Anda di halaman 1dari 40

am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
PUTUSAN
Nomor : 4/Pid.Prap/2019/PN.Tte

si
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

ne
ng
Pengadilan Negeri Ternate yang mengadili perkara Praperadilan dalam
tingkat pertama telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara

do
gu antara:
1. Nama lengkap : Febrianto Putra
2. Tempat lahir : Makassar

In
A
3. Umur/tanggal lahir : 27 tahun / 23 Februari 1993
4. Jenis kelamin : Laki-laki
ah

lik
5. Kebangsaan : Indonesia
6. Tempat tinggal :Kelurahan Kayu Merah, Kecamatan Ternate Sela-
am

ub
tan, Kota Ternate
7. Agama : Islam
8. Pekerjaan : Karyawan Swasta
ep
k

yang dalam ini memberi kuasa kepada Muhammad Thabrani, S.H.,M.H. dan
ah

Hamid Rahakbau, S.H, beralamat di Jl. Rambutan, Rt 01 / Rw 02, Kelurahan


R
Makassar Barat, Kecamatan Ternate Tengah,berdasarkan surat kuasa khusus

si
tanggal 10 Juli 2019 dan telah didaftarkan di Kepanitraan Pengadilan Negeri

ne
ng

Ternate pada tanggal 31 Juli 2019 dengan Nomor:228/SK.Pid/VII/2019/PN


Tte........................................................... selanjutnya disebut sebagai Pemohon;
Melawan

do
gu

Kepala Kepolisian Resort Ternate cq. Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres
Ternate yang beralamat di Jl. Hasal Esa No. 1, Kelurahan Takoma, Kecamatan
In
A

Ternate Tengah, Kota Ternate, selanjutnya disebut sebagai .............Termohon;


ah

Pengadilan Negeri tersebut;


lik

Setelah membaca penetapan Ketua Pengadilan Negeri Ternate Nomor :


4/Pid.Prap/2019/PN.Tte tanggal 31 Juli 2019 tentang penunjukan Hakim;
m

ub

Setelah membaca penetapan Hakim tanggal 1 Agustus 2019 tentang


penetapan hari sidang;
ka

ep

Setelah membaca berkas perkara dan surat-surat yang berhubungan


dengan perkara ini;
ah

Menimbang, bahwa Pemohon melalui surat permohonan yang telah


R

es

didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri Ternate tanggal 31 Juli 2019


M

ng

on

Halaman 1 dari 40 Putusan Nomor : 4/PraPid.B/2019/PNTte.


gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
2

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
register Nomor : 4/Pid.Prap/2019/PN.Tte , telah mengajukan permohonan

si
praperadilan dengan alasan-alasan sebagai berikut:
Bahwa Pemohon mengajukan permohonan Praperadilan terhadap tidak sah -nya

ne
ng
upaya paksa tentang (1) Penetapan Pemohon sebagai Tersangka; (2)
penangkapan; (3) penahanan; dan (2) penyitaan dalam dugaan Tindak Pidana
Pencurian sebagaimana diancam Pasal 263 ayat (1) ke-3 subsidair Pasal 362

do
gu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berdasarkan Surat Perintah
Penyidikan No: Sp.Dik/135.a/VII/2019/Res Ternate, tanggal 09 Juli 2019, oleh

In
A
Kasatreskrim Polres Ternate in casu Termohon.
Adapun yang menjadi alasan permohonan Pemohon adalah sebagai berikut :
ah

lik
I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

1. Perlu dipahami dan diketahui bahwa lahirnya lembaga Praperadilan adalah


am

ub
karena terinspirasi oleh prinsip-prinsip yang bersumber dari adanya hak
Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo-Saxon, yang memberikan
jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya hak
ep
k

kemerdekaan. Habeas Corpus Act memberikan hak pada seseorang


ah

melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut pejabat yang


R

si
melaksanakan hukum pidana formil tersebut agar tidak melanggar hukum
(ilegal) atau tegasnya melaksanakan hukum pidana formil tersebut benar-

ne
ng

benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini untuk
menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan

do
terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah
gu

memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak-


hak asasi manusia;
In
A

2. Bahwa keberadaan Lembaga Praperadilan, sebagaimana diatur dalam


Bab X Bagian Kesatu dan Bab XII Bagian Kesatu Undang-Undang No. 8
ah

lik

Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP),


secara expressis verbis dimaksudkan sebagai sarana kontrol atau
m

pengawasan horizontal untuk menguji keabsahan penggunaan wewenang


ub

oleh aparat penegak hukum (terutama Penyelidik/Penyidik maupun


ka

Penuntut Umum), sebagai upaya koreksi terhadap penggunaan wewenang


ep

apabila dilaksanakan secara sewenang-wenang dengan maksud/tujuan


lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP, guna
ah

menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap orang termasuk in casu


es

Pemohon. Menurut Luhut M. Pangaribuan, lembaga Praperadilan yang


M

ng

terdapat di dalam KUHAP identik dengan lembaga pre-trial yang terdapat


on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
3

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
di Amerika Serikat yang menerapkan prinsip Habeas Corpus, yang mana

si
pada dasarnya menjelaskan bahwa di dalam masyarakat yang beradab
maka pemerintah harus selalu menjamin hak kemerdekaan seseorang.

ne
ng
3. Bahwa lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s/d 83
KUHAP adalah suatu lembaga yang berfungsi untuk menguji apakah
tindakan/upaya paksa yang dilakukan oleh penyelidik/penyidik/penuntut

do
gu umum sudah sesuai dengan undang-undang dan tindakan tersebut telah
dilengkapi administrasi penyidikan secara cermat atau tidak, karena pada

In
A
dasarnya tuntutan Praperadilan menyangkut sah atau tidaknya tindakan
penyidik atau penuntut umum di dalam melakukan penyidikan atau
ah

lik
penuntutan;
4. Bahwa tujuan Praperadilan seperti yang tersirat dalam penjelasan Pasal
80 KUHAP adalah untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui
am

ub
sarana pengawasan horizontal, sehingga esensi dari Praperadilan adalah
untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau
ep
penuntut umum terhadap Tersangka, benar-benar dilaksanakan sesuai
k

ketentuan undang-undang, dilakukan secara profesional dan bukan


ah

tindakan yang bertentangan dengan hukum sebagaimana diatur dalam


R

si
KUHAP atau perundang-undangan lainnya.
5. Bahwa apabila kita merujuk pendapat S. Tanusubroto, yang menyatakan

ne
ng

bahwa keberadaan lembaga Praperadilan sebenarnya memberikan


peringatan:

do
gu

1) Agar penegak hukum harus hati-hati dalam melakukan tindakan


hukumnya dan setiap tindakan hukum harus didasarkan kepada
ketentuan hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan
In
diri serta menjauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang;
A

2) Ganti rugi dan rehabilitasi merupakan upaya untuk melindungi warga


negara yang diduga melakukan kejahatan yang ternyata tanpa
didukung dengan bukti-bukti yang menyakinkan sebagai akibat dari
ah

lik

sikap dan perlakuan penegak hukum yang tidak mengindahkan prinsip


hak-hak asasi manusia;
3) Hakim dalam menentukan ganti kerugian harus memperhitungkan dan
m

ub

mempertimbangkan dengan seksama, baik untuk kepentingan orang


yang dirugikan maupun dari sudut kemampuan finansial pemerintah
dalam memenuhi dan melaksanakan putusan hukum itu.
ka

4) Dengan rehabilitasi berarti orang itu telah dipulihkan haknya sesuai


ep

dengan keadaan semula yang diduga telah melakukan kejahatan.


5) Kejujuran yang menjiwai KUHAP harus diimbangi dengan integritas
dan dedikasi dari aparat penegak hukum, karena tanpa adanya
ah

keseimbangan itu semuanya akan sia-sia belaka.


R

Selain itu menurut, pendapat Indriyanto Seno Adji bahwa KUHAP


es
M

menerapkan lembaga Praperadilan untuk melindungi seseorang dalam


ng

pemeriksaan pendahuluan terhadap tindakan-tindakan kepolisian


on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
4

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
(Termohon) sebagai salah satu institusi yang berhak menyidik) dan/atau

si
Kejaksaan yang melanggar hukum dan merugikan seseorang (Pemoh on),
dimana lembaga Praperadilan ini berfungsi sebagai lembaga pengawas

ne
ng
terhadap upaya paksa yang dilaksanakan oleh pejabat penyidik dalam
batasan tertentu.
6. Bahwa apa yang diuraikan di atas, yaitu filosofi Lembaga Praperadilan

do
gu sebagai upaya pengawasan penggunaan wewenang guna menjamin
perlindungan Hak Asasi Manusia, telah dituangkan secara tegas dalam

In
A
Konsideran Menimbang huruf (a) dan (c) KUHAP yang dengan sen dirinya
menjadi spirit atau ruh/jiwanya KUHAP, yang berbunyi :
ah

(a) “Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan

lik
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi
hak asasi manusia serta yang menjamin segala warganegara
am

ub
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya”;
(c) “bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang
ep
k

hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan


kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para
ah

palaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang


R

si
masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan
terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian

ne
ng

hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-


Undang Dasar 1945”.
Juga ditegaskan kembali dalam Penjelasan Umum KUHAP, tepatnya pada

do
gu

angka 2 paragraf ke-6 yang berbunyi :


“...Pembangunan yang sedemikian itu di bidang hukum acara pidana
bertujuan, agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya
In
A

dan agar dapat dicapai serta ditingkatkan pembinaan sikap para


pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang
masing-masing kearah tegak mantabnya hukum, keadilan dan
ah

perlindungan yang merupakan pengayoman terhadap keluhuran harkat


lik

serta martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum demi


tegaknya Republik Indonesia sebagai Negara Hukum sesuai dengan
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945”.
m

ub

7. Bahwa permohonan yang dapat diajukan dalam pemeriksaan


Praperadilan, selain daripada persoalan sah atau tidaknya penangkapan,
ka

ep

penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan maupun


ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara
ah

pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77


R

KUHAP), juga meliputi tindakan lain sebagaimana ditentukan secara tegas


es
M

dalam ketentuan Pasal 95 menyebutkan bahwa :


ng

on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
5

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
(1) Tersangka, terdakwa atau Terpidana berhak menuntut ganti kerugian
karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan

si
lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan;
(2) tuntutan ganti kerugian oleh Tersangka atau ahliwaris-nya atas

ne
ng
penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang
atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

do
gu yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus disidang
Praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.
Dengan kata lain, Pasal 95 ayat (1) dan (2) pada pokoknya merupakan

In
tindakan penyidik atau penuntut umum dalam rangka menjalankan
A
wewenangnya yang dilakukan tanpa alasan hukum, sehingga melan ggar
Hak Asasi atau harkat martabat kemanusiaan atau merugikan seseorang,
ah

lik
in casu adalah Pemohon. Oleh karena itu, tindakan lain yang dilakukan
oleh Termohon menjadi objek permohonan Praperadilan.
am

ub
8. Bahwa menguji keabsahan penetapan status Tersangka (in casu
Pemohon) adalah untuk menguji tindakan –tindakan penyidik itu apakah
bersesuaian dengan norma/ketentuan dasar-mengenai penyidikan yang
ep
k

termuat dalam KUHAP, mengingat penetapan status tersangka seseorang


ah

adalah “kunci utama” dari tindakan selanjutnya yang dapat dilaku kan oleh
R

si
aparat penegak hukum (in casu Penyelidik, Penyidik dan Penuntut Umu m)
berupa upaya paksa, baik berupa penangkapan, pencegahan,

ne
ng

penggeledahan, penyitaan maupun penahanan. Dengan kata lain, adan ya


“status tersangka” itu menjadi alas hukum bagi aparat penegak hukum (in

do
gu

casu Penyelidik, Penyidik dan Penuntut Umum) untuk melakukan suatu


upaya paksa terhadap seseorang yang telah ditetapkan sebagai
tersangka. Artinya, seseorang tidak dapat ditangkap atau ditahan atau
In
A

dilakukan pencegahan tanpa adanya keadaan menyangkut status


seseorang itu telah ditetapkan sebagai Tersangka;
ah

lik

9. Bahwa pengujian keabsahan penetapan Tersangka adalah melalui pranata


Praperadilan, karena penetapan sebagai Tersangka ini adalah dasar
m

ub

hukum untuk dapat dilakukan upaya paksa terhadap seorang warga


Negara, yang merupakan bagian dari rangkaian tindakan penyidik dalam
ka

proses penyidikan, sehingga pranata hukum yang berwenang menguji dan


ep

menilai keabsahan “Penetapan Tersangka” adalah Praperadilan;


ah

10. Bahwa dalam praktek peradilan, Hakim telah membuat putusan terkait
R

penetapan tersangka diakui sebagai obyek praperadilan, antara lain:


es

i. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara Praperadilan No.


M

38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel. telah menerima dan mengabulkan


ng

permohonan Praperadilan dengan menyatakan antara lain “tidak sah


on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
6

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
menurut hukum tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai
Tersangka”.

si
ii. Putusan Praperadilan dalam perkara No.
38/Pid.Prap/2012/PN.JKT.Sel, tanggal 27 November 2012, dengan

ne
ng
amar putusan, antara lain:
1. Menyatakan tidak sah menurut hukum tindakan Termohon
menetapkan Pemohon sebagai Tersangka telah melanggar Pasal
2 Ayat (1) atau pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1990 jo.

do
gu Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;
2. Menyatakan tidak sah menurut hukum penahanan terhadap

In
Pemohon sesuai Surat perintah penahanan Nomor: Print-
A
30/F.2/Fd.1/09/2012 Tanggal 26 September 2012 sebagai
Tersangka telah melanggar Pasal 2 ayat(1) atau pasal 3 UU
Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
ah

lik
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP;
3. Memerintahkan kepada Termohon untuk membebaskan
am

ub
Tersangka BACHTIAR ABDUL FATAH (Pemohon dalam perkara
Praperadilan ini) dari tahanan seketika setelah putusan ini
diucapkan.
iii. Putusan Praperadilan dalam perkara Nomor :
ep
k

4/Pid/Prap/2014/PN.Jkt.Sel, tanggal 16 Februari 2015, dengan amar


putusan, antara lain:
ah

1. “Menyatakan penetapan Tersangka atas diri Pemohon yang


R
dilakukan oleh Termohon adalah tidak sah”;

si
2. “Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang
dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkaitan dengan

ne
Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon oleh Termohon”;
ng

iv. Putusan Praperadilan dalam perkara Nomor:


04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 16 Februari 2015, dengan amar

do
putusan, antara lain:
gu

1. Menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik-


03/01/01/2015 tanggal 12 Januari 2015 yang menetapkan
Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon terkait peristiwa
In
A

pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a atau b,


Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 atau 12 B Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.
ah

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas


lik

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP adalah
tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya
m

ub

Penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan mengikat;


2. Menyatakan Penyidikan yang dilaksanakan oleh Termohon terkait
peristiwa pidana sebagaimana dimaksud dalam Penetapan
ka

Tersangka terhadap diri Pemohon sebagaimana dimaksud dalam


ep

Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 atau 12 B


Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
ah

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan


R

Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP adalah tidak
sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya
es

Penyidikan a quo tidak mempunyai kekuatan mengikat;


M

3. Menyatakan Penetapan Tersangka atas diri Pemohon yang


ng

dilakukan oleh Termohon adalah tidak sah;


on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
7

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
4. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang
dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkaitan dengan

si
Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon oleh Termohon;
v. Putusan Praperadilan dalam perkara No.

ne
ng
36/Pid.Prap/2015/PN.JKT.Sel, tanggal 26 Mei 2015, dengan amar
putusan, antara lain :
1. “Menyatakan Penyidikan yang dilakukan oleh Termohon
berkenaan dengan peristiwa pidana sebagaimana dinyatakan

do
gu dalam penetapan sebagai Tersangka terhadap diri Pemohon yang
diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang–Undang
No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

In
jo. Undang–Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
A
Undang–Undang No. 31 Tahun 1999 jis. Pasal 55 ayat (1) ke 1
KUHP adalah tidak sah oleh karenanya penyidikan a quo tidak
mempunyai kekuatan hokum mengikat dan oleh karena itu
ah

lik
diperintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan
berdasarkan Surat Perintah Penyidikan, No. Sprin DIK–
17/01/04/2014 tanggal 21 April 2014;
am

ub
2. Menyatakan menurut hukum tindakan Termohon menetapkan
Pemohon sebagai Tersangka yang melanggar Pasal 2 ayat (1)
atau Pasal 3 Undang–Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang–Undang No.
ep
20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang–Undang No.31
k

Tahun 1999 jis. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP berdasarkan Surat


ah

Perintah Penyidikan, No. Sprin DIK–17/01/04/2014 adalah tidak


sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya
R

si
Penetapan Tersangka aquo tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.”;

ne
ng

vi. Putusan Praperadilan dalam perkara Nomor:


67/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 4 Agustus 2015, dengan amar
putusan, antara lain:
1. Menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Prin-

do
gu

752/O.1/Fd.1/06/2015 tanggal 5 Juni 2015 yang menetapkan


Pemohon sebagai tersangka oleh Termohon terkait peristiwa
Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 9,
Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
In
A

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah


diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang–Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
ah

lik

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1


KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh
karenanya Penetapan a quo adalah tidak mempunyai kekuatan
mengikat;
m

ub

2. Menyatakan Penyidikan yang dilaksanakan oleh Termohon terkait


peristiwa Pidana sebagaimana dimaksud dalam Penetapan
ka

Tersangka terhadap diri Pemohon sebagaimana dimaksud dalam


ep

Pasal 2, Pasal 3, Pasal 9, Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-


Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
ah

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang–


R

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak


es

Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP adalah tidak sah
M

dan tidak berdasar hukum, dan oleh karenanya Penyidikan a quo


ng

tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;


on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
8

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
3. Menyatakan Penetapan Tersangka atas diri Pemohon yang
dilakukan oleh Termohon adalah tidak sah;

si
4. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang
dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkaitan dengan
Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon oleh Termohon;

ne
ng
vii. Putusan Praperadilan dalam perkara Nomor: 11/Praper/2016/PN.Sby
tanggal 7 Maret 2016, dengan amar putusan, antara lain:
1. Menyatakan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi

do
gu Jawa Timur Nomor: Print-86/O.5/Fd.1/01/2016, tanggal 27 Januari
2016 terkait perkara tindak pidana korupsi Penggunaan Dana
Hibah untuk pembelian Initial Public Offering (IPO) Bank Jatim

In
pada Kamar Dagang dan Industri Provinsi Jawa Timur Tahun 2012
A
dan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa
Timur Nomor: Print-120/O.5/Fd.1/02/2016 tanggal 15 Februari
2016 terkait perkara tindak pidana pencucian uang dalam
ah

lik
pembelian Initial Public Offering (IPO) Bank Jatim pada Kamar
Dagang dan Industri Provinsi Jawa Timur Tahun 2012;
2. Menyatakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan oleh
am

ub
Termohon terkait perkara tindak pidana korupsi penggunaan dana
hibah untuk pembelian Initial Public Offering (IPO) Bank Jatim
pada Kamar Dagang dan Industri Provinsi Jawa Timur Tahun 2012
dan perkara tindak pidana pencucian uang dalam pembelian Initial
ep
Public Offering (IPO) Bank Jatim pada Kamar Dagang dan Industri
k

Provinsi Jawa Timur Tahun 2012 Tidak sah dan melanggar hukum
ah

serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;


R
Bahwa beberapa dasar putusan Praperadilan a quo, tentunya dapat

si
dijadikan rujukan dan yuriprudensi dalam memeriksa perkara Praperadilan

ne
ng

atas tindakan penyidik/penuntut umum yang pengaturannya di luar


ketentuan Pasal 77 KUHAP. Tindakan lain termasuk sah atau tidaknya
penggeledahan dan penyitaan yang salah/keliru atau bertentangan dengan

do
gu

peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh penyidik/penuntut


umum, tidak dapat dibiarkan tanpa adanya suatu koreksi. Jika
In
A

kesalahan/kekeliruan atau pelanggaran tersebut dibiarkan, maka akan


terjadi kesewenang-wenangan yang jelas-jelas akan mengusik rasa
ah

keadilan.
lik

11. Bahwa pranata Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s/d 83


KUHAP harus dimaknai dan diartikan sebagai pranata untuk menguji
m

ub

perbuatan hukum yang akan diikuti upaya paksa oleh penyidik atau
penuntut umum, karena pada dasarnya tuntutan Praperadilan adalah untuk
ka

ep

menguji sah tidaknya perbuatan hukum yang dilakukan oleh penyelidik,


penyidik atau penuntut umum di dalam melakukan penyidikan atau
ah

penuntutan sebagaimana dimaksud Putusan Mahkamah Konstitusi


R

Republik Indonesia Nomor 21/PUU–XII/2014 tanggal 28 April 2015;


es
M

12. Bahwa dengan memperhatikan praktek peradilan melalui putusan


ng

Praperadilan atas penetapan Tersangka tersebut di atas, serta


on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
9

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
pertimbangan hukum (ratio decidendi) Majelis Hakim Konstitusi dalam

si
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU -
XII/2014, tanggal 28 April 2015, yang berbunyi:

ne
ng
“...Oleh karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses
penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia
maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek
yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata

do
gu praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang
dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar
dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal

In
dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain
A
selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya.
Namun demikian, perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian
diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak
ah

lik
menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat
dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang
berlaku secara ideal dan benar. Dimasukkannya keabsahan penetapan
am

ub
tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan
terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka
sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan
yang sama di hadapan hukum. Berdasarkan pertimbangan tersebut di
ep
atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon mengenai penetapan
k

tersangka menjadi objek yang didalili oleh pranata praperadilan adalah


beralasan menurut hukum.” (Putusan MK hal 105-106),
ah

R
Maka cukup alasan hukumnya bagi Pemohon untuk menguji keabsahan

si
penetapan Pemohon sebagai Tersangka melalui Praperadilan ini;

ne
ng

13. Bahwa merujuk amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia


Nomor 21/PUU–XII/2014 tanggal 28 April 2015, yang berbunyi antara lain:

“(1.3) Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

do
gu

Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun


1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
In
A

Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk


penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;
(1.4) Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
ah

lik

Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun


1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan
m

ub

penyitaan;”
Maka menjadi jelas dan terang bahwa penetapan Tersangka termasuk
ka

juga sah atau tidaknya penyitaan menurut hukum adalah merupakan


ep

objek Praperadilan;
ah

14. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU –


R

XII/2014 tanggal 28 April 2015 sesungguhnya memperkuat Pertimbangan


es

Hukum (ratio decidendi) MK dalam Putusan Nomor 65/PUU-IX/2011,


M

ng

on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
10

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
bertanggal 1 Mei 2012, yang mengadili dalam kaitannya dengan Pasal 83

si
ayat (2) KUHAP mempertimbangkan antara lain:
“...salah satu pengaturan kedudukan yang sama di hadapan hukum
yang diatur dalam KUHAP tersebut adalah adanya sistem praperadilan

ne
ng
sebagai salah satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan
sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan
penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penyidikan, penuntutan,

do
gu penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, baik yang disertai
dengan permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi atau pun tidak.
Adapun maksud dan tujuan yang hendak ditegakkan dan dilindungi
dalam proses praperadilan adalah tegaknya hukum dan perlindungan

In
A
hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan
penyidikan dan penuntutan. Dengan demikian dibuatnya sistem
praperadilan yang diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83
ah

lik
KUHAP adalah untuk kepentingan pengawasan secara horizontal
terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan
(vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Kehadiran KUHAP dimaksudkan
untuk mengoreksi pengalaman praktik peradilan masa lalu, di bawah
am

ub
aturan HIR, yang tidak sejalan dengan perlindungan dan penegakan
hak asasi manusia. Selain itu, KUHAP memberikan perlindungan
terhadap hak asasi manusia bagi tersangka atau terdakwa untuk
membela kepentingannya di dalam proses hukum...”;
ep
k

Dengan pertimbangan di atas, secara implisit sesungguhnya sudah jelas


ah

bahwa penggeledahan dan penyitaan merupakan bagian dari mekan isme


R

si
kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik
atau penuntut umum dan karenanya termasuk dalam ruang lingkup

ne
ng

praperadilan.

15. Bahwa dalam hal ini, peranan hakim untuk menemukan hukum

do
gu

memperoleh tempat sangat penting dan menentukan. Hal ini secara tegas
dan jelas telah diamanatkan dalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang
In
A

berbunyi sebagai berikut :


ah

Pasal 10 ayat (1) :


lik

“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan


memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak
m

ub

ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan menggalinya”.


Pasal 5 ayat (1) :
ka

ep

“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memaham i


nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
ah

16. Bahwa penetapan status seseorang sebagai Tersangka in casu Pemohon ,


es

yang tidak dilakukan berdasarkan hukum/tidak sah, jelas menimbulkan hak


M

hukum bagi seseorang untuk melakukan upaya hukum berupa koreksi


ng

on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
11

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
dan/atau pengujian terhadap keabsahan melalui Lembaga Praperadilan.

si
Upaya penggunaan hak yang demikian itu selain sesu ai dengan spirit atau
ruh/jiwa KUHAP, juga sesuai dan dijamin dalam ketentuan Pasal 28 D ayat

ne
ng
(1) UUD Negara RI 1945 menentukan :
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan

do
gu hukum”.

Pasal 28I ayat (1) UUD RI Tahun 1945, kutipannya antara lain

In
menegaskan:
A
“.....Hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum,...adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
ah

lik
Secara filosofi bahwa Manusia sebagai Makhluk ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa (Allah SWT), oleh Pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk
am

ub
menjamin keberadaan harkat dan martabat dirinya yang bersifat universal
dan langgem, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan,
dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun (vide
ep
k

konsideran menimbang huruf a dan b UU UU 39 Tahun 1999 ten tan g Hak


ah

Asasi Manusia). Hak memperoleh keadilan yang merupakan hak


R
konstitusional setiap warga negara Republik Indonesia ditegaskan lebih

si
lanjut dalam Pasal 7 dan Pasal 8 TAP MPR No. XVII Tahun 1998 Tentang

ne
ng

Hak Asasi Manusia yang berbunyi:

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan


perlakuan hukum yang adil.” (Pasal 7)

do
gu

“Setiap orang berhak mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang


sama dihadapan hukum.” (Pasal 8)
Ketentuan a quo, dijabarkan lebih lanjut di dalam Pasal 17 UU 39 Tahun
In
A

1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), yang berbunyi :


“Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan
ah

lik

dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam


perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui
proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum
acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur
m

ub

dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”.

Sehingga dengan demikian, secara jelas dan tegas UUD Negara RI 1945
ka

ep

mengatur perlindungan dan kepastian hukum yang adil bagi setiap warga
negara. Terlebih lagi, Republik Indonesia telah meratifikasi International
ah

Covenant On Civil and Political Right (“ICCPR”) melalui Undang-Undang


R

es

Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil


M

and Political Right (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan


ng

on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
12

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Politik) (selanjutnya disebut “UU KOVENAN INTERNASIONAL”). ICCPR

si
yang telah diratifikasi melalui UU KOVENAN INTERNASIONAL,
merupakan salah satu instrumen Internasional utama yang berisi

ne
ng
mengenai pengukuhan pokok-pokok Hak Asasi Manusia. Dalam ketentuan
yang telah diratifikasi tersebut, negara telah berjanji untuk memberikan
jaminan guna melakukan pemulihan terhadap seseorang yang hak-haknya

do
gu telah dilanggar dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas institusi
negara/penegak hukum. Adapun ketentuan dimaksud adalah sebagai

In
A
berikut :
Pasal 14 angka 3 huruf a (mengenai hak yang dilanggar) :
ah

“In the determination of any criminal charge against him, everyone shall

lik
be entitled to the following minimum guarantees, in full equality : a) To
be informed promptly and in detail in a language which be understands
of the nature and cause of the charge against him” ;
am

ub
Terjemahannya : “Dalam penentuan suatu tindak kejahatan, setiap
orang berhak atas jaminan-jaminan minimal dibawah ini secara penuh,
yaitu : a) untuk diberitahukan secepatnya dan terinci dalam bahasa
yang dimengerti tentang sifat dan alasan tuduhan yang dikenakan
ep
k

terhadapnya.”
ah

Pasal 2 angka 3 huruf a dan b (mengenai janji negara untuk menjamin


R
pemulihan hak yang dilanggar) :

si
“Each State Party to the present Covenant undertakes : a) to ensure
that any person whose rights or freedoms as herein recognized are

ne
ng

violated shall have and effective remedy, notwithstanding that the


violation has been committed by persons acting in an official capacity; b)
To ensure that any person claiming such remedy should have his right

do
thereto determined by competent judicial, adminitrative or legislative
gu

authorities, or by any other competent authority provided for by the legal


system of the State, and to develop the possibilities of judicial remedy;
Terjemahannya : “Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji : a)
In
A

Menjamin bahwa setiap orang yang hak-hak atau kebebasannya diakui


dalam Kovenan ini dilanggar, akan memperoleh upaya pemulihan yang
efektif, walaupun pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang-orang yang
ah

lik

bertindak dalam kapasitas resmi; b) Menjamin bahwa setiap orang yang


menuntut upaya pemulihan tersebut harus ditentukan hak-hak-nya itu
oleh lembaga peradilan, administratif, atau legislatif yang berwenang,
atau oleh lembaga berwenang lainnya yang diatur oleh sistem Negara
m

ub

tersebut, dan untuk mengembangkan segala kemungkinan upaya


penyelesaian peradilan;”
ka

Dengan demikian, mengacu kepada ruh atau asas fundamental KUHAP


ep

(perlindungan hak asasi manusia) jo. ketentuan Pasal 17 UU HAM jo.


ah

Pasal 2 angka 3 huruf a dan b ICCPR yang telah diratifikasi melalui UU


R

KOVENAN INTERNASIONAL, maka pengujian atas keabsahan


es

penggunaan wewenang Aparatur Negara dalam melaksanakan KUHAP


M

ng

melalui lembaga Praperadilan telah secara sah mengalami perluasan


on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
13

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
sistematis (de systematische interpretatie) termasuk meliputi penggunaan

si
wewenang Penyidik yang bersifat mengurangi atau membatasi hak
seseorang seperti diantaranya menetapkan seseorang sebagai tersangka

ne
ng
secara tidak sah dan tidak berdasarkan hukum, sehingga tidak hanya
terbatas pada pengujian wewenang yang ditentukan dalam Pasal 77
KUHAP yaitu (a) Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,

do
gu penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; dan (b) ganti
kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya

In
A
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
17. Bahwa Pemohon telah ditetapkan sebagai Tersangka oleh Termohon
ah

lik
berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sp.Dik/135.a/VII/2019/Res
Ternate tanggal 9 Juli 2019 (merujuk Surat Perintah Penahanan Nomor:
Sp.Han/36/VII/2019/Reskrim 9 Juli 2019 {Bukti P-02}. Menurut Termohon,
am

ub
Pemohon diduga keras telah melakukan tindak pidana “PENCURIAN”
yang terjadi pada hari Rabu tanggal 26 Juli 2019 sekitar Jam 05.00 WIT,
ep
dengan cara pelaku yang bekerja sebagai karyawan di PT. SWADHARMA
k

SARANA INFORMATIKA (SSI) Sentra Operasi Ternate mengambil kunci


ah

tombak ATM yang berada di ruangan khusus kunci tombak ATM yang
R

si
berkantor di kelurahan Bastiong Talangame kemudian pelaku pergi ke
kompleks Pohon Pala di Kel. Kota Baru Kec. Kota Ternate tengah atau

ne
ng

tepatnya di lokasi ATM BRI Dispenda Kota Ternate selatan itu pelaku
membuka Both ATM dan mematikan CCTV di ruan gan ATM setelah itu

do
gu

pelaku mengambil salah satu kaset ATM dan mengambil uang yang ada di
dalam kaset ATM.
In
18. Bahwa berdasarkan seluruh uraian di atas, sangatlah beralasan dan cukup
A

alasan hukumnya dalam hal Praperadilan yang dimohonkan Pemoh on ini


diajukan kehadapan hakim, sebab yang dimohonkan oleh Pemohon u ntuk
ah

lik

diuji oleh pengadilan adalah berubahnya status Pemohon yang menjadi


Tersangka dan akan berakibat hilangnya kebebasan Pemohon,
m

ub

dilangggarnya hak asasi Pemohon akibat upaya paksa Termohon berupa


penangkapan, penahanan dan penyitaan yang dilakukan tidak sesuai
ka

prosedur yang ditentukan oleh hukum acara pidana dan dilakukan dengan
ep

prosedur yang salah dan menyimpang dari ketentuan hukum acara pidan a
ah

dalam hal ini KUHAP, oleh karenanya Permohonan Pemohon untuk


R

menguji keabsahan penetapan Pemohon sebagai Tersangka oleh


es

Termohon melalui Praperadilan adalah sah menurut hukum.


M

ng

on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
14

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
19. Penetapan status seseorang sebagai Tersangka in casu Pemohon, yang

si
tidak dilakukan berdasarkan hukum/tidak sah, jelas menimbulkan h ak
hukum bagi seseorang untuk melakukan upaya hukum berupa koreksi

ne
ng
dan/atau pengujian terhadap keabsahan melalui Lembaga Praperadilan

II. KEWAJIBAN HUKUM UNTUK MENDAHULUKAN PRAPERADILAN

do
gu 20. Bahwa berdasarkan putusan Mahmakah Konstitusi Nomor 21/PUU-
XII/2014, tanggal 28 April 2015 yang pada pokoknya menyatakan bahwa

In
A
lembaga praperadilan berwenang untuk menguji sah atau tidaknya
penetapan tersangka;
ah

21. Bahwa dalam permohonan praperadilan Pemohon, yang menjadi alasan

lik
permohonan praperadilan adalah untuk menguji keabsahan penetapan
Pemohon sebagai Tersangka sebagai pintu masuk upaya paksa lainya
am

ub
berupa Penangkapan, Penahanan, dan Penyitaan;
22. Bahwa meskipun dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP menyatakan
ep
bahwa apabila perkara praperadilan belum selesai diperiksa, praperadilan
k

harus diputuskan gugur apabila perkara pokoknya sudah mulai diperiksa,


ah

akan tetapi implementasi pasal tersebut menjadi berbeda setelah adanya


R

si
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang menyatakan
lembaga praperadilan berwenang mengadili penetapan tersangka, diman a

ne
ng

penetapan tersangka merupakan induk dari segala upaya paksa yang


berujung pada pemeriksaan pokok perkara oleh pengadilan.

do
gu

23. Bahwa MK kemudian mengatur tentang kapan permohonan Praperadilan


gugur dalam Putusan No. 102/PUU-XIII/2015 tanggal 9 November 2016,
yang amarnya berbunyi sebagai berikut:
In
A

“2. Menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8


Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran
ah

lik

Negara Republik Indonesia Nomor 3258) bertentangan dengan


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “suatu
m

ub

perkara sudah mulai diperiksa” tidak dimaknai “permintaan


praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah
dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama
ka

terdakwa/pemohon praperadilan”.
ep

Berdasarkan diktum itu, permohonan praperadilan Pemohon hanya dapat


ah

dinyatakan gugur apabila pokok perkara telah dilimpahkan dan telah


R

dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama Pemohon.


es

24. Bahwa sejak adanya ke-2 (dua) putusan Mahkamah Konstitusi tersebut,
M

ng

maka pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, khususnya harus dimaknai dan
on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
15

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
dibaca bahwa merupakan kewajiban dan kewenangan lembaga

si
praperadilan untuk terlebih dahulu menguji keabsahan penetapan
seseorang menjadi tersangka, karena penetapan tersangka yang

ne
ng
dilakukan secara sah yang dapat diadili. Dengan kata lain, ketentuan Pasal
82 ayat (1) huruf d KUHAP harus dibaca bahwa perkara tidak boleh
diperiksa oleh pengadilan ketika ada permohonan praperadilan yang

do
gu sedang diperiksa dan belum diputus.
25. Bahwa pemaknaan pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP yang demikian ini

In
A
berdasarkan alasan yuridis:
- Bahwa sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut,
kewenangan lembaga praperadilan berdasarkan KUHAP hanya
ah

lik
mengadili terkait sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, sah
atau tidaknya SP3 atau SKPP yang diikuti oleh ganti rugi dan/atau
rehabilitasi. Praperadilan tersebut tidak menghambat lembaga
am

ub
pengadilan atau majelis hakim untuk memeriksa pokok perkara guna
mengadili substansi pokok perkara, karena substansi praperadilan
terbatas pada sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan, sah
atau tidaknya penghentian penyidikan atau SKPP;
ep
- Sedangkan sejak adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, yang
k

menyatakan bahwa penetapan tersangka merupakan kewenangan


ah

lembaga peradilan untuk menilainya. Ini bermakna bahwa pen gadilan


tidak boleh memeriksa pokok perkara untuk mengadili dan
R

si
memutuskan Terdakwa bersalah atau tidak bersalah, terbukti secara
sah dan meyakinkan atau tidak terbukti, sebelum adanya putusan
lembaga praperadilan yang mengadili sah atau tidaknya penetapan

ne
ng

tersangka;
- Bahwa dalam permohonan Pemohon ini, yang dimohonkan untuk diuji
adalah keabsahan penetapan Pemohon sebagai tersangka.

do
gu

26. Bahwa dengan demikian, maka menjadi kewajiban pengadilan untuk


mendahulukan memutus permohonan praperadilan yang diajukan oleh
In
Pemohon sebelum dilakukannya pemeriksaan pokok perkara oleh
A

lembaga pengadilan yang mengadili pokok perkara.


27. Bahwa oleh karena adanya kewajiban hukum pengadilan untuk
ah

lik

mendahulukan memutus permohonan praperadilan maka pada hakekatnya


pada saat yang sama timbul suatu larangan bagi pengadilan untuk
m

ub

memeriksa perkara yang dilimpahkan oleh penuntut umum berkenaan


dengan perkara yang sedang diuji oleh praperadilan. Pada saat yang sama
ka

timbul suatu larangan bagi Termohon untuk melimpahkan berkas perkara


ep

dari penyidikan ke penuntutan bahkan ke pengadilan untuk mengadili


ah

pokok perkara dan karenanya Termohon harus menghormati lembaga


R

praperadilan yang diajukan oleh Pemohon di Pengadilan Negeri Ternate.


es
M

ng

on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
16

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
III. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

si
A. FAKTA-FAKTA
28. Bahwa Pemohon adalah warga negara berdasarkan Kartu Identitas

ne
ng
bernama FEBRIANTO PUTRA, lahir di Makassar tanggal 23 Februari
1993, berjenis kelamin laki-laki, beragama Islam, Pekerjaan sebagai

do
gu pegawai swasta, berkebangsaan Indonesia dan beralamat di kelurahan
Kayu Merah, Kecamatan Ternate Selatan, Kota Ternate yang tunduk pada
hukum dan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia;

In
A
29. Keterhubungan Pemohon dengan peristiwa pidana “PENCURIAN” yang
disangkakan sebagaimana pada angka (17) di atas, secara kronologis
ah

lik
sebagai berikut: “bahwa Pemohon bekerja sebagai karyawan di PT.
SWADHARMA SARANA INFORMATIKA (SSI) sejak 26 Desember 2016.
am

ub
Adapun peristiwa yang disangkakan “PENCURIAN” terhadap Pemohon
terjadi tanggal 26 Juni 2018 sekitar pukul 05.00 AM (Subuh). Lalu setelah
beberapa waktu kemudian yakni hari senin tanggal 2 Juli 2019 perbuatan
ep
k

Pemohon diketahui oleh Pihak Kantor in casu SSI. Kemudian Pemohon


ah

dipanggil menghadap ke kantor oleh Bapak Suriyanto (wakil pimpinan area


R

si
SSI) dan Bapak Busran (manager Sentra Operasi Ternate). Ketika
Pemohon datang ke kantor menghadap ke Bapak Suriyanto dan Bapak

ne
ng

Busran pada hari itu juga, Pemohon disuruh mengakui pencurian u ang di
mesin ATM karena perbuatan Pemohon terekam oleh CCTV ATM lengkap

do
dengan Foto-foto CCTV. Awalnya Pemohon mengelak, tapi Bapak
gu

Suriyanto mengatakan Pemohon kalau mengakui, masalah itu akan


diselesaikan secara kekeluargaan karena waktu itu, perbuatan Pemohon
In
A

belum diketahui oleh karyawan yang lain. Akhirnya Pemohon mengakui


perbuatan pencurian itu kepada Bapak Suriyanto dan Bapak Busran.
ah

lik

30. Bahwa setelah itu, Pemohon bersama Bapak Suriyanto dan Bapak Busran
bersama-sama pergi mengambil uang hasil pencurian ATM itu di rumah
m

ub

mertua Pemohon di belakang RRI dan dibawa kembali ke kantor.


Sesampainya di kantor Bapak Suriyanto dan Bapak Busran menyuruh
ka

Pemohon menunggu di depan ruangan lalu, Bapak Suriyanto dan Bapak


ep

Busran masuk ke ruangan untuk menghitung uang tersebut. Setelah


ah

dihitung Bapak Suriyanto dan Bapak Busran mengatakan kepada


R

Pemohon bahwa uang yang Pemohon ambil di mesin ATM itu lebih yakni
es

berjumlah Rp. 133.200.000,00 (seratus tigapuluh tiga juta dua ratus ribu
M

ng

rupiah) dan mencurigai Pemohon mengambil juga di tempat lain.


on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
17

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Kelebihan uang menurut Bapak Suriyanto dan Bapak Busran sekitar tiga

si
juta sekian. Dan saat itu, Pemohon sudah menjelaskan bahwa tidak ada
lokasi lain. Pemohon juga mengatakan waktu itu sejak mengambil uang

ne
ng
tersebut di mesin ATM depan Kantor Dispenda Kota Ternate tanggal 26
Juni 2019, Pemohon tidak pernah menghitung uag tersebut yang Pemohon
masukan di tas kresek (plastik) sampai uang itu Pemohon serahkan ke

do
gu Bapak Suriyanto dan Bapak Busran. Lalu setelah itu, Pemohon
diperbolehkan untuk pulang ke rumah.

In
A
31. Bahwa pada hari Senin tanggal 8 Juli 2019 sekitar pukul 13.00 PM (jam 1
siang), Pemohon dijemput oleh Anggota Polisi bernama EKI LATARIMA
ah

lik
dirumah tanpa menunjukan “Surat Tugas” dan “Surat Perintah
Penangkapan” lalu Pemohon dibawa ke Penginapan MUARA INN yang
am

ub
berada di Kelurahan Kampung Pisang. Sesampainya di lobi MUARA INN,
Pemohon ternyata sudah ditunggu oleh dua orang yaitu tim audit dari SSI
yang bernama FIKI dengan seorang anggota Polisi yang dibawa dari
ep
k

Manado, kemudian masuk dikamar hotel, Pemohon diinterogasi terkait


uang yang Pemohon ambil dimesin ATM dan diminta membuat
ah

R
“Pengakuan” terkait atasan Pemohon di kantor yang menyuruh Pemohon

si
untuk mengambil. Jawaban Pemohon waktu itu yaitu “tidak tahu-menahu

ne
kalau soal itu”. Tapi anggota Polisi yang dibawa dari Manado mengancam
ng

dan menakut-nakuti dengan mengatakan kalau tidak membuat pengaku an


maka akan menembak kaki Pemohon.

do
gu

32. Bahwa setelah di interogasi di Penginapan MUARA INN, Pemohon lalu


dibawa lagi ke Polres Kota Ternate dan setibanya di Polres, Pemohon
In
A

diinterogasi lagi oleh Polisi di Polres Kota Ternate yang intinya mengenai
“gerak-gerik Bos Pemohon di kantor”. Setelah pemeriksaan, Pemohon
ah

lik

tidak diizinkan pulang, lalu dimasukkan ke Tahanan sekitar pukul 18.00


atau waktu magrib. Padahal Laporan Polisi mengenai kasus Pemohon
baru tercatat di tanggal 8 Juli 2019 {lihat Surat Penangkapan No. Pol. :
m

ub

Sp.Kap/64/VII/2019/Rekrim, Bukti P-01}, artinya penjembutan Pemohon


oleh Anggota Polisi bernama EKI LATARIMA dirumah tanpa menunjukan
ka

ep

“Surat Tugas” dan “Surat Perintah Penangkapan” itu Pemohon belum


berstatus Tersangka.
ah

33. Bahwa keesokan harinya tanggal 8 Juli 2019 (1x24 jam), Pemohon tidak
es

dikeluarkan dari tahanan. Padahal Pemohon saat itu belum berstatus


M

ng

tersangka. kemudian pada hari rabu tanggal 10 Juli 2019 ketika Pemohon
on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
18

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
diperiksa (di-BAP) untuk pertama kali oleh Penyidik Pembantu bernama

si
AMIR MAHMUD, lalu Pemohon meminta terkait Surat Penangkapan dan
Surat Penahanan, dan di tan ggal 10 Juli 2019 itu setelah diminta baru

ne
ng
Surat Penangkapan dan Surat Penahanan oleh penyidik diberikan kepada
Pemohon, dan salinannya untuk pihak keluarga maupu n kepada Penasihat
Hukum Pemohon, padahal di-BAP pada hari rabu, Pemohon sudah

do
gu didampingi Penasihat hukum yang disediakan oleh Keluarga. Selain itu,
salinan Surat Penangkapan dan Surat Penahanan baru diserahkan kepada

In
A
pihak Keluarga pada hari Jum’at tanggal 12 Juli 2019 di rumah mertua
Pemohon yang bealamat di belakang Kedaton Kesultaan, Kelurahan
ah

lik
Salero. Adapun mengenai Penetapan status tersangka Pemohon, pihak
Penyidik tidak pernah memberikan salinan Surat Perintah Dimulainya
Penyidikan (SPDP) kepada Pemohon sebagai Terlapor/Tersangka
am

ub
maupun tembusannya kepada Pihak Keluarga sampai permohonan ini
sampai di hadapan Yang Mulia Hakim Praperadilan.
ep
k

34. Bahwa terkait dengan Penyitaan, motor merk Honda Beat tahun 2017
milik Pemohon dengan Nomor Polisi DG 2279 KV bukan diambil oleh
ah

R
Penyidik, melainkan yang disuruh mengambil motor adalah teman kerja

si
Pemohon, dan Surat Perintah Penyitaan baru diminta untuk ditandatangani

ne
ng

kepada Pemohon di sel tahanan pada tanggal 17 Juli 2019 dan salinannya
tidak diberikan kepada Pemohon maupun pihak Keluarga.

35. Bahwa berdasarkan surat penahanan {lihat Bukti P-02}, tercatat Surat

do
gu

Perintah Penyidikan No. Sp.Dik/135.a/VII/2019 Res Ternate, tanggal 09


Juli 2019 atas diri Pemohon, tetapi Pemohon tidak mengetahui pasti sejak
In
A

kapan Pemohon ditetapkan sebagai tersangka sebab, SPDP tidak pernah


diserahkan oleh Termohon kepada Pemohon ataupun pihak keluarga
ah

lik

sampai permohonan ini sampai dihadapan Yang Mulia. Oleh karena itu,
uraian fakta tersebut mohon kiranya untuk dipertimbangkan oleh Yang
Mulia Hakim Praperadilan.
m

ub

B. TENTANG HUKUMNYA
ka

ep

36. Bahwa dalam Surat Perintah Penan gkapan No. Pol. :


Sp.Kap/64/VII/2019/Rekrim tanggal 8 Juli 2019 {Bukti P-01} atas nama
ah

diri Pemohon, disebutkan alasan penangkapan sebagai berikut:


R

“bahwa untuk kepentingan penyelidikan dan/atau penyidikan tindak


es

pidana dan/atau bagi pelaku pelanggaran yang telah dipanggil dua


M

ng

kali berturut-turut tidak datang tanpa alasan yang sah, maka perlu
mengeluarkan surat perintah ini.”
on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
19

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Surat Perintah Penangkapan a quo, didasarkan atas Laporan Polisi No.

si
Pol: LP/85/VII/2019 Res Ternate, tanggal 08 Juli 2019. Padahal
sebagaimana diuraikan di atas, bahwa Pemohon bukanlah tertangkap

ne
ng
tangan tapi dijemput oleh Anggota Polisi bernama EKI LATARIMA pada
tanggal 8 Juli 2019 dirumah tanpa menunjukan “Surat Tugas” dan “Su rat
Perintah Penangkapan”, lalu Pemohon dibawa ke Penginapan MUARA

do
gu INN. Ternyata di Penginapan telah menunggu dua orang yaitu tim audit
dari SSI yang bernama FIKI dengan seorang anggota Polisi yang dibawa

In
A
dari Manado, Pemohon kemudian diinterogasi dikamar hotel terkait u an g
yang Pemohon ambil dimesin ATM dan diminta membuat “Pengakuan”
ah

lik
bahwa atasan Pemohon di kantor yang menyuruh Pemohon untuk
mengambil uang. Jawaban Pemohon waktu itu yaitu “tidak tahu kalau
soal itu”. Tapi anggota Polisi yang dibawa dari Manado mengancam dan
am

ub
menakut-nakuti dengan mengatakan kalau tidak membuat pengakuan
maka akan menembak kaki Pemohon. Lalu, sore harinya Pemohon
ep
dibawa ke Polres Kota Ternate kemudian diinterogasi lagi oleh Polisi di
k

Polres Kota Ternate mengenai “gerak-gerik Bos Pemohon di kantor”.


ah

Setelah pemeriksaan, Pemohon tidak diizinkan pulang, lalu dimasukkan


R

si
ke Tahanan kira-kira pukul 18.00 atau waktu magrib. Dari fakta tersebut,
menunjukan bahwa (1) upaya paksa penangkapan tanggal 8 Juli 2019

ne
ng

oleh Anggota Polisi bernama EKI LATARIMA yang tidak menunjukan


“Surat Tugas” dan “Surat Perintah Penangkapan ”; (2) lalu membawa

do
gu

Pemohon ke Penginapan MUARA INN dan setelah itu dibawa ke Polres


Kota Ternate kemudian dijebloskan kedalam penjara tanpa
In
tembusan/pemberitahuan ke pihak keluarga. Fakta tersebut tidak seperti
A

yang tertera di Surat Perintah Penangkapan No. Pol. : Sp.Kap/64/VII/


2019/Rekrim tanggal 8 Juli 2019 bahwa yang menangkap Pemohon
ah

lik

adalah Penyidik Bripka Riki Arinanda, SH, S.I.K, MM, Kanit Resmob
Bripka Gapra, anggota Buser Brikpol Rivai Sirfan dan Brikpol Rahman
m

ub

Ekoran.
Atas dasar fakta itulah, sudah sepatutnya Penangkapan atas diri
ka

Pemohon dinyatakan tidak sah (illegal) karena tidak berdasarkan/


ep

menyimpang dari ketentuan hukum acara pidana (KUHAP) dan tanpa


ah

dilengkapi administrasi penyelidikan/penyidikan secara cermat. Sebab,


R

setiap upaya paksa (enforcement) dalam penegakan hukum


es

mengandung nilai Hak Asasi Manusia yang sangat fundamental (asasi),


M

ng

sehingga harus dilindungi dengan seksama dan hati-hati serta


on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
20

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
perampasan atasnya harus sesuai dengan “due process” dan hukum

R
yang berlaku “due to law”.

si
Berkenaan dengan itu, Pasal 1 angka 20 KUHAP mengartikan bahwa:

ne
ng
“Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan
sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila
terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan
dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam

do
gu undang-undang ini.
Ketentuan a quo, secara gamblang menerangkan bahwa subyek yang
ditangkap adalah seorang itu harus berstatus “Tersangka” atau

In
A
“Terdakwa”. Sedangkan syarat dari penangkapan itu apabila terdapat
“cukup bukti”. Lebih lanjut, Pasal 17 KUHAP mengatur: “Perintah
ah

lik
penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan
tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.” Dengan
am

ub
demikian, penangkapan harus ada “bukti permulaan yang cukup”. Apa
yang dimaksud terdapat “cukup bukti” atau “bukti permulaan yang cukup”
itu? Pasal 1 angka 14 KUHAP menegaskan bahwa: “Tersangka adalah
ep
k

seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti


ah

permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”


R
Pasal 1 angka 14 KUHAP kemudian diberikan “tafsir resmi” oleh

si
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan-nya No. 21/PUU–XII/2014 tan ggal

ne
ng

28 April 2015 yang amar-nya berbunyi:


“(1) Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti
yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal

do
17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
gu

tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia


Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
In
A

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai


bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”,dan “bukti
yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal
ah

184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara


lik

Pidana;
(2) Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti
yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal
m

ub

17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981


tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1981, Nomor 76,Tambahan Lembaran Negara Republik
ka

Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat


ep

sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan


yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti
ah

yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981


R

tentang Hukum Acara Pidana;


es

Berdasarkan amar Putusan MK tersebut, maka norma Pasal 1 angka 14


M

KUHAP harus dimaknai: “Tersangka adalah seorang yang karena


ng

on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 20
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
21

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan minimal dua alat bukti yang

si
termuat dalam Pasal 184, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”
Artinya, minimal dua alat bukti yang sah itu bertitel “Pro Justisia” harus

ne
ng
dimaknai “minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184” yang
tidak hanya sebatas alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184
KUHAP, namun juga meliputi “barang bukti” yang dalam konteks hukum

do
gu pembuktian yang berlaku universal dikenal dengan istilah physical
evidence atau real evidence yang tentunya tidaklah dapat terlepas dari

In
A
pasal yang disangkakan kepada Pemohon PEMOHON sebagai
tersangka, pada hakekatnya pasal yang akan dijeratkan berisi rumusan
ah

lik
delik yang dalam konteks hukum acara pidana berfungsi sebagai unjuk
bukti. Artinya pembuktian adanya tindak pidana tersebut haruslah
berpatokan kepada elemen–elemen (unsur-unsur) yang ada dalam suatu
am

ub
pasal yang disangkakan dan dihubungkan dengan minimal dua alat bu kti
yang sah yang ditemukan oleh Termohon. Dengan kata lain, Pemohon
ep
ketika ditangkap haruslah berstatus “Tersangka” terlebih dahulu
k

berdasarkan hasil penyelidikan atau penyidikan oleh Termohon


ah

berdasarkan minimal dual alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 ayat
R

si
(1) KUHAP: “Alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi; b. keterangan
ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa.”

ne
ng

Apabila merujuk Pasal 1 angka 23 Peraturan Kapolri (Perkap) No. 14


tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana jo. Pasal 1

do
gu

angka 23 Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri No. 3 tahun


2014 tentang Standar Operasional Prosedur Pelaksanaan Penyidikan
In
A

Tindak Pidana (SOP Penyidikan) ditegaskan bahwa “Alat bukti yang sah
adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan
ah

keterangan terdakwa sesuai pasal 184 KUHAP”. Dengan demikian,


lik

Laporan Polisi yang selama ini dianggap Polisi sebagai “bukti permulaan”
untuk menetapkan seseorang tersangka adalah kekeliruan fatal yang
m

ub

harus koreksi oleh lembaga Pengadilan. Berdasarkan norma tersebut,


muncul pertanyaan, sejak kapan Termohon memperoleh minimal 2 (du a)
ka

ep

alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP
guna menemukan Tersangka-nya yakni Pemohon sehingga Pemohon
ah

dijemput dari rumah tanggal 8 Juli 2019? Lebih lanjut, Penangkapan


R

terhadap diri Pemohon bukanlah “tertangkap tangan” sebab peristiwa


es
M

pidananya sudah terjadi lampau yakni tanggal 26 Juni 2018 sekitar pu ku l


ng

05.00 AM (Subuh). Oleh karena itu, Penangkapan terhadap Pemohon


on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 21
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
22

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
wajib didasarkan atas “Surat Tugas” dan “Surat Penangkapan”

si
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 18 KUHAP berikut ini:
“(1) Pelaksanaan tugas penangkapan. dilakukan oleh petugas
kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat

ne
ng
tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah
penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan
menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara

do
gu kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
(2) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan-dilakukan tanpa surat
perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera
menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada

In
A
penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.
(3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah
ah

lik
penangkapan dilakukan.”
Kemudian Pasal 19 ayat (1) KUHAP memberikan jangka waktu bahwa
“(1) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat
am

ub
dilakukan untuk paling lama satu hari.” Artinya surat penangkapan tidak
boleh diberikan penyidik setelah 1 x 24 jam atau 1 hari setelah
penangkapan itu dilakukan dan tembusan surat perintah penangkapan
ep
k

tersebut harus diberikan kepada keluarga tersangka “segera” setelah


ah

penangkapan dilakukan. Kata “segera” dalam Pasal 18 ayat (3) KUHAP


R

si
kemudian ditafsir oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya No.
3/PUU-XI/2013 tanggal 30 Januari 2014, secara expressis verbis

ne
ng

berbunyi:
“1.1. Frasa “segera” dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara

do
gu

Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran


Negara Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai
“segera dan tidak lebih dari 7 (tujuh) hari”;
In
A

1.2. Frasa “segera” dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8


Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran
ah

lik

Negara Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat


sepanjang tidak dimaknai “segera dan tidak lebih dari 7 (tujuh) hari”;”
m

ub

Berdasarkan Putusan a quo, maka harus dimaknai bahwa tembusan


surat perintah penangkapan haruslah diberikan kepada keluarga
ka

tersangka segera dan tidak lebih dari 7 (tujuh) hari setelah penangkapan
ep

dilakukan.
ah

M. Yahya Harahap dalam bukunya berjudul Pembahasan Permasalahan


R

dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 159)


es

mengatakan bahwa kalau tidak ada surat tugas penangkapan, tersan gka
M

ng

berhak menolak untuk mematuhi perintah penangkapan, karena surat


on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 22
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
23

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
tugas itu merupakan syarat formal yang bersifat “imperatif”. Juga agar

si
jangan terjadi penangkapan yang dilakukan oleh oknum yang tidak
bertanggung jawab. disamping itu, hal ini adalah untuk kepastian h ukum

ne
ng
bagi keluarga pihak yang ditangkap, sebab pihak keluarga dan tersan gka
mengetahui dengan pasti hendak ke mana tersangka, dibawa dan
diperiksa. Pemberitahuan penangkapan kepada pihak keluarga yang

do
gu disampaikan “secara lisan” dianggap “tidak sah”, karena bertentangan
dengan ketentuan undang-undang. Pemberian tembusan surat perintah

In
A
penangkapan kepada keluarga tersangka, ditinjau dari segi ketentuan
hukum adalah merupakan kewajiban pihak penyidik. (vide M. Yahya
ah

lik
Harahap dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan
Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan hlm. 160)
Berkenaan dengan itu, Surat perintah penangkapan tersebut paling tidak
am

ub
memberi penjelasan dan penegasan tentang:
3. Identitas tersangka, nama, umur, dan tempat tinggal;
4. Menjelaskan atau menyebutkan secara singkat alasan penangkapan;
ep
k

5. Menjelaskan uraian singkat perkara kejah atan yang disangkakan


terhadap tersangka;
ah

6. Menyebutkan dengan terang di tempat mana pemeriksaan dilakukan.


R

si
Sedangkan siapa pihak yang berhak menangkap ialah sebagaimana
diatur dalam:

ne
ng

Pasal 5 ayat (1) huruf b ke-1 KUHAP


“(1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 : b. atas
perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa: 1. penangkapan,

do
gu

larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penahanan;”


Pasal 7 ayat (1) huruf d KUHAP
“(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a
In
A

karena kewajibannya mempunyai wewenang: d. melakukan


penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;”
ah

Pasal 7 ayat (3) KUHAP


lik

“(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat


(1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang
berlaku.”
m

ub

Adapun mengenai kepangkatan “Penyidik” dan “Penyidik Pembantu”


ka

yang berwenang untuk menangkap sebagai berikut:


ep

Pasal 6 KUHAP
“(1) Penyidik adalah : a. pejabat polisi negara Republik Indonesia
ah

(2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat


R

(1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.


es

Pasal 10 KUHAP
M

ng

on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 23
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
24

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
“(1) Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik
Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian negara Republik

si
Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat (2) pasal ini.
(2) Syarat kepangkatan sebagaimana tersebut pada ayat (1) diatur
dengan peraturan pemerintah.”

ne
ng
Pasal 2 huruf (a) Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2010 Tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Tentang
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

do
gu “(1) Penyidik adalah: a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan
b. pejabat pegawai negeri sipil.
Lebih lanjut, Pasal 2A ayat (1) PP No. 58 Tahun 2010:

In
A
“(1) Untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik Kepolisian
Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf a, calon harus memenuhi persyaratan:
ah

lik
a. berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan
paling rendah sarjana strata satu atau yang setara;
b. bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun;
c. mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi
am

ub
reserse kriminal;
d. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat
keterangan dokter; dan
ep
e. memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.”
k

Sedangkan “Penyidik Pembantu” dijelaskan dalam Pasal 3 ayat (1) PP


ah

No. 58 Tahun 2010 bahwa:


“(1) Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik
R

si
Indonesia yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berpangkat paling rendah Brigadir Dua Polisi;
b. mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi

ne
ng

reserse kriminal;
c. bertugas dibidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun;
d. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat

do
gu

keterangan dokter; dan


e. memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.”
Pasal 33 ayat (4) Peraturan Kapolri No. 14 tahun 2012 tentang
In
Manajemen Penyidikan Tindak Pidana telah menggariskan rambu bagi
A

pelaksanaan penangkapan sebagai berikut:


“4) Prosedur dan teknis penangkapan dilaksanakan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.”
ah

lik

Berdasarkan ketentuan a quo, Penyidik yang berwenang menangkap


minimal berpangkat IPDA atau Penyidik Pembantu atas Perintah
m

ub

Penyidik minimal berpangkat BRIGDA. Dengan demikian, merujuk


ketentuan hukum acara pidana tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa:
ka

1. Upaya paksa penangkapan terhadap Pemohon oleh Termohon pada


ep

tanggal 8 Juli 2019 tanpa menunjukan “surat tugas” dan “surat


ah

perintah penangkapan” yang merupakan syarat formal bersifat


R

“imperatif” kepada Pemohon ataupun Pihak Keluarga bertentangan


es

dengan Hukum Acara Pidana (Pasal 18 ayat 1 KUHAP), padahal


M

ng

laporan Polisi baru tercatat tanggal 8 Juli 2019, artinya anggota Polisi
on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 24
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
25

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
yang bernama EKI LATARIMA (tidak tahu berpangkat apa dan

si
bertindak sebagai Penyidik atau Penyidik Pembantu) menjemput
PEMOHON dirumahnya untuk dibawa ke Penginapan MUARA INN

ne
ng
untuk di Interogasi oleh tim audit dari SSI yang bernama FIKI dengan
seorang anggota Polisi yang dibawa dari Manado dengan ancaman
dan ditakut-nakuti kalau tidak membuat pengakuan maka akan

do
gu ditembak kaki Pemohon telah melanggar elemen Surat perintah
Penangkapan tentang “Menyebutkan dengan terang di tempat mana

In
A
pemeriksaan dilakukan” dan menyimpang dari prinsip-prinsip hak
asasi manusia.
ah

lik
2. Penjemputan terhadap Pemohon untuk dibawa ke Penginapan
MUARA INN oleh anggota Polisi bernama EKI LATARIMA bukanlah
layaknya penangkapan yang sesuai dengan tata cara yang ditentukan
am

ub
oleh KUHAP dan bukanlah untuk kepentingan “pemeriksaan”,
melainkan diselewengkan diluar dari kepentingan “penyelidikan” atau
ep
“penyidikan”.
k

3. Surat Perintah Penangkapan No. Pol. : Sp.Kap/64/VII/2019/Rekrim


ah

tanggal 8 Juli 2019 yang dibuat Termohon setelah Pemohon ]di tahan
R

si
1 (satu) hari sebelumnya dengan mencantumkan nama-nama
Petugas antara lain (Penyidik Bripka Riki Arinanda, SH, S.I.K, MM,

ne
ng

Kanit Resmob Bripka Gapra, anggota Buser Brigpol Rivai Sirfan dan
Brigpol Rahman Ekoran) yang menangkap Pemohon adalah

do
gu

kebohongan, karena yang menangkap Pemohon adalah anggota


Polisi bernama EKI LATARIMA pada tanggal 8 Juli 2019, pada hari itu
In
juga sejak adanya Laporan Polisi No. Pol: LP/85/VII/2019/Res
A

Ternate, tanggal 8 Juli 2019 {bukti P-01}.


4. Bahwa merujuk pada Pasal 1 angka 14 sebagaimana telah diberikan
ah

lik

“tafsir” oleh MK dalam Putusan No. 21/PUU–XII/2014 tanggal 28 April


2015, maka Pemohon selaku pelaku tindak pidana seharusnya di
m

ub

tetapkan sebagai “Tersangka” berdasarkan “minimal dua alat bukti


yang termuat dalam Pasal 184” terlebih dahulu baru kemudian dapat
ka

dilakukan penangkapan. Tetapi, faktanya tanggal 8 Juli 2019 ketika


ep

Pemohon di jemput belum berstatus Tersangka dan Surat Perintah


ah

Penangkapan No. Pol.: LP/85/VII/2019/Res Ternate, tanggal 8 Juli


R

2019 {Bukti P-01} baru diberikan kepada Pemohon setelah diminta


es

pada Tanggal 10 Juli 2019 bersamaan dengan Surat Perintah


M

ng

Penahanan No: Sp.Han/36/VII/2019/Reskrim tertanggal 9 Juli 2019


on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 25
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
26

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
{Bukti P-02}. Tindakan Termohon tersebut menyalahi Pasal 19 ayat

R
(1) KUHAP yang memberikan jangka waktu bahwa “(1) Penangkapan

si
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan untuk paling

ne
ng
lama satu hari.” Artinya surat penangkapan tidak boleh diberikan
penyidik setelah 1x24 jam atau 1 hari setelah penangkapan itu
dilakukan.

do
gu Dengan demikian, rangkaian tindakan “keliru” Termohon telah
mengurangi kebebasan dan membatasi hak asasi Pemohon secara

In
A
melawan hukum (melanggar KUHAP). Cara-cara Termohon yang
mengungkap kejahatan dengan cara melanggar Hukum tidak boleh
ah

lik
ditoleril dari sisi manapun. Mengungkapkan kejahatan adalah
menegakkan hukum, tapi jikalau dengan cara melanggar hukum, hal itu
bukanlah menegakkan hukum melainkan melawan hukum atau den gan
am

ub
kata lain, mengungkap kejahatan dengan kejahatan! karena tidak ada
bedanya. Oleh karena itu, Telah cukup alasan dan sudah sepantasnya
ep
permohonan Pemohon mengenai tidak sah-nya penangkapan yang
k

dilakukan oleh Termohon terhadap diri Pemohon dinyatakan tidak sah


ah

(illegal) dan bertentangan dengan Hukum Acara Pidana yang berlaku


R

si
(KUHAP).
37. Bahwa mengenai “Penahanan” atas diri Pemohon, dalam Surat Perin tah

ne
ng

Penahanan No: Sp.Han/36/VII/2019/Reskrim tertanggal 9 Juli 2019 {Bukti


P-02} dengan Pertimbangan TERMOHON sebagai berikut:

do
gu

“bahwa untuk kepentingan penyidikan dan berdasarkan hasil


pemeriksaan diperoleh bukti yang cukup, tersangka diduga keras
melakukan tindak pidana yang dapat dikenakan penahanan dan
In
tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri, merusak atau
A

menghilangkan barang bukti dan mengulangi tindak pidana, maka


perlu dilakukan penahanan.”
ah

Dasarnya Surat Perintah Penyidikan No. Sp.Dik/135.a/VII/2019/Res


lik

Ternate, tanggal 09 Juli 2019 (SPRINDIK). Dengan demikian, dari


pertimbangan di tersebut, Termohon berkeyakinan bahwa: (1)
m

ub

berdasarkan hasil pemeriksaan diperoleh bukti yang cukup, tersangka


(Pemohon) diduga keras melakukan tindak pidana yang dapat dikenakan
ka

ep

penahanan; (alasan obyektif) dan (2) Tersangka (Pemohon)


dikhawatirkan akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang
ah

bukti dan mengulangi tindak pidana (alasan subyektif). Kedua dasar


R

penahanan itu, antara satu dengan yang lain saling menopang seh ingga
es
M

kalau salah satu unsur idak ada, tindakan penahanan kurang memen uhi
ng

asas legalitas. Jika alasan obyektif-nya terpenuhi sedangkan alasan


on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 26
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
27

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
subyektif-nya tidak terpenuhi maka sejatinya penahanan tersebut lebih

R
bernuansa “kezaliman” dan kurang berdimensi relevansi dan urgensi.

si
(vide M. Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Pembahasan

ne
ng
Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan hlm.
165-166)
Terkait dengan itu, muncul pertanyaan, sejak kapan Termohon

do
gu memperoleh minimal 2 (dua) alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 184 KUHAP guna menemukan Tersangka-nya yaitu

In
A
Pemohon? Apakah minimal dua alat bukti itu didapat pada tahap
Penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP?,
ah

lik
ataukah pada tahap Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 2 KUHAP?
Untuk menerangkan hal itu, merujuk Pasal 1 angka 21 menegaskan
am

ub
bahwa “Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di
tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan
ep
penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-
k

undang ini.” Adapun Pasal 20 ayat (1) KUHAP mengatur “(1) untuk
ah

kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah


R

si
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan
penahanan.” Alasan dilakukan penahanan diatur sebagai berikut:

ne
ng

Pasal 21 KUHAP:
“(1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap

do
seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan
gu

tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya


keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau
terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang
In
A

bukti dan atau mengulangi tindak pidana.


(2) Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau
penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan
ah

lik

memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang


mencatumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan
alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang
dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan.
m

ub

(3) Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan


atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus
ka

diberikan kepada keluarganya.


ep

(4) Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka


atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan
ah

maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal :


R

a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau
lebih;”
es
M

ng

on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 27
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
28

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Ketentuan a quo, dimaknai bahwa upaya paksa penahanan dalam

si
konteks ini adalah penempatan seorang tersangka in casu Pemohon
dengan pertimbangan diduga keras melakukan tindak pidana yang

ne
ng
diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan bukti yan g
cukup dan dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran
bahwa Pemohon akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan

do
gu barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana di tempat tertentu oleh
penyidik/penyidik pembantu atas perintah penyidik in casu Termohon

In
A
dengan memberikan surat perin tah penahanan yang mencatumkan
identitas Pemohon dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian
ah

lik
singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia ditahan.
Tembusan surat perintah penahanan harus diberikan kepada keluarga
Pemohon dalam waktu paling lambat 7 hari. Dengan kata lain, Pemoh on
am

ub
hanya oleh ditahan oleh Termohon bila statusnya sudah menjadi
Tersangka, bukan calon tersangka. Pemohon tidak boleh dilakukan
ep
penahanan bila status Tersangka-nya TIDAK SAH (ilegal). Artinya segala
k

upaya paksa termasuk juga penahanan sangatlah ditentukan oleh


ah

penetapan Terangka oleh Penyidik.


R

si
Untuk menentukan Pemohon sebagai Tersangka dalam perkara dugaan
tindak pidana “Pencurian” sebagaimana diancam dalam Pasal 363 ayat

ne
ng

(1) ke-3 subsidair Pasal 362 ayat (1) ke-1 KUHP, maka Termohon wajib
mencari dan mengumpulkan minimal 2 (dua) alat bukti yang sah

do
gu

berdasarkan Pasal 184 KUHAP yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang di-sangka-kan. Hal itu sejalan dengan
In
penegasan Pasal 1 angka 5 KUHAP yang secara expresis verbis
A

menyebutkan penyelidikan diartikan sebagai “serangkaian tindakan untuk


mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak
ah

lik

pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukannya penyidikan”.


Sedangkan penyidikan diatur pada Pasal 1 angka 2 KUHAP, yaitu
m

ub

“serangkaian tindakan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
ka

membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna


ep

menemukan tersangkanya”. Oleh karena itu, jika suatu penetapan


ah

tersangka tidak sesuai prosedur hukum acara pidana maka upaya paksa
R

selanjutnya in casu penangkapan ataupun penahanan sebagai


es

konsekuensi dari status Tersangka juga tidak sah (illegal). Hal ini
M

ng

berkoherensi dengan ratio decidendi (Pertimbangan Hukum) Majelis


on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 28
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
29

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Hakim MK dalam Putusan No. 3/PUU-XI/2013 tanggal 30 Januari 2014

R
hlm. 32, yang menyatakan “bahwa menurut hukum acara pidana segala

si
upaya paksa yang dilakukan dalam penyidikan maupun penuntutan oleh

ne
ng
lembaga yang berwenang dapat dikontrol melalui lembaga
praperadilan....tersangka memiliki hak untuk mengajukan praperadilan
terhadap pelanggaran tertentu yang dilakukan oleh pihak penyidik dalam

do
gu proses penyidikan, yang di dalamnya termasuk penangkapan dan
penahanan.”

In
A
Bahwa merujuk pada Surat Perintah Penyidikan No.
Sp.Dik/135.a/VII/2019/Res Ternate, hari Selasa tanggal 09 Juli 2019
ah

lik
yang dikeluarkan Termohon, berarti penetapan Tersangka terhadap diri
Pemohon dilakukan hari itu, sebab Pemohon di-BAP pada hari rabu
tanggal 10 Juli 2019. Karena seharusnya setelah Termohon berhasil
am

ub
menemukan minimal 2 (dua) alat bukti yang sah berdasarkan Pasal 184
KUHAP yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana “Pencurian”
ep
barulah ditetapkan Pemohon-lah sebagai Tersangka-nya (vide Pasal 1
k

angka 2 KUHAP). Berkenaan dengan itu, Putusan MK No. 130/PUU-


ah

XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017 menegaskan dalam amar-nya:


R

si
“2. Menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik

ne
ng

Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara


Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “penyidik

do
gu

memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai


“penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah
dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan
In
A

korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah


dikeluarkannya surat perintah penyidikan”.”
Putusan MK a quo, sejatinya mengoreksi Pasal 109 ayat (1) KUHAP
ah

lik

yang awalnya menyatakan bahwa “Dalam hal penyidik telah mulai


melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana,
m

ub

penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” menjadi


“penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah
ka

dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor (Pemohon), dan


ep

korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah


ah

dikeluarkannya surat perintah penyidikan.”


R

Dengan demikian, pemberitahuan dan penyerahan SPDP kepada


es

Penuntut Umum, Terlapor in casu Pemohon, korban/pelapor (SSI) dalam


M

ng

waktu 7 hari sejak dikeluarkannya SPRINDIK adalah suatu kewajiban


on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 29
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
30

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
yang bersifat “imperatif” bagi Penyidik. Apabila pemberitahuan dan

si
penyerahan SPDP itu tidak dilakukan oleh penyidik, maka penyidikan
tidak sah dan harus dianggap batal demi hukum. Sebab hal itu juga

ne
ng
sebagai bentuk pelaksanaan asas akuntabel, transparansi, dan
profesionalitas Termohon dalam pelaksanaan tugas penyidikan
sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 3 huruf a, b dan d Perkaba No. 3

do
gu tahun 2014 tentang SOP Pelaksanaan Penyidikan.
Sebagaimana ratio decidendi (Pertimbangan Hukum) Putusan MK No.

In
A
130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017 hlm. 146-147 yang berbunyi:
“Pra-penuntutan sebagai mekanisme koordinasi penyidik dan jaksa
penuntut umum yang diwajibkan oleh KUHAP memang seringkali
ah

lik
mengalami kendala khususnya terkait dengan seringnya penyidik
tidak memberikan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP)
maupun mengembalikan berkas secara tepat waktu. Hal tersebut
am

ub
jelas berimplikasi terhadap kerugian bagi terlapor dan
korban/pelapor. Hak-hak korban/pelapor dan terlapor menjadi tidak
pasti dikarenakan mekanisme yang tidak tegas dan jelas. Hal
tersebut berimbas pada tidak adanya kepastian hukum terhadap
ep
sebuah perkara tindak pidana yang merugikan terlapor dan
k

korban/pelapor dalam mencari kepastian hukum serta tidak sesuai


ah

dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yang ada
dalam KUHAP.
R

si
Bahwa pemberian SPDP tidak hanya diwajibkan terhadap jaksa
penuntut umum akan tetapi juga terhadap terlapor dan
korban/pelapor. Alasan Mahkamah tersebut didasarkan pada

ne
ng

pertimbangan bahwa terhadap terlapor yang telah mendapatkan


SPDP, maka yang bersangkutan dapat mempersiapkan bahan-bahan
pembelaan dan juga dapat menunjuk penasihat hukum yang akan

do
mendampinginya, sedangkan bagi korban/pelapor dapat dijadikan
gu

momentum untuk mempersiapkan keterangan atau bukti yang


diperlukan dalam pengembangan penyidikan atas laporannya....Sifat
wajib tersebut bukan hanya dalam kaitannya dengan jaksa penuntut
In
A

umum akan tetapi juga dalam kaitannya dengan terlapor dan


korban/pelapor. Adapun tentang batasan waktunya, Mahkamah
mempertimbangkan bahwa waktu paling lambat 7 (tujuh) hari
ah

dipandang cukup bagi penyidik untuk mempersiapkan/menyelesaikan


lik

hal tersebut.”
Dengan tidak diberitahukan dan diserahkanya tembusan SPDP dalam
m

ub

waktu paling lambat 7 (tujuh) kepada Pemohon sebagai Terlapor


menunjukan bahwa tindakan Termohon jelas melanggar asas due
ka

process of law sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
ep

bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan


ah

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan


R

hukum.” Oleh karena itu, setiap tindakan upaya paksa penahanan


es

terhadap diri Pemohon yang didasarkan atas SPRINDIK No. Sp.Dik/


M

ng

135.a/VII/2019/Res Ternate tanggal 9 Juli 2019 tidak sah (ilegal) dan


on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 30
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
31

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
batal demi hukum karena bertentangan dengan Pasal 109 ayat (1)

si
KUHAP yang telah dirubah secara beryarat melalui Putusan MK No.
130/PUU-XIII/2015 dengan cara Penyidik mengabaikan/melanggar

ne
ng
kewajibannya untuk menyerahkan tembusan SPDP kepada Pemohon
sebagai Terlapor sampai perkara ini diajukan di hadapan Yang Mulia
Hakim Praperadilan.

do
gu Dengan demikian, sudah sepatutnyalah Yang Mulia Hakim Praperadilan
menyatakan Penyidikan yang dilakukan oleh Termohon terkait dengan

In
A
dugaan tindak pidana “Pencurian” sebagaimana diancam dalam Pasal
363 ayat (1) ke-3 subsidair Pasal 362 KUHP adalah tidak sah, oleh
ah

lik
karenanya penyidikan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
dan oleh karena itu diperintahkan kepada Termohon untuk menghentikan
penyidikan berdasarkan SPRINDIK No. Sp.Dik/135.a/VII/2019/Res
am

ub
Ternate tanggal 9 Juli 2019 dengan segala tindakan turunannya berupa
upaya paksa “PENAHANAN” sebagai konsekuensi dari penetapan
ep
Tersangka atas diri Pemohon yang bertentangan dengan hukum acara,
k

yurisprudensi serta asas hukum.


ah

38. Bahwa berkenaan dengan Penyitaan, Termohon telah melakukan


R

si
penyitaan secara tidak sah terhadap Motor Honda Beat tahun 2017
dengan nomor Polisi DG 2279 KV milik Pemohon karena, penyitaan tidak

ne
ng

dilakukan secara langsung oleh Penyidik melainkan yang disuruh


mengambil kendaraan tersebut adalah teman kerja Pemohon, dan Surat

do
gu

Perintah Penyitaan baru ditandatangani Pemohon di sel tahanan pada


tanggal 17 Juli 2019 dan salinannya tidak diberikan kepada Pemohon
In
maupun pihak Keluarga. Bila merujuk Pasal 1 angka 16 KUHAP
A

disebutkan “Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk


mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda
ah

lik

bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk


kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.”
m

ub

Lalu Pasal 38 KUHAP menegaskan sebagai berikut:


“(1) Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin
ka

ketua pengadilan negeri setempat.


ep

(2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana


penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk
ah

mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan


R

ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda


es

bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua


pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.
M

ng

on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 31
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
32

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Adapun mengenai benda apa saja yang boleh disita, Pasal 39 ayat (1)

si
huruf b KUHAP menerangkan sebagai berikut:

“(1) Yang dapat dikenakan penyitaan adalah: b. benda yang telah

ne
ng
dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau
untuk mempersiapkannya;

Pasal 42 ayat (1) KUHAP menyebutkan pula bahwa:

do
gu “(1) Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang
menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda tersebut
kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang

In
A
menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan.”
Penempatan benda sitaan diatur dalam Pasal 44 ayat (1) KUHAP:
“(1) Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan
ah

lik
negara.”
Penjelasan Pasal 44 ayat (1) KUHAP: Selama belum ada rumah
penyimpanan benda sitaan negara di tempat yang bersangkutan,
am

ub
penyimpanan benda sitaan tersebut dapat dilakukan di kantor
kepolisian negara Republik Indonesia, di kantor kejaksaan negeri, di
kantor pengadilan negeri, di gedung bank pemerintah, dan dalam
ep
keadaan memaksa di tempat penyimpanan lain atau tetap ditempat
k

semula benda itu disita.


ah

Pasal 46 ayat (1) huruf a KUHAP menyatakan:


R

si
“(1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang
atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang
atau kepada mereka yang paling berhak apabila:

ne
ng

a. kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;


(2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan
penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang

do
gu

disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim


benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk
dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau, jika benda
In
tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.”
A

Penjelasan 46 ayat (1) huruf a KUHAP: Benda yang dikenakan


penyitaan diperlukan bagi pemeriksaan sebagai barang bukti. Selama
ah

lik

pemeriksaan berlangsung, dapat diketahui benda itu masih


diperlukan atau tidak. Dalam hal penyidik atau penuntut umum
berpendapat, benda yang disita itu tidak diperlukan lagi untuk
pembuktian, maka benda tersebut dapat dikembalikan kepada yang
m

ub

berkepentingan atau pemiliknya. Dalam pengembalian benda sitaan


hendaknya sejauh mungkin diperhatikan segi kemanusiaan, dengan
mengutamakan pengembalian benda yang menjadi sumber
ka

kehidupan.
ep

Terkait tata cara penyitaan, Pasal 128 KUHAP menegaskan:


ah

“Dalam hal penyidik melakukan penyitaan, terlebih dahulu ia


R

menunjukkan tanda pengenalnya kepada orang dari mana benda itu


disita.”
es
M

Pasal 129 KUHAP:


ng

on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 32
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
33

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
“(1) Penyidik memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang
dari mana benda itu akan disita atau kepada keluarganya dan dapat

si
minta keterangan tentang benda yang akan disita itu dengan
disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua
orang saksi.

ne
ng
(2) Penyidik membuat berita acara penyitaan yang dibacakan terlebih
dahulu kepada orang dari mana benda itu disita atau keluarganya
dengan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun

do
gu orang atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan
dengan dua orang saksi.
(3) Dalam hal orang dari mana benda itu disita atau keluarganya tidak
mau membubuhkan tandatangannya hal itu dicatat dalam berita

In
A
acara dengan menyebut alasannya.
(4) Turunan dari berita acara itu disampaikan oleh penyidik kepada
atasannya, orang dari mana benda itu disita atau keluarganya dan
ah

kepala desa.”

lik
Berdasarkan ketentuan-ketentuan penyitaan a quo, secara gamblang
bahwa penyitaan harus dimaknai sebagai berikut:
am

ub
1. Tindakan Penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di
bawah penguasaannya benda bergerak untuk kepentingan pembuktian
ep
k

dalam penyidikan;
ah

2. Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua
R

si
pengadilan negeri setempat dan apabila dalam keadaan yang sangat
perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan

ne
ng

tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, penyidik


dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu

do
wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat
gu

guna memperoleh persetujuan nya.

3. Penyidik yang melakukan penyitaan wajib menunjukkan tanda


In
A

pengenalnya dan penyitaan disaksikan oleh ketua lingkungan dengan


dua orang saksi. Lalu membuat berita acara penyitaan yang dibacakan
ah

lik

terlebih dahulu kepada orang dari mana benda itu disita atau
keluarganya dengan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik
m

ub

maupun orang atau keluarganya dan atau ketua lingkungan dengan


dua orang saksi. Turunan dari berita acara itu kemudian disampaikan
ka

kepada atasannya, orang dari mana benda itu disita atau keluarganya
ep

dan kepala lingkungan setempat.


ah

4. Dalam perkara ini, yang dapat dikenakan penyitaan adalah Motor


R

Honda Beat tahun 2017 dengan nomor Polisi DG 2279 KV yang telah
es
M

dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana dan


ng

on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 33
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
34

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
harus diberikan tanda penerimaan kepada yang menyerahkan benda

si
itu;

5. Motor Honda Beat tahun 2017 dengan nomor Polisi DG 2279 KV yan g

ne
ng
disita itu disimpan dalam RUPBASAN dan jika belum ada RUPBASAN
disimpan di kantor Polis;

do
gu 6. Motor Honda Beat tahun 2017 dengan nomor Polisi DG 2279 KV
dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu

In
disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak
A
apabila kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
ah

Dari fakta yang terjadi, upaya paksa penyitaan yang dilakukan oleh

lik
Termohon terhadap Motor Honda Beat tahun 2017 dengan nomor Polisi
DG 2279 KV milik Pemohon tidak satupun perintah hukum acara
am

ub
sebagaimana diuraikan diatas dilaksanakan oleh Termohon sebab bukan
Termohon datang langsung mengambil Motor Honda Beat tahun 2017
ep
dengan nomor Polisi DG 2279 KV milik Pemohon, tetapi malah menyuruh
k

teman kerja Pemohon untuk datang kerumah untuk mengambil Motor


ah

sitaan tersebut. Surat Perintah Penyitaan baru disodorkan untuk


R

si
ditandatangani oleh Pemohon di sel tahanan pada tanggal 17 Juli 2019
dan salinannya tidak diberikan kepada Pemohon maupun pihak Keluarga.

ne
ng

Penyitaan yang dilakukan oleh Termohon jelas tidak ada izin dari Ketua
Pengadilan, penyitaan itu illegal karena tidak disaksikan oleh ketua

do
gu

lingkungan setempat dengan dua orang saksi apalagi salinan berita acara
penyitaan yang wajib diserahkan kepada keluarga Pemohon dan ketua
Lingkungan Setempat sudah dapat dipastikan tidak ada, karena
In
A

penyitaan tidak dilakukan oleh Termohon langsung. Jika dipersidangan


Praperadilan ini Termojhon menunjukkan berita acara tersebut, berita
ah

lik

acara itu pasti baru dibuat dan bukan hasil dari tindakan penyitaan yang
sesuai dengan fakta yang terjadi. Untuk memperkuat dalil tidak sahnya
m

ub

penyitaan a quo, kami akan dihadirkan saksi untuk menerangkan fakta


yang sebenarnya terjadi.
ka

Dengan demikian, jelaslah dan sudah sepantasnyalah Yang Mulia Hakim


ep

Praperadilan membatalkan atau setidak-tidaknya menyatakan tidak


ah

sahnya (ilegal) atau batal demi hukum karena bertentangan dengan


R

KUHAP dan tidak dilengkapi administrasi penyidikan secara cermat.


es
M

39. Bahwa apabila Termohon berdalih tindakan penetapan tersangka,


ng

penangkapan, penahanan dan penyitaan yang tidak sah dan


on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 34
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
35

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
bertentangan dengan KUHAP itu dilakukan karena atas pertimbangan

si
praktik penyidikan maupun praktik peradilan di Maluku Utara atau karen a
diskresi kepolisian, maka alasan tersebut jelas bertentangan dengan

ne
ng
Asas Legalitas hukum acara pidana sebagaimana termuat dalam Pasal 2
KUHAP yang secara expressis versbis dan strict menyatakan bahwa
“Undang-undang ini berlaku untuk melaksanakan tatacara peradilan

do
gu dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan.” Dan
Pasal 3 KUHAP “Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam

In
A
undang-undang ini.” Oleh karena itu, bila ada Peraturan Kapolri atau
SOP penyidikan atau hasil BIMTEK internal institusi mengatur berbeda
ah

lik
dengan KUHAP. Maka KUHAP yang haruslah diikuti, hal itu sejalan
dengan asas hukum lex superior derogat legi inferior (hukum yang lebih
tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah) sehingga menjadi
am

ub
jelas bahwa tindakan penegak hukum in casu Termohon merupakan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum (KUHAP) atau dikenal
ep
dengan adagium hukum contra legem facit qui id facit quod lex prohibit; in
k

fraudem vero qui, salvis verbis legis, sententiam ejus circumuenit


ah

(perbuatan melawan hukum terjadi ketika perbuatan itu bertentangan


R

si
dengan hukum) yang berakibat terlanggarnya hak asasi Pemohon.

ne
ng

40. Bahwa dalam penegakan hukum dibutuhkan suatu kejujuran, keikhlasan,


sikap gentlement mengakui kekeliruan dari semua pihak komponen catu r
wangsa (Polisi, Jaksa, Penasihat Hukum, Hakim), sebab, pada

do
gu

hakikatnya tugas Termohon bukanlah untuk menghukum orang, tetapi


sebagai alat negara yang menjalankan fungsi mewakili negara
In
A

menegakkan hukum dan memulihkan ketertiban dan ketentraman pu blik


(rust en orde) yang dilanggar oleh tindakan Pemohon. Sebaliknya begitu
ah

juga halnya tugas penasihat hukum bukanlah mati-matian membela yan g


lik

bertujuan menang-menangan dalam suatu perkara, melainkan membela


“kepentingan hukum” Pemohon agar jangan sampai terlanggarnya harkat
m

ub

dan martabat manusianya serta kepastian hukum sebagaimana dijamin


oleh Undang-Undang Dasar 1945 dalam proses penegakkan hukum
ka

ep

yang jujur (fair trial).

38. Bahwa akibat dari tindakan Termohon menetapkan tersangka


ah

Pemohon cacat prosedur atau bertentangan dengan hukum acara


es

telah mengakibatkan kerugian berupa pembatasan dan perampasan


M

ng

hak-hak dan kebebasan Pemohon atau dikenal dengan istilah


on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 35
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
36

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
compendia sunt dispendia (pengurangan hak seseorang dapat

si
mengakibatkan kerugian). Oleh karena itu, dengan merujuk Pasal 95
ayat (1), (2), dan (3) KUHAP yang mengatur:

ne
ng
“(1) Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti
kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau
dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-
undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang

do
gu diterapkan.
(2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas
penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang

In
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang
A
atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di
sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.
ah

lik
(3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya
kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang
am

ub
bersangkutan.”
Adapun besaran ganti rugi diatur lebih lanjut pada Pasal 9 ayat (1)
Peraturan Pemerintah No. 92 Tahun 2015 Tentang Perubahan kedua
atas Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab
ep
k

Undang-Undang Hukum Acara Pidana:


“(1) Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana
ah

dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP paling sedikit


R

si
Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

ne
ng

Maka, Pemohon memohon kepada Yang Mulia Hakim Praperadilan untuk


menetapkan Termohon untuk menganti rugi akibat tindakan upaya paksa:
penetapan tersangka, penangkapan, penahanan dan penyitaan yang

do
gu

bertentangan dengan KUHAP serta mengakibatkan kerugian bagi


Pemohon sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Ganti rugi
In
A

dan rehabilitasi merupakan upaya untuk melindungi warga negara yang


diduga melakukan kejahatan yang ternyata tanpa didukung dengan bukti -
ah

bukti yang menyakinkan sebagai akibat dari sikap dan perlakuan


lik

penegak hukum yang tidak mengin dahkan prinsip hak-hak asasi manusia
Dengan demikian berdasarkan seluruh uraian di atas, maka tindakan atau
m

ub

proses penyidikan yang dilaksanakan oleh Termohon terkait Penetapan diri


Pemohon sebagai Tersangka, Penangkapan, Penahanan dan Penyitaan adalah
ka

ep

juga tidak sah secara hukum dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Bahwa upaya hukum Praperadilan ini kami lakukan semata-mata demi men cari
ah

kebenaran hukum, dan sebagaimana pendapat dari M. Yahya Harahap, bahwa


R

salah satu fungsi upaya hukum Praperadilan adalah sebagai pengawasan


es
M

horizontal atas segala tindakan upaya paksa yang dilakukan aparat penegak
ng

hukum untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana agar benar-benar


on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 36
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
37

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
tindakan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan hukum dan peru n dang -

si
undangan. Dan sebagaimana pula pendapat Loebby Loqman, bahwa fungsi
pengawasan horizontal terhadap proses pemeriksaan pendahuluan yang

ne
ng
dilakukan oleh lembaga Praperadilan tersebut juga merupakan bagian dari
kerangka sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system).

do
gu Adapun tujuan yang ingin dicapai dari pengawasan horizontal dari lembaga
Praperadilan tersebut adalah sesuai dengan tujuan umum dibentuknya KUHAP,
yaitu untuk menciptakan suatu proses penegakan hukum yang didasarkan pada

In
A
kerangka due process of law. Due process of law pada dasarnya bukan semata-
mata mengenai rule of law, akan tetapi merupakan unsur yang essensial dalam
ah

lik
penyelenggaraan peradilan yang intinya adalah bahwa ia merupakan “...a law
which hears before it condemns, which proceeds upon inquiry, and renders
am

ub
judgement only after trial..”. Pada dasarnya yang menjadi titik sentral adalah
perlindungan hak-hak asasi individu terhadap arbitrary action of the goverment.
Oleh karena itu, Praperadilan memiliki peran yang penting untuk meminimalisir
ep
k

penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam


ah

pelaksanaan proses penegakan hukum. Agar penegak hukum harus hati -hati
R
(prudent) dalam melakukan tindakan hukumn ya dan setiap tindakan hukum

si
harus didasarkan kepada ketentuan hukum yang berlaku (proper), dalam arti ia

ne
ng

harus mampu menahan diri serta menjauhkan diri dari tindakan sewenang-
wenang.

do
Kita bersama memahami bahwa penyidik merupakan pihak yang paling
gu

berwenang dalam tahap penyidikan karena mempunyai tugas yang sangat


penting pada proses penegakan hukum sehingga dapat mempengaruhi jalan
In
A

selanjutnya dari proses penyelesaian suatu perkara pidana. Oleh karenanya


kami sangat berharap “sentuhan” Hakim Yang Mulia dalam putusannya agar
ah

lik

dapat menegakkan kepastian hukum yang berkeadilan bagi Pemohon.

Kami menempuh jalan ini karena kami yakin bahwa melalui forum Praperadilan
m

ub

ini juga dipenuhi syarat keterbukaan (transparancy) dan akuntabilitas publik


(public accountability) yang merupakan syarat-syarat tegaknya sistem peradilan
ka

yang bebas dan tidak memihak serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.
ep

Dengan forum terbuka ini, masyarakat dapat ikut mengontrol jalannya proses
ah

pemeriksaan dan pengujian kebenaran dan ketepatan tindakan penyidik


R

maupun penuntut umum dalam menahan seseorang ataupun dalam hal


es

pembebasan, mengontrol alasan-alasan dan dasar hukum hakim Praperadilan


M

ng

yang memerdekakannya.
on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 37
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
38

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Bahwa berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, maka sudah seharusnya

si
menurut hukum Pemohon memohon agar Yang Mulia Hakim Praperadilan
berkenan menjatuhkan Putusan sebagai berikut:

ne
ng
1. Menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk
seluruhnya;
2. Menyatakan Surat Perintah Penyidikan No: Sp.Dik/135.a/VII/2019/Res

do
gu Ternate, tanggal 09 Juli 2019 yang menetapkan Pemohon sebagai
Tersangka oleh Termohon terkait peristiwa pidana sebagaimana diancam

In
A
dalam Pasal 363 ayat (1) ke-3 subsidair Pasal 362 KUHP adalah TIDAK
SAH dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya Penetapan a quo
ah

lik
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Menyatakan Penyidikan yang dilaksanakan oleh Termohon terkait
peristiwa pidana sebagaimana diancam dalam Pasal 363 ayat (1) ke-3
am

ub
subsidair Pasal 362 KUHP Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon
berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No: Sp.Dik/135.a/VII/2019/Res
ep
Ternate, tanggal 09 Juli 2019 adalah TIDAK SAH dan tidak berdasar atas
k

hukum, dan oleh karenanya Penyidikan a quo tidak mempunyai keku atan
ah

hukum mengikat;
R

si
4. Menyatakan Surat Perintah Penangkapan No. Pol. : Sp.Kap/64/VII/2019/
Rekrim tanggal 8 Juli 2019, Surat Perintah Penahanan No:

ne
ng

Sp.Han/36/VII/2019/Reskrim tertanggal 9 Juli 2019, dan penyitaan sabagai


upaya paksa akibat dari penetapan Pemohon selaku Tersangka yang

do
gu

dilakukan oleh Termohon adalah TIDAK SAH dan tidak berdasar atas
hukum, dan oleh karenanya Penangkapan, Penahanan dan Penyitaan
In
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum men gikat;
A

5. Memerintahkan kepada Termohon untuk membebaskan Tersangka


FEBRIANTO PUTRA (Pemohon) dalam perkara Praperadilan ini) dari
ah

lik

tahanan seketika setelah putusan ini diucapkan.


6. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan
m

ub

lebih lanjut oleh Termohon yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka


terhadap diri Pemohon oleh Termohon;
ka

7. Menyatakan bahwa perbuatan Termohon yang menetapkan Pemohon


ep

selaku Tersangka tanpa prosedur adalah cacat yuridis/bertentangan


ah

dengan hukum, dan menetapkan Termohon mengganti kerugian yang


R

dialami Pemohon sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah);


es

8. Memerintahkan Termohon merehabilitasi nama baik Pemohon selaku


M

ng

warga negara sejak ditetapkan sebagai tersangka.


on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 38
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
39

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
9. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam

si
perkara a quo.
Atau Apabila Yang Mulia Hakim berpendapat lain mohon Putusan yang seadil-

ne
ng
adilnya (ex aequo et bono).

Menimbang, bahwa pada hari dan tanggal persidangan yang telah

do
gu ditetapkan, untuk Pemohon hadir Kuasanya tersebut sedangkan untuk
Termohon tidak pernah hadir di persidangan ataupun mengirimkan Kuasanya

In
yang sah walaupun sidah dipanggil secara sah dan patut oleh Juru Sita
A
Pengadilan Negeri Ternate berdasarkan Relaas Panggilan tanggal 5 Agustus
2019 dan tanggal 13 Agustus 2019;
ah

lik
Menimbang, bahwa setelah membacakan surat permohonannya,
Pemohon menyatakan tetap pada permohonannya;
am

ub
Menimbang, bahwa berdasarkan Register di Kepaniteraan Pidana
Pengadilan Negeri Ternate bahwa pada tanggal 13 Agustus 2019 telah
dilimpahkan berkas perkara pidana dengan Nomor : B - 1208/Q.2.10/Eoh.2/08/
ep
k

2019 a.n Febrianto Putra;


ah

Menimbang, bahwa setelah Hakim meneliti berkas perkara yang telah


R

si
diregister dengan Nomor : 2014/Pid.B/2019/PN.Tte tersebut, bahwa identitas
terdakwa Febrianto Putra adalah sama dengan identitas Pemohon dalam

ne
ng

perkara ini dan surat dakwaan atas diri terdakwa juga sama dengan dalil
permohonan dalam perkara Praperadilan ini;

do
gu

Menimbang, bahwa atas perkara Nomor : 2014/Pid.B/2019/PN.Tte


tersebut telah disidangkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada
tanggal 20 Agustus 2019 dengan agenda pembacaan surat dakwaan oleh
In
A

Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara tersebut;


Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 82 ayat (1) huruf d, ‘’dalam hal
ah

lik

suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan


pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka
m

permintaan tersebut gugur’’;


ub

Menimbang, bahwa terhadap ketentuan pasal tersebut telah diajukan uji


ka

materi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 102/PUU-


ep

XIII/2015 tanggal 9 November 2016, amarnya berbunyi sebagai berikut:


“ Menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8
ah

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara


R

Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran


es

Negara Republik Indonesia Nomor 3258) bertentangan dengan


M

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


ng

dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa


on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 39
am

u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
40

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
“suatu perkara sudah mulai diperiksa” tidak dimaknai
“permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah

si
dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok
perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan”.

ne
ng
Berdasarkan diktum putusan tersebut permohonan praperadilan dinyatakan
gugur apabila pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang
pertama terhadap pokok perkara atas nama pemohon praperadilan;

do
gu Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas maka
permohonan praperadilan yang diajukan Pemohon dalam perkara ini haruslah

In
A
dinyatakan gugur karena pokok perkaranya telah disidangkan oleh Pengadilan
Negeri Ternate;
ah

lik
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan praperadilan yang
diajukan oleh Pemohon gugur maka biaya yang timbul dalam perkara
dibebankan kepada Pemohon;
am

ub
Memperhatikan, Pasal 82 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan peraturan
ep
perundang-undangan lain yang bersangkutan;
k
ah

MENGADILI :
R

si
1. Menyatakan permohonan praperadilan Pemohon gugur;
2. Membebankan biaya perkara kepada Pemoh on sejumlah Nihil;

ne
ng

Demikian diputuskan pada hari : Rabu, tanggal 21 Agustus 2019 oleh :

do
gu

Rudy Wibowo, SH.MH, Hakim Pengadilan Negeri Ternate dan diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum dengan dibantu oleh : Abdul Halik Buamona, SH,
In
Panitera Pengganti dengan dihadiri oleh Kuasa Pemohon dan Termohon.
A

Panitera Pengganti, Hakim,


ah

lik

ttd ttd
m

ub

Abdul Halik Buamona, S.H. Rudy Wibowo, S.H.M.H.


ka

ep
ah

es
M

ng

on
gu

d
In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h

pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 40

Anda mungkin juga menyukai