kawasan dengan kelerengan lahan
lebih dari 40 persen ini merupakan kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung
(Bappeda Kota Padang, 2010).

Melalui Tabel 3, dapat dilihat bagian utara mempunyai topografi yang landai. Bagian selatan
sebagian besar mempunyai topografi yang berbukit. Wilayah yang mempunyai topografi relatif datar
adalah Kecamatan Padang Utara, Padang Barat, Padang Timur, Nanggalo, dan sebagian Kecamatan
Kuranji, Pauh, Lubuk Begalung, Lubuk Kilangan serta sebagian kecil Padang Selatan. Wilayah
perbukitan di Kota Padang terdapat di sebagian besar Kecamatan Koto Tangah bagian timur,
Kecamatan Pauh, Lubuk Kilangan dan Kecamatan Bungus Teluk Kabung.

Tabel 3. Klasifikasi Topografi Kawasan Pesisir Wilayah Padang


Sumber: Bappeda Kota Padang, (2010)

Sebagian bentuk topografi Kota Padang yang terdiri atas pebukitan, pesisir pantai, dataran rendah
dan dataran tinggi. Sedangkan topografi pada pulau-pulau kecil yang terdapat di Kota Padang
sebagian besar berbentuk datar, berpasir dan berkarang. Pulau-pulau yang terdapat di Kota Padang
sebagian besar pantainya agak landai sehingga seperti dataran dan sebagian kecil saja yang pantainya
agak curam atau dalam. Pulau-pulau yang pantainya agak curam biasanya pantai berbatu seperti
Pulau Ular, Pisang Gadang, Pasumpahan, dan Sironjong.

Gambar 4. Bentuk Topografi di Wilayah Sumatera Barat


Sumber: mongabay.co.id (diakses 2019)

ARSITEKTUR SUMATERA – RUMAH GADANG | 56


2.2 Bentuk dan Pola Bangunan

a. Kelarasan Bodi Caniago

Lareh Bodi Caniago adalah salah satu sistem adat Minangkabau yang bertumpu kepada
musyawarah dan mufakat. Sistem adat ini dikembangkan oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang, dan
berlaku di hampir seluruh wilayah budaya Minangkabau, terutama di Luhak Lima Puluh
Kota, Kabupaten Kerinci, Negeri Sembilan, dan sebagian Malaka. Bodi Caniago berasal dari Bahasa
Sanskerta: bodhi, catni, dan arga, yang berarti puncak permikiran yang gemilang. Wilayah awal
penyebaran sistem adat ini adalah wilayah Limo Kaum, Kabupaten Tanah Datar. Pucuak Bulek
(Junjungan Adat) kelarasan ini adalah Datuak Bandaro Kuniang yang di dalam Ranji Limbago Adat
Alam Minangkabau bergelar Gajah Gadang Patah Gadiang,berkedudukan di Kubu Rajo, Limo Kaum.

Gambar 5. Bentuk Rumah Bodi Canoago


Sumber : pinterest.id (diakses 2019)

Ciri ciri Bodi Caniago :


- Dalam pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah mufakat. Kato surang dibuleti, kato
basamo
kato mufakat. Lah dapek rundiangnan saiyo, lah dapek kato nan sabuah. Pipiah nan indak
basuduik, bulek nan indak basandiang. Takuruang makanan kunci, tapauik makanan lantak.
Saukua mako manjadi, sasuai mangko takana. Putuih gayuang dek balabeh, putuih kato dek
mufakat. (kata seorang dibulati, kata bersama kata mufakat. Sudah dapat berunding yang
seiya, sudah dapat kata yang sebuah. Pipih tidak bersudut, bulat tidak bersanding. Terkurung
makanan kunci, terpaut makanan lantak. Seukur maka terjadi, sesuai maka dipasangkan.
Putus gayung karena belebas, putus kata karena mufakat).
- Kedudukan semua penghulu memiliki derajat yang sama. Duduak sahamparan, tagak
sapamatang (duduk sehamparan, tegak sepematang)
- Corak Rumah Gadang yang berlantai datar.
- Gelar pusaka (penghulu) bisa digantikan, meskipun penyandang gelar masih hidup.

ARSITEKTUR SUMATERA – RUMAH GADANG | 57


Gambar 6. Suku Bodi Caniago
Sumber: netralnews.com (diakses 2019)

Pada kelarasan ini setiap penghulu atau pemimpin adat mempunyai kedudukan yang sama tinggi,
dikenal dengan pepatah duduak sahamparan (duduk sehamparan). Pengambilan keputusan pun
berasal dari kesepakatan musyawarah bersama di dalam masyarakat yang bersangkutan. Oleh itu
dapat diartikan bahwa kelarasan Bodi Caniago menganut sistem demokrasi.

Gambar 7. Sketsa Rumag Gadang Bodi Caniago


Sumber: Soeroto (Minangkabau, 2005, p.72)

Pada rumah gadang laras Caniago, ruang ruang tidak memiliki perbedaan elevasi, hal ini
dikarenakan laras ini menganut sistem demokrasi dimana semua masyarakat duduk ber sehamparan
tanpa perbedaan dan bermusyawarah.

Gambar 8. Sketsa Tampak Rumah Gadang Bodi Caniago


Sumber : Soeroto (Minangkabau, 2005, P.72)

ARSITEKTUR SUMATERA – RUMAH GADANG | 58


b. Kelarasan Koto Piliang
Lareh Koto Piliang adalah salah satu sistem adat Minangkabau yang bertumpu kepada sistem
aristokratis. Sistem adat ini dikembangkan oleh Datuk Ketumanggungan, dan berlaku di hampir
seluruh wilayah budaya Minangkabau, terutama Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Pesisir Selatan.
Ciri- Ciri Koto Piliang
- Dalam pengambilan keputusan berdasarkan arahan pimpinan (penghulu/raja). Titiak dari ateh,
turun dari tanggo. Tabujua lalu tabalintang patah, kato surang gadang sagalo iyo, ikan gadang
dalam lauik, ikan makannyo, nan mailia di palik, nan manitiak ditampuang. (Titik dari atas,
turun dari tanggga. Terbujur lalu terbelintang patah, kata seorang besar segala iya, ikan besar
dalam laut ikan makannya, yang mengalir di palit yang menitik ditampung).
- Kedudukan penghulu ada tingkatan-tingkatannya, yaitu penghulu andiko, penghulu suku, dan
penghulu pucuk. Penghulu pucuk juga disebut sebagai pucuk nagari. Bapucuak bulek, baurek
tunggang (Berpucuk bulat, berurat tunggang).
- Corak Rumah Gadangnya mempunyai anjung kiri dan kanan, serta berlabuh gajah di tengah-
tengahnya. Anjung kiri dan kanan adalah tempat yang ditinggikan, untuk menempatkan
penghulu-penghulu sesuai dengan fungsi atau tingkatannya. Bajanjang naiak, batanggo
turun (Berjenjang naik, bertangga turun).
- Gelar pusaka (penghulu) tidak bisa digantikan, sebelum penyandang gelar meninggal.

Gambar 9. Bentuk Bangunan Kelarasan Koto Piliang


Sumber : pinterest.id

Bentuk bangunan pada kelarasan Koto Piliang, dikenal dengan pepatah bajanjang naiak
betanggo turun (berjenjang naik bertangga turun), artinya kedudukan penghulu atau pemimmpin
dalam suatu nigari adalah bertingkat-tingkat. Mulai dari yang paling rendah, hingga yang paling tingi.
Pengambilan keputusan pada kelarasan Koto Piliang juga dikenal dengan pepatah titiak dari ateh (titik
dari atas). Dengan kata lain kelarasan Koto Piliang menganut sistem otokrasi dimana rakyat atau
masyarakat harus taat pada perintah pemimpinnya.

ARSITEKTUR SUMATERA – RUMAH GADANG | 59


Gambar 10. Sketsa Denah Rumah Gadang Koto Piliang
Sumber : Soeroto (Minangkabau, 2005, P.72)

Lalu pada laras Koto Piliang, anjuang tambahan di sisi sebelah kanan dan kiri dengan perbedaaan
ketinggian pada ruang di bagian tengah bangunan. Hal ini dikarenakan laras ini menganut sistem
otokrasi. Yaitu ruang tersebut dipakai oleh penghulu atau pemimpin adat melaksanakan
kepemimpinannya.

Gambar 11. Sketsa Tampak Rumah Gadang Koto Piliang


Sumber : Soeroto (Minangkabau, 2005, P.72)

c. Perbedaan Caniago Dan Koto Piliang


Bangunan Minangkabau yang merujuk pada Rumah Gadang selalu diiringi oleh pembahasan
yang terkait dengan budaya masyarakat Minangkabau, meliputi pandangan dan cara hidup.
Pandangan dan cara hidup masyarakat ini dipengaruhi oleh bemacam faktor yang secara langsung
maupun tidak langsung berpengaruh terhadap arsitektur vernakularnya. Salah satu faktor nya adalah:
- Adat dan Sistem Kepercayaan
Adat dan agama merupakan pandangan hidup yang utama dan keduanya sangat berpengaruh
pada cara hidup masyarakat Minangkabau. Keterkaitan antara keduanya tidak dapat dipisahkan
hingga tergambar dalam ungkapan, “Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” yang artinya
adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Dalam kata ini ‘syarak’ adalah kepercayaan
terhadap Tuhan.
Adat pada Minangkabnau dibagi menjadi empat tingkatan:
a. Adat nan sabana adat (filosofis), merupakan ketentuan yang berasal dari alam

ARSITEKTUR SUMATERA – RUMAH GADANG | 60


b. Adat nan diadatkan (teoritis), adat yang disusun oleh Datuak Katumangguangan dan Datuak
Parpatiah Nan Sabatang
c. Adat nan teradat (metodologis), merupakan cara peraturan yang dibuat berdasarkan
kesepakatan para penghulu pada suatu nagari
d. Adat istiadat (praktis), merupakan kebiasaan hidup sehari-hari masyarakat.
Kelarasan adat yang ada di Minangkabau, yaitu Koto Piliang dan Bodi Caniago, merupakan adat
yang oleh Datuak Katumangguangan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Dua kelarasan yang
ada di Minangkabau ini memiliki perbedaaan dasar-dasar kepemimpinan dalam nagri.

2.3 Struktur Bangunan

Rumah panggung dengan struktur kayu memiliki ketahanan gempa yang cukup tinggi karena
system lock and lock. Pondasi rumah gadang terbentuk dari sebuah batu lempengan untuk setiap
tiang. Tiang-tiang ditegakkan diatas batu dengan kemiringan 91°-94°-. Bentuk tiangnya segi 8 atau
segi 12. Setiap rumah gadang terdiri atas 4 lanjar dengan 5 baris tiang, yaitu : tiang tapi, tiang temban,
tiang tangah, tiang dalam dan tiang saluki.

Gambar 12. Kemiringan Tonggak Gambar 13. Rangkaian Tonggak


Sumber : KKL ITB 1978 Sumber : KKL ITB 1978

Gambar 14. Pondasi Gambar 15. Pola Tiang

Sumber : KKL ITB 1978 Sumber : KKL ITB 1978

ARSITEKTUR SUMATERA – RUMAH GADANG | 61


Setiap rumah memiliki tiang paling besar yang berdiri di deretan tiang tengah, disebut taing
tuo atau tonggak tuo. Tonggak tuo, adalah tiang utama rumah gadang yang pertama-tama ditegakkan
pada upacara pendirian rumah.

Gambar 16. Detail Konstruksi Dinding Gambar 17.Detail Hubungan Balok Paran dan Tiang
Sumber : KKL ITB 1978 Sumber : KKL ITB 1978

Gambar 18. Detail Hubungan Balok Lantai Gambar 19. Detail Hubungan Palancak ‘Rasuak’
Sumber : KKL ITB 1978 Sumber : KKL ITB 1978

Sistem hubungan tiang dan balok menggunakan pasak dan pen. Balok-balok pengikat tiang
di bawah lantai terdiri atas balok palanca kearah memanjang dan balok rasuak kearah melebar. Balok-
balok structural pengikat tiang-tiang bagian atas disebut paran. Diatas paran disusun konstruksi atap
lengkung bergonjong, dimana setiap garis lengkungan dinamakan turang, alang katabang dan labah
mangriok. Kayu-kayu kasau dibentuk melengkung dan diatasnya dipasang reng-reng bamboo yang
diikat dengan rotan. Penutup atapnya dari ijuk yan diikat dengan tali ijuk pada reng. Terakhir barulah
dipasang gonjong pada tiap pucuk atapnya.

ARSITEKTUR SUMATERA – RUMAH GADANG | 62


Gambar 20. Bagian Atap
Sumber : Soeroto (Minangkabau, 2005)

Berapa pun besarnya rumah gadang bergonjong empat buah perlambang 4 sendi kehibupan
Nagari, yaitu cupak, adat, undang dan syara. Selebihnya adalah gonjong anjungan. Diatas beranda
disebut gonjong beranda, dan gonjong jenjang diatas tangga. Gonjong peranginan dan gonjong
mahligai hanya terdapat pada bangunan istana.

2.4 Ragam Hias

Pada umumnya motif dasar yang banyak ditiru adalah bentuk tumbuh-tumbuhan dan bentuk
binatang. Suatu hal yang menjadi prinsip motif ukiran rumah Minangkabau adalah motif itu diambilkan
dari benda-benda mati seperti pemandangan, pasir putih di pantai, gantungan kain dan sebagainya.
Ukiran dalam Rumah Gadang tidak dibiarkan polos tanpa warna. Semua warna dipakai untuk
menghidupkan seni ukiran. Warna dasar yang digunakan adalah warna merah coklat, dibumbui
dengan warnawarna lain yang cocok.


Gambar 21. Perpaduan Warna Pada Ornamen Dinding
Sumber : saribundo.biz

ARSITEKTUR SUMATERA – RUMAH GADANG | 63


a. Pada Anjuang Rumah

Jenis Tempat
Saluak Laka Pereng
Labah Mangirok Papan Galuang
Kalalawa Bagayuik Dinding Hari
Salimpat Papan Salangko
Tatandu Manyasok Bungo Papan Sabalik Anjuang
Itiak Pulang Patang Paso-Paso
Tangguak Lamah Tarawang
Lumuik Hanyuik Lambai-Lambai Tagak
Pesong Aia Babuih Camin-Camin
Tupai Managun Petak Dindiang Hari
Tabel 4. Klasifikasi Topografi Kawasan Pesisir Wilayah Padang
Sumber: Diolah oleh Penulis (2019)
b. Pada Badan Rumah
Jenis Tempat
Pisang Sasikek Papan Garebek Kepala Pintu
Aka Cino Sagagang Duo Gagang Lambai-Lambai Garebek
Ukir Tirai Lambai-Lambai Di Atas Garebek
Sikambang Manih Dindiang Tapi/Jendela
Kudo Manyipak Konsen Jendela
Takuak Kudo Basipak Konsen Jendela
Saluak Laka Papan Sakapiang Di Bawah
Salimpat Pengadan Jendela
Aka Barayun Papan Sakapiang Di Bawah
Kuciang Lalok Pengadan Jendela
Pesong Aia Babuih Papan Sakapiang Di Bawah
Saluak Laka Pengadan Jendela
Camin-Camin Jendela

Tabel 5. Ornamen Pada Badan Rumah


Sumber: Diolah oleh Penulis (2019)
c. Pada Tempat Umum Lainnya

Jenis Tempat
Tantadu Manyasok Bungo Lambaian Besar
Itiak Pulang Patang Kambaian Besar
Aka Barayun Ukiran Tengah
Aka Duo Gagang Lambai-Lambai
Lapiah Batang Jarami Lambai-Lambai
Tupai Managun Ujung-Ujung Pekayuan/Balok
Kalalawa Bagayuik Dibawah Kasau
Siku Kalalawa Lambai-Lambai Dinding
Bada Mudiak Tepi Ukiran
Buah Palo Bapatah Tepi Ukiran
Bungo Mangarang Buah Papan Dinding
Paruah Anggang Ujung Ukir Pekayuan / Balok
Jalo Takaka/Taserak Hamparan
Kaluak Paku Pain Dan Tiang
Aka Cino Tempe-Tempe Panjang
Saik Galamai Lisplank
Kuciang Lalok Pangka Ukiran

ARSITEKTUR SUMATERA – RUMAH GADANG | 64


Lumuik Hanyuik Tiang-Tiang Besar
Pucuak Rabuang Penutup Ukiran
Tampuak Manggih Gonjong
Labah Mangirok Atap Penipiran
Lumuik Hanyuik/Aka Barayun Serambi
Alang Babega Tuturan Atap
Itiak Pulang Patang Lisplank
Daun Bodi Dindiang Hari
Aka Cino Pintu
Sajamba Makan Dindiang
Carano Kanso Ujuang Peranginan
Siriah Gadang Ujuang Peranginan
Tabel 6. Ornamen Pada Tempat Umum
Sumber: Diolah oleh Penulis (2019)

Makna Lambang
Tiap-tiap ukiran mempunyai makna dan maksud tersendiri. Hal itu juga
berhubungan dengan tempat diletakkannya ukiran tersebut. Berikut adalah arti dari beberapa
buah ukiran:

a. Aka Bapilin f. Kuciang Lalok

b. Kaluak Paku g. Limpapeh

c. Daun Sirih h. Ramo-Ramo

d. Bada Mudiak
i. Sikambang Manih

e. Itiak Pulang Petang

Gambar 22. Ornamen Pada Hiasan Rumah Gadang


sumber : budaya-indonesia.org

ARSITEKTUR SUMATERA – RUMAH GADANG | 65


a. Aka Bapilin (akar berpilin). Artinya bahwa tindakan orang Minangkabau tidak ada yang sia-
sia, semuanya harus ada maksud dan tujuan. Oleh karena itu tidak boleh putus asa, karena
manusia sudah dibekali dengan akal pikiran untuk memikirkan segala sesuatu yang berguna
untuk hidupnya.
b. Kaluak paku (gulungan pucuk pakis muda). Ukiran ini melambangkan tanggung jawab
seorang mamak terhadap kemenakan di rumah orang tua, juga sebagai ayah di rumah isteri.
c. Daun sirih. Ukiran ini menggambarkan konsep-konsep dalam sistem sosial orang
Minangkabau.
d. ringan ikan teri ke hulu sungai). Ukiran ini menggambarkan kehidupan yang seia sekata
dalam pergaulan masyarakat, tidak terdapat saling pertentangan.
e. Itiak pulang patang (itik pulang sore). Ukiran ini menggambarkan kehidupan yang santai
sesudah berusaha dan bekerja seharian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bermakna
keteraturan, ketertiban dan kedisiplinan.
f. Kuciang lalok (kucing tidur). Ukiran ini menggambarkan keadaan orang yang malas seperti
kucing tidur.
g. Limpapeh (lipas besar). Ukiran ini menggambarkan bila dalam sebuah rumah adat terdapat
anak gadis yang cantik, maka kepadanya diberi nama julukan limpapeh.
h. Ramo-ramo (kupu-kupu). Ukiran ini menggambarkan tentang pusaka Minangkabau yang
tetap, tidak berubah dari dahulu sampai sekarang, walaupun para pendukungnya sudah silih
berganti. Pusaka Minangkabau yang dimaksudkan adalah adat Minangkabau.
i. Sikambang manih. Ukiran ini bermakna kemeriahan, keramahan, dan kesopanan.
j. Aka cino. Ukiran ini bermakna kehaluasan dan keserasian.

2.5 Upaya Pelestarian


a. Membuat destinasi wisata kampung adat sebagai upaya melestarikan kawasan rumah
gadang. Pemerintah menetapkan kawasan seribu rumah gadang (SRG) sebagai cagar budaya
merupakan tahapan pelestarian serta pengembangan daerah yang terletak di Nagari Koto
Baru, Kecamatan Sungai Pagu sebagai cagar budaya dan destinasi wisata kampung adat.
b. Melakukan pemugaran pada bangunan Rumah Gadang yang telah lapuk. Pelestarian rumah
adat berupa perbaikan dinding, atap, lantai, hingga tiang rumah gadang. Awalnya
membangun balai-balai adat sebagai tempat musyawarah adat antar lembaga suku yang ada.
c. Moderanisasi rumah gadang. Dalam upaya pelestarian arsitektur tradisional Rumah Gadang
dapat dilakukan melalui modifikasi bangunan rumah pribadi bermotif rumah gadang.
Modifikasi ini dititik beratkan kepada bentuk rumah gandeng. Elemen-elemen yang akan
dimodifikasi adalah bagian atap, dinding dan pintu.

ARSITEKTUR SUMATERA – RUMAH GADANG | 66


Bab 3. Penutup
3.1 Kesimpulan
Rumah gadang sebagai salah satu gambaran arsitektur vernakular Minangkabau merupakan
hasil dari proses berbudaya yang sangat panjang. Nilai budaya yang tergambar dalam pandangan
dan cara hidup masyarakat Minangkabau memberikan pengaruh terhadap arsitektur rumah
gadang seperti aspek keruangan, wujud arsitektural serta fungsi yang diemban masing-masignya.
Pandangan dan cara hidup yang dianut serta dijalankan tersebut juga mempengaruhi
pembentukan ruang-ruang penunjang kehidupan lainnya.

Berikut beberapa kesimpulan terkait dengan rumah gadang dan ruang-ruang kehidupan
lainnya sebagai arsitektur vernakular Minangkabau; pengaruh kehidupan budaya masyarakat
terhadap arsitektur tersebut; perkembangan dan eksistensi rumah gadang serta pencitraan
arsitektur vernakular Minangkabau melalui atap gonjong,

1. Secara keruangan, rumah gadang mempunyai pengaturan dan komposisi ruang yang
sederhana. Dari denah yang pada dasarnya merupakan persegi panjang, dapat dilihat bahwa
ruang-ruang pada rumah gadang terkesan terbuka/menyatu. Dari segi fungsi, sebagai
kepunyaan kaum yang meskipun dimiliki secara bersama-sama oleh keluarga kaum tersebut,
rumah gadang hanya boleh ditinggali oleh anggota kaum yang perempuan berserta keluarga
intinya, seorang laki-laki jika sudah baligh tidak boleh tinggal rumah gadang. Pembagian
ruang dan pemanfaatan ruang seperti ini merupakan pengaruh dari sistem genealogis
matrilineal yang mereka anut serta cara hidup masyarakat yang komunal.

2. Dari aspek wujud arsitektural, rumah gadang mempunyai massa bangunan dan atap yang
terkesan tidak biasa. Rumah gadang merupakan rumah panggung dan mempunyai massa
bangunan yang membesar ke atas seperti trapezium terbalik. Massa bangunan yang seperti
ini merupakan akibat dari posisi semua tonggak (kecuali tonggak tuo) sebagai struktur utama
yang tidak tegak lurus atau mempunyai kemiringan tertentu. Atap rumah gadang runcing
menjulang tinggi ke atas disertai dengan adanya garis-garis lengkung yang curam yang
disebut dengan atap gonjong.
Wujud arsitektural dengan massa dan bangunan seperti yang disebutkan di atas mendapat
pengaruh dari pandagan dan cara hidup masyarakat Minangkabau yang berorientasi pada
alam yang tergambar dalam ungkapan alam takambang jadi guru.
3. Dari segi struktur, pondasi yang diterappkan pada rumah gadang disebut pondasi sandi yaitu
pondasi batu pipih yang diletakkan di atas tanah, di atas batu pipih inilah tonggak-tonggak
berpijak tanpa tertanam ke dalam tanah. Material yang digunakan berasal dari alam dan
diambil dengan melakukan pemilihan yang seksama agar tidak merusak keseimbangan alam.
Sambungan elemen struktural dari rumah gadang menerapkan sistem lock and key serta
sistem pasak tanpa paku, sistem ini membuat konstruksi rumah gadang menjadi tidak kaku.

4. Ruang-ruang penunjang kehidupan masyarakat Minangkabau lainnya tergambar lebih jelas


saat kita melihat perkampungan tradisional Minangkabau secara keseluruhan. Penataan dan

ARSITEKTUR SUMATERA – RUMAH GADANG | 67


penggunaan fasilitas bersama yang ada menunjukkan kehidupan komunal yang mereka
jalankan. Penempatan suatu ruang kegiatan di suatu lahan sangat diperhatikan agar potensi
dan kekurangan lahan dapat disikapi dengan bijak.

5. Meskipun rumah gadang dibuat berdasarkan dengan nilai budaya, eksistensi rumah gadang
mulai terancam justru disebabkan karena penerapan nilai budaya dan pergeserannya dalam
kehidupan masyarakat Minangkabau. Rumah gadang tidak mampu menjadi tempat tinggal
bagi keluarga kaum yang makin lama makin besar sehingga memicu pembangunan rumah
baru yang bukan merupakan rumah gadang. Secara tidak langsung, hal ini perlahan-lahan
mengubah pola kehidupan masyarakat dari tren komunal ke tren individualis karena
kehidupan di rumah baru adalah kehidupan yang individual.

6. Jarangnya pembangunan rumah gadang juga dinilai merupakan akibat dari tingkat kerumitan
pembangunan dan tingkat kesulitan mendapatkan material yang sesuai dengan apa yang
diterapkan di arsitektur aslinya. Akibatnya, jika ada yang mendirikan rumah gadang maka
mereka akan mendirikan dengan gaya modern baik struktur maupun materialnya karena
pambangunannya yang lebih gampang. Pembangunan rumah gadang tidak mengikuti tata
cara asli ini juga berakibat pada hilangnya beberapa kekayaan budaya Minangkabau seperti
pada prosesi perencanaan hingga prosesi menaiki rumah.

7. Pembanguna rumah gadang dengan arsitektur dan cara berarsitektur asli memang sulit untuk
dilakukan. Namun, jika esensi lain dari rumah gadang yaitu fungsi yang terkait dengan ruang
bertempat tinggal bagi kaum dan unsur kelengkapan adat masih dapat dijalankan, eksistensi
rumah gadang masih akan terus dapat dipertahankan.

8. Pencitraan arsitektur vernakular Minangkabau mengalami fenomena yang cenderung


dikerucutkan ke arah hanya penerapan satu atau beberapa elemen saja, seperti penerapan
atap gonjong. Namun penerapan atap gonjong ini terkadang terkesan salah kaprah dan tidak
pada tempatnya. Beberapa contoh bangunan modern yang menerapkan atap gonjong
terkesan tidak menyatu dengan atap tersebut. Hal ini menjadi ancaman terhadap eksistensi
rumah gadang karena masyarakat merasa cukup untukan mencitrakan arsitektur vernakular
Minangkabau hanya dengan penerapan satu atau dua elemen saja.

9. Upaya yang dilakukan Pemerintah Daerah dalam pelestarian rumah gadang sudah mulai
berjalan. Namun, sosialisasi kepada masyarakat dinilai kurang.

ARSITEKTUR SUMATERA – RUMAH GADANG | 68


Daftar Pustaka

Creswell, J.W. (2008). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. California: Sage
Publications, Inc.
Groat, L. & Wang, D. (2002). Architectural Research Methods. New York: John Wiley & Sons. Inc.
Ilmiah, T (2007). Ideologi dalam Pengembangan Pe-ngetahuan. Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia, 1, 01-12.
Penulisan daftar pustaka mengikuti APA style. Detail penulisan APA style dapat dilihat di:
http://iplbi.or.id/jurnal/panduanpenulisan/
Syamsidar, B.A. 1991. Arsitektur Tradisional Daerah Sumatra Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2002. Inventarisasi Potensi Warisan Budaya Luhak Tanah Datar.
Pemerintah Kab. Tanah Datar
Depdikbud. 1982. Arsitektur Tradisional Minangkabau : Selayang Pandang. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Sumatera Barat
Nusyirwan dkk. 1979. Arsitektur Minangkabau [Laporan KKL]. Bandung: ITB
Gunawan Tjahjono. 2003. Architecture (Indonesian Heritage, Vol. 6). Archipelago Perss
Ismael, Sudirman. 2007. Arsitektur Tradisional Minangkabau : Nilai-Nilai Budaya Dalam Arsitektur Rumah Adat.
Padang: Bung Hatta University Perss
Dinapradipta, Asri. 2006. Materi Perkuliahan Arsitektur Nusantara. Surabaya: Pascasarjana Arsitektur ITS
Mangunwijaya, YB. 1995. Wastu Citra : Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-Sendi dan Filsafatnya
Beserta Contoh-Contoh Praktis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Mutia, Riza dkk. 2001. Rumah Gadang di Pesisir Sumatera Barat. Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Sumbar
Myrtha Soeroto. 2005. Pustaka Budaya & Arsitektur : Minangkabau. Jakarta : Myrtle Publishing

ARSITEKTUR SUMATERA – RUMAH GADANG | 69

Anda mungkin juga menyukai