ICD.10 = K30
DISPEPSIA
Dispepsia adalah suatu keadaan yang ditandai oleh salah satu
atau lebih gejala utama area gastroduodenal berikut: nyeri
1. Pengertian ( Definisi) epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh setelah
makan atau sensasi cepat kenyang.
1. Nyeri atau rasa terbakar di ulu hati
3. Mual, rasa kembung bahkan sampai disertai
2. Anamnesis
muntah.
4. Rasa penuh atau cepat kenyang dan sendawa.
3. Pemeriksaan Fisik Nyeri tekan uluhati
1. Satu atau lebih gejala berikut:
- Kembung setelah makan yang mengganggu
- Cepat kenyang yang mengganggu
- Nyeri ulu hati yang mengganggu
- Rasa terbakar di ulu hati yang mengganggu
4. Kriteria Diagnosis dan
2. Tidak ada bukti penyakit anatomis (termasuk dari
hasil endoskopi atas) yang berhubungan dengan
gejala sebelumnya
Gejala dialami selama 3 bulan terakhir dengan onset gejala
paling tidak 6 bulan sebelum diagnosis.
5. Diagnosis Kerja Dispepsia
1. Penyakit refluks gastroesopageal
2. IBS
6. Diagnosis Banding 3. Hepatitis
4. Pankreatitis
5. Karsinoma saluran cerna bagian atas
1. Darah perifer lengkap
2. Endoskopi bagian atas
3. Helicobacter pylori dengan pemeriksaan urea
breath test (UBT)
7. Pemeriksaan Penunjang 4. Amilase, lipase bila diduga pakreatitis
5. SGOT&SGPT, alkali fosfatase, gama GT,
bilirubin total atau bilirubin direk
6. USG abdomen bila diduga gangguan fungsi hati
dan saluran empedu maupun kandung empedu
8. Tata Laksana : Terapi diberikan per oral dengan obat, antara lain:
1. H2 Bloker 2x/hari (Ranitidin 150 mg/kali,
Famotidin 20 mg/kali, Simetidin 400-800
mg/kali)
2. PPI 2x/hari (Omeprazol 20 mg/kali,
Lansoprazol 30 mg/kali), serta
3. Antasida dosis 3 x 500-1000 mg/hari.
9. Edukasi (Hospital Health 1. Modifikasi gaya hidup
Promotion) 2. Pengaturan diet sesuai gizi
Ad vitam : dubia ad bonam
10. Prognosis Ad Sanationam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
1. dr. Dani Rosdiana, SpPD
2. dr. Ligat P Sembiring, SpPD
11. Penelaah Kritis
3. dr. Yohana Sitompul, Sp.PD
4. dr. Hendra Saputra, Sp.PD
12. Indikator 80% dispepsia dirawatselama 5 hari.
1. Schmulson MJ dan Drossman DA. 2017. What Is
New in Rome IV. J Neurogastroenterol Motil.
13. Kepustakaan 23(2), p:151-63.
2. Stanghelini V, et al. 2016. Gastroduodenal
Disorders. Gastroenterology. 150(6), p:1380-92.
ICD.10 = l.10
HIPERTENSI ESENSIAL
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah ≥140/90 mmHg
1. Pengertian ( Definisi) secara kronis.
Keluhan :
1. Sakit kepala/ kepala terasa berat, terkadang
sensasi berputar
2. Mual (+) muntah (+)
3. Leher kaku
4. Dapat tidak bergejala
Faktor resiko kardiovaskuler lainnya:
1. Merokok
2. Obesitas (IMT >30
3. Inaktivitas fisik
4. Dislipidemia
5. DM
6. Mikroalbuminuria atau LFG< 60 ml/menit
2. Anamnesis 7. Usia (laki-laki >55 tahun, Perempuan >65
tahun)
8. Riwayat keluarga dengan penyakit
kardiovaskuler dini (laki-laki <55 tahun
Perempuan <65 tahun)
Kerusakan organ sasaran:
1. Jantung: hipertrofi ventrikel kiri, angina, atau
riwayat infark miokard, riwayat revaskularisasi
koroner, gagal jantung
2. Otak: Stroke atau Transient Ischemic Attack
(TIA)
3. Penyakit ginjal kronik
4. Penyakit arteri perifer
5. Retinopati
Nilai tekanan darah diambil dari rerata 2x pengukuran pada
setiap kunjungan ke dokter.
3. Pemeriksaan Fisik Hipertensi ditegakkanjika tekanan darah ≥ 140/90 pada 2 atau
lebih kunjungan.
Klasifikasi TD sistolik TD diastolic
(mmHg) (mmHg)
HIPERTENSI KRISIS
1. Pengertian ( Definisi)
Krisis hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan prioritas
pengobatan, sebagai berikut :
1. Hipertensi emergensi(darurat) ditandaidengan TD
Diastolik > 120 mmHg, disertai kerusakan berat
dari organ sasaran yag disebabkan oleh satu atau
lebih penyakit/kondisi akut. Keterlambatan
pengobatanakanmenyebebabkan timbulnya
sequele ataukematian. TD harus
diturunkansampai batas tertentu dalam satu
sampai beberapa jam. Penderita perlu dirawat di
ruangan intensive care unit atau (ICU).
2. Hipertensi urgensi :
a. Hipertensi berat dengan TD Diastolik > 120
mmHg, tetapi denganminimalatau tanpa
kerusakan organ sasaran dantidak dijumpai
keadaan pada hipertensi emergensi.
b. KW I atau II pada funduskopi
c. Hipertensi post operasi.
d. Hipertensitak terkontrol / tanpadiobati pada
perioperatif.
Hipertensi emergensi
6. Diagnosis Kerja
Hipertensi krisis
1. Hipertensi berat
2. Emergensineurologiyang dapatdikoreksidengan
7. Diagnosis Banding pembedahan.
3. Ansietas dengan hipertensi labil.
4. Oedema paru dengan payah jantung kiri.
Pemeriksaan penunjang dilakukanduacara yaitu :
1. Pemeriksaan yang segera seperti :
a. darah : rutin, BUN, creatinine, elektrolik,
KGD.
b. Urine : Urinalisa dan kultur urine.
c. EKG : 12 Lead, melihat tanda iskemi.
d. Foto dada : apakah ada oedema paru ( dapat
ditunggu setelah pengobatan terlaksana).
8. PemeriksaanPenunjang 2. Pemeriksaan lanjutan tergantung dari keadaan
klinis dan hasil pemeriksaan yang pertama,
(pasien dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih
kompeten ) :
a. sangkaankelainan renal: IVP, Renal
angiography ( kasus tertentu), biopsirenal
(kasustertentu).
b.menyingkirkan kemungkinan tindakanbedah
neurologi : Spinal tab, CAT Scan.
9. Tata Laksana : Diltiazem (Herbesser) IV (10 mg dan 50 mg/ampul)
a. Terapi Konservatif - Diltiazem 10 mg IV diberikan dalam 1-3
b. Lama perawatan menit kemudian diteruskan dengan infus 50
mg/jam selama 20 menit.
- Bila tekanan darah telah turun > 20% dad
awal, dosis diberikan 30 mg/menit sampai
target tercapai
- Diteruskan dengan dosis maintenance 5-10
mg/jam dengan observasi 4 jam kemudian
diganti dengan tablet oral.
- Perlu perhatian khusus pada penderita
dengan gangguan konduksi jantung dan
gagal jantung.
15. Indikator
16. Kepustakaan Alpert J. S, Rippe J.M ; 1980 : Hypertensive
Crisis in manual of Cardiovascular Diagnosis and
Therapy,Asean Edition Little Brown and Coy
Boston, 149-60.
Anavekar S.N. : Johns C.I; 1974 : Management
of Acute Hipertensive Crissis with Clonidine
(catapres ), Med. J. Aust. 1 :829-831.
Angeli.P. Chiese. M, Caregaro,et al, 1991 :
Comparison of sublingual Captopril and
Nifedipine in immediate Treatment of
hypertensive Emergencies, Arch, Intren. Med,
151: 678-82.
Anwar C.H. ; Fadillah. A ; Nasution M. Y ; Lubis
H.R; 1991 : Efek akut obat antihipertensi
(Nifedipine, Klonidin Metoprolol ) pada
penderita hipertensi sedang dan berat ; naskah
lengkap KOPARDI VIII, Yogyakarta, 279-83.
Bertel. O. Conen D, Radu EW, Muller J, Lang
C : 1983 :Nifedipine in Hypertensive
Emergencies, BrMmmed J, 286; 19-21.
Calhoun D.A, Oparil. S ; 1990 : Treatment of
Hypertensive Crisis, New Engl J Med, 323 :
1177-83.
Gifford R.W , 1991 : Mamagement of
Hypertensive Crisis, JAMA SEA, 2 66; 39-45.
Gonzale D.G, Ram C.SV.S., 1988 : New
Approaches for the treatment of Hypertensive
Urgencies and Emergencies, Cheast, I, 193-5.
Haynes R.B, 1991 : Sublingual Captopril and
Nifedipine on Hipertensive Emergencies, AC P
Journal Clib, 45.
Houston MC ; 1989 : Pathoplysiology Clinic al
Aspects and tereatment Dis, 32, 99-148.
Kaplan N.M, 1986 : Clinical Hypertention, 4th
Edition , William & Elkins, Baltimore, 2273-89.
Langton D, Mcgrath B ; 1990 : Refractory
Hypertantion and Hypertensive Emergencies in
Hypertention Management, Mc Leman & Petty
Pty Limited
ICD.10 = E11.9
DIABETES MELITUS TIPE II
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit
1. Pengertian ( Definisi) metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya
Keluhan klasik DM:
1. Polifagia (mudah lapar)
2. Poliuri (sering buang air kecil)
3. Polidipsi (mudah haus)
4. Penurunan berat badan yang tidak jelas
sebabnya
Keluhan tidak khas:
2. Anamnesis 1. Lemah
2. Kesemutan (rasa baal di ujung-ujung
ekstremitas)
3. Gatal
2. Mata kabur
3. Disfungsi ereksi pada pria
4. Pruritus vulvae pada wanita
5. Luka yang sulit sembuh
1. Antropometri : TB, BB, BMI, lingkar pinggang
2. Tanda vital :TD, frekuensi nadi, frekuensi
pernapasan, suhu
3. Pemeriksaan Fisik 3. Mata : Penurunan visus, lensa mata buram
4. Extremitas : Uji sensibilitas kulit dengan
mikrofilamen
5. Gangguan vaskuler ekstremitas
Kriteria diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa:
1. Gejala klasik DM (poliuria, polidipsia, polifagi)
+ glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1
mmol/L). Glukosa plasma sewaktu merupakan
hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir ATAU
2. Gejala Klasik DM + Kadar glukosa plasma
4. Kriteria Diagnosis puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak
mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
ATAU
3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada tes toleransi
glukosa oral (TTGO)> 200 mg/dL (11,1
mmol/L) TTGO dilakukan dengan standard
WHO, menggunakan beban glukosa anhidrus
75 gram yang dilarutkan dalam air.
5. Diagnosis Kerja Diabetes Mellitus Tipe II
6. Diagnosis Banding -
ICD.10 = A01.0
DEMAM TIFOID
Demam Tifoid merupakan penyakit sistemik akut
1. Pengertian ( Definisi) yang disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella
typhi atau Salmonella paratyphi.
1. Demam : tipe demam naik secara bertangga
pada minggu pertama lalu demam menetap
(kontinyu) atau remiten pada minggu kedua.
Demam terutama sore/ malam hari, sakit
kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah,
1. Anamnesis
obstipasi, atau diarelebih dari7 hari
2. Gejala simptomatik : Nyeri kepala, Nyeri otot,
Mual, muntah
3. konstipasi/diare
4. Nyeri perut
1. Demam (38.0 °– 40.5°C)
2. Kesadaran: mulai dari composmentis
hinggaapatis - psikosis
3. Bradikardia relatif ; peningkatan suhu l oC
2. Pemeriksaan Fisik tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit),
4. Lidah kotor, tepi merah, tremor
5. Hepatomegali dan atau Splenomegali
6. Nyeri abdomen
7. Roseolae (jarang pada orang Indonesia).
1. Sesuai kriteria anamnesis
2. Sesuai kriteria pemeriksaan fisik
2. Pemeriksaan penunjang:
- Leukopenia/leukositosis
- Limfopenia
- Peningkatan LED
3. Kriteria Diagnosis - tes serologi Ig M anti salmonella skor ≥ 4
atau
- uji widal tunggal dengan titer antibodi 0
1/320 atau H 1/640 disertai gambaran klinis
khas menyokong diagnosis.
- Kultur darah negative tidak menyingkirkan
diagnosis
4. Diagnosis Kerja Demam Tifoid
1. Demam Berdarah Dengue
2. Malaria
5. Diagnosis Banding 3. Hepatitis Akut
4. Cholesistitis Akut
1. Darah rutin: (Hb, Leukosit, LED, trombosit)
2. Transaminase : SGOT dan SGPT
6. Pemeriksaan Penunjang 3. kultur darah (biakan empedu)
4. uji widal titer antibodi 0 dan titer H
5. Ig M Salmonella
1. Non farmakologis
- Makanan lunak rendah serat : 30-40
kkal/kgBB/hari
- Bed rest
- Mobilisasi bertahap
2. Antibiotika
- Inf Levofloksasin 1 x 500 mg selama 5 hari,
ganti oral jika 2 x 24 jam bebas demam atau
7. Tata Laksana : - Inj ceftriakson 1 x 2 gram iv selama 7 hari,
ganti oral jika 2 x 24 jam bebas demam
3. Terapi suportif atau simptomatik:
- Parasetamol 3 x 500 mg sampai bebas
demam mg selama 5 hari
- Domperidone 3 x 1 tab jika terjadi mual,
muntah
- Omeprazol 1 x 20 mg selama 3 hari jika nyeri
epigastrium
Penjelasan mengenai perjalanan penyakit dan rencana
pengobatan :
8. Edukasi (Hospital Health 1. Diet lunak, bebas serat
Promotion) 2. Tirah baring hingga 2 hari bebas demam
3. Minum obat teratur
Ad vitam: dubia ad bonam
9. Prognosis Ad Sanationam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
1. dr. Dani Rosdiana, SpPD
2. dr. Ligat P Sembiring, SpPD
10. Penelaah Kritis
3. dr. Yohana Sitompul, Sp.PD
4. dr. Hendra Saputra, Sp.PD
80% Pasien Demam Typhoid bebas demam dan membaik
11. Indikator secara klinis pada hari ke 3-5
ICD.10 = A91