Anda di halaman 1dari 13

Rencana baca : Selasa, 06-08-2019

Waktu : 13.00 WIB

Book Reading

PRINSIP PENATALAKSANAAN
PENYAKIT MENULAR SEKSUAL
H. Hunter Handsfield. King K. Holmes, Sexually Transmitted Dissease
Edisi IV, Bab 51, halaman 929-935

Pembimbing : dr. Kristina Nadeak, SpKK, FINSDV, FAADV


Penyaji : dr. Arridha Hutami Putri

DIVISI INFEKSI MENULAR SEKSUAL DAN TREPONEMATOSIS


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019
BAB 51 Prinsip Penatalaksanaan Penyakit Menular Seksual
H. Hunter Handsfield. dalam: King K. Holmes, Sexually Transmitted Dissease

Sebagian besar keputusan penatalaksanaan untuk penyakit menular seksual (PMS)


tampaknya mudah, dibuat atas dasar pengalaman dan pengetahuan umum klinisi, sering
mengacu pada pedoman standar seperti yang berasal dari Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) (Lihat Lampiran B), badan kesehatan masyarakat Kanada dan organisasi
kesehatan dunia (WHO). Namun, manfaat dari penatalaksanaan yang dimaksimalkan baik
pada pasien maupun pada tingkat masyarakat dengan pemahaman prinsip yang membantu
menempatkan rekomendasi otoritatif dalam konteks tersebut. Bab ini meninjau dasar-dasar
teori dari terapi antimikroba PMS.

PENDEKATAN UNTUK PENATALAKSANAAN

Pendekatan untuk pentalaksanaan orang yang dengan PMS atau beresiko untuk PMS
dapat dikonseptualisasikan sebagai tujuan terapeutik, strategi dan praktek (tabel 51-1).

TUJUAN TERAPETIK

Dari perspektif pasien yang terinfeksi, tujuan utama adalah penyembuhan biologis
atau pemberantasan patogen penyebab. Obat biologis merupakan hal wajar untuk pengobatan
gonore, infeksi klamidia, trikomonokasis dan chancroid, dan tujuan awal sering sulit untuk
didokumentasikan, untuk penatalaksanaan sifilis, tetapi tetap sukar dipahami bagi virus PMS.
Apakah pengobatan biologis dapat dicapai atau dipraktikan atau tidak, perbaikan manifestasi
klinis dan pencegahan gejala sisa selalu menjadi tujuan yang diinginkan dan sering tercapai
meskipun untuk PMS yang tidak dapat disembuhkan seperti herpes genital, kutil kelamin dan
inifeksi Human papillomavirus (HPV), Hepatitis B, dan HIV. Meskipun begitu, sementara
obat biologis biasanya memberikan resolusi dari semua penyakit, tetapi tidak dapat
menyembuhkan komplikasi anatomis, seperti jaringan parut tuba fallopi atau kerusakan organ
oleh sifilis.
Tujuan keempat adalah pencegahan transmisi. Tujuan ini mungkin tidak bergantung
terhadap obat biologis. Misalnya, pengobatan benzathine penicillin untuk sifilis hampir selalu
menggugurkan infektivitas tetapi tanpa obat biologis; terapi antivirus supresif membantu
mencegah transmisi virus herpes simpleks tipe 2 (HSV-2); dan terapi antiretroviral dapat

1
mengurangi penularan orang dengan infeksi HIV. Ablasi kutil kelamin dan infeksi jaringan
dubur atau serviks yang terinfeksi HPV mungkin mengurangi kemungkinan penularan HPV
terhadap pasangan seks orang yang terinfeksi, tetapi efek ini lebih berkaitan dengan
mengurangi beban virus daripada mengobati. Akhirnya, mencegah transmisi adalah inti dari
tujuan kelima yaitu community-based prevention (pencegahan berbasis masyarakat). Dalam
paradigma yang diwakili oleh tingkat infeksi reproduksi di masyarakat (R0 = βcD) (Bab 3),
penatalaksanaan kuratif memperpendek durasi rata-rata infeksi pada populasi (D), terapi
antivirus supresif mengurangi efisiensi transmisi (β), salah satunya mengurangi tingkat
reproduksi (R0). Dalam hal ini, pendekatan biomedis untuk diagnosis dan penatalaksanaan
yang umumnya diklasifikasikan sebagai pencegahan sekunder pada tingkat individu (yaitu,
resolusi infeksi dan pencegahan komplikasi) merupakan pencegahan primer pada tingkat
populasi.

2
STRATEGI PENATALAKSANAAN

Strategi untuk penatalaksanaan PMS dapat dipandang sebagai kelanjutan waktu


pengobatan dalam kaitan dengan pajanan dan perolehan infeksi dan spesifisitas diagnosis
(lihat Tabel 51-1). Profilaksis mencakup tiga strategi yang tumpang tindih. Profilaksis yang
sudah ada sebelumnya-Preexposure prophylaxis (PrEP) atau terapi pencegahan yang
diberikan sebelum pajanan, secara teori layak dan dapat digunakan untuk PMS tradisional
tetapi sedikit penelitian tentang ini dilakukan. Laporan resmi menunjukkan bahwa
penggunaan PrEP mungkin sering di antara orang-orang yang dianggap memiliki risiko tinggi
berhubungan seksual, mungkin terutama di antara personel militer dan pekerja seks komersial
dan kadang-kadang orang yang berusaha untuk mencegah herpes genital atau infeksi HIV.
PrEP dengan obat antiretroviral mungkin menjanjikan sebagai strategi pencegahan HIV,
walaupun mendokumentasikan efikasi dan translasi untuk penggunaan rutin merupakan
masalah yang menantang. Profilaksis pascapajanan-Postexposure prophylaxis (PEP) adalah
pengobatan orang yang terpapar atau berpotensi terpapar untuk mencegah infeksi, penyakit
dan transmisi sekunder ke pasangan seks yang baru. Tergantung pada interval setelah
paparan, sebagian besar penggunaan tersebut mungkin tidak memerlukan profilaksis tetapi
lebih untuk menyembuhkan infeksi subklinis. PEP dengan obat antiretroviral pada orang
terinfeksi HIV atau diduga terinfeksi HIV sering digunakan untuk petugas pelayanan
kesehatan yang terpapar infeksi nosokomial dan semakin meningkat sejalan dengan paparan
seksual. Untuk PMS yang disebabkan bakteri, PEP paling sering digunakan dalam kedok
pengobatan "epidemiologis" dari pasangan seks yang terpapar. Bukti objektif keberhasilan
sangat sedikit, tetapi PEP jelas efektif dalam mencegah urethritis gonorrhea ketika diberikan
dalam beberapa jam setelah terpapar pekerja seks komersial yang terinfeksi. Terapi presumtif
periodik-periodic presumptive therapy (PPT) adalah pengobatan rutin pada interval tertentu,
biasanya dengan antimikroba durasi kerja lama seperti azitromisin tetapi kadang-kadang
dikonsumsi harian dengan obat yang durasi kerjanya pendek. PPT dapat dianggap sebagai
variasi dari PrEP dan PEP, karena infeksi aktif dapat diobati (PEP) dan aktivitas antimikroba
bertahan untuk berbagai periode waktu selagi terpapar infeksi baru dapat terjadi (PrEP). PPT
telah terbukti dapat mengurangi insiden PMS bakteri pada pekerja seks perempuan.
Pengobatan berbasis etiologi pada orang yang terinfeksi, diarahkan ke patogen
spesifik, adalah wajar sekarang menggunakan diagnosis etiologis dalam praktik, terutama di
negara-negara industri. Diagnosis etiologis dapat berdasarkan tes laboratorium yang sebagian
besar memiliki kinerja tidak sempurna tergantung pada tahap infeksi dan karakteristik

3
pemeriksaan; atau kesan klinis dari etiologi yang mungkin tergantung pada infeksinya,
manifestasi klinis, dan keterampilan orang yang menegakkan diagnosis. Manajemen sindrom,
dari bidang khusus lainnya di negara-negara berkembang dan yang memiliki sumber daya
sangat sedikit lainnya, hanya memerlukan penentuan manifestasi klinis yang luas bersama
dengan penilaian faktor risiko, diikuti dengan penatalaksanaan penyebab utama sindrom
tanpa identifikasi patogen spesifik. Contohnya termasuk mengobati wanita dengan tanda-
tanda servisitis mukopurulen atau pria dengan duh uretra pada infeksi gonore dan klamidia;
mengobati wanita dengan keputihan yang bertambah banyak (tanpa servisitis) pada
trikomoniasis dan vaginosis bakterialis; dan mengobati orang dengan penyakit ulkus genital
pada sifilis, chancroid dan yang terbanyak herpes genital. Beberapa strategi terapeutik
bergabung antara manajemen etiologi dan sindrom, seperti ketika pria dengan uretritis
dilakukan pewarnaan Gram dari spesimen duh uretra sebagai pemeriksaan diagnostik untuk
gonorrhea tetapi terlepas dari apapun hasilnya tetap mendapatkan pengobatan untuk uretritis
nongonokokus (NGU) yang disusun untuk memberantas infeksi klamidia dan Mycoplasma
genitalium tanpa berusaha mengidentifikasi patogen-patogen ini atau patogen potensial
lainnya. Manajemen sindrom yang berhasil membutuhkan pengetahuan tentang etiologi
sindrom yang dapat diobati dan epidemiologi lokal atau regionalnya, serta kerentanan
patogen yang paling sering terhadap obat antimikroba yang tersedia di daerah. Meskipun
jelas lebih rendah daripada pengobatan berbasis etiologi, manajemen sindrom adalah
akomodasi yang wajar untuk sumber daya yang terbatas di negara-negara berpenghasilan
rendah dan menengah dan mungkin telah berkontribusi terhadap peningkatan kontrol PMS di
negara-negara tersebut. Manajemen sindrom, termasuk rekomendasi terapi untuk beberapa
sindrom, dibahas dalam bab 47 dan 48.
Penatalaksanaan massal adalah pemberian terapi kepada seluruh populasi yang
diketahui memiliki prevalensi infeksi yang substansial, tanpa berusaha mendiagnosis infeksi
pada individu. Penatalaksanaan massal dapat bersifat universal, jika diterapkan pada semua
orang dalam suatu populasi atau mungkin selektif. Penatalaksanaan massal selektif adalah
penatalaksanaan subkelompok populasi dengan prevalensi infeksi yang tinggi atau dengan
perilaku berisiko seperti pekerja seks. Ada beberapa studi yang dilaporkan tentang
penatalaksanaan massal dalam mengontrol PMS. Namun, pada tahun 1950-an dan 1960-an,
penatalaksanaan massal selektif sangat berperan hampir menghilangkan frambusia, pinta, dan
sifilis endemik di beberapa negara berkembang. Lebih dari 50 juta orang di 46 negara diobati
dengan berbagai bentuk penisilin kerja jangka panjang dan di beberapa daerah (misalnya
Bosnia) satu atau lebih penyakit ini dieliminasi. Penatalaksanaan massal selektif, ditambah

4
dengan skrining luas serologis, juga berkontribusi hampir mendekati eliminasi sifilis di Cina
pada tahun 1950-an dan 1960-an dan mungkin membantu mengurangi wabah sifilis pada
pekerja seks dan petani musiman di California pada tahun 1970-an. Sebaliknya, di Filipina uji
coba penatalaksanaan massal selektif untuk gonore pada pekerja seks wanita hanya
menghasilkan efek penurunan sementara prevalensi infeksi pada wanita yang dirawat dan
tidak memiliki efek yang signifikan pada gonore di antara personil militer AS yang
menyumbang sebagian besar pasangan seks mereka. Di Greenland, penatalaksanaan massal
selektif di masyarakat dengan prevalensi gonore tinggi hanya bermanfaat sementara di daerah
berpenduduk sedikit dan tidak ada manfaat di tempat lainnya sehingga program ini
ditinggalkan. Baru-baru ini, pengobatan massal selektif dengan azitromisin memiliki efek
marginal dan sementara, jika ada, dicoba sebagai langkah untuk mengurangi penyebaran
sifilis pada populasi berisiko tinggi di Vancouver, Kanada.
Seperti yang disarankan oleh contoh-contoh ini, penatalaksanaan massal biasanya
telah diarahkan pada satu PMS tunggal atau beberapa infeksi yang serupa secara biologis
seperti sifilis dan treponematosis lainnya. Namun, uji coba pengobatan IMS Rakai, Uganda
sebagai strategi pencegahan HIV menggunakan penatalaksanaan massal selektif berkala
terhadap berbagai jenis PMS yang lebih luas. Di desa-desa yang diintervensi, semua orang
berusia 15-49 tahun dirawat secara bersamaan untuk gonore, chancroid, infeksi klamidia,
trikomoniasis, dan vaginosis bakterialis. Selain itu, skrining massal berkala untuk sifilis
ditawarkan baik di desa intervensi dan desa kontrol, lalu terapi penisilin diberikan bagi
mereka yang ditemukan seropositif. Hanya prevalensi trikomoniasis berkurang signifikan
dalam jumlah yang lebih besar di desa-desa intervensi daripada di desa-desa kontrol, dan
penatalaksanaan PMS tidak berhubungan dengan pengurangan transmisi HIV.
Secara seimbang, pengalaman kolektif menunjukkan bahwa penatalaksanaan massal
lebih berpotensi melawan PMS kronik dan berkepanjangan seperti sifilis daripada terhadap
PMS bakterial lainnya. Tampaknya, prasyarat untuk keberhasilan yang lebih besar sebagai
strategi pengendalian berbasis populasi mungkin adalah implementasi aturan yang sangat luas
dalam mobilitas populasi yang terbatas dan berpotensi rendah untuk pengenalan infeksi
berulang. Penatalaksanaan massal tidak mungkin efektif baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang untuk PMS apapun di populasi terbuka yang bermigrasi.

5
PRAKTIK PENATALAKSANAAN

Praktik penatalaksanaan PMS (Tabel 51-1) merujuk pada aspek prosedur terapi.
Directly observed treatment (DOT) telah menjadi pusat tema manajemen PMS sejak awal era
antimikroba dan didahului pada beberapa dekade adopsi DOT sebagai penatalaksanaan utama
untuk pengobatan tuberkulosis. Penatalaksanaan dosis multipel, yang dikelola sendiri untuk
PMS pada awalnya bermasalah karena hanya penisilin secara parenteral yang tersedia. Selain
itu, banyak dokter dan otoritas kesehatan publik menganggap pasien PMS secara inheren
tidak dapat diandalkan dan tidak mungkin untuk mematuhi regimen multi-dosis yang tidak
disupervisi. Keyakinan ini bertahan bahkan setelah antibiotik oral tersedia dan akses ke
perawatan kesehatan membaik. Pada kenyataannya, ada kemungkinan bahwa orang dengan
PMS cenderung untuk mematuhi terapi daripada orang yang secara demografis memiliki
kondisi medis lain dengan tingkat keparahan atau simtomatologi yang sama. Namun,
kepatuhan terhadap pengobatan buruk di sebagian besar kelompok populasi, terutama di
kalangan usia muda dengan infeksi subklinis atau gejala ringan. Kebutuhan untuk segera
mengurangi penularan menambah alasan kuat kesehatan masyarakat untuk DOT, yang tetap
menjadi prioritas tinggi untuk PMS bakterial yang dapat disembuhkan. Dengan demikian,
DOT dianggap sebagai penatalaksanaan standar di semua klinik untuk gonore, chancroid,
infeksi klamidia, NGU dan trikomoniasis, baik pada penatalaksanaan yang didasarkan pada
diagnosis etiologi spesifik atau berdasarkan manajemen sindrom pada pengaturan klinis yang
miskin sumber daya (lihat Lampiran B).
Terapi preskriptif, praktik pada umumnya untuk penatalaksanaan rawat jalan untuk
sebagian besar indikasi, adalah satu-satunya pendekatan praktis ketika regimen dosis multipel
dibutuhkan untuk PMS, seperti pengobatan infeksi klamidia atau NGU dengan doksisiklin,
dan untuk semua regimen yang digunakan pada penyakit radang panggul-pevic inflammatory
disease (PID), kutil kelamin menggunakan terapi yang diaplikasikan pada pasien, herpes
genital dan HIV / AIDS. Idealnya, terapi multi-dosis untuk PMS harus dikeluarkan dalam
pengaturan klinis dengan penyedia layanan kesehatan mengamati pasien menelan atau
mengaplikasikan obat dosis awal. Dalam sebuah penelitian terhadap wanita dengan PID yang
didiagnosis di unit gawat darurat rumah sakit, 28% pasien kemudian mengakui bahwa
mereka tidak menebus resep mereka yang berisi doksisiklin dan hanya 31% menyelesaikan
pengobatan sampai 10 hari. Demikian pula, 223 pasien diberikan 7-dosis doksisiklin harian
untuk infeksi klamidia di dua klinik PMS diteliti menggunakan sistem komputerisasi untuk
memantau waktu dan frekuensi mereka mengambil obatnya. Meskipun obat itu diberikan

6
langsung kepada pasien di klinik, 24% tampaknya mengambil sedikit doksisiklin atau tidak
ada, hanya 25% menyelesaikan pengobatan dan 51% memiliki tingkat kepatuhan menengah.
Pengobatan berbasis-farmasi-pharmacy based treatment (PBT) mengacu pada
penatalaksanaan langsung terhadap orang-orang terdiagnosis PMS atau yang dicurigai
mengikuti anjuran dari apoteker atau petugas farmasi lainnya, tanpa penilaian klinis oleh
penyedia layanan kesehatan pribadi. PBT telah berevolusi secara oportunistik di unit yang
miskin sumber daya, terutama di negara-negara berkembang, di mana keterbatasan
infrastruktur menjadi hambatan untuk penilaian klinis tradisional dan di mana peraturan lokal
atau kebijakan pragmatis mengizinkan terapi anti-infeksi tanpa resep. PBT dapat dipandang
sebagai varian manajemen sindrom berdasarkan penilaian pasien sendiri terhadap gejala yang
menunjukkan PMS, ditambah dengan penilaian gejala oleh pekerja farmasi. Misalnya,
seseorang dengan duh tubuh uretra atau penyakit ulkus genital dapat menggambarkan
gejalanya kepada seorang apoteker, yang kemudian memberi anjuran dan menjual regimen
pengobatan tertentu kepada pasien.
Meskipun mungkin digunakan dalam beberapa pengaturan selama beberapa dekade,
PBT untuk PMS hanya baru-baru ini berada di bawah evaluasi sistematis. Tidak
mengherankan, tanpa pelatihan khusus, personel farmasi di negara-negara berkembang sering
gagal mengenali atau menasihati pelanggan bahwa sindrom khas ditularkan secara seksual,
dan ketika PMS dikenali, mereka sering menawarkan terapi yang tidak tepat. Namun, ketika
sindrom PMS dijumpai, petugas farmasi sering menyarankan penggunaan kondom, dan
dengan pelatihan sistematis PBT mungkin menjanjikan sebagai elemen pencegahan PMS di
unit yang miskin sumber daya. Dalam pengaturan seperti itu, pekerja farmasi dapat
berhubungan dengan dokter untuk mempelajari tentang antimikroba pilihan. Sebuah uji coba
random besar di Peru mengevaluasi pelatihan pekerja farmasi dalam hal pengenalan,
pengobatan atau rujukan PMS, dan konseling pada pasien tentang pengobatan pasangan seks
dan penggunaan kondom di kemudian hari. Intervensi menghasilkan perbaikan yang drastis
dan signifikan dalam semua aspek manajemen pasien yang disimulasikan ketika mereka
datang ke apotek dengan skenario keluhan duh tubuh dari uretra, keputihan, ulkus genital,
atau penyakit radang panggul.
Expedited partner therapy (EPT) adalah praktik memperlakukan pasangan seks
orang-orang dengan PMS tertentu tanpa penilaian klinis langsung atau konseling profesional
kepada pasangan seksnya (Bab 54). Untuk PMS bakterial yang dapat disembuhkan, telah
direkomendasikan secara tradisional bahwa pasangan seks pasien diperiksa, dikonseling dan
dirawat, idealnya oleh penyedia atau klinik yang menangani indeks kasus. Namun,

7
keberhasilan pendekatan tradisional ini dalam memastikan penatalaksanaan pasangan dibatasi
oleh hambatan struktural (misalnya transportasi, cakupan asuransi), sikap orang yang terpajan
seperti tidak percaya bahwa mereka mungkin terinfeksi ketika tanpa gejala dan adanya
masalah privasi keduanya, yaitu pasien dan mitranya. Di Amerika Serikat, otoritas kesehatan
lokal dan negara bagian berupaya mengidentifikasi dan mengobati pasangan kurang dari 20%
orang dengan infeksi gonore atau klamidia dan meskipun upaya yang lebih kuat telah
dilakukan untuk memastikan evaluasi dan penatalaksanaan dari pasangan orang dengan sifilis
infeksius, usaha itu biasanya tidak membuahkan hasil. Dari kombinasi upaya spontan dan
dibantu pasien untuk memberi tahu pasangannya sendiri dan sesekali berhasil melalui kontak
langsung penyedia atau otoritas kesehatan masyarakat dengan pasangan seksnya, ada
kemungkinan bahwa tidak lebih dari setengah pasangan orang dengan gonore atau klamidia
berhasil diobati melalui pendekatan tradisional (lihat Bab 54).
EPT telah berkembang, pertama melalui penggunaan spontan oleh praktisi yang
berpengalaman dan semakin mennigkat pada pendekatan sistematis manajemen mitra
seksnya sebagai salah satu strategi untuk mengatasi kinerja buruk dari pendekatan tradisional.
EPT terutama menggunakan terapi dimana pasien memberikan terapi kepada pasangan seks
terbarunya, tetapi strategi lain, yang kurang bergantung pada kerja sama indeks pasien, juga
masih berkembang, seperti pengiriman obat melalui pos dan pengambilan obat di kantor
penyedia layanan kesehatan atau klinik kesehatan masyarakat. Baik uji coba terkontrol acak
dan studi observasi (ditinjau dalam Bab 54) telah mendokumentasikan efektivitas EPT
sebagai strategi manajemen pasangan untuk infeksi klamidia dan gonore pada pria dan wanita
heteroseksual. Efektivitas telah didokumentasikan tidak hanya secara signifikan mengurangi
tingkat infeksi berulang pada indeks pasien. tetapi juga indikator proses, seperti jumlah
pasangan yang dibawa ke pengobatan, berkurangnya frekuensi hubungan seks antara pasien
dan pasangan yang tidak diobati dan peningkatan frekuensi penggunaan kondom pada
minggu-minggu setelah penatalaksanaan. Agak mengherankan, uji coba tunggal tidak
mendokumentasikan manfaat EPT dalam mengurangi angka kejadian trikomoniasis berulang
pada wanita, mungkin karena pengobatan dosis tunggal dengan metronidazol hanya sekitar
90% efektif terhadap vaginitis trikomonal dan mungkin masih kurang efektif di antara pria
yang terinfeksi.
Dengan demikian, EPT dengan cepat menjadi pilihan yang direkomendasikan secara
rutin untuk memastikan pengobatan pasangan heteroseksual pria dan wanita terinfeksi
klamidia dan gonore, tetapi praktik ini harus digunakan dengan hati-hati dalam pengelolaan
trikomoniasis (sambil menunggu data lebih lanjut). Kompleksitas klinis dan ketergantungan

8
pada terapi injeksi atau regimen pengobatan dosis multipel merupakan tantangan terhadap
penggunaan EPT pada sifilis atau PMS yang disebabkan virus. Penelitian dibuat untuk
mengevaluasi EPT dalam manajemen sindrom dengan gejala duh tubuh dari genital.
Penelitian lebih lanjut juga untuk melihat penggunaan EPT pada trikomoniasis dan pada PMS
yang ditentukan berdasarkan sindrom dan etiologi dalam populasi khusus, seperti pria yang
berhubungan seks dengan pria (LSL) dan wanita hamil.

INFEKSI MENYELURUH

PMS bersamaan sering terjadi dan pedoman penatalaksanaan untuk PMS tertentu
sering merekomendasikan terapi menyeluruh untuk PMS yang tidak terdiagnosis yang
mungkin hidup berdampingan dengan infeksi primer. Pengobatan gonore dengan regimen
yang akan memberantas sifilis yang tidak terdiagnosis atau masih dalam masa inkubasi
pernah dianggap sebagai prioritas tinggi berdasarkan keyakinan bahwa kedua infeksi sering
didapat secara bersamaan. Namun, sebuah studi terkontrol di Miami, Florida, sejak tahun
1985 hingga 1992, ketika gonore menjadi epidemi dan sifilis muncul kembali dianalisis
98.441 kasus gonore yang diobati dengan obat yang efektif terhadap sifilis (regimen
campuran yang berisi ceftriaxone, doxycycline atau erythromycin) atau dengan spectinomycin
yang tidak aktif melawan Treponema pallidum. Kasus-kasus baru sifilis jarang terjadi dalam
beberapa minggu setelah pengobatan dan tidak berbeda secara signifikan dari pengobatan
yang diberikan. Dengan demikian, dalam beberapa tahun terakhir aktivitas antibiotik khusus
T. pallidum dan kemanjurannya terhadap inkubasi sifilis belum menjadi penentu utama dari
penatalaksanaan yang direkomendasikan untuk pasien dengan gonore di Amerika Serikat.
Sebaliknya, tingkat PMS yang dapat diobati selain gonore, seperti infeksi klamidia, belum
dinilai pada penderita sifilis. Kebangkitan sifilis di kalangan LSL di negara-negara industri
sejak tahun 2000 telah disertai dengan peningkatan drastis gonore dan klamidia pada LSL.
Beberapa data terkait tersedia di negara-negara berkembang. Untuk saat ini, strategi
pengobatan utama pada orang dengan sifilis harus secara rutin melakukan tes laboratorium
skrining untuk PMS umum lainnya termasuk infeksi HIV, tetapi tidak mengorbankan
asuransi penyembuhan sifilis untuk mengobati infeksi dugaan lainnya.
Selama 3 dekade, rekomendasi untuk penatalaksanaan PMS menyeluruh telah
dipengaruhi oleh tingginya prevalensi infeksi klamidia pada pasien dengan gonore. Sekitar
10-20% pria dan 20-40% wanita dengan gonore di negara industri pada tahun 1980-an dan
1990-an terinfeksi Chlamydia Trachomatis. Menurut perwakilan nasional, Survei Kesehatan

9
dan Gizi Nasional berbasis populasi, sejak tahun 1999 hingga 2002 prevalensi C. trachomatis
hampir 50% di antara orang dengan gonore. Dengan demikian, secara universal
direkomendasikan bahwa semua pasien dengan gonore diobati dengan regimen yang efektif
terhadap C. trachomatis kecuali infeksi klamidia telah disembuhkan sebelum pengobatan
(lihat Lampiran B). Kebalikannya tidak terjadi: karena karakteristik populasi yang berbeda
terkait dengan dua infeksi, prevalensi Neisseria gonorrhoeae pada orang dengan infeksi
klamidia biasanya di bawah 5% dan penatalaksanaan untuk infeksi klamidia tidak perlu
secara rutin disertai dengan pengobatan untuk gonore. Dalam setiap kasus, regimen yang
direkomendasikan terhadap C. trachomatis biasanya akan memberantas infeksi gonokokus
yang tidak terdiagnosis. Namun, terapi antigonokokus spesifik harus dipertimbangkan pada
orang dengan infeksi klamidia jika penilaian epidemiologi lokal menunjukkan kemungkinan
tinggi terjadinya infeksi ganda.
Gabungan lain dari infeksi yang terjadi bersamaan dengan PMS yang dapat diobati
biasa terjadi tetapi sedikit jika ada studi sistematis yang tersedia dan tidak ada pedoman
standar yang merekomendasikan penatalaksanaan rutin untuk gabungan penyakit lainnya. Di
antara beberapa wanita dan pria dengan trikomoniasis, 10-15% juga terinfeksi gonore,
klamidia atau keduanya. Infeksi dengan beberapa patogen termasuk HSV, Haemophilus
ducreyi dan T. pallidum, telah dilaporkan pada pasien dengan penyakit ulkus genital di
Amerika Serikat dan di negara berkembang. Beberapa data tersedia mengenai prevalensi
gonore atau infeksi klamidia di antara pasien dengan herpes genital, kutil kelamin atau PMS
lainnya. Dengan tidak adanya data pasti, dokter harus memeriksa pasien dengan infeksi ini
untuk PMS yang dapat disembuhkan secara lokal. Dalam beberapa kasus, terapi dugaan
berdasarkan data epidemiologi lokal dapat diindikasikan untuk pasien tertentu, seperti mereka
yang tidak mungkin kembali untuk kontrol.

KONTROL SETELAH PENGOBATAN

TES KESEMBUHAN

Tindak lanjut klinis dan pengujian ulang untuk menilai respon klinis dan mikrobiologis
terhadap terapi telah menjadi praktik umum dalam pengaturan di mana pendanaan dan
infrastruktur mengizinkan. Sifilis khususnya memerlukan kontrol klinis dan serologis berkali-
kali selama beberapa bulan atau tahun ketika praktik, agar dapat mendokumentasikan
pengobatan (lihat Lampiran B). Tindak lanjut klinis umumnya direkomendasikan setelah
pengobatan chancroid, tetapi penyelesaian gejala dan tanda yang cepat merupakan indikator

10
penyembuhan yang dapat diandalkan sehingga tes ulang untuk H. ducreyi jarang
diindikasikan. Demikian juga, respons klinis uretritis gonokokal atau klamidia pada pria
biasanya merupakan indikator yang dapat diandalkan untuk penyembuhan bakteriologis,
meskipun persistensi subklinis setelah perbaikan klinis awal kadang-kadang terjadi. Di sisi
lain, infeksi serviks, dubur atau faring dengan N. gonorrhoeae atau C.trachomatis umumnya
tidak menunjukkan gejala atau memiliki manifestasi nonspesifik, kadang-kadang
memerlukan pemeriksaan tindak lanjut setelah penyembuhan untuk memastikan
pemberantasan organisme.
Namun demikian, di sebagian besar negara industri, regimen pengobatan yang
direkomendasikan saat ini untuk infeksi gonore dan klamidia cukup dapat diandalkan
sehingga uji kesembuhan rutin segera setelah pengobatan tidak efektif biaya. Tes
kesembuhan dilanjutkan atas indikasi ketika pengobatan yang digunakan memiliki efek tidak
pasti atau jika konsekuensi potensial dari infeksi persisten sangat parah, seperti infeksi
klamidia pada wanita hamil. Tes kesembuhan juga direkomendasikan jika terdapat
kerentanan patogen, terutama N. gonorrhoeae, diragukan atau ketika kepatuhan terhadap
terapi tidak dapat dipastikan (lihat Lampiran B). Di negara-negara berkembang, di mana tes
kesembuhan menjadi hal yang paling bermasalah baik untuk alasan keuangan dan logistik,
sangat penting bahwa DOT sangat efektif digunakan sebisa mungkin.
Ketika tes kesembuhan dilakukan setelah pengobatan gonore tanpa komplikasi,
pengujian ulang dengan mengkultur selama 5-10 hari setelah penyelesaian pengobatan
mungkin dapat diandalkan untuk mendeteksi kegagalan pengobatan. Namun, tes kesembuhan
untuk C.trachomatis atau N. gonorrhoeae dengan pemeriksaan amplifikasi asam nukleat
harus ditunda hingga setidaknya 3 minggu setelah selesai terapi karena DNA C. trachomatis
dapat bertahan selama 2 minggu atau kadang-kadang lebih lama, setelah pengobatan berhasil.
Selain itu, beberapa rejimen yang umumnya efektif, terutama azitromisin dosis tunggal, dapat
secara sementara menekan tetapi tidak memusnahkan C. trachomatis, yang mengakibatkan
hasil tes negatif palsu dalam beberapa minggu pertama setelah pengobatan.

RESCREENING

Pemeriksaan pasca pegobatan yang terlambat atau screening ulang, dirancang untuk
mendeteksi reinfeksi dan pada tingkat lebih rendah, kegagalan pengobatan yang tertunda.
Penelitian pada tahun 1960-an dan 1970-an menunjukkan N.gonorrhoeae diisolasi kembali
dari sekitar 10% wanita yang dirawat karena gonore beberapa minggu sebelumnya, terutama

11
karena reinfeksi. Oleh karena itu, beberapa otoritas merekomendasikan rescreening rutin
wanita dengan gonore 1-2 bulan setelah pengobatan dan dalam perhitungan secara matematis
menyarankan bahwa penyaringan wanita dengan risiko tinggi dapat berkontribusi untuk
mengontrol penyakit gonore. Akan tetapi, kepatuhannya buruk sehingga efektivitas
penggunaan dan efektivitas biaya rescreening rendah dan strategi ini jelas diabaikan dan
rekomendasi dihapus dari pedoman penatalaksanaan selanjutnya. Namun beberapa penelitian
baru-baru ini menunjukkan bahwa 10-20% pria atau wanita yang dirawat karena infeksi
gonore atau klamidia mengalami infeksi persisten atau berulang pada tahun berikutnya
dengan sebagian besar kasus terdeteksi dalam 4 bulan. Hasil ini konsisten dengan hipotesis
bahwa sebagian besar infeksi ulangan diperoleh dari pasangan seks yang tidak diobati atau
dari masuknya infeksi kembali ke pasangan seksnya dengan prevalensi infeksi yang tinggi.
Rescreening juga mendeteksi infeksi persisten akibat kegagalan pengobatan. Untuk alasan
ini, rescreening 3-4 bulan setelah pengobatan sekarang direkomendasikan secara rutin untuk
semua wanita dengan infeksi klamidia (lihat Lampiran B) dan banyak ahli
merekomendasikan penggunaan rutinnya untuk pria dengan infeksi klamidia dan pria dan
wanita dengan gonore.

12

Anda mungkin juga menyukai