Anda di halaman 1dari 18

BAGIAN - III

PENCIRIAN DAN SUMBER BUKTI TAKSONOMI TUMBUHAN

Tujuan Pembelajaran :
Setelah mempelajari materi bagian ini mahasiswa dapat :
 Menjelaskan konsep ciri dan cara penentuannya
 Menjelaskan sumber data dasar untuk kepentingan taksonomi tumbuhan
 Mendiskusikan peranan data morfologi dalam taksonomi tumbuhan
 Mendiskusikan peranan data sitologi dalam taksonomi tumbuhan
 Menjelaskan peranan data anatomi untuk kepentingan taksonomi tumbuhan
 Membandingkan peranan data biologi reproduksi dengan data kromosom

A. Pencirian (Characterization)
Pengacuan kepada suatu takson dipermudah oleh adanya nama takson yang
bersangkutan, sedangkan untuk memberikan kepastian tentang konsep takson diperlukan
deskripsi (pertelaan/pemerian). Deskripsi dapat didefinisikan sebagai mata pelukisan atau
penggambaran dengan kata-kata tentang batasan (kriteria), ruang lingkup, dan sifat-sifat suatu
takson. Dengan kata lain, deskripsi merupakan kesimpulan dan perwujudan dari pencirian
takson tersebut. Bahan baku pencirian itu umumnya berupa sifat dan ciri yang diperinci,
dianalisis, dan disintesis serta disajikan sebagai bukti taksonomi. Jadi, sifat dan ciri inilah
yang menggambarkan konsep untuk mengenal suatu takson.
Hasil penelitian seorang ahli botani sistematika akan menyimpulkan dan menentukan
batasan takson yang dipelajarinya. Catatan lengkap pengamatan dan analisis sifat setiap
takson akan dituangkan dalam serangkaian deskripsi. Dalam penelitain yang memuat hasil
penelitian botani sistematika, maka deskripsi merupakan bagian ang terpenting, sebab
deskripsi memuat data-data baku penelitian. Jadi, deskripsi merupakan penyimpanan
kumpulan pengetahuan tentang takson yang dipelajari. Deskripsi umumnya berisi sifat-sifat
beserta cirinya, yang untuk sebagian besar bersumber pada sifat morfologi tumbuhan.
Penyusunan dan pemakaian deskripsi memerlukan pengetahuan yang cukup mengenai
susunan tubuh tumbuhan, nama atau istilah yang dipakai untuk mengacu bagian-bagian tubuh
tumbuhan tersebut. Bentuk dan isi deskripsi tumbuhan harus dalam bentuk yang singkat,
ringkas, padat, sama seperti orang menulis suatu telegram. Suatu deskripsi yang baik adalah
yang mampu menyajikan suatu sketsa lengkap karena dalam penyusunannya telah dipakai
istilah-istilah teknik yang makna setiap katanya jelas dan tegas. Mengingat fungsinya yang
sangat penting, maka isi pertelaan harus dapat dibandingkan sesamanya. Untuk itu
penyusunan deskripsi harus mengikuti pola tertentu yang urut-urutannya konsisten. Adapun
urutan yang dipakai untuk deskripsi tumbuhan beserta setiap organnya adalah:
- Dari hal-hal bersifat umum ke hal-hal yang bersifat khusus
- Dari dasar (bawah) ke ujung (atas)
- Dari bagian paling luar ke bagian paling dalam
- Dari organ secara umum sampai kepada bagian-bagiannya secara terperinci
Dari hal tersebut, maka secara garis besar urutan yang umum dipakai dalam membuat
deskripsi tumbuhan tinggi menurut Tjitrosoepomo (1991) adalah sebagai berikut:
a. Perawakan (habitus) dan daur hidup
b. Akar
c. Batang
d. Cabang dan ranting
e. Daun
f. Kuncup
g. Perbungaan
h. Bunga
i. Pembuahan dan buah
j. Biji
k. Kecambah dan semai
Kegiatan sistematika tumbuhan hampir semuanya melibatkan sifat dan ciri tumbuhan
beserta variasinya. Semua kesimpulan yang diambil dalam penelitian sistematika tumbuhan
itu hampir seluruhnya didasarkan pada evaluasi serta korelasi sifat beserta cirinya.
Taksonomi yang mempelajari variasi-variasi tumbuhan dan klasifikasinya selalu
berdasarkan sifat-sifat tumbuhan tersebut. Sifat-sifat itu digunakan sebagai bukti taksonomi
pada klasifikasi fenetik dan klasifikasi filogenetik. Keberhasilan seorang ahli taksonomi
tergantung kepada keberhasilannya dalam pemilihan dan pengujian yang tepat terhadap sifat-
sifat yang digunakan dari banyaknya sifat yang ada pada tumbuhan yang diklasifikasikan.
Secara ideal, dalam membuat klasifikasi harus menggunakan keseluruhan sifat yang
dimiliki oleh tumbuhan, tetapi karena setiap individu mempunyai ratusan bahkan ribuan sifat,
maka dalam praktiknya perlu pemilihan sifat-sifat yang akan digunakan dengan melakukan
pengujian terhadap sifat-sifat yang dimiliki tumbuhan.
Tumbuhan yang sama dengan sifat yang dipilih berbeda, akan mengakibatkan sistem
klasifikasi yang dihasilkan juga berbeda. Demikian pula dengan pemberian bobot yang tidak
sama terhadap suatu sifat akan berbeda pula dengan pemberian bobot yang sama terhadap
semua sifat yang dimiliki oleh suatu tumbuhan (Pudjoarinto, 1994).

B. Sifat dan Ciri Taksonomi


Penyusunan klasifikasi selalu menggunakan ciri yang ada dari objek yang
dikelompokkan. Kekuatan sistem klasifikasi yang dihasilkan tergantung pada ketelitian
membandingkan ciri-ciri dari tumbuhan tersebut. Untuk itu pengenalan dan cara penentuan
sifat tumbuhan yang akan diklasifikasi sangat diperlukan.
Perkataan sifat (character) dengan ciri (character states) kadang sulit dibedakan.
Menurut Davis & Heywood (1973), Sifat adalah setiap kelengkapan yang berhubungan
dengan bentuk, struktur, atau tingkah laku (fisiologi) yang dapat memisahkan antara satu
makhluk hidup dengan lainnya. Sifat digunakan untuk melakukan perbandingan, identifikasi,
serta interpretasi. Menurut Michener dan Sokal dalam Stuessy (1989) sifat adalah setiap
bentuk dari satu organisme dan bentuk tersebut berbeda dengan organisme lain. Menurut
Kendrick (Stuessy, 1989), setiap kelengkapan yang berhubungan dengan bentuk, struktur,
dan tingkah laku dimana terjadi pada setiap organisme dan terpisah kondisinya satu dengan
lain. Jadi sifat itu merupakan sesuatu yang abstrak. Untuk keperluan botani sistematika, sifat
dapat berasal dari berbagai cabang biologi lainnya, seperti: biokimia, ekologi, dan fisiologi.
Ciri adalah pola ekspresi dari sifat atau pernyataan dari sifat. Ciri (kondisi sifat) juga
didefinisikan sebagai tanda dari setiap makhluk hidup yang dapat diukur, dihitung, atau
dinilai. Ciri sangat penting untuk keperluan botani sistematika daripada sifat, karena ciri itu
nyata.. Tinggi pohon dan tepi daun adalah contoh sifat. Tinggi pohon 5 meter atau 40 meter
dan tepi daun rata, beringgit, bercangap, atau bergerigi adalah ciri atau pernyataan dari sifat.
Tabel 4. Contoh Sifat (characters) dan Ciri (characters states)
No Sifat (characters) Ciri (kondisi sifat/character states)
1. Susunan daun Tersebar, berhadapan, berkarang
2. Simetri bunga Teratur, zygomorfik, asimetris
3. Posisi bakal buah Hipogynus, epigynus, perigynus
4. Posisi stylus Terminal (pucuk) atau di dasar (basal)
5. Plasenta Aksiler, parietal, bebas, sentral
6. Bentuk rekah polen Sulkata, kolpat, porat, kolporat
Sumber: Stuessy (1989:17)
Dalam modul ini pemakaian kedua kata tersebut dianggap sama. Hal ini sejalan
dengan pendapat Sivarajan (1984), istilah sifat dan ciri selalu digunakan dengan bebas dan
saling dipertukarkan satu dengan yang lain.
1. Peranan Sifat dan Ciri
Sifat dan ciri merupakan data dasar makhluk hidup yang selanjutnya dapat dianalisis
dan diinterpretasikan untuk pembuatan klasifikasi evolusioner. Menurut Stuessy (1989), tidak
ada suatu penafsiran yang ilmiah yang berkenaan dengan hubungan kekerabatan organisme
tanpa menggunakan sifat dan ciri. Klasifikasi yang didasarkan pada sifat dan ciri tersebut,
dengan menggunakan metode tertentu, akan menghasilkan nilai prediksi yang tinggi dari
sistem klasifikasi tersebut
Sifat yang baik mempunyai ciri sebagai berikut : (1) Tidak mempunyai variasi luas
tetapi variasinya lebih konsisten; (2) Tidak mempunyai variabilitas genetik yang tinggi; (3)
Tidak mudah berubah oleh perubahan lingkungan yang sederhana; dan (4) Menunjukkan
konsistensi dan berkorelasi dengan sifat-sifat yang ada dalam suatu sistem klasifikasi alam
2. Kriteria Pemilihan Sifat dan Ciri
Kriteria penentuan sifat dan ciri yang akan digunakan sangat bergantung pada jenis
pendekatan yang dilakukan. Secara umum banyak cara yang dapat digunakan untuk
penentuan sifat dan ciri. Secara umum kriteria pemilihan sifat adalah: kriteria logika (logical
criteria), kriteria biologi (biological criteria), kriteria berdasarkan teori (informaion
theoretical criteria), dan pertimbangan praktik (practical considerations)
Logical criteria dapat dilakukan dengan dua cara yaitu a priori dan a posteriori. A
priori merupakan cara penentuan ciri sebelum objek dipelajari (The selection of data before
the organisms have been examined carefully). A priori umumnya digunakan untuk
menentukan sifat-sifat tumbuhan yang sudah jarang ditemukan (langka) bahkan sudah punah.
A posteriori merupakan cara penentuan sifat setelah objek dipelajari (to deciding which
characters are important after having studied the organisms)
Biological criteria dapat menggunakan seluruh sifat-sifat biologi yang ada. Namun
dalam pemilihan sifat ini sangat banyak perbedaan pendapat antar ahli taksonomi. Sifat
biologi secara umum belum memberikan ketepatan dalam mencari hubungan kekerabatan.
Sifat biologi dapat berupa informasi ekologi dan agihannya, sistem perkawinan, waktu
berbunga, tingkah laku dan susunan kromosom pada meosis dan mitosis, sifat-sifat yang telah
teradaptasi dan sifat genetik. Semua informasi dari sifat tersebut memiliki nilai yang sangat
tinggi untuk menyusun klasifikasi.
Information theoritical criteria menekankan pada pemilihan sifat yang mempunyai
nilai prediksi maksimum (maximum predictive quality). Sifat-sifat yang dipilih umumnya
dikaitkan dengan sejarah evolusinya.
Practical considerations merupakan pemilihan sifat dan ciri yang fokusnya pada
kegiatan praktik. Banyak sifat dan ciri penting kadang-kadang tidak ditemukan lagi pada
tumbuhan tersebut, untuk itu diperlukan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Seperti sifat
genetik, adaptasi, dan evolusi.
3. Jenis-jenis sifat
Sifat dapat dibedakan atas 4 kelompok yaitu: sifat umum, sifat filetik, sifat fenetik,
dan sifat kladistik.
Sifat umum merupakan sifat yang dimiliki oleh setiap tumbuhan. Sifat ini dapat
dibedakan atas kondisi, variasi sifat, keperluan khusus, dan keabsahan yang umum. Jenis sifat
umum adalah: sifat kualitatif dan kuantitatif, sifat meristik dan sifat dioscontinuous, sifat
makro dan mikro, sifat plastis dan tetap, sifat analisis dan sintesis, sifat biologi dan sifat
fortuitous (kebetulan), sifat epharmonik (bentuk kehidupan) dan adaptasi, sifat konstitutif
dan tidak konstitutif, sifat nyata dan sifat tidak nyata. Semua jenis-jenis sifat tersebut
mempunyai kelebihannya, tergantung pada konteks penggunaannya. Suatu sifat mungkin
baik untuk suatu takson dan tidak baik untuk takson yang lain.
Sifat filetik (filogenetik = ontogenesis), merupakan sifat yang mencerminkan bukti
filogeni kelompok dan perkembangan organisme. Sifat ini dapat dibedakan atas sifat
homolog dan analog. Homolog adalah kesamaan susunan dan posisi organ karena berasal
dari embrio organ yang ontogeninya sama. Analog adalah kesamaan susunan yang terjadi
karena kesamaan fungsi. Keterkaitan dengan sifat tersebut, maka muncul sifat struktural dan
fungsional. Selain itu juga terdapat sifat regresif, yaitu sifat dimana organisme kehilangan
organ tambahan dan bentuknya; seperti tidak adanya akar pada beberapa tumbuhan
angiospermae aquatik (Ceratophyllum dan Ceratophyllaceae)
Sifat fenetik merupakan sifat yang dipilih hanya yang tampak. Sifat yang dipilih
dalam fenetik adalah satuan (unit) sifatnya. Unit sifat juga dikenal dengan sifat tunggal
(single characters). Menurut Stuessy (1989), unit sifat adalah sejumlah fenotipik yang
berubah dimana dapat diambil secara terus menerus secara tunggal dalam seleksi alamiah.
Pada fenetik ini, setiap sifat diberi bobot yang sama atau tidak diberi bobot.
Sifat Kladistik berkembang dari pendekatan klasifikasi kladistik, yang berusaha
menentukan urutan percabangan evolusi. Pola percabangan ini dijelaskan secara analisis
dalam taksa dari distribusi ciri, yang dipercaya mempunyai arti evolusioner dan terdapat
dalam sifat homolog. Sifat kladistik yang umum digunakan adalah sifat primitif vs maju,
sifat umum vs, unik, sifat plesiomorphik vs apomorphik, dan sifat apomorphik vs sifat
aptipik.
Radford (1986) membuat ringkasan bermacam-macam sifat, seperti disajikan pada
tabel 5 berikut.
Tabel. 5. Macam-macam Sifat (Miscellaneous Characters)
No Macam Sifat
1 a. Adaptive. Sifat sebagai hasil tanggapan terhadap perubahan lingkungan.
b. Nonadaptive. Sifat yang tidak berubah akibat perubahan lingkungan.
2. a. Analytic. Sifat digunakan untuk identifikasi, pencirian, dan pembatasan
taksa.
b. Synthetic. Sifat yang secara alami konstan dan tersebar luas serta digunakan
untuk taksa besar (larger taxa)
3. a. Biological. Sifat yang berkaitan dengan beberapa fungsi vital atau
tingkah laku
b. Fortuitous. Sifat yang tidak berkaitan dengan fungsi vital/ tingkah laku.
4. a. Continuous. Sifat yang menunjukkan keseragaman integradasi
b. Discontinuous. Sifat yang tidak menunjukkan keseragaman integradasi
5. a. Cryptic. Sifat tersembunyi atau mikroskopik
b. Phaneritic. Sifat yang nyata atau makroskopik
6. a. Diagnostic. Sifat yang digunakan untuk membedakan antar takson.
c. Descriptive. Sifat yang digunakan untuk memberi gambaran/ atribut takson
7. a. Good. Sifat yang mudah dikenal, memiliki sebaran yang sempit, dan
biasanya sama dengan sifat genetik.
b. Bad. Sifat yang tidak mudah dikenal, memiliki sebaran yang luas, dan
biasanya tidak sama dengan sifat genetik.
8. a. Homologous. Sifat yang dimiliki umumnya warisan nenek moyangnya
b. Analogous. Sifat yang sama, tetapi bukan hasil warisan.
9. a. Logically correlated. Sifat yang umumnya berkorelasi dengan sifat lain
b. Noncorrelated. Sifat yang tidak berkorelasi dengan sifat alinnya
10. a. Macro. Sifat tampak, besar, biasanya sifat luar (ekternal)
b. Micro. Sifat kecil, biasanya sifat dalam (internal).
11. a. Meaningful. sifat atau atribut yang signifikan atau bernilai dalam pencirian,
identifikasi, atau klasifikasi.
b. Meaningless. sifat atau atribut yang tidak signifikan atau tidak bernilai dalam
pencirian, identifikasi, atau klasifikasi.
12. a. Ontogenetic. Sifat yang behubungan dengan perkembangan individu
b. Phylogenetic. Sifat yang berhubungan dengan perkembangan takson dalam
waktu yan sangat lama.
13. a. Plastic. Sifat yang banyak variasinya
b. Fixed. Sifat yang tidak banyak variasinya
14. a. Primitive. Sifat yang dimiliki takson saat ini juga nenek moyangnya
b. Advanced. Sifat yang dimiliki takson saat ini, dan tidak dimiliki nenek
moyang
15. a. Qualitative. Sifat yang berhubungan dengan bentuk, atau behavior.
b. Quantitative. Sifat yang berhubungan dengan jumlah atau ukuran.
16. a. Reliable. Sifat tetap, jelas, dikenal, dan mudah digunakan ahli taksonomi
b. Uneliable. Sifat tidak tetap, tidak jelas, tidak dikenal, dan tidak mudah
digunakan ahli taksonomi
17. a. Specific. Sifat diagnostik (pembeda) digunakan untuk pembatasan species
b. Generic. Sifat diagnostik (pembeda) digunakan untuk pembatasan genus
18. a. Two-state. Sifat keseluruhan (all) atau none, ada atau tidak ada.
b. Multistate. Sifat yang diekspresikan oleh semua atau statusnya ada atau
tidak ada
19. a. Variant. Sifat yang bervariasi dalam sampel populasi
b. Invariant. Sifat yang tidak bervariasi dalam sampel populasi
20. a. Weighted. Sifat yang bernilai tinggi dan sangat penting
b. Nonweighted. Sifat yang benilai sama dan tidak begitu penting
Sumber: Radford (1986:110)
C. Sumber Bukti Taksonomi
Setiap informasi mengenai tumbuhan secara potensial dapat digunakan untuk

menentukan dan mengetahui hubungan kekerabatannya. Informasi tersebut dapat dalam

jumlah kecil atau besar, dan dapat berasal dari satu tumbuhan atau kelompok tumbuhan.. Dari

keseluruhan data tersebut secara umum berasal dari tiga (3) sumber dasar, yaitu :

a. Berasal dari tumbuhan itu sendiri, seperti: morfologi, sitologi, genetika, anatomi,

palinologi, dan kimia

b. Berasal dari hasil interaksi tumbuhan dengan organisme lainnya, seperti data sitogentik,

data biologi reproduksi misalnya polinasi, persebaran dengan bantuan hewan atau

manusia

c. Berasal dari hasil interaksi tumbuhan dengan lingkungan dalam arti luas seperti agihan

(distribusi/geografi), dan ekologi.

Seluruh tipe informasi tersebut dapat digunakan dalam mempelajari taksonomi

tumbuhan, Namun, data yang penting adalah data yang berasal dari tumbuhan itu sendiri.

Data tersebut dibedakan atas: data yang mencerminkan komposisi struktural atau arsitektur
tumbuhan seperti anatomi dan morfologi; serta data yang berasal dari interaksi dinamik

seluruh struktur misalnya proses perkembangan dan fisiologi (Stuessy, 1989).

Tabel 6. Perkiraan Waktu Penggunaan bermacam Data serta Jenis Alat yang
Digunakan
No Tahun
Jenis Data Alat yang Digunakan
Penggunaan
(1) (2) (3) (4)
A. Data Tumbuhan itu sendiri
1. Morfologi 1600 Lensa tangan, rule,
mikroskop binokuler
digunakan tahun 1900
2. Anatomi 1850 Mikroteknik,
3. Genetika 1920 mikroskop binokuler
Rumah kaca dan kebun
Percobaan
4. Sitologi 1920 Mikroskop cahaya
5. Palinologi 1930 M.cahaya, SEM, TEM
6. Embriologi 1940 Mikroteknik,M. cahaya
7. Ultrastruktur 1960 M.cahaya, SEM, TEM.
8. Kimia 1960 Lab. Kimia
9. Fisiologi - -
B. Data Interaksi Organisme
1.Biologi reproduksi 1850 -
2.Sitogenetika 1930 -
C. Data Interaksi Lingkungan 1700 Termometer,
1. Ekologi higrometer
Sumber: Rideng (1989:96)
Berikut akan diuraikan beberapa data (sumber bukti taksonomi tumbuhan) yang
umum digunakan untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi tumbuhan.
1. Data Morfologi
Morfologi berasal dari kata morphe yang artinya bentuk, merupakan bentuk
luar/dalam dari tumbuhan. Sifat morfologi merupakan cerminan dari hasil interaksi genotip
dengan lingkungan. Menurut Jones dan Luchsinger (1986) morfologi adalah bentuk eksternal
dari organisme dan masih digunakan sebagai tipe data untuk klasifikasi tumbuhan. Bentuk
morfologi memiliki keunggulan karena mudah dilihat dan memiliki variasi yang banyak
dibandingkan data lainnya. Data morfologi sudah digunakan sejak perkembangan awal
taksonomi tumbuhan, yaitu sejak zaman Yunani kuno (Theopharastus, 300 SM) sampai
zaman herbalis (1460 – 1660), serta sampai sistem klasifikasi sekarang. Oleh karena itu, data
morfologi tetap akan digunakan sampai akhir masa.
Data morfologi dapat membantu setiap jenjang pada hierarki taksonomi (kategori),
yaitu dari varietas sampai divisi. Menurut Tomlinsom dalam Stuessy (1989), Data morfologi
baik vegetatif maupun generatif meruapakan data yang sangat berguna dalam usaha
memecahkan persoalan taksonomi pada semua kategori. Hal ini disebabkan, data morfologi
memberikan gambaran hubungan yang jelas antara faktor genetika dan evolusinya, serta
memberikan petunjuk cara-cara tumbuhan mengadaptasikan dirinya dengan lingkungannya.
Tanpa data morfologi tumbuhan, tidak mungkin taksonomi tumbuhan dapat berkembang
dengan baik, Semua peristilahatan yang digunakan dalam taksonomi tumbuhan adalah istilah
morfologi. Misalnya, foetida (sangat berbau), edulis (dapat dimakan), grandiflora (berbunga
besar), Dipterocarpaceae (carpel bersayap dua)
Jenis data morfologi dapat dibedakan atas: morfologi makro (macromorphological
data) dan morfologi mikro (micromorphological data). Data morfologi makro adalah data-
data yang dapat diamati dengan mata telanjang. Data ini umumnya digunakan dalam
pembuatan kunci determinasi tumbuhan, karena relatif mudah dan cepat diamati serta
didokumentasikan. Sedangkan data morfologi mikro, pengamatannya harus dibantu dengan
mikroskop baik mikroskop cahaya maupun mikroskop elektron, terutama SEM.
Data morfologi dapat berasal dari organ vegetatif maupun organ reproduktif. Organ
vegetatif yang dijadikan sebagai data adalah akar (misalnya: serabut atau tunggang, rambut
akar, bulu akar), batang (misalnya: habitus, bentuk batang, arah tumbuh, kulit kasar atau
halus), daun (misalnya: bentuk, pangkal, ujung, tepi, pertulangan, daging, warna, dan
susunannya pada batang).
Data reproduktif perannya lebih besar dari data vegetatif, karena data ini lebih
konsisten sifatnya. Data ini dapat berupa bunga, buah, dan biji. Data bunga dapat berupa:
jumlah stamen, posisi anthera, posisi ovari, panjang stilus, bentuk stigma, jumlah karpel, tipe
bunga. Modifikasi morfologi bunga juga berhubungan dengan cara polinasi . Polinasi oleh
angin biasanya bunganya uniseksual, bunga kecil dan tidak menarik. Bunga yang
penyerbukannya dibantu oleh serangga umumnya berukuran besar, berwarna-warni, dan
biseksual. Penggunaan alat bantu seperti SEM dalam mengamati organ reproduktif yang kecil
seperti serbuk sari dan biji sangat memungkinkan diperoleh data yang lebih akurat.
2. Data Anatomi
Anatomi (tomein = irisan) tumbuhan pada hakekatnya adalah data morfologi.
Anatomi mengacu pada struktur dalam tumbuhan, sedangkaan morfologi adalah bentuk luar
tumbuhan. Penggunaan data anatomi perbandingan sudah dilakukan satu abad yang lalu,
yaitu oleh Auguste Mathiew. Ia menggunakan struktur anatomi kayu untuk membuat
deskripsi tentang kayu hutan dalam bukunya Florae forestiere. Kemudian Solereder telah
menguraikan nilai struktur anatomi untuk kegiatan taksonomi tumbuhan dalam bukunya
Anatomie der Dicotyledonen. Data ini digunakan secara luas dalam taksonomi tumbuhan
dan sebagian besar digunakan untuk menerangkan hubungan filogenetik. Prinsip dasar
mengapa data anatomi digunakan adalah :
- Bentuk anatomi merupakan sifat yang melekat secara permanen
- Sifat anatomi dapat dikombinasikan dengan sifat lainnya.
- Sifat anatomi lebih banyak digunakan untuk kategoti di atas genus
Penggunaan data anatomi batang, daun, dan bunga sangat berguna serta mempunyai
nilai taksonomi penting pada golongan-golongan tertentu. Terdapat dua jenis data anatomi,
yaitu: data endomorfik dan ultrastruktur. Data-data tersebut berasal dari organ vegetatif dan
organ generatif. Anatomi vegetatif lebih banyak digunakan daripada data anatomi organ
generatif.
Data anatomi organ vegetatif dapat berupa anatomi akar, batang, dan daun. Anatomi
batang paling umum digunakan Peranan data anatomi perbandingan batang dalam
taksonomi antara lain:
- Mempunyai nilai untuk pengenalan dan untuk menentukan kekerabatan dan arah evolusi
specialisasi
- Sebagai ciri identifikasi, dimana sifat anatomi dapat digunakan pada semua kategori.
Tetapi pada tingkat jenis dan di atas suku dalam Angiospermae cenderung kurang dapat
dipercaya.
- Di atas kategori suku pada Angiospermae, heterogenitas struktur anatomi mengingatkan
asal “poliphyletik”, dengan beberapa perkecualian
- Kriteria endomorphik tidak mempunyai nilai yang samapada seluruh taksa. Pada
beberapa kelompok relatif konstan, pada beberapa kelompok lain sangat bervariasi.
- Faktor lingkungan dapat menyebabkan variasi pada sifat anatomi
- Sistematik anatomi dalam pendekatan taksonomi melengkapi eksomorfologi
- Persamaan ciri-ciri anatomi dapat timbul melalui evolusi serah dan evoilusi menyebar
Anatomi daun juga banyak digunakan, terutama yang dikaitkan dengan jalur
fotosintesis C4. Pada tumbuhan C4, daunnya ditemukan seludang ikatan pembuluh yang
bersifat klorenkimatous (chlorenchymatous vascular bundle sheaths). Selain itu susunan
sklerenkim, bentuk ikatan pembuluh, ukuran sel epidermis, bentuk dan sebaran sel silika,
juga banyak digunakan dalam memperbaiki klasifikasi anggota Poaceae (Gramineae).
Pola variasi trikhoma memiliki nilai penting pada kategori jenis, marga, maupun
familia. Data Anatomi trikoma ini berupa: ukuran, bentuk, susunan, dan pola penyebarannya.
Sebagi contoh, penggunaannya dalam mempelajari marga Vernonia.
Tipe stomata yang memiliki ciri khusus, yaitu sel penjaga (guard cell) dan sel
tetangga (subsidiary cell) juga berguna untuk kegiatan taksonomi. Terdapat 31 macam tipe
stoma, dan ini sangat bermanfaat untuk ketegori tinggi. Sebagai contoh penggunaannya
dalam membedakan sub kelas monokotil.
Variasi pola rambut epidermal atau trikhoma dapat digunakan sebagai ciri klasifikasi
pada tingkat marga dan jenis. Pada suku Combretaceae, trikhoma digunakan untuk
membedakan jenis dan varietas pada suku tersebut. Trikhoma juga digunakan untuk
membedakan jenis dalam marga Vernonia. Penggunaan trikhoma juga dilakukan untuk
membedakan dan menganalisis hibrida-hibrida pada suku Asteraceae.
Penggunaan data hasil spesialisasi xilem sekunder mempunyai nilai taksonomi.
Rangkaian evolusi dari unsur pembuluh dan dikombinasikan dengan ciri morfologi lainnya
telah dipakai sebagai dasar untuk membuat hipotesis mengenai filogeni tumbuhan biji
terbuka. Selain itu, tipe plastida pembuluh tapis juga sangat berguna dala klasifikasi. Behnke
dalam Stuessy (1989) menemukan tipe dasar dari plastida yang perbedaannya berkaitan
dengan bentuk dan adanya tepung serta protein. Hasil yang sangat meyakinkan adalah
plastida tipe P11 yang terbatas pada ordo Caryophyllales.
Aplikasi anatomi organ reproduktif untuk kegiatan taksonomi lebih terbatas
dibandingkan dengan anatomi organ vegetatif, mengingat teknik dan penafsirannya sulit
diikuti. Data anatomi organ reproduktif yang bermanfaat dalam taksonomi antara lain:
struktur daun buah (carpellum). Sedangkan penggunaan anatomi buah dan biji pernah
dilakukan oleh Elisens pada tribus Antirrhineae dan familia Scrophulariaceae.

3. Data Embriologi
Keadaan yang berkaitan dengan asal-usul dan perkembangan embrio pada tumbuhan
Angiospermae telah digunakan dalam menentukan hubungan kekerabatan tumbuhan. Data
embriologi berasal dari beberapa sumber yang berkaitan dengan struktur maupun proses,
seperti: kepala sari, ukuran nuselus, ketahanan nuselus, tipe kantong embrio, haustoria,
gametofit jantan, gametofit betina, bakal biji pembuahan, endosperm, kulit biji, serta hal
khusus yaitu apomiksis dan poliembrio.
Data embriologi stabil pada jenjang suku tumbuhan Angiospermae. Variasinya
kadang ditemukan pada kategori genus. Ciri taksonomi embriologi kurang bermanfaat pada
ketegori ordo, subkelas, dan kelas. Apabila digunakan secara tepat dan dikombinasikan
dengan ciri taksonomi lainnya, maka dapat digunakan untuk menunjukkan hubungan
kekerabatan pada jenjang familia, genus, dan species. Penggunaan data embriologi dalam
taksonomi tumbuhan yang sangat terkenal adalah penggolongan tumbuhan dikotil dengan
monokotil yang didasarkan atas jumlah daun lembaga (kotiledon).
4. Data Palinologi
Palinologi adalah studi tentang serbuksari dan spora. Penggunaan serbuksari untuk
tujuan klasifikasi pertama dilakukan oleh John Lidley tahun 1830 – 1840. Ia menunjukkan
bahwa beberapa ciri serbuksari anggota Orchidaceae berkorelasi dengan serbuksari anggota
suku yang sama. Hugo van Mohl, telah berhasil membuat klasifikasi serbuksari tumbuhan biji
terbuka dan biji tertutup (211 familia), dan karyanya diterbitkan tahun 1845. Untuk
kepentingan taksonomi, data palinologi dapat digunakan pada seluruh kategori, terutama
kategori minor dan infraspecifik.
Ciri morfologi yang dapat digunakan untuk kepentingan taksonomi meliputi: unit,
polaritas, simetri, bentuk, ukuran, apertura, dan skulptur (ornamentasi).
Unit serbuksari dalam theca umumnya adalah monad. Namun ada juga dalam bentuk
majemuk yaitu tetrad, diad, polinia, dan massula. Sekitar 53 familia dari angiospermae (41
familia dikotil dan 12 familia monokotil) mempunyai serbuksari bentuk tetrad dan diad.
Hanya 5 familia dari angiospermae yang mempunyai serbuksari poliad yaitu: Annonaceae,
Leguminosae, Hippocrateaceae, Asclepiadaceae, dan Orchidaceae (Erdmant, 1952). Pada
anggota Ericaceae, butir serbuksarinya tetap dalam tetrad sampai masak. Pada Acacia, tetrad
berlekatan bersama-sama dalam satu kelompok yang dapat mengandung 64 butir serbuksari
disebut poliad. Kelompok-kelompok ini dijumpai dalam ruangan-ruangan terpisah oleh sekat
melintang dalam kantung serbuksari. Pada jenis tumbuhan Asclepiadaceae, semua butir
serbuksari dari satu kantung bersatu dalam satu massa padat tunggal yang disebut: pollinium.
Pada anggrek, polinium juga terbentuk, tetapi ada marga-marga tertentu poliniumnya kurang
kompak dan disebut dengan massula (Fahn, 1991).
Serbuksari mempunyai dua tipe yaitu radial simetri dan bilateral simetri. Simetrinya
ditentukan oleh apertura. Bentuk serbuksari dapat ditentukan berdasarkan perbandingan
panjang aksis polar (P) dengan diameter equatorial (E). Sedangkan ukuran serbuksari
ditentukan oleh panjang aksis terpanjang (Cushing, 1990). Menurut Erdman dalam Fahn
(1991), ukuran serbuksari yang terkecil dijumpai pada Mysotis alpestris (2,5-3,5 um) dan
Echium vulgare (10-14 um). Serbuk sari terbesar adalah Cucurbita pepo (230 um) dan
Mirabilis jalapa (250 um).
Apertura merupakan sifat serbuksari yang sangat penting, dapat dibedakan atas:
sulkus, kolpus, ruga, dan porus. Apertura sulkus, jika kerutannya memanjang tegak lurus
terhadap sumbu membujur di kutub serbuksari. Kolpus, jika kerutan memanjang tegak lurus
terhadap bidang equatorial dan ujung kerutan tersebut menghadap kutub butir serbuk sari.
Ruga, jika kerutan memanjang dengan arah yang berbeda dari tipe sulkus dan kolpus. Porus,
apareturanya bundar (Fahn, 1991). Kebanyakan tumbuhan dikotil mempunyai apertura
majemuk yaitu porus terdapat dalam setiap kolpus dan jumlahnya tiga, disebut trikolporat.
Skulptur atau ornamentasi merupakan pahatan-pahatan yang terdapat pada dinding
luar serbuksari dan khas bagi setiap species tumbuhan. Serbuksari mempunyai dinding yang
terdiri dari dua lapisan utama, yaitu eksin di sebelah luar dan intin di sebelah dalam. Eksin
dibedakan atas lapisan neksin (dalam) yang tidak memiliki skulptur, serta seksin (luar) yang
dilengkapi dengan pola-pola pahatan (skulptur) tertentu”. Karena mempunyai skulptur
tersebut, maka lapisan eksin terutama seksin sangat penting daslam penentuan klasifikasi
kategori jenis. Berdasarkan ukuran, bentuk, dan unsur penyusunnya, skulptur dapat
dibedakan atas tipe: psilat, ferforat, faveolat, skabrat, verrukat, gemmat, klavat, psilat, ekinat,
striat, dan retikulat (Cushing, 1990).
5. Data Sitologi
Sitologi dalam pengertian yang lebih luas menyangkut semua aspek dari sel. Dalam kerja
taksonomi, data dari sitologi difokuskan pada kromosom, mencakup: jumlah, ukuran, bentuk,
perilaku pada waktu meoisis, dan kandungan AND. Dengan mikroskop cahaya, kromosom
hanya tampak pada saat pembelahan inti.
Data kromosom dapat dilihat dari dua sudut pandang jika digunakan untuk
kepentingan taksonomi, yaitu (1) dilihat dari segi anatomi, jumlah kromosom sama
pentingnya dengan jumlah dinding buah; (2) jumlah kromosom dan homolognya secara luas
akan menggambarkan ciri khas pada saat meosis, yang merupakan bagian dari proses yang
mengatur tingkat fertilitas dan sifat-sifat keturunannya serta variasi bentuk populasinya.
Jumlah kromosom (haploid) pada tumbuhan biji berkisar antara n = 2 pada Haplopappus
gracilis (Asteraceae) sampai dengan n = 132 pada Poa littoroa (Gramineae). Kebanyakan
tumbuhan biji tertutup mempunyai kromosom antara n = 7, dan n =12. Berdasarkan hasil
penelitian mutakhir, diperoleh bahwa jumlah kromosom setiap sel pada semua individu dari
setiap species relatif konstan, dan ini merupakan ciri taksonomi yang mantap. Sehubungan
dengan itu, maka kelompok taksonomi yang berkaitan dengan kromosom dibedakan atas 3
kelompok, yaitu:
a. Homoploidi (jumlah tetap). Misalnya pada Pinus, mempunyai kromosom n = 12.
b. Poliploidi (Heteroploid), merupakan organisme yang mempunyai jumlah kromosom yang
lebih tinggi karena adanya penggandaan dari set kromosom. Misalnya pada genus Acer,
ditemukan jenis-jenisnya yang mempunyai kromosom n = 9, 18 atau 27. Poliploid,
dibedakan atas: Autopoliploid, dan Allopoliploid.
c. Aneuploidi. Apabila jumlah kromosom dalam satu kelompok tidak menunjukkan hubungan
perkalian yang sederhana satu dengan yang lain. Misalnya pada genus Brassica, dengan n
= 6, 7, 8, 9, atau 10.
Aspek struktur kromosom yang paling penting adalah posisi sentromer dan
perbandingan panjang lengan setiap kromosom pada genome. Kadang-kadang untuk
mengenal kromosom cukup dengan mengenal perbedaan letak sentromer dalam kromosom.
Secara umum posisi sentromer dibagi atas: (1) berada di tengah-tengah, sehingga kedua
lengan kromosom sama panjang (Metasentrik); (2) sentromer dekan salah satu ujung
kromosom, sehingga lengan kromosom yang satu panjang dan yang satunya lagi pendek
(akrosentrik); (3) sentromer berada dekat salah satu lengan kromosom, sehingga kedua
lengan kromosom tidak sama panjang (Sub metasentrik), (4) sentromer berada pada salah
satu ujung lengan kromosom sehingga kromosom hanya memupnyai satu lengan
(Telosentrik). Selain itu adanya daerah penyempitan sekunder pada kromosom yang
menyebabkan terjadinya satelit juga sangat untuk bukti taksonomi.
Kariotipe kromosom juga memiliki banyak variasi antar jenis dalam satu takson,
sepreti pada Elymus striatulu . Dengan demikian, nilai data sitologi sangat tergantung pada
taksa yang menjadi objek studi. Kombinasi informasi yang bersumber dari jumlah
kromosomdan morfologinya sangat berguna untuk klasifikasi pada tingkat familia, genus dan
species.
6. Data Kimia (Khemotaksonomi)
Penggunaan data kimia untuk keperluan taksonomi telah dilakukan sejak tahun 1880-
an. Penggunaan data kmia ini didasarkan pada 3 asumsi dasar, yaitu: (1) ilmu
khemotaksonomi merupakan pembaharauan dari ilmu yang sudah ada; (2) Kandungan unsur
kimia meruapakan sifat dasar dari tumbuhan, dan kandungan tersebut terdapat pada organ-
organ tertentu tumbuhan. Dengan demikian, uraian kandungan unsur kimia tidak terlepas dari
uraian morfologi dan sitology, sehingga datanya menjadi lebih penting dalam klasifikasi
tumbuhan; (3) Hasil metabolism sekunder adalah hasil ikatan yang tidak dijumpai pada
semua tumbuhan.
Penggunaan data kimia untuk tujuan taksonomi terutama dalam mencari hubungan
kekerabatan tumbuhan telah dilakukan oleh Abbot tahun 1886. Beliau telah menggunakan
kandungan zat saponin (steroid) untuk mempelajari evolusi tumbuhan. Bate – Smith telah
menggunakan zat fenolik dalam klasifikasi tumbuhan. R.E Alston dan R.E. Turner, meneliti
kandungan flavonoid pada genus Baptisia (Leguminosae) untuk memecahkan masalah
taksonomi pada hibridisasi.
Data kimia yang dapat digunakan untuk kepentingan taksonomi dapat dibedakan atas:
makromolekul dan mikromolekul. Makromolekul adalah bagian dari mesin metabolisme
dasar tumbuhan. Makromolekul berupa protein dan asam nukleat yang terdapat pada
mitokondria serta kloroplas. Analisis makromolekul telah memberikan harapan dalam
mencari hubungan kekerabatan kelompok utama pada tumbuhan biji tertutup. Analisis
protein dapat digunakan sebagai ciri taksonomi, karena protein merupakan produk langsung
dari kode DNA. Namun dalam analisis makromolekul perlu diperhitung masalah waktu yang
relatif lama, tenaga ahli laboratorium, dan keahlian dalam membaca hasil berupa grafik dan
tabel.
Mikromolekul adalah hasil metabolisme sekunder tumbuhan. Data mikromolekul
berupa: flavonoid, terpenoid, alkaloid, betalains, glukosinat, dan steroid.
Flavonoid merupakan sebyawa kimia yang paling sering digunakan untuk studi
taksonomi. Hal itu disebabkan, flavonoid relatif mudah dipisahkan, mudah diidentifikasi,
merupakan senyawa stabil walaupun pada herbarium yang telah disimpan 100 tahun. Lebih
dari 500 turunan flavonoid yang telah dikenal dan tersebar dalam beberapa taksa tingkat
kelas.
Terpenoid merupakan senyawa sekunder dari jalur geranyl pyrophosphate. Jenis
terenoid yang umum dipakai dalam taksonomi adalah senyawa monoterpenoid dan
sequiterpenoid. Monoterpenoid dikenal dengan sebutan “essensial oils”, dijumpai pada
tumbuhan anggota Labiateae (Lamiaceae), Rutaceae, dan Umbelliferae (Apiaceae).
Alkaloid tersusun dari berbagai golongan senyawa dengan satu atau lebih cincin
nitrogen. Anggota marga Solanaceae semuanya mengandung alkaloid. Tembakau
mengandung nikotin, kecubung (Datura stratomium) mengandung skopolamin, Atropa
mengandung atropin, dan Hyscyamus niger mengandung hiosiamin.
Betalain dapat digolongkan dalam kelompok senyawa alkaloid, karena mengandung
nitrogen heterosiklis. Senyawa ini hanya terdapat pada ordo Caryophillales pada jaringan
floemnya. Senyawa tersebut ada yang kemerah-merahan (betacyanin), atau kekuning-
kuningan (betaxanthin), dan terdapat pada pigmen daun mahkota, atau pada organ lain pada
tumbuhan kembang kertas (Bougainvillea).
Glukosinat sangat bermanfaat dalam klasifikasi ordo Capparales, termasuk Cruciferae
dan capparaceae.
7. Data Fisiologi
Tumbuhan yang tergolong dalam satu species dianggap menunjukkan sifat fisiologi
yang sama. Data fisiologi yang sangat penting adalah yang berkaitan dengan proses
fotosintesis. Pada tumbuhan, fotosintesis dapat dibedakan atas 3 jenis, yaitu: fotosintesis C3,
fotosintesis C4, dan fotosintesis CAM (Crassulacean Acid Metabolism).
Fotosintesis C3 yang umum terjadi pada tumbuhan tinggi dikenal dengan Siklus
Calvin – Benson. Pada fotosintesis ini, CO2 yang diikat dari udara diubah menjadi C5
reseptor (ribulose 1,5-biphosfat) menghasilkan 2 molekul C3 (asam fosfogliserat atau
phosphoglyceric acid).
Fotosintesis C4 dikenal juga dengan Sindrom Kranz atau Hatch – Slack pathway.
Pada peristiwa ini, CO2 diubah menjadi asam fenilpriuvik menjadi asam malat (asam dengan
C4). Kemudian asam malat dipindahkan ke sel selaput ikatan pembuluh (bundle sheath cells)
pada daun, bukan pada mesofil seperti pada C3. Modifikasi anatomi tulang daun agar cocok
dengan fotosintesis C4 bersama dengan butir kloroplas dari sel ikatan pembuluh disebut
sindrome Kranz.
Pada tumbuhan CAM seperti anggota Cactaceae yang bersifat sekulen, fotosisntesis
juga dibentuk malat (C4), tetapi dibentuk pada malam hari, walaupun siklus reduksi
fotosintesis (photosynthetic reduction cycle) terjadi pada siang hari. Secara taksonomi,
kombinasi data C4 dengan Sindrome Kranz sangat membantu terutama pada familia Poaceae.
8. Data Biologi Reproduksi
Biologi reproduksi merupakan studi tentang struktur, proses, mekanisme dan
pengaruh faktor biotik serta abiotik dalam perkembangbiakan tumbuhan. Rudolf Jacob
Camerius pada tahun 1694 merupakan orang pertama yang menunjukkan adanya kelamin
pada tumbuhan. Kemudian Koelrenter melakukan pengamatan tentang peranan serangga pada
penyerbukan bunga. Penelitian lebih lanjut tentang hubungan antara serangga dan bunga serta
adaptasi sekitar 500 jenis tumbuhan dijelaskan oleh Sprengel dalam bukunya: Das entdechte
Gehelimniss der Natur im Bau und in der Befruchtung, terbit tahun 1973. Charles Darwin
juga menaruh perhatian terthadap penyerbukan dan penangkaran tumbuhan. Buku yang
ditulis tentang hal itu berjudul: On the various Contrivances by which Orchids are Fertilised
by Insects, tahun 1862, serta buku The Effects of Cross and Self Fertilization in the Vegetable
Kingdom, tahun 1876 (Stuessy, 1989).
Data reproduksi yang berkaitan dengan taksonomi antara lain: fenologi, penyerbukan,
kelenjar madu, sistem penangkaran, dan agen pemencaran.
Fenologi merupakan studi tentang periodesitas pada tumbuhan yang berkaitan dengan
perubahan iklim. Contohnya: waktu berbunga, gugur bunga, buah, atu tunas. Apabila dua
takson yang berkerabat dekat, musim berbunga tidak bersamaan (sympatrik atau allopatrik)
maka dapat diartikan jenis tersebut termasuk jenis “asli”.
Vektor penyerbukan tumbuhan dapat dibedakan atas faktor abiotik dan biotik. Faktor
abiotik sebagai agen penyerbuk adalah: angin (anemophily) dan air (hydrophily). Sedangkan
faktor biotik dapat dilakukan oleh serangga (entomophily), burung (ornitophily), kelelawar
(chiropterophily), dan siput (malacophily).
Kelenjar madu (nektarium) pada bunga serta komposisinya merupakan data yang baik
untuk mengetahui hubungan kekerabatan tumbuhan. Kandungan gula dan asam amino yang
terdapat pada kelenjar madu untuk masing-masing tumbuhan bervariasi baik secara
kuantitatif maupun kualitatif.
Sistem pemencaran yang dilakukan tumbuhan berkaitan dengan proses agihan
tumbuhan itu sendiri. Perubahan struktural biasanya terjadi disesuaikan dengan para agent
pemencar. Ada tumbuhan yang bijinya disebarkan secara mekanis oleh tumbuhan itu sendiri
(autochory), seperti pecahnya buah (buah dehiscent). Tumbuhan lain, bijinya dapat
disebarkan oleh burung (ornithochory), binatang menyusui (mamaliochory), binatang melata
(saurochory), ikan (ichthochory), dan semut (myrmecochory).
9. Data Ekologi dan Geografi
Data ekologi tidak berhubungan langsung dengan tumbuhan, tetapi interaksi
tumbuhan dengan lingkungannya. Interaksi tersebut terjadi antara tumbuhan dengan
lingkungan abiotik (tanah, udara, suhu, dan kelembapan) dan lingkungan biotik. Data utama
ekologi untuk kepentingan taksonomi adalah distribusi tumbuhan berdasarkan letak
dipermukaan bumi (phytogeografi), adaptasi tumbuhan, dan variasi takson.
Studi ekologi memberi petunjuk bahwa keadaan ciri morfologi berkorelasi dengan
faktor lingkungan seperti cahaya, kesuburan tanah, dan kelembapan. Sumbangan ekologi
terhadap taksonomi juga dalam mencari informasi dari faktor lingkungan, yaitu mengapa
terjadi ketidaksinambungan terhadap struktur, fungsi, dan distribusi tumbuhan.
Persebaran setiap jenis tumbuhan yang menyusun flora dipengaruhi oleh sejarah
tumbuhan masa lalu dan masa kini serta letak lintang dan bujur. Tumbuhan yang tumbuh di
daerah tropik jarang ditemukan di kawasan sub-tropik maupun daerah kutub. Demikian juga
sebaliknya. Kemampuan bermigrasi sangat tergantung pada efisiensi pemencaran tumbuhan
dan daya adaptasi terhadap lingkungan tempat hidup tumbuhan. Setiap jenis tumbuhan yang
berbeda umumnya mempunyai daerah persebaran yang berbeda pula. Walaupun ada beberapa
jenis tumbuhan menempati daerah persebaran yang sama. Taksa yang menempati daerah-
daerah geografis secara ekslusif disebut Allopatrik. Taksa yang persebarannya disuatu
daerah secara bersama-sama atau tumpang tindih disebut Simpatrik atau Semi simpatrik.
Pada tingkat jenis, pola persebaran tumbuhan dapat memberikan informasi temtang jenis
tumbuhan yang bersifat: (1) Kosmopolit, penyabaran sangat luas; (2) Sirkumpolar, hanya
menyebar di kutub utara dan selatan; (3) sirkumboreal, tersebar hanya di daerah boreal; (4)
Pantropik, menyebar di daeah tropik dan subtropik.
Perubahan setiap takson pada daerah tertentu sering dibatasi oleh habitat yang sesuai.
Habitat tersebut dapat berupa wlayah luas, kantong wilayah terpisah atau terpencar jarang.
Keadaan ini akan menghasilkan pola persebaran yang mendekati kontinyu pada habitat yang
luas da persebaran terputus (disjungsi) untuk habitat yang terpencar-pencar dan terpencil.
Selain yang telah disebutkan juga dikenal adanya takson endemik, yaitu persebaran takson
dengan daerah sangat terbatas atau habitat tunggal. Contoh, Rafflesia arnoldi R. Br yang
merupakan kebanggaan masyarakat Ilmiah Indonesia yang berkecimpung dalam ilmu
tumbuh-tumbuhan. Dikenal ada 2 tipe endemisme, yaitu: Neoendemisme dan
Paleoendemisme.
Neoendemisme terdiri dari takson-takson yang berdasarkan teori evolusi masih muda
dan belum mampu menyebar ke daerah lain. Paleoendemisme merupakan tumbuhan lama
yang daerah pesebaran sebelumnya lebih luas dari yang sekarang. Proporsi flora neoendemik
dan paleoendemik dalam satu wilayah persebaran aakan memberikan informasi tentang umur
dan sejarah suatu takson. Paleoendemik umumnya bercirikan variasi amplitude kecil, habitat
sempit, taraf ploidi rendah dan retrogresif. Sedangkan neoendemik bercirikan kaya akan
biotipedan relative lebih agresif. Beberapa jenis endemic menyebar terbatas pada daerah yang
sangat sempit. Hal ini disebabkan oleh lahirnya yang belum lama, kepurbaannya merupakan
jenis-jenis langka yang hampir punah, persyaratan tumbuh yang sangat khusu, atau karena
rintangan fisik geografi yang menghalangi ekspansinya.

Anda mungkin juga menyukai