PPK Penyakit Dalam Ok
PPK Penyakit Dalam Ok
59
4. Kriteria Diagnosis Kriteria diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa
1. Kadar glukosa darah sewaktu ( plasma vena) ≥ 200 mg/dL
atau
2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥ 126 mg/dL
3. Kadar glukosa plasma ≥ 200 mg/dL pada 2 jam sesudah
beban glukosa 75 gram pada TTGO
Perencanaan Makan
Standar yang dianjurkan adalah makanna dengan komposisi :
- karbohidrat 60 – 70 %
- protein 10 – 15 %
- lemak 20 – 25 %
60
Penyesuaian (terhadap kalori basal/hari)
o BB gemuk - 20%
o Lebih - 10 %
o BB kurang + 20 %
Rumus Broca
Berat badan idaman = (tinggi badan -100) – 10%*
Pria <160 cm dan wanita < 150 cm, tidak dikurangi 10%
lagi
BB kurang : < 90 % BB idaman
BB normal : 90 – 110 % BB idaman
BB lebih : 110 – 120 % idaman
Gemuk : > 120 % BB idaman
Latihan jasmani :
Kegiatan jasmani sehari – hari dan latihan teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit). Prinsip Continous
– Rythmical - Interval – Progressive – Enduranc.
Intervensi Farmakologis
Obat Hipoglikemia Oral (OHO) :
Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) :
sulfonilurea, glinid
Penambah sensitivitas terhadap insulin : metformin,
tiazolidindion
Penghambat absorbsi glukosa : penghambat
glukosidase alfa
Insulin
Indikasi :
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dngan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA,
Stroke)
Kehamilan dengan DM / diabetes melitus gestasional
61
yang tidak terkendali dengan perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis
rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai
dengan respons kadar glukosa darah. Kalau dengan OHO
tunggal sasaran kadar glukosa belum tercapai, perlu
kombinasi dua kelompok obat hipoglikemik oral yang
berbeda mekanisme kerjanya.
62
Sasaran terapi kombinasi 4 OHO tidak tercapai :
Insulin
Atau
Terapi kombinasi OHO siang
hari + Insulin malam
63
hari + Insulin malam
64
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
BADAN LAYANAN UMUM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER AGOESDJAM
KABUPATEN KETAPANG
2019
KETOASIDOSIS DIABETIKUM
(KODE ICD X : E11.10)
1. Definisi Kondisi dekompensasi matabolik akibat defisiensi insulin
absolut atau relatif dan merupakan komplikasi akut diabetes
melitus yang serius. Gambaran klinis utama ketoasidosis
diabetikum (KAD) adalah hiperglikemia, ketosis dan asidosis
metabolik.
Faktor pencetus : infeksi, infark miokard akut, penkreatitis
akut, penggunaan obat golongan steroid, penghentian atau
pengurangan dosis insulin.
65
Ketosis starvasi
Asidosis laktat
Asidosis hiperkloremik
Drug-induced acidosis
Ensefalopati karena infeksi, trauma kapitis.
7. Pemeriksaan Pemeriksaan cito : gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin,
Penunjang aseton darah, urin rutin, analisis darah gas darah, EKG
8. Tata Laksana I. Cairan, Akses IV.2 jalur, salah satunya dicabang dengan 3
way:
NaCl 0.9 % diberikan ±1-2 L pada 1 jam pertama,
lalu ± 1 L pada jam kedua., lalu ± 0.5 L pada jam
ketiga dan keempat, dan ±0.25 L pada jam kelima dan
keenam, selanjutnya sesuai kebutuhan.
Jumlah cairan yang diberikan dalam 15 jam sekitar 5
L
Jika Na+ > 155 mEq/L ganti cairan dengaan
NaCL 0.45 %
Jika GD < 200 mg/dL gaanti cairan dengan
Dextrose 5%
GD RI
(mg/dL) (unit, subkutan)
< 200 0
200 – 250 : 5
250 – 300 : 10
300 – 350 : 15
˃ 350 : 20
III. Kalium
Kalium (KCl) drip dimulai bersamaan dengan drip
RI, dengan dosis 50 mEq/6 jam. Syarat : tidak ada
gagal ginjal, tidak ditemukan gelombangn T yang
lancip dan tinggi pada EKG, dan jumlah urine cukup
66
adekuat.
Bila kadar K+ pada pemeriksaan elektrolit kedua :
Drip 100 mEq bila pH < 7.0 disertai KCl 26 mEq drip
50 mEq bila pH 7.0 – 7.1, disertai KCl 26 mEq drip
Juga diberikan pada asidosis laktat dan hiperkalemi yang
mengancam.
V. Tatalaksana umum
O2 bila PO2 < 80 mmHg
Antibiotika adekuat
Heparin : bila ada DIC atau hiperosmolar (>
380mOsm/L) terapi disesuaikan dengan pemantauan
klinik ;
Tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernapasan,
temperatur setiap jam,
Kesadaran setiap jam
Keadaan hidrasi (turgor, lidah) setiap jam
Produksi urin setiap jam, balans cairan
Cairan infus yangmasuk setiap jam
67
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
BADAN LAYANAN UMUM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER AGOESDJAM
KABUPATEN KETAPANG
2019
HIPOGLIKEMIA
(KODE ICD X: E16.2)
1. Definisi Kadar glukosa < 60 mg/dL, atau kadar glukosa darah < 80
mg/dL dengan gejala klinis. Hipoglikemia pada DM terjadi
karena :
Kelebihan obat/dosis obat : terutama insulinm atau obat
hipoglikemik oral
Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menurun :
gagal ginjal kronik, pasca persalinan
Asupan makan tidak adekuat : jumlah kalori atau waktu
makan tidak tepat
Kegiatan jasmani berlebihan
7. Pemeriksaan Kadar glukosa darah (GD), tes fungsi ginjal, tes fungsi hati,
Penunjang C-peptide
8. Tata Laksana Stadium permulaan (sadar)
Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau
68
sirop/permen gula murni (bukan pemanis pengganti
gula atau gula diet/gula diabetes) dan makanan yang
mengandung karbohidrat.
Hentikan obat hipoglikemik sementara,
Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
Pertahankan GD sekitar 200mg/dL (bila sebelumnya
tidak sadar)
Cari penyebab.
69
kadar glukosa pada pasien Diabetes Mellitus.
10. Prognosis Tergantung beratnya stadium dan cepatnya terapi
11. Penelaah Kritis SMF Penyakit Dalam
12. Indikator Medis Kondisi pasien membaik
13. Kepustakaan 1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 5 tahun 2014 tentang
Panduan Praktik Klinis bagi Dokter
di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
2. PERKENI. Petunjuk praktis pengelolaan
dibetes mellitus tipe 2, 2002
3. Waspadji S. Kegawatdaruratan pada
Diabetes Mellitus. Dalam prosiding
Simposium Penatalaksanaan
Kegawatdaruratan di Bidang Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta : 2018
70
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
BADAN LAYANAN UMUM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER AGOESDJAM
KABUPATEN KETAPANG
2019
OSTEOARTRITIS
(Kode ICD X : M.19.90)
1. Definisi Osteortritis (OA) merupakan penyakit degeneratif yang mengenai
rawan sendi. Penyakit ini ditandai oleh kehilangan rawan sendi
progresif dan terbentuknya tulang baru pada trabekula dan tepi
tulang (osteofit)
2. Anamnesis Nyeri sendi dengan aktivitas dan mereda saat
istirahat
Hambatan Gerakan Sendi
Kaku Pagi < 30 menit
Bunyi gemeretak (krepitasi) pada sendi yang
sakit
Pembesaran sendi (deformitas)
Perubahan gaya berjalan
3. Pemeriksaan Hambatan gerak
Fisik Krepitasi
Pembengkakan sendi yang seringkali asimetris
Peradangan sendi
Deformitas
Perubahan gaya berjalan
4. Kriteria Diagnosis Kriteria diagnosis OA dapat ditegakkan dengan gambaran klinis
dan pemeriksaan radiologi. Pada pemeriksaan Radiografi
didapatkan:
Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris
(lebih berat pada bagian yang menanggung beban
berat)
Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral
Kista tulang
Osteofit pada pinggir sendi
Perubahan struktur anatomi sendi
71
3. Obat antiinflamasi non steroid, diantaranya : sodium
diklofenak 50 mg t.i.d, Piroksikam 20 mg o.d, Meloksikam
7.5 mg o.d dan sebagainya
4. Steroid intraartikular untuk OA inflamasi
5. Fisioterapi, terapi okupasi, bila perlu diberikan ortosis
6. Operasi untuk memperbaiki deformitas
72
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
BADAN LAYANAN UMUM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER AGOESDJAM
KABUPATEN KETAPANG
2019
DEMAM TIFOID
(Kode ICD X : A01)
1. Definisi Penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi kuman
Salmonela thypi atau Salmonela partatyphi
2. Anamnesis Demam naik secara bertangga pada minggu pertama lalu
demam menetap (kontinyu) atau remiten pada minggu kedua.
Demam terutama sore/malam hari, sakit kepala, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare
3. Pemeriksaan Fisik Febris
Bradikardia relatif (peningkatan suhu 1°C tidak diikuti
peningkatan denyut nadi 8x/menit)
Lidah yag berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung
merah, serta tremor).
Hepatomegali, splenomegali, nyeri abdomen.
4. Kriteria Diagnosis Memenuhi kriteria anamnesis, pemeriksaan fisik
dan penunjang.
5. Diagnosis Kerja Demam Tifoid
6. Diagnosis Banding Infeksi virus, malaria
7. Pemeriksaan Pada Pemeriksaan Penunjang dapat ditemukan
Penunjang Lekopeni, lekositosis atau lekosit normal :
aneosinofilia, limfopenia
Peningkatan LED
Anemia ringan, trombositopenia, gangguan fungsi
hati.
Kultur darah (biakan empedu) positif atau
peningkatan titer uji Widal ≥ 4 kali lipat setelah satu
minggu memastikam diagnosis.
Kultur darah negatif tidak menyingkirkan diagnosis.
Uji widal tunggal titer antibodi O 1/320 atau H 1/640
disertai gambaran klinis khas menyokong diagnosis.
Alternatif lain :
- Tiamfenikol 4 x 500 mg (komplikasi hematologi lebih
rendah dibandingkan klorafenikol)
- Kotrimoksazol 2 x 2 tablet selama 2 minggu
- Ampisilin dan amoksisilin 50 – 150 mg/kgBB selama 2
minggu
73
- Sefalosporin generasi III ; yang terbukti efektif adalah
seftriakson 3-4 gram dalam dextrosa 100cc selama 2-
3 x 1 gram, sefoperazon 2 x 1 gram
- Fluorokuinolon (demam umumnya lisis pada hari III
atau menjelang hari IV) :
′ Norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
′ Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
′ Ofloxsasin 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
′ Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari
′ Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari
74
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
BADAN LAYANAN UMUM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER AGOESDJAM
KABUPATEN KETAPANG
2019
SEPSIS DAN RENJATAN SEPSIS
(Kode ICD X : R65.21)
1. Definisi Sepsis merupakan sindrom respons inflamasi sistemik (SIRS)
yang disebabkan oleh infeksi.
Sepsis berat merupakan gangguan fungsi organ atau
kegagalan fungsi organ termasuk penurunan kesadaran ,
gangguan fungsi hati, ginjal, paru – paru dan asidosis
metabolik.
Renjatan Septik merupakan sepsis dengan hipotensi, ditandai
dengan penurunan TDS < 90 mmHg atau penurunan > 40
mmHg dari TD awal, tanpa adanya obat-obatan yang dapat
menurunkan TD
2. Kriteria Diagnosis 1. SIRS ditandai dengan 2 gejala atau lebih berikut :
Sepsis • Suhu badan > 38° C atau < 36°C
• Frekuensi denyut jantung > 90 x/menit
• Frekuensi pernapasan > 24x/menit atau PaCO < 32
• Hitung lekosit > 12.000/mm³ atau < 4.000/mm³, atau
adanya > 10% sel batang
77
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
BADAN LAYANAN UMUM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER AGOESDJAM
KABUPATEN KETAPANG
2019
INTOKSIKASI OPIAT
(Kode ICD X : T36- T50)
1. Definisi Intoksikasi akibat penggunaan obat golongan opiat : morfin,
petidin, heroin, opium, pentazokain, kodein, loperamid,
dekstrometorfan
2. Anamnesis Informasi mengenai seluruh obat yang digunakan, sisa obat
yang ada
3. Pemeriksaan Fisik Pupil miosis - pin point pupil
Depresi napas
Penurunan kesadaran
Nadi lemah
Hipotensi
Tanda edema paru
Needle track sign
Sianosis
Spasme saluran cerna dan bilier
Kejang
4. Diagnosis Kerja Intoksikasi Opiat
5. Diagnosis Banding Intoksikasi obat sedatif : barbiturat, benzodiazepin, etanol
6. Pemeriksaan Laboratorium : opiat urin positif atau kadar dalam darah
Penunjang tinggi
7. Tata Laksana A. Penanganan kegawatan : resusitasi A-B-C (airway,
breathing,circulation) dengan memperhatikan prinsip
kewaspadaan universal. Bebaskan jalan napas, berikan
oksigen sesuai kebutuhan, pemasangan infus dan
pemberian cairan sesuai kebutuhan
B. Pemberian antidot nalokson
1. Tanpa hipoventilasi : dosis awal diberikan 0.4 mg IV
pelan – pelan atau diencerkan
2. Dengan hipoventilasi : dosis awal diberikan 1-2 mg
IV pelan – pelan atau diencerkan
3. Bila tidak ada respon, diberikan nalokson 1-2 mg IV
tiap 5 – 10 menit hingga timbul respons (perbaikan
kesadaran, hilangnya depresi pernapasan, dilatasi
pupil) atau telah mencapai dosis maksimal 10mg.
Bila tetap tak ada respon, diagnosis intoksikasi opiat
perlu dikaji ulang.
4. Efek nalokson berkurang dalam 20-40 menit dan
pasien dapat jatuh kedalam keadaan overdosis
kembali, sehingga perlu pemantauan ketat tanda vital,
kesadaran dan perubahan pupil selama 24 jam. Untuk
pencegahan dapat diberikan drip nalokson satu ampul
dalam 500 ml D5% atau NaCl 0.9% diberikan dalam
4-6 jam
78
5. Simpan sampel urin untuk pemeriksaan opiat urin dan
lakukan rontgen toraks
6. Pertimbangan pemasangan ETT bila : pernapasan tak
adekuat setelah pemberian nalokson yang optimal,
oksigenasi kurang meski ventilasi cukup atau
hipoventilasi menetap setelah 3 jam pemberian
nalokson yang optimal
7. Pasien dipuasakan 6 jam untuk menghindari aspirasi
akibat spasme pilorik, bila diperlukan dapat dipasang
NGT untuk mencegah aspirasi atau bilas lambung
pada intoksikasi opiat oral
8. Activated charcoal dapat diberikan pada intoksikasi
peroral dengan memberikan 240 ml cairan dengan 30
gram charcoal, dapat diberikan sampai 100 gram
9. Bila terjadi kejang dapat diberikan diazepam IV 5-10
mg dan dapat diulang bila perlu.
10. Pasien dirawat untuk penilaian keadaan klinis dan
rencana rehabilitasi
8. Edukasi Edukasi mengenai kondisi klinis, diagnosis, dan
tatalaksana yang akan diberikan pada pasien.
9. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam
79
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
BADAN LAYANAN UMUM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER AGOESDJAM
KABUPATEN KETAPANG
2019
INTOKSIKASI ORGANOFOSFAT
(Kode ICD X : T50-T51)
1. Definisi Intokskasi akibat zat yang mengandung organofosfat
2. Anamnesis Riwayat minum/kontak dengan zat yang mengandung
organofosfat, muntah
3. Pemeriksaan Fisik Bradikardia, pupil miosis, penurunan kesadaran, tanda –
tanda aspirasi
4. Kriteria Diagnosis Sesuai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik
5. Diagnosis Kerja Intoksikasi Organofosfat
6. Diagnosis Banding -
7. Pemeriksaan Hematologi Lenkap, Elektrolit, rontgrn toraks, EKG,
Penunjang Pemeriksaan bahan muntah atau darah mengandung
organofosfat
8. Tata Laksana Amankan Airway, Brething, Circulation
Bilas lambung melalui NGT
Atropinisasi
9. Edukasi Edukasi mengenai kondisi klinis, diagnosis, dan tatalaksana
yang akan diberikan pada pasien.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
11. Penelaah Kritis SMF Penyakit Dalam
12. Indikator Medis Kondisi pasien membaik
13. Kepustakaan 1. Olson KR, ed. Poisoning and drug overdose.
4th ed. New York: Mc Graw Hill ; 2014.
2. Mokhlesi B, Leiken JB, Murray P, Corbridge
CC. Adult Toxicology in critical care. Part 1;
General approch to intoxicated patient. Chest
2003; 123 ; 577-92
80
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
BADAN LAYANAN UMUM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER AGOESDJAM
KABUPATEN KETAPANG
2019
PENYAKIT GINJAL KRONIK
(Kode ICD X : N18)
1. Definisi Kriteria :
1. Kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau lebih,
berupa kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau
tanpa penurunan laju filtrasi glumerulus (LFG),
berdasarkan :
- Kelainan patologik atau
- Petanda kerusakan ginjal, termasuk kelianan pada
komposisi darah atau urin atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan
2. LFG < 60 ml/menit/1.73 m² yang terjadi selama 3 bulan
atau lebih, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
81
8. Tata Laksana Non farmakologis :
Pengaturan asupan protein :
- Pasien non dialisis 0.6-0.75 gram/kgBB ideal/hari sesuai
dengan CCT dan toleransi pasien
- Pasien hemodialisis 1-1.2 gram/kgBB ideal/hari
- Pasien peritoneal dialisis 1.3 gram/kgBB/hari
Pengaturan asupan kalori : 3 kal/kg/BB ideal/hari
Pengaturan asupan lemak : 30 – 40 % dari kalori total dan
mengandung jumlah yang sama antara asam lemak bebas
jenuh dan tidak jenuh
Pengaturan asupan karbohidrat : 50 – 60% dari kalori total
Garam (NaCl) : 2 – 3 gram/hari
Kalsium : 1400 – 1600 mg/hari
Fosfor : 5 – 10 mg/kgBB/hari. Pasien HD : 17 mg/hari
Kalsium : 1400-1600 mg/hari
Besi : 10 – 18 mg/hari
Magnesium : 200-300 mg/hari
Asam folat pasien HD : 5 mg
Air : jumlah urin 24 jam + 500 ml (insensible water loss)
82
12. Indikator Medis Kondisi Klinis Membaik
13. Kepustakaan Suwitra, Ketut, 2010. Penyakit Ginjal Kronis
dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
InternaPublishing.
83
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
BADAN LAYANAN UMUM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER AGOESDJAM
KABUPATEN KETAPANG
2019
HIPERTENSI
(Kode ICD X : I10)
1. Definisi Tekanan darah yang sama atau melebhi 140 mmHg sistolik dan/atau sama
atau melebihi 90 mmHg diastolik pada seseorang yang tidak sedang makan
obat antihipertensi
2. Anamnesis Riwayat Tekanan Darah tinggi, Riwayat Keluarga, Riwayat Pengobatan,
Riwayat Penyakit Kronis lainnya (Diabetes, Kolestrol, dll)
4. Kriteria Klasifikasi berdasarkan hasi rata – rata pengukuran tekanan darah yang
Diagnosis dialkukan minimal 2 kali tiap kunjungan pada 2 kali kunjungan atau lebih
dengan menggunakan cuff yang meliputi minimal 80% lengan ata pada
pasien dengan posisi duduk dan telah beristirahata 5 menit.
Tekanan sistolik = suara fase 1 dan tekanan diastolik = suara fase 5
Pengukuran pertama harus pada kedua sisi lengan untuk menghindarkan
kelainan pembuluh darah perifer
Pengukuran tekanan darah pada waktu berdiri diindikasikan pada pasien
dengan risiko hipotensi postural (lanjut usia, pasien DM, dll)
Faktor risiko kardiovaskular
- Hipertensi
- Merokok
- Obesitas (IMT > 30)
- Inaktivitas fisik
- Dislipidemia
- Diabetes melitus
- Mikroalbuminuria ata LFG < 60 ml/menit
- Usia (laki – laki > 55 tahun, perempuan > 65 tahun
- Riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular dini ( laki – laki <
55 tahun atau perempuan < 65 tahun)
Kerusakan organ sasaran :
- Jantung : hipertrofi ventrikel kiri, angina atau riwayat infark miokard,
riwayat revaskularisasi koroner, gagal jantung
- Otak : strok atau transient ischemic attack (TUA)
84
- Penyakit ginjal kronik ’penyakit ateri perifer
- Retinopati
Penyebab hipertensi yang telah diidentifikasi : sleep apnea, alkibat obat
atau berkaitan dengan obat, penyakit ginjal kronik dan sindrom Cushing,
feokromositoma, koarktasi aorta, penyakit tiroid atau paratiroid
5.Diagnosis Hipertensi
Kerja
6.Diagnosa Peningkatan tekanan darah akibat white coat hypertansion, rasa nyeri,
Banding peningkatan tekanan intraserebral, ensefalitis, akibat obat, dll
7.Pemeriksaan Urinalisis, tes fungsi ginjal, gula darah, elekrolit, profil lipid, foto thoraks,
Penunjang EKG, sesuai penyakit ppenyerta : asam urat, aktivitas renin plasma,
aldosteron, katekolamin, urin, USG pembuluh darah besar, USG ginjal,
akekordiografi.
8.Tata Laksana Pada penggunaan penghambat ACE atau antagonis reseptor All : evaluasi
kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35%
atau timbul hiperkalemi harus dihentikan.
Kondisi khusus lain :
Obesitas dan sindrom metabolik (tedapat 3 atau lebih keadan berikut :
lingkar pinggang laki – laki > 102 cm atau perempuan > 89 cm,
toleransi glukosa terganggu dengan gula darah puasa ³110 mg/dl,
tekanan darah minimal 130/85 mmHg, trigliserida tinggi ³150 mg/dl,
kolesterol HDL rendah < 40 mg/dl pada laki – laki atau < 50 mg/dl
pada perempuan) modifikasi gaya hidup yang intensif dengan
pilihan terapi utama golongan penghambat ACE. Pilihan lain adalah
antagonis reseptor All, penghambat kalsium, dan penghambat α
Hipertrofi ventrikel kiri tatalaksana tekanan darah yang agresif
termasuk penurunan berat badan, retriksi asupan natrium dan terapi
dengan semua kelas antihipertensi kecuali vasodilator langsung,
hidralazin dan minoksidil
Penyakit arteri perifer semua kelas anti hipertensi, tatalaksana
faktor risiko lain, dan pemberian aspirin.
Lanjut usia, termasuk penderita hipertensi sistolik terisolasi
diuretika (tiazid) sebagai lini pertama, dimulai dengan dosis
rendah 12.5 mg/ari. Penggunaan obat antihipertensi lain dengan
mempertimbangkan penyakit penyerta
Kehamilan pilihan terapi adalah golongan metildopa, penyekat
reseptor β, antagonis kalsium dan vasodilator. Penghambat ACE dan
antagonis reseptor AH tidak boleh digunakan selama kehamilan
85
9.Edukasi Menjaga Pola hidup yang sehat, olah raga teratur, menghindari makanan
yang mengandung tinggi lemak dan asin, hindari stress, hindari asap
rokok
10.Prognosis Dubia
11.Penelaan SMF Penyakit Dalam
Kritis
12. Indikator Kondisi Klinis Membaik
Medis
13.Kepustakaan 1. Yogiantoro, Mohammad. 2010. Hipertensi Esensia dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta : InternaPublishing
2. JNC 8
86
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
BADAN LAYANAN UMUM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DOKTER AGOESDJAM
KABUPATEN KETAPANG
2019
KRISIS HIPERTENSI
(Kode ICD X : I16)
1. Definisi Adalah sejumlah kondisi kelainan klinis dengan atau tanpa kelainan
organ lain, yang disebabkan oleh hipertensi arterial.
2. Anamnesis Pusing, kepala berat
Nyeri dada
Cepat lelah
Berdebar-debar
Sesak nafas
Tanpa keluhan
Kelemahan atau kelumpuhan sebagian atau
seluruh anggota tubuh
3. Pemeriksaan Fisik TD sistolik > 180 mmHg atau TD diastolic 110 mm
87
Hipertensi Emergensi
88