ISOLASI DNA
Disusun oleh :
Nastiti Kinanti L ( K1A017001 )
Junita Maulidina ( K1A017003)
Nurul Hayati ( K1A017017 )
Novela Ardina F ( K1A017023 )
Rini Larasati ( K1A017047 )
Feni Sugiastuti ( K1A017051 )
Novia Ariska P ( K1A017063 )
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB 1. PENDAHULUAN...................................................................................1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah2
1.3 Tujuan 2
BAB 2. REVIEW ARTIKEL................................................................................3
2.1 Pengertian Isolasi DNA 3
2.2 Perusakan Dinding Sel 4
2.3 Ekstraksi DNA 5 2.4 Pemurnian DNA 8
2.5 Pengertian PCR 10
2.6 Komponen PCR 11
2.7 Perancangan Primer 12
2.8 Tahapan PCR 13
2.9 Keberhasilan Reaksi PCR 14
2.10 Aplikasi Teknik PCR 14
2.11 Pengertian DNA Sequencing 17
2.12 Metode Sequencing DNA 16 2.13 Sequencing DNA Otomatis
18
BAB 3. KESIMPULAN 19
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN
1
polimerase, ligase, endonuklease restriksi, atau enzim untuk kegiatan molekuler lain
yang dapat menyebabkan DNA tidak dapat digunakan untuk aplikasi penelitian
(Istanti, 1999).
Reaksi Polimerase Berantai atau dikenal sebagai Polymerase Chain Reaction
(PCR), merupakan suatu proses sintesis enzimatik untuk mengamplifikasi nukleotida
secara in vitro (Fatchiyah, 2005). Sedangkan sekuensing DNA adalah proses atau
teknik penentuan urutan basa nukleotida pada suatu molekul DNA. Urutan tersebut
dikenal sebagai sekuens DNA (Rogers, 2001).
Isolasi DNA, PCR, dan sekuensing DNA merupakan proses yang sangat
penting dalam bioteknologi. Hal tersebut yang melandasi pembuatan review artikel ini.
Diharapkan pembuatan review artikel ini memberikan informasi tentang proses-proses
tersebut sehingga dapat memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi ilmu
pengetahuan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses isolasi DNA?
2. Bagaimana proses PCR?
3. Bagaimana proses DNA sequencing?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui dan mempelajari proses isolasi DNA.
2. Mengetahui dan mempelajari proses PCR.
3. Mengetahui dan mempelajari proses DNA sequencing.
iii
BAB II
REVIEW LITERATUR
2.1 Pengertian Isolasi DNA
Isolasi DNA merupakan teknik dasar yang dapat berguna bagi penelitian-
penelitian yang kompleks mengenai informasi genetik yang dimiliki oleh suatu
mikroorganisme. Isolasi DNA bertujuan untuk memisahkan DNA dari bahan lain
seperti protein, lemak, dan karbohidrat (Sartika, 2017). Informasi DNA disimpan
dalam bentuk basa nukleotida yaitu adenine (A), guanine (G), cytosine (C), dan timin
(T). Pada penelitian Widyastuti (2017) mencoba untuk mengisolasi kromosom
Salmonella sp, tetapi belum memasuki tahap purifikasi DNA sehingga DNA yang
didapat dikatakan belum murni. Pada jurnalnya juga menyebutkan prinsip dari isolasi
DNA dan purifikasi DNA yang dibagi menjadi 3 tahap :
1. Pemecahan sel atau jaringan.
Tahap ini bertujuan untuk mengeluarkan isi sel. Pemecahan dapat dilakukan secara
fisik dan dapat juga dilisiskan secara kimiawi maupun enzimatik. Proses pemecahan
secara fisik dapat dilakukan seperti dengan freezethawing, homogenisasi dengan
bead mill, ultrasonikasi, atau penggerusan dalam nitrogen cair.
2. Ekstraksi DNA.
Tahap ini bertujuan untuk memisahkan asam nukleat dari komponen penyusun sel
lainnya. Ekstraksi DNA dapat dilakukan dengan menggunakan reagen yang
mengandung detergen, larutan yang mengandung NaCl ataupun berbagai buffer.
Pada tahap ini juga dapat dilakukan berbagai modifikasi.
3. Presipitasi DNA.
Tahap ini bertujuan untuk mengisolasi DNA dari larutan yang digunakan selama
ekstraksi. Pengendapan dapat dilakukan dengan menambahkan etanol dingin beserta
NaCl yag masih terdapat dalam ekstrak.
iii
bead mill, homogenization dan resonansi misalnya dengan sonikasi. Sedangkan secara
kimia sel dirusak dengan buffer lisis berisi senyawa kimia yang dapat merusak
integritas barrier dinding sel, misalnya SDS (Sodium Dedocyl Sulfate) dan CTAB
(Cetylmethylammonium bromide) (Cheng, 2003).
Senyawa kimia yang digunakan untuk penghancuran sel contohnya adalah
EDTA dan SDS. EDTA berfungsi sebagai perusak sel dengan cara mengikat
magnesium (ion ini berfungsi untuk mempertahankan integritas sel maupun
mempertahankan aktivitas enzim nuclease yang merusak asam nukleat). SDS
merupakan sejenis detergen yang berfungsi untuk merusak membran sel.
Pemecahan sel dengan menggunakan enzim menguntungkan dari segi kondisi
yang lunak, kebutuhan energi yang rendah, dan spesifik, sehingga tidak merusak
produk. Secara umum, pemecahan sel secara enzimatik terbagi menjadi autolisis,
phage lisis dan lisis akibat penambahan enzim litik. Sebagai contoh, strain mutan
Saccharomyces cerevisiae tidak stabil pada suhu yang dinaikkan secara mendadak,
misalnya dari 24°C menjadi 37°C, akibatnya, sel pecah dan produk intraselular dapat
diperoleh. Hal ini yang disebut sebagai autolisis. Konsep autolisis menjadi agak abu-
abu karena dalam keberjalanannya membutuhkan sedikit induksi dengan senyawa
kimia yang mild dan perlakuan fisik tertentu seperti pH shock dan thermal shock.
Autolisis dikarakterisasi dengan menilai seberapa banyak peptidoglikan yang
terdegradasi. Bakteri E. coli dapat mengalami pemecahan sel dengan bakteriophage
T4. Hal ini disebut phage lysis, karena pecahnya sel diakibatkan oleh phage. Tiga tipe
enzim bakteriolitik yang teridentifikasi adalah glikosidase, asetilmuramil-L-alanin
amidase, dan endopeptidase.
1. Glikosidase memecah rantai polisakarida dari struktur peptidoglikan. Salah satu
contoh glukosida adalah lysozyme, diperoleh dari telur putih ayam. Lysozyme
merupakan enzim yang mengkatalisis reaksi hidrolisis ikatan β-1,4- glikosidik,
2. sehingga dapat merusak struktur peptidoglikan. Lysozyme sangat efektif untuk
bakteri yang memiliki struktur peptidoglikan, seperti pada bakteri Gram-positif.
3. Asetilmuramil-L-alanin amidase memecah ikatan polisakarida dan polipeptida.
iii
4. Endopepidase berfungsi untuk memecah Brenda Kalista, Metode Pemecahan Sel
pada Proses Hilir Industri Bioproses, 2015, 1-13 9 ikatan polipeptida pada struktur
peptidoglikan.
(Kalista, 2015)
Salah satu contoh perusakan dinding sel secara enzimatik adalah pada uji daya
hambat ekstrak heksana rimpang lengkuas merah (alpinia purpurata k. schum)
terhadap bakteri klebsiella pneumonia isolat urin pada infeksi saluran kemih. Dinding
sel yang terdapat pada bakteri memiliki struktur yang dapat memberikan kekuatan
tambahan bagi sel, namun senyawa kimia seperti tannin yang juga terkandung dalam
Lengkuas merah mempunyai sifat sebagai pengelat yang berefek spasmolitik,
menciutkan atau mengkerutkan sel sehingga pertumbuhan bakteri terganggu (Alamri,
2020).
Ekstraksi DNA adalah proses dan tahapan yang dilakukan untuk mendapatkan
total DNA dari suatu biota. Secara umum, ekstraksi DNA meliputi beberapa tahapan
proses penting, yaitu dari mulai tahap persiapan hingga akhirnya diperoleh ekstrak
DNA yang terlarut dalam suatu larutan penyangga (buffer) khusus. Larutan tersebut
digunakan untuk menyimpan dan mempertahankan kondisi DNA secara kualitatif dan
kuantitatif dalam jangka waktu yang relatif lama. Secara kualitatif, berarti larutan
penyangga tersebut harus dapat mempertahankan kualitas DNA yang terlarut tetap
dalam kondisi baik. Sedangkan secara kuantitatif berarti larutan penyangga tersebut
harus mampu mempertahankan jumlah DNA yang terlarut, sehingga jumJahnya tetap
(tidak terdegradasi/rusak) dan cukup untuk digunakan dalam tahapan selanjutnya tanpa
mengalami penurunan kualitas maupun kuantitas DNA terlarut. Adapun tahapan proses
ekstraksi DNA, dimulai dari persiapan sampel, pemilihan metode ekstraksi yang tepat,
hingga didapatkan ekstrak DNA (Marwayana, 2015).
Sebelum masuk dalam proses ekstraksi DNA, sampel biota yang diperoleh dari
lapangan harus dipersiapkan secara khusus terlebih dahulu. Disarankan, sebaiknya
5
memisahkan sampel menjadi dua bagian, yaitu sampel yang akan diekstrak dan
sampel yang akan disimpan sebagai koleksi yang ataupun diproses untuk tujuan yang
lain. Sebagai catatan penting, ukuran sampeJ yang perlu disiapkan untuk analisis
DNA rata-rata hanya sekitar 50-100 mg (tergantung tujuan penelitian). Proses
pemisahan ini dimaksudkan untuk menjaga kesegaran dan kebersihan sampel, serta
meminimalkan resiko kontaminasi dari organisme lain maupun dari berbagai jenis
reagen kimia, seperti formalin yang dapat mengganggu proses ekstraksi DNA.
Sampel yang telah terpisahkan, selanjutnya disimpan dalam larutan Ethanol (99,99%)
atau minimal 96% untuk menjaga kualitas sampel dan kualitas DNA yang akan
diekstrak. Proses tersebut dinamakan preservasi sampel untuk ekstraksi DNA
(Marwayana, 2015).
6
2. Metode Ion Exchange Resin Chelex
Istilah Chelex merupakan siogkatan kata dari Chelating Ion Exchange
Resin yang kemudian oleh sebuah perusahaan biokimia digunakan menjadi sebuah
nama dagang suatu produk ekstraksi DNA, yaitu Chelex. Resin Chelex digunakan
untuk mengekstrak DNA dengan cara memanaskannya pada suhu tertentu (hot
shock), biasanya dilakukan dengan menggunakan hot plate pada suhu 95-100°C
selama 30-45 menit. Selama proses ekstraksi, resin Chelex mampu melindungi
sampel dari enzim DNAse yang mungkin tetap aktif selama proses ekatraksi. Hal
ini dilakukan melalui pengikatan ion dan kation, salah satunya adalah pengikatan
ion Magnesium (Mg2+).
Adapun kelebihan dari proses ekstraksi menggunakan resin Chelex yakni
hanya membutuhkan waktu yang relatif singkat (30-45 menit), proses pembuatan
larutan resin Chelex sangat praktis (tidak rumit). Chelex merupakan resin stabil
yang marnpu bekerja secara efektif pada kisaran pH yang luas, yaitu antara pH 2-
14, dan juga dianggap sebagai pilihan reagen yang sangat ekonomis untuk proses
ekstraksi DNA, karena harganya relatif murah. Chelex juga memiliki kelemahan,
antara lain DNA dan RNA yang dihasilkan relatif sedikit, tahap pemanasan yang
dilakukan selama proses ekstraksi dapat merusak struktur rantai ganda DNA
(denaturasi) yang dihasilkan, sehingga dibutuhkan pula freeze shock setelah proses
pemanasan untuk menormalkan kembali struktur DNA. dan juga diperlukan
ketrampilan yang handal untuk mengambil ekstrak DNA agar tidak terkontaminasi
oleh molekul ataupun senyawa lainnya. Selain itu, molekul DNA maupun RNA
yang dihasilkan dengan metode ini akan kurang stabil selama proses penyimpanan
dengan rentang waktu yang lama (Phillips, 2012; Walsh, 1991).
3. Metode Double Spin Coloumn
Metode double spin column menawarkan hal yang berbeda yaitu dengan
penggunaan membran silika untuk memerangkap DNA yang telah keluar dari sel.
Selain itu, penggunaan kit dengan reagen khusus yang biasanya digunakan dalam
metode ini mampu rneningkatkan kuantitas dan kualitas DNA yang dihasilkan.
Metode double spin column merupakan metode yang paling efisien dalam
7
penggunaannya, bahkan dapat digunakan untuk mengekstrak sampel dalam bentuk
sampel yang telah dipreservasi dalam parafin, contohnya adalah sampel Human
Pappiloma Virus (HPV) (Chan, 2001).
Tahapan ekstraksi DNA terdiri dari tiga proses utama, yaitu proses lisis sel,
purifikasi dan presipitasi. Proses lisis sel merupakan proses pertama ekstraksi DNA
diawali dengan menghancurkan membran sel dengan cara memberikan enzim
Proteinase K untuk merusak protein dan Sodium Dodecyl Sulfat (SDS) untuk mengikat
lipid sehingga membran sel rusak dan semua isi sel keluar. Proses lisis sel
menyebabkan DNA bercampur dengan makromolekul sel lainnya. DNA hasil isolasi
selanjutnya dilakukan cek kuantitas dan kualitas untuk melihat konsentrasi dan
kemurniannya dengan menggunakan spektrofotometer dan elektroforesis gel. Uji
kualitas DNA dilakukan dengan horizontal elektroforesis, pengecekan hasil isolasi
DNA pada gel agarose. Pengukuran konsentrasi DNA dengan spektrofotometer
dilakukan pada panjang gelombang 260 nm, sedangkan protein diukur pada panjang
gelombang 280 nm. Kemurnian larutan DNA dapat dihitung melalui perbandingan
A260 nm dengan A280 nm. Batas kemurnian yang biasa dipakai dalam analisis
molekuler pada rasio A260/A280 adalah 1,8-2,0 (Sambrook, 1989). Pemurnian DNA
dari makromolekul sel pada tahap purifikasi dapat dilakukan dengan cara:
8
1. Pemurnian DNA dengan memberikan Phenol dan CIAA (Chloroform Isoamil
Alkohol)
Pemurnian DNA dari makromolekul sel dilakukan pada tahap purifikasi
dengan cara memberikan Phenol dan CIAA (Chloroform Isoamil Alkohol) untuk
mengikat makromolekul selain DNA seperti protein, lipid, dan karbohidrat. Pada
tahap ini DNA dan air terpisah dari bahan organik lainnya setelah disentrifugasi.
Untuk menarik air dari DNA dibutuhkan alkohol. Proses ini disebut dengan
presipitasi (Kamaliah, 2017).
Tahap purifikasi bertujuan untuk memurnikan DNA dari makromolekul sel
lainnya setelah sel dihancurkan. Selain itu pada tahap purifikasi digunakan larutan
NaCl jenuh untuk memekatkan DNA . Makromolekul protein dan polisakarida yang
diikat oleh Phenol dan CIAA (Chloroform Isoamil Alkohol) mengendap di dasar
tabung, sedangkan DNA dan air berada di lapisan atas . DNA yang diperoleh masih
terlarut di dalam air sehingga dalam metode ekstraksi ini digunakan alcohol
absolute pada proses presipitasi. Tahap Pencucian etanol dan sisa garam dari
endapan DNA dilakukan dengan sentrifugasi dan vakum untuk memurnikan DNA.
Etanol diuapkan dalam ruang vakum sehingga diperoleh endapan pellet DNA murni
(Wulandhari, A. 2009, dalam Kamaliah, 2017). Penggunaan larutan Phenol dan
CIAA (Chloroform Isoamil Alkohol) dalam jurnal oleh Kamaliah, 2017
memberikan kemurnian yang tinggi pada DNA karena larutan tersebut mudah
dipisahkan dari DNA murni. Namun kemurniannya tidak diuji secara kuantitatif
sehingga nilai kemurnian DNA tidak diektahui secara pasti.
2. Pemurnian DNA dengan Spektrofotometer dan Elektroforesis Gel
Uji kualitas DNA dilakukan dengan horizontal elektroforesis, pengecekan hasil
isolasi DNA pada gel agarose. Pengukuran konsentrasi DNA dengan
spektrofotometer dilakukan pada panjang gelombang 260 nm, sedangkan protein
diukur pada panjang gelombang 280. Kemurnian larutan DNA dapat dihitung
9
melalui perbandingan A260 nm dengan A280 nm. Batas kemurnian yang biasa
dipakai dalam analisis molekuler pada rasio A260/A280 adalah 1,8-2,0 (Sambrook,
1989, dalam Harahap, 2017).
Uji kualitatif kemurnian DNA dalam jurnal “Uji Kualitas dan Kuantitas DNA
beberapa Populasi Pohon Kapur” oleh Arini Syahfitri Harap dilakukan dengan
metode elektroforesis gel agarose 0,8%. Uji ini dilakukan untuk mengetahui kualitas
DNA yang diperoleh (Harahap, A.S, 2017).
Uji kuantitatif kemurnian DNA dalam jurnal “Uji Kualitas dan Kuantitas DNA
beberapa Populasi Pohon Kapur” oleh Arini Syahfitri Harap dilakukan dengan
metode spektrofotimetri. Uji kuantitatif DNA dilakukan secara spektrofotometri
pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm sehingga diperoleh nilai kemurnian
dan konsentrasi DNA hasil isolasi. Panjang gelombang 260 nm merupakan serapan
maksimum untuk asam nukleat, sedangkan panjang gelombang 280 nm merupakan
serapan maksimum untuk protein. Isolat DNA murni mempunyai indeks kemurnian
1,8-2 (Wilson dan Walker, 2010).
Reaksi berantai polimerase atau lebih umum dikenal sebagai Polymerase Chain
Reaction (PCR) merupakan suatu teknik atau metode perbanyakan (replikasi) DNA
secara enzimatik tanpa menggunakan organisme. Dengan teknik ini, DNA dapat
dihasilkan dalam jumlah besar dengan waktu relatif singkat sehingga memudahkan
berbagai teknik lain yang menggunakan DNA. Penerapan PCR banyak dilakukan di
bidang biokimia dan biologi molekular karena relatif murah dan hanya memerlukan
jumlah sampel yang kecil. Polymerase Chain Reaction (PCR), merupakan suatu proses
sintesis enzimatik untuk mengamplifikasi nukleotida secara in vitro. Metode PCR
dapat meningkatkan jumlah urutan DNA ribuan bahkan jutaan kali dari jumlah semula.
Setiap urutan basa nukleotida yang diamplifikasi akan menjadi dua kali jumlahnya.
Kunci utama pengembangan PCR adalah menemukan bagaimana cara amplifikasi
hanya pada urutan DNA target dan meminimalkan amplifikasi urutan non-target
(Handoyo, 2000).
10
Pada dasarnya reaksi PCR adalah tiruan dari proses replikasi DNA in vivo,
yaitu dengan adanya pembukaan rantai DNA (denaturasi) utas ganda, penempelan
primer (annealing) dan perpanjangan rantai DNA baru (extension) oleh DNA
polimerase dari arah terminal 5’ ke 3’. Hanya saja pada teknik PCR tidak
menggunakan enzim ligase dan primer RNA. Secara singkat, teknik PCR dilakukan
dengan cara mencampurkan sampel DNA dengan primer oligonukleotida,
deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), enzim termostabil Taq DNA polimerase dalam
larutan DNA yang sesuai, kemudian menaikkan dan menurunkan suhu campuran
secara berulang beberapa puluh siklus sampai diperoleh jumlah sekuens DNA yang
diinginkan (Campbell, 2008).
PCR adalah suatu metode in vitro yang digunakan untuk mensintesis sekuens
tertentu DNA dengan menggunakan dua primer oligonukleotida yang menghibridisasi
pita yang berlawanan dan mengapit dua target DNA. Kesederhanaan dan tingginya
tingkat kesuksesan amplifikasi sekuens DNA yang diperoleh menyebabkan teknik ini
semakin luas penggunaannya (Erlich, 1989).
11
antara 20-30 basa. Untuk merancang urutan primer, perlu diketahui
urutannukleotida pada awal dan akhir DNA target. Primer oligonukleotida di
sintesis menggunakan suatu alat yang disebut DNA synthesizer.
3. Reagen lainnya
Selain enzim dan primer, terdapat juga komponen lain yang ikut menentukan
keberhasilan reaksi PCR. Komponen tersebut adalah dNTP untuk reaksi
polimerisasi, dan buffer yang mengandung MgCl2. Konsentrasi ion Mg2+ dalam
campuran reaksi merupakan hal yang sangat kritis. Konsentrasi ion Mg 2+ ini sangat
mempengaruhi proses primer annealing, denaturasi, spesifisitas produk, aktivitas
enzim dan fidelitas reaksi.
12
3. Melting Temperature (Tm), melting temperatur (Tm) adalah temperatur di mana 50
% untai ganda DNA terpisah.
4. Interaksi primer-primer, interaksi primer-primer seperti self-homology dan cross-
homology harus dihindari.
13
2.9 Keberhasilan Reaksi PCR
14
yang menghasilkan pita DNA yang sangat tipis seperti jeruk Nipis, Purut, dan Lemo
selain itu daun tanaman jeruk yang tidak menunjukkan gejala klorososis dapat
mengandung bakteri Liberobakter asiaticum (Putra, 2013).
2. Aplikasi Polymerase Chain Reaction (PCR) dalam diagnosis penyakit Malignant
Catarrhal Fever (MCF) di Indonesia.
Teknik PCR merupakan langkah awal untuk memulai penelitian variasi
genetik terhadap agen penyebab penyakit MCF (OHV-2) pada sapi atau kerbau yang
dicurigai terserang penyakit MCF di beberapa daerah di Indonesia. Dengan teknik
tersebut, dapat diketahui persamaan atau perbedaan gelletik agen penyebab penyakit
MCF tersebut di daerah yang satu dengan daerah yang lain (Saepulloh, 1999).
3. Aplikasi Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) Menggunakan Primer
Degenerate dan Spesifik Gen AV1 Untuk Mendeteksi Begomovirus Pada Tomat
(Lycopersicon esculentum Mill).
Aplikasi Teknik PCR juga membantu di dalam kegiatan deteksi
Begomovirus pada tomat (Lycopersicon esculentum Mill) karena teknik ini
mempunyai kelebihan dibandingkan dengan beberapa teknik yang lain seperti
serologi atau hibridisasi asam nukleat. Salah satu kelebihan tersebut adalah bahwa
teknik ini relatif mudah dilakukan karena Begomovirus atau kelompok Geminivirus
secara umum mempunyai genom yang berupa DNA. Begomovirus melakukan
replikasi melalui sebuah DNA intermediet yang berbentuk sirkuler dan utas ganda.
Selain itu, teknik PCR hanya membutuhkan sedikit sampel DNA dan deteksinya
tidak dipengaruhi oleh tahap perkembangan dan lingkungan. Sementara itu, teknik
serologi kurang ideal ketika digunakan untuk mendeteksi Begomovirus karena
memiliki kesulitan di dalam produksi antiserum yang berkualitas tinggi (Santoso,
2013).
17
mengandung instruksi yang dibutuhkan untuk pembentukan tubuh mahluk hidup.
Pengurutan (sequencing) asam nukleat memungkinkan untuk mengetahui kode genetik
dari molekul DNA. Sekuensing DNA selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk
menentukan identitas mau pun fungsi gen atau fragmen DNA dengan cara
membandingkan sekuens-nya dengan sekuens DNA lain yang sudah diketahui (Glick,
2010; Rogers, 2011). Kekurangan utama dari pendekatan sekuensing DNA secara
langsung adalah untuk memberikan cukup informasi sebagai pembeda takson region
DNA yang disekuensing harus besar umumnya lebih dari 300 bp (base pair).
Amplifikasi PCR unutk region DNA sebesar itu umumnya sulit untuk dilakukan untuk
sampel dengan kualitas dan kuantitas yang rendah (Pereira, 2008). Penelitian yang
berbasis sekuensing DNA secara langsung dengan menggunakan primer spesifik juga
mulai banyak dilakukan. Gen target akan diamplifikasi dengan menggunakan primer
spesifik, dimana gen target akan dapat diisolasi dan disekuensing lebih lanjut, hal ini
memungkinkan mikroorganisme yang tidak dapat dikutur untuk dapat dianalisis.
Pendekatan ini memungkinkan banyak spesies-spesies baru yang telah teridentifikasi,
akan tetapi penggunaannya pada eukariota masih terbatas (O’Brien, 2005). Identifikasi
dan analisis keragaman dilakukan dengan cara membandingkan urutan basa dari suatu
region DNA yang ada pada sampel target dengan database yang sudah ada
sebelumnya.
16
telah dilabel radioaktif, pada salah satu ujungnya dipotong tak sempurna dalam empat
reaksi kimia yang terpisah. Keberhasilan mensekuens DNA dengan metode ini
ditentukan kespesifikan reaksi pemotongan yang dilakukan dua tahap yaitu basa
tertentu mengalami modifikasi kimiawi dan basa yang telah termodifikasi tersebut
dihilangkan dari gugusan gula dan ikatan fosfodiester 5’ dan 3’ tersebut dipotong.
Metode Sanger berbeda dengan metode Maxam-Gilbert, metode ini menggunakan
pendekatan sistematis molekul DNA baru dan pemberhentiannya sintesis tersebut pada
basa tertentu. Metode yang sering digunakan yaitu metode Sanger (Muliani, 2016).
Menurut Suryanto (2008) dalam Muliani (2016) mengatakan teknik ini berkembang
setelah orang menciptakan mesin DNA sequencer. Pada prinsipnya keanekaragaman
dapat dilihat dari urutan atau sekuen DNA dari fragmen tertentu dari suatu genom
organisme. Sekuensing DNA akan menghasilkan sekuen DNA yang digambarkan
sebagai untaian abjad lambang nukleotida penyusun DNA.
Menurut Sjafaraenan (2018), Penelitian tentang Profil DNA Gen Follicle
Stimulating Hormone reseptor (FSHr) pada Wanita Akne dengan Teknik PCR dan
Sekuensing DNA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil DNA Gen Follicle
Stimulating Hormone reseptor (FSHr) pada Wanita Akne dengan Teknik PCR dan
Sekuensing DNA. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari-April 2016. Proses
sekuensing DNA dilakukan menggunakan metode Sanger dideoksi. Sekuensing
dilakukan dengan metode Sanger menggunakan Automatic DNA Sequencer yang
berdasarkan pada metode dye terminator labelling. Tahapan sekuensing DNA yang
dilakukan pada penelitian ini meliputi : (1) penyiapan DNA, (2) proses amplifikasi
melalui PCR dengan menggunakan primer universal, (3) pemurnian DNA, (4)
elektroforesis, dan (5) pembacaan elektroforegam hasil sekuensing. Data yang
diperoleh berupa elektroforegram dalam bentuk ABI file. Penyajian hasil dalam jurnal
penelitian tersebut sangat jelas dan rinci. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
ini dapat diketahui profil gen DNA Follicle Stimulating Hormone reseptor (FSHr) pada
wanita penderita akne dimana pada sampel ditemukan perubahan urutan nukleotida
pada urutan kodon 385, sehingga penderita akne memiliki genotipe yaitu Asn385Asn,
21
Asn385Ser, Ser385Ser yang dapat mempengaruhi aktivitas FSH reseptor pada wanita
penderita akne (Sjafaraenan, 2018).
18
BAB III
KESIMPULAN
1. Isolasi DNA dapat dilakukan dengan merusak dinding, membran sel, dan juga
membran inti. Perusakan ini dapat dilakukan dengan penggerusan, pemblenderan
atau yang lainnya. .
2. Proses PCR melibatkan beberapa tahap yaitu pra-denaturasi DNA templat, denaturasi
DNA templat, penempelan primer pada templat, pemanjangan primer dan
pemantapan.
3. Sekuensing DNA dilakukan dengan metode terminari rantai. Teknik tersebut
melibatkan terminasi atau penghentian reaksi sintesis DNA in vitro yang spesifik
untuk sekuens tertentu menggunakan substrat nukleotida yang telah di modifikasi.
21
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Rosana dan Sjafarenan. (2013). Penuntun Praktikum Genetika. Makasar: Universitas
Hasanuddin.
Alamri, F., Fatimawali., dan Imam Jayanto. 2020. Uji Daya Hambat Ekstrak Heksana
Rimpang Lengkuas Merah (Alpinia purpurata K. Schum) Terhadap Bakteri
Klebsiella pneumonia Isolat Urin Pada Infeksi Saluran Kemih. Pharmacon Jurnal
Ilmiah Farmasi. 9 (1): 47-54.
Campbell dan Farrell. (2008). Biochemistry Sixt Edition. Kanada: Brookscole.
Chan, P., D. Chan, K. To, M. Yu, J. Cheung, and A. Cheng. (2001). Evaluation of
Extraction Methods From Paraffin Wax Embedded Tissues for PCR Amplification
of Human and Viral DNA. Journal of Clinical Pathology. 54(5): 401-403.
Cheng YJ, Guo WW, Yi HL, Pang XM, Deng X. (2003). An Efficient Protocol For
Genomic DNA Extraction From Citrus Spesies. Plant Molecular Biology Reporter.
21: 177a-177g.
Erlich, H.A. (1989). PCR technology: Principles and Applications for DNA Amplifications
Using a Pseudo-Testcross: Mapping Strategy and RAPD Markers. New York,
Stockton Press.
Glick BR, Pasternak JJ, Patten CL. (2010). Molecular Biotechnology: Principles and
Applications of Recombinant DNA. (4 ed.). Washington, DC: ASM Press.
Gross Bellard, M., P. Oudet, and P. Chambon. (1973). Isolation of High Molecular Weight
DNA from Mammalian ells. European Journal of Biochemistry. 36(1), 32-38.
Handoyo, Darmo. Prinsip Umum dan Pelaksanaan Polimerase Chain Reaction (PCR).
Unitas. 9(1): 17-29
Harahap, A.S. (2017). Uji Kualitas dan Kuantitas DNA Beberapa Populasi Pohon Kapur
Sumatera. Journal Of Animal Science and Agronomy Panca Budi. 2(2): 1-6 .
Istanti, A. (1999). Biologi Sel. Malang: Universitas Malang.
Kalista, Brenda. (2015). Metode Pemecahan Sel pada Proses Hilir Industri Bioproses.
Bandung: Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi
Bandung.
20
Kamaliah. (2017). Perbandingan Metode Ekstraksi DNA Phenol Chloroform dan Kit
Extraction pada Sapi Aceh dan Sapi Madura. Jurnal Biotik. 5(1):60-65.
Kepel, B. (2015). Penentuan Jenis Dengan Analisis Gen 16SrRNA dan Uji Daya Reduksi
Bakteri Resisten Merkuri Yang Diisolasi Dari Feses Pasien Dengan Tambalan
Amalgam Merkuri di Puskesmas Bahu Manado. Jurnal Kedokteran Yarsi. 23(1):
045-055.
Lahiri, D.and B. Schnabel. (1993). DNA Isolation by a Rapid Method from Human Blood
Samples: Effects of MgCI2, EDTA, Storage Time, and Temperature on DNA
Yield and Quality. Biochemical Genetics. 31(7-8): 321-328.
Lokapirnasari, W. P., Sahidu, A. M., Nurhajati, T., Supranianondo, K., & Yulianto, A. B.
(2017). Sekuensing 16S DNA Bakteri Selulolitik Asal Limbah Cairan Rumen Sapi
Peranakan Ongole. Jurnal Veteriner. 18(1): 76-82.
Marwayana, O. N. (2015). Ekstraksi Asam Deoksiribonukleat (DNA) dari Sampel Jaringan
Otot. Oseana. 40(2): 1-9.
Putra, G. P. D. (2013). Aplikasi Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) Terhadap Variasi
Gejala Penyakit Citrus Vein Phloem Degeneration (CVPD) pada Beberapa Jenis
Daun Tanaman Jeruk. Jurnal Agroteknologi Tropika. 2(2): 82-91.
21
Rinanda. (2011). Antibacterial Activity of Red Betel (Piper Crocatum) Leaf Nethanolic
Exctracts Aginst Methicillin Resistant Staphylococcus aerus. Proccedings of the
2nd Annual Internastional conference Syiah Kuala University & the 8th IMT-GT
Uninet Biosciences Conference. Banda Aceh. 2(1): 270-5.ogers K. (2011). New
Thinking about Genetics. New York: Britannica Educational Publishing.
Saepulloh, M. (1999). Aplikasi Polymerase Chain Reaction (PCR) dalam diagnosis penyakit
Malignant Catarrhal Fever (MCF) di Indonesia. Bogor: Balai Penelitian Veteriner.
22