Perpajakan
Di Buat Oleh:
Anggota :
Fitria Ningsih Hartika
Melinia Safitri
Mustika Ratih
Nurhady Shaleh
Berikut adalah ayat jurnal yang diperlukan dalam pembukaan PT. Beta
(Penyewa) untuk mencatat transaksi sewa di atas:
Utang PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000 Utang PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000
Kas 3.000.000 Kas 3.000.000
PT.Alfa Sewa Dibayar di Muka 30.000.000 Sewa Dibayar di Muka 30.000.000
(non Utang PPh Pasal 4 ayat (2) Utang PPh Pasal 4 ayat (2)
PKP) 3.000.000 3.000.000
Kas 27.000.000 Kas 27.000.000
Utang PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000 Utang PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000
Kas 3.000.000 Kas 3.000.000
Apabila pajak penghasilan tidak dipotong oleh PT. Beta, maka PT. Alfa
wajib menyetor sendiri PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut ke kas negara dengan
menggunakan SSP paling lambat tanggal 15 Mei 2013 dan melaporkannya ke
KPP dengan menggunakan SPT Masa PPh final Pasal 4 ayat (2) paling lambat
tanggal 20 Mei 2013.
Berikut adalah ayat jurnal yang diperlukan dalam pembukaan PT. Alfa
(Pemilik) untuk mencatat transaksi sewa di atas apabila pajak penghasilan tidak
dipotong oleh PT. Beta:
PT. Beta (PKP) PT. Beta (non PKP)
PT.Alfa Kas 33.000.000 Kas 33.000.000
(PKP) PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000 PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000
PPN Keluaran 3.000.000 PPN Keluaran 3.000.000
Pendapatan Sewa 30.000.000 Pendapatan Sewa 30.000.000
Utang PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000 Utang PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000
Utang PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000 Utang PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000
Kas 3.000.000 Kas 3.000.000
PT.Alfa Kas 30.000.000 Kas 30.000.000
(non PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000 PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000
PKP) Pendapatan Sewa 30.000.000 Pendapatan Sewa 30.000.000
Utang PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000 Utang PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000
Utang PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000 Utang PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000
Kas 3.000.000 Kas 3.000.000
Berikut adalah ayat jurnal yang diperlukan dalam pembukuan PT. Dami
(Pemilik) untuk mencatat transaksi sewa dia atas:
Tanggal Nama Perkiraan Debet Kredit
1 April 13 Kas 108.000.000
PPh Pasal 23 Dibayar di Muka 2.000.000
PPN Keluaran 10.000.000
Pendapatan Sewa 100.000.000
Nilai impor yang dimaksud di atas adalah nilai CIF (cost + insurance
+ freight) ditambah dengan bea masuk dan pungutan lainnya yang
dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
kepabeanan di bidang impor. Nilai impor dalam mata uang asing akan
dikonversi dengan menggunakan kurs KMK (Keputusan Menteri
Keuangan).
Pungutan PPh pasal 22 merupakan pembayaran pendahuluan yang
dapat diperhitungkan dengan pajak terutang untuk tahun pajak bersangkutan
(bersifat tidak final). PPh Pasal 22, PPN, dan PPnBM harus dilunasi
bersamaan dengan saat pembayaran bea masuk, dan dalam hal apabila be
amasuk ditunda atau dibebaskan maka PPh Pasal 22 ini harus harus dilunasi
pada saat penyelesaian fokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB).
PPh Pasal 22, PPN, dan PPnBM disetor ke kas negara melalui kantor
pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh menteri keuangan selambat-
lambatnya 2 hari kerja setelah dilakukan pemungutan pajak tersebut, atau
oleh importir yang bersangkutan dengan menggunakan formulir Surat
Setoran Pabean, Cukai dan Pajak dalam rangka impor (SSPCP) yang
berlaku sebagai bukit pemungutan pajak. PPh Pasal 22, PPN, dan PPnBM
wajib dilaporkan hasil pemungutannya degan menggunakan SPT Masa ke
KPP paling lambat pada haru kerja terakhir minggu berikutnya.
PPh Pasal 22 juga dikenakan terhadap hasil leleang terhadpa barang
yang tidak dikuasai, di mana pelelangannya dilakukan oleh Dirjen
Kekayaan dan Lelang Negara atau Dirjen Bea Cukai. Dalam hal ini, PPh
Pasal 22 dikenakan ataas hasil leleang tersebut dengan tarif sebesar 7,5%
dari hasil jula lelang.
2. Sesuai dengan PMK-154/PMK.03/2010, untuk transaksi pembeliian barang
yang berhubungan dengan Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna
Anggaran dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 1,5% dari harga pembelian
(belum termasuk PPN)
Pungutan PPh Pasal 22 ini merupakan pembayaran pendahuluan yang
dapat diperhitungkan dengan pajak terutang untuk tahun pajak bersangkutan
(bersifat tidak final). PPh Pasal 22 atas pembelian barang oleh pemungut
pajak akan terutang dan dipungut pada saat pembayran atas pembelian
barang tersebut dilakukan.
PPh Pasal 22 ini wajib disetor oleh pemungut pajaka ke kas egara
melalui kantor pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh menteri
keuangan dnegan menggunakan SSP (Surat Setoran Pajak), yang telah diisi
NPWP dan identitas rekanan serta ditandatangani oleh pemungut pajak pada
hari yang sama saat pemungut pajak tersebut. SSP ini selanjutnya akan
berfungsi sebagai bukti pemungutan pajak. PPh Pasal 22 wajib dilaporkan
hasil pemungutannya dengan menggunakan SPT Masa ke KPP paling
lambat 14 hari setelah masa pajak berakhir.
Untuk PPN dan PPnBM yang dipungut oleh Bendahara Pemerintah,
batas waktu pembayaran atau penyetoran pajaknya adlah pada tanggal 7
bulan erikutnya, sedangkan untuk batas waktu pelaporan SPT Masa-nya
adalah pada tanggal 14 bulan berikutnya.
Contoh:
Pada tanggal 15 Januari 2014, Pemda DKI Jakarta membeli 6 unit
mesin pendingin udara (Barang Kena Pajak) secara tunai dari rekanan CV.
Sejuk Sejahtera (Pengusaha Kena Pajak) dengan harga Rp 30 juta (belum
termasuk PPN). Atas pembelian ini, Bendahara Pemda DKI Jakarta
memungut PPN sebesar Rp. 3 juta dan PPh Padal 22 sebesar RP 450.000,-.
Berikut adalah ayat jurnal yang diperlukan dalam pembukuan CV. Sejuk
Sejahtera (Selaku penjual) untuk mencatat transaksi si atas:
Tanggal Nama Perkiraan Debet Kredit
15 Jan’ 14 Kas 29.550.000
PPh Pasal 22 Dibayar di Muka 450.000
Penjualan 30.000.000
*(1,5% x Rp30 juta)
Bagi CV. Sejuk Sejahtera, PPh Pasal 22 yang telah dipunguti oleh
Bendaharawan Pemda DKI Jakarta di atas merupakan pembayaran
pendahuluan (perlu dibayar di muka) yang dapat diperhitungkan dengan
pajak terutang untuk tahun pajak bersangkutan (bersifat tidak final sehingga
dapat dikreditkan).
Setelah melakukan pemungutan, Bendaharawan Pemda DKI Jakarta
wajib menyetorkan PPh Pasal 22 tersebut ke Bank Persepsi paling lambat
tanggal 15 Januari 2014 juga (hari yang sama dengan saat pajak tersebut
dipungut) dengan menggunakan SSP yang memuat NPWP dan identitas
rekanan (CV. Sejuk Sejahtera) serta ditandatangani oleh Bendaharawan
Pemda DKI Jakarta. Setelah SSP diisi dan pajaknya disetorkan ke bank
selanjutnya Bendaharawan Pemda DKI Jakarta harus mengisi SPT Masa
PPh Pasal 22 (dengan nama dan NPWP Bendahara), dan melaporkannya ke
Kantor Pelayanan Pajak di mana Bendaharawan tersebut terdaftar (paling
lambat tanggal 14 Februari 2014).
Terkait dengan PPN yang dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah,
PKP rekanan Pemerintah (dalam hal ini CV. Sejuk Sejahtera) membuat
Faktur Pajak dan SSP pada saat menyampaikan tagihannya kepada
Bendaharawan Pemerintah tersebut. SSP diisi dengan membubuhkan NPWP
dan identitas CV. Sejuk Sejahtera, namun penandatanganan SSP dilakukan
oleh Bendaharawan Pemerintah sebagai penyetoran pajaknya adalah pada
tanggal 7 Februari 2014, sedangkan batas waktu pelaporan SPT Masa-nya
adalah pada tanggal 14 Februari 2014.
3. Sesuai dengan PMK-154/PMK-03/2010, untuk transaksi yang berhubungan
dengan industri tertentu, yang terdiri atas berikut ini:
Industri semen dikenakan tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,25% dari harga
jual.
Industri kertas dikenakan tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,1% dari harga jual.
Industri baja dikenakan tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,3% dari harga jual.
Industri otomotif dikenakan tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,45% dari harga
jual.
PPh Pasal 22 nya terutang dan dipungut oleh penjual apda saat
penjualan. Pajaknya ini akan disetorkan ke kas negara melalui kantor pos,
bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh menteri keuangan dengan
menggunakan SSP selambat-lambatnya pada tanggal 10 bulan berikutnya.
Seangkan pelaporan hasil pemungutan ke KPP setempay menggunakan SPT
Masa paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir.
Pemungut pajak wajib menerbitkan bukti pemungutan PPh Pasal 22
dalam rangkap 3 (tiga), yaitu: lembar ke-1 untuk WP; lembarke-2 sebagai
lampiran pada SPT Masa PPh Pasal 22; dan lembar ke-3 sebagai arsip bagi
pemungut pajak yang bersangkutan.
Sesuai dengan PER-15/PJ/2011 tentang “Tata Cara dan Prosedur
Pemungutan PPh Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas
Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di
Bidang Lain”, apabila terjadi pengembalian barang hasil produksi yang
dibeli dari badan usaha sebagai pemungut PPh Pasal 22 setelah masa pajak
di mana terjadinya penjualan maka pembeli harus membuat dan
menyampaikan nota retur kepada pemungut PPh Pasal 22 tersebut. Nota
retur yang dimaksud ini harus dibuat dalam masa pajak di mana terjadinya
pengembalian barang hasil produksi tersebut. Nota retur dibuat rangkap 3
(tiga), yaitu: lembar ke-1 untuk pemungut pajak; lembar ke-2 sebagai
lampiran pada SPT Masa PPh Pasal 22; dan lembar ke-3 sebagai arsip bagi
WP pembeli.
Contoh:
Pada tanggal 15 Januari 2014, PT. Alaska (PKP) menjual semen
hasil produksinya kepada PT. Ratu (PKP) dengan harga jual sebesar
Rp300 juta (belum termasuk PPN). Sistem pencatatan persediaan
yang digunakan oleh PT. Alaska adalah sistem periodik, sedangkan
PT. Ratu menggunakan sistem pencatatan perpetual.
Berikut adalah jurnal yang diperlukan dalam pembukuan PT. Ratu (selaku
pembeli) untuk mencatat transaksi di atas:
Tanggal Nama Perkiraan Debet Kredit
15 Jan’ 14 Persediaan 300.000.000
PPN Masukan 30.000.000
PPh Pasal 22 Dibayar di Muka* 750.000
Penjualan 330.750.000
*(0,25% x Rp300 juta)
Pada tanggal 15 Januari 2014, PT. Elang (PKP) menjual kertas hasil
produksinya kepada PT. Datuk (PKP) dengan harga jual sebesar Rp550
juta (termasuk PPN). Sistem pencatatan persediaan yang digunakan oleh
PT. Elang maupun PT. Datuk adalah sistem periodik.
Berikut adalah ayat jurnal yang diperlukan dalam pembukuan PT.
Datuk (selaku pembeli) untuk mencatat transaksi di atas:
Tanggal Nama Perkiraan Debet Kredit
15 Jan’ 14 Pembelian 500.000.000
PPN Masukan 50.000.000
PPh Pasal 22 Dibayar di Muka 500.000
Kas 550.500.000
*0,1% x Rp500 juta)
Contoh:
Pada taggal 9 oktober 2013, PT. Danker menjual hasil perkebunan (yang
dikumpulkannya dari masyarakat sekitar) kepada PT.Galaxi dengan harga Rp.
250 juta (belum termasuk PPN) sesuai dengan SK dari PKP setempat.
Berikut adalah ayat jurnal yang diperlukan dalam pembukuan untuk mencatat
transaksi.
PPh pasal 23 dikenakan atas penghasilan berupa: (a) dividen; (b) bunga;
(c) royalti atau imbalan atas penggunaan ha; (d) hadiah, penghargaan, bonus, dan
sejenisnya; (e) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenakan
PPh final pasal 4 ayat (2); dan (f) imbalan jasa sehubungan dengan jasa teknik, jasa
manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain yang ditetapkan oleh dirjen
pajak, selain jasa yang telah dipotong PPh pasal 21.
a) Dividen
Terkait dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh investor dari
perusahaan investee dalam bentuk diveden atas investasi saham , penerima dividen
dapat dibedakan menjadi: (i) Wajib pajak orang pribadi dalam negeri; (ii)
perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, dan BUMN/D
sebagai hasil dari pertanyaan modal pada badan usaha yang didirakan dan
bertempat kedudukan di indonesia dengan persentase kepemilikan saham kurang
dari 25%; (iii) perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, dan
BUMN/D sebagai hasil dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan
dan bertempat kedudukan di indonesia dengan persentase kepemilikan saham
paling rendah 25% (lebih besar atau sama dengan 25%) dari jumlah modal yang
disetor.
Berdasarkan undang-undang PPh Nomor 36 tahun 2008 pasal 17 ayat
(2c) jo. PP nomor 19 tahun 2009 jo. SE-01/PJ.03/2009, dividen yang diterima oleh
wajib pajak orang pribadi dalam negeri dikenakan pajak yang bersifat final, yaitu
PPh pasal ayat (2) dengan tarif 10% dari jumlah bruto (sesuai tarif pasal 17 ayat 2c
undang-undang PPh nomor 36 tahun 2008 jo. PP 19 Tahun 2009). Pihak
penerimaan dividen tidak dapat mngkreditkan pajak tersebut pada saat menghitung
PPh kurang bayar atau PPh lebih dibayar di akhir tahun pajak.
Sedangkan dividen yang diterima oleh perseroan terbatas sebagai wajib
pajak dalam negeri, koperasi, dan BUMN/D sebagai hasil dari penyertaan modal
pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di indonesia dengan
persentase kepemilikan saham kurang dari 25% akan dikenakan PPh pasal 23
dengan tarif 15% dari penghasilan bruto. PPh pasal 23 ini tergolong pajak yang di
bayar di muka, di mana pihak yang menerima penghasilan dapat mengkreditkan
pajak yang dibayar di muka tersebut pada saat menghitung PPh kurang bayar atau
PPh lebih bayar di akhir tahun pajak.
Menurut undang-undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 4 ayat (3),
dividen yang dikecualikan dari objek PPh pasal 23 adalah dividen yang diterima
oleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, dan BUMN/D
sebagai hasil dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di indonesia, dengan syarat bahwa dividen yang dibagikan
tersebut berasal dari cadangan saldo laba (cadangan laba ditahan) dan dengen
persentase kepemilikan saham paling rendah 25% (lebih besar atau sama dengan
25%) dari jumlah modal yang disetor.
Contoh:
Pada tanggal 1 agustus 2013 PT. Andika membayar dividen tunai kepada
PT.Damar sebesar Rp10 juta. PT.Damar memiliki persentase kepemilikan saham di
PT. Andika sebesar 10%. Atas pembayaran dividen tersebut, PT.Andika memotong
PPh pasal 23 dimaksud kepada PT.Damar. PPh yang dipotong ini akan
diperhitungkan sebagai kredit pajak oleh PT. Damar. PT.Andika wajib melakukan
penyetoran PPh pasal 23 yang telah dipotongnya dari PT. Damar paling lambat
tanggal 20 september 2013.
Adapun ayat jurnal yang akan dibuat oleh PT.Damar sehubungan dengan
penerimaan dividen tersebut adalah:
Sedangkan ayat jurnal yang akan dibuat oleh PT. Andika sehubungan
dengan pembayaran dividen di atas adalah:
b) Bunga
Bunga yang dikenakan PPh pasal 23 adalah bunga, termasuk premium,
diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang yang merupakan bunga
antara pinjaman dari WP badan ke WP badan, WP badan ke WP orang pribadi atau
sebaliknya, serta bunga obligasi yang tidak dijual dibursa efek penghasilan atas
bunga tersebut dikenakan PPh pasal 23 dengan tarif sebesar 15% dari penghasilan
bruto. Pada akhir tahun pajak, pihak yang menerima penghasilan berupa bunga ini
dapat mengkreditkan pajak yang dibayar di muka tersebut (PPh pasal 23 atas
bunga) dalam menghitung besarnya PPh kurang bayar atau PPh lebih bayar.
Premium terjadi apabila surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya,
sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya,
premium tersebut merupakan penghasilan bagi pihak yang membeli obligasi.
Contoh soal terkait dengan premium dan diskonto obligasi ini akan diberikan nanti
pada bab-bab berikutnya, yaitu pada waktu membahas mengenai akuntansi pajak
atas investasi dalam obligasi (bab tersendiri menyangkut investasi sekuritis) dan
utang obligasi (bab mengenai kewajiban).
Penghasilan beruapa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi
dan surat utang negara yang dijual di bursa efek, serta bunga simpanan yang
dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi merupakan
penghasilan yang dikenakan pajak bersifat final, yaitu PPh pasal 4 ayat (2).
Penghasilan yang dikenakan PPh final ini tidak akan digabung dengan penghasilan
lainnya yang tidak dikenakan pajak final pada akhir tahun; dengan kata lain bahwa
penghasilan tersebut tidak akan dilakukan penghitungan kembali (tidak
diperhitungkan) dalam SPT tahunan dan pajaknya pun tidak dapat dikreditkan pada
akhir tahun pajak.
Berdasarkan undang-undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 23 ayat (4),
bunga yang bukan merupakan objek PPh pasal 23 adalah bunga yang diterima oleh
bank karena penghasilan bunga tersbut bagi pihak bank merupakan penghasilan
utama bank (penghasilan yang didapatkan sehubungan dengan aktivitas inti/sentral
atau beraktivitas normal bisnis bank) sehingga pajaknya akan diperhitungkan
tersendiri sebagai PPh badan. Dengan kata lain, bunga yang diterima oleh bank
tidaklah dipotong PPh pasal 23 karena penghasilan bunga tersebut bukanlah
merupakan objek PPh pasal 23.
Contoh:
Pada tanggal 25 Mei 2014, PT.Wahana Makmur membayar bunga pinjaman
kepada bank CIMB Niaga sebesar Rp10 juta dan juga kepada PT.Sumber dana
(memiliki NPWP) sebesar Rp8 juta.
Adapun ayat jurnal yang akan dibuat oleh PT.Sumber Dana sehubungan
dengan penerimaan bunga tersebut adalah:
Atas penghasilan yang berupa royalti tersebut, pihak yang menerima royalti
akan dipotong PPh pasal 23 sebesar 15% dari penghasilan bruto. Selanjutnya, pajak
yang dibayar di muka ini dapat menjadi kredit pajak bagi pihak yang menerima
royalti tersebut. Khusus untuk royalti dari hasil karya sinematografi, perlakuan PPh
pasal 23 nya diatur secara terpisah dalam PER-33/PJ/2009 jo. SE-58/PJ/2009.
Contoh:
Pada tanggal 18 januari 2014, PT.Aliansi membayar royalti sebesar Rp20
juta kepada PT.Bima. atas penghasilan berupa royalti ini, PT.Bima memungut PPN
10% dari PT.Aliansi dengan membuat faktur pajak. PT.Aliansi memotong PPh
pasal 23 dari PT.Bima dengan membuat bukti pemotongan PPh pasal 23.
Adapun ayat jurnal yang akan dibuat oleh PT.Bima sehubungan dengan
penerimaan royalti tersebut adalah:
Contoh:
Pada tanggal 25 April 2014, PT.Indo (memiliki NPWP) memberikan hadiah
kepada PT.Nesia (memiliki NPWP) sebesar Rp50 juta. PT.Nesia dianggap telah
berjasa dan menunjukkan prestasi yang gemilang dalam membantu memasarkan
serta menjual produk-produk yang dihasilkan oleh PT.Indo.
Berikut adalah ayat jurnal yang diperlukan dalam pembukuan PT.Indo untuk
mencatat transaksi di atas:
Adapun ayat jurnal yang akan dibuat oleh PT. Nesia sehubungan dengan
penerimaan hadiah tersebut adalah :
f) Imbalan jasa
Menurut undang-undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 23 ayat (1) huruf c
angka 2, imbalan jasa yang merupakan objek PPh pasal 23 adalah imbalan jasa
sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan,
dan jasa lain yang ditetapkan oleh Dirjen pajak, selain jasa yang telah dipotong PPh
pasal 21.
Berdasarkan PMK-244/PMK.03/2008 jo. SE-53/PJ/2009, jenis jasa
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 undang-
undang PPh nomor 36 tahun 2008 tersebut dikenakan PPh pasal 23 sebesar 2% dari
penghasilan bruto (tidak termasuk PPN).
Pemotong akan memotong PPh pasal 23 pada saat pembayaran (saat
terutang). Lalu, pemotong akan memberikan bukti pemotongan PPh pasal 23
kepada pihak yang dipotong. Bagi pihak yang dipotong, bukti pemotongan PPh
pasal 23 ini merupakan bukti pengkreditan pajak, kecuali PPh pasal 23 tersebut
bersifat final. Pemotong akan menyetor PPh 23 secara kolektif untuk seriap bulan
pemotongan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dengan menggunakan SSP
atas nama pemotong. Kemudian, pemotong akan melaporkan hasil pemotongan
dan penyetor PPh pasal 23 tersebut ke kantor pelayanan pajak dengan
menggunakan SPT masa PPH pasal 23/26 paling lambat tanggal 20 bulan
berikutnya setelah bulan dilakukannya pemotongan.
Berikut adalah jenis jasa yang dikenakan PPh pasal 23, selain jasa yang
telah dipotong PPh pasal 21:
a. Jasa penilai (appraisal);
b. Jasa akturaris;
c. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
d. Jasa perancang (design);
e. Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minya dan gas bumi
(migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap (BUT);
f. Jasa penunjang di bidang penambangan migas dan panas bumi, berupa:
a) Jasa penyemenan dasar (primary cementing) yaitu penempatan bubur semen
secara tepat
Di antara pipa selubung dan lubang sumur;
b) Jasa penyemenan perbaikan (remedial cemnting), yaitu penempatan bubur
semen untuk maksud-maksud sebagai berikut:
Penyumbatan kembali formasi yang sudah kosong
Penyumbatan kembali zona yang berproduksi air;
Perbaikan dari penyemenan dasar yang gagal;
Penutupan sumur.
c) Jasa pengontrol pasir (sand control), yaitu jasa yang menjamin bahwa
bagian-bagian formasi yang tidak terkonsolidasi tidak akan ikut terproduksi
ke dalam rangkaian pipa produksi dan menghilangkan kemungkinan
tersumbatnya pipa.
d) Jasa pengasaman (matrix acidizing), yaitu pekerjaan untuk memperbesar
daya tembus formasi dan menaikkan produktivitas dengan jalan
menghilangkan material penyumbat yang tidak diinginkan;
e) Jasa peretakan hidrolika (hydraulic), yaitu pekerjaan yang dilakukan dalam
hal cara pengasaman tidak cocok, misalnya perawatan pada formasi yang
mempunyai daya tembus sangat kecil;
f) Jasa nitrogen dan gukungan pipa (nitrogen dan coil tubing), yaitu jasa yang
dikerjakan untuk menghilangkan cairan buatan yang berada dalam sumur
baru yang telah selesai, sehingga aliran yang terjadi sesuai dengan tekanan
asli formasi dan kemudian menjadi besar sebagai akibat dari gas nitrogen
yang telah dipompakan ke dalam cairan buatan dalam sumur;
g) Jasa uji kandung lapisan (drill steam testing), penyelesaian sementara suatu
sumur baru agar dapat mengevaluasi kemampuan berproduksi;
h) Jasa reparasi pompa reda (reda repair);
i) Jasa pemasangan instalasi dan perawatan;
j) Jasa penggantian peralatan/material;
k) Jasa mud logging, yaitu memasukkan lumpur ke dalam sumur;
l) Jasa mud engineering;
m) Jasa well logging & perforating;
n) Jasa stimulasi dan secondary decovery;
o) Jasa well testing & wire line service;
p) Jasa alat kontrol navigasi lepas pantai yang berkaitan dengan drilling;
a. Jasa pengeboran
b. Jasa penebasan
c. Jasa pengupasan dan pengeboran
d. Jasa penambangan
e. Jasa pengangkutan/sistem transportasi, kecuali jasa angkutan umum
f. Jasa pengolaan bahan galian
g. Jasa reklamasi tambang
h. Jasa pelaksanaan mekanikal, elektrikal, manufaktur,fabrikasidan
pengalian/pemindahan tanah
i. Jasa lainnya yang sejenis di bidang pertambangan umum
4.jasa ground handling, yaitu pengurusan seluruh atau sebagai dari proses
pelayanan penumpang dan bagasinya serta kargo, yang diangkut dengan
pesawat udara, baik yang berangkat maupun yan datang, selama udara di
darat;
b.bidang non-aeronautika,termasuk
m.jasa bidang perdangan surat-surat beharga, kecuali yang dilakukan oleh bursa
efek, KSEI dan KPEI
t. jasa maklon
w. jasa pengepakan
x. jasa penyediaan tempat dan/waktu dalam media masa, media luar ruang/media
lain untuk menyampaikan informasi
z. jasa kebersihan
Contoh:
Pada tanggal 12 mey 2014, PT. Rajawali membayar fee jasa audit sebesar
rp. 30 juta (belum termasuk PPN) kepada kantor akuntan publik Hery dan rekan.
Berikut adalah ayat jurnal yang diperlukan dalam pembukuan PT. Rajawali untuk
mencatat transaksi diatas:
Adapun ayat jurnal yang akan dibuat oleh KAP Hery dan rekan
sehubungan dengan pendapatan jasa yang diterimanya tersebut adalah:
Pph pasal 24 adalah pajak yang telah dipotong di negara lain (tempat
dimana si wajip pajak memperoleh penghasilan) namun boleh dikreditkan
terhadap pajak yang terutang diindonesia. Dengan kata lain, pph pasal 24 ini
merupakan kredit pajak luar negeri (KPLN).
Contoh:
1. Berikut adalah data informasi terkait penghasilan neto PT. Andalas (yang
berdomisili di jakarta) yang berasal dari luar negeri sepanjang tahun pajak
2013:
a. Penghasilan usaha di kanada untuk tahun pajak 2013 sebesar
Rp950 juta
b. Penghasilan berupa dividen atas kepemilikan saham pada
sebuah perusahaan publik yang terdaftar di pasar modal
norwegia sebesar rp320 juta. Deviden ini berasal dari laba
usaha perusahaan publik tersebut pada tahun 2011 yang
ditetapkan pada rapat umum pemegang saham tahun 2012
dan dibayarkan pada tahun 2013.
c. Penghasilan berupa deviden atas kepemilikan saham pada
sebuah perusahaan keluarga (non public corporation) di
singapura sebesar rp.150 juta. Deviden ini berasa dari usaha
perusahaan keluarga tersebut pada tahun 2012 dibayarkan
dalam tahun 2013.
d. Penghasilan berupa bunga sebesar rp.100 juta. Bunga ini
merupakan hasil investasi obligasi yang dibelinya dari
pemerintah malaysia di awal kwartal ke IV tahun 2013 dan
dibayarkan diakhir tahun 2014.
b. Untuk di negara B =
Rp 3 milyar
Rp 8 milyar X Rp1568.000.000=Rp588 juta
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, maka total jumlah KPLN yang dapat
dikreditkan dalam menghitung PPh kurang/lebih bayar adalah sebesar:
=Rp784 juta
Oleh karna PPh terutag (Rp280 juta) lebih besar dibandingkan dengan
pajak luar negeri (Rp250 juta), maka KPLN yang dapat dikreditkan dalam
menghitung PPh kurang/lebih bayar adalah sebesar maksimumnya, yaitu Rp140
juta.
4. Dalam tahun pajak 2013, PT. Aruna (yang berdomisili di jakarta
memperoleh penghasilan neto sebagai berikut:
a. Rugi usaha di dalam negeri sebesar Rp200 juta.
b. Penghasilan dariusaha di luar negeri sebesar Rp 1 milyar. Atas
penghasilan ini dikenakan pajak sebesar Rp300 juta (tarif pajak
=30%).
Dalam contoh ini, total jumlah penghasilan neto adalah sebesar Rp800
juta (Rp 1 milyar – Rp200 juta). Jika besarnya PPh terutang adalah
Rp112 juta (sesuai tarif pasar 17 dan pasal 3IE undang-undang PPh),
maka batas maksimum KPLN adalah ;
Rp 1 milyar
Rp 800 juta X Rp112 juta = Rp140 juta
Dalam contoh ini, total jumlah penghasilan neto adalah sebesar Rp 5 milyar ( Rp
3 milyar + Rp 2 milyar). Jika besarnya PPh terutang adalah Rp728 juta (sesuai
tarif pasal 17 dan pasal 3IE undang-undang PPh), maka batas maksimum KPLN
adalah:
Rp 2 milyar
Oleh karena PPh terutang (Rp728 juta) lebih besar dibandingkan dengan
pajak luar negeri yang dibayar di luar negeri (Rp640 juta), maka KPLN yang
dapat dikreditkan dalam menghitung PPh kurang/lebih bayar adalah sebesar
maksimumnya, yaitu Rp291,2 juta.
PPh pasal 25 adalah angsuran pajak penghasilan dalam tahun pajak berjalan
yang harus dibayar sendiri oleh WP bersangkutan pada setiap bulannya
sebagaiman yang dimaksud dalam pasal 25 undang-undang PPh nomor 36 tahun
2008. PPh pasal 25 ini harus dibayar atau disetorkan ke kas negara paling lambat
tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Sedangkan untuk
penyampaian SPT masa PPh 25 dilakukan selambat-lambatnya 20 hari setelah
masa pajak berakhir.
Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri
oleh WP bersangkutan pada setiap bulannya dihitung dengan rumus sebagai
berikut: PPh terutang menurut SPT tahunan PPh tahun lalu dikurangi dengan PPh
yang dipotong dan/atau dipungut oleh pihak lain (PPh pasal 22 dan 23. Perlu
diperhatiksn disini, PPh pasal 21 tidak dapat dikreditkan dalam menghitung
besarnya angsuan PPh pasal 25 untuk WP badan karnaWP badan sebagai
pemotong PPh pasal 21 (bukan sebagai pihak yang dipotong).
Contoh:
PPh pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja sebesa Rp.15 juta
=Rp 1 juta
2. Berdasarkan SPT tahunan PPh PT. Kencana unggu) WP badan untuk tahun
pajak 2013 deketahui bahwa besarnya PPh terutang adalah Rp47 juta. Adapun
pph yang dipotong dan/atau di pungut oleh pihak lain serta PPh yang di bayar atau
terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan untuk tahun terswbut adalah sebagai
berikut;
Besarnya angsuran PPh ayat jurnal yang akan di buat oleh PT. Kencana unggu
pada saat melakukan pembayaran PPh pasal 25 pada setiap bulannya untuk tahun
2014;
=Rp 1 juta
Berikut adalah ayat jurnal yang akan dibuat oleh PT. Kencana Unggu pada saat
melakukan pembayaran PPh pasal 25 pada setiap bulannya untuk tahun 2014;
Kas 1.000.000
=Rp 2 juta
A. Besarnya angsiran pajak yang harus di bayar sendiri oleh WP untuk bulan-
bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh adalah sama dengan
besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu.
B. Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak (SKP)
untuk yltahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran PPh pasal 25 haruslah
dihitung kembali berdasarkan SKP tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya
setelah bulan penerbitan SKP.
Sebagai contoh, berdasarkan SPT tahunan PPh tahun pajak 2013 yang di
sampaikan WP dalam bulan februari 2014, perhitungan besarnya angsuran pph
pasal 25 yang harus dibayar WP bersangkutan untuk setiap bulan adalah sebesar
Rp2, 5 juta. Dalam bulan mei 2014 diterbitkan SKP untuk tahun pajak 2013 yang
menetapkan bahwa besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk setiap bilannya adalah
menjadi Rp 3 jut. Berdasarkan pasal 25 ayat (4) undang-undang PPh Nomor 36
tahun 2008 terkait SKP diatas, maka besarnya angsuran pph pasal 25 yang harus
dibayar setiap bulan mulai bulan juni 2014 adalah sebesar Rp 3 juta.
Besarnya angsuran pph pasal 25 yang ditetapkan berdasarkan SKP adalah bisa
sama, lebih besar, atau pun lebih kecil di bandingkan besarnya angsuran pph
pasal 25 sebelumnya (yang dihitung berdasarkan SPT tahunan PPh).
C. Apabila terdapat kerugian fiskal pada suatu tahun pajak, maka kerugian
tersebut dapat dikompensasi denganpenghasilan tahun pajak berikutnya secara
berturut-turut selama 5(lima) tahun.
Apabila terdapat kerugian fiskal pada suatu tahun pajak (untuk WP badan)
maka besarnya penghasilan kena pajak (PhKP) di tahun berikutnya akan di hitung
dengan cara mengurangkan kerugian fiskal tahun lalu terhadap penghasilan neto
tahun pajak berjalan. Sedangkan untuk WP orang pribadi yang
menyelenggarakan pembukuan, apabila terdapat kerugian fiskal pada suatu tahun
pajak maka besarnya penghasilan kena pajak (PhKP) di tahun berikutnya akan di
hitung dengan cara mengurangkan kerugian fiskal tahun lalu dan PTKP terhadap
penghasilan neto tahun pajak berjalan. Setelah itu, PhKP akan di kalikan dengan
tarif pph pasal 17 intuk mendapatkan besarnya pph terutang.
Tarif pph pasal 17 Untuk WP badan dalam negeri dan BUT(bentuk usaha tetap)
adalah sebesar 28% untuk tahun 2009 dan menjadi 25% yang mulai berlaku sejak
tahun pajak 2010. Untuk WP badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai
dengan rp. 50.000.000.000. Mendapatkan fasilitas pengurangan tarif ( tarif pph
pasal 31E) sebesar 50% dari tarif pph pasal 17 yang dikenakan atas PhKP Dari
bagian bruto sampai dengan rp 4.800.000.000, -(sesuai dengan SE-66/PJ/2010).
Apabila besarnya kerugian usaha (menurut fiskal) untuk tahun pajak 2012
adalah Rp. 150 juta, maka besarnya angsuran PPh pasal 25 setiap bulannya dalam
tahun 2013 adalah nihil (sama seperti contoh diatas) karena SPT Tahunan PPh
untuk tahun pajak 2012 menyatakan rugi. Bedanya adalah bahwa besarnya
angsuran PPh pasal 25 pada setiap bulan nya untuk tahun 2014 juga akan menjadi
nihil karena besarnya penghasilan neto untuk tahun pajak 2013 (Rp 120 juta)
adalah masih lebih kecil dibandingkan dengan jumlah kerugian fiskal sebesar
Rp30 juta (yaitu Rp150 juta-Rp120 juta) akan dikompensasi lagi ke tahun
berikutnya, yaitu sebagai pengurang penghasilan netountuk tahun pajak 2014,
yang akan dijadikan sebagai dasar dalam menghitung besarnya PhKP dan PPh
terutang tahun 2014 serta angsuran PPh pasal 25 tahun 2015
Penghasilan yang diperoleh dari mengontrakkan rumah selama 2 (dua) tahun, yang
di mana pembayarannya diteriiam sekaligus pada suatu tahun pajak yang tidak teratur
karena penghasilan tersebut tidak diterima atau diperoleh secara berkala sekurang-
kurangnya sekali dalam setiap tahun pajak.
E). Dalam hal WP (dalam tahun pajak berjalan) membetulkan sendiri SPT tahunan PPh
tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 dihitung kembali
berdasarkan SPT Tahunan pembetulan tersebut dengan memperhatikan kompensasi
kerugian dan penghasilan tidak teratur. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 hasil
perhitungan kembali tersebut berlaku surat mulai bulan batas waktu penyampaian SPT
Tahunan.
Apabila jumlah anggaran PPh Pasal 25 setelah pembetulan adalah ternyata lebih
besar, maka atas kekurangan setoran PPh Pasal 25 yang telah dilakukan sebelumnya akan
dikenakan sanksi bunga sebesar 2% per bulan untuk jangka waktu yang dihitung mulai
saat jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 25 dari masing-masing bulan sampai dengan
tanggal penyetoran kekurangan angsuran PPh Pasal 25 tersebut.
Jika yang terjadi sebaliknya, yaitu apabila jumlah angsuran PPh Pasal 25 setelah
pembetulan adalah ternyata lebih kecil, maka atas kelebihan setoran PPh Pasal 25 yang
telah dilakukan sebelumnya dapat dipindahbukukan ke angsuran PPh Pasal 25 untuk
bulan-bulan berikutnya setelah penyampaian SPT Tahunan PPh.
f) Pada prinsipnya, perhitungan besarnya angsuran PPh pasal 25 bulanan dalam tahun
berjalan didasarkan pada SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lalu. Namun, menteri
keuangan RI diberi wewenang untuk menetapkan dasar perhitungan besarnya
angsuran PPh Pasal 25 bulanan selain berdasarkan prinsip tersebut.
Sesuai dengan Undang-Undang PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 25 ayat (7),
perhitungan besarnya angsuran PPh Pasa 25 selain berdasarkan prinsip tersebut di atas
adalah tidak lain bertujuan untuk memenuhi aspek kewajaran dalam perhitungan besarnya
angsuran berdasarkan data terkini dari kegiatan usaha WP tertentu.
Sebagai contoh, untuk WP Bank dan WP Sewa Guna Usaha dengan hak
opsi (WP lama), besarnya angsuran PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan penerapan
tariff PPh Pasal 17 atas laba fiscal laporan keuangan triwulan terakhir (yang
disetahunkan) kurangi dengan PPh Pasal 24 tahun pajak yang lalu, kemudian
dibagi dengan 12. Sedangkan untuk WP Bank dan WP Sewa Guna Usaha dengan
hak opsi (WP baru), besarnya angsuran PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan
perkiraan penghitungan laba triwulan I (yang disetahunkan), kemudian dibagi
dengan 12.
Dalam hal RKAP belum disahkan, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25
untuk bulan-bulan sebelum bulan pengesahan RKAP adalah sama dengan ansuran
PPh Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak sebelumnya. Akan tetapi, apabila terdapat
perubahan atas RKAP yang sudah disahkan oleh RUPS maka besarnya angsuran
PPh Pasal 25 dapat disesuaikan dengan perubahan RKAP tersebut.
PhKP yang digunakan sebagai dasar dalam menghitung PPh terutang dihitung
dengan cara yang berbeda-beda tergantung pada jenis WP:
Besarnya tariff PPh yang berlaku sesuai dengan Pasal 17 UU PPh Nomor 36
Tahun 2008 adalah sebagai berikut.
a. Tariff PPh Pasal 17 untuk WP OP dalam negeri, yaitu sebesar:
b. Tariff PPh Pasal 17 untuk WP badan dalam negeri dan BUT adalah sebesar
28% untuk tahun 2009 dan menjadi 25% yang mulai berlaku sejak tahun pajak
2010.
c. untuk WP badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp.
50.000.000.000
mendapatkan fasilitas pengurangan tariff (tariff PPh pasal 31E) sebesar 50% dari
tariff PPh pasal 17 yang dikenal atas PhKP dari bagian bruto sampai dengan Rp
4.800.000.000 (sesuai dengan SE-66/PJ/2010). Yang dimaksud dengan peredaran
bruto disini adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha
sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan , menagih, dan memelihara
penghasilan, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,
meliputi penghasilan yang di kenakan PPh bersifat final, penghasilan yang
dikenakan PPh tidak bersifat final, dan penghasilan yang dikecualikan dari objek
pajak.
d. Tarif PPh pasal 17 untuk WP badan dalam negeri yang berbentuk PT
(Perseroan Terbatas) Tbk. (Terbuka), yang paling sedikit 40% dari jumlah
keseluruhan sahamnya yang disetor diperdagangkan pada bursa efek diindonesia
dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya) sesuai dengan PP No. 81 Tahun 2007
jo. PMK-238/PMK.03/2008 JO.SE-42/PJ/2009) dalam memperoleh tariff 5%
lebih rendah. Untuk tahun pajak 2009, dari 28% menjadi 23%, dan mulai tahun
pajak 2010 dar 25% menjadi 20%.
Apabila terdapat kerugian fiscal pada suatu tahun pajak, maka kerugian
tersebut dapat dikompensasi dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya
secara berturut-turut sampai dengan 5 tahun (sesuai dengan pasal 6 ayat(2) UU
PPh No 36 tahun 2008). Bagi perusahaan yang mengoperasikan cabang diluar
negeri tidak dapat mengkonsolidasikan kerugian yang diderita oleh cabang
tersebut.Kompensasi kerugian hanya berlaku bagi WP Badan dan WP Orang
Pribadi yang menyelenggarakan pembukuan.
Apabila terdapat kerugian fiskal pada suatu tahun pajak (untuk WP Badan)
maka besarnya penghasilan kena pajak (PhKP) ditahun berikutnya akan dihitung
dengan cara mengurangankan kerugian fiskal tahun lalu terhadap penghasilan neto
tahun oajak berjalan. Sedangkan untuk WP Orang pribadi yang
menyelenggarakan pembukuan, apabila terdapat kerugianfiskal pada suatu tahun
pajak maka besarnya penghasilan kena pajak (PhKP) ditahun berikutnya akan
dihitung dengan cara pengurangan kerugian fiskal tahun lalu dan PTKP terhadap
penghasilan neto tahun pajak berjalan. Setelah itu, PhKP akan dikalikan dengan
tariff PPh pasal 17 untuk mendapatkan besarnya PPh terutang.
PPh kurang bayar atau PPh lebih bayar dihitung dengan cara
membandingkan antara besarnya PPh terutang dengan jumlah kredit pajak. Kredit
pajak tahun berjalan teridiri atau:
Jika pada suatu tahun pajak, besarnya kredit pajak < PPh terutang maka
akan timbul PPh kurang bayar sebesar selisihnya. Hal ini akan dicatat oleh
perusahaan dengan membuat ayat jurnal sebagai berikut.
Ilustrasi Problem
1. PT. Cataflam memiliki penghasilan neto (laba yang sesuai dengan
ketentuan perpajakan) untuk tahun 2013 sebesar Rp500 juta. Tahun
lalu (tahun 2012), perusahaan mengalami kerugian usaha (menurut
fiskal ) sebesar Rp200 juta. Untuk tahun pajak 2013, perusahaan
memiliki kredit pajak berupa PPh Pasal 22 sebesar Rp10 juta, PPh
Pasal 23 sebesar Rp 8 juta, dan PPh Pasal 24 sebesar Rp22 juta.
Selamatahun 2013, besarnya angsuran PPh Pasal 25 adalah nihil
karena SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lalu (tahun 2012)
menyatakan rugi. Untuk tahun pajak 2013, perusahaan memperoleh
fasilitas tariff PPh Pasal 31E secara penuh.
Diminta:
1. Hitunglah besarnya PhKP!
2. Hitunglah besarnya PPh terutang!
3. Hitunglah besarnya kredit pajak!
4. Hitunglah besarnya PPh kurang bayar atau PPh lebih bayar!
5. Buatlah ayat jurnal yang diperlukan untuk memcatat besarnya beban
pajak penghasilan kini (PPh Badan) dan PPh kurang bayar atau PPh
lebih bayar!
Solusi
2. PT. Cemerlang dalam tahun pajak 2013 memiliki peredaran bruto sebesar
Rp4,5 milyar dengan PhKP sebesar Rp 640 juta. Untuk tahun pajak 2013 ini,
karena jumlah peredaran bruto (Rp 4,5 milyar) lebih kecil dari Rp 50 milyar
dan juga lebih kecil dari Rp 4,8 milyar maka perusahaan akan memperoleh
fasitas tariff PPh Pasal 31E secara penuh.
Solusi:
= Rp 80 juta
3. PT. Sukses dalam tahun pajak 2013 memiliki peredaran bruto sebesar
Rp 40 milyar dengan PhKP sebesar Rp 3,2 milyar. Untuk tahun pajak
2013 ini, karena jumlah peredaran bruto (Rp 40 milyar) masih lebih
kecil dari Rp 50 milyar namun lebih besar dari Rp. 4,8 milyar maka
perusahaan akan tetap memperoleh fasilitas tariff PPh Pasal 31E
namun hanya untuk bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8
milyar.
Solusi:
Jumlah PhKP dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas
adalah:
= (Rp 4,8 milyar : Rp 40 milyar) x Rp 3,2 milyar
= Rp 384 juta
= Rp 704 juta
Solusi:
= Rp 1,5 milyar
Menurut Pasal 4 ayat (1) UU PPN dan PPnBM Nomor 42 Tahun 2009,
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
BKP adalah barang berwujud yang menurut sifat asli atau hukumnya dapat
berapa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud
yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN dan PPnBM. Sedangkan JKP
adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau pembuatan
hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak
tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan
barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari
pemesan, yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN dan PPnBM.
Jenis barang yang tidak dikenakan PPN diatur dalam Pasal 4A ayat (2) UU
PPN dan PPnBM Nomor 42 Tahun 2009, yaitu meliputi:
Sedangkan jenis jasa yang tidak dikenakan PPN diatur dalam Pasal 4A ayat (3)
UU PPN dan PPnBM Nomor 42 Tahun 2009, yaitu meliputi:
Tarif tunggal yang berlaku untuk PPn adalah sebesar 10% (sepuluh persen),
sedangkan tarif PPn untuk ekspor BKP adalah sebesar 0% (nol pesen).
Dengan PP, tariff pajak tersebut dapat diubah menjadi serendah-rendahnya 5%
(lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen) dengan tetap
memakai prinsip tariff tunggal.
PPN adalah pajak yang dikenakan atas komsumsi BKP atau JKP di dalam
daerah pabean (dalam negeri). Oleh karena itu, PPN dengan tariff 0% akan
dikenakan terhadap:
Sebaliknya, ketika PKP membeli barang atau jasa, PKP mungkin juga
dipungut PPN oleh supplier atau penyedia jasa.PPN yang dibayar ketika
membeli barang atau jasa ini disebut sebagai pajak masukan. Pajak masukan
ini dapat dikreditkan dengan pajak keluaran pada masa pajak yang sama atau
masa pajak berikutnya, dengan syarat bahwa pajak masukan tersebut
tercantum pada faktur dan pajak masukkan yang dibayar berkaitan langsung
dengan kegiatan usaha.
Usaha pajak masukan yang dikreditkan pada masa pajak berikutnya, batas
akhir pengkreditan adalah 3 bulan setelah masa pajak berakhir (sepanjang
belum dibebankan sabgai biaya ataupun tidak ditambahkan/dikapitalisasi
kedalam harga perolehan BKP atau JKP, dan belum dilakukan
pemeriksaan).Pengkreditan pajak masukan pada masa pajak berikutnya ini
mungkin terjadi karena adanya keterlambatan dalam hal penerimaan faktur
pajak.
Seluruh pajak masukan dan pajak keluaran selama satu bulan haruslah
dilaporkan dalam SPT Masa PPN (termasukkan juga jika besarnya pajak
masukansama dengan pajak keluaran). Dengan kata lain, penyampaian SPT
Masa PPN wajib dilakukan oleh PKP, baik kondisi kurang bayar, lebih bayar,
atau pun nihil. Dalam satu bulan, jika total jumlah pajak keluaran lebih besar
dibanding dengan total jumlah pajak masukan, maka PKP harus menyetor
selisihnya tersebut (kurang bayar) ke kas Negara (melalui bank persepsi atau
kantor pos) dengan menggunakan SSP paling lambat akhir bulan berikutnya
setelah berakhirnya masa pajak dan sebelum SPT Masa PPN disampaikan.
Sedangkan pelaporannya disampaikan paling lambat akhir bulan berikutnya
setelah berakhirnya masa pajak.
Pajak lebih bayar sebesar Rp 3 juta tersebut untuk selanjutnya dapat dikompensasi
ke masa pajak berikutnya (masa pajak Oktober 2013).
Pajak akhir masa pajak, setiap PKP diwajibkan untuk melaporkan pemungutan
dan pembayaran pajak yang terutang kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
(Kepala KPP) setempat paling lambat akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya
masa pajak.
Ayat jurnal yang perlu dibuat oleh pedagang (PKP) pada saat melakukan
transaksi pembelian barang dagang sari supplier secara tunai adalah;
Pembelian xxx
Kas xxx
Atau
Kas xxx
Ayat jurnal yang perlu dibuat oleh pedagang (bukan PKP) pada saat
melakukan transaksi pembelian barang dagang dri supplier secara tunai adalah:
Pembelian xxx
Kas xxx
Atau
Kas xxx
(jika persediaan barang dagang dicatat dengan system perpetual)
Ayat jurnal yang perlu dibuat oleh penjual (PKP) pada saat melakukan
transaksi penjualan barang dagang secara kredit, yaitu:
Penjualan xxx
Atau
Penjualan xxx
Ayat jurnal yang perlu dibuat oleh penjual (bukan PKP) pada saat
melakukan transaksi penjualan barang dagang secara kredit, yaitu:
Penjualan xxx
Atau
Ayat jurnal yang perlu dibuat oleh penjual (bukan PKP) pada saat
menerima kembali barang dagang yang telah dijualnya secara kredit, yaitu:
Atau
Ayat jurnal yang akan dibuat oleh penjual (PKP atau pun bukan PKP)
pada saat menerima pembayaran utang dari pelanggan yang memanfaatkan
potongan tunai (masih dalam periode potongan) adalah:
Kas xxx
Ayat jurnal yang akan dibuat oleh penjual (PKP atau pun bukan PKP)
pada saat menerima pembayaran utang dari pelanggan yang tidak memanfaatkan
potongan tunai (diluar periode potongan, namun masih dalam periode kredit)
adalah:
Kas xxx
Sesuai dengan credit method, pajak masukan pada dasarnya dapat dikreditkan
dengan pajak keluaran. Akan tetapi, untuk pengeluaran-pengeluaran berikut ini,
pajak masukan tidak dapat dikreditkan, yaitu:
a) Perolehan PKP;
b) Perolehan BKP atau JKP yang tidak terkait langsung dengan kegiatan
usaha;
c) Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor jenis sedan dan station
wagon,kecuali apabila BKP tersebut merupakan barang dagangan atau
disewakan;
d) Pemanafaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah
pabean yang terjadi sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP;
e) Perolehan BKP atau JKP yang faktur pajaknya tidak memenuhi
persyaratan formal maupun materiil sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (5) UU PPN dan PPnBM Nomor 42 Tahun 2009, yaitu tidak
mencantumkan:
Nama, alamat, dan NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP;
Nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP;
Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Harga Pengganti, dan
potongan harga;
PPN yang dipungut;
Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
f) Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah
pabean yang SPP nya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN dan PPnBM Nomor 42 Tahun
2009;
g) Perolehan BKP atau JKP yang pajak masukannya ditagih memalui
penertiban ketetapan pajak;
h) Perolehan BKP atau JKP yang pajak masukannya tidak dilaporkan dalam
SPT Masa PPN, uang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan;
i) Perolehan BKP atau JKP yang penyerahannya dibebaskan dari pengenaan
PPN sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 16B ayat (3) UU PPN dan
PPnBM Nomor 42 Tahun 2009;
j) Pajak masukan yang berkaitan dengan BKP atau JKP yang penyerahannya
dilakukan melalui mekanisme pemakaian sendiri yang bersifat konsumtif;
k) Pajak masukan yang berkaitan dengan penyerahan;
Kendaraan bermotor bekas;
Jasa yang dilakukan oleh pengusaha biro perjalanan dan pariwisata;
Jasa pengiriman paket; dan
Jasa anjak piutang