Padang, Minangkabau
Ruchlia Alamsyah, Aditya Rizka Waluyo, M. Iqbal Fadilah, Shania Noor Aisyah, Unun
Raudhatul J, Awaludin Andisalam
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Pancasila
Bab 1. Pendahuluan
Arsitektur Nusantara yang berkembang memiliki keilmuan antara manusia alam dan Tuhan.
Arsitektur Nusantara yang berangkat dari ‘tradisional’ berasal dari pengembangan konsep green
architecture, dan konsep tersebut bukan keilmuan arsitektur dari Eropa maupun Amerika. Teknologi
‘tradisional’ mampu mengantisipasi permasalahan cuaca, iklim dan kondisi apapun yang ada di wilayah
Indonesia.
Provinsi Sumatra Barat yang merupakan bagian dari wiliyah negara kesatuan republik indonesia.
Pada umumnya didiami oleh Suku Minangkabau (etnis) minangkabau, kecuali Kepulauan Mentawai
yang didiami oleh Etnis Mentawai. Namun sejatinya etnis minangkabau tidak hanya mendiami wiliyah
yang sekarang menjadi provinsi sumatra barat saja, sebagian dari pulau sumatra bagian tengah lainya
seperti pulau jambi dan riau juga termasuk kawasan yang didiami oleh etnis minangkabau yang di
sebut dengan alam minangkabau. Wiliyah alam minangkabau sendiri terbagi atas wilayah darek,
pasistia dan rantau.
Kondisi topografi ranah minang memiliki kontur cukup beragam. Di wilayah ini terdapat bukit-bukit
yang diantaranya merupakan bukit barisan, gunung-gunung seperti Marapi, Sago, Singgalang,
Tandikek, dan Talang; sungai; serta danau seperti Maninjau dan Singkarak. Kondisi topografis yang
seperti ini memberikan pengaruh terhadap pembentukan pola perkampungan masyarakat.
Alam takambang jadi guru merupakan pepatah yang selalu digunakan oleh masyarakat minang
dalam menjalankan seluruh aspek kehidupannya. Mereka sangat jeli terhadap alam dan mampu
menangkap isyaratnya. Itu merupakan upaya untuk bersahabat dengan alam guna menjauh dari
bencana alam. masyarakat minang sangat bijak dalam pemanfaatan alam. Oleh karena itu, ketentuan
alam akan mempengaruhi setiap tindakan masyarakat Minangkabau. Salah satunya berasritektur.
Berdasarkan Tabel 2, dapat dilihat bahwa wilayah Kota Padang yang berada pada ketinggian 0-
250 meter dpl sebesar 30,67 persen dan wilayah dengan ketinggian di atas 250 meter mencapai 69,33
persen. Topografi wilayah yang beragam ini secara tidak langsung akan menyebabkan karakteristik
SDM, pengelolaan SDA, penyebaran pemukiman serta berbagai kondisi kependudukan lainnya
berkaitan erat dengan kondisi wilayah tersebut.
Kawasan dengan kelerengan lahan antara 0–2 persen umumnya terdapat di Kecamatan Padang
Barat, Padang Timur, Padang Utara, Nanggalo, sebagian Kecamatan Kuranji, Kecamatan Padang
Selatan, Kecamatan Lubuk Begalung dan Kecamatan Koto Tangah. Kawasan dengan kelerengan lahan
antara 2–15 persen tersebar di Kecamatan Koto Tangah, Kecamatan Pauh dan Kecamatan Lubuk
Kilangan yakni berada pada bagian tengah Kota Padang. Kawasan dengan kelerengan lahan 15–40
persen tersebar di Kecamatan Lubuk Begalung, Lubuk Kilangan, Kuranji, Pauh dan Kecamatan Koto
Tangah. Sedangkan kawasan dengan kelerengan lahan lebih dari 40 persen tersebar di bagian Timur
Kecamatan Koto Tangah, Kuranji, Pauh, dan bagian Selatan Kecamatan Lubuk Kilangan dan Lubuk
Melalui Tabel 3, dapat dilihat bagian utara mempunyai topografi yang landai. Bagian selatan
sebagian besar mempunyai topografi yang berbukit. Wilayah yang mempunyai topografi relatif datar
adalah Kecamatan Padang Utara, Padang Barat, Padang Timur, Nanggalo, dan sebagian Kecamatan
Kuranji, Pauh, Lubuk Begalung, Lubuk Kilangan serta sebagian kecil Padang Selatan. Wilayah
perbukitan di Kota Padang terdapat di sebagian besar Kecamatan Koto Tangah bagian timur,
Kecamatan Pauh, Lubuk Kilangan dan Kecamatan Bungus Teluk Kabung.
Sebagian bentuk topografi Kota Padang yang terdiri atas pebukitan, pesisir pantai, dataran rendah
dan dataran tinggi. Sedangkan topografi pada pulau-pulau kecil yang terdapat di Kota Padang
sebagian besar berbentuk datar, berpasir dan berkarang. Pulau-pulau yang terdapat di Kota Padang
sebagian besar pantainya agak landai sehingga seperti dataran dan sebagian kecil saja yang pantainya
agak curam atau dalam. Pulau-pulau yang pantainya agak curam biasanya pantai berbatu seperti
Pulau Ular, Pisang Gadang, Pasumpahan, dan Sironjong.
Lareh Bodi Caniago adalah salah satu sistem adat Minangkabau yang bertumpu kepada
musyawarah dan mufakat. Sistem adat ini dikembangkan oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang, dan
berlaku di hampir seluruh wilayah budaya Minangkabau, terutama di Luhak Lima Puluh
Kota, Kabupaten Kerinci, Negeri Sembilan, dan sebagian Malaka. Bodi Caniago berasal dari Bahasa
Sanskerta: bodhi, catni, dan arga, yang berarti puncak permikiran yang gemilang. Wilayah awal
penyebaran sistem adat ini adalah wilayah Limo Kaum, Kabupaten Tanah Datar. Pucuak Bulek
(Junjungan Adat) kelarasan ini adalah Datuak Bandaro Kuniang yang di dalam Ranji Limbago Adat
Alam Minangkabau bergelar Gajah Gadang Patah Gadiang,berkedudukan di Kubu Rajo, Limo Kaum.
Pada kelarasan ini setiap penghulu atau pemimpin adat mempunyai kedudukan yang sama tinggi,
dikenal dengan pepatah duduak sahamparan (duduk sehamparan). Pengambilan keputusan pun
berasal dari kesepakatan musyawarah bersama di dalam masyarakat yang bersangkutan. Oleh itu
dapat diartikan bahwa kelarasan Bodi Caniago menganut sistem demokrasi.
Pada rumah gadang laras Caniago, ruang ruang tidak memiliki perbedaan elevasi, hal ini
dikarenakan laras ini menganut sistem demokrasi dimana semua masyarakat duduk ber sehamparan
tanpa perbedaan dan bermusyawarah.
Bentuk bangunan pada kelarasan Koto Piliang, dikenal dengan pepatah bajanjang naiak
betanggo turun (berjenjang naik bertangga turun), artinya kedudukan penghulu atau pemimmpin
dalam suatu nigari adalah bertingkat-tingkat. Mulai dari yang paling rendah, hingga yang paling tingi.
Pengambilan keputusan pada kelarasan Koto Piliang juga dikenal dengan pepatah titiak dari ateh (titik
dari atas). Dengan kata lain kelarasan Koto Piliang menganut sistem otokrasi dimana rakyat atau
masyarakat harus taat pada perintah pemimpinnya.
Lalu pada laras Koto Piliang, anjuang tambahan di sisi sebelah kanan dan kiri dengan perbedaaan
ketinggian pada ruang di bagian tengah bangunan. Hal ini dikarenakan laras ini menganut sistem
otokrasi. Yaitu ruang tersebut dipakai oleh penghulu atau pemimpin adat melaksanakan
kepemimpinannya.
Rumah panggung dengan struktur kayu memiliki ketahanan gempa yang cukup tinggi karena
system lock and lock. Pondasi rumah gadang terbentuk dari sebuah batu lempengan untuk setiap
tiang. Tiang-tiang ditegakkan diatas batu dengan kemiringan 91°-94°-. Bentuk tiangnya segi 8 atau
segi 12. Setiap rumah gadang terdiri atas 4 lanjar dengan 5 baris tiang, yaitu : tiang tapi, tiang temban,
tiang tangah, tiang dalam dan tiang saluki.
Gambar 16. Detail Konstruksi Dinding Gambar 17.Detail Hubungan Balok Paran dan Tiang
Sumber : KKL ITB 1978 Sumber : KKL ITB 1978
Gambar 18. Detail Hubungan Balok Lantai Gambar 19. Detail Hubungan Palancak ‘Rasuak’
Sumber : KKL ITB 1978 Sumber : KKL ITB 1978
Sistem hubungan tiang dan balok menggunakan pasak dan pen. Balok-balok pengikat tiang
di bawah lantai terdiri atas balok palanca kearah memanjang dan balok rasuak kearah melebar. Balok-
balok structural pengikat tiang-tiang bagian atas disebut paran. Diatas paran disusun konstruksi atap
lengkung bergonjong, dimana setiap garis lengkungan dinamakan turang, alang katabang dan labah
mangriok. Kayu-kayu kasau dibentuk melengkung dan diatasnya dipasang reng-reng bamboo yang
diikat dengan rotan. Penutup atapnya dari ijuk yan diikat dengan tali ijuk pada reng. Terakhir barulah
dipasang gonjong pada tiap pucuk atapnya.
Berapa pun besarnya rumah gadang bergonjong empat buah perlambang 4 sendi kehibupan
Nagari, yaitu cupak, adat, undang dan syara. Selebihnya adalah gonjong anjungan. Diatas beranda
disebut gonjong beranda, dan gonjong jenjang diatas tangga. Gonjong peranginan dan gonjong
mahligai hanya terdapat pada bangunan istana.
Pada umumnya motif dasar yang banyak ditiru adalah bentuk tumbuh-tumbuhan dan bentuk
binatang. Suatu hal yang menjadi prinsip motif ukiran rumah Minangkabau adalah motif itu diambilkan
dari benda-benda mati seperti pemandangan, pasir putih di pantai, gantungan kain dan sebagainya.
Ukiran dalam Rumah Gadang tidak dibiarkan polos tanpa warna. Semua warna dipakai untuk
menghidupkan seni ukiran. Warna dasar yang digunakan adalah warna merah coklat, dibumbui
dengan warnawarna lain yang cocok.
’
Gambar 21. Perpaduan Warna Pada Ornamen Dinding
Sumber : saribundo.biz
Jenis Tempat
Saluak Laka Pereng
Labah Mangirok Papan Galuang
Kalalawa Bagayuik Dinding Hari
Salimpat Papan Salangko
Tatandu Manyasok Bungo Papan Sabalik Anjuang
Itiak Pulang Patang Paso-Paso
Tangguak Lamah Tarawang
Lumuik Hanyuik Lambai-Lambai Tagak
Pesong Aia Babuih Camin-Camin
Tupai Managun Petak Dindiang Hari
Tabel 4. Klasifikasi Topografi Kawasan Pesisir Wilayah Padang
Sumber: Diolah oleh Penulis (2019)
b. Pada Badan Rumah
Jenis Tempat
Pisang Sasikek Papan Garebek Kepala Pintu
Aka Cino Sagagang Duo Gagang Lambai-Lambai Garebek
Ukir Tirai Lambai-Lambai Di Atas Garebek
Sikambang Manih Dindiang Tapi/Jendela
Kudo Manyipak Konsen Jendela
Takuak Kudo Basipak Konsen Jendela
Saluak Laka Papan Sakapiang Di Bawah
Salimpat Pengadan Jendela
Aka Barayun Papan Sakapiang Di Bawah
Kuciang Lalok Pengadan Jendela
Pesong Aia Babuih Papan Sakapiang Di Bawah
Saluak Laka Pengadan Jendela
Camin-Camin Jendela
Jenis Tempat
Tantadu Manyasok Bungo Lambaian Besar
Itiak Pulang Patang Kambaian Besar
Aka Barayun Ukiran Tengah
Aka Duo Gagang Lambai-Lambai
Lapiah Batang Jarami Lambai-Lambai
Tupai Managun Ujung-Ujung Pekayuan/Balok
Kalalawa Bagayuik Dibawah Kasau
Siku Kalalawa Lambai-Lambai Dinding
Bada Mudiak Tepi Ukiran
Buah Palo Bapatah Tepi Ukiran
Bungo Mangarang Buah Papan Dinding
Paruah Anggang Ujung Ukir Pekayuan / Balok
Jalo Takaka/Taserak Hamparan
Kaluak Paku Pain Dan Tiang
Aka Cino Tempe-Tempe Panjang
Saik Galamai Lisplank
Kuciang Lalok Pangka Ukiran
Makna Lambang
Tiap-tiap ukiran mempunyai makna dan maksud tersendiri. Hal itu juga
berhubungan dengan tempat diletakkannya ukiran tersebut. Berikut adalah arti dari beberapa
buah ukiran:
d. Bada Mudiak
i. Sikambang Manih
Berikut beberapa kesimpulan terkait dengan rumah gadang dan ruang-ruang kehidupan
lainnya sebagai arsitektur vernakular Minangkabau; pengaruh kehidupan budaya masyarakat
terhadap arsitektur tersebut; perkembangan dan eksistensi rumah gadang serta pencitraan
arsitektur vernakular Minangkabau melalui atap gonjong,
1. Secara keruangan, rumah gadang mempunyai pengaturan dan komposisi ruang yang
sederhana. Dari denah yang pada dasarnya merupakan persegi panjang, dapat dilihat bahwa
ruang-ruang pada rumah gadang terkesan terbuka/menyatu. Dari segi fungsi, sebagai
kepunyaan kaum yang meskipun dimiliki secara bersama-sama oleh keluarga kaum tersebut,
rumah gadang hanya boleh ditinggali oleh anggota kaum yang perempuan berserta keluarga
intinya, seorang laki-laki jika sudah baligh tidak boleh tinggal rumah gadang. Pembagian
ruang dan pemanfaatan ruang seperti ini merupakan pengaruh dari sistem genealogis
matrilineal yang mereka anut serta cara hidup masyarakat yang komunal.
2. Dari aspek wujud arsitektural, rumah gadang mempunyai massa bangunan dan atap yang
terkesan tidak biasa. Rumah gadang merupakan rumah panggung dan mempunyai massa
bangunan yang membesar ke atas seperti trapezium terbalik. Massa bangunan yang seperti
ini merupakan akibat dari posisi semua tonggak (kecuali tonggak tuo) sebagai struktur utama
yang tidak tegak lurus atau mempunyai kemiringan tertentu. Atap rumah gadang runcing
menjulang tinggi ke atas disertai dengan adanya garis-garis lengkung yang curam yang
disebut dengan atap gonjong.
Wujud arsitektural dengan massa dan bangunan seperti yang disebutkan di atas mendapat
pengaruh dari pandagan dan cara hidup masyarakat Minangkabau yang berorientasi pada
alam yang tergambar dalam ungkapan alam takambang jadi guru.
3. Dari segi struktur, pondasi yang diterappkan pada rumah gadang disebut pondasi sandi yaitu
pondasi batu pipih yang diletakkan di atas tanah, di atas batu pipih inilah tonggak-tonggak
berpijak tanpa tertanam ke dalam tanah. Material yang digunakan berasal dari alam dan
diambil dengan melakukan pemilihan yang seksama agar tidak merusak keseimbangan alam.
Sambungan elemen struktural dari rumah gadang menerapkan sistem lock and key serta
sistem pasak tanpa paku, sistem ini membuat konstruksi rumah gadang menjadi tidak kaku.
5. Meskipun rumah gadang dibuat berdasarkan dengan nilai budaya, eksistensi rumah gadang
mulai terancam justru disebabkan karena penerapan nilai budaya dan pergeserannya dalam
kehidupan masyarakat Minangkabau. Rumah gadang tidak mampu menjadi tempat tinggal
bagi keluarga kaum yang makin lama makin besar sehingga memicu pembangunan rumah
baru yang bukan merupakan rumah gadang. Secara tidak langsung, hal ini perlahan-lahan
mengubah pola kehidupan masyarakat dari tren komunal ke tren individualis karena
kehidupan di rumah baru adalah kehidupan yang individual.
6. Jarangnya pembangunan rumah gadang juga dinilai merupakan akibat dari tingkat kerumitan
pembangunan dan tingkat kesulitan mendapatkan material yang sesuai dengan apa yang
diterapkan di arsitektur aslinya. Akibatnya, jika ada yang mendirikan rumah gadang maka
mereka akan mendirikan dengan gaya modern baik struktur maupun materialnya karena
pambangunannya yang lebih gampang. Pembangunan rumah gadang tidak mengikuti tata
cara asli ini juga berakibat pada hilangnya beberapa kekayaan budaya Minangkabau seperti
pada prosesi perencanaan hingga prosesi menaiki rumah.
7. Pembanguna rumah gadang dengan arsitektur dan cara berarsitektur asli memang sulit untuk
dilakukan. Namun, jika esensi lain dari rumah gadang yaitu fungsi yang terkait dengan ruang
bertempat tinggal bagi kaum dan unsur kelengkapan adat masih dapat dijalankan, eksistensi
rumah gadang masih akan terus dapat dipertahankan.
9. Upaya yang dilakukan Pemerintah Daerah dalam pelestarian rumah gadang sudah mulai
berjalan. Namun, sosialisasi kepada masyarakat dinilai kurang.
Creswell, J.W. (2008). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. California: Sage
Publications, Inc.
Groat, L. & Wang, D. (2002). Architectural Research Methods. New York: John Wiley & Sons. Inc.
Ilmiah, T (2007). Ideologi dalam Pengembangan Pe-ngetahuan. Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia, 1, 01-12.
Penulisan daftar pustaka mengikuti APA style. Detail penulisan APA style dapat dilihat di:
http://iplbi.or.id/jurnal/panduanpenulisan/
Syamsidar, B.A. 1991. Arsitektur Tradisional Daerah Sumatra Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2002. Inventarisasi Potensi Warisan Budaya Luhak Tanah Datar.
Pemerintah Kab. Tanah Datar
Depdikbud. 1982. Arsitektur Tradisional Minangkabau : Selayang Pandang. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Sumatera Barat
Nusyirwan dkk. 1979. Arsitektur Minangkabau [Laporan KKL]. Bandung: ITB
Gunawan Tjahjono. 2003. Architecture (Indonesian Heritage, Vol. 6). Archipelago Perss
Ismael, Sudirman. 2007. Arsitektur Tradisional Minangkabau : Nilai-Nilai Budaya Dalam Arsitektur Rumah Adat.
Padang: Bung Hatta University Perss
Dinapradipta, Asri. 2006. Materi Perkuliahan Arsitektur Nusantara. Surabaya: Pascasarjana Arsitektur ITS
Mangunwijaya, YB. 1995. Wastu Citra : Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-Sendi dan Filsafatnya
Beserta Contoh-Contoh Praktis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Mutia, Riza dkk. 2001. Rumah Gadang di Pesisir Sumatera Barat. Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Sumbar
Myrtha Soeroto. 2005. Pustaka Budaya & Arsitektur : Minangkabau. Jakarta : Myrtle Publishing