NIM : 201710570311010
a. Teks : untuk menerjemahkan kata سفينة kita tidak bisa mengandalkan kamus semata. Jika
hanya mengandalkan kamus, maka yang tersedia di kamus pada umumnya kata “ ”السفينة
akan ditemui arti “kapal” atau “perahu”. Maka agar tidak salah menerjemahkan, perlu juga
melihat makna kata ‘kapal’ atau ‘perahu’ yang terdapat dalam KBBI. Arti kata kapal dalam
KBBI adalah ‘kendaraan pengangkut penumpang dan barang di laut (sungai, dsb)’,
sedangkan arti kata ‘perahu’ adalah ‘kendaraan air (biasanya tidak bergeladak) yang lancip
pada kedua ujungnya dan lebar di tengahnya.’
b. Koteks : kata سفينةdidampingi beberapa kata sebagai pelengkap atau penjelas seperti
القمر، حول، دارت،الفضاء, maka arti kapal dan perahu itu menjadi kurang tepat. Koteks
itulah yang dapat membantu seorang penerjemah dalam menerjemahkan kata tersebut dalam
satu kesatuan teks tersebut. Kata ""الفض اء yang di kamus diartikan “ruang angkasa”,
membantu penerjemah menemukan arti kata " "سفينةbukan lagi berbermakna “kapal” atau
“perahu”, tetapi “pesawat” disebabkan didampingi oleh kata " "دارتdan ""القمر.
c. Konteks : selain teks dan koteks, konteks juga sangat membantu dalam mendapatkan
pemahaman terhadap teks. Konteks mengarah pada faktor eksternal dari sebuah teks seperti
pemahaman dari luar teks oleh si penerjemah. Bila si penerjemah berdasarkan wawasan yang
dimilikinya memahami bahwa teks tersebut berbicara mengenai alat transportasi di bulan,
maka wawasannya tersebut membantunya untuk mendapatkan hasil terjemahan yang tepat.
d. Terjemahan : arti dari kalimat tersebut yang paling tepat ialah “pesawat luar angkasa
mengitari bulan”.
2. Kalimat nominal dalam bahasa Arab disebut dengan jumlah ismiyah. Sesuai dengan
namanya, kalimat ini diawali dengan isim (kata benda). Jumlah ismiyah minimal terdiri dari
mubtada’ dan khabar. Mubtada’ dalam bahasa Indonesia kita kenal dengam sebutan subjek,
sementara khabar kita kenal dengan sebutan predikat. Persamaan antara jumlah ismiyah dan
kalimat nominal adalah keduanya terdiri dari kata benda, akan tetapi yang membedakan
adalah predikat dari kedua kalimat tersebut.
Sedangkan predikat dalam kalimat nominal di bahasa Indonesia harus berupa kata
benda, karena dalam bahasa Indonesia kalimat nominal minimal terdiri dari subjek dan
predikat yang keduanya harus kata benda, baik itu kata sifat, kata ganti, kata bilangan, dll.
Jadi apabila predikat dari kalimat tersebut bukan kata benda, maka kalimat itu tidak bisa
disebut kalimat nominal.
Contoh:
Kalimat tersebut merupakan kalimat nominal karena subjek (Aziz) dan predikat
(mahasiswa) dalam kalimat tersebut merupakan kata benda. Apabila predikat dari kalimat
tersebut kita ubah menjadi:
Maka kalimat itu tidak bisa disebut sebagai kalimat nominal lagi, melainkan kalimat
verbal karena predikat dari kalimat tersebut adalah ‘pergi’ yang merupakan verba (kata
kerja).
Sedangkan dalam bahasa Arab, predikat dari jumlah ismiyah tidak mengharuskan
berasal dari kata benda, hal ini dikarenakan definisi dari jumlah ismiyah itu sendiri, yaitu
kalimat yang diawali dengan isim (kata benda), jadi penggunaan isim pada jumlah ismiyah
hanya sebatas pada mubtada’ nya saja, selama mubtada’ (subjek) berasal dari kata benda,
maka kalimat itu bisa disebut dengan jumlah ismiyah, tidak masalah apakah khabar (predikat)
dari kalimat itu berasal dari isim (kata benda) atau bukan, bahkan khabar (predikat) dalam
jumlah ismiyah bisa berupa fi’il (verba) sekalipun.
Contoh:
Kalimat tersebut adalah contoh jumlah ismiyah yang terdiri dari mubtada’ ( عب د
)العزيزdan khabar ( )مدرسyang keduanya merupakan isim (kata benda). Apabila khabar
pada kalimat tersebut kita ubah menjadi:
يذهب.
3. Kalimat verbal dalam bahasa Arab disebut dengan jumlah fi’liyah. Sesuai dengan
namanya, kalimat ini diawali dengan fi’il (verba). Jumlah fi’liyah minimal terdiri dari fi’il
(verba) dan fa’il (subjek). Sementara dalam bahasa Indonesia kalimat verbal minimal terdiri
dari subjek dan predikat yang merupakan kata kerja. Kedua pola kalimat tersebut sama-sama
terdiri dari subjek dan predikat yang berupa kata kerja, yang membedakan hanyalah
penempatan predikatnya.
Selain itu, yang menjadi pembeda antara jumlah fi’liyah dan kalimat verbal adalah
penggunaan kata kerja (verba). Di dalam bahasa Arab, penggunaan verba (fi’il) harus
memperhatikan subjeknya (fa’il). Letak pengaruh dari fa’il terhadap fi’il terletak pada bentuk
morfologis pada fi’il dengan memperhatikan fa’il yang bisa dikoversikan ke dalam dhomir
(kata ganti) yang berjumlah 14. Dengan memperhatikan kaidah tersebut, maka seseorang
harus mengetahui 14 dhomir dan pengaruhnya terhadap bentuk morfologis dari fi’il. Sebagai
contoh apabila terdapat fi’il dengan fa’il yang memiliki dhomir هيmaka ketentuan dari fi’il
tersebut adalah:
a. Ditambah dengan ( تta’ maftuhah) yang disukun di akhir kata apabila fi’il tersebut
Contoh: جلِس ِِ
ْ ِ إmenjadi إِ ْجلسيdst.
ْ ْ
Contoh dalam kalimat:
Karena fa’il dari kata tersebut adalah عائشةyang merupakan nama untuk seorang
perempuan, maka dapat kita konversikan fa’il tersebut ke dalam dhamir هي
Sedangkan dalam bahasa Indonesia tidak terdapat kaidah seperti dalam bahasa Arab.
Pelaku (subjek) tidak berpengaruh terhadap predikat atau verba.
Sebagai contoh:
Kalimat tersebut merupakan kalimat verbal dengan Nadhif sebagai subjek dan pergi
sebagai predikatnya. Apabila subjek dari kalimat tersebut diganti menjadi:
4. Pembentukan kalimat pasif dalam bahasa Indonesia berbeda dengan bahasa Arab. Dalam
bahasa Indonesia, kata kerja (predikat) mengalami perubahan bentuk secara morfologis
dengan mendapatkan afiksasi (imbuhan) berupa prefiks (awalan) di- dan ter- atau konfiks
(awalan dan akhiran) ter-kan. Selain perubahan pada bentuk predikatnya, kalimat pasif dalam
bahasa Indonesia juga membuat posisi subjek bertukar dengan objek.
Contoh:
“Alawi memukul dinding”. (kalimat aktif)
“Dinding dipukul oleh alawi”. (kalimat pasif)
Kalimat pertama (kalimat aktif) memiliki susunan S-P-O, sedangkan setelah berubah
menjadi kalimat pasif, subjek dan objek saling bertukar tempat dan predikat mengalami
perubahan bentuk dengan mendapat prefiks di-, biasanya setelah predikat ditambah dengan
kata ‘oleh’.
Sedangkan dalam bahasa Arab, kaidah pembentukan kalimat pasif berbeda dengan
bahasa Indonesia. Predikat tidak mengalami perubahan secara morfologis, namun hanya
mengalami perubahan vokal (harakat) tergantung dari jenis fi’il (verba), apakah ia fi’il madhi
atau fi’il mudhori’
a. Apabila fi’il madhi, harakat huruf pertama diganti dengan dhammah (ُ) dan harakat
huruf sebelum akhir diganti dengan kasrah (ِِ).
Contoh:
َ ض ِر
ب ُ menjadi ب
َ ضَر
َ
b. Apabila fi’il mudhori’, harakat huruf pertama diganti menjadi dhammah (ُ) dan harakat
huruf sebelum akhir diganti dengan fathah (َ).
Contoh:
ص ُر
َ يُْنmenjadi ص ُر
ُ َيْن
Selain perubahan vokal pada predikat (verba), posisi subjek dan objek dalam kalimat
pasif bahasa Arab juga mengalami perubahan. Akan tetapi berbeda dengan bahasa Indonesia,
kalimat pasif dalam bahasa Arab membuat objek menempati posisi subjek, dan subjek dari
kalimat tersebut dihilangkan, sehingga membuat objek (maf’ul) yang semula memiliki i’rab
nashab, menjadi rafa’ karena ia menempati posisi subjek.
Contoh:
ب اجلِ َد ُار
َ ض ِر
ُ
5. Terjemahan yang tepat dari kalimat
قتيل5.. وأثار رفض الئيس اختضار جولته اخلارجيه أثناء حوادث عنف أوقعت
انتقادات حادة.