Di Susun Oleh:
1. Rachel Mega Jessica Putri 1815041003
2. Elizan Tika 1815041032
3. Elistia Nursafitri 1815041033
4. Dormian R S J Pakpahan 1815041034
5. Maria Fransisca Vabylita 1815041045
Dosen Pengampu:
Dr. Herti Utami, S.T., M.T.
Darmansyah, S.T., M.T.
Pembuatan biodiesel dari minyak tanaman memiliki kasus yang berbeda-beda sesuai
dengan kandungan FFA. Pada kasus minyak tanaman dengan kandungan asam lemak bebas
tinggi dilakukan dua jenis proses, yaitu esterifikasi dan transesterifikasi, sedangkan untuk
minyak tanaman yang kandungan asam lemak rendah dilakukan proses transesterifikasi.
Proses esterifikasi dan transesterifikasi bertujuan untuk mengubah asam lemak bebas dan
trigliserida dalam minyak menjadi metil ester (biodiesel) dan gliserol.
Biodiesel
Biodiesel merupakan monoalkil ester dari asam-asam lemak rantai panjang yang
terkandung dalam minyak nabati atau lemak hewani untuk digunakan sebagai bahan bakar
mesin diesel. Biodiesel dapat diperoleh melalui reaksi transesterikasi trigliserida dan atau
reaksi esterifikasi asam lemak bebas tergantung dari kualitas minyak nabati yang digunakan
sebagai bahan baku. Transesterifikasi adalah proses yang mereaksikan trigliserida dalam
minyak nabati atau lemak hewani dengan alkohol rantai pendek seperti methanol atau etanol
(pada saat ini sebagian besar produksi biodiesel menggunakan metanol) menghasilkan metal
ester asam lemak (Fatty Acids Methyl Esters / FAME) atau biodiesel dan gliserol (gliserin)
sebagai produk samping. Katalis yang digunakan pada proses transeterifikasi adalah
basa/alkali, biasanya digunakan natrium hidroksida (NaOH) atau kalium hidroksida (KOH).
Esterifikasi adalah proses yang mereaksikan asam lemak bebas (FFA) dengan alkohol rantai
pendek (metanol atau etanol) menghasilkan metal ester asam lemak (FAME) dan air. Katalis
yang digunakan untuk reaksi esterifikasi adalah asam, biasanya asam sulfat (H 2SO4) atau
asam fosfat (H2PO4). Berdasarkan kandungan FFA dalam minyak nabati maka proses
pembuatan biodiesel secara komersial dibedakan menjadi 2 yaitu :
1. Transesterifikasi dengan katalis basa (sebagian besar menggunakan kalium
hidroksida) untuk bahan baku refined oil atau minyak nabati dengan kandungan FFA
rendah.
2. Esterifikasi dengan katalis asam ( umumnya menggunakan asam sulfat) untuk minyak
nabati dengan kandungan FFA tinggi dilanjutkan dengan transesterifikasi dengan
katalis basa.
Proses pembuatan biodiesel dari minyak dengan kandungan FFA rendah secara
keseluruhan terdiri dari reaksi transesterifikasi, pemisahan gliserol dari metil ester, pemurnian
metil ester (netralisasi, pemisahan methanol, pencucian dan pengeringan/dehidrasi),
pengambilan gliserol sebagai produk samping (asidulasi dan pemisahan metanol) dan
pemurnian metanol tak bereaksi secara destilasi/rectification. Proses esterifikasi dengan
katalis asam diperlukan jika minyak nabati mengandung FFA di atas 5%. Jika minyak
berkadar FFA tinggi (>5%) langsung ditransesterifikasi dengan katalis basa maka FFA akan
bereaksi dengan katalis membentuk sabun. Terbentuknya sabun dalam jumlah yang cukup
besar dapat menghambat pemisahan gliserol dari metil ester dan berakibat terbentuknya
emulsi selama proses pencucian. Jadi esterifikasi digunakan sebagai proses pendahuluan
untuk mengkonversikan FFA menjadi metil ester sehingga mengurangi kadar FFA dalam
minyak nabati dan selanjutnya ditransesterifikasi dengan katalis basa untuk mengkonversikan
trigliserida menjadi metil ester.
Esterifikasi
Esterifikasi adalah tahap konversi dari asam lemak bebas menjadi ester. Esterifikasi
mereaksikan minyak lemak dengan alkohol. Katalis-katalis yang cocok adalah zat berkarakter
asam kuat, dan karena ini, asam sulfat, asam sulfonat organik atau resin penukar kation asam
kuat merupakan katalis-katalis yang biasa terpilih dalam praktek industrial (Soerawidjaja,
2006). Untuk mendorong agar reaksi bisa berlangsung ke konversi yang sempurna pada
temperatur rendah (misalnya paling tinggi 120° C), reaktan metanol harus ditambahkan dalam
jumlah yang sangat berlebih (biasanya lebih besar dari 10 kali nisbah stoikhiometrik) dan air
produk ikutan reaksi harus disingkirkan dari fasa reaksi, yaitu fasa minyak. Melalui
kombinasi-kombinasi yang tepat dari kondisi-kondisi reaksi dan metode penyingkiran air,
konversi sempurna asam-asam lemak ke ester metilnya dapat dituntaskan dalam waktu 1
sampai beberapa jam. Reaksi esterifikasi dari asam lemak menjadi metil ester adalah :
Esterifikasi biasa dilakukan untuk membuat biodiesel dari minyak berkadar asam
lemak bebas tinggi (berangka-asam P 5 mg-KOH/g). Pada tahap ini, asam lemak bebas akan
dikonversikan menjadi metil ester. Tahap esterifikasi biasa diikuti dengan tahap
transesterfikasi. Namun sebelum produk esterifikasi diumpankan ke tahap transesterifikasi, air
dan bagian terbesar katalis asam yang dikandungnya harus disingkirkan terlebih dahulu.
k = A e(-Ea/RT)
dimana :
T = Suhu absolut ( ºC)
R = Konstanta gas umum (cal/gmol ºK)
E = Tenaga aktivasi (cal/gmol)
A = Faktor tumbukan (t-1)
k = Konstanta kecepatan reaksi (t-1)
Semakin besar tumbukan maka semakin besar pula harga konstanta kecepatan reaksi.
Sehingga dalam hal ini pengadukan sangat penting mengingat larutan minyak katalis
methanol merupakan larutan yang immiscible (bercampur).
c. Katalisator
Katalisator berfungsi untuk mengurangi tenaga aktivasi pada suatu reaksi sehingga
pada suhu tertentu harga konstanta kecepatan reaksi semakin besar. Pada reaksi
esterifikasi yang sudah dilakukan biasanya menggunakan konsentrasi katalis antara 1
- 4 % berat sampai 10 % berat campuran pereaksi (Mc Ketta, 1978).
d. Suhu Reaksi
Semakin tinggi suhu yang dioperasikan maka semakin banyak konversi yang
dihasilkan, hal ini sesuai dengan persamaan Archenius. Bila suhu naik maka harga k
makin besar sehingga reaksi berjalan cepat dan hasil konversi makin besar.
Transesterifikasi
Transesterifikasi (biasa disebut dengan alkoholisis) adalah tahap konversi dari
trigliserida (minyak nabati) menjadi alkyl ester, melalui reaksi dengan alkohol, dan
menghasilkan produk samping yaitu gliserol. Di antara alkohol-alkohol monohidrik yang
menjadi kandidat sumber/pemasok gugus alkil, metanol adalah yang paling umum digunakan,
karena harganya murah dan reaktifitasnya paling tinggi (sehingga reaksi disebut metanolisis).
Jadi, di sebagian besar dunia ini, biodiesel praktis identik dengan ester metil asam-asam
lemak (Fatty Acids Metil Ester, FAME). Reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi metal
ester adalah :
Produk yang diinginkan dari reaksi transesterifikasi adalah ester metil asam-asam
lemak.
Terdapat beberapa cara agar kesetimbangan lebih ke arah produk, yaitu:
a. Menambahkan metanol berlebih ke dalam reaksi
b. Memisahkan gliserol
c. Menurunkan temperatur reaksi (transesterifikasi merupakan reaksi eksoterm)
b. Reaksi Transesterifikasi
Reaksi transesterifikasi merupakan reaksi utama dalam pembuatan biodiesel.
Pada reaksi ini, trigliserida (minyak) bereaksi dengan metanol dalam katalis basa untuk
menghasilkan biodiesel dan gliserol (gliserin).
Transesterifikasi
Produksi metil ester dapat dilakukan melalui transesterifikasi minyak nabati dengan
metanol ataupun esterifikasi langsung asam lemak hasil hidrolisis minyak nabati dengan
metanol. Namun transesterifikasi lebih intensif dikembangkan, karena proses ini lebih efisien
dan ekonomis. Transesterifikasi adalah reaksi ester untuk menghasilkan ester baru yang
mengalami penukaran posisi asam lemak. Untuk mendorong reaksi ke arah kanan, perlu
digunakan banyak alkohol atau memindahkan salah satu produk dari campuran reaksi (Swern,
1982). Tujuan dari transesterifikasi adalah untuk memecah dan menghilangkan gliserida, serta
menurunkan boiling, pour, flash point, dan viskositas minyak (Mittelbach, 1996). Metanol
lebih dipilih sebagai sumber alkohol daripada etanol karena harganya yang lebih murah
(Zhang et al., 2003). Persamaan reaksinya digambarkan oleh Gambar 1. Reaksi
transesterifikasi dipengaruhi oleh faktor internal dan factor eksternal. Faktor internal adalah
kondisi yang berasal dari minyak, misalnya kandungan air, asam lemak bebas, dan zat
terlarut/tak terlarut. Faktor eksternal adalah kondisi yang bukan berasal dari minyak dan dapat
mempengaruhi reaksi, di antaranya adalah waktu reaksi, kecepatan pengadukan, suhu, jumlah
rasio molar metanol terhadap minyak, serta jenis dan konsentrasi katalis.
CH2OCOR''' CH3OH CH2OH R'''COOCH3
| Katalis |
CHOCOR'' + CH3OH CHOH + R''COOCH3
||
CH2OCOR' CH3OH CH2OH R'COOCH3
Trigliserida Metanol Gliserol Metil Ester
Transesterifikasi minyak menjadi metil ester dilakukan dengan satu atau dua tahap
proses, bergantung pada mutu awal minyak. Minyak yang mengandung asam lemak bebas
tinggi dapat dikonversi menjadi esternya melalui dua tahap reaksi yang melibatkan katalis
asam untuk mengesterifikasi asam lemak bebas yang dilanjutkan dengan transesterifikasi
berkatalis basa yang mengkonversi sisa trigliserida (Canakci dan Gerpen, 1999). Kandungan
asam lemak bebas dan air yang lebih dari 0,5% dan 0,3% dapat menurunkan rendemen
transesterifikasi minyak (Freedman et al., 1984). Senyawa polar (zat tidak terlarut)
merupakan hasil degradasi minyak goring yang terdiri dari dekomposisi senyawa hasil
pemecahan asam lemak dari trigliserida. Jika senyawa polar ini jumlahnya cukup banyak
dapat memicu terjadinya kerusakan lemak yang lebih jauh dan menghasilkan persenyawaan
yang lebih beragam, sehingga dapat mengganggu kesetimbangan reaksi transesterifikasi dan
menurunkan rendemen metil ester. Kecepatan pengadukan berpengaruh terhadap kecepatan
reaksi. Semakin tinggi kecepatan pengadukan akan meningkatkan pergerakan molekul dan
menyebabkan terjadinya tumbukan. Dengan semakin banyaknya metil ester yang terbentuk
menyebabkan pengaruh pengadukan semakin rendah (tidak signifikan) sampai dengan
terbentuknya keseimbangan (Noureddini dan Zhu, 1997; Hankins dan Hankins, 1974).
Gambar 2. Reaksi Transesterifikasi Bertahap. Reaksi transesterifikasi yang berlangsung
antara metanol dan trigliserida melalui pembentukan berturut-turut digliserida dan
monogliserida menghasilkan metil ester pada tiap tahapnya seperti terlihat pada Gambar 2
(Mao et al., 2004). Laju konversi monogliserida menjadi metil ester lebih cepat daripada
digliserida dan trigliserida (Darnoko dan Cheryan, 2000).
Karena menurut Mao et al. (2004) monogliserida lebih mudah larut dalam fase polar
(gliserol) atau fase larutnya katalis. Noureddini dan Zhu (1997) menjelaskan bahwa semakin
besar suhu yang digunakan untuk transesterifikasi, semakin singkat waktu yang diperlukan
untuk reaksi. Proses transesterifikasi akan berlangsung lebih cepat bila suhu dinaikkan
mendekati titik didih metanol (68°C). Perhitungan stoikimetri pada reaksi transesterifikasi
membutuhkan 3 mol alkohol setiap mol trigliserida untuk menghasilkan 3 mol asam ester dan
1 mol gliserol (lihat Gambar 1). Rasio molar yang lebih tinggi menghasilkan konversi ester
yang lebih banyak dalam waktu yang lebih singkat (Krisnangkura, 1992). Swern (1982) dan
Noureddini dan Zhu (1997) menyatakan bahwa perbandingan metanol-asam lemak yang
optimum adalah perbandingan 5-6:1. Untuk reaksi yang membutuhkan energi aktivasi tinggi,
seperti transesterifikasi, diperlukan penambahan katalis untuk menurunkan energy aktivasi
dan mempercepat reaksi. Menurut Wikipedia (2008), katalis bereaksi
dengan satu atau lebih reaktan untuk membentuk produk intermediet menuju pembentukan
produk.
Reaksi transesterifikasi dapat berkataliskan basa, asam, atau enzim. Penelitian saat ini
banyak difokuskan pada dua metode awal dikarenakan waktu yang lebih singkat dan biaya
yang lebih murah. Katalis yang bersifat basa lebih umum digunakan pada reaksi
transesterifikasi karena menghasilkan metil ester yang tinggi dan waktu yang cepat (Wang et
al., 2006). Swern (1982) menambahkan bahwa konsentrasi katalis yang umum digunakan
adalah 0.5-4%. Namun pemakaian katalis basa hanya berlangsung sempurna bila minyak
dalam kondisi netral dan tanpa keberadaan air. Selain itu, dapat terbentuk sabun dimana
katalis hilang karena penyabunan dan terbentuk gel yang dapat menghambat proses
pemisahan. Katalis enzim menjanjikan kemampuan penggunaan berulang-ulang hingga 50
kali tanpa kehilangan potensi katalitiknya, serta penggunaan metanol yang sedikit. Tetapi
kerugiannya adalah waktu yang lama, pH
tertentu, pelarut tertentu, dan kandungan air tertentu (Pinto et al., 2005). Transesterifikasi
berkatalis asam lebih toleran terhadap asam lemak bebas tinggi, tetapi membutuhkan
pemanasan tinggi dan waktu yang lama (Canakci dan Gerpen, 1999).
Transesterifikasi juga dapat dilakukan tanpa katalis yang memberikan keuntungan
yaitu kemudahan dalam proses pencucian biodiesel. Kerugiannya adalah membutuhkan suhu
tinggi hingga 350°C, tekanan hingga 45 MPa, dan metanol yang banyak (Fukuda et al.,
2001). Menurut perbedaan fase dengan reaktan, katalis dapat dibagi menjadi katalis heterogen
yang berbeda fase dengan reaktannya (contohnya, katalis
padat pada campuran reaktan cair) dan katalis homogen yang memiliki fase yang sama
dengan reaktannya. Katalis heterogen menyediakan permukaan luas untuk tempat reaksi
kimia terjadi. Agar reaksi terjadi, satu atau lebih reaktan harus tersebar pada permukaan
katalis dan teradsorb ke dalamnya. Setelah reaksi selesai, produk harus mengabsorb dari
permukaan dan menjauh dari permukaan katalis padat. Seringkali, perpindahan reaktan dan
produk dari satu fase ke fase lainnya ini berperan dalam menurunkan energi aktivasi
(Wikipedia, 2008).
Katalis homogen selama ini telah digunakan secara luas pada produksi biodiesel,
karena harganya yang murah. Walaupun begitu, untuk aplikasi industri katalis heterogen yang
berwujud padat menawarkan keuntungan dibandingkan katalis homogen, yaitu mudahnya
pemisahan katalis dari produk dengan cara penyaringan dan tidak perlu proses netralisasi
untuk menghilangkan sisa katalis. Peterson dan Scarrah (1984) pernah menguji beberapa
katalis heterogen pada proses pembuatan biodiesel dan menyimpulkan bahwa katalis yang
mengandung campuran unsur Ca dan Mg, serta katalis yang mengandung K menghasilkan
rendemen metil ester yang tinggi. Katalis bersifat basa yang umum digunakan adalah basa
Brönsted sederhana seperti NaOH dan KOH. Pada umumnya penggunaan katalis tersebut
berkisar antara 0,5-1%. Freedman et al. (1984) membandingkan penggunaan katalis basa
NaOH dan NaOCH3 pada saat memproduksi biodiesel dari minyak kedelai.
Cara lain untuk menekan biaya produksi biodiesel adalah pemanfaatan katalis yang
murah. Katalis yang sangat mungkin berharga murah adalah katalis abu yang berasal dari
limbah tandan kosong sawit. Haryanto (2002) menyebutkan bahwa katalis yang bersumber
dari limbah seperti janjang sawit dan sekam padi juga dapat digunakan sebagai katalis.
Janjang atau tandan kosong sawit banyak mengandung komponen K yang baik sebagai
katalis.
Krisis minyak bumi di dunia memang tidak mungkin diatasi, karena bahan baker fosil
itu sudah tidak dapat diproduksi lagi. Tapi kita masih bisa mencari ALTERNATIVE dengan
menggunakan biodisel yang masih memungkinkan untuk di kembangkan atau ditanam.
BIODIESEL bisa menggunakan Minyak Jarak, Minyak Kelapa Sawit, Minyak Biji
Matahari, dan lainnya. Bahkan kita juga bisa menggunakan minyak jelantah (minyak goreng
bekas pakai) yang harganya sangat murah.
5. Non toksik
Selain itu dalam membangkitkan tenaga listrik, biodiesel tidak memerlukan genset
baru karena minyak jarak dapat langsung digunakan pada genset yang sudah ada.
Penggunaan bahan bakar fosil telah meninbulkan berbagai dampak buruk bagi
lingkungan. Seperti meningkatnya kadar gas rumah kaca di atmosfer bumi. Jika hal ini
dibiarkan secara terus menerus, maka pemanasn global adalah konsekuensi yang harus
dihadapi oleh seluruh penduduk bumi.
Sebagai salah satu sumber energi alternatif, Biodiesel dari tanaman jarak dapat
dikategorikan sebagai sumber energi ramah lingkungan. Karena menurut Humas (2005:2),
pembakaran mesin yang berbahan bakar biodiesel menghasilkan emisi gas buang, asap dan
partikel, yang lebih rendah. Angka setane yang lebih tinggi dibandingkan solar membuat
kadar emisi gas karbon, nitrogen, dan sulfur lebih rendah.
Selain itu, penggunaan biodiesel dari tanaman Jarak Pagar membuka kemungkinan
penanaman kembali lahan-lahan kritis yang ada di Indonesia. Menurut Humas (2005:2), saat
ini terdapat 13 juta hektar lahan kering di seluruh Indonesia. Mengingat tanaman Jrak Pagar
merupakan tanaman yang dapat tumbuh di lahan keirng dan kurang subur,maka dengan
menggunakan biodiesel di Indonesia, lahan-lahan kering tersebut akan dapat ditanami
kembali.
Jika petani diberi hak mengelola tiga hektar lahan kering, dengan kerapatan tanaman
2500 pohon per hektar dan produktivitas 10.000 kilogram biji per hektar serta harga biji lima
ratus rupiah per kilogram, setiap keluarga petani akan memperoleh panghasilan satu juta dua
ratus lima puluh ribu per bulan hanya berasal dari penjualan biji jarak (Anonim, 2005:2).
Pendapatan ini dapat bertambah jika bagian lain dari tanaman juga dimanfaatkan
Menurut Humas (2005:2), dari tiga juta hektar lahan kering akan dihasilkan 92.000
barel minyak per hari. Untuk memnuhi lahan tersebut diperlukan 7,5 miliar bibit. Bila dari
seluruh tanah tandus seluas 13 juta hektar ditanami jarak, maka akan dihasilkan lebih dari
400.000 barel minyak per hari. Dengan demikian kita akan mengehmat penggunaan devisa
negara yang biasa digunakan untuk mengimpor solar.
Dalam Kompas (2005: 14), biaya produksi biodiesel tergolong murah, rata-rata biaya
produksinya antara 600 hingga 100 per liter. Harga jual netto minyak jarak tersebut
diperkirakan Rp. 1.400-Rp. 2.100 per liter, harga ini jauh lebih murah jika dibandingkan
dengan harga minyak saat ini. Sehingga , pengolahan jarak menjadi biodiesel yang relatif
mudah dapat dilakukan dalam usaha skala kecil yang tidak membutuhkan modal yang besar.
Sehingga hal ini pun akan membuka lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia.
Potensi lain adalah ekspor biodiesel ke berbagai negara maju yang saat ini sedang
gencar-gencarnya menekan emisi gas rumah kaca. Negara-negara maju seperti Jerman,
Amerika Serikat, dan Brasil saat ini juga sedang mengembangkan penggunaan biodiesel. Jika
Indonesia mampu mengembangkan biodiesel dari minyak jarak dengan kualitas yang bagus,
pasar internasional terbuka untuk Indonesia.
Di Indonesia terdapat banyak lahan kritis yang tidak dapat ditanami karena humusnya
hilang. Jarak adalah tanaman yang dapat hidup dalam segala kondisi, sehingga tanaman jarak
dapat ditanam di lahan-lahan kritis tersebut. Hal ini akan membawa keuntungan baik secara
langsung maupun tidak langsung bagi masyarakat Indonesia. Keuntungan yang langsung
dapat diperoleh berupa lapangan pekerjaan yang akan memberi keuntungan secara finansial,
sedangkan keuntungan tidak langsung yang diperoleh berupa pengurangan polusi udara dan
penghijauan kembali lahan-lahan kritis yang dapat mengurangi banjir dan bencana alam lain.
Tanaman jarak jenis penghasil biodiesel ini sebenarnya sudah sangat populer di
kalangan masyarakat Indonesia. Di Indonesia tanaman ini dikenal dengan sebutan tanaman
jarak pagar. Sehingga pembudidayaan tanaman ini tidak akan menjadi hal yang asing bagi
masyarakat Indonesia.
Hanya saja untuk hasil yang maksimal, pemerintah perlu mengadakan suatu program
penelitian untuk menghasilkan bibit jarak pagar yang berkualitas unggul, sehingga dapat
dihasilkan biodiesel yang berkualitas unggul pula.
3. Memberikan emisi oksida nitrogen lebih lanjut (emisi Nitrogen oksida dari
campuran biodiesel mungkin bisa dikurangi dengan pencampuran dengan minyak
tanah atau Fischer-Tropsch diesel)
5. Biodiesel kurang cocok untuk digunakan dalam suhu rendah, dari petrodiesel.
"Titik awan" adalah suhu di mana sampel bahan bakar mulai muncul mendung,
menunjukkan bahwa kristal lilin telah mulai terbentuk. Pada suhu lebih rendah,
bahan bakar menjadi gel yang tidak dapat dipompa. "tuangkan titik" adalah suhu di
bawah ini yang bahan bakar tidak akan mengalir. Sebagai awan dan tuangkan poin
untuk biodiesel lebih tinggi daripada minyak bumi diesel, kinerja biodiesel dalam
kondisi dingin adalah nyata lebih buruk dari minyak diesel. Pada suhu rendah,
bahan bakar diesel membentuk kristal lilin, yang dapat menyumbat saluran bahan
bakar dan filter dalam sistem bahan bakar kendaraan. Kendaraan berjalan pada
campuran biodiesel karena itu mungkin menunjukkan masalah drivability lebih
kurang suhu musim dingin yang parah daripada kendaraan berjalan pada minyak
solar.
7. Telah ada beberapa kekhawatiran mengenai dampak biodiesel pada daya tahan
mesin
3.1. Kesimpulan
Canakci, M. and Van Gerpen J., 1999. Biodiesel production via acid catalysis. Trans. ASAE
Fukuda,H., Kondo, A., dan Noda, H., 2001,’’Biodiesel Fuel Production by Transesterification
Oil’’, Journal Bioscience and Bioengineering
Freedman BE, Pryde H, Mounts TL (1984). Variables affecting the yields of fatty esters from
transesterified vegetable oils, JAOCS.
Pereira, PA., and Andrade, JB. 2005. Biodiesel : An Overview. J. Braz. Chem. Soc.
Pinto, AC., Guarieiro, LLN., Rezende, MJC., Ribeiro, NM., Torres, EA., Lopes, WA.,
Zhang YM, Dub A, McLean DD, Kates M (2003). Biodiesel production from waste cooking
oil: 2. Economic assessment and sensitivity analysis. Bioresour Technol