Anda di halaman 1dari 2

Nama : Ageng Tri Lestari

NPM : 1306376540
Kelas : Undang-undang dan Etika Farmasi A

Rangkuman Kuliah III


Sebelum masuk ke topik utama, perkuliahan ini membahas pertanyaan mahasiswa
mengenai Surat Keputusan Menteri Kesehatan dan otonomi daerah. Surat Keputusan Menteri
Kesehatan hanya berlaku terhadap naungan di bawah Kementerian Kesehatan, bukan untuk
aturan masyarakat umum. Pada peraturan perundangan dan kebijakan kefarmasian yang
terkait pengadaan, produksi, distribusi, dan pelayanan farmasi, terdapat otonomi daerah.
Otonomi daerah untuk pertama kalinya mulai diberlakukan di Indonesia melalui Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (oleh B.J. Habibie).
Berdasarkan ruang lingkup pemerintahan, pemerintah dapat diklasifikasikan menjadi
pemerintah pusat (Presiden, DPR, menteri), pemerintah provinsi (gubernur, DPRD),
pemerintah kabupaten/kota (bupati/walikota), dan seterusnya. Tidak adanya hak, wewenang,
dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat dapat menimbulkan kerancuan dalam pemerintahan.
Otonomi daerah dapat menghilangkan kerancuan tersebut dan membentuk kepastian hukum
dengan adanya pembagian kewenangan.
Tidak semua peraturan perundangan sempurna. Terdapat beberapa bagian yang
mungkin tidak dijelaskan. Dalam pelaksanaannya, terdapat dua istilah yang dikenal, yaitu das
sein dan das sollen. Das sollen, yaitu kaidah hukum berisi kenyataan normatif (apa yang
seyogyanya dilakukan). Das Sein adalah segala sesuatu yang merupakan implementasi dari
segala hal yang kejadiannya diatur oleh das sollen. Apoteker diharapkan mampu
mengidentifikasi perundang-undangan dan perbedaan ketentuan terkait pelaksanaan dan
pengawasan terhadap tiga dimensi yang berbeda yang terdiri dari registrasi/notifikasi,
pengadaan, produksi dan distribusi antara obat-obat tradisional, kosmetika, dan PKRT/Alkes.
Pada perundang-undangan pelaksanaan dan pengawasan produksi dan distribusi,
untuk hal-hal tertentu terdapat PERDA-nya. Beberapa contoh UU yang mengatur
pengawasan produksi dan distribusi adalah UU 8/’99; UU 32/’04-UU 8/’05; UU 35 /’09; UU
13/’03; UU 36/’09; UU 44/’09; UU 36/’14, dan lain-lain. Semua undang-undang tersebut
berlaku untuk semua obat. Namun, UU No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika tidak berlaku
untuk obat tradisional.
Ruang lingkup pengaturan tediri dari tiga dimensi, yaitu pelaksanaan dan pengawasan
(dimensi I), produksi dan distribusi (dimensi II) dan sediaan farmasi dan alkes (dimensi III).
Peraturan mengenai dimensi I salah satunya terdapat pada PP No. 72 Tahun 1998. Salah satu
poinnya membahas mengenai izin edar registrasi dan notifikasi. Notifikasi adalah suatu
proses untuk memperoleh nomor izin edar untuk kosmetik. Disebut notifikasi karena hanya
dicatat dan dimasukkan ke server internet. Setiap kosmetika hanya dapat diedarkan setelah
dilakukan notifikasi kepada Kepala Badan POM RI dan wajib memenuhi standar dan/atau
persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan. Bahan obat tidak perlu ada izin edar, tetapi ada tata cara impornya. PP No. 72
tahun 1998 pasal 9, 10, dan 11 mengatur mengenai izin edar dan kriteria sediaan farmasi
yang boleh diedarkan. Yang boleh mendistribusikan obat adalah PBF (diatur dalam
PERMENKES 1148/2011). Regulasi lain terkait tiga dimensi di atas diatur dalam beberapa
peraturan perundangan dan kebijakan kefarmasian lain, seperti PERMENKES 1176/2010,
007/2012, 1190/2010, 1799/2010, dan lain-lain.
Pada ruang lingkup pengaturan sediaan farmasi, bahan kemas diatur secara ketat pada
sediaan ampul dan vial. Matriks materi pengaturan sediaan farmasi ditujukan terhadap obat,
obat tradisional, kosmetik, alkes, dan PKRT. Pasal 98 UU No. 36 tahun 2009 menyebutkan
bahwa sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan
terjangkau. Contoh ketentuan pemeliharaan mutu adalah keharusan industri farmasi untuk
memiliki setidaknya 3 apoteker. Pada dunia industri dikenal istilah Recall dan Retur. Recall
merupakan penarikan kembali obat dari pasar karena kehendak produsennya. Sedangkan
retur merupakan pengembalian obat dari pasar ke industri/pabrik. Pencatatan dan laporan
yang harus dibuat oleh pabrik meliputi batch record dan pengawasan mutu.
Terdapat 4 jenis monografi di farmakope, yaitu monografi umum (contoh: aerosol,
tablet, sirup); bahan baku (contoh: parasetamol, asam askorbat); sediaan khusus (contoh:
parasetamol tablet); dan reagen (contoh: HCl 0,1 N). Monografi merupakan paparan tentang
sifat dan ciri-cirinya. Untuk obat tradisional dapat mengacu ke Farmakope Herbal Indonesia
(hanya terdapat informasi tentang bahan). Bila informasi yang dicari tidak ada, dapat
mencarinya di Materia Medika Indonesia. Untuk bahan baku kosmetik dapat mengacu ke
Kodeks Kosmetika Indonesia yang merupakan surat keputusan sebagai persyaratan mutu
bahan kosmetika yang berlaku di Indonesia. Cosmeceutical tidak ada regulasinya di
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai