Anda di halaman 1dari 20

JURNAL PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI III

(NEUROLOGI DAN PSIKIATRI)


PRAKTIKUM I STROKE

KELOMPOK 1
KELAS A2C

Gede Agus Erawan


Nim. 171200198

Tanggal Praktikum : Rabu, 19 Maret 20202


Dosen Pengampu : Ida Ayu Manik Partha Sutema,S.Farm., M.Farm.,Apt

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
2020

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................2
I. TUJUAN PRAKTIKUM...........................................................................3
II. DASAR TEORI..........................................................................................3
1. DEFINISI STROKE....................................................................................3
2. ETIOLOGI STROKE..................................................................................5
3. FAKTOR RESIKO......................................................................................6
4. PATOFISIOLOGI.....................................................................................11
5. PENATAKLAKSANAAN TERAPI.........................................................13
III. STUDI KASUS.........................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................19

2
PRAKTIKUM I
STROKE

I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi stroke
2. Mengetahui klasifikasi stroke
3. Mengetahui patofisiologi stroke
4. Dapat menyelesaikan kasus terkait stroke secara mandiri dengan menggunakan
metode SOAP

II. DASAR TEORI


1. Definisi Stroke
Stroke adalah suatu serangan pada otak akibat gangguan pembuluh darah
dalam mensuplai darah yang membawa oksigen dan glukosa untuk metabolisme sel-
sel otak agar dapat tetap melaksanakan fungsinya. Serangan ini bersifat mendadak
dan menimbulkan gejala sesuai dengan bagian otak yang tidak mendapat suplai
darah (Soeharto I, 2004). Stroke adalah penyakit gangguan fungsional otak fokal
maupun general secara akut, lebih dari 24 jam kecuali pada intervensi bedah atau
meninggal, berasal dari gangguan sirkulasi serebral.
WHO mendefinisikan bahwa stroke adalah gejala-gejala defisit fungsi
susunan saraf yang diakibatkan oleh penyakit pembuluh darah otak. Stroke adalah
tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal atau
global, dengan gejala - gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih atau
menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler.
Stroke umumnya menyerang pria/wanita diatas 60 tahun, namun dapat pula
menyerang pada penderita dengan usia lebih muda (Dewi Puspita Apsari dkk,
2018).

3
Gejala klinik stroke yang dapat dikeluhkan diantaranya:
a. Kelemahan atau perasaan berat pada salah satu sisi tubuh
b. Mati rasa, baal, kesemutan atau sensasi tidak normal biasanya pada salah satu sisi
tubuh.
c. Gangguan berbicara dan berbahasa dapat berupa bicara rero, bicara sengau,
bicara tidak dimengerti atau tidak mengerti pembicaraan.
d. Gangguan penglihatan berupa kebutaan sebelah lapang pandang, penglihatan
gelap sesaat atau penglihatan ganda.
e. Perasaan pusing atau berputar yang menetap pada saat istirahat.
f. Kehilangan keseimbangan atau kehilangan koordinasi salah satu sisi tubuh.
g. Penurunan kesadaran
Stroke merupakan salah satu penyakit yang paling menakutkan karena dapat
berakibat fatal baik kematian atau disabilitas jangka panjang. Berdasarkan data
World Health Association (WHO, 2013), stroke menduduki urutan kedua penyebab
kematian di dunia setelah penyakit jantung iskemik. Terdapat sekitar 15 juta orang
menderita stroke setiap tahun. Diantaranya ditemukan jumlah kematian sebanyak 5
juta orang dan 5 juta orang lainnya mengalami kecacatan yang permanen.

4
2. Etiologi Stroke
Menurut (Mansjoer, 2000) etiologi dari stroke, yaitu:

1. Infark otak (80%)


 Emboli
a. Emboli kardiogenik
- Fibrilasi atrium atau aritmia lain
- Trombus mural ventrikel kiri
- Penyakit katup mitral atau aorta
- Endokarditis (infeksi atau non infeksi)
b. Emboli paradoksal (foramen ovale paten)
c. Emboli arkus aorta
 Aterotrombotik (penyakit pembuluh darah sedang-besar)
a. Penyakit ekstrakranial
- Arteri karotis interna
- Arteri vertebralis
b. Penyakit intracranial
- Arteri karotis interna
- Arteri serebri media
- Arteri basilaris
- Lakuner (oklusi arteri perforans kecil)
2. Perdarahan intraserebral (15%)
- Hipertensif
- Malformasi arteri-vena
- Angipati amiloid
3. Perdarahan subaraknoid (5%)
4. Penyebab lain (dapat menimbulkan infark atau perdarahan)
- Trombosis sinus dura
- Diseksi arteri karotis atau vertebralis
- Vaskulitis system saraf pusat

5
- Penyakit moya-moya (oklusi arteri besar intracranial yang progresif)
- Migren
- Kondisi hiperkoagulasi
- Penyalahgunaan obat (kokain atau amfetamin)
- Kelainan hematologis (anemia sel sabit, polisitemia atau leukemia)
- Miksoma atrium

3. Faktor Resiko
Menurut (Mansjoer, 2000) faktor resiko stroke, yaitu:

a) Yang tidak dapat diubah: usia, jenis kelamin pria, ras, riwayat keluarga,
riwayat TIA atau strok, penyakit jantung koroner, fibrilasi atrium dan
heterozigot atau homozigot untuk homosistinuria.
b) Yang dapat diubah: hipertensi, diabetes mellitus, merokok, penyalahgunaan
alcohol dan obat, kontrasepsi oral, hematokrit meningkat, bruit karotis
asimtomatis, hiperurisemia dan dislipidemia.
Faktor resiko stroke juga dapat dibagi menjadi 4 kelompok yaitu faktor
resiko yang tidak dapat dimodifikasi, faktor resiko yang dapat dimodifikasi, faktor
perilaku (primordial) dan factor sosial dan ekonomi (Depkes, 2007).

6
a. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi
- Umur
Umur merupakan faktor resiko stroke, dimana semakin meningkatnya
umur seseorang maka resiko untuk terkena stroke juga semakin
meningkat.Menurut hasil penelitian pada Framingham Study menunjukkan
resiko stroke meningkat sebesar 20%, 32%, 83% pada kelompok umur 45-
55, 55-64, 65-74 tahun (Wahjoepramono, 2005).

- Jenis Kelamin
Kejadian stroke diamati lebih sering terjadi pada laki-laki
dibandingkan pada wanita. Akan tetapi, karena usia harapan hidup
wanita lebih tinggi daripada laki-laki, maka tidak jarang pada studi-studi
tentang stroke didapatkan pasien lebih banyak wanita. Menurut SKRT
1995, prevalensi penyakit stroke laki-laki sebesar 0,2% dan pada
perempuan sebesar 0,1%.
- Riwayat Hidup Keluarga
Riwayat pada keluarha yang pernah mengalami serangan stroke
atau penyakit yang berhubungan dengan kejadian stroke dapat menjadi
factor resiko untuk terserang stroke juga. Hal ini disebabkan oleh
banyak factor, diantaranya factor genetic, pengaruh budaya dan gaya
hidup dalam keluarga, interaksi antara genetic dan pengaruh lingkungan
(Wahjoepramono, 2005).
- Ras
Orang kulit hitam, hispanik Amerika, Cina dan Jepang memiliki
insiden stroke yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih
(Wahjoepramono, 2005). Di Indonesia, suku Batak dan Padang lebih
rentan terserang stroke dibandingkan dengan suku Jawa.Hal ini

7
disebabkan oleh pola dan jenis makanan yang lebih banyak
mengandung kolesterol (Depkes, 2007).
b. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi
- Tekanan Darah
Tekanan darah tinggi (hipertensi) merupakan factor resiko utama
baik pada stroke iskemik maupun stroke hemoragik. Hal ini disebabkan
oleh hipertensi memicu proses aterosklerosisi oleh karena tekanan yang
tinggi dapat mendorong Low Density Lipoprotein (LDL) kolesterol
untuk lebih mudah masuk ke dalam lapisan intima humen pembuluh
darah dan menurunkan elastisitas dari pembuluh darah tersebut
(Lumongga, 2007).
- Kadar Gula Darah
Kadar gula darah yang normal adalah di bawah 200 mg/dl. Jika
kadar gula darah melebihi dari itu disebut hipergilkemia, maka orang
tersebut dicurigai memiliki penyakit diabetes mellitus. Kadar gula darah
dapat dengan cepat berubah-ubah, tergantung pada makan yang kita
makan dan seberapa banyak makanan itu mengandung pemanis sintetis.
Kadar gula darah yang tadinya normal cenderung meningkat setelah
usia 50 tahun secara perlahan tetapi pasti, terutama pada orang-orang
yang tidak aktif (Depkes, 2008). Keadaan hiperglikemi atau kadar gula
dalam darah yang tinggi dan berlangsung kronis memberikan dampak
yang tidak baik pada jaringan tubuh, salah satunya adalah dapat
mempercepat terjadinya aterosklerosis baik pada pembuluh darah kecil
maupun besar termasuk pembuluh darah yang mensuplai darah ke otak
(Hull, 1993).
- Kadar Kolesterol Darah
Pemeriksaan kadar kolesterol darah sangat penting untuk dilakukan,
larena tingginya kadar kolesterol dalam darah merupakan factor resiko
untuk terjadinya stroke. Hal ini disebabkan oleh kolesterol darah yang

8
ikut berperan dalam penumpukan lemak di dalam lumen pembuluh
darah yang dapat mengakibatkan terjadinya aterosklerosis (Hull, 1993).
- Obesitas
Obesitas merupakan faktor presdiposisi penyakit kardiovaskuler
dan stroke (Wahjoepramono, 2005). Hal ini disebabkan oleh keadaan
obesitas berhubungan dengan tingginya tekanan darah dan kadar gula
darah (Pearson, 1994). Jika seseorang memiliki berat badan yang
berlebih, maka jantung bekerja lebih keras untuk memompa darah ke
seluruh tubuh sehingga dapat meningkatkan tekanan darah (Patel,
1995). Obesitas juga dapat mempercepat terjadinya proses
aterosklerosis pada remaja dan dewasa muda (Madiyono, 2003). Oleh
karena itu, penurunan berat badan dapat mengurangi resiko terserang
stroke (Pearson, 1994).
c. Faktor Resiko Perilaku
- Merokok
Orang yang memiliki kebiasaan merokok cenderung lebih beresiko
untuk terkena penyakit jantung dan stroke dibandingkan orang yang
tidak merokok (Stroke Association, 2010). Hal ini disebabkan oleh zat-
zat kimia beracun dalam rokok, seperti nikotin dan karbon monoksida
yang dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri,
meningkatkan tekanan darah dan menyebabkan kerusakan pada system
kardiovaskuler melalui berbagai macam mekanisme tubuh. Rokok juga
berhubungan dengan meningkatnya kadar fibrinogen, agregasi
trombosit, menurunnya HDL dan meningkatnya hematokrit yang dapat
mempercepat proses aterosklerosisi yang menjadi factor resiko untuk
terkena stroke. Karbon monoksida dari rokok juga dapat mengurangi
jumlah oksigen yang dibawa oleh darah, sehingga menyebabkan
ketidakseimbangan antara oksigen yang dibutuhkan dengan oksigen
yang dibawa oleh darah (Stroke Association, 2010).
- Konsumsi Alkohol

9
Alkohol dapat meningkatkan resiko terserang stroke jika diminum
dalam jumlah yang banyak, sedangkan dalam jumlah yang sedikit dapat
mengurangi resiko stroke (Pearson, 1994). Akan tetapi, kebiasaan
mengkonsumi alcohol dalam jumlah banyak dapat menjadi salah satu
pemicu untuk terjadinya penyakit stroke. Dalam sebuah pengamatan,
diperoleh data bahwa konsumsi 3 gelas alcohol per hari akan
meningkatkan stroke hemoragik yaitu perdarahan intraserebral hingga 7
kali lipat (Wahjoepramono, 2005).
- Stress
Dalam hubungannya dengan kejadian stroke, keadaan stress dapat
memproduksi hormone kortisol dan adrenalin yang berkontribusi pada
proses aterosklerosisi. Hal ini disebabkan oleh kedua hormone tadi
meningkatkan jumlah trombosit dan produksi kolesterol.Kortisol dan
adrenalin juga dapat merusak sel yang melapisi arteri, sehingga lebih
mudah bagi jaringan lemak untuk tertimbun di dalam dinding arteri
(Patel, 1995).
d. Faktor sosial dan ekonomi
Orang dengan status sosial dan ekonomi rendah lebih beresiko untuk
terkena stroke dan penyakit serebrovaskuler lainnya dibandingkan dengan
mereka yang memiliki status social dan ekonomi yang lebih tinggi (Engstrom,
2005).
- Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu upaya menambah informasi dan
pengetahuan seseorang, yang diharapkan kedepannya akan mengubah
perilaku kesehatan menjadi lebih baik. Oleh karena itu, pendidikan
merupakan salah satu factor social dan ekonomi yang secara tidak
langsung ikut berperan dalam kejadian stroke.
- Pekerjaan
Pekerjaan merupakan salah satu factor resiko untuk terjadinya
stroke.Hal ini mungkin disebabkan oleh hubungan antara pekerjaan

10
dengan tingkat stress seseorang, dimana keadaan stress tersebut dapat
meningkatkan resiko terkena serangan stroke. Pekerja kasar atau pekerja
level bawah memiliki resiko 50% lebih tinggi untuk mendapatkan
serangan stroke (Engstrom, 2005).
- Status pernikahan
Laki-laki dan perempuan yang tidak menikah ataupun mengalami perceraian
memiliki resiko lebih besar untuk terkena serangan stroke dibandingkan laki-laki dan
wanita yang memilki istri atau suami (Engstrom, 2005). Hal ini mungkin disebabkan
oleh seseorang yang single memiliki kebiasaan atau gaya hidup yang lebih buruk
seperti merokok, konsumsi alkohol, perilaku makan yang buruk dan tingkat stress
yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang telah menikah atau memiliki
pasangan hidup.

4. Patofisiologi Stroke
a. Stroke iskemik
Dalam kondisi normal, aliran darah otak orang dewasa adalah 50-60
ml/100gram/otak/menit. Berat otak normal rata-rata orang dewasa adalah 1300-
1400gram (±2% dari berat badan orang dewasa). Sehingga dapat disimpulkan
jumlah aliran darah otak orang dewasa adalah ±800ml/menit atau 20% dari seluruh
curah jantung harus beredar ke otak setiap menitnya. Pada keadaan demikian,
kecepatan otak untuk memetabolisme oksigen ±3,5ml/100gram/otak/menit. Bila
aliran darah otak turun menjadi 20-25ml/100gram/otak/menit akan terjadi
kompensasi berupa peningkatan ekstraksi oksigen ke jaringan otak sehingga fungsi-
fungsi sel saraf dapat dipertahankan.
Proses patofisiologi stroke iskemik selain kompleks dan melibatkan
patofisiologi permeabilitas sawar darah otak (terutama di daerah yang mengalami
trauma, kegagalan energi, hilangnya homeostasis ion sel, asidosis, peningkatan
kalsium intraseluler, eksitotoksisitas dan toksisitas radikal bebas), juga
menyebabkan kerusakan neuronal yang mengakibatkan akumulasi glutamat di ruang
ekstraseluler, sehingga kadar kalsium intraseluler akan meningkat melalui transpor

11
glutamat, dan akan menyebabkan ketidakseimbangan ion natrium yang menembus
membran. Glutamat merupakan eksitator utama asam amino di otak, bekerja melalui
aktivasi reseptor ionotropiknya. Reseptor-reseptor tersebut dapat dibedakan melalui
sifat farmakologi dan elektrofisiologinya: α-amino-3-hidroksi-5-metil-4-isosaksol
propionic acid (AMPA), asam kainat, dan N-metil-D-aspartat (NMDA). Aktivasi
reseptor-reseptor tersebut akan menyebabkan terjadinya eksitasi neuronal dan
depolarisasi. G lutamat yang menstimulasi reseptor NMDA akan mengaktifkan
Nitric Oxide Syntase (NOS). Sedangkan glutamat yang mengaktifkan reseptor
AMPA akan memproduksi superoksida.
Secara umum patofisiologi stroke iskemik meliputi dua proses yang terkait, yaitu:
1. Perubahan fisiologi pada aliran darah otak.
2. Perubahan kimiawi yang terjadi pada sel otak akibat iskemik
(Dewi Puspita Apsari dkk, 2018).
b. Stroke Hemoragik
Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan
perdarahan subarachnoid. Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya
mikroaneurisma (Berry aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering
terjadi di daerah subkortikal, serebelum, dan batang otak. Hipertensi kronik
menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter 100-400 µm mengalami perubahan
patologi pada dinding pembuluh darah tersebut berupa lipohialinosis, nekrosis
fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Pada kebanyakan pasien,
peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba menyebabkan rupturnya penetrating arteri
yang kecil. Keluarnya darah dari pembuluh darah kecil membuat efek penekanan
pada arteriole dan pembuluh kapiler yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah
juga. Hal ini mengakibatkan volume perdarahan semakin besar. Elemen-elemen
vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan
perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang terkena darah dan sekitarnya
lebih tertekan lagi. Gejala neurologik timbul karena ekstravasasi darah ke jaringan
otak yang menyebabkan nekrosis. Perdarahan subarachnoid (PSA) terjadi akibat
pembuluh darah disekitar permukaan otak pecah, sehingga terjadi ekstravasasi darah

12
ke ruang subarachnoid. Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan oleh
rupturnya aneurisma sakular atau perdarahan dari arteriovenous malformation
(AVM) (Dewi Puspita Apsari dkk, 2018).

5. Penatalaksanaan Terapi
Tujuan utama tatalaksana stroke:
a. Mengurangi kerusakan sistem saraf yang sedang berlangsung dan menurunkan
kematian serta cacat jangka panjang akibat kejadian stroke.  
b. Mencegah komplikasi sekunder dan disfungsi sistem saraf pusat.
c. Mencegah berulangnya stroke (Dipiro, 2009).
Manajemen stroke yang rasional didasarkan pada pengetahuan jenis patologi
stroke. Diagnosa  jenis patologi stroke dapat ditegakkan secara tepat dan aman
menggunakan CT Scan kepala. Strategi terapi dalam pengobatan stroke didasarkan
pada tipe stroke dan waktu terapi. Tipe stroke yang dialami pasien adalah tipe
iskemik atau hemoragik. Pada stroke hemoragik, terapinya tergantung pada latar
belakang setiap kasus hemoragiknya. Sedangkan pada fase akut stroke iskemik,
terapinya dilakukan dengan merestorasi aliran darah otak dengan menghilangkan
sumbatan (clots), dan menghentikan kerusakan selular yang berkaitan dengan
iskemik/hipoksia. Waktu terapi yaitu terapi pada fase akut dan terapi pencegahan
sekunder (rehabilitasi). Pada fase akut, therapeutic window berkisar antara 12-24
jam dengan  golden  period berkisar antara 3-6 jam, jika dalam rentang waktu
tersebut dapat dilakukan tindakan yang cepat dan tepat, kemungkinan daerah di
sekitar otak yang mengalami iskemik masih dapat disebuhkan. Pada fase
rehabilitasi, penggunaan obat dalam terapi umumnya life-time (konsumsi seumur
hidup) (Dipiro, 2009).

13
A. Stroke Iskemik
- Farmakologi :
Secara umum, hanya dua terapi obat yang direkomendasikan yaitu t-
PA (Ateplase) dalam waktu 3 jam onset dan aspirin dalam waktu 48 jam
setelah onset. Reperfusi dini (<3 jam dari permulaan) dengan t-PA
intravena telah terbukti mengurangi cacat akhir yang disebabkan oleh
iskemik stroke. Perhatian harus dilakukan saat menggunakan terapi ini,
dan kepatuhan pada protokol yang ketat sangat penting untuk mencapai
hasil yang positif. Yang penting dari protokol perawatan dapat diringkas
yaitu (1) aktivasi tim stroke, (2) timbulnya gejala dalam waktu 3 jam, (3)
CT scan untuk mengetahui perdarahan, (4) sesuai dengan kriteria inklusi
dan eksklusi, (5) mengelola tPA 0,9 mg/kg lebih dari 1 jam, dengan 10%
diberikan sebagai bolus awal lebih dari 1 menit, (6) menghindari terapi
antitrombotik(antikoagulan atau antiplatelet) untuk 24 jam, dan (7) monitor
pasien ketat untuk respon hemoragik dan kecacatan.
Terapi awal aspirin juga telah terbukti mengurangi kematian dan
kecacatan, tetapi tidak boleh diberikan dalam waktu 24 jam administrasi t-
PA karena dapat meningkatkan risiko pendarahan pada pasien.
Farmakoterapi lainnya direkomendasikan untuk pencegahan sekunder
stroke termasuk penurunan tekanan darah dan terapi statin (Dipiro, 2009).

14
Pasien dengan peningkatan tekanan darah harus tetap tidak diobati
kecuali tekanan darahnya melebihi 220/120 mmHg, atau terbukti
mengalami diseksi aorta, infark miokard akut (AMI), edema paru, atau
hipertensi encephalopathy. Jika dilakukan terapi terhadap tekanan darah,
agen parenteral short acting seperti labetalol, nicardipine, dan nitroprusid
lebih disukai. Berikut merupakan pedoman dalam penanganan tekanan
darah pada pasien stroke iskemik (Dipiro, 2009).
- Non-Farmakologi
Endarterectomy Carotid (CEA)
Manfaat endarterektomi karotis (CEA) untuk pencegahan stroke
berulang telah dipelajari dalam uji klinis utama termasuk meta-analisis dan
sistematis meninjau menggabungkan uji klinis untuk mengevaluasi 6092
pasien. CEA dianjurkan untuk mencegah stroke ipsilateral pada pasien
dengan stenosis arteri karotis simetris sebesar 70% atau lebih besar saat
risiko bedah kurang dari 6%. Pada pasien dengan gejala stenosis 50%
hingga 69%, pengurangan risiko sedang terlihat dalam uji klinis. CEA
dianjurkan ketika risiko anestesi rendah berdasarkan faktor pasien termasuk
usia, jenis kelamin, dan komorbiditas, dan risiko bedah kurang dari 6%.
CEA tidak bermanfaat untuk stenosis karotis simtomatik kurang dari 50%
dan tidak seharusnya dipertimbangkan pada pasien ini. Pasien dengan

15
karotid asimptomatik stenosis arteri sebesar 70% atau lebih mungkin
mendapat manfaat dari CEA jika pembedahan tingkat komplikasi untuk
stroke, MI, dan kematian adalah rendah (Dipiro, 2016).
Carotid angioplasty
Angioplasti karotis dengan pemasangan stent berevolusi sebagai
prosedur yang kurang invasif dengan waktu pemulihan yang lebih singkat
untuk pasien yang tepat. Beberapa uji coba telah membandingkan karotis
angioplasty dengan stenting pada CEA pada pasien. Angioplasti karotis
dengan stenting merupakan alternatif untuk CEA pada bedah berisiko
tinggi dengan stenosis lebih dari 50% oleh angiografi dan stenosis lebih
dari 70% dengan pencitraan noninvasif ketika dilakukan oleh dokter
terampil. Usia adalah hal yang penting ketika memutuskan antara
angioplasti karotis dengan stenting dan CEA. Pasien > 70 tahun mungkin
telah membaik dengan CEA dibandingkan dengan angioplasti karotis
dengan stenting. Pada pasien <70 tahun, CEA dan angioplasti karotis
dengan stenting memiliki risiko yang sama untuk stroke, MI, dan Kematian
dan juga tingkat yang sama untuk stroke ipsilateral (Dipiro, 2016).
Rehabilitasi Medik
Rehabilitasi medik pada penderita stroke merupakan tindakan untuk
memperbaiki fungsi kognitif, motorik, wicara, dan fungsi lainnya yang
terganggu, serta adaptasi kembali sosial dan mental untuk memulihkan
hubungan interpersonal dan aktivitas sosial, dan melatih penderita agar
dapat melakukan aktivitas kehidupan sehari-harinya (Sundah, dkk., 2014).
B. Stroke haemoragik
- Farmakologi
Stroke hemoragik akut dianggap sebagai keadaan darurat medis
karena perdarahan intracerebral (ICH), subarachnoid hemorrhage (SAH),
atau hematoma subdural. Awalnya, pasien mengalami stroke hemoragik
harus dibawa ke unit perawatan neurointensif. Tidak ada pengobatan yang
terbukti untuk ICH. Manajemen didasarkan pada perawatan perawatan

16
neurointensive dan pencegahan komplikasi. Perawatan harus disediakan
untuk mengelola kebutuhan pasien yang sakit kritis termasuk manajemen
peningkatan ICP, kejang, infeksi, dan pencegahan perdarahan ulang dan
tertunda iskemia serebral. Pada pasien dengan kondisi depresi
kesadaranyang parah, intubasi endotrakeal cepat dan ventilasi mekanis
mungkin diperlukan. Tekanan darah sering meningkat setelah stroke
hemoragik; manajemen yang tepat adalah penting untuk mencegah
perdarahan ulang dan perluasan hematoma. Dua percobaan pada pasien
ICH telah selesai dievaluasi dini secara intensif pada manajemen tekanan
darah. Pedoman perawatan telah diperbarui untuk menunjukkan bahwa
pada pasien dengan TD sistolik antara 150 dan 220 mmHg, menurunkan
tekanan darah sistolik hingga 140 mmHg adalah hal yang wajar. Tekanan
darah dapat dikontrol dengan labetalol IV bolus 10 hingga 80 mg setiap 10
menit hingga dosis maksimum 300mg atau dengan infus IV labetalol (0,5-2
mg / menit) atau nicardipine (5–15 mg / jam). Profilaksis trombosis vena
dalam dengan intermittent stoking kompresi harus dilaksanakan lebih awal
setelah masuk. Pada pasien-pasien dengan SAH, begitu aneurisma terjadi
pengobatan dengan heparin dapat dilakukan. Pada pasien ICH dengan
kekurangan mobilitas setelah 1 hingga 4 hari, heparin atau LMWH dapat
dimulai (Dipiro, 2016).
- Non-Farmakologi
Pasien dengan stroke hemoragik dievaluasi untuk perawatan bedah
dari SAH dan ICH. Dalam SAH, baik kliping dari aneurisma atau
embolisasi koil direkomendasikan dalam 72 jam setelah kejadian awal
untuk mencegah perdarahan ulang. Embolisasi kumparan, juga disebut
coiling, adalah prosedur invasif minimal di mana koil platinium mengarah
ke aneurisma. koil fleksibel digunakan untuk mengisi ruang untuk
memblokir aliran darah ke aneurisma sehingga mencegah perdarahan
ulang. Operasi pengangkatan hematoma pada pasien dengan ICH masih
kontroversial karena uji coba belum secara konsisten menunjukkan

17
peningkatan hasil. Teknik penghapusan gumpalan minimal invasif dengan
atau tanpa aspirasi terapi fibrinolitik telah dievaluasi; Namun, prosedur ini
dianggap penyelidikan karena hasilnya tidak pasti. Panduan saat ini
mencatat bahwa perawatan bedah ICH tidak pasti dan tidak dianjurkan
kecuali pada situasi pasien tertentu (Dipiro, 2016).

III. Studi Kasus


1. Tuan KS seorang laki-laki berumur 60 tahun, BB : 50 kg, datang ke RS dengan
keluhan mual, tangan kanan mati rasa sampai susah untuk digerakkan. Pasien
memiliki riwayat penyakit hipertensi dan diabetes melistus. Saat masuk RS keluarga
pasien digali informasi terkait gejala muncul sekitar 2 jam yang lalu dimulai dari
keluhan tangan kaku, mulut bergetar saat berbicara dan bicaranya tidak jelas. Saat di
cek tekanan darah pasien 165 mm/Hg dan Gula darah 235 mg/dl, hasil CT
menunjukkan infark multilobar. Dokter mendiagosa pasien mengalami stroke
iskemik dan memberikan terapi. Pasien saat tiba di rumah sakit diberikan infus
dekstrosa, Nitroprusid, rTPA (alteplase) 0, 015 IV selama 60 menit, amlodipin oral
3x5mg, metformin 3x500 mg. pasien dipantau terus 2x24 jam.

18
DAFTAR PUSTAKA

Dewi Puspita Apsari, Dhiancinantyan W.B.P dan Made Krisna Adi Jaya, 2018, Modul
Praktikum Farmakoterapi III (Neurologi Dan Psikiatri), Program Studi Farmasi
Klinis. Institut Ilmu Kesehatan Medika Persada, Denpasar, Bali

Departemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh
Darah. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Departemen Kesehatan RI.

Dipiro JT, Barbara GW, Cecily VD and Terry LS. Pharmacotherapy:Principles and
Practice 4th ed. New York: TheMcGraw-Hill Companies, Inc.; 2016.

Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, Wells BG, Posey LM. Pharmacotherapy: a
pathophysiologic approach. 7th ed. New York: TheMcGraw-Hill Companies, Inc.;
2009.

Engstrom, Gunnar, et al. Occupation. 2005. Marital status, and Low-Grade Inflamation
(Mutual Confounding or Independent Cardiovascular Risk Factors). Journal of The
American Heart Asociation. atvb.ahajournals.org/content/26/3/643.full.pdf, diakses
pada tanggal 24 Maret 2018.

19
Mansjoer, A (2000) Kapita Selekta Kedokteran jilid I. Jakarta: Media Aesculapius.

Soeharto I. 2004. Kolesterol dan Lemak Jahat, Kolesterol dan Lemak Baik, dan Proses
Terjadinya Serangan Jantung dan Stroke. Jakarta: PT Gramedia PustakaUtama.

Stroke Association. 2010. Converging Risk Factors. 10 September 2016.


www.strokeassosiation.org. diakses pada tanggal 24 Maret 2018.

Wahjoepramono, Eka J. 2005. Stroke Tata Laksana Fase Akut. Jakarta: Universitas Pelita
Harapan.

World Health Association. (2013). The top 10 causes of death.

20

Anda mungkin juga menyukai