Anda di halaman 1dari 66

Ringkasan Buku Akuntansi

Perpajakan

Di Buat Oleh:
Anggota :
 Fitria Ningsih Hartika
 Melinia Safitri
 Mustika Ratih
 Nurhady Shaleh

Prodi: Akuntansi Keuangan Publik 4A


POLITENIK NEGERI BENGKALIS
TAHUN AJARAN 2018/2019
BAB 6
Biaya Dibayar di Muka

6.1 Pengertian Biaya Dibayar di Muka


Biaya dibayar di muka adalah pengeluaran-pengeluaran yang telah
dibayarkan atas barang atau jasa yang belum digunakan. Pengeluaran-pengeluaran
ini secara proporsional akan menjadi beban ketika pengeluaran-pengeluaran
tersebut memberikan manfaat (benefit) pada tiap-tiap periode dalam kegiatan
normal perusahaan. Biaya dibayar di muka akan dilaporkan di neraca sebagai aset
lancar dan disajikan sebesar biaya historis. Contoh dari biaya dibayar di muka
adalah biaya asuransi, sewa, dan pajak. Dan sisi akuntansi komersial, pencatatan
baiya dibayar di muka dapat dilakukan dengan 2 (dua) pendekatan, yaitu
pendekatan aset dan beban.
Sepanjang periode, pengeluaran-pengeluaran tertentu yang telah dibayarkan
dicatat pada pembukuan namun atas barang dan jasa yang belum digunakan.pada
akhir periode akuntansi adalah perlu untuk menentukan secara tepat mana bagian
dari pengeluaran-pengeluaran tersebut yang sudah di pakai/dimanfaatkan selama
periode berjalan (yang telah menjadi beban) dan mana bagian dari pengeluaran-
pengeluaran tersebut yang akan digunakan (memberikan manfaat) untuk periode
berikutnya. Untuk bagian dari pengeluaran-pengeluaran yang akan digunakan
dalam periode berikutnya memerlukan pengakuan sebagai aset (karena belum
terpakai).
Metode penyesuaian untuk prepaid expenses atau deferred expenses (biaya
dibayar di muka atau beban yang tangguhkan) tergantung pada bagaimana
pengeluaran-pengeluaran tersebut awalnya dicatat di dalam akun. Pengeluaran-
pengeluaran tersebut awalnya dicatat did dalam akun. Pengeluaran-pengeluaran
mungkin awalnya telah tercatat sebesar debet ke akun aset atau bisa juga
langsung ke akun beban. Kedua metode ini jika diterapkan secara konsisten akan
menghasilkan nilai akhir yang sama sehingga kedua metode tersebut sama-sama
diperkenankan. Perusahaan akan memilih salah satu dari kedua metode yang ada
dan menrapkannya pada masing-masing periode secara konsisten.
Mula-mula di debet ke akun aset
Sebagai contoh misalnya bahwa pada tanggal 1 Desember 2013, perusahaan
membayar di muka premi asuransi sebesar $120 untuk masa pertanggungan
asuransi tersebut mula-mula dicatat sebagai aset, dan periode akuntansi
perusahaan diasumsikan berakhir setiap tanggal 31 Desember, maka:
Ayat jurnal umum yang dibuat pada tanggal 1 Desember 2013 (pada saat
pembayaran di muka) adalah:
Asuransi Dibayar di Muka $120
Kas $120
Sedangkan ayat jurnal penyesuaian yang perlu dibuat pada tanggal 31
Desember 2013 adalah:
Beban Asuransi $40
Asuransi Dibayar di Muka $40
($120 x 1/3)

Premi asuransi yang dibayarkan di muka sebesar $ 120 diharapkan dapat


memberikan manfaat untuk jangka waktu 3 bulan, yang terhitung mulai tanggal 1
Desember 2013. Sepanjang bulan Desember 2013, manfaat dari pembayaran
premi asuransi tersebut adalah dipergunakan/sudah berlangsung, sehingga
sepertiga dari $120 haruslah diakui sebagai bahan untuk periode akuntansi yang
berakhir pada tanggal 31 Desember 2013. Sedangkan sisanya, dua pertiga dari
$120, yaitu $80 masih merupakan aset (asuransi dibayar di muka) dengan saldo
debet, yang diharapkan bisa memberikan manfaat dalam periode mandatang
(Januari dan Februari 2014).

Mula-mula di debet ke akun beban


Sebagai contoh : idem dengan di atas, hanya saja pencatatan atas
pembayaran premi asuransi tersebut mula-mula diakui langsung sebagai beban.
Ayat jurnal umum yang dibuat pada tanggal 1 Desember 2013 (pada saat
pembayaran di muka) adalah:
Beban Asuransi $120
Kas $120
Sedangkan ayat jurnal penyesuaian yang perlu dibuat pada tanggal 31
Desember 2013 adalah:
Asuransi Dibayar di Muka $80
Beban Asuransi $80
($120 x 2/3)

Perlu diperhatikan di sini bahwa kedua metode akan menghasilkan nilai


akhir yang sama. Pelajarilah secara cermat bahwa penggunaan salah satu dari
kedua metode di atas akan sama-sama menghasilkan beban asuransi (yang akan
dilaporkan dalam laporan laba rugi untuk periode yang berakhir pada tanggal 31
Desember 2013) sebesar $40, dan asuransi dibayar di muka (yang akan tampak
dalam neraca per 31 Desember 2013) sebesar $80.
Dalam akuntansi, pembuatan ayat jurnal pembalik (reversing entries) adalah
sifatnya pilihan (optional). Ayat jurnal pembalik ini biasanya akan dibuat pada
setiap awal periode akuntansi dengan cara membalik ayat jurnal penyesuaian yang
telah dibuat pada akhir periode akuntansi sebelumnya. Ada 4 (empat) hal/item
yang perlu dibuatkan ayat jurnal pembalik (lihat kembali buku pengantar
akuntansi), di antaranya adalah membalik ayat jurnal penyesuaian atas biaya
dibayar di muka yang mula-mula dicatat sebagai beban (bukan sebagai aset),
seperti biaya sewa dibayar di muka yang mula-mula dicatat sebagai beban sewa
(rent expense), dan biaya asuransi dibayar di muka yang mula-mula dicatat
sebagai beban asuransi (insurance expense).

6.2 Pengertian Biaya Dibayar di Muka

Asuransi dibayar di muka tidak dikenakan PPN. Sesuai dengan Pasal 4A


ayat (3) Undang-Undang PPN dan PPnBM Nomor 42 Tahun 2009, jasa asuransi
termasuk jenis jasa yang tidak dikenakan PPN.
Menurut Pasal 4 ayat (1) huruf n Undang-Undang PPh Nomor 36 Tahun
2008, premi asuransi maupun premi reasuransi bagi pihak perusahaan asuransi
(pihak penanggung) merupakan objek PPh Nomor 36 Tahun 2008, premi asuransi
(baik premi atas asuransi jiwa maupun asuransi umum) bagi pihak tertanggung
dapat diperhitungan sebagai biaya (pengurang penghasilan bruto).
Pengeluaran-pengeluran yang tidak ada hubungannya dengan upaya untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, seperti pembayaran premi
asuransi untuk kepentingan pribadi, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan pegawainya
boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan, dan bagi pegawai yang bersangkutan
premi tersebut merupakan penghasilan.
Menurut Pasal 9 ayat huruf d Undang-Undang PPh Nomor 36 Tahun 2008,
premi untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar sendiri oleh Waib Pajak orang
pribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat orang
pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi, maka
penerimaan tersebut bukanlah merupakan objek pajak. Apabila premi tersebut
dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran
tersebut boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan
merupakan penghasilan (objek pajak).

6.3 Sewa Dibayar di Muka


6.3.1 Sewa atas Tanh dan/atau Bangunan
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002 jo. KMK-
120/KMK.03/2002 jo. KEP-227/PJ/2002, penghasilan yang diterima/diperoleh
orang pribadi atau badan dari persewaan tanah dan/atau bagunan (berupa tanah,
rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, toko, rumah
kantor, rumah toko, gudang, dan industri) dikenakan PPh final Pasal 4 ayat (2)
dengan tarif 10% dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan.
Yang dimaksud dengan jumlah bruto di atas adalah seluruh jumlah yang
dibayarkan atau terutang oleh pihak yang menyewa dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, yang berkaitan dengan tanah dan/atau bangunan yang disewa,
termasuk biaya perawat, biaya pemeliharaan, biaya keamanan, biaya fasilitas, dan
service charge, baik perjanjian yang dibuat secara terpisah maupun yang
disatukan dengan perjanjian pensewaan yang bersangkutan.
Penghasilan yang diterima/diperoleh orang pribadi atau badan dari
persewaan tanah dan/atau bengunan akan dipotong oleh penyewa pada saat
pembayaran atau pembebanan biaya (terutangnya sewa). Pihak penyewa
selanjutnya berkewajiban untuk menyetor atau membayar utnag PPh Pasal 4 yat
(2) tersebut ke kas negara (melalui bank persepsi atau kantor pos) dengan
menggunakan SSP (Surat Setoran Pajak) paling lambat tanggal 10 bulan
berikutnya setelah bulan pembayaran atau pembebanan biaya dengan
menggunakan SPT (Surat Pemberitahuan) Masa PPh Pasal 4 ayat (2) paling
lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau pembebanan
biaya (terutangnya sewa).
Sesuai dengan PMK.184/PMK.03/2007 jo. PMK.80/PMK.03/2010, apabila
pajaknya tidak dipotong oleh penyewa maka pihak yang menyewakan tanah
dan/atau bangunan wajib menyetor sendiri PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut ke kas
negara dengan menggunakan SSP paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya dan
melaporkannya ke KPP dengan menggunakan SPT Masa PPh final 4 ayat (2)
paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.
Berbeda dengan asuransi (sebagaimana yang telah dijelaskna pada subbab
6.2 di atas), untuk penyewaan tanah dan/atau bangunan disamping dikenakan
pajak penghasilan juga digunkanan PPN. Pemungutan PPN dengan membuat
faktur pajak hanya diperbolehkan bagi pemilik tanah dan/atau bangunan yang
telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dengan kata lain,
pemilik tanah dan/atau bangunan yang belum dikukuhkan sebagai PKP tidak
boleh melakukan pemungutan PPN keluaran.
Terkait dengan PPN masukan (dari sisi penyewa), apabila penyewa maupun
pemilik sama-sama merupakan PKP maka penyewa akan dikenakan PPN
masukan, di mana PPN masukannya ini dapat dikreditkan. Namun, apabile
penyewa bukan PKP sedangkan pemiliknya merupakan PKP maka penyewa akan
dikenakan PPN masukan tetapi tiidak dapat dikreditkan sehingga besarya akan
dicatat sebgaai bagian (atau penambah) dari harga sewa yang dibayar di muka.
Terakhir, apabila penyewa merupakan PKP atau pun bukan PKP sedangkan
pemilik bukan PKP maka tidak ada PPN masukan dan sewa dibayar di muka akan
dicatat sebesar jumlah brutonya.
Sebagai ilustrasi, misalnya bahwa pada tanggal 5 April 2013 PT. Alfa
menyewakan ruang perkantoran kepada PT. Beta dengan harga sewa sebesar
Rp.30 juta (belum termasuk PPN) untuk masa 1 tahun. Terakait dengan transaksi
sewa ini, PT. Alfa membuat faktur pajak dan menerima Bukti Pemotongan PPh
final Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan
yang telah dipotongnya tersebut ke kas negara dengan menggunakan SSP (Surat
Setoran Pajak) paling lambat 10 Mei 2013 dan melaporkannya ke KPP (Kantor
Pelayanan Pajak) dengan menggunakan SPT (Surat Pemberitahuan) Masa PPh
Final Pasal 4 ayat (2) paling lambat tanggal 20 Mei 2013.
Berikut adalah ayat jurnal yang diperlukan dalam pembukaan PT. Alfa
(Pemilik) untuk mencatat transaksi sewa di atas:
PT. Beta (PKP) PT. Beta (non PKP)
PT.Alfa Kas 30.000.000 Kas 30.000.000
(PKP) PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000 PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000
PPN Keluaran 3.000.000 PPN Keluaran 3.000.000
Pendapatan Sewa 30.000.000 Pendapatan Sewa 30.000.000
PT.Alfa Kas 27.000.000 Kas 27.000.000
(non PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000 PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000
PKP) Pendapatan Sewa 30.000.000 Pendapatan Sewa 30.000.000

Berikut adalah ayat jurnal yang diperlukan dalam pembukaan PT. Beta
(Penyewa) untuk mencatat transaksi sewa di atas:

PT. Beta (PKP) PT. Beta (non PKP)


PT.Alfa Sewa Dibayar di Muka 30.000.000 Sewa Dibayar di Muka 33.000.000
(PKP) PPN Masukan 3.000.000 Utang PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000
Utang PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000 Kas 30.000.000
Kas 30.000.000

Utang PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000 Utang PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000
Kas 3.000.000 Kas 3.000.000
PT.Alfa Sewa Dibayar di Muka 30.000.000 Sewa Dibayar di Muka 30.000.000
(non Utang PPh Pasal 4 ayat (2) Utang PPh Pasal 4 ayat (2)
PKP) 3.000.000 3.000.000
Kas 27.000.000 Kas 27.000.000

Utang PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000 Utang PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000
Kas 3.000.000 Kas 3.000.000
Apabila pajak penghasilan tidak dipotong oleh PT. Beta, maka PT. Alfa
wajib menyetor sendiri PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut ke kas negara dengan
menggunakan SSP paling lambat tanggal 15 Mei 2013 dan melaporkannya ke
KPP dengan menggunakan SPT Masa PPh final Pasal 4 ayat (2) paling lambat
tanggal 20 Mei 2013.
Berikut adalah ayat jurnal yang diperlukan dalam pembukaan PT. Alfa
(Pemilik) untuk mencatat transaksi sewa di atas apabila pajak penghasilan tidak
dipotong oleh PT. Beta:
PT. Beta (PKP) PT. Beta (non PKP)
PT.Alfa Kas 33.000.000 Kas 33.000.000
(PKP) PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000 PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000
PPN Keluaran 3.000.000 PPN Keluaran 3.000.000
Pendapatan Sewa 30.000.000 Pendapatan Sewa 30.000.000
Utang PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000 Utang PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000

Utang PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000 Utang PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000
Kas 3.000.000 Kas 3.000.000
PT.Alfa Kas 30.000.000 Kas 30.000.000
(non PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000 PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000
PKP) Pendapatan Sewa 30.000.000 Pendapatan Sewa 30.000.000
Utang PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000 Utang PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000
Utang PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000 Utang PPh Pasal 4 ayat (2) 3.000.000
Kas 3.000.000 Kas 3.000.000

Berikut adalah ayat jurnal yang diperlukan dalam pembukuan PT.Beta


(Penyewa) untuk mencatat transaksi sewa di atas apabila pajak penghasilan
disetor sendiri oleh PT. Alfa:
PT. Beta (PKP) PT. Beta (non PKP)
PT.Alfa Sewa Dibayar di Muka 30.000.000 Sewa Dibayar di Muka 33.000.000
(PKP) PPN Masukan 3.000.000 Kas 33.000.000
Kas 33.000.000
PT.Alfa Sewa Dibayar di Muka 30.000.000 Sewa Dibayar di Muka 30.000.000
(non Kas 30.000.000 Kas 30.000.000
PKP)

6.3.2 Sewa dan Penghasilan Lain sehubungan dengan Penggunaan Harta


Menurut Undang-Undang PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 23 ayat (1)
huruf c angka 1, sewa dna penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,
kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang
telah dikenakan PPh final Pasla 4 ayat (2), akan dikenakan PPh Pasal 23 sebesar
2% dari jumlah bruto. Berdasarkan Undang-Undang PPh 36 Tahun 2008 Pasal 23
ayat (1a), besarnya pungutan akan dibedakan antara Wajib Pajak yang memiliki
NPWP (Nomot Pokok Wajib Pajak) dengan wajib pajak yang tidak memiliki
NPWP. Tarif pajak untuk wajib pajak yang tidak memiliki NPWP lebih tinggi
100% dari pada tarif pajak yang diterapkan untuk Wajib Pajak yang memiliki
NPWP.
Contoh sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
yang dikenakan PPh Pasal 23 adalah sewa atas kendaraan angkutan (darat, laut,
udara, dan sungai). Disamping dikenakan PPh Pasal 23, sewa atas kendaran
angkutan ini juga dikenakan PPN. Sesuai dengan Undang-Undang PPN dan
PPnBM Nomor 42 Tahun 2009, jasa angkutan penumpang dan/atau barang,
sepanjang tidak memenuhi kriteria sebagai angkutan umum adalah dikategorikan
sebagai jasa kena pajak, sehingga penyerahannya terutang PPN. Sedangkan jasa
angkutan umum di darat, laut, udara, maupun sungai yang dilakukan oleh
pemerintah atau pun swasta, serta jasa angkutan udara luar negeri termasuk di
dalamnya jasa angkutan dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari jasa angkutan udara luar negeri tersebut merupakan salah satu kelompok jenis
jasa yang tidak dikenakan PPN (sesuai Pasal 4A ayat 3 Undang-Undang PPN dan
PPnBM Nomor 42 Tahun 2009).
Sebagai ilustrasi, misalkan bahwa pada tanggal 1 April 2013, PT. Citra
menyewa sebuah bus seukuran sedang kepada PT. Dami sebesar Rp. 100 juta
untuk jangka waktu tiga bulan. Dalam hal ini, PT. Citra maupun PT. Dami
merupakan pengusaha kena pajak.
Berikut adalah ayat jurnal yang diperlukan dalam pembukaan PT. Citra (Penyewa)
untuk mencatat transaksi sewa di atas:
Tanggal Nama Perkiraan Debet Kredit
1 April 13 Sewa Dibayar di Muka 100.000.000
PPN Masukan 10.000.000
Utang PPh Pasal 23 2.000.000
Kas 108.000.000

Berikut adalah ayat jurnal yang diperlukan dalam pembukuan PT. Dami
(Pemilik) untuk mencatat transaksi sewa dia atas:
Tanggal Nama Perkiraan Debet Kredit
1 April 13 Kas 108.000.000
PPh Pasal 23 Dibayar di Muka 2.000.000
PPN Keluaran 10.000.000
Pendapatan Sewa 100.000.000

Pemungutan PPN dengan membuat faktur pajak hanya diperbolehkan bagi


pemilik yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dengan
kata lain, pemilik yang belum dikukuhkan sebagai PKP tidak boleh melakukan
pemungutan PPN keluaran.
Terkait dengan PPN masukan (dari sisi penyewa), apabila penyewa maupun
pemilik sama-sama merupakan PKP maka penyewa akan dikenakan PPN
masukan, di mana PPN masukan nya ini dapat dikreditkan. Namun, apabila
penyewa bukan PKP sedangkan pemilik merupakan PKP maka penyewa akan
dikenakan PPN masukan tetapi tidak dapat dikreditkan sehingga besarannya akan
dicatat sebagai bagian (atau penambah) dari harga sewa yang dibayar di muka.
Terakhir, apabila penyewa merupakan PKP atau pun bukan PKP sedangkan
pemilik bukan PKP maka tidak ada PPN masukan dan sewa dibayar di muka akan
dicatat jumlah brutonya.

6.4 Pajak Dibayar di Muka


Pajak yang dibayar di muka merupakan aset bagi Wajib Pajak. Pajak
dibayar di muka terjadi melalui pemotongan dan/atau pemungutan pajak oleh
pihak lain, atau dapat juga terjadi melalui pembayaran pajak ynag dilakukan
sendiri oleh Wajin Pajak. Pajak dibayar di muka terdiri atas PPh 22, PPh 23, PPh
24, PPh 25, dan PPN masukan.
Pajak yang dibayar di muka ini dapat diperhitungkan (sebagai kredit pajak)
dengan pajak terutangnya PPh Badan atau pajak keluaran Wajib Pajak. Jika pada
suatu tahun pajak, bearnya kredit pajak < PPh terutang maka akan timbul PPh
kurang bayar sebesar selisihnya. Sebaliknya, jika pada suatu pajak, besarnya
kredit pajak > PPh terutang maka nakan timbul PPh lebih bayar sebesar
selisihnya.
Terkait dengan pajak masukan, (dalam satu bulan) jika total jumlah pajak
keluaran lebih besar dibanding dengan total jumlah pajak masukan, maka PKP
harus menyetorkan selisihnya tersebut (kurang bayar) ke kas negara (melalui bank
persepsi atau kantor pos) dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).
Sebaliknya, jika total jumlah pajak keluaran lebih kecil dibanding dengan total
jumlah pajak masukan, maka akan terjadi lebih bayar. Dalam hal ini, PKP (yang
dikenal dengan kompensasi), atau bisa juga meminta kelebihan bayar tersebut
pada bulan terakhir dari tahun pajak bersangkutan (yang dikenal dengan restitusi).
6.4.1 Pajak Penghasilan Pasal 22
PPh Pasal 22 adalah pajak yang dipungut atas transaksi pembelian yang
dananya bersumber dari APBN/APBD, dan transaksi yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga atau badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta,
berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
Dalam PPh Pasal 22 ini menggunakan istilah “pemungutan” karena merujuk pada
pengenaan pajak atas potensi penghasilan yang terkandung dalam suatu transaksi
tertentu, seperti transaksi impor barang dan sebagainya.
Sesuai PMK-154/PMK.03/2010 jo. PER-15/PJ/2011 tentang “pengumutan
PPh Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan
kegiatan di bidang impor atau dibidang lain”, yang merupakan badan pemungut
PPh Pasal 22 adalah:
 Bank Devisa dan Dirjen Bea Cukai (DJBC) atas impor barang.
 Bendahara pemerintah dan Kuasa Penggua Anggaran (KPA) sebagai
pemungutan pajka pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, instansi atau
lembaga pemerintah, dan lembaga negara lainnya berkenaan dengan
pembayaran atas pembelian barang.
 Bendahara Pengeluaran untuk pembayaran yang dilakukan dengan
mekanisme Uang Persediaan (UP). Penghasilan dengan mekanisme UP
adalah pengeluaran kas untuk keperluan belanja daerah melalui kas kecil
terlebih dahulu (yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran) sebelum
diterima oleh pihak ketiga.
 KPA atau Pejabat Penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi
oleh KPA untuk pembayaran kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan
mekanisme UP adalah pengeluaran kas untuk keperluan belanja daerah
melalui kas kecil terlebih dahulu (yang dikelola oleh Bendahara
Pengeluaran) sebelum diterima oleh pihak ketiga.
 KPA atau Pejabat Penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi
oleh KPA untuk pembayaran kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan
mekanisme Pembayaran Langsung (LS). Pengeluaran dengan mekanisme
LS adalah pengeluaran kas dari Kas Umum Daerah (yang dikelola oelh
Bendahara Umum Daerah) yang langsung diterima oleh pihak ketiga, tanpa
melalui Bendahara Pengeluaran.
 Badan usaha yang bergerak dalam bidang industri semen, kertas, bbaja dan
otomotif yang ditunjuk oleh Kepala KPP atas penjualan hasil produksi di
dalam negeri.
 Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas
penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas.
 Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan,
pertanian, dan perikanan yang ditunjuk oleh Kepala KPP atas pembelian
bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang
pengumpul.

Sesuai dengan PMK-154/PMK-03/2010 jo. PER-15/PJ/2011, yang


kecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah:
a. Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan (dengan
syarat memiliki Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 yang diterbitkan oleh
Dirjen Pajak;
b. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau Pajak
Pertambahan Nilai, yaitu:
1. Barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas
di Indonesia berdasarkan asas timbul balik;
2. Barang untuk keperluan badan internasional yang diakui dan terdaftar
pada Pemerintah Indonesia beserta pejabatnya yang bertugas di
Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia;
3. Barang kirirman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial,
kebudayaan, atau untuk kepentingan penanggulangan bencana;
4. Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, konservasi alam, dan
tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum;
5. Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan;
6. Barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat
lainnya;
7. Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
8. Barang pindahan;
9. Barang pribadi penumpang, awak saran pengangkut, pelintas batas, dan
barang kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan kepabeanan;
10. Barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
yang ditujukan untuk kepentingan umum;
11. Persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang
yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
12. Barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi
keperluan pertahanan dan keamanan negara;
13. Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi
Nasional (PIN);
14. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku-buku pelajaran agama;
15. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, kapal
angkutan penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap
ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran
atau alat keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh
Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau perusahaan penangkapan
ikan nasional;
16. Pesawat udara dan suku cabang serta alat keselamatan penerbangan atau
alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan
yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga
Nasioanl;
17. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk pebaikan atau
pemeliharaan serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT.
Kereta Api Indonesia;
18. Peralatan yang digunakan untuk penyediaan data batsa dan foto udara
wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara
Nasional Indonesia;
19. Barang untuk kegiatan hulu Minyak dan Gas Bumoi yang importasinya
dilakukan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama.
c. Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk
diekspor kembali;
d. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor
kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang
yang telah diekspor utnuk keprluan pernaikan, pengerjaan dan pengujian,
yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Besa
dan Cukai;
e. Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak Bendahara Pemerintah
dan KPA, berkenaan dengan: (1) pembayaran yang jumlahnya paling
banyak Rp 2 juta dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
dan (2) pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas,
pelumas, air minum/PDAM dan benda-benda pos;
f. Pembayaran utnuk pembelian gabah dan/atau beras oleh Perusahaan Umum
Badan Urusan Logistik (BULOG);
g. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilak barang perhiasan dari
emas untuk tujuan ekspor;
h. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana
Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Berdasarkan Undang-Undang PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 22 ayat (3)


jo. PMK-154/PMK.03/2010, besarnya oungutan akan dibedakan antara Wajib
Pajak yang memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dengan Wajib Pajak
yang tidak memiliki NPWP. Tarif pajak untuk Wajib Pajak yang tidak memiliki
NPWP lebih tinggi 100% dari pada tarif pajak yang diterapkan untuk Wajib Pajak
yang memiliki NPWP.
Berikut adalah besarnya tarif untuk pemungutan PPh Pasal 22 yang bersifat
tidak final:
1. Untuk transaksi impor barang yang pajaknya dipungut oleh Bannk Devisa
atau Dirjen Bea Cukai, kecuali yang mendapatkan fasilitas pembebasan
pajak, PPh Pasal 22 dikenakan atas (sesuai dengan PMK-
154/PMK.03/2010):
a) Impor barnag bagi importir dengan API (Angka Pengenal Impor):
 Dikenakan tarif sebesar 2,5% dari nilai impor untuk impor barang
selain kedelai, gandum, dan tepung terigu.
 Dikenakan tarif sebesar 0,5% dari nilai impor untuk impor barang
selain kedelai, gandum, dan tepung terigu.
b) Impor barng bagi importir non API dikenakan tarif 7,5% dari nilai impor.
Contoh:
Pada tanggal 20 Maret 2014, PT. Emka (importir dengan API)
mengimpor bahan baku dari Amerika dengan nilai impor sebesar US
$10.000 (belum termasuk PPN impor 10%). Nilai kurs KMK saat transaksi
adalah US $1 = Rp9.000,-.
Berikut adalah ayat jurnal yang diperlukan dalam pembukuan PT. Emak
(selaku importir) untuk mencatat transaksi di atas:
Tanggal Nama Perkiraan Debet Kredit
20 Maret’ 14 Pembelian 90.000.000
PPN Masukan 9.000.000
PPh Pasal 22 Dibayar di Muka 2.250.000
Kas 101.250.000
*(2,5% x Rp90 juta)

Nilai impor yang dimaksud di atas adalah nilai CIF (cost + insurance
+ freight) ditambah dengan bea masuk dan pungutan lainnya yang
dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
kepabeanan di bidang impor. Nilai impor dalam mata uang asing akan
dikonversi dengan menggunakan kurs KMK (Keputusan Menteri
Keuangan).
Pungutan PPh pasal 22 merupakan pembayaran pendahuluan yang
dapat diperhitungkan dengan pajak terutang untuk tahun pajak bersangkutan
(bersifat tidak final). PPh Pasal 22, PPN, dan PPnBM harus dilunasi
bersamaan dengan saat pembayaran bea masuk, dan dalam hal apabila be
amasuk ditunda atau dibebaskan maka PPh Pasal 22 ini harus harus dilunasi
pada saat penyelesaian fokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB).
PPh Pasal 22, PPN, dan PPnBM disetor ke kas negara melalui kantor
pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh menteri keuangan selambat-
lambatnya 2 hari kerja setelah dilakukan pemungutan pajak tersebut, atau
oleh importir yang bersangkutan dengan menggunakan formulir Surat
Setoran Pabean, Cukai dan Pajak dalam rangka impor (SSPCP) yang
berlaku sebagai bukit pemungutan pajak. PPh Pasal 22, PPN, dan PPnBM
wajib dilaporkan hasil pemungutannya degan menggunakan SPT Masa ke
KPP paling lambat pada haru kerja terakhir minggu berikutnya.
PPh Pasal 22 juga dikenakan terhadap hasil leleang terhadpa barang
yang tidak dikuasai, di mana pelelangannya dilakukan oleh Dirjen
Kekayaan dan Lelang Negara atau Dirjen Bea Cukai. Dalam hal ini, PPh
Pasal 22 dikenakan ataas hasil leleang tersebut dengan tarif sebesar 7,5%
dari hasil jula lelang.
2. Sesuai dengan PMK-154/PMK.03/2010, untuk transaksi pembeliian barang
yang berhubungan dengan Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna
Anggaran dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 1,5% dari harga pembelian
(belum termasuk PPN)
Pungutan PPh Pasal 22 ini merupakan pembayaran pendahuluan yang
dapat diperhitungkan dengan pajak terutang untuk tahun pajak bersangkutan
(bersifat tidak final). PPh Pasal 22 atas pembelian barang oleh pemungut
pajak akan terutang dan dipungut pada saat pembayran atas pembelian
barang tersebut dilakukan.
PPh Pasal 22 ini wajib disetor oleh pemungut pajaka ke kas egara
melalui kantor pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh menteri
keuangan dnegan menggunakan SSP (Surat Setoran Pajak), yang telah diisi
NPWP dan identitas rekanan serta ditandatangani oleh pemungut pajak pada
hari yang sama saat pemungut pajak tersebut. SSP ini selanjutnya akan
berfungsi sebagai bukti pemungutan pajak. PPh Pasal 22 wajib dilaporkan
hasil pemungutannya dengan menggunakan SPT Masa ke KPP paling
lambat 14 hari setelah masa pajak berakhir.
Untuk PPN dan PPnBM yang dipungut oleh Bendahara Pemerintah,
batas waktu pembayaran atau penyetoran pajaknya adlah pada tanggal 7
bulan erikutnya, sedangkan untuk batas waktu pelaporan SPT Masa-nya
adalah pada tanggal 14 bulan berikutnya.

Contoh:
Pada tanggal 15 Januari 2014, Pemda DKI Jakarta membeli 6 unit
mesin pendingin udara (Barang Kena Pajak) secara tunai dari rekanan CV.
Sejuk Sejahtera (Pengusaha Kena Pajak) dengan harga Rp 30 juta (belum
termasuk PPN). Atas pembelian ini, Bendahara Pemda DKI Jakarta
memungut PPN sebesar Rp. 3 juta dan PPh Padal 22 sebesar RP 450.000,-.
Berikut adalah ayat jurnal yang diperlukan dalam pembukuan CV. Sejuk
Sejahtera (Selaku penjual) untuk mencatat transaksi si atas:
Tanggal Nama Perkiraan Debet Kredit
15 Jan’ 14 Kas 29.550.000
PPh Pasal 22 Dibayar di Muka 450.000
Penjualan 30.000.000
*(1,5% x Rp30 juta)

Bagi CV. Sejuk Sejahtera, PPh Pasal 22 yang telah dipunguti oleh
Bendaharawan Pemda DKI Jakarta di atas merupakan pembayaran
pendahuluan (perlu dibayar di muka) yang dapat diperhitungkan dengan
pajak terutang untuk tahun pajak bersangkutan (bersifat tidak final sehingga
dapat dikreditkan).
Setelah melakukan pemungutan, Bendaharawan Pemda DKI Jakarta
wajib menyetorkan PPh Pasal 22 tersebut ke Bank Persepsi paling lambat
tanggal 15 Januari 2014 juga (hari yang sama dengan saat pajak tersebut
dipungut) dengan menggunakan SSP yang memuat NPWP dan identitas
rekanan (CV. Sejuk Sejahtera) serta ditandatangani oleh Bendaharawan
Pemda DKI Jakarta. Setelah SSP diisi dan pajaknya disetorkan ke bank
selanjutnya Bendaharawan Pemda DKI Jakarta harus mengisi SPT Masa
PPh Pasal 22 (dengan nama dan NPWP Bendahara), dan melaporkannya ke
Kantor Pelayanan Pajak di mana Bendaharawan tersebut terdaftar (paling
lambat tanggal 14 Februari 2014).
Terkait dengan PPN yang dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah,
PKP rekanan Pemerintah (dalam hal ini CV. Sejuk Sejahtera) membuat
Faktur Pajak dan SSP pada saat menyampaikan tagihannya kepada
Bendaharawan Pemerintah tersebut. SSP diisi dengan membubuhkan NPWP
dan identitas CV. Sejuk Sejahtera, namun penandatanganan SSP dilakukan
oleh Bendaharawan Pemerintah sebagai penyetoran pajaknya adalah pada
tanggal 7 Februari 2014, sedangkan batas waktu pelaporan SPT Masa-nya
adalah pada tanggal 14 Februari 2014.
3. Sesuai dengan PMK-154/PMK-03/2010, untuk transaksi yang berhubungan
dengan industri tertentu, yang terdiri atas berikut ini:
 Industri semen dikenakan tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,25% dari harga
jual.
 Industri kertas dikenakan tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,1% dari harga jual.
 Industri baja dikenakan tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,3% dari harga jual.
 Industri otomotif dikenakan tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,45% dari harga
jual.
PPh Pasal 22 nya terutang dan dipungut oleh penjual apda saat
penjualan. Pajaknya ini akan disetorkan ke kas negara melalui kantor pos,
bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh menteri keuangan dengan
menggunakan SSP selambat-lambatnya pada tanggal 10 bulan berikutnya.
Seangkan pelaporan hasil pemungutan ke KPP setempay menggunakan SPT
Masa paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir.
Pemungut pajak wajib menerbitkan bukti pemungutan PPh Pasal 22
dalam rangkap 3 (tiga), yaitu: lembar ke-1 untuk WP; lembarke-2 sebagai
lampiran pada SPT Masa PPh Pasal 22; dan lembar ke-3 sebagai arsip bagi
pemungut pajak yang bersangkutan.
Sesuai dengan PER-15/PJ/2011 tentang “Tata Cara dan Prosedur
Pemungutan PPh Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas
Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di
Bidang Lain”, apabila terjadi pengembalian barang hasil produksi yang
dibeli dari badan usaha sebagai pemungut PPh Pasal 22 setelah masa pajak
di mana terjadinya penjualan maka pembeli harus membuat dan
menyampaikan nota retur kepada pemungut PPh Pasal 22 tersebut. Nota
retur yang dimaksud ini harus dibuat dalam masa pajak di mana terjadinya
pengembalian barang hasil produksi tersebut. Nota retur dibuat rangkap 3
(tiga), yaitu: lembar ke-1 untuk pemungut pajak; lembar ke-2 sebagai
lampiran pada SPT Masa PPh Pasal 22; dan lembar ke-3 sebagai arsip bagi
WP pembeli.

Contoh:
 Pada tanggal 15 Januari 2014, PT. Alaska (PKP) menjual semen
hasil produksinya kepada PT. Ratu (PKP) dengan harga jual sebesar
Rp300 juta (belum termasuk PPN). Sistem pencatatan persediaan
yang digunakan oleh PT. Alaska adalah sistem periodik, sedangkan
PT. Ratu menggunakan sistem pencatatan perpetual.
Berikut adalah jurnal yang diperlukan dalam pembukuan PT. Ratu (selaku
pembeli) untuk mencatat transaksi di atas:
Tanggal Nama Perkiraan Debet Kredit
15 Jan’ 14 Persediaan 300.000.000
PPN Masukan 30.000.000
PPh Pasal 22 Dibayar di Muka* 750.000
Penjualan 330.750.000
*(0,25% x Rp300 juta)

Sedangkan Pt. Alaska (selaku penjual) akan mencatat transaksi di atas


sebagai berikut:
Tanggal Nama Perkiraan Debet Kredit
15 Jan’ 14 Kas 330.750.000
PPN Keluaran 30.000.000
Utang PPh Pasal 22 750.000
Penjualan 300.000.000

 Pada tanggal 15 Januari 2014, PT. Elang (PKP) menjual kertas hasil
produksinya kepada PT. Datuk (PKP) dengan harga jual sebesar Rp550
juta (termasuk PPN). Sistem pencatatan persediaan yang digunakan oleh
PT. Elang maupun PT. Datuk adalah sistem periodik.
Berikut adalah ayat jurnal yang diperlukan dalam pembukuan PT.
Datuk (selaku pembeli) untuk mencatat transaksi di atas:
Tanggal Nama Perkiraan Debet Kredit
15 Jan’ 14 Pembelian 500.000.000
PPN Masukan 50.000.000
PPh Pasal 22 Dibayar di Muka 500.000
Kas 550.500.000
*0,1% x Rp500 juta)

Sedangkan PT. Elang (selaku penjual) akan mencatat transaksi di atas


sebagai berikut:
Tanggal Nama Perkiraan Debet Kredit
15 Jan’ 14 Kas 550.500.000
PPN Keluaran 50.000.000
Utang PPh Pasal 22 500.000
Penjualan 500.000.000
4. Sesuai dengan PMK-154/PMK.03/2010, untuk transaksi penjualan bahan bakar
minyak, bahan bakar gas, dan pelumas ke SPBU Pertamina maupun SPBU Non
Pertamina atau pihak lain yang dikenakan PPh Pasal 22 dengan tarif sebagai
berikut:
SPBU Pertamina SPBU Non Pertamina
(% dari penjualan) atau Pihak Lain
(% dari penjualan)
Premium, Solar, Premix, Super TT 0,25% 0,3%
Minyak tanah, Gas LPG 0,3% 0,3%
Oli/Pelumas 0,3% 0,3%

Pemungutan PPh Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak, gas,


dan pelumas kepada penyalur atau agen bersifat final, sedangkan apabila
penjualannya bukan kepada penyalur atau agen maka pemungutan PPh
Pasal 22 bersifat tidak final.
PPh Pasal 22 dipungut pada saat penerbitan surat perintah pengeluaran
barang (delivery order). Pajaknya ini akan disetokan ke kas negara melalui
kantor pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh menteri keuangan
dengan menggunakan SSP selambat-lambatnya pada tanggal 10 bulan
berikutnya. Sedangkan pelaporan hasil pemungutannya ke KPP setempat
menggunakan SPT Masa paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir.
Pemungut pajak wajib menerbitkan bukti pemungutan PPh Pasal 22
dalam rangkap 3 (tiga), yaitu: lembar ke-1 untuk ke-2 sebagai lampiran pada
SPT Masa PPh Pasal 22; dan lembar ke-3 sebagai arsip bagi pemungut
pajak yang bersangkutan.
Contoh:
Pada tanggal 25 Agustus 2013, PT. Bentang Alam yang bergerak
dalam bidang industri timah membeli solar dari Pertamina seharga Rp 10
juta (belum termasuk PPN). Solar ini digunakan sebagai bahan bakar untuk
pengoperasian salah satu mesin produksinya.
Berikut adalah ayat jurnal yang diperlukan dalam pembukuan PT. Bentang
Alam untuk mencatat transaksi tersebut:
Tanggal Nama Perkiraan Debet Kredit
25 Agts’ 14 Solar 10.000.000
PPN Masukan 1.000.000
PPh Pasal 22 Dibayar di Muka 30.000
Kas 11.030.000
*0,3% x Rp10 juta)

5. Sesuai dengan PMK-154/PMK.03/2010, untuk transaksi yang berhubungan dengan


industri atau ekspor dalam bidang kehutanan, perkebunan, pertanian, perternakan,
dan perikanan dikenakan PPh pasal 22 dengan tarif sebesar 0,25% dari harga
pembelian bahan (tidak termasuk PPh).
Pembelian bahan di sini dilakukan dari pedagang pengumpul untuk keperluan
industri atau ekspor (seperti untuk industri plywood, tepung tapioka, eksportir
kayu gelondong, industri ikan kaleng, dan sebagainya).
Pedagang pengumpul merupakan badan atau orang pribadi yang kegiatan
usahanya adalah mengumpulkan hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, dan
perikanan serta menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri atau eksportir
yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan.
PPh pasal 22 atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul akan
terutang dan dipungut pada saat pembelian. Dengan kata lain, PPh pasal 22 akan
dipungut oleh pembeli dari pedagang pengumpul (penjual) pada saat transaksi
terjadi.
Pajaknya ini akan disetorkan ke kas negara melalui kantor pos, bank
devisa, atau bank yang di tunjuk oleh menteri keuangan dengan menggunakan SPP
selambat-lambatnya pada tanggal 10 bulan berikutnya.
Pemungut pajak wajib menertibkan bukti pemungutan PPh pasal 22 dalam
rangkap 3(tiga), yaitu: lembar ke-1 untuk WP; lembar ke-2 untuk sebagai lampiran
pada SPT Masa PPh pasal 22; dan lembar ke-3 sebagai arsip bagi pemungut pajak
yang bersangkutan.

Contoh:
Pada taggal 9 oktober 2013, PT. Danker menjual hasil perkebunan (yang
dikumpulkannya dari masyarakat sekitar) kepada PT.Galaxi dengan harga Rp.
250 juta (belum termasuk PPN) sesuai dengan SK dari PKP setempat.

Berikut adalah ayat jurnal yang diperlukan dalam pembukuan untuk mencatat
transaksi.

Tanggal Nama Perkiraan Debet Kredit


9 Okt 13 Pembelian 250.000.000
PPN Masukan 25.000.000
Utang PPh Pasal 22* 625.000
Kas 274.375.000
*(0,25% x Rp250 juta)

Berikut adalah ayat jurnal yang diperlukan dalam pembukuan(selaku penjualan)


untuk mencatat transaksi diatas.

Tanggal Nama Perkiraan Debet Kredit

9 Okt 13 Kas 274.375.000


PPh Pasal 22 dibayar di 625.000
muka 25.000.000
PPN Keluaran 250.000.000
Penjualan

6. Sesuai dengan PMK-253/PMK.03/2008jo.SE-13/PJ/2009, untuk transaksi


penjualan barang yang tergolong sangat mewah dikenakan PPh pasal 22 dengan
tarif sebesar 5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM.
Barang yang tergolong sangat mewah tersebut meliputi:
a. Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp20 Milyar;
b. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp10 Milyar;
c. Rumah beserta tanahnya dengn harga jual atau harga pengalihannya lebih dari
Rp10 Milyar dan luas bangunan lebih dari 500 m2 (lima ratus meter persegi);
d. Apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau
pengalihannya lebih dari Rp10 milyar dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m 2
(empat ratus meter persegi);
e. Kendaraan bermotor roda empat untuk pengangkutan orang kurang dari 10
orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle (suv), multi purpose vehicle
(mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5 Milyar dan
dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc.

Pemungut pajak wajib memungut PPh pada saat melakukan penjualan


barang yang tergolong sangat mewah. PPh yang dipungut dapat diperhitungkan
sebagai pembayaran PPh dalam tahun berjalan bagi wajib pajak yang melakukan
pembelian barang yang tergolong sangat mewah tersebut. Pemungut pajak
menyetor pajak penghasilan yang di pungut ke kantor pos atau bank yang ditunjuk
menteri keuangan paling lambat 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir
dengan menggunakan surat setoran pajak. Pemungut pajak wajib melaporkan hasil
pemungutannya dengan menggunakan surat pemberitahuan masa ke kantor
pelayanan pajak tempat pemungutan pajak terdaftar paling lambat 20 hari setelah
masa pajak berakhir.

6.4.2 Pajak Penghasilan Pasal 23


PPh pasal 23 adalah pajak penghasilan yang pemenuhan kewajibannya dilakukan
dengan cara pemotongan atas pembayaran penghasilan yang diterima oleh wajib pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal dari penghasilan atas harta atau modal,
penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh 21. Yang
merupakan pemotongan PPh 23 adalah; (a) badan pemerintah; (b) subjek pajak badan
dalam negeri; (c) penyelenggara kegiatan; (d) BUT; dan (e) perwakilan perusahaan luar
negeri. Pemotongan PPh pasal 23 ini dilakukan oleh pihak yang wajib membayarkan
penghasilan.
Pemotong PPh pasal 23 dilakukan pada saat penghasilannya dibayarkan, tersedia
untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya. Setelah dilakukan pemotongan
PPh pasal 23 maka pemotong pajak berkewajiban untuk menerbitkan (memberikan) bukti
pemotongan PPh pasal 23 dan menyetorkan pajak yang telah dipotong tersebut ke kas
negera (melalui bank persepsi atau kantor po) dengan menggunakan SSP (surat setoran
pajak), serta melaporkannya ke kantor pelayanan pajak. Penyetoran pajak paling lambat
dilakukan pada tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan dilakukannya pemotongan.
Sedangkan laporan pajaknya menggunakan SPT masa PPh pasal 23/26 yang dilakukan
paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan dilakukannya pemotongan.
Berdasarkan undang-undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 23 ayat (1a),
besarnya pemotongan dibedakan antara wajib pajak yang memiliki NPWP (nomor pokok
wajib pajak) dengan wajib pajak yang tidak memiliki NPWP. Tarif pajak untuk wajib
pajak yang tidak memiliki NPWP lebih tinggi 100% dari pada tarif pajak yang diterapkan
untuk wajib pajak yang memiliki NPWP.
Berdasarkan undang-undang PPh Nomor 36 tahun 2008 pasal 23 ayat (4),
pemotongan PPh pasal 23 tidak dilakukan diatas:
a. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
b. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha
dengan hak opsi;
c. Dividen sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen
yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat
(2);
d. Bagian laba sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf i;
e. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
dan
f. Penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada badan usaha atas jasa
keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/ atau pembiayaan yang
diatur dengan peraturan menteri keuangan.

PPh pasal 23 dikenakan atas penghasilan berupa: (a) dividen; (b) bunga;
(c) royalti atau imbalan atas penggunaan ha; (d) hadiah, penghargaan, bonus, dan
sejenisnya; (e) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenakan
PPh final pasal 4 ayat (2); dan (f) imbalan jasa sehubungan dengan jasa teknik, jasa
manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain yang ditetapkan oleh dirjen
pajak, selain jasa yang telah dipotong PPh pasal 21.

a) Dividen
Terkait dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh investor dari
perusahaan investee dalam bentuk diveden atas investasi saham , penerima dividen
dapat dibedakan menjadi: (i) Wajib pajak orang pribadi dalam negeri; (ii)
perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, dan BUMN/D
sebagai hasil dari pertanyaan modal pada badan usaha yang didirakan dan
bertempat kedudukan di indonesia dengan persentase kepemilikan saham kurang
dari 25%; (iii) perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, dan
BUMN/D sebagai hasil dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan
dan bertempat kedudukan di indonesia dengan persentase kepemilikan saham
paling rendah 25% (lebih besar atau sama dengan 25%) dari jumlah modal yang
disetor.
Berdasarkan undang-undang PPh Nomor 36 tahun 2008 pasal 17 ayat
(2c) jo. PP nomor 19 tahun 2009 jo. SE-01/PJ.03/2009, dividen yang diterima oleh
wajib pajak orang pribadi dalam negeri dikenakan pajak yang bersifat final, yaitu
PPh pasal ayat (2) dengan tarif 10% dari jumlah bruto (sesuai tarif pasal 17 ayat 2c
undang-undang PPh nomor 36 tahun 2008 jo. PP 19 Tahun 2009). Pihak
penerimaan dividen tidak dapat mngkreditkan pajak tersebut pada saat menghitung
PPh kurang bayar atau PPh lebih dibayar di akhir tahun pajak.
Sedangkan dividen yang diterima oleh perseroan terbatas sebagai wajib
pajak dalam negeri, koperasi, dan BUMN/D sebagai hasil dari penyertaan modal
pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di indonesia dengan
persentase kepemilikan saham kurang dari 25% akan dikenakan PPh pasal 23
dengan tarif 15% dari penghasilan bruto. PPh pasal 23 ini tergolong pajak yang di
bayar di muka, di mana pihak yang menerima penghasilan dapat mengkreditkan
pajak yang dibayar di muka tersebut pada saat menghitung PPh kurang bayar atau
PPh lebih bayar di akhir tahun pajak.
Menurut undang-undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 4 ayat (3),
dividen yang dikecualikan dari objek PPh pasal 23 adalah dividen yang diterima
oleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, dan BUMN/D
sebagai hasil dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di indonesia, dengan syarat bahwa dividen yang dibagikan
tersebut berasal dari cadangan saldo laba (cadangan laba ditahan) dan dengen
persentase kepemilikan saham paling rendah 25% (lebih besar atau sama dengan
25%) dari jumlah modal yang disetor.

Contoh:
Pada tanggal 1 agustus 2013 PT. Andika membayar dividen tunai kepada
PT.Damar sebesar Rp10 juta. PT.Damar memiliki persentase kepemilikan saham di
PT. Andika sebesar 10%. Atas pembayaran dividen tersebut, PT.Andika memotong
PPh pasal 23 dimaksud kepada PT.Damar. PPh yang dipotong ini akan
diperhitungkan sebagai kredit pajak oleh PT. Damar. PT.Andika wajib melakukan
penyetoran PPh pasal 23 yang telah dipotongnya dari PT. Damar paling lambat
tanggal 20 september 2013.
Adapun ayat jurnal yang akan dibuat oleh PT.Damar sehubungan dengan
penerimaan dividen tersebut adalah:

Tanggal Nama Perkiraan Debet Kredit

1 Agst’13 Kas 8.500.000


PPh Pasal 23 dibayar dimuka 1.500.000
Pendapatan dividen 10.000.000

Sedangkan ayat jurnal yang akan dibuat oleh PT. Andika sehubungan
dengan pembayaran dividen di atas adalah:

Tanggal Nama Perkiraan Debet Kredit

1 Agst’13 Dividen 10.000.000


Utang PPh Pasal 23 1.500.000
Kas 8.500.000

10 Sept’13 Utang PPh Pasal 23 1.500.000


Kas 1.500.000

b) Bunga
Bunga yang dikenakan PPh pasal 23 adalah bunga, termasuk premium,
diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang yang merupakan bunga
antara pinjaman dari WP badan ke WP badan, WP badan ke WP orang pribadi atau
sebaliknya, serta bunga obligasi yang tidak dijual dibursa efek penghasilan atas
bunga tersebut dikenakan PPh pasal 23 dengan tarif sebesar 15% dari penghasilan
bruto. Pada akhir tahun pajak, pihak yang menerima penghasilan berupa bunga ini
dapat mengkreditkan pajak yang dibayar di muka tersebut (PPh pasal 23 atas
bunga) dalam menghitung besarnya PPh kurang bayar atau PPh lebih bayar.
Premium terjadi apabila surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya,
sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya,
premium tersebut merupakan penghasilan bagi pihak yang membeli obligasi.
Contoh soal terkait dengan premium dan diskonto obligasi ini akan diberikan nanti
pada bab-bab berikutnya, yaitu pada waktu membahas mengenai akuntansi pajak
atas investasi dalam obligasi (bab tersendiri menyangkut investasi sekuritis) dan
utang obligasi (bab mengenai kewajiban).
Penghasilan beruapa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi
dan surat utang negara yang dijual di bursa efek, serta bunga simpanan yang
dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi merupakan
penghasilan yang dikenakan pajak bersifat final, yaitu PPh pasal 4 ayat (2).
Penghasilan yang dikenakan PPh final ini tidak akan digabung dengan penghasilan
lainnya yang tidak dikenakan pajak final pada akhir tahun; dengan kata lain bahwa
penghasilan tersebut tidak akan dilakukan penghitungan kembali (tidak
diperhitungkan) dalam SPT tahunan dan pajaknya pun tidak dapat dikreditkan pada
akhir tahun pajak.
Berdasarkan undang-undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 23 ayat (4),
bunga yang bukan merupakan objek PPh pasal 23 adalah bunga yang diterima oleh
bank karena penghasilan bunga tersbut bagi pihak bank merupakan penghasilan
utama bank (penghasilan yang didapatkan sehubungan dengan aktivitas inti/sentral
atau beraktivitas normal bisnis bank) sehingga pajaknya akan diperhitungkan
tersendiri sebagai PPh badan. Dengan kata lain, bunga yang diterima oleh bank
tidaklah dipotong PPh pasal 23 karena penghasilan bunga tersebut bukanlah
merupakan objek PPh pasal 23.

Contoh:
Pada tanggal 25 Mei 2014, PT.Wahana Makmur membayar bunga pinjaman
kepada bank CIMB Niaga sebesar Rp10 juta dan juga kepada PT.Sumber dana
(memiliki NPWP) sebesar Rp8 juta.

Berikut adalah ayat jurnal yang diperlukan dalam pembukuan PT.Wahana


Makmur untuk mencatat transaksi di atas:

Tanggal Nama Perkiraan Debet Kredit

25 mei’14 Beban Bunga 18.000.000


Utang PPh pasal 23* 1.200.000
Kas 16.800.000
*(15% x Rp 8 Juta)

Adapun ayat jurnal yang akan dibuat oleh PT.Sumber Dana sehubungan
dengan penerimaan bunga tersebut adalah:

Tanggal Nama Perkiraan Debet Kredit

25 Mei’14 Kas 6.800.000


PPh pasal 23 dibayar di muka 1.200.000
Pendapatan bunga 8.000.000

c) Royalti atau Imbalan atas Penggunaan Hak


Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau
perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan
atas:
1. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang sastra, kesenian,
karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia,
merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual atau industrial atau hak
serupa lainnya.
2. Penggunaan atau hak menggunakan peralatan atau perlengkapan industrial,
komersial, atau ilmiah.
3. Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial
atau komersial.
4. Pemberian bantuan tambahan atau perlengkapan sehubungan dengan
penggunaan atau hak menggunakan peralatan atau perlengkapan tersebut
pada angka 1, penggunaan atau hak menggukan peralatan atau perlengkapan
tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut
pada angka 3, yaitu:
a) Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau
keduanya yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat
optik, atau teknologi yang serupa;
b) Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara
atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan atau
dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang
serupa;
c) Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio
komunikasi.
5. Penggunaan atau hak menggunakan film gambaran hidup (motion picture
films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran
radio.
6. Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenan dengan penggunaan
atau pemberian hak kekayaan intelektual atau industrial atau hak-hak lainnya
sebagaimana tersebut atas.

Atas penghasilan yang berupa royalti tersebut, pihak yang menerima royalti
akan dipotong PPh pasal 23 sebesar 15% dari penghasilan bruto. Selanjutnya, pajak
yang dibayar di muka ini dapat menjadi kredit pajak bagi pihak yang menerima
royalti tersebut. Khusus untuk royalti dari hasil karya sinematografi, perlakuan PPh
pasal 23 nya diatur secara terpisah dalam PER-33/PJ/2009 jo. SE-58/PJ/2009.

Contoh:
Pada tanggal 18 januari 2014, PT.Aliansi membayar royalti sebesar Rp20
juta kepada PT.Bima. atas penghasilan berupa royalti ini, PT.Bima memungut PPN
10% dari PT.Aliansi dengan membuat faktur pajak. PT.Aliansi memotong PPh
pasal 23 dari PT.Bima dengan membuat bukti pemotongan PPh pasal 23.

Berikut adalah ayat jurnal yang diperlukan dalam pembukuan PT.Aliansi


untuk mencatan transaksi diatas:

Tanggal Nama Perkiraan Debet Kredit

18 jan’14 Beban Royalti 20.000.000


PPN Masukan 2.000.000
Utang PPh pasal 23* 3.000.000
Kas 19.000.000
*(15% x Rp20 juta)

Adapun ayat jurnal yang akan dibuat oleh PT.Bima sehubungan dengan
penerimaan royalti tersebut adalah:

Tanggal Nama Penerimaan Debet Kredit

18 jan’14 Kas 19.000.000


PPh Pasal 23 Dibayar Di muka 3.000.000
PPN keluaran 2.000.000
Pendapatan Royalti 20.000.000

d) Hadiah Penghargaan, Bonus, dan Sejenisnya


Hadiah yang merupakan objek PPh pasal 23 adalah hadiah yang diperoleh
dari perlombaan, penghargaan dan prestasi tertentu, dan hadiah sehubungan dengan
pekerjaan atau pemberian jasa. Atas penghasilan yang berupa hadiah ini, pihak
yang menerima hadiah akan dipotong PPh pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto.
Selanjutnya, pajak yang dibayar dimuka ini dapat menjadi kredit pajak bagi pihak
yang menerima hadiah tersebut.
Untuk hadiah (dengan nama dan dalam bentuk apa pun) yang diterima atau
diperoleh orang pribadi dalam negeri dan luar negeri, badan dalam negeri dan luar
negeri memalui cara undian akan dikenakan PPh final sebesar 25% dari jumlah
bruto hadiah undian tersebut (sesuai dengan UU PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 4
ayat 2 huruf b jo.PP 132 tahun 2000 jo. KEP-295/PJ/2001 jo. SE-19/PJ.43/2001.
Hadiah yang bukan merupakan objek pajak yaitu: (1) hadiah yang diberikan
kepada semua pembeli atau konsumen akhir tanpa diundi; dan (2) hadiah yang
diterima langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang atau jasa.
Sebagai contoh, hadiah yang diterima pembeli ketika membeli sebuah mobil
bukanlah merupakan objek pajak yang harus dipotong PPh karena hadiah yang
diberikan tersebut hadiah bukanlah merupakan penghasilan bagi pihak yang
menerima.

Contoh:
Pada tanggal 25 April 2014, PT.Indo (memiliki NPWP) memberikan hadiah
kepada PT.Nesia (memiliki NPWP) sebesar Rp50 juta. PT.Nesia dianggap telah
berjasa dan menunjukkan prestasi yang gemilang dalam membantu memasarkan
serta menjual produk-produk yang dihasilkan oleh PT.Indo.
Berikut adalah ayat jurnal yang diperlukan dalam pembukuan PT.Indo untuk
mencatat transaksi di atas:

Tanggal Nama Perkiraan Debet Kredit

25 April’14 Beban Hadiah 50.000.000


PPn Masuk 5.000.000
Utang PPh Pasal 23* 7.5000.000
Kas 47.500.000
*(15 x Rp50 juta)

Adapun ayat jurnal yang akan dibuat oleh PT. Nesia sehubungan dengan
penerimaan hadiah tersebut adalah :

Tanggal Nama perkiraan Debet Kredit

25 April’14 Kas 47.500.000


PPh pasal 23 dibayar di muka 7.500.000
PPN Keluaran 5.000.000
Pendapatan hadiah 50.000.000

e) Sewa dan Penghasilan lain sehubungan dengan penggunan harta


Menurut undang-undang PPh nomor 36 Tahun 2008 pasal 23 ayat (1) huruf
c angka 1, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,
kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah
dikenakan PPh final pasal 4 ayat (2), akan dikenakan PPh pasal 23 sebesar 2% dari
jumlah bruto. Berdasarkan undang-undang PPh nomor 36 tahun 2008 opasal 23
ayat (1a), besarnya pungutan akan dibedakan antara wajib pajak yang memiliki
NPWP (nomor pokok wajib pajak) dengan wajib pajak yang tidak memiliki
NPWP. Tarif pajak yang diterapkan untuk wajib pajak yang memiliki NPWP.
Contoh sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
yang dikenakan PPh pasal 23 adalah sewa tas kendara angkutan (darat, laut, udara,
dan sungai). Di simpang dikenakan PPh pasal 23, sewa atas kendaraan angkutan ini
juga dikenakan PPN. Sesuai dengan undang-undang PPN dan PPnBM nomor 42
tahun 2009, jasa angkutan penumpang dan/atau barang, sepanjang tidak memenuhi
kriteria sebagai angkutan umum adalah dikategorikan sebagai jasa kena pajak,
sehingga penyerahannya terutang PPN. Sedangkan jasa angkutan umum di darat,
laut, udara, maupun sungai yang dilakukan oleh pemerintah atau pun swasta, serta
jasa angkutan udara luar negeri termasuk di dalamnya jasa angkutan dalam negeri
yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri
tersebut merupakan salah satu kelompok jenis jasa yang tidak dikenakan PPN
(sesuai pasal 4A ayat 3 undang-undang PPN dan PPnBM nomor 42 tahun 2009).

f) Imbalan jasa
Menurut undang-undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 23 ayat (1) huruf c
angka 2, imbalan jasa yang merupakan objek PPh pasal 23 adalah imbalan jasa
sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan,
dan jasa lain yang ditetapkan oleh Dirjen pajak, selain jasa yang telah dipotong PPh
pasal 21.
Berdasarkan PMK-244/PMK.03/2008 jo. SE-53/PJ/2009, jenis jasa
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 undang-
undang PPh nomor 36 tahun 2008 tersebut dikenakan PPh pasal 23 sebesar 2% dari
penghasilan bruto (tidak termasuk PPN).
Pemotong akan memotong PPh pasal 23 pada saat pembayaran (saat
terutang). Lalu, pemotong akan memberikan bukti pemotongan PPh pasal 23
kepada pihak yang dipotong. Bagi pihak yang dipotong, bukti pemotongan PPh
pasal 23 ini merupakan bukti pengkreditan pajak, kecuali PPh pasal 23 tersebut
bersifat final. Pemotong akan menyetor PPh 23 secara kolektif untuk seriap bulan
pemotongan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dengan menggunakan SSP
atas nama pemotong. Kemudian, pemotong akan melaporkan hasil pemotongan
dan penyetor PPh pasal 23 tersebut ke kantor pelayanan pajak dengan
menggunakan SPT masa PPH pasal 23/26 paling lambat tanggal 20 bulan
berikutnya setelah bulan dilakukannya pemotongan.
Berikut adalah jenis jasa yang dikenakan PPh pasal 23, selain jasa yang
telah dipotong PPh pasal 21:
a. Jasa penilai (appraisal);
b. Jasa akturaris;
c. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
d. Jasa perancang (design);
e. Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minya dan gas bumi
(migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap (BUT);
f. Jasa penunjang di bidang penambangan migas dan panas bumi, berupa:
a) Jasa penyemenan dasar (primary cementing) yaitu penempatan bubur semen
secara tepat
Di antara pipa selubung dan lubang sumur;
b) Jasa penyemenan perbaikan (remedial cemnting), yaitu penempatan bubur
semen untuk maksud-maksud sebagai berikut:
 Penyumbatan kembali formasi yang sudah kosong
 Penyumbatan kembali zona yang berproduksi air;
 Perbaikan dari penyemenan dasar yang gagal;
 Penutupan sumur.
c) Jasa pengontrol pasir (sand control), yaitu jasa yang menjamin bahwa
bagian-bagian formasi yang tidak terkonsolidasi tidak akan ikut terproduksi
ke dalam rangkaian pipa produksi dan menghilangkan kemungkinan
tersumbatnya pipa.
d) Jasa pengasaman (matrix acidizing), yaitu pekerjaan untuk memperbesar
daya tembus formasi dan menaikkan produktivitas dengan jalan
menghilangkan material penyumbat yang tidak diinginkan;
e) Jasa peretakan hidrolika (hydraulic), yaitu pekerjaan yang dilakukan dalam
hal cara pengasaman tidak cocok, misalnya perawatan pada formasi yang
mempunyai daya tembus sangat kecil;
f) Jasa nitrogen dan gukungan pipa (nitrogen dan coil tubing), yaitu jasa yang
dikerjakan untuk menghilangkan cairan buatan yang berada dalam sumur
baru yang telah selesai, sehingga aliran yang terjadi sesuai dengan tekanan
asli formasi dan kemudian menjadi besar sebagai akibat dari gas nitrogen
yang telah dipompakan ke dalam cairan buatan dalam sumur;
g) Jasa uji kandung lapisan (drill steam testing), penyelesaian sementara suatu
sumur baru agar dapat mengevaluasi kemampuan berproduksi;
h) Jasa reparasi pompa reda (reda repair);
i) Jasa pemasangan instalasi dan perawatan;
j) Jasa penggantian peralatan/material;
k) Jasa mud logging, yaitu memasukkan lumpur ke dalam sumur;
l) Jasa mud engineering;
m) Jasa well logging & perforating;
n) Jasa stimulasi dan secondary decovery;
o) Jasa well testing & wire line service;
p) Jasa alat kontrol navigasi lepas pantai yang berkaitan dengan drilling;

q.jasa pemeliharaan untuk pekerjaan driling

r.jasa mobilitasi dan demobilisasi driling

s.jasa lainnyayayang sejenis dibidang pengeboran imigas.

g.Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas


(pertambangan umum). Berupa:

a. Jasa pengeboran
b. Jasa penebasan
c. Jasa pengupasan dan pengeboran
d. Jasa penambangan
e. Jasa pengangkutan/sistem transportasi, kecuali jasa angkutan umum
f. Jasa pengolaan bahan galian
g. Jasa reklamasi tambang
h. Jasa pelaksanaan mekanikal, elektrikal, manufaktur,fabrikasidan
pengalian/pemindahan tanah
i. Jasa lainnya yang sejenis di bidang pertambangan umum

h. jasa penunjang dibidang penerbangan dan udara berupa:

a. bidang aeronautika, termasuk;

1.jasa pendaratan, penempatan penyimpanan pesawat udara dan jasa lain


sehubungan dengan pendaratan pesawat terbang

2.jasa penggunaan pesawat pintu

3.jasa pelayanan dan penerbangan

4.jasa ground handling, yaitu pengurusan seluruh atau sebagai dari proses
pelayanan penumpang dan bagasinya serta kargo, yang diangkut dengan
pesawat udara, baik yang berangkat maupun yan datang, selama udara di
darat;

5.jasa penunjang lain dibidang aeronautika

b.bidang non-aeronautika,termasuk

1. jasa catering dipesawat dan jasa pembersihan pantry pesawat

2.jasa penunjang lain dibidang aerounatika

i. jasa penebangan hutan

j. jasa pengelolaan limbah

k.jasa penyediaan tenaga kerja

l.jasa perantara atau keagenaan

m.jasa bidang perdangan surat-surat beharga, kecuali yang dilakukan oleh bursa
efek, KSEI dan KPEI

n.jasa kustodian/penyimpanan/penitipa, kecuali yang dilakukan oleh KSEL.

o. jasa pengisian surat dan atau sulih surat

p. jasa mixing film


q. jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan
dan perbaikan

r. jasa instlasi/pemasangan mesin,peralatan,listrik,telpon,air,gas, AC, dan atau tv


kabel,selain yang dilakukan oleh wajip pajak yang ruang lingkupnya dibidang
kontruksi dan mempunyai izin dan /sertivikasisebagai pengusaha konstruksi.

s. jasa perawatan /perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan listrik,telpon,air, gas,


AC, TV kabel, alat transportasi/kendaran/bangunan,selain yang dilakukan oleh
wajip pajakyang ruang lingkupnya dibidang konsrtuksi dan mempunyai izin dan
atau sertivikasisebagai pengusaha konsrtuksi

t. jasa maklon

u. jasa penyelidikan dan keamanan

v. jasa penyelenggaraan kegiatan

w. jasa pengepakan

x. jasa penyediaan tempat dan/waktu dalam media masa, media luar ruang/media
lain untuk menyampaikan informasi

y. jasa pembasmian hama

z. jasa kebersihan

aa. jasa catering atau tata boga

Contoh:

Pada tanggal 12 mey 2014, PT. Rajawali membayar fee jasa audit sebesar
rp. 30 juta (belum termasuk PPN) kepada kantor akuntan publik Hery dan rekan.
Berikut adalah ayat jurnal yang diperlukan dalam pembukuan PT. Rajawali untuk
mencatat transaksi diatas:

Tanggal Nama Perkiraan Debed Kredit

12 mey’ 14 Beban jasa audit 30.000.000

PPN masukan 3.000.000

Utang PPh pasal 600.000


23*
32.400.000
Kas
*(2%x Rp30 juta)

Adapun ayat jurnal yang akan dibuat oleh KAP Hery dan rekan
sehubungan dengan pendapatan jasa yang diterimanya tersebut adalah:

Tanggal Nama perkiraan Debet Kredit

12 mey’14 Kas 32.400.000

Pph pasal 23 dibayar 600.000


dimuka
3.000.000
Ppn keluaran
30.000.000
Pendapatan jasa

6.4.3 Pajak penghasilan pasar 24

Pph pasal 24 adalah pajak yang telah dipotong di negara lain (tempat
dimana si wajip pajak memperoleh penghasilan) namun boleh dikreditkan
terhadap pajak yang terutang diindonesia. Dengan kata lain, pph pasal 24 ini
merupakan kredit pajak luar negeri (KPLN).

Berdasarkan asas world wide income, WP dalam negeri dikenakan pph


atas seluruh penghasilan yang diterimanya, baik yang diperoleh diindonesia
maupun luar indonesia. Pajak yang dibayar atau terutang diluar negeri boleh
dikredit kan terhadap pajak yang terutang diindonesia. Tetapi tidak melebihi
perhitungan pajak yang terutang berdasarkan undang-undang pph yang berlaku di
indonesia. Metode kredit pajak yang demikian dinamakan sebagai metode
pengkreditan terbatas.

Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagi


berikut:

 Untuk penghasilan dari usaha, dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya


tahun tersebut
 Untuk penghasilan berupa deviden, dilakukan dalam tahun pajak pada
saat perolehan pada saat perolehan tersebut
 Untuk penghasilan lainnya, dilakukan dalam tahun pajak diterimanya
dalam tahun tersebut
 Kerugian yang diderita diluar negeri tidak boleh dikompensasi dalam
menghitung penghasilan kena pajak di indonesia

Berikut adalah ketentuan umum KPLN sesuai dengan KMK-


164/KMK,03/200

 Abila dalam penghasilan kena pajak terdapat penghasilan yang berasal


dari luar negeri, maka pajak pengasilan yang dibayar atau terutang di luar
negeri atas penghasilan tersebut dapat dikreditkan terhadap pajak
penghasilan yang terutang diindonesia.
 Pengkreditan pajak di lakukan dalam tahun pajak digabungkan nya
penghasilan di indonesia.
 Jumlah kredit pajak paling tinggi sama dengan jumlah pajak yang harus
dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi jumlah
tertentu.
 Jumlah tertentu dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari
luar negeri dari penghasilan kena pajak. Paling tinggi besarnya sama
dengan pajak yang terutang atas penghasilan kena pajak dalam hal
penghasilan kena pajak kecil dari penghasilan dari luar negeri.
 Apabila penghasilan luar negeri berasal dari beberapa negara maka
perhitungan kredit pajak dilakukan untuk masing-masing negara .
 Penghasilan kena pajak tidak termasuk penghasialan yang dikenakan
pajak yang bersifat final sebagai mana yang dimaksid dalam pasal 4 ayat
(2) dan/atau penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) dan ayat (4) undang-undang pph
nomor 36 tahun 2008
 Dalam hal jumlah pajak penghasilan yang dibayar atau tertang diluar
negeri melebihi jumlah kredit pajak yang diperkenankan sebagaiman
dimaksud dalam pasal 2, maka kelebihan tersebut tidak dapat
diperhitungkan dengan pajak penghasilan yang terutang tahunberikutnya,
tidak boleh dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan, dan
tidak dapat diminta restitusi.
 Untuk melaksanakan pengkreditkan pajak luar negeri, wajip pajak wajib
menyampaikan permohonan kepada direktur jendral pajak dengan dengan
dilampiri:
a. Laporan keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar
negeri
b. Fotokopi surat pemberitahuan pajak yang di sampaikan di laur
negeri.
c. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri
 Menyampiakan permohonan kredit pajak luar negeri dilakukan dengan
bersama dengan menyampaikan surat pemberitauan tahunan pajak
penghasilan
 Atas permohonan wajib pajak, direktur jendral pajak dapat
memperpanjang jangka waktu penyampaian lampiran-lampiran tersebut
diatas karena memang alasa-alasan diluar kemampuan wajib pajak.
 Dalam hal terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal di luar
negeri, wajib pajak harus melakukan pembetulan surat pemberitahuan
tahunan untuk tahun pajak yang bersangkutan dengan melampirkan
dokumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut
 Dalam hal pembetulan diatas ternyata menyebabkan pajak penghasilan
kurang bayar, maka atasbkekurangan bayar tersebut tidak dikenakan
sangsi bunga sebagaimana yang dimaksud dalam pasa 8 ayat (2) undang-
undang nomor 28 tahun 2007 ketentuan umum dan tatacara perpajakan.
 Namun, apabila dalam pembentukan ternyata menyebabkan pajak
penghasilan lebih bayar maka atas kelebihan pembayaran tersebut dapat
dikembalikan kepada wajib pajak setelah diperhitungkan dengan utang
pajak lainnya.

Contoh:

1. Berikut adalah data informasi terkait penghasilan neto PT. Andalas (yang
berdomisili di jakarta) yang berasal dari luar negeri sepanjang tahun pajak
2013:
a. Penghasilan usaha di kanada untuk tahun pajak 2013 sebesar
Rp950 juta
b. Penghasilan berupa dividen atas kepemilikan saham pada
sebuah perusahaan publik yang terdaftar di pasar modal
norwegia sebesar rp320 juta. Deviden ini berasal dari laba
usaha perusahaan publik tersebut pada tahun 2011 yang
ditetapkan pada rapat umum pemegang saham tahun 2012
dan dibayarkan pada tahun 2013.
c. Penghasilan berupa deviden atas kepemilikan saham pada
sebuah perusahaan keluarga (non public corporation) di
singapura sebesar rp.150 juta. Deviden ini berasa dari usaha
perusahaan keluarga tersebut pada tahun 2012 dibayarkan
dalam tahun 2013.
d. Penghasilan berupa bunga sebesar rp.100 juta. Bunga ini
merupakan hasil investasi obligasi yang dibelinya dari
pemerintah malaysia di awal kwartal ke IV tahun 2013 dan
dibayarkan diakhir tahun 2014.

Berdasarkan data imformasi diatas, penghasilan luar negeri yang akan


digabungkan dengan penghasilan dalam negeri untuk tahun pajak 2013 adalah
penghasilan pada huruf a,b, dan c. Sedangkan penghasilan luar negeri dengan
huruf d akan di gabungkan dengan penghasilan dalam negeri untuk tahun pajak
2014.

Pph terutang akan dikenakan atas PhKP, yang dihitung berdasarkan


seluruh penghasilan yaang diterima atau diperoleh WP, baik penghasilan yang
berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Seluruh penghasilan akan di
gabungkan dalam tahun pajak dimana penghasilan tersebut diperoleh atau
diterima. Untuk WP badan dan Bentuk Usaha Tetap (BUT), besarnya PhKP sama
besarnya penghasilan neto.

2. Dalam tahun pajak 2013, PT. Kenanga (yang berdomisili di jakarta)


memperoleh penghasilan neto sebagai berikut:
a. Di negara A memperoleh laba rp.1 milyar. Atas laba ini dikenakan
pajak sebesar rp350 juta(tarif pajak=35%).
b. Di negar B memperoleh laba rp3 milyar. Atas laba dikenakan pajak
sebesar rp690 juta (tarif pajak=23%).
c. Di negara C menderita kerugian sebesar rp 1,2 milyar.
d. Penghasilan usaha didalam negeri sebesar rp4 milyar.

Untuk perhitungan jumlah KPLN yang diperkenakan, langkah pertama


yang harus dilakukan adalah menghitung total jumlah penghasilan neto.
Dalam contoh ini, total jumlah penghasilan neto adalah sebesar rp.8 milyar
(rp 1 milyar+3 milyar+4 milyar), dimana kerugian yang harus diderita oleh
PR. Kenanga di luar negeri (negara C) sebesar rp1,2 milyar tidak boleh
dikompensasi sebagai pengurang total jumlah penghasilan neto.

Langkah berikut nya adalah menghitung besarnya batas maksimum


KPLN untuk masing-masing negara. Jika besarnya pph terutang adalah
rp.1.568.000.000;(sesuaitarif pasal 17 dan pasal 31E undang-undang pph),
maka besaranya batas maksimum KPLN untuk masing-masing negara
adalah:
a. Untuk di negara A
Rp1 milyar
Rp 8 milyar X Rp1568.000.000=Rp196 juta

Pajak yang terutang atau dibayar di negara A adalah sebesar Rp350


juta, namun maksimum KPLN yang dapat dikredit adalah hanya
sebesar Rp196 juta.

b. Untuk di negara B =
Rp 3 milyar
Rp 8 milyar X Rp1568.000.000=Rp588 juta

Pajak yang terutang atau yang dibayakan di negara B adalah sebesar


Rp690 juta, namun maksimum KPLN yang dapat dikreditkan adalah hanya
sebesar Rp588 juta

Berdasarkan hasil perhitungan di atas, maka total jumlah KPLN yang dapat
dikreditkan dalam menghitung PPh kurang/lebih bayar adalah sebesar:

=Rp196 juta + Rp588 juta

=Rp784 juta

3. Dalam tahun pajak 2013, PT. Sanjaya (yang berdomisi di jakarta)


memperoleh penghasilan netto sebagai berikut:
a. Penghasilan dalam negeri sebesar rp 1 milyar
b. Penghasilan luar negeri sebesar rp 1 milyar. Atas penghasilan ini
dikenakan pajak sebesar Rp250 juta (tarif pajak =25%).

Dalam contoh ini, total jumlah penghasilan neto adalah sebesar Rp 2


milyar (Rp 1 milyar + Rp 1 milyar). Jika besarnya PPh terutang adalah
Rp280 juta (sesuai tarif pasal 17 dan pasal 3IE Undang-Undang PPh),
maka batas maksimum KPLN adalah:
Rp 1 milyar
Rp 2 milyar X Rp280 juta = Rp140 juta

Oleh karna PPh terutag (Rp280 juta) lebih besar dibandingkan dengan
pajak luar negeri (Rp250 juta), maka KPLN yang dapat dikreditkan dalam
menghitung PPh kurang/lebih bayar adalah sebesar maksimumnya, yaitu Rp140
juta.
4. Dalam tahun pajak 2013, PT. Aruna (yang berdomisili di jakarta
memperoleh penghasilan neto sebagai berikut:
a. Rugi usaha di dalam negeri sebesar Rp200 juta.
b. Penghasilan dariusaha di luar negeri sebesar Rp 1 milyar. Atas
penghasilan ini dikenakan pajak sebesar Rp300 juta (tarif pajak
=30%).

Dalam contoh ini, total jumlah penghasilan neto adalah sebesar Rp800
juta (Rp 1 milyar – Rp200 juta). Jika besarnya PPh terutang adalah
Rp112 juta (sesuai tarif pasar 17 dan pasal 3IE undang-undang PPh),
maka batas maksimum KPLN adalah ;
Rp 1 milyar
Rp 800 juta X Rp112 juta = Rp140 juta

Oleh karena PPh terutang (Rp112 juta ) lebih kecl dibandingkan


dengan pajak luar negeri yang dibayar diluar negeri (Rp300 juta)
maupun jika dibandingkan dengan batas maksimum KPLN (Rp140
juta), maka KPLN yang

dapat dapat dikreditkan dalam menghitung PPh kurang/lebih bayar


adalah hanya sebesar PPh yang terutang, yaitu Rp112 juta.

5. Dalam tahun pajak 2013, PT. Dahlia ( yang berdomisili di jakarta)


memperoleh penghasilan sebagai berikut:
a. Penghasilan dalam negeri sebesar Rp 3,5 milyar (termasuk didalamnya
yaitu sebesar Rp500 juta merupakan pengasilan yang dikenakan pajak
bersifat final).
b. Penghasilan dari usaha di luar usaha sebesar Rp 2 milyar. Atas
penghasilan ini dikenakan pajak sebesar Rp640 juta (tarif pajak =
32%).

Apabila WP memperoleh penghasilan yang dikenakan pajak bersifat final


sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 4 ayat(2) dan/atau penghasilan yang
dikenakan pajak tersendiri sebagaiman yang dimaksud dalam pasa 8 ayat(1) dan
ayat (4) undang-undang PPh nomor 36 tahun 2008), maka atas penghasilan
tersebut bukanlah merupakan faktor penambahan penghasilan pada saat
menghitung PhKP. Ingat kembali, untuk WP badan dan bentuk usaha tetap
(BUT), besarnya PhKP sama dengan besarnya penghasilan neto.

Dalam contoh ini, total jumlah penghasilan neto adalah sebesar Rp 5 milyar ( Rp
3 milyar + Rp 2 milyar). Jika besarnya PPh terutang adalah Rp728 juta (sesuai
tarif pasal 17 dan pasal 3IE undang-undang PPh), maka batas maksimum KPLN
adalah:

Rp 2 milyar

Rp 5 milyar X Rp728 juta=Rp291,2juta

Oleh karena PPh terutang (Rp728 juta) lebih besar dibandingkan dengan
pajak luar negeri yang dibayar di luar negeri (Rp640 juta), maka KPLN yang
dapat dikreditkan dalam menghitung PPh kurang/lebih bayar adalah sebesar
maksimumnya, yaitu Rp291,2 juta.

6.4.4 Pajak Penghasilan Pasal 25

PPh pasal 25 adalah angsuran pajak penghasilan dalam tahun pajak berjalan
yang harus dibayar sendiri oleh WP bersangkutan pada setiap bulannya
sebagaiman yang dimaksud dalam pasal 25 undang-undang PPh nomor 36 tahun
2008. PPh pasal 25 ini harus dibayar atau disetorkan ke kas negara paling lambat
tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Sedangkan untuk
penyampaian SPT masa PPh 25 dilakukan selambat-lambatnya 20 hari setelah
masa pajak berakhir.

Sesuai dengan sistem perpajakan yang berlaku diindonesia, yaitu self


assesessment system. Wajib pajak diberikan wewenangan sepenuhnya untuk
menghitung pajak terutang, pembayaran, dan pelaporan PPh pasal 25 dilakukan
sendiri oleh wajb pajak dalam tahun berjalan sesuai dengan ketentuan perundang-
undang perpajakan yang berlaku diindinesia.

Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri
oleh WP bersangkutan pada setiap bulannya dihitung dengan rumus sebagai
berikut: PPh terutang menurut SPT tahunan PPh tahun lalu dikurangi dengan PPh
yang dipotong dan/atau dipungut oleh pihak lain (PPh pasal 22 dan 23. Perlu
diperhatiksn disini, PPh pasal 21 tidak dapat dikreditkan dalam menghitung
besarnya angsuan PPh pasal 25 untuk WP badan karnaWP badan sebagai
pemotong PPh pasal 21 (bukan sebagai pihak yang dipotong).

Contoh:

1. Berdasarkan SPT tahunan PPh Tn.Alexander (WP orang pribadi) untuk


tahun pajak 2013 diketahui bahwa besarnya PPh terutang adalah Rp47 jta.
Adapun PPh yang dipotong dan/atau dipungut oleh pihak lain serta PPh
yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan untuk
tahun tersebut adalah sebagai berikut.

PPh pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja sebesa Rp.15 juta

PPh pasal 22 yang di pungut oleh pihak lain sebesar. Rp 10 jut

PPh pasal 23 yang dipotong oleh pihak Lain sebesar Rp 4 juta

Kredit pajak luar negeri (PPh pasal 24) sebesar. Rp 6 juta

Jumlah kredit pajak. Rp 35 juta

Besarnya angsuran PPh pasal 25 yang harus dibayar sendiri oleh WP


bersangkutan pada setiap bulannya untuk tahun 2014 adalah:

=1/12x (rp47 juta-Rp35 juta

=Rp 1 juta

2. Berdasarkan SPT tahunan PPh PT. Kencana unggu) WP badan untuk tahun
pajak 2013 deketahui bahwa besarnya PPh terutang adalah Rp47 juta. Adapun
pph yang dipotong dan/atau di pungut oleh pihak lain serta PPh yang di bayar atau
terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan untuk tahun terswbut adalah sebagai
berikut;

PPh Pasal 22 yang di pungut oleh pihak lain sebesar Rp 18 juta

PPh pasal 23 yang di potong oleh pihak lain sebesar Rp 5 juta

Kredit pajak luar negeri (PPh Pasal 24) Sebesar Rp 12 juta

Jumlah kredit pajak Rp 35 juta

Besarnya angsuran PPh ayat jurnal yang akan di buat oleh PT. Kencana unggu
pada saat melakukan pembayaran PPh pasal 25 pada setiap bulannya untuk tahun
2014;

=1/12x(Rp47 juta – Rp35 juta

=Rp 1 juta

Berikut adalah ayat jurnal yang akan dibuat oleh PT. Kencana Unggu pada saat
melakukan pembayaran PPh pasal 25 pada setiap bulannya untuk tahun 2014;

Nama Perkiraan Debed Kredit


PPh pasal 25 Dibayar Dimuka 1.0000.000

Kas 1.000.000

Apabila PPh diatas berkaitan dengan penghasilan yang diterima atau


diperoleh WP untuk bagian tahun pajak yang hanya meliputi masa 6 bulan dalam
tahun 2013, maka besarnya angsuran pph pasal 25 yang harus dibayarkan sendiri
pada setiap bulannya tahun 2014 adalah:

=1/6x (Rp47 juta – Rp35 juta

=Rp 2 juta

Terkait dengan penetapan penhitungan besarya angsuran pajak dalam


tahun berjalan (PPh pasal 25), berikut adalah hal-hal tertentu lainnya yang perlu
diperhatikan:

A. Besarnya angsiran pajak yang harus di bayar sendiri oleh WP untuk bulan-
bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh adalah sama dengan
besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu.

Sebagai contoh, apabila WP menyampaikan SPT Tahunan PPh pada bulan


februari 2014, makabesarnya angsuran PPh pasal 25 Sejak bulan september 2013
sampai dengan desember 2014 menjadi nihil, maka besarnya angsuran PPh pasal
25 yang harus di bayar WP untuk bulan januari 2014 adalah sebesar angsuran PPh
Pasal 25 bulan desember 2014, yitu nihil.

B. Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak (SKP)
untuk yltahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran PPh pasal 25 haruslah
dihitung kembali berdasarkan SKP tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya
setelah bulan penerbitan SKP.

Sebagai contoh, berdasarkan SPT tahunan PPh tahun pajak 2013 yang di
sampaikan WP dalam bulan februari 2014, perhitungan besarnya angsuran pph
pasal 25 yang harus dibayar WP bersangkutan untuk setiap bulan adalah sebesar
Rp2, 5 juta. Dalam bulan mei 2014 diterbitkan SKP untuk tahun pajak 2013 yang
menetapkan bahwa besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk setiap bilannya adalah
menjadi Rp 3 jut. Berdasarkan pasal 25 ayat (4) undang-undang PPh Nomor 36
tahun 2008 terkait SKP diatas, maka besarnya angsuran pph pasal 25 yang harus
dibayar setiap bulan mulai bulan juni 2014 adalah sebesar Rp 3 juta.

Besarnya angsuran pph pasal 25 yang ditetapkan berdasarkan SKP adalah bisa
sama, lebih besar, atau pun lebih kecil di bandingkan besarnya angsuran pph
pasal 25 sebelumnya (yang dihitung berdasarkan SPT tahunan PPh).
C. Apabila terdapat kerugian fiskal pada suatu tahun pajak, maka kerugian
tersebut dapat dikompensasi denganpenghasilan tahun pajak berikutnya secara
berturut-turut selama 5(lima) tahun.

Yang dimaksud dengan kompensasi kerugian di sini adalah kompensasi atas


kerugian usaha (menurut fiskal) berdasarkan SPT tahunan PPh, SKP, SK
Keberatan, atau putusan banding. Bagi perusahaan yang mengoperasikan Cabang
di luar negeri tidak dapat dikonsolidasikan Kerugian yang diderita cabang
tersebut. Kompensasi kerugian hanya berlaku bagi wp badan dan WP orang
pribadi yang menyelenggaraan pembukuan.

Apabila terdapat kerugian fiskal pada suatu tahun pajak (untuk WP badan)
maka besarnya penghasilan kena pajak (PhKP) di tahun berikutnya akan di hitung
dengan cara mengurangkan kerugian fiskal tahun lalu terhadap penghasilan neto
tahun pajak berjalan. Sedangkan untuk WP orang pribadi yang
menyelenggarakan pembukuan, apabila terdapat kerugian fiskal pada suatu tahun
pajak maka besarnya penghasilan kena pajak (PhKP) di tahun berikutnya akan di
hitung dengan cara mengurangkan kerugian fiskal tahun lalu dan PTKP terhadap
penghasilan neto tahun pajak berjalan. Setelah itu, PhKP akan di kalikan dengan
tarif pph pasal 17 intuk mendapatkan besarnya pph terutang.

Tarif pph pasal 17 Untuk WP badan dalam negeri dan BUT(bentuk usaha tetap)
adalah sebesar 28% untuk tahun 2009 dan menjadi 25% yang mulai berlaku sejak
tahun pajak 2010. Untuk WP badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai
dengan rp. 50.000.000.000. Mendapatkan fasilitas pengurangan tarif ( tarif pph
pasal 31E) sebesar 50% dari tarif pph pasal 17 yang dikenakan atas PhKP Dari
bagian bruto sampai dengan rp 4.800.000.000, -(sesuai dengan SE-66/PJ/2010).

Dalam menghitung besarnya angsiran pph pasal 25 Di tahun berikutnya, pph


yerutang untuk tahun pajak berjalan akan dikUrangkan dengan pph Yang di
potong dan /atau dipungut Oleh pihak lain (pph pasal 21,22, dan 23) serta pph
yang dibayar atau Terutang di luar negeri Yang dapat dikreditkan (pph pasal 24),
lalu dibagi dengan 12 atau banyaknya Bulan dalam bagian tahun pajak berjalan.
Apabila SPT tahunan PPh untuk tahun pajak berjalan menyatakan rugi(yang
menyebabkan Terjadinya lebih bayar atau nihil), maka. Besarnya angsuran pph
pasal 25 di tahun berikutnya adalah nihil.

Untuk mengilustrasikan aplikasi kompensasi kerugian dalam menghitung


besarnya angsuran ppn pasal 25, misakan bahwa PT. Human memiliki
penghasilan neto. (laba yang sesuai dengan ketentuan perpajakan) sebesar Rp.
120 juta untuk tahun pajak 2013. Besarnya kerugian usaha ( menurut fiskal)
untuk tahun pajak 2012 adalah Rp30 juta. Untuk tahun pajak 2013, perusahaan
memperoleh fasilitas tarif pph pasal 31E secara penuh. Apabila pada tahun 2013 .
pph yang dipotong da/atau dipungut oleh pihak lain adalah sebesar Rp5.25 juta,
maka besarnya angsuran PPh pasal 25 pada setiap bulannya dalam tahun 2014
dapat dihitung sebagai berikut:

PhKP =Rp120 juta


=Rp90 juta

PPh terutang =50% x25% x Rp90 juta


=Rp11,25 juta

Apabila besarnya kerugian usaha (menurut fiskal) untuk tahun pajak 2012
adalah Rp. 150 juta, maka besarnya angsuran PPh pasal 25 setiap bulannya dalam
tahun 2013 adalah nihil (sama seperti contoh diatas) karena SPT Tahunan PPh
untuk tahun pajak 2012 menyatakan rugi. Bedanya adalah bahwa besarnya
angsuran PPh pasal 25 pada setiap bulan nya untuk tahun 2014 juga akan menjadi
nihil karena besarnya penghasilan neto untuk tahun pajak 2013 (Rp 120 juta)
adalah masih lebih kecil dibandingkan dengan jumlah kerugian fiskal sebesar
Rp30 juta (yaitu Rp150 juta-Rp120 juta) akan dikompensasi lagi ke tahun
berikutnya, yaitu sebagai pengurang penghasilan netountuk tahun pajak 2014,
yang akan dijadikan sebagai dasar dalam menghitung besarnya PhKP dan PPh
terutang tahun 2014 serta angsuran PPh pasal 25 tahun 2015

D. apabila WP memiliki penghasilan yang teratur maupun tidak teratur, maka


penghasilan yang akan dipakai sebagi dasar dalam menghitung besarnya angsuran
PPh Pasal 25 adalah hanya penghasilan yang teratur saja.
Yang dimaksud dengan penghasilan teratur disini adalah penghasilan yang
lazimnya diterima atau diperoleh secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam
tahun pajak, yang bersumber dari kegiatan usaha, pekerjaan bebas, ataupun
pemanfaatan harta dan/atau modal, selain penghasilan yang telah dikenakan PPh
yang bersifat final. Tidak termasuk dalam penghasilan teratur adalah keuntungan
selisih kurs dari utang atau piutang dalam mata uang asing dan keuntungan dari
pengalihan harta (capital gains) sepanjang bukan merupakan penhasilan dari kegiatan
usaha pokok, serta penghasilan lainnya yang bersifat insidentif (penghasilaj yang hanya
diterima atau diperoleh pada saat-saat tertentu saja, tidak secara teratur atau tidak rutin).

Penghasilan yang diperoleh dari mengontrakkan rumah selama 2 (dua) tahun, yang
di mana pembayarannya diteriiam sekaligus pada suatu tahun pajak yang tidak teratur
karena penghasilan tersebut tidak diterima atau diperoleh secara berkala sekurang-
kurangnya sekali dalam setiap tahun pajak.

E). Dalam hal WP (dalam tahun pajak berjalan) membetulkan sendiri SPT tahunan PPh
tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 dihitung kembali
berdasarkan SPT Tahunan pembetulan tersebut dengan memperhatikan kompensasi
kerugian dan penghasilan tidak teratur. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 hasil
perhitungan kembali tersebut berlaku surat mulai bulan batas waktu penyampaian SPT
Tahunan.

Apabila jumlah anggaran PPh Pasal 25 setelah pembetulan adalah ternyata lebih
besar, maka atas kekurangan setoran PPh Pasal 25 yang telah dilakukan sebelumnya akan
dikenakan sanksi bunga sebesar 2% per bulan untuk jangka waktu yang dihitung mulai
saat jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 25 dari masing-masing bulan sampai dengan
tanggal penyetoran kekurangan angsuran PPh Pasal 25 tersebut.

Jika yang terjadi sebaliknya, yaitu apabila jumlah angsuran PPh Pasal 25 setelah
pembetulan adalah ternyata lebih kecil, maka atas kelebihan setoran PPh Pasal 25 yang
telah dilakukan sebelumnya dapat dipindahbukukan ke angsuran PPh Pasal 25 untuk
bulan-bulan berikutnya setelah penyampaian SPT Tahunan PPh.

f) Pada prinsipnya, perhitungan besarnya angsuran PPh pasal 25 bulanan dalam tahun
berjalan didasarkan pada SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lalu. Namun, menteri
keuangan RI diberi wewenang untuk menetapkan dasar perhitungan besarnya
angsuran PPh Pasal 25 bulanan selain berdasarkan prinsip tersebut.

Sesuai dengan Undang-Undang PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 25 ayat (7),
perhitungan besarnya angsuran PPh Pasa 25 selain berdasarkan prinsip tersebut di atas
adalah tidak lain bertujuan untuk memenuhi aspek kewajaran dalam perhitungan besarnya
angsuran berdasarkan data terkini dari kegiatan usaha WP tertentu.

Menurut PMK-255/PMK.03/2008 jo PMK-208/PMK.03/2009,yang Dimaksud denga


WP tertentu tersebut adalah: (1) WP baru (yaitu WP orang pribadi atau badan
yang baru pertama kali memperoleh penghasil andrai usaha atau pekerjaan bebas
dalam tahun pajak berjalan): (2) WP Bank dan WP Sewa Guna Usaha dengan hak
opsi; (3) WP Badan Usaha Milik Negara dan WP Badan Usaha Milik Daerah; (4)
WP masuk bursa atau WP lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan
membuat laporan keuangan berkala; dan (5) WP orang pribadi pengusaha tertentu
(yaitu WP orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha sebagai peritel di bidang
perdagangan yang tempat mempunyai tempat usaha lebih dari satu, atau
mempunyai tempat usaha yang berbeda alamat dengan domisili).

Sebagai contoh, untuk WP Bank dan WP Sewa Guna Usaha dengan hak
opsi (WP lama), besarnya angsuran PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan penerapan
tariff PPh Pasal 17 atas laba fiscal laporan keuangan triwulan terakhir (yang
disetahunkan) kurangi dengan PPh Pasal 24 tahun pajak yang lalu, kemudian
dibagi dengan 12. Sedangkan untuk WP Bank dan WP Sewa Guna Usaha dengan
hak opsi (WP baru), besarnya angsuran PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan
perkiraan penghitungan laba triwulan I (yang disetahunkan), kemudian dibagi
dengan 12.

Contoh lainnya, untuk WP Badan Usaha Negara dan WP Usaha Milik


Daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, kecuali WP Bank dan WP Sewa
Guna Usaha dengan hak opsi, besarnya angsuran PPh Pasal 25 dihitung
berdasarkan penerapan tariff PPh Pasal17 atas laba fiscal menurut RKAP tahun
pajak bersangkutan (yang telah disahkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham)
dikurangi dengan PPh yang dipotong dan/atau dipungut oleh pihak lain (PPh Pasal
22 dan 23) serta PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat
dikreditkan (PPh Pasal 24), lalu dibagi dengan 12.

Dalam hal RKAP belum disahkan, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25
untuk bulan-bulan sebelum bulan pengesahan RKAP adalah sama dengan ansuran
PPh Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak sebelumnya. Akan tetapi, apabila terdapat
perubahan atas RKAP yang sudah disahkan oleh RUPS maka besarnya angsuran
PPh Pasal 25 dapat disesuaikan dengan perubahan RKAP tersebut.

6.4.5 PPh Kurang Bayar/Lebih Bayar

PPh terutang dihitung dengan mengalikan tariff PPh Pasal 17 terhadap


PnKP. Sebelum dikalikan dengan tariff PPh, jumlah PhKP terlebih dahulu
dibulatkan kebawah dalam ribuan rupiah penuh, sesuai dengan Pasal 17 ayat (4)
UU PPh Nomor 36 Tahun 2008.

PPh terutang = PhKP X TarifPPh

PhKP yang digunakan sebagai dasar dalam menghitung PPh terutang dihitung
dengan cara yang berbeda-beda tergantung pada jenis WP:

 Untuk WP Badan dan BUT, besarnya PhKP sama dengan besarnya


penghasilan neto.
 Untuk WP OP yang menyelenggarakan pembukuan, PhKPnya dihitung
sebesar selisih antara penghasilan neto dengan PTKP.
 Sedangkan untuk WP OP yang menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto, PhKPnya dihitung sebesar selisih antara jumlah peredaran
usaha (setelah dikalikan dengan % Norma Penghitungan Penghasilan Neto)
dengan PTJP.
PTKP hanya ada untuk WP OP. PTKP terbaru yang berlaku mulai tahun 2013
ditetapkan berdasarkan PMK-162/PMK.011/2012.Menurut peraturan tersebut,
besarnya PTKP adalah:
 Untuk WP sendiri sebesar Rp 24.300.000,-
 Untuk status kawin sebesar Rp 2.025.000,- maksimum3 orang tanggungan

Besarnya tariff PPh yang berlaku sesuai dengan Pasal 17 UU PPh Nomor 36
Tahun 2008 adalah sebagai berikut.
a. Tariff PPh Pasal 17 untuk WP OP dalam negeri, yaitu sebesar:

Lapisan PhKP Tarif Pajak

Sampai denganRp 50.000.000 5%


Di atas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp 15%
250.000.000 25%
Di atas Rp250.000.000 sampai dengan Rp 30%
500.000.000
Di atas Rp 500.000.000

b. Tariff PPh Pasal 17 untuk WP badan dalam negeri dan BUT adalah sebesar
28% untuk tahun 2009 dan menjadi 25% yang mulai berlaku sejak tahun pajak
2010.

c. untuk WP badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp.
50.000.000.000

mendapatkan fasilitas pengurangan tariff (tariff PPh pasal 31E) sebesar 50% dari
tariff PPh pasal 17 yang dikenal atas PhKP dari bagian bruto sampai dengan Rp
4.800.000.000 (sesuai dengan SE-66/PJ/2010). Yang dimaksud dengan peredaran
bruto disini adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha
sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan , menagih, dan memelihara
penghasilan, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,
meliputi penghasilan yang di kenakan PPh bersifat final, penghasilan yang
dikenakan PPh tidak bersifat final, dan penghasilan yang dikecualikan dari objek
pajak.
d. Tarif PPh pasal 17 untuk WP badan dalam negeri yang berbentuk PT
(Perseroan Terbatas) Tbk. (Terbuka), yang paling sedikit 40% dari jumlah
keseluruhan sahamnya yang disetor diperdagangkan pada bursa efek diindonesia
dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya) sesuai dengan PP No. 81 Tahun 2007
jo. PMK-238/PMK.03/2008 JO.SE-42/PJ/2009) dalam memperoleh tariff 5%
lebih rendah. Untuk tahun pajak 2009, dari 28% menjadi 23%, dan mulai tahun
pajak 2010 dar 25% menjadi 20%.

Apabila terdapat kerugian fiscal pada suatu tahun pajak, maka kerugian
tersebut dapat dikompensasi dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya
secara berturut-turut sampai dengan 5 tahun (sesuai dengan pasal 6 ayat(2) UU
PPh No 36 tahun 2008). Bagi perusahaan yang mengoperasikan cabang diluar
negeri tidak dapat mengkonsolidasikan kerugian yang diderita oleh cabang
tersebut.Kompensasi kerugian hanya berlaku bagi WP Badan dan WP Orang
Pribadi yang menyelenggarakan pembukuan.

Penghasilan neto menurut fiskal xxx

-/- kompensasi kerugian selama 5 tahun (xxx)

Penghasilan Kena Pajak xxx

Apabila terdapat kerugian fiskal pada suatu tahun pajak (untuk WP Badan)
maka besarnya penghasilan kena pajak (PhKP) ditahun berikutnya akan dihitung
dengan cara mengurangankan kerugian fiskal tahun lalu terhadap penghasilan neto
tahun oajak berjalan. Sedangkan untuk WP Orang pribadi yang
menyelenggarakan pembukuan, apabila terdapat kerugianfiskal pada suatu tahun
pajak maka besarnya penghasilan kena pajak (PhKP) ditahun berikutnya akan
dihitung dengan cara pengurangan kerugian fiskal tahun lalu dan PTKP terhadap
penghasilan neto tahun pajak berjalan. Setelah itu, PhKP akan dikalikan dengan
tariff PPh pasal 17 untuk mendapatkan besarnya PPh terutang.
PPh kurang bayar atau PPh lebih bayar dihitung dengan cara
membandingkan antara besarnya PPh terutang dengan jumlah kredit pajak. Kredit
pajak tahun berjalan teridiri atau:

 Kredit pajak dalam negeri


Untuk WP orang pribadi, kredit pajak dalam negeri nya terdiri atas PPh
yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain, yang meliputi PPh pasal 21,
22, dan 23, sedangkan untuk WP badan, kerdit dalam negeri nya terdiri
atas PPh pasal 22 dan 23. Untuk BUT, kredit pajak dalam negerinya
adalah berupa PPh pasal ayat (5).
 Kredit pajak luar negeri
Pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri, yaitu
PPh, pasal 24, dapat dikreditkan di Indonesia.Pengkreditan dilakukan pada
tahun pajak dimana digabungkannya penghasilan tersebut.Sedangkan
kerugian negeri tidak boleh digabungkan.
 PPh yang dibayar sendiri
Pembayaran pajak yang dilakukan oleh WP sendiri berupa ansuran PPh
Pasal 25 yang dibayar setiap bulan atau pun fiskal luar negeri.

Jika pada suatu tahun pajak, besarnya kredit pajak < PPh terutang maka
akan timbul PPh kurang bayar sebesar selisihnya. Hal ini akan dicatat oleh
perusahaan dengan membuat ayat jurnal sebagai berikut.

Nama Perkiraan Debit Kredit

PPh Badan- Pajak Kini xxx


PPh Pasal 22 Dibayar di Muka xxx
PPh Pasal 23 Dibayar di Muka xxx
PPh Pasal 24 Dibayar di Muka xxx
PPh Pasal 25 Dibayar di Muka xxx
Utang PPh Pasal 29 xxx
Sebaiknya, jika pada suatu tahun pajak, besarnya kredit pajak > PPh
terutang maka akan timbul PPh lebih bayar sebesar selisihnya. Hal ini
akan dicatat oleh perusahaan dengan membuat ayat jurnal sebagai berikut:

Nama Perkiraan Debit Kredit

PPh Badan- Pajak Kini xxx


PPh Pasal 28A Lebih Bayar xxx
xxx
PPh Pasal 22 Dibayar di Muka
xxx
PPh Pasal 23 Dibayar di Muka
xxx
PPh Pasal 24 Dibayar di Muka
xxx
PPh Pasal 25 Dibayar di Muka

Akun “PPh Badan” dalam jurnal merupakan akun untuk mencatat


besarnya beban pajak penghasilan – pajak kini, yaitu jumlah pajak yang
terutang atas PKP tahun berjalan, yang besarnya sama dengan beban pajak
yang dilaporkan dalam SPT. Akun “Utang PPh Pasal 29” menunjukkan
besarnya PPh kurang bayar, yang akan dilaporkan di neraca sebagai uatng
pajak pada kelompok kewajiban lancar. Sedangkan akun “PPh Pasal 28A”
menunjukkan besarnya PPh lebih bayar, yang akan dilaporkan di neraca
sebagai biaya dibayar di muka pada kelompok asset lancar.
PPh kurang bayar harus dilunasi selambat-lambatnya sebelum
penyapaian SPT Tahunan PPh, yaitu sebelum akhir sebelum akhir bulan
ke 4 setelah tahun pajak berakhir .pembayaran kekurangan PPh tersebut
dilakukan dengan mengisi formulir SSP (Surat Setoran Pajak) PPh Pasal
29. Sedangkan untuk PPh lebih bayar dapat direstitusi (dimintakan
kembali kelebihannya) atau dikompensasi ke tahun pajak berikutnya.

Ilustrasi Problem
1. PT. Cataflam memiliki penghasilan neto (laba yang sesuai dengan
ketentuan perpajakan) untuk tahun 2013 sebesar Rp500 juta. Tahun
lalu (tahun 2012), perusahaan mengalami kerugian usaha (menurut
fiskal ) sebesar Rp200 juta. Untuk tahun pajak 2013, perusahaan
memiliki kredit pajak berupa PPh Pasal 22 sebesar Rp10 juta, PPh
Pasal 23 sebesar Rp 8 juta, dan PPh Pasal 24 sebesar Rp22 juta.
Selamatahun 2013, besarnya angsuran PPh Pasal 25 adalah nihil
karena SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lalu (tahun 2012)
menyatakan rugi. Untuk tahun pajak 2013, perusahaan memperoleh
fasilitas tariff PPh Pasal 31E secara penuh.
Diminta:
1. Hitunglah besarnya PhKP!
2. Hitunglah besarnya PPh terutang!
3. Hitunglah besarnya kredit pajak!
4. Hitunglah besarnya PPh kurang bayar atau PPh lebih bayar!
5. Buatlah ayat jurnal yang diperlukan untuk memcatat besarnya beban
pajak penghasilan kini (PPh Badan) dan PPh kurang bayar atau PPh
lebih bayar!

Solusi

1. PhKP = Rp500 juta – Rp200 juta


= Rp300 juta
2. PPh terutang = 50% x 25% x Rp300 juta
= Rp37,5 juta
3. Kredit pajak = PPh Pasal 22 + PPh Pasal 23 + PPh Pasal 24 + PPh Pasal 25
= Rp10 juta + Rp 8 juta + Rp 22 juta + Rp 0
= Rp 40 juta
4. PPh lebih bayar = Rp 40 juta + Rp 37,5 Juta
= Rp 2,5 juta
5.
Nama Perkiraan Debit Kredit

PPh Badan- Pajak Kini 37.500.00


PPh Pasal 28A Lebih Bayar 2.500.000
10.000.000
PPh Pasal 22 Dibayar di Muka
8.000.000
PPh Pasal 23 Dibayar di Muka
22.000.000
PPh Pasal 24 Dibayar di Muka
0
PPh Pasal 25 Dibayar di Muka

2. PT. Cemerlang dalam tahun pajak 2013 memiliki peredaran bruto sebesar
Rp4,5 milyar dengan PhKP sebesar Rp 640 juta. Untuk tahun pajak 2013 ini,
karena jumlah peredaran bruto (Rp 4,5 milyar) lebih kecil dari Rp 50 milyar
dan juga lebih kecil dari Rp 4,8 milyar maka perusahaan akan memperoleh
fasitas tariff PPh Pasal 31E secara penuh.

Diminta: Hitunglah besarnya PPh terutang!

Solusi:

PPh terutang = 50% x 25% x Rp 640 juta

= Rp 80 juta

3. PT. Sukses dalam tahun pajak 2013 memiliki peredaran bruto sebesar
Rp 40 milyar dengan PhKP sebesar Rp 3,2 milyar. Untuk tahun pajak
2013 ini, karena jumlah peredaran bruto (Rp 40 milyar) masih lebih
kecil dari Rp 50 milyar namun lebih besar dari Rp. 4,8 milyar maka
perusahaan akan tetap memperoleh fasilitas tariff PPh Pasal 31E
namun hanya untuk bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8
milyar.

Diminta: Hitunglah besarnya PPh terutang!

Solusi:
 Jumlah PhKP dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas
adalah:
= (Rp 4,8 milyar : Rp 40 milyar) x Rp 3,2 milyar
= Rp 384 juta

PPh fasilitas sebesar = 50% x 25% x Rp 384 juta


= Rp 48 juta
 Jumlah PhKP dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas
adalah:
= Rp 3,2 milyar – Rp 348 juta
= Rp 2,816 milyar

PPh non fasilitas sebesar = 25% x Rp 2,816 milyar

= Rp 704 juta

 Jadi, besarnya PPh terutang = PPh fasilitas + PPh non fasilitas


= Rp48 juta + Rp704 juta
= Rp 752 juta
4. PT. Biru Laut dalam tahun pajak 2013 memiliki peredaran bruto
sebesar Rp 70 milyar dengan PhKP sebesar Rp 6 milyar. Untuk tahun
pajak 2013 ini, karena jumlah peredaran bruto (Rp 70 milyar) lebih
besar dari Rp 50 milyar maka perusahaan tidak dapat memperoleh
fasilitas tariff PPh Pasal 31E.

Diminta: Hitunglah besarnya PPh terutang!

Solusi:

PPh terutang = 25% x Rp 6 milyar

= Rp 1,5 milyar

6.4.6 PPN Maukan


Pengusaha yang melakukan: (a) penyerahan BKP di dalam daerah pabean;
dan/atau (b) penyerahan JKP di dalam daerah pabean; dan/atau (c) ekspor BKP
berwujud; dan/atau (d) ekspor JKP; dan/atau (e) ekspor BKP tidak berwujud
wajib melapor usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, dan untuk selanjutnya
wajib memungut, menyetor, serta melapor PPN dan PPnBM yang terutang.

Menurut Pasal 4 ayat (1) UU PPN dan PPnBM Nomor 42 Tahun 2009,
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:

1. Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha


2. Impor BKP
3. Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
4. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean
5. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
6. Ekspor BKP Berwujud oleh BKP
7. Ekspor BKP Tidak Berwujud oleh PKP
8. Ekspor JKP oleh PKP

BKP adalah barang berwujud yang menurut sifat asli atau hukumnya dapat
berapa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud
yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN dan PPnBM. Sedangkan JKP
adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau pembuatan
hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak
tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan
barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari
pemesan, yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN dan PPnBM.

Jenis barang yang tidak dikenakan PPN diatur dalam Pasal 4A ayat (2) UU
PPN dan PPnBM Nomor 42 Tahun 2009, yaitu meliputi:

a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung


dari sumbernya, seperti minyak mentah, gas bumi, pasir dan kerikil,
batubara sebelum diproses menjadi briket batubara, bijih besi, bijih timah,
bijih emas, biji tembaga, bijih nikel, bijih perak, dan barang hasil
petambangan serta hasil pengeboran lainnya yang diambil langsung dari
sumbernya.
b. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak,
seperti beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam (baik yang beryodium
maupun yang tidak beryodium), daging, telur, susu, buah-buahan, dan
sayur-sayuran;
c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan,
warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang
dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman
yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering; dan
d. Uang, emas batangan, dan surat berharga.

Sedangkan jenis jasa yang tidak dikenakan PPN diatur dalam Pasal 4A ayat (3)
UU PPN dan PPnBM Nomor 42 Tahun 2009, yaitu meliputi:

a. Jasa pelayanan kesehatan medis;


b. Jasa pelayanan sosial;
c. Jasa pengiriman surat dengan perangkas;
d. Jasa keuangan
e. Jasa asuransi
f. Jasa keagamaan
g. Jasa pendidikan;
h. Jasa kesenian dan hiburan;
i. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
j. Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam
negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan
udara luar negeri;
k. Jasa tenaga kerja
l. Jasa perhotelan;
m. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum;
n. Jasa penyediaan tempat parkir;
o. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
p. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
q. Jasa boga atau catering.

Tarif tunggal yang berlaku untuk PPn adalah sebesar 10% (sepuluh persen),
sedangkan tarif PPn untuk ekspor BKP adalah sebesar 0% (nol pesen).
Dengan PP, tariff pajak tersebut dapat diubah menjadi serendah-rendahnya 5%
(lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen) dengan tetap
memakai prinsip tariff tunggal.

PPN adalah pajak yang dikenakan atas komsumsi BKP atau JKP di dalam
daerah pabean (dalam negeri). Oleh karena itu, PPN dengan tariff 0% akan
dikenakan terhadap:

a. BKP berwujud yang diekspor;


b. BKP tidak berwujud dari dalam daerah pabean yang dimanfaatan diluar
daerah pabean;
c. JKP yang diekspor.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar barang


dan jasa yang kita beli (kecuali barang dan jasa sebagaiman yang dimaksud
dalam pasal 4A UU PPN dan PPnBM Nomor 42 Tahun 2009) merupakan
barang dan jasa kena pajak sehingga dikenakan PPN. PPN ini dibebankan
kepada pembeli sebesar 10% dari total nilai penjualan. Jadi, penjual akan
memungut pajak dari pembeli ketika penjualan terjadi. PPN yang dipungut ini
disebut pajak keluaran.Pemungutan PPN dengan membuat faktur pajak hanya
dipebolehkan bagi penjual yang telah dikukuhkan sebagai PKP. Dengan kata
lain, penjual yang belum dikukuhkan sebagai PKP tidak boleh melakukan
pemungutan PPN.

Sebaliknya, ketika PKP membeli barang atau jasa, PKP mungkin juga
dipungut PPN oleh supplier atau penyedia jasa.PPN yang dibayar ketika
membeli barang atau jasa ini disebut sebagai pajak masukan. Pajak masukan
ini dapat dikreditkan dengan pajak keluaran pada masa pajak yang sama atau
masa pajak berikutnya, dengan syarat bahwa pajak masukan tersebut
tercantum pada faktur dan pajak masukkan yang dibayar berkaitan langsung
dengan kegiatan usaha.

Usaha pajak masukan yang dikreditkan pada masa pajak berikutnya, batas
akhir pengkreditan adalah 3 bulan setelah masa pajak berakhir (sepanjang
belum dibebankan sabgai biaya ataupun tidak ditambahkan/dikapitalisasi
kedalam harga perolehan BKP atau JKP, dan belum dilakukan
pemeriksaan).Pengkreditan pajak masukan pada masa pajak berikutnya ini
mungkin terjadi karena adanya keterlambatan dalam hal penerimaan faktur
pajak.

Seluruh pajak masukan dan pajak keluaran selama satu bulan haruslah
dilaporkan dalam SPT Masa PPN (termasukkan juga jika besarnya pajak
masukansama dengan pajak keluaran). Dengan kata lain, penyampaian SPT
Masa PPN wajib dilakukan oleh PKP, baik kondisi kurang bayar, lebih bayar,
atau pun nihil. Dalam satu bulan, jika total jumlah pajak keluaran lebih besar
dibanding dengan total jumlah pajak masukan, maka PKP harus menyetor
selisihnya tersebut (kurang bayar) ke kas Negara (melalui bank persepsi atau
kantor pos) dengan menggunakan SSP paling lambat akhir bulan berikutnya
setelah berakhirnya masa pajak dan sebelum SPT Masa PPN disampaikan.
Sedangkan pelaporannya disampaikan paling lambat akhir bulan berikutnya
setelah berakhirnya masa pajak.

Sebaliknya, jika total jumlah pajak keluaran lebih kecil dibandingkan


dengan total jumlah pajak masukan, maka akan terjadi lebih bayar. Dalam hal
ini, PKP bisa memperhitung kelebihan bayar tersebut pada masa pajak
berikutnya (yang dikenal dengan sebutan kompensasi) sesuai dengan Pasal 9
ayat (4) UU PPN dan PPnBM Nomor 42 Tahun 2009, atau bias juga
mengajukan permohonan pengembalian kelebihan bayar tersebut pada bulan
terakhir dari tahun pajak bersangkutan (yang dikenal dengan sebutan restitusi)
sesuai dengan pasal 9 ayat (4a) UU PPN dan PPnBM Nomor 42 Tahun 2009.

Untuk mengilustrasikan kompensasi kelebihan bayar pada masa pajak


berikutnya, misalkan bahwa:

Masa pajak Agustus 2013

Pajak keluaran = Rp 4 juta

Pajak Masukan yang dapat dikreditkan = Rp 9 juta (-)

Pajak lebih bayar = Rp 5 juta

Masa Pajak September 2013

Pajak Keluaran = Rp 6 juta

Pajak Masukan yang dapat dikreditkan = Rp 4 juta(-)

Pajak kurang bayar = Rp 2 juta

Kompensasi pajak lebih bayar dari masa sebelumnya = Rp 5 juta (-)


Pajak lebih bayar = Rp 3 juta

Pajak lebih bayar sebesar Rp 3 juta tersebut untuk selanjutnya dapat dikompensasi
ke masa pajak berikutnya (masa pajak Oktober 2013).

Pajak akhir masa pajak, setiap PKP diwajibkan untuk melaporkan pemungutan
dan pembayaran pajak yang terutang kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
(Kepala KPP) setempat paling lambat akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya
masa pajak.

Untuk WP yang belum dikukuhkan sebagai PKP, PPN (pajak masukan)


atas pembelian barang akan tetap dikenakan namun tidak dapat dikreditkan,
sehingga pajak masukannya tidak dibukukan sebagai PPN masukan melainkan
dibukukan sebagai bagian dari harga perolehan atas barang yang dibeli.

Ayat jurnal yang perlu dibuat oleh pedagang (PKP) pada saat melakukan
transaksi pembelian barang dagang sari supplier secara tunai adalah;

Pembelian xxx

PPN Masukan xxx

Kas xxx

(jika persediaan barang dagang dicatat dengan sistem periodik)

Atau

Persediaan Barang Dagang xxx

PPN Masukan xxx

Kas xxx

(jika persediaan barang dagang dicatat dengan sistem perpetual)

Ayat jurnal yang perlu dibuat oleh pedagang (bukan PKP) pada saat
melakukan transaksi pembelian barang dagang dri supplier secara tunai adalah:

Pembelian xxx

Kas xxx

(jika persediaan barang dagang dicatat dengan system periodik)

Atau

Persediaan Barang Dagang xxx

Kas xxx
(jika persediaan barang dagang dicatat dengan system perpetual)

Ayat jurnal yang perlu dibuat oleh penjual (PKP) pada saat melakukan
transaksi penjualan barang dagang secara kredit, yaitu:

Piutang usaha xxx

PPN Keluaran xxx

Penjualan xxx

(jika persediaan barang dagang dicatat dengan system periodik)

Atau

Piutang Uaha xxx

PPN Keluaran xxx

Penjualan xxx

Harga Pokok Penjualan xxx

Persediaan Barang Dagang xxx

(jika persediaan barang dagang dicatat dengan sistem perpetual)

Ayat jurnal yang perlu dibuat oleh penjual (bukan PKP) pada saat
melakukan transaksi penjualan barang dagang secara kredit, yaitu:

Piutang usaha xxx

Penjualan xxx

Harga Pokok Penjualan xxx

Persediaan Barang Dagang xxx

(jika persediaan barang dagang dicatat dengan sistem perpetual)


Ayat jurnal yang perlu dibuat oleh penjual (PKP) pada saat menerima
kembali barang dagang yang telah dijualnya secara kredit, yaitu:

Retur Penjualan xxx

PPN Keluaran xxx

Piutang Usaha xxx

(jika persediaan barang dagang dicatat dengan sistem periodik)

Atau

Retur penjualan xxx

PPN Keluaran xxx

Piutang Usaha xxx

Persediaan Barang Dagang xxx

Harga Pokok Penjualan xxx

(jika persediaan barang dagang dicatat dengan sistem perpetual)

Ayat jurnal yang perlu dibuat oleh penjual (bukan PKP) pada saat
menerima kembali barang dagang yang telah dijualnya secara kredit, yaitu:

Return penjualan xxx

Piutang Usaha xxx

(jika persediaan barang dagang dicatat dengan sistem periodik)

Atau

Retur Penjualan xxx

Piutang Usaha xxx

Persediaan Barang Dagang xxx


Harga Pokok Penjualan xxx

(jika persediaan barang dagang dicatat dengan sistem perpetual)

Ayat jurnal yang akan dibuat oleh penjual (PKP atau pun bukan PKP)
pada saat menerima pembayaran utang dari pelanggan yang memanfaatkan
potongan tunai (masih dalam periode potongan) adalah:

Kas xxx

Potongan Penjualan xxx

Piutang Usaha xxx

Ayat jurnal yang akan dibuat oleh penjual (PKP atau pun bukan PKP)
pada saat menerima pembayaran utang dari pelanggan yang tidak memanfaatkan
potongan tunai (diluar periode potongan, namun masih dalam periode kredit)
adalah:

Kas xxx

Piutang Usaha xxx

Sesuai dengan credit method, pajak masukan pada dasarnya dapat dikreditkan
dengan pajak keluaran. Akan tetapi, untuk pengeluaran-pengeluaran berikut ini,
pajak masukan tidak dapat dikreditkan, yaitu:

a) Perolehan PKP;
b) Perolehan BKP atau JKP yang tidak terkait langsung dengan kegiatan
usaha;
c) Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor jenis sedan dan station
wagon,kecuali apabila BKP tersebut merupakan barang dagangan atau
disewakan;
d) Pemanafaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah
pabean yang terjadi sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP;
e) Perolehan BKP atau JKP yang faktur pajaknya tidak memenuhi
persyaratan formal maupun materiil sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (5) UU PPN dan PPnBM Nomor 42 Tahun 2009, yaitu tidak
mencantumkan:
 Nama, alamat, dan NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP;
 Nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP;
 Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Harga Pengganti, dan
potongan harga;
 PPN yang dipungut;
 Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
 Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
f) Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah
pabean yang SPP nya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN dan PPnBM Nomor 42 Tahun
2009;
g) Perolehan BKP atau JKP yang pajak masukannya ditagih memalui
penertiban ketetapan pajak;
h) Perolehan BKP atau JKP yang pajak masukannya tidak dilaporkan dalam
SPT Masa PPN, uang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan;
i) Perolehan BKP atau JKP yang penyerahannya dibebaskan dari pengenaan
PPN sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 16B ayat (3) UU PPN dan
PPnBM Nomor 42 Tahun 2009;
j) Pajak masukan yang berkaitan dengan BKP atau JKP yang penyerahannya
dilakukan melalui mekanisme pemakaian sendiri yang bersifat konsumtif;
k) Pajak masukan yang berkaitan dengan penyerahan;
 Kendaraan bermotor bekas;
 Jasa yang dilakukan oleh pengusaha biro perjalanan dan pariwisata;
 Jasa pengiriman paket; dan
 Jasa anjak piutang

Anda mungkin juga menyukai