Anda di halaman 1dari 39

TUGAS I

No Ciri-ciri Agroekosistem Ekosistem Alami

1. Produksi bersih Tinggi Medium


2. Rantai Tropik Sederhana, linier Kompleks
3. Keragaman spesies Rendah Tinggi
4. Keragaman genetis Rendah Tinggi
5. Siklus Mineral Terbuka Tertutup
6. Stabilitas Rendah Tinggi
Energi hilang sebagai panas
7. Tinggi Rendah
(entropi)
8. Kendali Manusia Tinggi Rendah
9. Kepermanenan temporal Pendek Panjang
10. Heterogenitas habitat Sederhana Kompleks
11. Fenologi Terjadi sinkronasi Musiman
Tidak matang, suksesi
12. Kematangan Matang, klimaks
awal
“Perbedaan Struktur dan Fungsi antara Ekosistem Alami dan Agroekosistem”

1. Produksi bersih agroekosistem tinggi dan ekosistem medium


Agroekosistem sendiri merupakan suatu lingkup ruang hidup antara faktor
abiotik dan biotik yang telah termodifikasi secara spesifik kearah lingkungan
pertanian. Produktifitas dari agroekosistem sendiri dapat dikatakan tinggi
dibandingkan dengan ekosistem non spesifik atau alami. Salah satu hal yang
membedakan antara agroekosistem dan ekosistem menurut Ryanto dkk (1985) yaitu,
energi tambahan yang menunjang masukan energi matahari dikendalikan oleh
manusia, dan terdiri dari tenaga kerja buruh, hewan, pupuk, pestisida, air, irigasi dan
kendaraan/ mesin bermotor. Hal ini menunjukkan adanya intervensi manusia terhadap
system lingkungan sesuai tujuan pengolahannya dalam hal ini adalah agroekosistem
yang merupakan upaya dari manusia sebagai pengelola untuk meningkatkan
produktivitas dari agroekosistem tersebut. Menurut Ryanto dkk (1985),
Agroekosistem mempunyai ketergantungan terhadap energi dan dampak luar terhadap
daerah sekitarnya. Dampak terluar seperti halnya faktor iklim serta campur tangan
manusia dalam perbaikan produktivitas vegetasi atau tanaman yang sengaja
dibudidayakan dalam hal ini adalah oleh petani atau kelompok tani yang bisa saja
berupa perbaikan sistem tanam, pengendalian OPT atau juga kegiatan pemuliaan yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga pertanian tertentu sangat berpengaruh terhadap
produksi bersih daripada agroekosistem itu sendiri.
Berbeda halnya dengan ekosistem alami, dengan tidak adanya keikut
campuran pihak lain dalam peningkatan produktifitas, membuat ekosistem yang
secara alami tumbuh ini masih bisa berproduksi dengan adanya siklus alami di
lingkungan dengan catatan produktifitasnya menjadi konstan atau bahkan berkurang
karena adanya intervensi manusia berupa eksploitasi yang berlebihan.

Ryanto,dkk.1985. Ekologi Dasar 1. Badan kerjasama perguruan tinggi Negeri


Indonesia Bagian Timur. Ujung pandang.

2. Rantai Tropik
Pada tingkatan rantai tropik sendiri agroekosistem memiliki suatu rantai yang
lebih sederhana. Ryanto dkk (1985) menyatakan, diversitas organisme sangat
diperkecil untuk memaksimumkan hasil bahan makanan atau produk lainnya.
Meningkatnya diversitas pada agrosistem dapat berarti sebuah keburukan dari sistem
tanam. Contohnya saja timbulnya gulma, jamur ataupun serangga baik OPT maupun
non OPT pengganggu tanaman pokok yang dibudidayakan. Dengan begitu juga dapat
meningkatkan potensi penurunan suatu tujuan utama dari agroekosistem. Dengan
pembatasan atau penekanan diversitas organisme yang ada pada agroekosistem
menjadi hanya beberapa organisme mutualisme pada agroekosistem mampu
membantu di dalam siklus agroekosiste itu sendiri menjadi lebih baik.
Kemudian untuk ekosistem, tidak terjadi penekanan diversitas organisme.
Dalam ekosistem, organisme dalam komunitas berkembang bersama-sama dengan
lingkungan fisik sebagai suatu sistem. Organisme akan beradaptasi dengan
lingkungan fisik, sebaliknya organisme juga memengaruhi lingkungan fisik untuk
keperluan hidup (Campbell NA dan Reece JB, 2009). Tidak adanya penekanan
diveersitas terhadap kepentingan produk tertentu juga mengakibatkan rantai-rantai
makanan atau tropik serta siklus yang terjadi pada ekosistem alami menjaadi semakin
kompleks.

Campbell NA, Reece JB. 2009. Biology. USA: Pearson Benjamin Cummings. Page.
415-419.
Ryanto,dkk.1985. Ekologi Dasar 1. Badan kerjasama perguruan tinggi Negeri
Indonesia Bagian Timur. Ujung pandang

3. Keragaman spesies agroekosistem rendah dan ekosistem tinggi


Lingkungan agroekosistem yang tujuannya sebagai suatu tempat ekosistem
yang memang disengaja dikhususkan sebagai suatu lingkup wilayah pertanian
memungkinkan terjadinya perbedaan suatu sistem dan keseimbangan didalamnya
akibat dari intervensi manusia sebagai pengelola. Beratha (1991) mengemukakan
bahwa, jika keseimbangan terganggu maka akan terjadi suatu perubahan alami, dan
jika berlangsung terus-menerus maka akan berpengaruh pada lingkungan yang akan
menumbulkan masalah pada lingkungan itu sendiri. Permasalahan lingkungan yang
jelas terjadi dan terlihat adalah terbatasnya spesies organisme yang ada pada
lingkungan agroekosistem. Terganggunya lingkungan alami ini merupakan akibat
intervensi manusia atas tujuan tertentu yang dilakukannya dalm merubah lingkungan
alami (ekosistem alami) sebagai suatu kegiatan pertanian yang memungkinkan
tereliminasinya organisme-organisme yang tidak sinergis dengan kegiatan pertanian
yang dilakukan sehingga terjadi pengurangan atau penurunan spesies organisme yang
ada.
Kemudian menurut Amsyari (1986) yang mengatakan, kehidupan didunia ini
tidak akan terlepas dari perubahan-perubahan lingkungan yaitu secara fisik, biologi
dan sosial. Secara kronologis pembentukan afroekosistem tentu saja berawal dari
bentuk ekosistem secara alami yang kemudian mengalami perubahan lingkungan
sosial masyarakat disekitar ekosistem itu sendiri yang mengakibatkan perubahan
secara fisik pada lingkungan ekosistem dan berakibat pada kerusakan lingkungan
biologi ekosistem tersebut. Hal ini tentu sangat berbeda sekali dengan ekosistem
alami yang tidak terintervensi oleh manusia. Sehingga tidak terjadi penekanan suatu
bentuk sistem yang ada dalam ekosistem yang menjadikan tidak ada penurunan suatu
keragaman spesies dalam suatu ekosistem yang enjadikannya jauh lebih tinggi
dibanding spesies pada agroekosistem.
Beratha, I N., 1991. Pembangunan Desa Berwawasan Lingkungan. Bumi Aksara :
Jakarta.

Amsyari, F. 1986. Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan. Ghalia


Indonesia : Jakarta.
4. Keragaman genetis agroekosistem rendah dan ekosistem tinggi
Keragaman genetis dari suatu tempat atau ekosistem sendiri terdapat
perbedaan antara tiap-tiap jenis ekosistem, begitu pula pada agroekosistem dan
ekosistem. Pada dasarnya agroekosistem yang notabenya merupakan suatu ekosistem
yang dibuat atas kepentingan manusia untuk memproduksi suatu barang dan jasa
terutama untuk suplay ketahanan pangan. Permasalahan mengenai keragaman genetis
sendiri sangat erat kaitannya dengankeragaman hayati, dimana keragaman genetis
merupakan satu dari beberapa jenis keragaman yang termasuk ke dalam keragaman
hayati. Keanekaragaman hayati didefinisikan sebagai total keanekaragam dan
variabilitas antara sistem dan oganisme pada tingkat bioregional, lanskap (landscape),
ekosistem dan individu pada berbagai tingkat organisme dari spesies, populasi dan
individu serta pada tingkat populasi dan gene (HEYWOOD, 1995). Sedangkan
apabila melihat kondisi agroekosistem yang ada sekarang ini lebih condong ke arah
monokultur yang erat kaitannya dengan minimalnya ragam vegetasi yang ditanam
pada agroekosistem itu sendiri. Hal ini tentu jelas menandakan bahwa keragaman
genetis pada agroekosistem sangat terbatas atau rendah. Seperti contohnya saja
penanaman padi varietas IR5 atau juga IR8 yang secara besar-besaran dalam satu
luasan lahan tertentu dalam agroekosistem, yang menunjukkan adanya keseragaman
komponen yang ada di dalam agroekosistem. Segresi gen(sifat) antar individu pasti
terjadi antar individu dengan individu lain dalam satu luasan area agroekosistem
tersebut. Yang merupakan masalah adalah keseragaman genetik daripada individu
agroekosistem tersebut, sehingga keragaman genetik tidak dapat dimunculkan atau
dihasilkan dari sana.
Keragaman hayati sendiri juga identik kaitannya dengan campur tangan
manusia (human input). Manusia sebagai kontrol ada kalanya dapat mengurangi
keanekaragaman melalui aktivitas yang tidak bertanggung jawab pada suatu
ekosistem atau juga dapat menambah keragaman hayati melalui aktivitas pamuliaan
dalam kondisi yang monokultur. Ekosistem yang secara alamiah sering kali mendapat
intervensi dari manusia memang mengalami gangguan terhadap beberapa komponen
penyusun ekosistem tersebut, seperti halnya pembalakan liar pada ekosistem hutan
yang mungin juga dapat menghambat perkembangan keragaman hayati yang
dikarenakan ikut terambilnya komponen penjenis sebagai pembentuk keragaman
hayati itu sendiri. Namun pada notabenya ekosistem secara alami tetaplah ekosistem
dengan tingkat diversitas kehidupan yang tinggi. Keanekaragaman gen dapat terjadi
akibat perkawinan antarmakhluk hidup sejenis (satu spesies) yang berbeda genetik
(Lutfi, 2012). Fenotip-fenotip yang bermacam-macam dalam suatu ekosistem
memungkinkan terjadinya segresi intraspesies yang ada, sehingga terjadi
penggabungan banyak gen daripada komponen ekosistem (vegetasi-vegetasi) yang
menghasilkan sifat-sifat genetik yang beragam pula.

Heywood, V.H. (ed.). 1995. Global Biodiversity Assessment.  United Nations


Environment Programme. Cambridge University Press, Cambridge.
Lutfi. 2012. http://biosejati.wordpress.com/2012/10/12/keanekaragaman-hayati/.
Diakses 24 Febriari 2013.

5. Siklus mineral agroekosistem terbuka dan ekosistem tertutup


Silus mineral yang merupakan suatu perputaran layaknya rantai makanan dalam
ekologi merupakan suatu kejadian yang selalu terjadi pada setiap ekosistem yang ada.
Siklus mineral tentu terjadi baik pada agroekosistem dan ekosistem alami. Hanya saja
yang membedakannya adalah model daripada siklus mineral itu sendiri. Dalam
agroekosistem, tanaman dipanen dan diambil dari lapangan untuk konsumsi
manusia/ternak sehingga tanah pertanian selalu kehilangan garam-garam dan
kandungan unsur-unsur antara lain N, P, K, dan lain-lain (Anonymous 2, 2013). Siklus
mineral yang seharusnya terus berputar pada ekosistem dari satu siklus ke siklus
lainnya ini tidak terjadi pada agroekosistem karena tidak adanya atau minimnya
pengembalian hasil siklus tersebut atau lebih dikenal dengan siklus terbuka. Sehingga
human input sangat diperlukan untuk mengatasi hal tersebut agar siklus dalam
agroekosistem dapat berlangsung layaknya pada ekosistem secara alami. Seperti yang
diketahui bersama, bahwa salah satu human input pada agroekosistem ini berupa
pemupukan baik organik atau organik guna mensuplai unsur hara ke agroekosistem
tersebut sebagai bahan makanan utama organisme dalam agroekosistem. Dalam suatu
siklus biogeokimia, unsure-unsur hara anorganik yang diperlukan untuk pertumbuhan
dan perkembangan organism bersirkulasi dari komponen abiotik ke komponen biotic
dan kembali lagi ke komponen abiotik dari ekosistem (Flint, M.L and P. Gouveia,
2001). Hilangnya satu spesies menimbulkan dampak nyata bagi anggota yang lain di
dalam komunitasnya (Flint, M.L and P. Gouveia, 2001). Dampak nyata yang
ditimbulkan oleh komponen yang tidak tersedia ataupun tidak ada (hilang) dari suatu
lingkup tempat hidup terrsebut nantinya membuat suatu siklus perputaran rantai
mineralisasi terhenti, yang apabila human input tidak dilakukan menjadikan siklus
hidup organisme berhenti pula.
Ekosistem yang secara alamiah tanpa atau tidak mendapat campur tangan dari
manusia, nantinya akan terjadi suatu interaksi yang sinergis antar organisme-
organisme di dalam ekosistem alamiah itu sendiri meskipun kehilangan beberapa
spesiesnya. Indrawan dkk (2007) menyatakan, Ekosistem yang telah kehilangan
spesiesnyapun akan tetap sehat, karena seringkali peran-peran mereka masih
tergantikan oleh spesies lain yang secara ekologi mirip serta mempunyai peranan
yang sama dalam ekosistem tersebut. Tidak adanya penekanan terhadap suatu
aktivitas produksi membuat suatu ekosistem alamiah tetap pada kondisi keragaman
yang tinggi, sehingga hubungan mutualismepun seringkali terjadi antar organisme
dalam ekosistem sehingga siklus dalam ekosistem alamiah tertutup terhadap human
input.
Anonymous2. 2013. http://fp.uns.ac.id/~hamasains/ekotan%208.htm. Diakses 22
Februari 2013.

Indrawan, Mochamad; Richard B. Primack dan Jatna Supriatna. 2007. Biologi


Konservasi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Flint M.L. dan P.Gouveia. 2001. IPM in Practice: Principles and Methods of
Integrated Pest Management. University of California, 296p.

6. Stabilitas pada agroekosistem rendah sedangkan pada ekosistem tinggi


Apabila ditinjau dari beberapa segi yang menjadi indikator pembeda antara
agroekosistem dan ekosistem, stabilitas ini sangat erat kaitannya dengan produksi,
siklus mineral dan keragaman daripada agroekosistem dan ekosistem itu sendiri.
Tinjauan terkait dengan siklus mineral yang ada pada agroekosistem menunjukkan
adanya human input yang ikut menyumbang terjadinya siklus hidup dalam organisme-
organisme yang ada pada agroekosistem itu sendiri. Stabilitas sendiri dapat dicapai
apabila terdapat faktor lingkungan sepeerti halnya sumber daya yang ada pada sekitar
lingkungan agroekosistem. Human input yang ada pada agroekosistem
memungkinkan kurangnya sumber daya alam pada ekosistem tersebut sebagaimana
dikarenakan adanya keikut sertaan pihak manusia sebagai pengelola untuk
meminimalisir atau menekan keragaman (diversitas) daripada spesies yang ada
dengan tujuan produksi komersial spesies atau vegetasi tertentu seperti halnya
pertanian monokultur yang marak terjadi dewasa ini, dan itu merupakan salah satu
petunjuk atas berhentinya siklus mineral yang ada pada agroekosistem. Pada suatu
agroekosistem dengan keragaman tanaman yang tinggi, akan mempunyai peluang
adanya interaksi antar spesies yang tinggi, sehingga menciptakan agroekosistem yang
stabil dan akan berakibat pada stabilitas produktivitas lahan dan rendahnya fluktuasi
populasi spesies-spesies yang tidak diinginkan (Nugroho S., 2013). Berbeda halnya
secara kenyataan pada lingkungan sekarang ini, suatu agroekosistem yang ada ditekan
sedemikian rupa sehingga stabilitas produksi yang semakin menurun (rendah) dari
musim ke musim. Perubahan mendasar pada struktur dan fungsi ekosistem akan
terjadi jika stabilitas ekosistem mengalami gangguan (Anonymous3, 2013). Hal ini
mengacu pada perubahan fungsi ekosistem menjadi agroekosistem yang
mengakibatkan perubahan struktur ekosistem secara alami terkhususkan menjadi
suatu kepentingan dalam pertanian yang mengganggu kestabilan seperti yang
dijalaskan sebelumnya.
Ekosistem alamiah sebagai lingkungan tempat hidup nyang kompleks dari segi
sumber daya alam maupun diversitas spesies-spesies vegetasi yang tinggi merupakan
sebuah landasan prinsip pengaturan agroekosistem yang diinginkan dan sedang
digalakkan dimasa sekarang. Keragaman tanaman yang tinggi dapat menciptakan
interaksi dan jaring-jaring makan yang mantap dalam suatu agroekosistem.
Keragaman dalam agroekosistem sendiri tergantung olehe beberapa karakteristik yang
menurut Rachmat Sutanto (2002) , salah satunya adalah keragaman vegetasi di dalam
dan disekitar agroekosistem tertentu. Keragaman vegetasi juga merupakan suatu
bentuk pengendalian secara hayati dalam pengendalian hama dan penyakit yang
mungkin menyerang pada agroekosistem. Mengenai keragaman vegetasi ekosistem
secara alamiah merupakan satu kestuan yang kompleks bertemunya satu vegetasi
dengan vegetasi lainnya yang membentuk satu kesatuan dari banyak vegetasi.
Simulasi Daisyworld, didukung oleh bukti dari penelitian ilmiah, telah terbukti positif
co-hubungan keanekaragaman hayati dengan stabilitas ekosistem, melindungi
terhadap gangguan oleh cuaca ekstrim atau eksploitasi manusia (James Lovelock,
2000). Dengan banyaknya atau beragamnya vegetasi yang ada pada suatu ekosistem
memungkinkan terjadinya siklus yang mantap antar vegetasi, organisme-organisme
lain (herbivore dan carnivore) dan mineral dalam ekosistem menuju sebuah
kesetimbangan, stabilitas dan terjaganya populasi di dalamnya.
Anonymous3.2013.http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55578/BAB
%20 II%20Tinjauan%20Pustaka.pdf?sequence=4. Diakses 22 Februari. 2013

Sulistyo, Nugroho. 2013. http://blog.ub.ac.id/inug/2013/02/14/pengelolaan-


agroekosistem-dalam-pengendalian-hama-terpadu/. Diakses 22 Februari 2013.

Sutanto, Rachmad. 2002. PERTANIAN ORGANIK Menuju Pertanian Alternatif dan


Berkelanjutan. Kanisius: Yogyakarta.

Lovelock, James. 2000. The ages of Gaia: a biography of our living Earth. Oxford
University Press. hlm. 213–216.

7. Energi hilang sebagai panas (Entropi) pada agroekosistem tinggi dan ekosistem
rendah.
Entropi adalah ukuran keacakan atau selang ketidakteraturan dalam suatu
sistem. Apabila dihubungkna dengan lingkungan secara nyata, antara ekosistem-
ekosistem yang ada selama ini yang erat kaitannya dengan tingginya entropi yaitu
pada ekosistem-ekosistem yang dieksploitasi. Hubungannya denga ekosistem yang
terexploitasi adalah dengan agroekosistem, mengingat agroekosistem mendapatkan
intervensi manusia untuk dikelola sebagai lahan kepentingan tertentu untuk produksi
suatu barang dan jasa selama ini. Pengelolaan pada agroekosistem memungkinkan
tidak berjalannya siklus yang secara semestinya merupakan sesuatu yang penting
dalam suatu lingkungan ekosistem. Penekanan terhadap diversitas daripada
agroekosistem menjadi lebih homogen (seragam) menunjukkan salah satu bukti
ketidak teraturan agroekosistem itu sendiri. Pensuplaian unsur hara yang berupa
pupuk yang dilakukan secara konstan juga merupakan salah satu bukti dari pada tidak
adanya pengembalian komponen yang diambil dalam suatu siklus yang juga
menunjukkan ketidak stabilan lingkungan agroekosistem sendiri. Di dalam tulisannya,
Boy Macklin (2011) menerangkan bahwa entropi sistem meningkat ketika suatu
keadaan yang teratur, tersusun dan terencana menjadi lebih tidak teratur, tersebar dan
tidak terencana. Hal ini sama halnya menjelaskan bahwa semakin tidak teratur,
semakin tinggi pula entropinya. Dan apabila dibandingkan dengan ketidak teraturan
daripada lingkungan agroekosistem sekarang ini, sangatlah sesuai jika agroekosistem
memiliki tingkat entropi yang tinggi.
Perbandingan tingkat entropi pada agroekosistem yang tinggi akibat ketidak
teraturan dan ketidak stabilan daripada agroekosistem itu sendiri sangatlah berbanding
terbalik dengan kondisi lingkungan ekosistem secara alami. Sebuah proses alami yang
bermula di dalam satu keadaan kesetimbangan dan berakhir di dalam satu keadaan
kesetimbangan lain akan bergerak di dalam arah yang menyebabkan entropi dari
sistem dan lingkungannya semakin besar (Boy Macklin, 2011). Berbeda halnya
dengan ekosistem yang secara alami tidak ada penekanan homogenitas daripada
komponen-komponen penyusunnya mengakibatkan terjaganya diversitas daripada
ekosistem itu sendiri. Salah satu indikasi daripada keteraturan dari ekosistem alami
antara lain kebalikan dari kebutuhan nutrisi pertumbuhan komponen penyusunnya
yang berupa vegetasi-vegetasi yang mampu dihasilkan sendiri tanpa harus diberikan
nutrisi tambahan (pupuk) oleh pihak lain, dan hal ini juga menunjukkan bahwa terjadi
siklus yang kompleks yang mana terjadi keseimbangan antara komponen yang
diambil komponen lain dalam ekosistem dikembalikan dalam proporsi yang seimbang
sehingga entropi pada ekosistem dapat ditekan.

Macklin, Boy. 2011. http://onlinebuku.com/2011/12/17/entropi-lingkungan/. Diakses


27 Februari.2013

8. Kendali manusia pada agroekosistem tinggi dan ekosistem rendah


Agroekosistem atau ekosistem pertanian cendering pada tingkat keragaman
yang rendah yang mengacu pada stabilitas yang rendah pula di dalam agroekosistem
itu sendiri. Ketidak stabilan tersebut lebih pada kurang baiknya siklus kehidupan yang
ada di dalam agroekosistem itu sendiri yang berdampak pada macetnya pengembalian
energi yang telah diambil oleh organisme-organisme hidup di dalamnya sehingga juga
berpengaruh pada ketersediaan sumber pangan atau kelanjutan habitat daripada
otganisme-organisme yang hidup. Agroekosistem merupakan salah satu bentuk
ekosistem binaan manusia yang dikelola semaksimal mungkin untuk memperoleh
produksi pertanian dengan kualitas dan kuantitas yang sesuai kebutuhan manusia
(Anonymous 1, 2013). Adanya kegiatan pengolahan lahan, perawatan tanaman
budidaya dan kegiatan pemupukan merupakan sebuah faktor pengendalian oleh
manusia terhadap ekosistem pertanian untuk mendapatkan prosuksi yang tinggi.
Kegiatan-kegiatan tersebut menunjukkan adanya pengupayaan oleh manusia atas
produksi daripada agroekosistem yang merupakan keintensifitasan kendali manusia
yang tinggi di dalamnya.
Perbandingan yang berbeda terhadap kendali manusia ditunjukkan pada
ekosistem secara normal alami. Ekosistem yang dikatakan seimbang adalah apabila
semua komponen baik biotik maupun abiotik berada pada porsi yang seharusnya baik
jumlah maupun peranannya dalam lingkungan (Aldin, 2011). Porsi yang seimbang
berhubungan dengan jumlah energi yang diambil sama dengan jumlah energi yang
dikembalikan nantinya, juga berhubungan antara perkembangbiakan dengan predasi
atau kematian organisme-organisma meliputi vegetasi-vegetasi. Apabila ditelaah
mengenai keseimbangan proporsi dalam suatu ekosistem alamiah, human input
sangatlah minim atau bahkan tidak ada sama sekali. Diversitas yang tinggi pada
ekosistem alamiah memungkinkan terjadinya pengembalian energi yang hilang secara
alamiah pula sehingga human input tidak diperlukan di dalamnya sebagai penunjang
siklus kehidupan yang terjadi dalam suatu ekosistem.

Aldin. 2011. http://salmaghaliza.blogspot.com/2011/11/keseimbangan-


ekosistem.html. Diakses 22 Februari 2013.
Anonymous 1. 2012. http://materimahasiswa.wordpress.com/2012/05/04/ekosistem-
pertanian-agroekosistem/. Diakses 22 Febriari 2013.

9. Kepermanenan temporal agroekosistem pendek dan ekosistem panjang.


Kepermanenan agroekoseistem sendiri erat kaitannya dengan vegetasi-
vegetasi yang ada di dalamnya yang dikarenakan karena atas suatu kepentingan
tertentu dalam pembuatnnya. Kepermanenan dalam agroekosistem tersebut
dipengaruhi oleh manusia sebagai pengelola seperti halnya kegiatan pemanenan hasil
agroekosistem yang memungkinkan vegetasi-vegetasi yang diproduksi dalam
agroekosistem tersebut terambil, dan hal ini tentu akan terus berlangsung dari musim
tanam ke musim tanam selanjutnya sebagaimana kegiatan budidaya semestinya.
Selain itu, kepermanenan suatu komponen dari agroekosistem sendiri dipengaruhi
oleh tanah (bahan organik tanah) yang mempunyai peranan besar dalam menentukan
baik tidaknya suatu pertumbuhan komponen dari pada agroekosistem dalam hal ini
adalah tanaman-tanaman yang diusahakan untuk produksi yang merupakan suatu
kelanjutan dari aktivitas musiman dalam pengambilan komponen agroekosistem yang
berakibat pada minimnya Bahan organik yang tersumbang secara alamiah atu juga
secara berkecukupan. Bahan organik penting dalam perbaikan sifat-sifat fisik tanah,
terutama melalui peningkatan ukuran dan stabilitas agregat. Peningkatan ukuran dan
stabilitas agregat berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap sifat-sifat
fisik tanah lainnya, antara lain peningkatan kapasitas retensi air dan jumlah air
tersedia, peningkatan pori makrodan meso, peningkatan porositas total, peningkatan
aerasi dan peningkatan permeabilitas serta infiltrasi. Apabila tanah kandungan
humusnya semakin berkurang, maka lambat laun tanah akan menjadi keras, kompak
dan bergumpal, sehingga menjadi kurang produktif (Stevenson, 1982). Hal tersebut
akan berpengaruh pula pada penurunan kapasitas retensi air dan jumlah air tersedia,
penurunan pori makro dan meso, penurunan porositas total, penurunan aerasi dan
penurunan permeabilitas serta infiltrasi Hal inilah yang menjadi dasar suatu
keberlangsungan hidup bagi komponen-komponen dalam agroekosistem, sehingga
dapat dikatakn kpermanenannya sangat pendek.
Campur tangan dari manusia (Human Input) yang minim sekali atau bahkan
tidak ada memungkinkan ekosistem memiliki suatu kenyataan yang berbanding
terbalik dengan agroekosistem. Hutan yang notabenya masih termasuk ke dalam
ekosistem alami apabila ditinjau lebih dalam memiliki spesifikasi yang terbalik
dengan agroekosistem yang telah diuraikan sebelumnya. Aspek kesehatan ekosistem
lebih berhubungan dengan pola penutupan vegetasi dalam kisaran kondisi-kondisi
ekologi yang luas (Sumardi dan S.M. Widyastuti, 2004). Hal ini ditunjukan ketika
melihat pola persebaran vegetasi-vegetasi yang ada di lapang, hutan memiliki
vegetasi-vegetasi yang merata dan aktivitas ekologi yang kompleks antara komponen
satu dengan komponen yang lainnya dalam ekosistem tersebut, yang memungkinkan
pola pengembalian mineral yang baik pula, sehingga antara konsumsi dan produksi
bahan-bahan yang diambil secara alamiah oleh komponen daripada ekosistem tersebut
memperoleh keseimbangan yang berpengaruh pada kepermanenan daripada ekosistem
itu sendiri yang mengalami keberlanjutan yang baik(panjang).

Sumardi dan S.M. Widyastuti. 2004. Dasar-Dasar Perlindungan Hutan. Yogyakarta :


Gadjah Mada University Press.
Stevenson, F.T. (1982) Humus Chemistry. John Wiley and Sons, Newyork.

10. Heterogenitas Habitat agroekosistem sederhana dan ekosistem kompleks.


Keterbatasan jumlah vegetasi yang meliputi segi keragaman spesies dan
genetis yang sangat terbatas akibat terjadinya penekanan produksi komponen-
komponen agroekosistem dalam hal ini adalah vegetasi tertentu sebagai sarana
produksi memungkinkan adanya pembatasan heterogenitas pada agroekosistem itu
sendiri. Diversitas organisme sangat diperkecil untuk memaksimumkan hasil bahan
makanan atau produk lainnya (Ryanto dkk.,1985). Dengan demikian diharapkan tidak
adanya persaingan antara organisme (vegetasi) sebagai komponen yang memproduksi
hasil tertemtu dengan komonen yang tidak diinginkan keberadaannya yang berada
disekitar komponen yang ditujukan untuk produksi dalam agroekosistem. Dengan
demikian tujuan mendapatkan produksi yang tinggi dapat diwujudkan.
Keanekaan spesies yang lebih tinggi akan membentuk rantai-rantai pakan
yang lebih panjang dan lebih banyak kasus simbiosis, sehingga mengurangi gangguan
akibat rantai pakan itu menjadi mantap (Odum, 1994). Kemantapan rantai pakan
mengacu pada ketersediaan jumlah bahan makanan yang tercukupi, dimana
organisme-organisme akan saling bertemu untuk melangsungkan kehidupan atau
membentuk sebuah habitat pada tempat tersebut. Seperti sebelumnya yang telah
dijelaskan oleh Ryanto dkk (1985) tentang penekanan diversitas pada agroekosistem
untuk meningkatkan produksi produk-produk lain dalam agroekosistem, menunjukkan
bahwa dalam agroekosistem memilikidiversites yang rendah. Diversitas yang rendah
pada agroekosistem mengacu pada keterbatasan jumlah simbiosis yang terjadi,
sehingga rantai-rantai makanan terganggu yang berakibat pada minimnya jumlah
habitat pada agroekosistem seperti yang telah dijelaskan oleh Odum (1994). Pada
komunitas lingkungan yang mantap seperti hutan hujan tropik, akan mempunyai
keanekaan spesies yang lebih tinggi daripada komunitas-komunitas yang dipengaruhi
oleh gangguan musiman secara periodik yang dilakukan oleh manusia atau alam
(Odum, 1994). Sehingga kemungkinan keberadaan habitat berbagai oraganisme
sangat mungkin terjadi disana, dengan kata lain ekosistem secara alami memiliki
heterogenitas yang lebih kompleks dibanding dengan agroekosistem.

Odum, E. P. 1994. Dasar-Dasar Ekologi. Yogyakarta. UGM press

Ryanto,dkk.1985. Ekologi Dasar 1. Badan kerjasama perguruan tinggi Negeri


Indonesia Bagian Timur. Ujung pandang.

11. Fenologi agroekosistem terjadi sinkronisasi dan ekosistem musiman.


Fenologi pada dsarnya adalah konsentrasi studi mengenai pengaruh iklim atau
lingkungan sekitar terhadap penampilan suatu organisme atau populasi. Fenologi
berkaitan erat dengan adaptasi sedangkan adaptasi yang rendah dapat mempengaruhi
eksistensi tumbuhan di suatu tempat dan membatasi penyebaran geografis tumbuhan
tersebut. Aktifitas fenologi tumbuhan seringkali dipakai sebagai indicator adanya
perubahan musim yang bersifat timbal balik dengan perubahan aktifitas tumbuhan,
karena adanya sinkronisasi antara musim dan aktifitas fenologi tumbuhan. Pembahsan
tentang fenologi yang terjadi pada groekosistem dan ekosistem tentulah berbeda,
Tanaman pertanian memiliki kesamaan tipe dan umur, sehingga strutur vegetatifnya
pun seragam dan peristiwa fenologi tertentu seperti masa berbunga pun terjadi di
hampir semua tanaman pada waktu yang sama. Selain itu, tanaman pada
agroekosistem yang memang dikelola untuk berproduksi atau memproduksi suatu
bahan pangan, sandang ataupun papan dan lebih terkhusus pada pangan
memungkinka adanya sinkronisasi terhadap fenologi daripada tanaman tersebut untuk
melakukan produksinya lebih cepat atau lebih banyak. Fenologi diduga merupakan
sebuah respon dari tanaman terhadap faktor-faktor lingkungan pada suatu daerah yang
mana merupakan manifestasi dari interkasi komponen struktur dan fungsi tanaman
terhadap lingkungannya (PHILLIPS 1980). Maka hal tersebutlah yang memaksa
adanya sinkronisasi antara tanaman dengan lingkungannya guna mempercepat siklus
produksi dari tanaman dalam agroekosistem tersebut.
Berbeda halnya pada ekosistem, tidak adanya pengelolaan pada ekosistem
memungkinakn tidak adanya pengaturan kehidupan didalamnya. Fenologi yang
terjadi di dalam agroekosistem sendiri lebih mengacu (terjadinya) pada keadaan
musim karena tidak adanya penekanan pada ekosistem untuk melakukan produksi
guna pemenuhan kebutuhan tertentu, sehingga fenologi pada lingkungan ekosistem
(alami) lebih bersifat musiman atau alami menurut lingkungan tempat tumbuh
komponen-komponen ekosistem tersebut.

PHILLIPS, R.C. 1980. Phenology and tax-onomy of seagrasses. In : Handbook of


seagrass biology : an ecosystem perspective (R.C. Phillips and C.P. McRoy, eds.).
Garland STPM Pres, New York: 29-40.

12. Kematangan agroekosistem (tdk matang,suksesi awal) dan ekosistem


(matang,klimaks).
Kematangan pada agroekosistem sendiri memiliki makna antara kematangan
daripada hasil agroekosistem itu sendiri dan dapat juga dihubungkan dengan
kematangan usia komponen-komponen agroekosistem (vegetasi). Namun antara
kematangan hasil produksi dari komponen-komponen agroekosistem itu sendiri juga
memiliki hubungan yang sangat erat dengan usia komponen agroekosistem itu.
Seperti contohnya saja tanaman monokultur pada sebuah agroekosistem dikelola
sedemikian rupa untuk produksi atau memproduksi pangan yang nantonya
dimanfaatkan oleh banyak manusia. Tanaman monokultur yang di tanam pada suatu
agroekosistem diilustrasikan tanaman padi. Padi secara maksimal mampu tumbuh
atau hidup hingga berumur 5-6 bulan. Dari beberapa pengkajian mengenai padi,
lamanya produksi padi tersebut menuntut adanya suatu perubahan sifat untuk
menunjang peningkatan produksi padi dalam waktu yang singkat. Karena tuntutan itu,
akhirnya dilakukan suatu perubahan sifat genetik padi dengan masa tanam yang
pendek denga usia produksi siap ambil kurang lebih sekitar 3 bulan. Selain itu
kematangan dari biji padi sendiri tak jarang langsung diambil ketika faktor
lingkungan tidak mendukung seperti halnya genangan air banjir pada agroekosistem
yang memungkinkan tanaman padi tidak mencapai klimaks dalam kematangannya.
Selain itu karena adanya pemanenan dan kemudian dilanjutkan dengan penanaman
vegetasi baru pada agroekosistem oleh manusia sebagai pengelola daripada
agroekosistem menunjukkan adanya pengaturan suksesi pada lingkungan
agroekosistem tersebut (suksesi lebih awal dibanding semestinya secara alami). Tim
Dosen Biologi FMIPA (2010), menegaskan bahwa bila ekosistem dieksploitasi dan
dikelola, maka kematangannya akan menurun. Hal ini juga terlihat pada agroekosistem yang
merupakan salah satu macam dari ekosistem, dimana terjadi pengolahan di dalamnya bahkan secara
intensif memungkinkan terjadinya penurunan kematangan atau bahkan tidak terjadi kematangan
pada komponen-komponen (vegetasi yang dibudidayakan) di dalam agroekosistem.
Perbedaan yang signifikan sehubungan dengan hal kematangan ditunjukkan
pada lingkungan ekosistem secara alami. Tidak adanya intervensi manusia untuk
mengelola sumber daya alam pada ekosistem yang masih alami memungkinkan
meningkatnya jumlah maupun interaksi populasi-populasi organisme atau komponen-
komponen yang ada pada suatu ekosistem. Tim Dosen Biologi FMIPA (2010)
menyatakan, hubungan di antara populasi akan menghasilkan relung baru, sehingga terjadi
akumulasi jenis dalam suatu ekosistem dan pengingkatan kematangan berkem-bang ke proses-
proses kemandirian. Kelamaian sebuah ekosistem memungkin suatu perkembangan atau
perkembangbiakan daripada komponen-komponen penyusun ekosistem tidak mengalami tekanan,
dan akan terus mengalami kenaikan jumlah, jenis, sifat genetis maupun interaksi diantara mereka
yang semakin kompleks. Komponen penyusun ekosistem ini akan berjalan secara alami sampai
akhirnya timbul suksesi sekunder secara alami pula yang juga menandakan adanya pertumbuhan
yang mencapai klimaks.

Tim Dosen Biologi FMIPA. 2010. Ekologi Tumbuhan. Universitas Hasanudin

TUGAS II

Sifat Agroekosistem
Keanekarag Kepermane Stabilitas Tingkat
Tipe Agroekosistem aman nan Iklim Isolasi
vegetasi tanaman -----> ------>
------> ------>
1. Hutan tropis yang telah **** ***** ***** *
dimodifikasi
2. Pertanian subsisten didaerah *** **** **** **
tropis dan tempirit
3. Area pertanian yang telah ** *** ** ***
berkembang
4. Area pertanian beririgasi ** ** ** ****
5. Tanaman semusim monokultur * * * *****
6. Produk simpanan * * *** ******
7. Rumah kaca * ** ***** ******

Pembahsan Tabel.(Keragaman vegetasi)

1. Hutan tropis yang telah termodifikasi


Pada dasarnya hutan hujan tropis merupakan hutan dengan kelebatan permukaan yang
tinggi dan juga dicirikan curah hujan yang tinggi. Keanekaragaman hayati sebuah hutan
hujan menunjukkan begitu tingginya tingkat komposisi kekayaan spesies hutan tersebut.
Tingkat komposisi kekayaan spesies hutan bisa dipengaruhi oleh keadaan spesies pada
awalnya dan kesempatan hidup spesies tersebut. Terdapat pembahasan yang menyebutkan
bahwa kedua faktor ini lebih mempengaruhi tingkat kekayaan spesies hutan dibandingkan
faktor kompetisi diantara spesies. Kekayaan spesies dengan keragaman hayati yang ada
sendiri lebih mengacu pada kondisi habitat daripada komponen-komponen penyusun hutan
hujan tropis tersebut. Habitat sendiri sangat menentukan tersedianya jumlah makanan bagi
komponen-komponen hidup penyusun ekosistem hutan hujan tropis. Dengan keragaman
hayati yang begitu tinggi siklus-siklus hidup di dalamnya pasti mengalami siklus rantai
makanan yang baik pula. Sedangkan apabila dihubungkan dengan eksploitasi hutan hujan
tropis yang sekarang ini marak pada hutan hujan tropis di Indonesia. Kemungkinan terjadinya
penurunan habitat sebagai sumber penghasil pangan bagi organisme di dalamnya akibat dari
ekploitasi tersebut sangatlah mungkin terjadi. Namun apabila ditinjau secara lebih spesifik,
ekploitasi hutan hujan kini masih mengacu pada penanaman kembali vegetasi jenis lain dan
tak jarang tidak mengurangi vegetasi utama pada hutan hujan tersebut. Seperti contohnya
pengurangan semak-semak yang kemudian diganti dengan tanaman pangan lain, hal ini tentu
masih dapat mempertahankan keragaman yang ada di wilayah tersebut, namun karena
terjadinya penyesuaian habitat kembali karena adanya pergantian beberapa fegetasi
memungkin keragaman sedikit tertekan (berkurang).

2. Pertanian subsisten didaerah tropis dan tempirit


Apabila ditinjau dari cara pengelolaannya, setiap kegioatan pertanian tentu mendapat
suatu intervensi tertentu dari pengelolanya. Intervensi tersebut dapat berupa cara pengolahan
lahan tersebut, pengambilan panen dan pengelolaan hama penyakit. Pertanian subsisten yang
masih agaak mengacu dengan pertanian tradisional memungkinkan minimlanya pengunaan
bahan-bahan yang mampu menurunkan kesempatan hidup organisme (vegetasi) lain yang
dapat hidup di dalamnya dan kemampuan sumber daya lahan menyediakan apa yang
dibutuhkan untuk melakukan hidup bagi para organisme-organisme penyusun pertanian
subsisten tersebut. Masih terkordinasinya sistem pertanian yang polykultur karena pada
dasarnya sendiri diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan sendiri juga memungkinkan
diterapkan sistem tumpang sari yang berisikan beberapa jenis tanaman dalam satu luasan
lahan pertanaman, sehingga keberagaman dari sistem pertanian subsisten masih terbilang
agak cukup sedang. Dan begiitu pula apabila dibandingkan dengan pertanian tempirit yang
berada pada 4 musim tanam. Kemungkinan adanya vegetasi dari suatu luasan lahan tanamn
masih mungkin terjadi sehingga keragaman yang ada masih terbilang cukup sedang.

3. Area pertanian yang telah berkembang


Pertanian yang telah berkembang pada dasarnya banyak yang mengacu pada sistem
pertanian secara konvensional meskipun tak jarang yang mencoba menekankan pada sistem
pertanian yang berkelanjutan. Pertanian konvensional yang pada dasarnya tidak berpihak
pada kelanjutan kehidupan lingkungan yang berkualitas Pada area pertanian yang telah
berkambang kondisi lingkungan yang secara berkelanjutan akan nmengalamai perluasan.
Berbeda halnya dengan pertanian tradisional yang notabenya bertujuan untuk mencukupi
kebutuhan dalam ruang lingkup yang sempit, pertanian konvensional biasa digunakan pada
kegiatan pemenuhan kebutuhan pangan dalam skala yang luas. Hal ini memungkinkan
adanya penekanan dari segi keragaman tanaman yang dibudidayakan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pangan tertentu. Seperti halnya saja pada perkebunan yang
menekankan jumlah produksi yang berlimpah. Hal ini diwujudkan denganperluasan lahan
dan penggunaan bahan-bahan kimia peningkat produksi serta penenaman monokultur. Hal ini
tentu sangat menekan keragaman spesies daripada pertanian itu sendiri mengingat terdapat
suatu pengusahaan untuk memperbanyak produksi. Disamping itu keragaman yang mjungkin
muncul dapat berupa organisme-organisme lain yang tidak diinginkna seperti hama atau juga
gulma.

4. Area pertanian beririgasi


Area pertanian beririgasi bukan merupakan indikator air yang dibutuhkan oleh
tanaman mengalami ketercukupan. Beberapa hal yang mempengaruhi hal tersebut lebih
dikarenakan tanaman apa yang dibudidayakan pada lahan pertanian tersebut. Apabila suatu
lahan pertanian dibudidayakan tanaman dengan tingkat sukulen yang tinggi maka irigasi
yang berlebihan pada tanaman tersebut juga tidak terlalu baik. Hal kedua yang
mengakibatkan tingkat keanekaragaman area pertanian beririgasi kurang memiliki
heterogenitas yang tinggi adalah kemungkinan aliran air irigasi berpeluang untuk
mengangkut unsur-unsur hara yang telah ada pada lahan pertanian disekitarnya yang
berakibat hilangnya atau terbawanya unsur hara yang diperlukan bagi tanaman tersebut ke
tempat lain. Hal ini memungkinkan tanaman yang dibudidayakan di areal pertanian tersebut
tidak mendapatkan nutrisi yang cukup sehingga kemungkinan tanaman hidup sangatlah
rendah yang berdampak pada keragaman yang tidak terlalu tinggi pula padaarea pertanian
tersebut.

5. Tanaman semusism monokultur


Tanaman semusim monokultur memungkinkan terjadinya penekanan beberapa jenis
atau macam tanaman yang dibudidayakan pada suatu lahan. Penekanan terhadap beberapa
jenis ini nantinya akan berpengaruh pada pembatasan diversifikasi tanaman yang hidup itu
sendiri. Seperti yang diketahui penanaman secara monokultur secara umumnya sendiri hanya
menanam satu jenis tanaman, hal ini juga mengacu pada terbatasnya keragaman yang ada
sehingga keragaman yang ada didalam sistem penanaman tanaman semusim secara
monokultur ini sangatlah rendah dibanding sistem-sistem lainnya.

6. Produk simpanan
Di dalam agroekosistem, produk simpanan sendiri lebih terfokuskan pada sistem
pertanian yang memproduksi bahan-bahan simpanan seperti halnya pada hutan produksi yang
menanam tanaman utama berupa pepohonan kayu (jati, sengon dsb.). kadar karbon yang
terkandung dalam tanaman kayu tersebut dimungkinkan merupakan suatu produk simpanan
dari agroekosistem yang berupa hutan produksi tersebut. Berbeda halnya dengan hutan
termodifikasi, pada hutan produksi ini pengelolaan daripada komponennya telah banyak
tergantung oleh keikut sertaan manusia di dalamnya untuk mengelola. Dengan adanya
kepentingan dalam hutan produksi tersebut, tentunya terdapat penekanan terhadap
keragaman-keragaman di dalamnya agar terjadi suatu tingkat produksi yang tinggi dan
seragam pada produksinya.

7. Rumah kaca
Rumah kaca dalam tipe agroekosistem lebih mengacu pada maksut rumah kaca dalam
arti sempit yakni pada bagian pertanian saja seperti halnya glass house dan green house yang
banyak memiliki komponen penyususn berupa kaca. Apabila melihat dari fungsinya sendiri
rumah kaca lebih dominan ke arah penelitian, termasuk di dalamnya meliputi kegiatan
penangkaran, karantina dan aklimatisasi tanaman hasil dari kultur jaringan. Berdasarkan
tujuannya tersebut dapat dikaitkan dengan macam atau jenis daripada tanaman yang masuk
dalam kegiatan penelitian. Kegiatan penelitian sendiri biasanya dan kebanyakan lebih tertuju
pada satu jenis tanaman saja seperti halnya kegiatan kultur jaringan yang pada suatu project
kegiatannya hanya satu jenis, dan begitu juga pada kegiatan aklimatisasinya yang dilakukan
serempak (sejenis) pada rumah kaca meskipun nantinya ada pergiliran jenis tanaman yang
dikulturkan. Dengan dialakukannya hal tersebut tentunya tipe agroekosistem dalam rumah
kaca sangatlah terbatas sehingga memilik keragaman yang sangat terbatas.
Kemudian dari enam perbandingan tipe agroekosistem dari segi keragaman
vegetasinya dapat diketahui dan disimpulakan bahwa keragaman pada hutan tropis memiliki
tingkatan tertinggi, kemudian keragaman pada tanaman semusism monokultur, produk
simpanan dan rumah kaca memiliki tingkatan yang setara (sama).

Kepermanenan tanaman

1. Hutan tropis yang telah termodifikasi


Tinjauan mengenai hutan tropis yang telah termodifikasi mengacu pada
hubungannya tehadap intervensi manusia. Namun suatu modifikasi pada hutan tropis
sendiri merupakan sebuah indikasi bahwa hutan tersebut telah mengalami intervensi oleh
manusia dan dikelola sedemikian rupa untuk suatu kepentingan. Intervensi tersebut dapat
dicontohkan pada sistem-sistem pertanian yang berada di area hutan seperti halnya
agroforestry. Agroforestry yang diterapkan, tentu tidak berpengaruh pada komponen
utama dari pada hutan tropis tersebut. Sistem agroforestry hanya memanfaatkan sela-sela
kosong diantara tanaman utama dalam suatu hutan. Sehingga dari penerapan sistem
agroforestry sendiri tidak akan mengurangi ataupun merusak komponen utama atau
komponen alami yang terdapat pada hutan tersebut. Kepermanenan hutan hujan sendiri
dapat diukur dari lamanya waktu hidup vegetasi yang berada dalam suatu lingkungannya
(hutan tropis) sampai vegetasi tersebut mampu melakukan satu siklus hidupnya. Apabila
peluang hidup suatu vegetasi mampu melangsungkan satu siklusnya dalam satu tempat
yang sama maka vegetasi hidup tersebut memiliki kepermanenan yang tinggi. Sama
halnya ketika proses pengambilan produk, komponen utama daripada hutan hujan
tersebut yang telah mengalami modifikasi akibat pengaplikasian sistem agroforestry juga
akan menetap (tidak ikut berpindah), sehingga hanya hasil dari produk yang disisipkan
dalam hutan hujan yang dimodifikasi sebagai agroforestry saja yang dimanfaatkan dan
karena hal tersebutlah hutan tropis dikatakan memiliki kepermanenan yang tinggi.

2. Pertanian subsisten didaerah tropis dan tempirit


Pertanian secara subsisten sendiri sering dikaitkan dengan pengelola lahan
(petani) yang mengolah lahannya untuk satu jenis tanaman tertentu secara berkala.
Namun berdasarkan hasil panen yang diperoleh nantinya pertanian sistem subsisten
merupakan kegiatan usaha tani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Jadi, petani hanya melakukan kegiatan budidaya untuk melangsungkan kehidupannya
sendiri. Sama halnya pada daerah tropis yang memiliki dua musim dan tempirit yang
memiliki empat musim, pertanian secara subsisten tidak akan bergeser dari konteks
pengertiannya yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya(pengelola) sehari-hari. Hal
ini apabila dikaitkan dengan bagaimana kepermanenan daripada pertanian subsisten
sendiri dapat dilihat dari produk yang dihasilkan. Produk yang dihasilkan sendiri akan
diambil ketika pengelola(petani) membutuhkan produk yang dibudidayakannya untuk
hidupnya, dan ketika sedang tidak membutuhkannya maka tidak dilakukan
pengambilan sampai suatu saat tertentu ketika dibutuhkan kebutuhan lain yang
memungkinkan tanaman yang dibudidayakan sedikit demi sedikit digantikan dengan
kebutuhan selanjutnya.

3. Area pertanian yang telah berkembang


Dalam suatu perkembangan suatu sistem pertanian, perkembangan bukan
hanya dari segi produksinya saja, melainkan cara-cara memmanage pertanian itu
sendiri seperti halnya penggunaan pupuk untuk peningkatan produksi, pengendalian
hama penyakit dan penggunaan teknik-teknik lain yang menunjang keberhasilan
sistem budidaya dalam pertanian yang berkembang tersebut. Perkembangan pertanian
tidak hanya diikuti dengan managing dari sistem pertanian tersebut, namun juga
diikuti dengan peningkatan kualitas hasil pertanian tersebut. Dengan adanya
peningkatan tersebut terjadi pula permintaan pasar yang meningkat yang
memungkinkan produksi daripada pertanian tersebut terus ditekannkan. Penekanan ini
dapat saja dilakukan ketika produk belum mencapai klimaks (matang), seperti
contohnya tanaman holticultura dan lebih condong pada kelas pomology (buah-
buahan). Ketika buah sedang dalam proses generatif menuju pematangan, buah akan
diambil dan akan dilakukan pemaksaan pemeraman ataupun forching dengan
menggunakan etilen. Hal ini memungkinkan adanya pengambilan produk yang
berkelanjutan yang menuntut rentan waktu yang pendek, sehingga hal ini
mengakibatkan penurunan kepermanenan produk dari agroekosistem (pertanian
berkembang) itu sendiri meskipun tanaman utama sebagai penghasil produk tetap
permanen pada lahan tersebut. Ditinjau dari segi kepermenenan tanaman sendiri
sangat berhubungan dengan kebutuhan nutrisi (unsur hara bagi tanaman itu sendiri),
pada lahan pertanian berkembang dengan komoditas tanam berupa kacang-kacangan,
sisa dari tanaman tersebut akan dipermanenkan pada lahan tempat tumbuhnya guna
untuk pencukupan unsur N bagi tanaman selanjutnya yg akan ditanam, sehingga
kepermanenan pada sistem pertanian ini masih cukup terjaga.

4. Area pertenian beririgasi


Sistem pertanian yang dilakukan secara umumnya memerlukan komponen
penunjangnya seperti halnya air. pemenuhan kebutuhan air dalam suatu sisitem
pertanian ini diwujudkan dalam bentuk irigasi pada persawahan. Perbedaan mendasar
pada sistem pertanian beririgasi dengan sistem pertanian yang lain adalah keadaan
irigasinya yang selalu tersedia untuk kebutuhan pertanian pada lahan beririgasi
tersebut. Kepermanenan tanaman daripada lahan beririgasi ini dinilai dari kemampuan
tanaman yang ada pada lahan beririgasi tersebut untuk melangsungkan hidup. Pada
dasarnya kemampuan tanaman untuk respon terhadap adanya air sangatlah berbeda
tergantung dari kondisi lingkungan mikronya. Pada kondisi mikro yang kurang baik,
irigasi yang tidak sesuai mampu mengakibatkan kematian atau menciptakan keadaan
yang kurang baik bagi tanaman tersebut yang nantinya berdampak pada kematian
tanaman. Ketersediaan air yang melimpah juga memungkinkan timbulnya gulma pada
lahan pertanian yang mampu menjadi pesaing nutrisi bagi tanaman utama yang
berakibat pada matinya tanaman utama dan selanjutnya digantikan oleh gulma.
Namun meskipun demikian resistensi tanaman terhadap adanya air berbeda-beda, ada
yang masih bisa melangsungkan hidup dan ada yang tidak, sehingga kepermanenan
tanaman di area ini berada pada tingkat menengah kebawah.

5. Tanaman semusim monokultur


Keberadaan tanaman semusim secara monokultur di area agroekosistem
menunjukkan adanya intervensi dari manusia sebagai pengelola. Kadaan yang
menuntut adanya suatu keragaman atau diversifikasi dilakukan penekanan terhadap
diversitas tersebut dan digunakan suatu sistem monokultur dengan diversitas tanaman
yang terbatas. Pertanian secara monokultur menunjukkan adanya sebuah tujuan untuk
melakukan proses produksi dari suatu kegiatan budidaya untuk mendapatkan produksi
yang tinggi. Apabila ditinjau lebih luas, tanaman semusim monokultur lebih erat
kaitannya dengan sistem pertanian secara konvensional. Sistem pertanian
konvensional erta kaitannya dengan adanya penekanan jumlah produksi tanaman
budidaya. Sehingga pergantian dari satu tanaman dengan tanaman lainnya akan
dilakukan secara lebih intensif yang mengindikasi adanya perpindahan tanaman dari
tempat tersebut. Hal ini menunjukkan adanya kepermanenan tanaman yang rendah
pada lahan tanaman semusim monokultur tersebut.

6. Produk simpanan
Produk simpanan sendiri dapat dikatakan sebagai hasil produksi dari kegiatan
budidaya yang berada pada luar suatu lahan tanam yang membentuk ekosistem
tersendiri dalam suatu tempat dimana produk itu berada selanjutnya. Produk simpanan
ini merupakan hasil utama yang akan dimanfaatkan secara luas, sehingga akan terjadi
ketidak tetapan tempat dimana produk simpanan itu berada sampai produk itu
digunakan. Perpindahan yang mungkin terjadi secara berkelanjutan ini menunjukkan
tingkat kepermanen yang sama rendahnya ketika hasil produk kegiatan budidaya ini
diproduksi dalam bentuk pertanaman monokultur.

7. Rumah kaca
Rumah kaca yang notabenya digunakan untuk kegiatan-kegiatan research
(penelitian) tertentu terkhusus pada tanaman. Sebagai contohnya ketika dilakukan uji
ketahanan suatu tanaman terhadap kedaan lingkunga yang tidak mendukung
pertumbuhan tanaman tersebut pada keadaan sebelumnya. Tanaman selanjutnya akan
dipermanenkan dalam rumah kaca tersebut dalam suatu keadaan sebagai indikator
penguji sampai bebrapa waktu tertentu ketika tanaman tersebut menunjukkan respon
terhadapa apa yang diberikan. Tanaman yang ada pada rumah kaca ini akan berada
menetap sampai akhirnya diketahui hasil dari tujuan dilakukan penempatannya dalam
rumah kaca sebelum nantinya dilepas secara meluas. Sehingga dapat dikatakan
kepermanenan tanaman pada rumah kaca cukup rendah.
Dari beberapa tipe agroekosistem yang ada yang diperbandingkan antara tipe
agroekosistem satu dengan tipe agroekosistem lain, diketahui bahwa tipe
agroekosistem hutan tropis yang telah termodifikasi masih memiliki tingkat
kepermanen yang paling tinggi dan kemudian tingkat kepermanenan yang terendah
ada pada tanaman semusim monokultur dan produk simpanan yang mana dikelola
dengan intensif.

Stabilitas Iklim
1. Hutan tropis yang di modifikasi
Dimana pada dasarnya hutan hujan tropis merupakan hutan yang kelebatan
permukaannya tinggi,dan juga di cirikan dengan tingkat intensitas hujannya
tinggi,oleh karena itu tingkat kestabililan iklimnya pun masih tinggi.Hutan hujan
tropis masih menyimpan banyak tanaman-tanaman besar di mana sangat membantu
dalam keasrian hutan tersebut,meskipun hutan hujan tropis sekarang telah banyak di
jadikan sebagai lahan pertanian,tetapi pohon-pohon atau pun tanaman-tanaman besar
masih tetap di pertahankan.

2. Pertanian subsisten didaerah tropis dan tempirit


Pada pengertiannya sendiri pertanian subsisten adalah pengolahan lahan yang
masih menggunakan alat tradisional,di mana penggunaan teknologi secara tradisional
inilah yang membuat ekosistem pada lahan garapan tidak rusak oleh karena itu iklim
pada lahan pertanian subsisten di daerah tropis masih tinggi di dukung dengan
keadaan iklim di daerah tropis yang berangsur normal dengan masih terjaganya
keadaan ekosistem yang tidak rusak.

3. Area pertanian yang telah berkembang


Area pertanian yang telah berkembang melihat dari kata berkembang disini
berarti area pertanian ini harus mengalami perkembang,baik luasan atau area lahan
dan juga dari teknologi yang di pakai.Yang biasanya masih menggunakan teknologi
tradisisonal menjadi teknologi modern,dulunya lahan yang sempit menjadi besar atau
mengalami perlebaran.Hal inilah yang menyebabkan keberadaan intensitas iklimnya
rendah.

4. Area pertanian beririgasi


Di mana area tanaman beririgasi telah banyak mengalami perubahan bentuk
lahan di karenakan pola pertaniaan yang menggunakan irigasi harus menyesuaikan
dengan konsep irigasi yang akan di terapkan.Adanya hal ini maka proyek-proyek
irigasi yang besar akan merusak ekosistem dan menyebabkan tingkat kestabilan
iklimnya rendah.

5. Tanaman semusim monokultur


Di mana tanaman semusim monokultur adalah menanam satu jenis tanaman,
hal ini lah yang akan menyebabkan tingkat intensitasiklimnya rendah,karena tidak
adanya tanaman lain yang menjaga tingkat intensitas iklimnya

6. Produk simpanan
Produk simpanan di sini tingkat intensitas iklimnya sedang di karena produk
simpanan akan mengalami kerusakan apabila intensitas iklimnya tinngi sebaliknya
apabila intensitas iklimnya rendah juga akan mengalami kerusakan oleh karena hal ini
maka intensitas iklimnya harus di jaga dengan iklim rendah agar menghasilkan
produk simpanan yang berkualitas.
7. Rumah kaca
Rumah kaca sangat di kaitkan dengan kegiatan penangkaran, karantina dan
aklimatisasi tanaman hasil dari kultur jaringan.Di mana pada kegiatan-kegiatan
tersebut sangat di butuhkan tingkat ke optimalan suhu atau iklim yang sesuai dengan
kebutuhan,oleh karena itu tingkat intensitas iklimnya tinggi.di sesuaikan dengan
kebutuhan kegiatannya.karena iklim sangat berperan penting dengan kelancaran
kegiatan yang akan di lakukan.

Tingkat Isolasi
1. Hutan tropis yang telah dimodifikasi
Tingkat isolasinya sangat rendah di karenakan tidak adanya aktifitas alih
lahan,di mana hutan tropis di jaga kelestariannya,karena peran hutan yang menjaga
kestabilan iklim di dunia,oleh karena itu kegiatan alih lahan pun tidak terlalu di
perbolehkan.

2. Pertanian subsisten didaerah tropis dan tempirit


Tingkat isolasinya rendah ini di karenakan pola fiker manusia pada jaman
pertanian subsisten yang hanya berfikir jangka pendek dan tidak berfikir jangka
panjang,Dan hanya berfikir bagaimana mereka bisa makan di hari esok.Tidak adanya
pemikiran untuk perluasan lahan dan juga perbaikan ekonomi keluarganya.

3. Area pertanian yang telah berkembang


Tingkat isolasinya sedang di karenakan area pertanian yang berkembang telah
mengalami perubahan baik dari luasan lahan,teknologi yang di gunakan serta system
penanaman yang telah mengalami kemajuan.

4. Area pertanian beririgasi


Tingkat isolasinya tinggi di karenakan pada area pertanian beririgasi jenis
tanaman yang akan di tanam harus menyesuaikan dengan konsep irigasi yang akan di
terapkan,oleh karena itu manusia akan merubah jenis tanamannya.

5. Tanaman semusim monokultur


Tanaman semusim monokultur tingkat isolasinya tinggi di karenakan
perubahan jenis tanaman yang akan di tanam pada setiap musimnya,untuk memenuhi
konsep pertanian yaitu perubahan jenis tanaman akan di lakukan agar tanah tidak
mengalami kejenuhan dan untuk menhindari dari tanaman terserang hama.

6. Produk simpanan
Produk simpanan tingkat isolasi nya tinggi di karenakn untuk menghindari
kejenuhan atau pun kebosannya akan tingkat konsumsi konsumen akan jenis
produk.oleh karena itu setiap musim atau pun tahun nya pasti mengalami pergantian.

7. Rumah kaca
Rumah kaca tingkat isolasinya sangat tinggi di karenakan kegunaan dari
rumah kaca sendiri yang hanya di gunakan sebagai tempat penelitian atau pun
kegiatan pengaturan iklim terhadap iklim yang tidak menyentuh.

Tugas III

Perkembangan pertanian di Indonesia meliputi :


1. Pertanian Subsisten
2. Pertanian Tradisional
3. Pertanian Konvensional
4. Pertanian Berkelanjutan

Jelaskan !

1.Pertanian subsisten
Pertanian subsisten merupakan kondisi pertanian yang sedang mengalami keterpurukan
khusunya dalam luasan lahan yang di miliki petani,modal dan lapangan pekerjaan di
luar,serta yidak adanya pola memikirkan kehidupan dalam jangka waktu panjang,yang di
fikirkan hanya pada bagaimana mereka bisa makan esok hari.Pola pertaniannya sama dengan
pola pertanian yang di lakukan pada system pertanian tradisional.
Dari segi fungsi dasar ekonominya system pertanian subsisten ini hamper sama dengan
system pertanian tradisional di mana masih belum adanya teknologi yang berkembang,tenga
kerja yang masih banyak di gunakan,modal yang di pakai hanya sedikit,dan hasil produksinya
yang kurang terjangkau (di mana biasanya masih menggunakan prinsip barter).
Lalu dari segi fungsi ekologinya juga masih alami di mana pelestarian alam yang masih
terjamin dan terus berkembang,tidak adanya kerusakan ataupun pencemaran yang terjadi.
Untuk fungsi sosialnya system pertanian subsisten masih menggunakan prinsip
kekeluargaan yaitu bergotong royong dan juga tolong menolong.

2.Pertanian Tradisional
Sistem pertanian tradisional adalah sistem pertanian yang masih bersifat ekstensif dan
tidak memaksimalkan input yang ada. Sistem pertanian tradisional salah satu contohnya
adalah sistem ladang berpindah. Sistem ladang berpindah telah tidak sejalan lagi dengan
kebutuhan lahan yang semakin meningkat akibat bertambahnya penduduk.
Pertanian tradisional bersifat tak menentu. Keadaan ini bisa dibuktikan dengan
kenyataan bahwa manusia seolah-olah hidup di atas tonggak. Pada daerah-daerah yang lahan
pertaniannya sempit dan penanaman hanya tergantung pada curah hujan yang tak dapat
dipastikan, produk rata-rata akan menjadi sangat rendah, dan dalam keadaan tahun-tahun
yang buruk, para petani dan keluarganya akan mengalami bahaya kelaparan yang sangat
mencekam. Dalam keadaan yang demikian, kekuatan motivasi utama dalam kehidupan para
petani ini barangkali bukanlah meningkatkan penghasilan, tetapi berusaha untuk bisa
mempertahankan kehidupan keluarganya.
Pada Pertanian tradisional biasanya lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup
para petani dan tidak untuk memenuhi kebutuhan ekonomi petani, sehingga hasil keuntungan
petani dari hasil pertanian tradisional tidak tinggi , bahkan ada yang sama sekali tidak ada
dalam hasil produksi pertanian.
Sebenarnya pertanian tradisional merupakan pertanian yang akrab lingkungan karena
tidak memakai pestisida. Akan tetapi produksinya tidak mampu mengimbangi kebutuhan
pangan penduduk yang jumlahnya terus bertambah. Untuk mengimbangi kebutuhan pangan
tersebut, perlu diupayakan peningkatan produksi yang kemudian berkembang sistem
pertanian konvensional.
Selanjutnya untuk system pertanian tradisional berdasarkan fungsi dasar ekonomi yaitu
Dalam pertanian tradisional biasanya menggunakan prinsip yang mana pertaniaan tradisional
hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya sekarang, misalnya pada masyarakat
bercocok tanam tanaman padi yang mana hasil padi yang telah di produksi dan diolah
menjadi beras kemudian di konsumsi oleh keluarganya, sehingga terus berjalan kelangsungan
hidupnya.
Kemudian ciri dari pertanian tradisional yaitu masih berpaku dan berharap pada alam
yang mana ketika masyarakat menanam suatu tanaman dengan pertanain tradisional maka
hasilnya akan tergantung pada proses alam.
Pada sistem pertanian terdapat beberapa evaluasi terhadap aspek ekonomi. Pertanian
tradisional jika dilihat dari aspek ekonomi antara lain:
      Penggunaan teknologi yang belum berkembang.
Dalam hal ini biasanya pada pertanian tradisional menggunakan alat atau teknologi
yang masih rendah atau belum berkembang.Yang mana hal ini dapat memperlambat hasil
yang di produksi dan akan membuang waktu dlaam proses bercocok tanam. Misalnya pada
sistem tradisional masyarakat untuk membajak sawah masih menggunakan kerbau hal ini
masih kurang efisiensi dalam pemanfaatan waktu dan tenaga.Akan tetapi dari sektor
ekonominya lebih rendah dan minim pengularan untuk mengelolah lahan untuk menghasilkan
produk.
      Tenaga kerja yang masih banyak di gunakan
Untuk pertanian tradisional biasanya diguanakan lebih banyak dalam menggelolah
lahan pertanian untuk menghasilkan produksi. hal ini dikarenakan masih minimnya teknologi
yang ada sehingga pelaksanaan menggunakan SDM (sumber daya manusia) yang ada.
Sebagai contoh dalam hal panen tanaman tebu yang mana digunakan tenaga kerja manusia
dalam proses penebangan,kemudian contoh lain proses perontokan helai padi yang masih
menggunakan tenaga manusia untuk melakukan walaupun saat ini mulai ada teknologi yang
membantu merontokan helai padi. Hal ini mencerminkan bahwa pertanian tradisional masih
tergantung dengan Sumber Tenaga Manusia yang ada,akan tetapi dari sektor ekonominya
lebih murah.
      Modal yang dipakai masih sedikit
Dalam hal ini modal dalam pengelolahan produksi pertanian masih sedikit karena
kebutuhan yang dibuat tidak terlalu membutuhkan modal lebih .Biasanya juga hanya butuh
modal untuk pembayaran tenaga kerja dan lain-lain yang rata-rata minim.
      Hasil produksi yang masih kurang terjangkau
Dalam pertanian tradisional sering hasil yang di produksi hanya sebatas untuk di
konsumsi keluarga maupun masyarakat golongan.Hal ini dikarenakan masih minimnya cara
budidaya tanaman sehingga produk yang dihasilkan masih rendah.
Lalu system pertanian tradisional berdasarkan fungsi dasar ekologinya yaitu Dalam
pertanian tradisional untuk mengolah hasil produk pertanian masih tergantung dengan
alam/ekologi sekitar. Dikarenakan dalam proses pertanian tradisional produknya hanya untuk
memeunhi konsumsi petaninya,bukan untuk mencari keuntungan besar.
Adapun dampak positif yang terjadi dari pertanian tradisional yaitu:
      Pelestarian alam yang masih terjamin dan terus berkembang.
Yang mana pelestarian alam terus berjalan karena proses ini berjalan dan akan bisa
memproduksi dengan rata-rata konstan untuk musim-musim kedepannya.
           Tidak adanya kerusakan ataupun pencemaran yang terjadi .
Proses pertanian tradisional terjadi tampa adaya perusakan ekosistem yang ada sekitar
maupun tampa pencemaran yang bisa mengakibatkan penurunan hasil produktivitas
pengolahan pertanian.
Dan untuk yang terakhir yaitu funsi system pertanian berdasarkan fungsi dasar
sosialnya Dalam pertanian tradisional terjadi hubungan yang erat antar sesama dikarenakan
dalam proses pertanian tradisional menjunjung tinggi tolong menolong dan gotong royong,
apalagi dengan sistem tradisional yang menyebakan antar petani salaing membutuhkan dan
membantu untuk menghasilkan produktivitas pertanian yang telah di olah.

3. Pertanian Konvensional
Keadaan atau gambaran umum dari semua pertanian modern adalah titik beratnya pada
salah satu jenis tanaman tertentu, menggunakan intensifikasi modal dan pada umumnya
berproduksi dengan teknologi yang hemat tenaga kerja serta memperhatikan skala ekonomis
yang efisien (economies of scale) yaitu dengan cara meminimumkan biaya untuk
mendapatkan keuntungan tertentu. Untuk mencapai semua tujuan, pertanian modern praktis
tidak berbeda dalam konsep atau operasinya dengan perusahaan industri yang besar. Sistem
pertanian modern yang demikian itu sekarang ini dikenal dengan agri-bisnis.
Intensif merupakan cara bertani yang memanfaatkan inovasi teknologi dengan
penggunaan input yang banyak dengan tujuan memperoleh output yang lebih tinggi dalam
kurun waktu yang relatif singkat. Pertanian intensif dapat disebut sebagai pertanian modern.
Ciri Pertanian Modern (Intensif) adalah penggunaan bibit unggul, aplikasi pupuk buatan,
pestisida, penerapan mekanisasi pertanian dan pemanfaatan air irigasi. Sistem pertanian ini
mengkonsumsi sumberdaya alam yang tak terbaharui dalamjumlah besar seperti minyak dan
gas bumi, fosfat dan lain-lain, sehingga butuh modal yang besar pula. Sistem pertanian
seperti ini telah berkembang sedemikian rupa di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia
dan dirasakan sangat bermanfaat dalam rangka peningkatan produksi berbagai komoditas
pertanian guna memenuhi kebutuhan manusia. Hasil kemajuan teknologi melalui pertanian
modern begitu spektakuler dan mengesankan, sehingga fenomena tersebut dipandang sebagai
“Revolusi Hijau”.
Selanjutnya untuk system pertanian secara konvensional berdasarkan fungsi
ekonominya Dalam pertanian modern (spesialisasi), pengadaan pangan untuk kebutuhan
sendiri dan jumlah surplus yang bisa dijual, bukan lagi merupakan tujuan pokok. Keuntungan
(profit) komersial murni merupakan ukuran keberhasilan dan hasil maksimum per hektar dari
hasil upaya manusia (irigasi, pupuk, pertisida, bibit unggul, dan lain-lain) dan sumber daya
alam merupakan tujuan kegiatan pertanian.
Pada sistem pertanian konvensional terdapat beberapa evaluasi terhadap aspek
ekonomi. Pertanian konvensional jika dilihat dari aspek ekonomi antara lain:
 Penurunan lapangan kerja dan peningkatan pengangguran
Dalam sistem pertanian konvensional digunakan teknologi dan bahan-bahan yang
berkualitas tinggi. Dengan digunakannya teknologi, kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan
oleh petani digantikan oleh mesin yang berteknologi tinggi. Sehingga para petani lambat laun
mulai banyak yang kehilangan pekerjaan. Banyaknya petani yang tidak bekerja dapat
meningkatkan angka pengangguran. Lapangan pekerjaan untuk petanipun berkurang karena
semua kegiatan bertani dapat dilakukan oleh mesin.

 Peningkatan kemiskinan dan malnutrisi di pedesaan


Petani yang pekerjaannya telah digantikan oleh mesin akan menjadi pengangguran dan
tidak memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hiidup keluarganya. Karena itu,
kemiskinan semakin menigkat dan banyak anak-anak yang mengalami malnutrisi karena
kekurangan makan. Hal tersebut terjadi kebanyakan di daerah pedesaan, karena kebanyakan
petani pedesaan adalah petani dengan modal kecil.
 Pengeluaran lebih banyak
Dengan penggunaan teknologi, sudah pasti biaya produksi akan lebih tinggi karena
mesin-mesin harus dibeli dengan biaya yang tinggi. selain itu pengadaan benih berkualitas
tinggi juga sangat mahal. pemberian pupuk dan pemberantasan hama menggunakan zat kimia
juga akan menambah biaya produksi.
 Mendapatkan penghasilan lebih banyak atau untung
Hasil produksi dari sistem pertanian konvensional lebih banyak daripada pertanian
organik. Dengan hasil yang banyak tersebut petani konvensional akan mendapat untug yang
banyak dari hasil penjualan produk pertaniannya.
 Hanya bisa dilakukan petani dengan modal besar
Sebagian besar yang melakukan sistem pertanian konvensional adalah petani dengan
modal besar karena biaya produksi yang digunakan untuk membeli mesin, bahan tanam yang
berkualitas tinggi, serta pestisida maupun pupuk kimia memerlukan biaya yang cukup besar.
 Berorientasi pada pasar eksport dan lokal
Pada sistem pertanian konvensional, produk hasil diorientasikan pada pasar lokal dan
ekspor. Hasil yang banyak selain dapat memenuhi kebutuhan lokal juga dapat dijual di
pasaran ekspor. Para petani banyak yang menjual hasil pertaniannya di pasar ekspor karena
harga jualnya tinggi.
      Mempunyai resiko produksi yang tinggi
Sistem pertanian konvensional mempunyai resiko produksi yang tinggi karena biaya
yang dikeluarkan untuk produksi sangat besar. Apabila pada proses produksi terjadi
kegagalan misalnya seperti kerusakan mesin ataupun gagal panen tentunya resiko biaya
produksi tidak kembali sangat besar. Dan petani akan mengalami kerugian.
Tidak itu saja di lihat dari fungsi ekologi system pertanian konvensional yaitu
Penerapan pertanian konvensional pada tahap-tahap permulaan mampu meningkatkan
produktivitas pertanian dan pangan secara nyata, namun kemudian efisiensi produksi semakin
menurun karena pengaruh umpan balik berbagai dampak samping yang merugikan. Bila kita
terapkan prinsip ekonomi lingkungan dengan menginternalisasikan biaya lingkungan dalam
perhitungan neraca ekonomi suatu usaha dan program pembangunan pertanian maka yang
diperoleh pengusaha dan negara adalah kerugian besar. Perhitungan GNP dan GDP yang
dilakukan Pemerintah saat ini sebenarnya tidak realistis. Sayangnya biaya lingkungan jarang
dimasukkan sepenuhnya dalam perhitungan neraca usaha dan pertumbuhn ekonomi nasional.
Penelitian pertanian secara konvensional dengan biasnya pada lahan-lahan yang
berpotensi tinggi, tanaman ekspor dan petani yang lebih mampu, telah memberikan hasil
yang tidak terjangkau oleh sebagian besar petani. Hal ini antara lain disebabkan oleh
beberapa hal, yaitu:
 Peningkatan erosi permukaan, banjir dan tanah longsor
 Penurunan kesuburan tanah dan kehilangan bahan organik tanah
Pada sistem pertanian konvensional, lahan yang digunakan dapat mengalami penurunan
kesuburan tanah dan kehilangan bahan organik. Hal tersebut terjadi karena seringnya
penggunaan pupuk kimia ataupun bahan-bahan kimia lain seperti pestisida yang lama-
kelamaan akan merusak kesuburan tanah dan mematikan organisme-organisme yang hidup di
dalam tanah.
 Salinasi air tanah dan irigasi serta sedimentasi tanah
 Peningkatan pencemaran air dan tanah akibat pupuk kimia, pestisida, limbah domestik
Pertanian konvensional adalah pertanian dengan menggunakan bahan-bahan kimia
maupun alat-alat modern. Karena hal tersebut jika pertanian konvensional dilakukan secara
terus menerus akan menyebabkan peningkatan pencemaran air dan tanah akibat pupuk kimia,
pestisida, dan limbah domestik.
 Residu pestisida dan bahan-bahan berbahaya lain di lingkungan dan makanan yang
mengancam kesehatan masyarakat dan penolakan pasar.
Penggunaan bahan-bahan kimia pada pupuk maupun pestisida pada sistem pertanian
konvensional menyebabkan pencemaran lingkungan. Produk-produk yang dihasilkan kurang
terjamin kebersihannya dan kelayakannya untuk dikonsumsi karena sudah terkena zat kimia.
Oleh karena itu, masyarakat mulai berpikir ulang untuk mengkonsumsi produk yang tercemar
oleh zat kimia.
 Pemerosotan keanekaragaman hayati pertanian
 Kontribusi dalam proses pemanasan global
Sebagian besar pertanian konvensional selalu menggunakan teknologi tinggi yang tidak
ramah lingkungan. Akibatnya banyak terjadi pencemaran air dan pencemaran udara. Hal
tersebut akan berkontribusi dalam proses pemanasan global.
 Merintangi studi dan peningkatan interaksi positif antar beragam tanaman, hewan, dan
manusia
 Eksploitasi unsur hara
Integrasi usaha tani ke dalam pasar nasional maupun internasional menimbulkan suatu
penghabisan unsur hara netto jika unsur hara yang diambil tidak dapat dikembalikan lagi.
Sangat sedikit teknologi yang dikembangkan untuk mengembalikan unsur hara dari
daerah/lokasi konsumen ke daerah produsen.
 Hilangnya kearifan tradisional dan budaya tanaman lokal
Masyarakat Indonesia umumnya bertani dengan memperhatikan keadaan sosial
disekitarnya. Apabila menggunakan sistem pertanian konvensional, tidak ada lagi kearifan
tradisional dan kebanyakan tanaman yang ditanaman adalah tanaman yang sedang naik daun
atau tanaman yang dibutuhkan sangat banyak dan berdaya jual tinggi. Sehingga tanaman-
tanaman lokal tidak dapat bersaing karena sedikit sekali petani yang menanamnya.
      Peningkatan kesenjangan sosial dan jumlah petani gurem di pedesaan
Jika di suatu desa digunakan sistem pertanian konvensional dapat terjadi peningkatan
kesenjangan sosial di antara para peani. Hal itu disebabkan karena hanya petani yang
bermodal besar yang dapat menjalankan sistem ini sedangkan petani dengan modal kecil
tidak akan mampu membeli mesin dan bahan tanam seperti petani konvensional. Oleh karena
itu pertanian konvensional akan dapat meningkatkan kesenjangan sosial terutama di daerah
pedesaan.
      Ketergantungan petani pada pemerintah dan perusahaan/industri agrokimia
Karena dibutuhkan modal yang sangat besar, para petani konvensional membutuhkan
bantuan dari pemerintah dalam hal modal dan informasi-informasi terbaru tentang pertanian.
Petani juga akan mengalami ketergantungan dengan perusahaan/industri agrokimia, karena
kebanyakan mereka menggunakan bahan-bahan kimia.
      Rasa kekeluargaan dan kekompakan antar petani berkurang
Pertanian konvensional lebih menggunakan mesin daripada tenaga manusia atau petani.
Hal tersebut dapat menyebabkan berkurangnya rasa kekeluargaan dan kekeompakan antar
petani. Padahal hal tersebut sangat berbahaya karena petani bisa-bisa bersaing secara tidak
sehat.
      Pengabaian pengetahuan lokal petani
Pendekatan konvensional dari atas ke bawah pada pengembangan teknologi dalam
lembaga penelitian pertanian hanya memberikan sedikit kesempatan pada ilmuwan untuk
lebih mengenal kondisi. Situasi ini tidak dibenahi oleh sikap umum dari para penyuluh dan
peneliti yang telah mendapatkan ilmu di universitas maupun sekolah, bahwa sistem
pendidikan formal merupakan sumber utama inovasi dan bahwa informasi hanya bisa datang
dari atas.
      Penekanan pada penelitian
Kondisi produksi lembaga penelitian dan tempa percobaan tidak mencerminan kondisi
petani dan tidak mungkin mewakili kondisi pertanian tadah hujan yang sangat beragam.
Akibatnya, teknologi yang di uji di tempat [percobaan seringkali tidak bisa diterapkan dengan
kondisi petani, sementara kualitas varietas lokal yang baik, yang disesuiakan dengan kondisi
lokal, tidak diakui dalam tempat percobaan.

4.Pertanian Berkelanjutan
Pertanian berkelanjutan bertujuan untuk memutus ketergantungan petani terhadap input
eksternal dan penguasa pasar yang mendominasi sumber daya agraria. Pertanian
berkelanjutan merupakan tahapan penting dalam menata ulang struktur agraria dan
membangun sistem ekonomi pertanian yang sinergis antara produksi dan distribusi dalam
kerangka pembaruan agraria.
Pelaksanaan pertanian berkelanjutan bersumber dari tradisi pertanian keluarga yang
menghargai, menjamin dan melindungi keberlanjutan alam untuk mewujudkan kembali
budaya pertanian sebagai kehidupan. Oleh karena itu, SPI mengistilahkannya sebagai
“Pertanian berkelanjutan berbasis keluarga petani”, untuk membedakannya dengan konsep
pertanian organik berhaluan agribisnis. Pertanian berkelanjutan merupakan tulang punggung
bagi terwujudnya kedaulatan pangan.
Pertanian berkelanjutan meliputi komponen-komponen fisik, biologi dan sosioekonomi.
Pertanian berkelanjutan direpresentasikan dengan sistem pertanian yang melaksanakan
pengurangan input bahan-bahan kimia, mengendalikan erosi tanah dan gulma, serta
memelihara kesuburan tanah.
Pertanian berkelanjutan memiliki konsep dasar yaitu mempertahankan ekosistem alami
lahan pertanian  yang sehat, bebas dari bahan-bahan kimia yang meracuni lingkungan. Dalam
pertanian keberlanjutan terdapat komponen dasar agroekosistem baik untuk jangka pendek
maupun jangka panjang, dimana komponen dasar agroekosistem tersebut memadukan antara
produktivitas (productivity), stabilitas (Stability), Pemerataan (equlity).
Pertanian berkelanjutan merupakan suatu ajakan moral untuk berbuat kebijakan pada
lingkungan Sumber Daya Alam dalam usaha pertanian dengan mempertimbangkan 3 aspek,
yaitu:
1.    Kesadaran Lingkungan (Ecologically Sound), sistem budidaya pertanian tidak boleh
menyimpang dari sistem ekologis yang ada. Keseimbangan lingkungan adalah indikator
adanya harmonisasi dari sistem ekologis yang mekanismenya dikendalikan oleh hukum alam.
2.    Bernilai ekonomis (Economic Valueable), sistem budidaya pertanian harus mengacu pada
pertimbangan untung rugi, baik bagi diri sendiri dan orang lain, untuk jangka pandek dan
jangka panjang, serta bagi organisme dalam sistem ekologi maupun diluar sistem ekologi.
Sumber daya alam terlanjutkan (tidak tereksploitasi).
3.    Berwatak sosial atau kemasyarakatan (Socially Just), sistem pertanian harus selaras dengan
norma-noma sosial dan budaya yang dianut dan di junjung tinggi oleh masyarakat setempat.
Untuk fungsi berdasarkan dasar ekonominya system pertanian berkelanjutan yaitu
Penerapan pertanian organik, memberikan manfaat bagi masyarakat dalam upaya
pemberdayaan ekonomi rakyat antara lain :
      Produksi pertanian organik jauh dibawah hasil produksi sistem konvensional
Adanya perbedaan hasil ini mencerminkan adanya perbedaan teknik bercocok tanam dan
pengalaman petani. Industri pangan organik berkembang sangat cepat sementara petani
belum mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang cukup untuk menerapkan sistem
pertanian organik yang benar. Perbedaan hasil juga seringkali bergantung pada jenis tanaman
yang diusahakan. Beberapa hasil penelitian di kawasan Timur Canada menunjukkan bahwa
hasil gandum organik adalah 75% lebih rendah dibanding dengan gandum konvensional.
Pada kasus cuaca yang tidak normal, misalnya musim kering yang panjang, maka
produktivitas pertanian organik biasanya lebih tinggi dibanding pertanian konvensional. Di
samping itu, pertanian organik juga relative lebih tahan terhadap gangguan hama dan
penyakit.
      Minimnya akses transportasi pada lokasi-lokasi yang memenuhi syarat untuk budidaya
pertanian organik
Minimnya akses transportasi disebabkan karena daerah yang memenuhi syarat untuk
budidaya pertanian organik adalah daerah yang minim pencemaran lingkungan. Hal ini
menimbulkan beberapa implikasi lanjutan antara lain : (a). sulitnya mendistribusikan bahan
input atau sarana produksi pertanian seperti pupuk dan pestisida organik, benih, dan peralatan
kerja; (b). sulitnya membawa hasil/produk pertanian organik dari lahan ke pasar; (c).
mahalnya biaya untuk transportasi dari dan ke lokasi budidaya pertanian organik.
      Pertanian berkelanjutan memerlukan biaya produksi relatif lebih rendah dibandingkan
pertanian konvensional.
Khususnya untuk penyediaan input produksi pertanian konvensional memiliki biaya
produksi lebih tinggi daripada pertanian berkelanjutan. Dalam pertanian berkelanjutan
pembelian pupuk dan pestisida sintetis tidak diperlukan lagi. pengendalian gulma dilakukan
secara mekanis. Pengolahan tanah untuk pengendalian gulma setelah tanaman tumbuh
dilakukan dengan cara minimal. Banyak orang berpendapat bahwa pengendalian gulma akan
meningkatkan frekuensi pengolahan tanah dan juga biaya. Dalam prakteknya, ternyata
tidaklah demikian. Dengan perbaikan struktur tanah dan praktek pengelolaan yang baik,
pertanian berkelanjutan justru meminimalkan pengolahan tanah, atau lebih sedikit, dibanding
pertanian konvensional.
      Pendapatan petani bertkelanjutan sedikit lebih besar dibanding dengan petani konvensional.
Secara umum, biaya produksi lebih rendah dan pendapatan lebih besar (karena premium
price). Industri organik berubah sangat cepat sehingga mempengaruhi ketidakstabilan harga.
Sebagai contoh, adanya harga tinggi pada satu jenis komoditi telah mendorong banyak petani
menanam komoditi yang sama secara bersamaan. Ini menyebabkan harga turun ketika musim
panen. Banyak orang berpendapat bahwa sejalan dengan waktu premium price akan stabil.
Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani akhirnya akan meningkatkan
kesejahteraan petani, sebagai contoh biaya pembelian pupuk organik lebih murah dari biaya
pembelian pupuk kimia;Harga jual hasil pertanian organik seringkali lebih mahal. Contoh,
harga beras organik saat ini Rp. 8.000 – 13.000,-/kg sedang beras biasa Rp. 5.500 –
7.000,-/kg;Petani dan peternak bisa mendapatkan tambahan pendapatan dari penjualan jerami
dan kotoran ternaknya;Bagi peternak, biaya pembelian pakan ternak dari hasil fermentasi
bahan organik lebih murah dari pakan ternak konvensional; Pengembangan pertanian organik
berarti memacu daya saing produk agribisnis Indonesia untuk memenuhi permintaan pasar
internasional akan produk pertanian organik yang terus meningkat. Ini berarti akan
mendatangkan devisa bagi pemerintah daerah yang pada akhirnya akan meningkatkan
kesejahteraan petani.
      Menciptakan lapangan kerja baru dan keharmonisan kehidupan sosial di pedesaan.
Pertanian berkelanjutan akan merangsang hadirnya industri kompos rakyat yang berarti
adanya lapangan kerja baru bagi masyarakat pedesaan. Disamping itu, penerapan pertanian
berkelanjutan juga akan merangsang adanya kerjasama kemitraan antara petani peternak-
pekebun untuk menerapkan sistem pertanian terpadu. Dalam hubungan ini, peternak
mendapatkan bahan makanan ternak dari limbah pertanian (jerami dan dedak, misalnya) dari
petani, sedangkan petani mendapatkan kotoran hewan dari peternak sebagai bahan kompos
untuk usaha pertanian organiknya. Hal ini secara langsung akan menciptakan keharmonisan
kehidupan sosial di pedesaan.
Lalu system pertanian berkelanjutan berdasarkan fungsi ekologi yaitu Prinsip ekologi
dalam penerapan pertanian organik dapat dipilahkan sebagai berikut:
      Memperbaiki kondisi tanah
Dengan menggunakan sistem pertanian berkelanjutan, tanah yang rusak dapat diperbaiki
sehingga menguntungkan pertumbuhan tanaman, terutama pengelolaan bahan organik dan
meningkatkan kehidupan biologi tanah.
      Optimalisasi ketersediaan dan keseimbangan daur hara
Jika menggunakan sistem pertanian berkelanjutan ketersediaan dan keseimbangan daur
hara dapat dioptimalisasi melalui fiksasi nitrogen, penyerapan hara, penambahan dan daur
pupuk dari luar usaha tani.
       Membatasi kehilangan hasil panen akibat aliran panas, udara dan air dengan cara
mengelola iklim mikro, pengelolaan air dan pencegahan erosi.
       Membatasi terjadinya kehilangan hasil panen akibat hama dan penyakit dengan
melaksanakan usaha preventif melalui perlakuan yang aman.
       Pemanfaatan sumber genetika (plasma nutfah) yang saling mendukung dan bersifat
sinergisme dengan cara mngkombinasikan fungsi keragaman sistem pertanian terpadu.
      Menghasilkan bahan pangan yang aman bagi kesehatan produsen dan konsumennya serta
tidak merusak lingkungan
      Kualitas SDA dipertahankan
      Ramah lingkungan karena menggunakan pupuk kompos, ataupun pupuk kandang yang
keseluruhannya berasal dari alam,
      Meminimalkan semua bentuk polusi yang dihasilkan dari kegiatan pertanian.
      Menjaga sifat fisik, kimia dan biologi tanah
Dalam pertanian berkelanjutan diutamakan cara pengelolaan tanah yang meminimalkan
erosi, meningkatkan kandungan bahan organik tanah serta mendorong kuantitas dan
diversitas biologi tanah. Dalam pertanian organik peningkatan kesuburan tanah dilakukan
tanpa menggunakan pupuk kimia sintetis. Sebagai gantinya digunakan teknik-teknik seperti
rotasi tanaman secara tepat, mixed cropping dan integrasi tanaman dengan ternak,
meminimalkan pengolahan tanah yang mengganggu aktivitas biota tanah,menggunakan
tanaman dalam strip dan tumpang sari.
      Penghematan energi
Hasil studi menunjukkan bahwa sistem produksi organik hanya menggunakan 50–80%
energi minyak untuk menghasilkan setiap unit pangan dibandingkan dengan sistem produksi
pertanian konvensional. Namun demikian, ini tidak berlaku untuk semua sistem produksi
sayuran dan buah-buahan.
      Tidak mencemari air
Penjagaan kualitas air merupakan upaya yang sangat penting dalam sistem pertanian
lestari (sustainable agriculture system). Kenyataan menunjukkan bahwa polusi air tanah
(groundwater) dan air muka tanah (surface water) oleh nitrat dan fosfat menjadi hal yang
umum terjadi di kawasan pertanian. Residu pupuk dan pestisida sintetis serta bakteri
penyebab penyakit seperti Escherichia Coli juga seringkali terdeteksi di sistem perairan.
Pada areal pertanian organik, sumber air dijaga dengan menghindari praktek-praktek
pertanian yang menyebabkan erosi tanah dan pencucian nutrisi, pencemaran air akibat
penggunaan bahan kimia. Kotoran hewan yang akan digunakan untuk pupuk organik selalu
dikelola dengan hati-hati dan dikomposkan sebelum digunakan. Di samping itu, penggunaan
pupuk kimia dan pestisida sintetis juga dilarang dalam sistem pertanian organik.
      Tidak mencemari udara
Pertanian berkelanjutan terbukti mampu meminimalkan perubahan iklim global karena
emisi gas rumah kaca (greenhouse gas emission) pada pertanian organik lebih rendah
dibandingkan pertanian konvensional. Dalam pertanian organik tidak menggunakan pupuk
nitrogen sintetis sehingga tidak ada emisi nitrogen oksida dari pupuk buatan tersebut.
Penggunaan minyak bumi juga lebih rendah sehingga menurunkan emisi gas karbon dioksida.
Lebih penting lagi, pertanian organik menyediakan penampungan (sink) untuk karbon
dioksida melalui peningkatan kandungan bahan organik di tanah serta penutupan permukaan
tanah dengan tanaman penutup tanah.
      Dapat memanfaatkan limbah
Praktek pertanian berkelanjutan mengurangi jumlah limbah melalui daur ulang limbah
menjadi pupuk organik. Kotoran ternak, jerami dan limbah pertanian lainnya yang selama ini
dianggap limbah, justru menjadi bahan yang mempunyai nilai sebagai sumber nutrisi dan
bahan organik bagi pertanian organik.
      Menciptakan keanekaragaman hayati
Pertanian organik tidak hanya menghindari penggunaan pestisida sintetis, namun juga
mampu menciptakan keanekaragaman hayati. Praktek seperti rotasi pertanaman, tumpang sari
serta pengolahan tanah konservasi merupakan hal-hal yang mampu meningkatkan
keanekaragaman hayati dengan menyediakan habitat yang sehat bagi banyak spesies mulai
dari jamur mikroskopis hingga binatang besar. Pertanian organik tidak menggunakan
organisme hasil rekayasa genetika (Genetic Enggineering Organism) atau organisme
transgenik (Genetically Modified Organism) serta produknya karena alasan keamanan
lingkungan, kesehatan dan sosial. Produk-produk seperti ini tidak dibutuhkan karena
mungkin menyebabkan resiko yang tidak dapat diterima pada integritas spesies.

Dan untuk yang terakhir yaitu system pertanian berkelanjutan di lihat dari fungsi
sosialnya yaitu Menghasilkan makanan yang cukup, aman dan bergizi sehingga
meningkatkan kesehatan masyarakat.
Pada sistem pertanian berkelanjutan, tidak digunakan pupuk kimia secara berlebihan
sehingga produk-produk yang dihasilkan layak konsumsi dan aman serta bergizi bagi
masyarakat.
      Kebutuhan dasar seluruh masyarakat terpenuhi
Dengan menerapkan sistem pertanian berkelanjutan, hasil produksi yang di dapat stabil
sehingga seluruh kebutuhan dasar masyarakat dapat terpenuhi.
      Segala bentuk kehidupan dihargai
Manusia hidup di dunia tidak sendiri, melainkan berdampingan dengan hewaan dan
tumbuhan. Dengan menerapkannya sistem pertanian berkelanjutan, manusia, hewan, dan
tumbuhan dan bekerjasama dengan baik dan semua berperan dalam menghadapi hidup.
Sehingga semua bentuk kehidupan dapat dihargai.
      Menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi petani.
Dengan digunakannya sistem pertanian berkelanjutan dapat menciptakan lingkungan
kerja yang aman dan sehat bagi petani. Hal ini dikarenakan petani akan terhindar dari paparan
(exposure) polusi yang diakibatkan oleh digunakannya bahan kimia sintetik dalam produksi
pertanian.
Dari semua system pertanian di atas dapat kita simpulkan bahwa semua system pertanian
tujuan utamanya adalah untuk tujuan yang sama yaitu untuk kesejahteraan masyarakat dan
juga di peruntukan untuk memenuhi kehidupan masyarakat.Yang membedakan antara 4
sistem pertanian ini hanyalah pada pola yang di terapkan ,serta system dan juga pola fikir
pada setiap masing-masing petani.Serta dampak negative dan juga dampak positif yang di
timbulkan dengan pola maupun system pertanian yang ada,yaitu system pertanian
subsisten,system pertanian tradisional,system pertanian konvensional dan juga system
pertanian berkelanjutan.

Anda mungkin juga menyukai