Anda di halaman 1dari 243

PELATIHAN PROPHETIC PARENTING UNTUK MENINGKATKAN

RESILIENSI ORANGTUA DALAM MENGASUH ANAK


BERKEBUTUHAN KHUSUS

TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Mencapai Derajat Magister Psikologi Profesi

Program Magister Psikologi Profesi


Konsentrasi Psikologi Klinis

Diajukan Oleh:
Bellyana Fitria, S.Psi
15915037

PROGRAM MAGISTER PROFESI PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2018

1
ii
iii
HALAMAN PERSEMBAHAN

Alhamdulillahirabbil „alamin
Terima kasih kepada:

Allah Subhanahu Wata’ala


Segala puji syukur hamba curahkan pada-Mu yang telah membantu hamba dalam
menyeselesaikan karya sederhana ini. Susah, senang, suka, duka, Engkau selalu
bersamaku dan memberi pertolongan kepadaku

Nabi Muhammad Sallallahu ‘alaihi Wassalam


Kupilih engkau sebagai tauladanku

Ayahanda Saeko Irianto, S.E dan Ibunda Sunarti


Yang selalu memberikan dukungan, perhatian, pengorbanan, nasihat, kasih
sayang, kesabaran, dan doa yang tiada henti hingga terselesaikan karya sederhana
ini

Mas Gilang, Teteh Tria, dan Anin


Yang selalu memotivasi, memberi dukungan, doa, dan keceriaannya. Semoga kita
bisa selalu menjadi anak yang selalu berbakti kepada orangtua dan terus berusaha
membanggakan kedua orangtua kita.

Mbah Uti
Yang selalu memberikan doa, dukungan, perhatian, dan wejangan-wejangannya

iv
HALAMAN MOTTO

Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?, Dan Kami telah menghilangkan
daripadamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu
sebutan (nama)mu. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai
(dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain,dan
hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.”(QS. Al Insyirah: 1-8)

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran


kalian dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan bertakwalah
kepada Allah supaya kalian beruntung.” (QS. Ali „Imraan: 200)

‫ان ْالح ِْك َم َة أَ ِن ا ْش ُكرْ ِلِل َو َمنْ َي ْش ُكرْ َفإ َّن َما َي ْش ُكرُ لِ َن ْفسِ ِه‬
َ ‫َولَ َق ْد آ َت ْي َنا لُ ْق َم‬
َ َّ‫َو َمنْ َك َف َر َفإِن‬
‫هللا َغنِيٌّ َح ِميْد‬
Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu:
"Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah),
maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang
tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".(QS.
Al Luqman:12

v
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT yang dengan rahmat,
kasih, dan ridho-Nya telah memberikan nikmat kehidupan berupa ilmu, rezeki,
kesehatan, serta kehadiran keluarga dan sesama. Shalawat serta salam peneliti
haturkan kepada junjungan kita Rasulullah SAW yang telah menuntun umat
manusia menuju jalan kebaikan dan keselamatan.
Dalam menyelesaikan penelitian tesis ini, peneliti tidak bisa lepas dari pihak-
pihak yang telah memberikan bantuan, baik secara materil, moril, maupun do‟a.
Maka dari itu, peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. rer. nat Arief Fahmi, MA., HRM., Psikolog. selaku Dekan Fakultas
Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia yang telah
memberikan sarana dan kesempatan peneliti untuk mengasah keilmuan dan
keterampilan di bidang psikologi.
2. Bapak Dr. H. Fuad Nashori, M.Si.,Psikolog. selaku Ketua Program Studi
Magister Profesi Psikologi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya
Universitas Islam Indonesia sekaligus dosen penguji sidang tesis. Terimakasih
karena telah memberikan sarana dan kesempatan peneliti untuk mengasah
keilmuan dan keterampilan di bidang psikologi, serta memberikan sumbangsih
ilmu, saran, dan motivasi untuk peneliti guna pengembangan ilmu psikologi ke
depan.
3. Ibu Dr. Phil. Qurotul Uyun, S. Psi., M. Si., Psikolog, selaku dosen Pembimbing
utama yang telah menyediakan waktu, pikiran, dan tenaga untuk membimbing
dan memotivasi peneliti guna menyelesaikan riset tesis ini.
4. Bapak Dr. Ahmad Rusdi, MA.SI. selaku Dosen Pembimbing kedua yang telah
menyediakan waktu, pikiran, dan tenaga untuk membimbing dan memotivasi
peneliti guna menyelesaikan riset tesis ini.

vi
5. Bapak M. Novvaliant Filsuf Tasaufi., M.Psi., Psikolog selaku dosen
koordinator bidang klinis. Terimakasih atas dukungan, bimbingan, dan arahan
yang telah bapak berikan.
6. Ibu Endah Puspitasari, S.Psi., M.Psi., Psikolog selaku dosen pembimbing
PKPP. Terimakasih atas perhatian dan kesabaran dalam memberikan
bimbingan, arahan, serta ilmu yang diberikan selama ini.
7. Ibu Rumiani, M.Psi.,Psikolog. selaku Dosen Penguji sidang tesis yang juga
telah banyak memberikan sumbangsih ilmu, saran, dan motivasi untuk peneliti
guna pengembangan ilmu psikologi ke depan.
8. Pihak-pihak sekolah yang telah memberikan kesempatan dan bantuan bagi
peneliti baik dalam menyebarkan angket maupun memberikan izin melakukan
penelitian di sana.
9. Seluruh subjek penelitian yang bersedia dan berkomitmen untuk mengikuti
rangkaian penelitian dari awal hingga akhir dengan kooperatif
10. Ibu Fani Eka Nur Tjahyo, S. Psi., M. Psi., Psikolog, selaku fasilitator
intervensi Pelatihan Prophetic Parenting yang telah menyediakan waktu,
pikiran, dan tenaganya untuk membimbing dan bekerjasama dengan peneliti,
sehingga kegiatan intervensi bisa berjalan dengan lancar.
11. Bapak Irwan Nurayana Kurniawan, S. Psi., M. Si, selaku fasilitator intervensi
Pelatihan Prophetic Parenting yang telah menyediakan waktu, pikiran, dan
tenaganya untuk membimbing dan bekerjasama dengan peneliti, sehingga
kegiatan intervensi bisa berjalan dengan lancar
12. Mba Dea, Mba Restriya, Fathira selaku tim observer kegiatan intervensi yang
sudah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membantu
peneliti dalam melaksanakan intervensi. Terimakasih tanpa kalian peneliti
tidak mampu melewati berbagai rintangan di lapangan.
13. Mba Siska dan Mba Raras yang sudah sabar mendengarkan keluh kesah,
menyediakan waktu untuk memberikan saran, dan melayani semua pertanyaan-
pertanyaan yang membuat peneliti gundah.

vii
14. Mba Dea, Mba Afi, Asih, Tri, dan Wanda yang sudah meluangkan waktu
waktu, tenaga, dan pikiran untuk membantu dan menemani peneliti mengurus
administrasi dan kunjungan rumah hingga klaten.
15. Gang Frozen (Mba Keke, Mba Afi, Mba Dea, dan Widya) yang sudah banyak
memberikan bantuan dan dukungan selama kuliah. Terimakasih untuk kalian
yang telah mau bersama-sama berjuang dan berproses untuk menjadi pribadi
yang lebih baik. Semoga tali silahturahmi dapat tetap terjaga.
16. Keluarga besar Mahasiswa Magister Profesi Psikologi angkatan 12 khususnya
Bidang Klinis yang telah memberikan banyak hiburan, dukungan, dan
kontribusi ilmu. Semoga tali silahturahmi dapat tetap terjaga
17. Seluruh staf Program Studi Magister Profesi Psikologi Universitas Islam
Indonesia yang sudah membantu peneliti dalam hal administrasi.
18. Semua rekan dan pihak yang telah membantu dan mendukung peneliti dalam
menyelesaikan penelitian tesis ini.

Peneliti menyadari bahwa penelitian tesis ini masih banyak terdapat


kekurangan. Maka dari itu, sumbangsih berupa saran dan pendapat sangat
dibutuhkan oleh peneliti. Semoga penelitian tesis ini menjadi sebuah karya yang
mendapatkan ridho dari Allah SWT serta bermanfaat bagi penulis, pihak-pihak
terkait, serta pembaca.

Yogyakarta, Juni 2018


Peneliti,

Bellyana Fitria, S.Psi.

viii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................. ii
PERNYATAAN AKADEMIK ............................................................... iii
HALAMAN MOTTO ............................................................................. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................. v
KATA PENGANTAR ............................................................................ vi
DAFTAR ISI ........................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ................................................................................... xii
DAFTAR GRAFIK ................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xiv
ABSTRAK .............................................................................................. xv
INTISARI................................................................................................ xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 1
C. Tujuan ................................................................................................. 11
D. Manfaat Penelitian .............................................................................. 12
E. Keaslian Penelitian ............................................................................. 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Resiliensi ............................................................................................ 18
1. Definisi .......................................................................................... 18
2. Aspek Resiliensi ............................................................................ 20
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi ............................... 23
B. Prophetic Parenting ........................................................................... 27
1. Pengertian Prophetic Parenting .................................................... 27
2. Aspek-aspek Prophetic Parenting ................................................. 29
3. Perbedaan Prophetic Parenting dengan Pengasuhan Barat........... 36

ix
C. Tunagrahita ......................................................................................... 39
1. Pengertian Tunagrahita ............................................................... 39
2. Karakteristik Tunagrahita............................................................ 39
3. Faktor-faktor yang Menyebabkan Tunagrahita ........................... 41
4. Kondisi Psikologis Orangtua yang Memiliki Anak Berkebutuhan
Khusus ......................................................................................... 42
5. Pelatihan Prophetic Parenting untuk Meningkatan Resiliensi Orangtua
dalam mengasuh Anak Berkebutuhan Khusus ................................... 44
6. Bagan Dinamika Psikologis ............................................................... 56
7. Hipotesis ............................................................................................. 57
BAB III METODE PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel Penelitian .......................................................... 58
B. Definisi Operasional ........................................................................... 58
1. Resiliensi........................................................................................ 58
2. Pelatihan Prophetic Parenting....................................................... 59
C. Subjek Penelitian ................................................................................ 59
D. Rancangan Penelitian ......................................................................... 60
E. Metode Pengumpulan Data ................................................................ 62
1. Wawancara ................................................................................... 62
2. Skala Resiliensi ............................................................................ 63
F. Prosedur Penelitian ............................................................................. 65
G. Metode Analisis Data ......................................................................... 71
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Orientasi Kancah dan Persiapan ......................................................... 73
1. Orientasi Kancah ........................................................................... 73
2. Persiapan Penelitian ....................................................................... 75
B. Laporan Pelaksanaan Penelitian ......................................................... 84
1. Pelaksanaan Prates ......................................................................... 84
2. Pelaksanaan Intervensi Pelatihan Prophetic Parenting ................. 90
3. Pelaksanaan Tindak Lanjut (Pascates 2)........................................ 126
4. Pelaksanaan terhadap Kelompok Kontrol (Waiting List) .............. 126

x
C. Hasil Penelitian................................................................................... 127
1. Deskripsi Subjek Penelitian ........................................................... 127
2. Analisis Kuantitatif ........................................................................ 129
3. Analisis Kualitatif .......................................................................... 137
D. Pembahasan ........................................................................................ 163
E. Evaluasi .............................................................................................. 179
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ......................................................................................... 184
B. Saran ................................................................................................... 185
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 189
LAMPIRAN

xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Perbedaan Gaya Pengasuhan Authoritative dan Prophetic
parenting ................................................................................................. 38
Tabel 2. Desain Penelitian ...................................................................... 60
Tabel 3. Blueprint Skala Resiliensi Modifikasi CD-RISC ..................... 65
Tabel 4. Rancangan Pelatihan Prophetic Parenting (Sebelum Uji Coba
Modul dan Professional Judgement) ...................................................... 68
Tabel 5. Blueprint Skala Resiliensi Modifikasi CD-RISC Setelah Diuji
Coba ........................................................................................................ 76
Tabel 6. Rancangan Pelaksanaan Pelatihan Prophetic Parenting (Setelah
Uji Coba Modul dan Professional Judgement) ...................................... 73
Tabel 7. Profil Fasilitator ........................................................................ 83
Tabel 8. Standar Penilaian Modul Intervensi yang Diberikan pada Peserta
Uji Coba Modul ...................................................................................... 85
Tabel 9. Hasil Penilaian Uji Coba Modul ............................................... 86
Tabel 10. Hasil Preview Uji Coba Modul dan Professional Judgement
terhadap Pelaksanaan Pelatihan Prophetic Parenting ............................ 88
Tabel 11. Kategorisasi Skor Resiliensi Subjek Berdasarkan Persentil ... 82
Tabel 12. Deskripsi Subjek Penelitian Kelompok Eksperimen .............. 128
Tabel 13. Deskripsi Subjek Penelitian Kelompok Kontrol ..................... 128
Tabel 14. Deskripsi Data Penelitian Skor Resiliensi .............................. 129
Tabel 15. Deskripsi Data Statistik Resiliensi Kelompok Eksperimen dan
Kelompok Kontrol .................................................................................. 130
Tabel 16. Uji Normalitas Shapiro-Wilks ................................................. 132
Tabel 17. Uji Homogenitas Resiliensi .................................................... 133
Tabel 18. Uji Asumsi Sphericity ............................................................. 134
Tabel 19. Uji Interaksi antara Time (pra-pascates1-pascates2) dan Group
( Eksperimen Dan Kontrol) ..................................................................... 134
Tabel 20. Uji Beda Prates, Paskates 1, dan Paskates 2 Kelompok
Eksperimen.............................................................................................. 135

xii
Tabel 21 Uji Beda Prates, Paskates 1, dan Paskates 2 Kelompok
Kontrol .................................................................................................... 135
Tabel 22. Efek Variabel Kontrol terhadap Resiliensi ............................. 136
Tabel 23. Analisis Tambahan .................................................................. 137

xiii
DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. Perbandingan Skor Rerata Resiliensi ...................................... 131


Grafik 2. Perkembangan Skor Resiliensi DY ......................................... 141
Grafik 3. Perkembangan Skor Resiliensi ST........................................... 145
Grafik 4. Perkembangan Skor Resiliensi NR.......................................... 149
Grafik 5. Perkembangan Skor Resiliensi TK .......................................... 154
Grafik 6. Perkembangan Skor Resiliensi RT .......................................... 157
Grafik 7. Perkembangan Skor Resiliensi SR .......................................... 162

xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Informed Consent
Lampiran 2 : Skala Resiliensi, Skala Dukungan Keluarga, Skala Dukungan
Sosial
Lampiran 3 : Surat Pernyataan Professional Judgement Modul Intervensi
Lampiran 4 : Tabulasi Data Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol
Lampiran 5 : Hasil Hitung Statistik
Lampiran 6 : Hasil Observasi Peserta Intervensi
Lampiran 7 : Dokumentasi Foto Kegiatan Intervensi
Lampiran 8 : Daftar Hadir Peserta Kegiatan Intervensi
Lampiran 9 : Surat Izin Penelitian

xv
PROPHETIC PARENTING TRAININGS TO IMPROVE PARENTS’
RESILIENCE IN RAISING CHILDREN WITH SPECIAL NEEDS

Bellyana Fitria
Qurotul Uyun
Ahmad Rusdi

Faculty of Psychology and Social Cultural Sciences


Universitas Islam Indonesia
Email: bellyanafitria@gmail.com

ABSTRACT

This study aimed to find out about the effects of prophetic parenting training on
improving parents‟ resilience in raising children with special needs. The subjects
in this study were 11 mothers of children with special needs who had resilience
scores that fell in the very low to moderate category. These 11 women were
divided into two groups: 6 subjects were in the experiment group and 5 subjects
were in the control group. The prophetic parenting training was done in four
meetings and each lasted for 2 hours. Resilience was measured using Modified
Connor and Davidson‟s Resilience Scale (Dong, et al., 2013) adapted by
Kurniawan (2015) into 25 items. Pre-tests were carried out before the trainings,
and post-tests after the trainings, while follow-up was performed two weeks after
the post-tests were conducted. This study used statistical analysis in the form of
Anava Mixed Design. The results of the statistical analysis showed that the
prophetic parenting trainings have a value of F=1,048, p=0,377 (p>0,05), dan η²=
13%. This way, it can be concluded that the prophetic parenting trainings do not
have significant effect on improving parents‟ resilience in raising children with
special needs. However, qualitative analysis showed that there are positive
changes in each of the subjects belonging to the experiment group, such as
emotional, cognitive, behavioral, and spiritual changes.

Keywords: prophetic parenting training, resilience, children with special needs

xvi
PELATIHAN PROPHETIC PARENTING UNTUK MENINGKATKAN
RESILIENSI ORANGTUA DALAM MENGASUH ANAK
BERKEBUTUHAN KHUSUS

Bellyana Fitria
Qurotul Uyun
Ahmad Rusdi

Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya


Universitas Islam Indonesia
Email: bellyanafitria@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelatihan prophetic parenting
terhadap peningkatkan resiliensi pada orangtua yang mengasuh anak
berkebutuhan khusus (tunagrahita). Subjek dalam penelitian ini adalah 11 ibu dari
anak-anak penyandang tunagrahita yang memiliki skor resiliensi dalam kategori
sangat rendah hingga sedang. Dari 11 orang tersebut terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu 6 subjek kelompok eksperimen dan 5 subjek kelompok kontrol.
Pelatihan prophetic parenting dilakukan sebanyak empat kali pertemuan dan
berlangsung selama 2 jam. Resiliensi diukur menggunakan skala Modified
Connor and Davidson Resilience Scale (Dong, dkk., 2013) yang telah adaptasi
oleh Kurniawan (2015) menjadi 25 aitem. Prates diberikan sebelum pelatihan,
pascates 1 diberikan setelah pelatihan, dan pascates 2 dilakukan dua minggu
setelah diberikan pascates. Penelitian ini menggunakan analisis statistik berupa
Anava Mixed Design. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pelatihan
prophetic parenting memiliki nilai F=1,048, p=0,377 (p>0,05), dan η²= 13%.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pelatihan prophetic parenting tidak
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan resiliensi orangtua
dalam mengasuh anak berkebutuhan khusus. Namun analisis kualitatif
menunjukkan ada perubahan positif yang dialami pada masing-masing subjek
kelompok eksperimen seperti emosi, kognitif, perilaku, dan spiritual.

Kata kunci: pelatihan prophetic parenting, resiliensi, anak berkebutuhan khusus

xvii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pengasuhan adalah pekerjaan yang tidak mudah untuk dilalui oleh

sebagian orangtua, terutama menjadi orangtua dari anak berkebutuhan khusus

adalah suatu kondisi yang paling berat dan menegangkan untuk dilalui (Moawad,

2012). Membesarkan anak berkebutuhan khusus (tunagrahita) dianggap sebagai

salah satu stressor bagi orangtua yang dapat menimbulkan ketegangan emosional

dan psikologis bagi orangtua (Roach, Orsmond, & Barrat, 1999; dalam Habib,

Jameel, & Fazzal, 2015). Hal ini karena orangtua dituntut untuk dapat beradaptasi

dengan perubahan keadaan dan kebutuhan anak, besarnya biaya untuk terapi dan

pendidikan, tuntutan memberikan perawatan, serta perasaan yang tidak siap

terhadap tugas-tugas pengasuhan (Hughes, 1999; dalam Daire, dkk., 2011;

Sullivan-Bolyai, Sadler, & Knafl, 2003; Oruche, dkk., 2012; dalam Moawad,

2012).

Selain itu, orangtua juga dihadapkan pada masalah dengan anak kandung

lainnya, kesulitan dalam mencari bantuan, dan harus dihadapkan pada sitgma

negatif dari masyarakat terkait anak berkebutuhan khusus serta muncul berbagai

pikiran dan emosi yang negatif, seperti perasaan ketidakpastian masa depan anak

(William & Piamjariyakul, 2010; Howel, dkk., 2007; Habib, Jameel, & Fazzal,

2015; Mulcahy & Savage, 2016). Efek negatif dari kondisi yang dihadapi oleh

orangtua dengan anak berkebutuhan khusus menimbulkan perasaan

1
2

ketidakmampuan untuk melakukan peran dan tanggung jawabnya, sehingga

menjadi kesulitan yang besar bagi orangtua.

Kondisi ibu yang penuh tekanan dan berada dalam kondisi yang sulit,

menyebabkan proses pengasuhan menjadi kurang positif (Hidayati, 2013). Sejalan

dengan Phelps, dkk (2014), mengatakan bahwa stres yang dialami oleh ibu

menyebabkan proses pengasuhan menjadi tidak efektif. Ibu yang belum dapat

menerima kondisi anak dengan sepenuhnya, cenderung bersikap terlalu protektif

dalam memperlakukan anak atau cenderung membebaskan/mengabaikan perilaku

anak tanpa adanya pengawasan (Wijaya, 2015). Jika hal tersebut dilakukan secara

terus menerus, maka proses pengasuhan akan menjadi semakin tidak efektif dan

hal tersebut akan semakin memperburuk keadaan perkembangan anak (Wijaya,

2015 & Hidayati, 2013). Dengan kata lain, mengasuh anak berkebutuhan khusus

merupakan tekanan sulit yang harus dihadapi orangtua, sehingga berdampak pada

kemampuan resiliensi orangtua.

Sebagaimana dengan kondisi di lapangan yang menunjukkan bahwa

sebagian besar orangtua khususnya ibu dengan anak berkebutuhan khusus

tunagrahita mengeluh kesulitan, kebingungan, bahkan mengaku tertekan ketika

mengasuh anak yang berkebutuhan khusus. Kesulitan tersebut dialami ketika

orangtua dihadapkan pada kondisi saat mengatasi emosi anak, anak sulit untuk

diajak kerjasama, dan keinginan anak yang harus dipenuhi. Bahkan ada orangtua

yang mengaku sempat malu dengan kondisi dan stigma negatif dari masyarakat

mengenai anak yang menyandang berkebutuhan khusus. Beberapa orangtua juga

memiliki kekhawatiran akan masa depan anaknya yang berkebutuhan khusus.


3

Salah satu uraian hasil wawancara yang menggambarkan kondisi sulit

yang dialami oleh salah seorang seorang ibu dengan anak penyandang down

syndrome yaitu RN. Saat hamil anak bungsu yang berkebutuhan khusus yang

berinisial BN, RN mengaku diluar rencana karena saat itu RN masih menjalani

program KB. Ketika mengetahui anak terlahir berbeda dengan anak lainnya, RN

mengaku sangat terpukul, kecewa, dan sempat menyangkal akan takdir Allah.

Bahkan ketika anak mengalami hambatan dalam perkembangannya RN sempat

putus asa. Segala cara sudah RN lakukan demi melihat anak bungsunya berjalan.

Meski kini anak telah mengalami perkembangan yang lebih baik, namun RN

masih merasa bahwa hal yang dilakukan untuk anak masih dianggap kurang

maksmial. Hal ini karena besarnya harapan RN terhadap anak bungsunya agar

dapat tumbuh dan berkembang seperti anak-anak lainnya yang dapat melakukan

kemandirian. RN juga khawatir akan masa depan BN, terutama ketika RN tak lagi

mampu mendampinginya.

Selain itu, suami RN juga sempat sulit menerima kondisi anak bungsunya.

Suami juga memaksakan BN untuk mengikuti pendidikan di sekolah umum.

Namun yang terjadi BN sering diperlakukan tidak baik oleh teman-temannya,

seperti dipukul dan dihina. RN mengaku terpukul dan sedih melihat BN

diperlakukan demikian oleh temannya. Hal ini karena RN tidak memiliki kendali

untuk menyalahkan anak-anak. RN sempat berdebat membujuk suami agar ikhlas

menerima kondisi anak dan merelakan BN sekolah di SLB. Tidak hanya itu, RN

juga dihadapkan pada berbagai macam sitgma negatif dari tetangga yang mencaci

kondisi anak yang dianggap sebagai penyebab sarana pesugihan. Selain itu,
4

adapula yang menganggap bahwa kondisi anaknya yang down syndrome dianggap

sebagai hal yang dapat menularkan penyakit. RN mengaku sangat terpukul dan

sakit hati dengan respon tetangga yang demikian.

Kemudian hambatan yang dialami RN selama mengasuh BN adalah

kesulitan untuk memahami perkataan BN. RN juga kesulitan untuk mengatasi

ketika BN tidak dapat mengungkapkan keinginannya dan hanya bisa menangis.

BN juga sulit untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan yang baru, jika BN

merasa tidak nyaman, BN akan menangis. Hal ini yang sering membuat M,

merasa kesulitan untuk mengatasi emosi BN. Selain itu, kondisi BN yang

membutuhkan banyak perhatian RN, menyebabkan timbul kecemburuan pada

anak kedua RN. Disamping itu, kurang adanya keterlibatan suami RN dalam

mengasuh anak. Kondisi-kondisi tersebut yang sering membuat RN merasa berat

dan tidak mampu untuk mengasuh anak (wawancara pribadi pada tanggal 9 Maret

2018).

Peneliti juga melakukan wawancara dengan salah satu kepala sekolah SLB

di jogja yaitu AN. AN mengatakan bahwa beberapa orangtua mengharapkan

kesembuhan dari anak-anaknya agar anak dapat tumbuh seperti anak normal

lainnya. Bahkan ada orangtua wali murid yang sangat protektif terhadap anaknya

yaitu menunggu anak hingga pulang sekolah. Sebagian besar orangtua wali murid

tidak banyak berharap terhadap anak, namun cenderung memasrahkan harapan

anak pada pihak sekolah (Wawancara pribadi pada tanggal 14 Maret 2018).
5

Berdasarkan hasil wawancara, dapat disimpulkan bahwa mengasuh anak

berkebutuhan khusus merupakan tekanan yang sulit harus dihadapi orangtua,

sehingga membuat orangtua menjadi tidak resilien. Markstorm, Marshall, dan

Tryon (Ahern, 2006), mengatakan bahwa individu dengan resiliensi yang rendah

jika dihadapkan pada kesulitan, maka individu akan mudah menyerah, tertekan,

rentan mengalami keterpurukan, dan memiliki kecenderungan untuk bertindak

maladaptif. Begitu juga dengan orangtua yang kurang dapat menerima kenyataan

mengenai kondisi anaknya, hanya akan membuat dirinya semakin merasa terpuruk

dan menjadi tidak efektif dalam melakukan perannya sebagai orangtua terutama

dalam hal pengasuhan dan mendukung perkembangan anak (Hidayati, 2013).

Sebagaimana hasil wawancara pada salah satu guru SLB yaitu YT, bahwa

hal-hal yang telah diajarkan atau dilatih di sekolah, kebanyakan dari orangtua

sering tidak menerapkannya kembali di rumah. Akibatnya siswa tidak mengalami

peningkatan yang signifikan. YT menambahkan bahwa masih ada beberapa

orangtua yang belum dapat menerima kenyataan atas kondisi yang dialami oleh

anak, sehingga orangtua kerap kali memarahi anak karena tidak mampu

mengerjakan atas perintah yang diberikan (Wawancara pribadi pada 14 Februari

2018). Moawad (2012) menambahkan hanya 4% dari orangtua dapat menerima

kenyataan mengenai kelainan yang dialami oleh anak.

Kurangnya pengetahuan orangtua dalam menangani anak berkebutuhan

khusus menjadi suatu hambatan (Kazdin & Whitley, 2003). Dampaknya,

munculnya perasaan tidak mampu atau kurangnya kompetensi dalam mengasuh

anak, sehingga menyebabkan orangtua untuk mengalami stres yang lebih berat,
6

menurunnya kepercayaan diri, dan secara bertahap individu akan mengalami

permasalahan psikologis lainnya, yang kemudian berdampak pula terhadap

kualitas pengasuhan (Dadsetan, Azghandi, & Abadi, 2006; dalam Pouretemad,

dkk., 2009).

Resiliensi perlu dimiliki oleh setiap manusia, karena resiliensi adalah

sebagai proses adaptasi individu saat dihadapkan pada kesulitan atau stres (Eley,

dkk., 2013). Ketika individu mampu menyesuaikan diri terhadap harga diri,

mampu mencari dukungan sosial, mampu memecahkan masalah, dan memiliki

strategi penanggulangan atas kesulitan, maka dianggap sebagai individu yang

resilien (Dumnot & Provost, 1999; dalam Kaur, 2015). Sebagaimana yang

diungkapkan oleh Connor dan Davidson (2003), bahwa individu dengan resilien,

mampu mencerminkan gagasan kompetensi personal, standar yang tingggi dan

gigih; percaya pada naluri, toleransi terhadap afek negatif, dan kuat menghadapi

stres; penerimaan yang positif terhadap perubahan dan memiliki hubungan yang

aman dengan orang lain; kemampuan untuk mengontrol; memiliki spiritual.

Resiliensi terbentuk karena adanya proses interaksi antara faktor resiko

dengan faktor protektif (Kalil, 2003). Memiliki anak berkebutuhan khusus

merupakan faktor resiko yang menimbulkan kesulitan bagi orangtua (Linley &

Joseph, 2004). Hal ini karena mengatasi masalah yang berkaitan dengan anak

berkebutuhan khusus adalah proses yang sangat sulit untuk dilalui dan beberapa

orangtua kesulitan untuk dapat menyesuaikan diri dengan kondisi yang

dihadapinya (Gibson, 1995; dalam Kaur, 2015). Faktor resiko adalah segala
7

sesuatu yang memiliki pontensi untuk menimbulkan kesulitan dalam hidup (Kalil,

2003).

Sedangkan individu dapat dikatakan resilien, apabila dihadapkan pada

faktor resiko, individu tersebut juga harus memiliki faktor protektif (pelindung)

yaitu hal-hal yang dapat memperkuat individu dalam menghadapi kesulitan yang

bersumber baik dari dalam maupun luar individu (Kalil, 2003). Faktor protektif

ini berupa proteksi dalam diri individu, proteksi dari keluarga, dan proteksi dari

komunitas (Noltemeyer & Bush, 2013). Kalil (2003), juga menambahkan bahwa

faktor protektif diketahui dapat digunakan sebagai program pencegahan dan

intervensi yang efektif.

Salah satu upaya untuk meningkatkan resiliensi orangtua dalam mengasuh

anak berkebutuhan khusus yaitu diberikan tambahan pengetahuan dan

keterampilan terkait pengasuhan berupa pelatihan prophetic parenting. Prophetic

parenting ini berperan sebagai faktor protektif untuk meningkatkan resiliensi

orangtua mengasuh anak berkebutuhan khusus. Hal ini sejalan dengan Brookman-

Frazee (2004), bahwa program pendidikan pengasuhan diketahui memiliki

dampak positif bagi orangtua dalam mengasuh anak berkebutuhan khusus. Preece

dan Trajkovski (2017), menambahkan berdasarkan hasil tinjauan dari 12 literatur

narasi melaporkan bahwa pendidikan pengasuhan terbukti sebagai intervensi

positif yang dapat menurunkan stres dan kecemasan, mampu menumbuhkan

interaksi komunikasi orangtua dan anak yang lebih baik, pemahaman mengenai

anak berkebutuhan khusus, serta mampu meningkatkan kepercayaan diri dan

kualitas hidup orangtua dalam mengasuh.


8

Melalui pelatihan prophetic parenting, orangtua akan mendapatkan

tambahan pengetahuan dan keterampilan pengasuhan berbasis Islami yakni

dengan meneladani gaya Rasulullah dalam mendidik dan mengasuh anak. Selain

itu, pelatihan prophetic parenting merupakan salah satu bentuk intervensi yang di

dalamnya terdapat unsur faktor protektif dari lingkungan atau komunitas, karena

orangtua bertemu dengan individu yang memiliki permasalahan yang sama.

McMillan & Chavis, menambahkan bahwa melalui proteksi dari

lingkungan/komunitas, individu dapat saling berbagi pengalaman, sehingga

mampu menumbuhkan pandangan yang positif, empati, dan dukungan emosional

(Noltemayer & Bush, 2013).

Pelatihan prophetic parenting ini juga melibatkan aspek spiritualitas.

Spiritualitas diketahui sebagai faktor penentu (resilient determinat) yang membuat

seseorang dapat resilien menghadapi kesulitan (Bogar & Killacky, 2006). Bogar

dan Killacky (2006) mengatakan bahwa keyakinan spiritualitas adalah komponen

penting bagi individu untuk dapat resilien dalam melewati kesulitan yang

dihadapi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Chang, Noonan, dan Tennstedt

(1998), bahwa pengasuh yang memiliki keyakinan spiritualitas yang tinggi dapat

mengatasi permasalahan melalui pemberian perhatian dan menjalin hubungan

yang lebih baik dengan anak, serta diketahui pula dapat memberikan rasa aman

dan nyaman bagi anak. Sejalan dengan Mahoney, Pargament, Tarakeshwar, dan

Murray-Swank (2008), bahwa keberagamaan dan spiritualitas pada individu akan

berpengaruh terhadap praktik pengasuhan yang lebih positif, menciptakan

kehangatan orangtua, dan meningkatkan kohevisitas dalam keluarga.


9

Adapun beberapa penelitian sebelumnya terkait pelatihan pengasuhan

untuk orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Penelitian yang

dilakukan oleh Hidayati (2013), menunjukkan bahwa pelatihan pengasuhan “ibu

cerdas” berpengaruh terhadap penurunan tingkat stres pengasuhan pada ibu yang

memiliki anak autis. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Pamungkas

(2015), menunjukkan bahwa pelatihan keterampilan pengasuhan terbukti mampu

menurunkan stres pengasuhan pada ibu dengan anak autis.

Selanjutnya, penelitian dari luar negeri yang dilakukan oleh Whitingham,

Sofronoff, Sheffield, dan Sanders (2009), menunjukkan bahwa pelatihan dengan

pendekatan Triple P mampu meningkatkan pemahaman orangtua dan mampu

menurunkan stres pengasuhan orangtua yang memiliki anak autis. Penelitian yang

Dean, Myors, dan Evans (2003), menemukan bahwa program Triple P (positive

parenting) diketahui dapat mengurangi perilaku mengganggu pada anak,

menurunkan tingkat disfungsi pengasuhan dan konflik antara orangtua dan anak,

serta meningkatkan kesehatan mental orangtua.

Hal yang membedakan pelatihan prophetic parenting dengan penelitian

sebelumnya yaitu menggunakan pendekatan Islami yang berlandaskan Al Quran

dan hadist. Sementara pelatihan positive parenting yang digunakan dalam

penelitian sebelumnya mengacu pada teori dan penelitian dari Barat. Penelitian

yang dilakukan oleh Sanders, Cann, dan Markie-Dadds (2003), program positive

parenting bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, kepercayaan

diri, mempromosikan pengasuhan yang aman tanpa kekerasan, dan

mempromosikan untuk meningkatkan kompetensi sosial, emosional, bahasa,


10

intelektual, dan perilaku pada anak. Min-Chiang (2013), juga menambahkan

bahwa strategi yang digunakan pada Triple P adalah memberikan ceramah terkait

pada keterampilan membentuk lingkungan yang aman, membangun hubungan

yang hangat antara orangtua dan anak, keterampilan mengontrol perilaku anak dan

diri sendiri, keterampilan komunikasi yang efektif, memiliki harapan yang

realistis, menerapkan disiplin yang asertif.

Sedangkan dalam pelatihan prophetic parenting, selain meningkatkan

keterampilan, kemampuan dan kepercayaan diri orangtua dalam mengasuh, juga

bertujuan melatih kesabaran, meredakan kekerasan hati, dan menyadarkan

orangtua akan tanggung jawab kewajiban mengasuh anak (Suwaid, 2010).

Pelatihan prophetic parenting menanamkan orangtua untuk dapat menjadi teladan

yang baik untuk anak, bersikap adil pada semua anak, menjauhi marah dan

mencari waktu yang tepat menasihati anak, menyadarkan tentang kekuatan

mendoakan anak, dan membantu orangtua untuk membentuk jiwa anak

berakhlakul kharimah yang baik melalui ajaran akidah, akhlak dan ibadah

(Suwaid, 2010). Meski secara kognitif pada anak berkebutuhan khusus

tunagrahita cenderung lambat, namun orangtua tetap dapat mempengaruhi jiwa

anak dengan mengajarkan dan menanamkan akidah, akhlak, ibadah sebagaimana

Rasulullah ajarkan, sehingga anak tetap tumbuh sebagai pribadi berakhlakul

kharimah yang baik.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah, peneliti tertarik untuk melihat

efektivitas pelatihan prohetic parenting untuk meningkatkan resiliensi orangtua

mengasuh anak berkebutuhan khusus (tunagrahita).


11

B. Rumusan Masalah

Apakah ada pengaruh pelatihan prophetic parenting terhadap peningkatan

resiliensi orangtua dalam mengasuh anak berkebutuhan khusus?

C. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelatihan prophetic

parenting terhadap peningkatan resiliensi pada orangtua yang memiliki anak

berkebutuhan khusus.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis

maupun praktis

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi secara empiris

dan aktual, sehingga dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan terutama

terkait dengan psikologi klinis dan psikologi perkembangan, khususnya

mengenai resiliensi pada orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus.

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan keterampilan

bagi orangtua terkait pengasuhan sebagaimana yang telah diajarkan dalam Al

Quran dan hadist. Selain itu, melalui pelatihan prophetic parenting orangtua

dapat lebih optimis, lebih mampu untuk bangkit kembali dan beradaptasi
12

dalam menghadapi kesulitan khususnya dalam mengasuh anak berkebutuhan

khusus.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran penelitian sebelumnya, penelitian mengenai

efektivitas pelatihan prophetic parenting untuk meningkatkan resiliensi

orangtua dalam mengasuh anak berkebutuhan khusus, belum pernah dilakukan.

Adapun penelitian sebelumnya terkait dengan pelatihan pengasuhan dan

orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus yang pernah dilakukan.

Penelitian yang dilakukan oleh Hidayati (2013) dengan judul pengaruh

pelatihan “pengasuhan ibu cerdas” terhadap stres pengasuhan pada ibu anak

autis.

Penelitian ini menggunakan desain penelitian the untreated control

group design with pretest and posttest. Jumlah subjek penelitian tersebut

sebanyak 20 orang ibu yang memiliki anak autis dengan tingkat stres

pengasuhan dari kategori sedang hingga tinggi, yang dibagi menjadi kelompok

eksperimen sebanyak 10 orang dan kelompok kontrol sebanyak 10 orang. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa pelatihan “ibu cerdas” terbukti efektif dapat

mengurangi stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak autis.

Penelitian yang dilakukan oleh Pamungkas (2015), yaitu pelatihan

keterampilan pengasuhan autis untuk menurunkan stres pengasuhan pada ibu

dengan anak autis. Penelitian ini menggunakan desain penelitian


13

nonrandomized pretest-posttest control group desain. Jumlah subjek penelitian

sebanyak 10 orang yang terdiri dari 5 subjek kelompok eksperimen dan 5

subjek kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi

penurunan tingkat stres pengasuhan pada ibu dengan anak autis setelah

diberikan pelatihan keterampilan pengasuhan anak autis.

Kemudian Whitingham, Sofronoff, Sheffield, dan Sanders (2009),

melakukan penelitian terkait stepping stones Tirple P: An RCT of a parenting

program with parents of a child diagnosis with an autism spectrum disorder.

Penelitian tersebut dilakukan di Australia dan melibatkan 59 partisipan.

Kemudian dibagi menjadi dua kelompok yaitu 29 partisipan sebagai kelompok

eksperimen dan 30 partisipan sebagai kelompok waiting list. Hasil penelitian

tersebut menunjukkan bahwa pelatihan dengan pendekatan Triple P mampu

meningkatkan pemahaman orangtua dan mampu menurunkan stres pengasuhan

orangtua yang memiliki anak autis.

Terkait dengan pendidikan pengasuhan Islami, terdapat penelitian

sebelumnya yang pernah dilakukan oleh Kurniawan dan Uyun (2013) dengan

topik penurunan stres pengasuhan orangtua dan disfungsi interaksi orangtua

anak melalui pendidikan pengasuhan versi pendekatan spiritual (PP-VPS).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan stres pengasuhan dan

interaksi disfungsional antara orangtua yang mengikuti pendidikan pengasuhan

dengan versi pendekatan spiritual dan orangtua tanpa mengikuti pendidikan

pengasuhan tanpa versi pendekatan spiritual. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa pendidikan pengasuhan versi pendekatan spiritual memiliki efek besar


14

dan substantif dalam mengurangi stres pengasuhan dan disfungsi interaksi

orangtua dan anak.

Berdasarkan pemaparan diatas, penelitian ini dapat disimpulkan sebagai

berikut:

1. Keaslian Topik

Penelitian ini memiliki keaslian topik karena penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh oleh Hidayati (2013), meneliti mengenai pengaruh pelatihan

“pengasuhan ibu cerdas” terhadap stres pengasuhan pada ibu anak autis.

Penelitian serupa yang dilakukan oleh Pamungkas (2015), meneliti terkait

pelatihan keterampilan pengasuhan autis untuk menurunkan stres pengasuhan

pada ibu dengan anak autis. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh

Whitingham, Sofronoff, Sheffield, dan Sanders (2009), meneliti terkait

stepping stones Tirple P: An RCT of a parenting program with parents of a

child diagnosis with an autism spectrum disorder. Sedangkan dalam penelitian

ini, peneliti mengangkat topik mengenai efektivitas pelatihan prophetic

parenting untuk meningkatkan resiliensi orangtua yang mengasuh anak

berkebutuhan khusus.

2. Keaslian Teori

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan aspek teori resiliensi dari

Dong, dkk (2013). Pada peneliti sebelumnya yaitu Hidayati (2013) dan

Pamungkas (2015) menggunakan teori stres pengasuhan dari Abidin (1995).


15

3. Keaslian Alat Ukur

Pada penelitian ini, peneliti mengadaptasi skala resiliensi yang

sebelumnya pernah digunakan oleh Kurniawan (2015) yaitu mengukur

resiliensi pada ibu yang memiliki anak menderita talasemia. Skala resiliensi

yang digunakan oleh Kurniawan (2015) merupakan adaptasi dari skala

Modified CD-RISC dari 27 aitem menjadi 25 aitem (Dong, dkk., 2013).

Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hidayati (2013)

dan Pamungkas (2015), yaitu mengukur tingkat stres pengasuhan dan

menggunakan alat ukur Parenting Stress Index-Short Form (PSI-SF) dari

Abidin (1995).

4. Keaslian Subjek Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti memilih subjek penelitian yaitu orangtua yang

memiliki anak berkebutuhan khusus penyandang tunagrahita. Sedangkan pada

penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hidayati (2012) dan Pamungkas

(2015), subjek penelitian yang digunakan adalah ibu yang memiliki anak autis.

5. Keaslian Intervensi

Pada penelitian ini, intervensi yang digunakan berbeda dengan

penelitian sebelumnya. Pelatihan prophetic parenting adalah rangkaian

pelatihan yang mencakup edukasi mengenai pengasuhan yang menggunakan

pendekatan Islami. Pelatihan prophetic parenting ini mengacu pada teori

Suwaid (2010) yaitu tentang meneladani cara Rasulullah dalam mendidik dan

mengasuh anak sebagaimana yang telah diriwayatkan dalam Al Quran dan


16

hadist. Sementara pelatihan positif parenting yang digunakan dalam penelitian

sebelumnya mengacu pada teori dan penelitian dari Barat yaitu Sanders

(1999).

Selain itu, menurut Sanders, Can, dan Markie-Dadds (2003), program

positive parenting bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan,

kepercayaan diri, mempromosikan pengasuhan yang aman tanpa kekerasan,

dan mempromosikan untuk meningkatkan kompetensi sosial, emosional,

bahasa, intelektual, dan perilaku pada anak. Sedangkan dalam pelatihan

prophetic parenting, selain meningkatkan keterampilan, kemampuan dan

kepercayaan diri orangtua dalam mengasuh, prophetic parenting juga

bertujuan melatih kesabaran, meredakan kekerasan hati, dan menyadarkan

akan tanggung jawab kewajiban mengasuh anak (Suwaid, 2010). Kemudian

prophetic parenting membantu orangtua untuk mempengaruhi jiwa Islami

pada anak agar anak memiliki akhlakul kharimah yang baik melalui ajaran

akidah, akhlak dan ibadah (Suwaid, 2010).

Keterampilan yang diberikan pada penelitian pelatihan pengasuhan

sebelumnya seperti penelitian yang dilakukan oleh Min-Chang (2013), pada

Triple P strategi yang digunakan adalah memberikan cermah terkait pada

keterampilan membentuk lingkungan yang aman, membangun hubungan yang

hangat antara orangtua dan anak, keterampilan mengontrol perilaku anak dan

diri sendiri, keterampilan komunikasi yang efektif, memiliki harapan yang

realistis, menerapkan disiplin yang asertif. Kemudian penelitian yang


17

dilakukan oleh Hidayati (2013) yaitu pelatihan pengasuhan ibu cerdas dimensi

pengasuhan yang diberikan berupa kepedulian, kontrol, dan komunikasi.

Sementara dalam pelatihan prophetic parenting strategi yang diberikan

yaitu memberikan pengetahuan dan keterampilan terkait menampilkan suri

teladan yang baik, memilih waktu yang tepat dalam memberikan arahan,

bersikap adil, mendoakan anak, menunaikan hak anak, mempengaruhi jiwa

anak, mengajarkan anak berbakti dan mengerjakaan ketaatan, dan menjauhi

marah (Suwaid, 2010). Selain itu, pelatihan prophetic parenting ditujukan

untuk subjek orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus (tunagrahita),

sedangkan pada penelitian sebelumnya adalah orangtua yang memiliki anak

autis.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. RESILIENSI

1. Pengertian Resiliensi

Resiliensi digambarkan sebagai kemampuan individu untuk bangkit

kembali dari keterpurukan dan mengatasi keadaan sulit dalam menjalani

kehidupan (Marsh, 1996; dalam McAllister & McKinnon, 2009). Sejalan dengan

Eley, dkk (2013), yang mengatakan bahwa resiliensi sebagai proses adaptasi

terhadap kesulitan atau stres. Lebih lanjut Luthar (2005, dalam Daniel, 2010),

mendefinisikan resiliensi sebagai proses yang mencerminkan kemampuan

individu untuk beradaptasi yang relatif positif terhadap pengalaman traumatis

atau kesulitan. Wagnild dan Collins (2009), resiliensi adalah kemampuan

seseorang untuk mengatasi kesulitan dan mampu kembali ke dasar awal fungsi

seseorang. Sedangkan Connor dan Davidson (2003), mengatakan resiliensi

adalah kualitas yang memungkinkan individu tersebut berkehmbang dalam

menghadapi kesulitan.

Resiliensi dianggap sebagai konsep multidimensi yang bervariasi antara

manusia dan dipengaruhi oleh karakteristik seperti gender, latar belakang budaya,

latar belakang etnis, dan tingkat pendidikan (Connor & Davidson, 2003; Jowkar,

dkk., 2010). Wagnild (2003), menambahkan bahwa reiliensi dapat dianggap

sebagai karakteristk bawaan yang dimiliki setiap orang pada tingkat tertentu,

18
19

namun kemampuan resiliensi ini juga dapat ditingkatkan tergantung pada

keadaan hidup. Rutter menekanankan pentingnya konseptualisasi resiliensi

sebagai sebuah proses, bukan sekedar kompilasi faktor pelindung (Bogar &

Killacky, 2006). Seseorang dapat menjadi resilien, harus dihadapkan dengan

situasi traumatis atau stres, kemudian beradaptasi dengan memberikan

perlindungan dari efek negatif (Bogar & Killacky, 2006).

Pada dasarnya, resiliensi juga telah dianggap sebagai konstruksi utama

dalam psikologi positif dan diyakini berperan penting dalam menumbuhkan

kesejahteraan seseorang (Mark, Ng, & Wong, 2011). Beberapa tahun terakhir,

resiliensi diketahui telah berkontribusi sebagai faktor penting terhadap kesehatan,

kesejahteraan, kualitas hidup dan bagaimana orang menanggapi berbagai

tantangan (Friedli, 2009; Sikkes, dkk., 2008; Windle, 2011; dalam Pinheiro &

Matos, 2013). Oleh karena itu, resiliensi sebagai proses individu untuk

beradaptasi dengan positif atau kemampuan individu untuk mempertahankan

maupun memulihkan kembali kesehatan mentalnya, meskipun mengalami

kesulitan (Wald, dkk., 2006; dalam Herman, dkk., 2011).

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti memenyimpulkan bahwa resiliensi

adalah kemampuan seseorang untuk bangkit kembali, mengatasi, dan beradaptasi

dengan merespon secara positif dalam menghadapi situasi maupun kondisi yang

sulit.
20

2. Aspek-aspek Resiliensi

Connor dan Davidson (2003), karakteristik yang menunjukkan resiliensi

pada individu adalah:

a. Individu mampu mencerminkan gagasan kompetensi personal, standar yang

tinggi, dan keluetan

Pada aspek ini terkait dengan kemampuan individu untuk berusaha

menghadapi dan menyelesaikan kesulitan yang dialami. Individu yang resilien

akan melihat kesulitan sebagai sebuah tantangan yang harus dihadapi dan

memiliki keyakianan yang kuat untuk dapat bangkit kembali serta tidak mudah

putus asa dalam mengatasi kesulitan dengan tetap menunjukkan kontrol emosi dan

memiliki usaha yang keras.

b. Kepercayaan seseorang terhadap naluri, toleransi terhadap afek negatif, dan

tegar/kuat dalam menghadapi tekanan

Individu yang resilien, mampu mentoleransi dan menghadapi situasi sulit

dengan penuh ketenangan, tetap mampu mengambil keputusan, dan dengan cepat

mudah untuk menyesuaikan diri dengan kondisi stresful, seperti saat dihadapkan

dengan masalah abnormalitas atau gangguan perkembangan. Toleransi yang

dimiliki oleh individu dalam menghadapi kesulitan untuk menunjukkan seberapa

kuat inidvidu tersebut menghadapi stres dan kemampuan untuk mengelolanya.

c. Menerima perubahan dengan positif dan mampu menjalin hubungan yang

aman dengan orang lain

Menurut Lyons (Connor & Davidson, 2003), individu yang resilien dapat

menerima kesulitan dengan penuh kesabaran dan tetap dapat membangun


21

kedekatan atau kelekatan yang aman dengan orang lain, sehingga ketika

dihadapkan pada kesulitan individu mampu mencari atau mendapatkan dorongan

dan perhatian dari orang lain (Rutter, 1985; dalam Connor & Davidson, 2003).

d. Kemampuan untuk mengontrol

Individu yang resilien memiliki kemampuan untuk mengontrol emosinya

dan lebih realistis terhadap rasa kontrol tersebut. Individu yang mampu

mengontrol emosinya cenderung memiliki tempramen lebih tenang, sehingga

ketika dihadapkan pada kesulitan individu tidak akan mudah putus asa dan cepat

bangkit kembali dari kesulitan. Selain itu, kemampuan mengontrol tersebut akan

membantu individu untuk meningkatkan keterampilannya dalam pemecahan

masalah sosial.

e. Pengaruh spiritual

Individu yang memiliki rasa optimis dan memiliki tingkat keimanan atau

keyakinan kepada Tuhan, diketahui akan lebih mudah untuk bangkit dan mampu

menyesuaikan diri terhadap kesulitan. Hal ini dikarenakan peran iman dan

keyakinan dianggap sebagai proses intervensi yang akan membantu individu

untuk mencari jalan keluar dari permasalahan dan dapat memberikan dampak

yang positif dalam kelangsungan hidup individu itu sendiri.

Lebih lanjut Dong, dkk (2013) melakukan analisis faktor dan modifikasi

skala CD-RIS, kemudian diperoleh kesimpulan empat dimensi pembentuk

resiliensi:
22

a. Mencerminkan fleksibilitas untuk mengatasi perubahan dan tantangan

Individu yang mampu beradaptasi mengalami kesulitan atau sitauasi, mampu

memecahkan persoalan dan tidak mudah menyerah. Individu juga tetap mampu

merencanakan tujuan jangka panjang.

b. Dukungan sosial dan keluarga

Individu yang resilien tetap mampu menjalih hubungan sosial dengan orang-

orang disekitarnya. Hal ini karena mendapatkan dukungan dari keluarga maupun

lingkungan sosial, mampu membantu individu mengatasi kesulitan yang

dialaminya. Selain itu, meskipun dihadapkan pada kesulitan individu juga tetap

dapat memberikan dukungan pada orang lain

c. Pengaruh spiritual

Keyakinan spiritual yang dimiliki individu berperan penting dalam menghadapi

kesulitan. Individu dapat melihat sisi positif dibalik kesulitan yang dialami dan

optimis bahwa Tuhan akan membantu mengatasi kesulitan.

d. Memiliki kehidupan yang berorientasi pada tujuan

Meski dihadapkan pada situasi yang sulit, individu tetap memiliki tujuan hidup

yang jelas. Individu tetap mampu berpikir positif dan membuat keputusan, meski

dalam masa sulit.

Berdasarkan penjelasan tersebut, peneliti mengacu aspek atau dimensi dari

Dong, dkk (2013) yang merupakan hasil analisis faktor dari Connor dan
23

Davidson, yaitu fleksibiltas untuk mengatasi perubahan dan tantangan, dukungan

sosial dan keluarga, pengaruh spiritual, dan memiliki kehidupan berorientasi pada

tujuan.

3. Faktor yang Menentukan Resiliensi

Menurut Kalil (2003), terbentuknya resiliensi berasal dari interaksi antara

faktor resiko dan faktor protektif berikut uraian:

a. Faktor resiko

Faktor resiko adalah segala sesuatu yang berpotensi untuk menimbulkan

persoalan atau kesulitan dalam hidup. Luthar (Kalil, 2003) pun berpendapat

bahwa faktor resiko adalah “mediator” atau variabel yang memfasilitasi

terjadinya masalah perilaku. Pokok masalah pada faktor risiko meliputi

kehilangan pekerjaan, kemiskinan, perceraian, kematian, penyakit kronis,

kemandulan, orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus dan lain-lain.

b. Faktor protektif

Faktor protektif adalah hal-hal yang memperkuat individu dalam

menghadapi resiko. Ruter (1990, dalam Kalil, 2003), bahwa variabel protektif

dapat bertindak untuk mengubah efek samping dari variabel resiko seperti

meminimalisir dampak dari variabel resiko, mengurangi rantai peristiwa negatif,

membangun dan pemeliharaan harga diri (self efficacy), dan membuka peluang

baru menjadi pribadi yang lebih baik. Hill, Stafford, Ross, dan Daniel (2007)

mengemukakan bahwa faktor protektif terdiri atas beberapa cakupan


24

1) Faktor individual; yang mencakup jenis kelamin, kecerdasan, dan

kepribadian.

2) Faktor keluarga

Adanya kehangatan dalam keluarga, keharmonisan antara orangtua dan

anak, serta menyediakan waktu kebersamaan dengan keluarga diketahui tidak

hanya dapat membantu untuk mengembangkan kemampuan resiliensi, akan

tetapi dapat pula dijadikan perantara dalam mengatasi respon terhadap

kesulitan, seperti kemiskinan, kesehatan yang buruk, kehilangan sesorang

atau sesuatu serta terjadi kekerasan dalam masyarakat (Humpherys, 1998;

Rutter, 2000; Whyman et al, 2000; Masten, 2001, dalam Hill, dkk., 2007)

3) Faktor lingkungan atau komunitas.

Menurut McMillan dan Chavis (Noltemeyer & Bush, 2013) salah satu

operasionalisasi sumber sosial adalah sejauhmana seseorang memiliki rasa

komunitas. Artinya memiliki solidaritas, perasaan empati, dan keyakinan

bahwa masyarakat akan membantu memenuhi kebutuhan dan memberikan

dukungan pada sesama individu yang ada di dalam kelompok masyarakat.

Hal ini dikarenakan masyarakat berfungsi sebagai pelindung yang dapat

memberikan dukungan kepada individu yang membutuhkan rasa aman dari

lingkungan itu sendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Mayberry, Espelage,

dan Koenig (Noltemeyer & Bush, 2013) menemukan bahwa kemampuan

membangun hubungan sosial dengan masyarakat sekitar dapat berfungsi


25

sebagai faktor protektif dalam memberikan dukungan dan menciptakan

lingkungan yang aman.

Lebih lanjut, Bogar dan Killacky (2006), memaparkan hasil penelitian

kulaitatif terkait faktor penentu resiliensi (resilient determinant). Resilient

determinant serupa dengan faktor protektif, hanya saja Bogar dan Killacky

(2006) menganalisa secara kasuistik dengan mengidentifikasikan determinan

seseorang dapat bertahan dan kembali normal setelah dihadapkan pada

kondisi menekan atau traumatis. Berikut lima faktor penentu resiliensi:

a. Interpersonally skilled

Kemampuan interpersonal merupakan karakteristik pertama yang

mengambarkan individu mampu berinteraksi dengan orang lain, mampu

beripikiran secara mandiri/asertif, dan optimis terhadap kehidupan yang

kaitannya dengan orang lain. Kemampuan ini dapat mendorong individu

untuk mencapai kebagaiaan dan kesenangan dalam hidup. Oleh karena itu,

mereka dapat terhubung dengan orang lain dengan tepat, sebagaimana

dibuktikan oleh dukungan persahabatan, hubungan cinta, sukses mengasuh

anak mereka, pengembangan karir.

b. Compentent

Kompetensi ini merupakan bakat dan keterampilan yang berkontribusi

pada kemampuan individu untuk menjadi resilien. individu yang selalu

berusaha keras untuk mengasah kemampuan dan bakatnya, maka individu


26

dapat berkembang menjadi pribadi yang kompeten dan mampu bersaing

dengan positif dengan orang lain.

c. High self regard

Setiap individu tentunya memiliki pandangan yang negatif mengenai

dirinya. Individu yang memiliki penerimaan diri yang positif, maka

kelemahan yang dirasakan mampu tertutupi oleh kelebihan yang dimiliki,

sehingga individu dapat menerima diri apa adanya. Oleh karena itu, individu

harus mengubah cara berpikir tentang diri mereka sendiri.

d. Spiritual

Keyakinan spiritual merupakan komponen penting untuk membentuk

seseorang menjadi resilien untuk melewati masa-masa sulit. Hal ini karena

dengan memiliki keyakinan spiritual mampu membuat individu menerima

kondisi sulit yang dialaminya. Individu yang memiliki keyakinan spiritual

juga menyakini bahwa peristiwa yang telah terjadi merupakan takdir yang

telah diatur oleh Tuhan.

e. Helpful life circumstance

Individu mampu mengambil hal positif dari kesulitan yang dialami. Hal

ini karena adanya dukungan dari lingkungan seperti keluarga dan orang-orang

terdekat yang berperan untuk membantu individu menjadi resilien.


27

B. Prophetic parenting

1. Pengertian Prophetic parenting

Pengasuhan adalah suatu proses interaksi antara orangtua dan anak dalam

memberikan bimbingan, perhatian, perlindungan, kasih sayang dan tanggung

jawab terhadap pemenuhan kebutuhan material maupun kebutuhan pendidikan

berupa intelektual maupun moral sampai anak tumbuh menjadi dewasa (Brooks,

2011),. Salah satu pola asuh yang menggunakan pendekatan Islami adalah

prophetic parenting. Menurut Suwaid (2010) prophetic parenting merupakan

gaya pengasuhan yang meneladani metode Rasulullah dalam hal mendidik dan

mengasuh anak, seperti yang telah diriwayatkan dalam Al Quran dan Hadist yaitu

mengajarkan orangtua dalam mengasuh dan membentuk kepribadian anak secara

berkala, sedikit demi sedikit dengan menunjukkan sikap penuh kehangatan,

kelembutan dan kasih sayang dalam mengajarkan perintah-perintah Allah beserta

menerapkan sunah Rasulullah.

Al-„Adawy (2009), menambahkan bahwa dalam menerapkan pengasuhan

dengan pendekatan Islami, orangtua harus tahu dan meyakini bahwa hanya Allah

SWT yang mampu memberikan petunjuk, sehingga hal yang perlu dilakukan oleh

orangtua untuk kebaikan anak yaitu hanya dengan mencari sebab-sebab

datangnya hidayah dan menunaikan kewajiban-kewajiban orangtua terhadap anak

yang telah Allah SWT tetapkan. Selebihnya merupakan hak Allah SWT semata

karena Dialah yang menunjukkan dan menyesatkan siapa saja yang

dikehendakinya. Dalam Al Quran Allah berfirman


28

“Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah maka dialah yang mendapatkan


petunjuk dan barangsiapa disesatkan oleh Allah maka mereka itulah
orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A‟raf: 178).

Selanjutnya Imam Al-Ghazali (Suwaid, 2010) mengatakan:


“Anak adalah amanat di tangan kedua orangtuanya. Hatinya yang suci
adalah mutiara yang masih mentah, belum dipahat maupun dibentuk.
Mutiara ini dapat dipahat dalam bentuk apapun, mudah condong kepada
segala sesuatu. Apabila dibiasakan dan diajari dengan kebaikan, maka
dia akan tumbuh dalam kebaikan itu. Dampaknya, kedua orangtua akan
hidup berbahagia di dunia dan diakhirat. Semua orang dapat menjadi
guru dan pendidiknya. Namun apabila dibiasakan dengan keburukan dan
dilalaikan, seperti dilalaikannya hewan, pasti si anak akan celaka dan
binasa. Dosanya akan melilit leher orang yang seharusnya bertanggung
jawab atasnya dan menjadi walinya.”

Oleh karena itu, peneliti menyimpulkan bahwa prophetic parenting adalah

gaya pengasuhan yang meneladani Rasulullah untuk mengajarkan orangtua

menunjukkan sikap penuh kehangatan, kelembutan, dan kasih sayang dalam

memberikan bimbingan, arahan, penjelasan, dan pendidikan terhadap batasan-

batasan terhadap tingkah laku anak tanpa merendahkan dirinya, yang bertujuan

untuk menciptakan dan menumbuhkan jiwa keagamaan dan kebaikan dalam diri

anak agar dapat menjadi pribadi yang lebih kuat dan tetap berada dalam kaidah

dan ajaran agama Islam tanpa melanggar aturan yang ada.


29

2. Aspek-aspek Prophetic parenting

Berikut beberapa metode yang Rasulullah ajarkan dalam mendidik anak

(Suwaid, 2010):

a. Menampilkan suri tauladan yang baik

Kedua orangtua dituntut untuk mengerjakan perintah-perintah

Allah SWT dan sunah-sunah Rasul-Nya dalam sikap dan perilaku selama

itu memungkinkan bagi individu untuk mengerjakannya. Hal ini karena

anak akan selalu memperhatikan gerak-gerik dan ucapan orangtuanya

setiap saat, seperti sering melihat orangtuanya melakukan sholat malam,

berpuasa Senin dan Kamis, sholat jamaah di masjid, dan lain-lain. Seorang

anak yang berada dalam masa pertumbuhan akan bertanya tentang sebab

individu berlaku demikian. Seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dari

Ibnu Abbas radhiyalluhu‟anhuma (Suwaid, 2010)

“Aku menginap di rumah bibiku, Maimunah, Nabi


Shallallahu’alayhi wa Sallam biasa bangun, kemudian berwudhu
dengan wudhu yang ringan dari kendi yang digantung. Setelah itu,
beliau sholat. Aku pun berwudhu sama seperti wudhu beliau.
Kemudian aku berdiri di samping kanan beliau. Namun beliau
menarikku dan meletakkanku di samping kanan beliau. Kemudian
beliau shalat beberapa rakaat.” (HR Bukhari)

Melihat orangtua menampilkan perilaku tersebut, maka atas izin

Allah, anak akan meniru apa yang dilakukan oleh orangtuanya.

Keteladanan juga dapat ditunujukkan dengan memberikan arahan secara

langsung. Namun dengan memberikan arahan tersebut orangtua juga harus

mampu menyesuaikan perilakunya terhadap yang telah individu


30

perintahkan, sehingga apa yang diperintahkan sesuai dengan apa yang

telah diperbuat. Oleh karena itu, orangtua harus mampu menunjukkan

ketaqwaannya kepada Allah SWT agar dapat dijadikan teladan yang baik

untuk anaknya dalam hal perilaku, tutur kata, agama, akhlak, dan

kecintaanya terhadap Allah.

b. Mencari waktu yang tepat untuk memberi pengarahan


Kedua orangtua mampu harus mampu menentukan waktu yang

tepat untuk memberikan pengarahan kepada anak karena akan berpengaruh

terhadap proses penyampaian arahan yang disampaikan oleh orangtua.

Memilih waktu yang tepat dalam memberikan arahan kepada anak, maka

arahan yang telah diberikan orang tua akan lebih efektif dan lebih mudah

dalam mendidiknya. Hal ini dikarenakan dengan memilih waktu yang tepat

pada kondisi anak yang sudah siap untuk menerima masukan, anak akan

lebih mudah menerima nasihat yang orangtua berikan, namun pada waktu

yang lain anak dapat menolaknya dengan keras. Apabila orangtua mampu

mendidik dan mengarahkan hati anak, maka hal yang dilakukan tersebut

akan berdampak positif bagi anak dan anak akan berperilaku sesuai dengan

apa yang diharapkan oleh orangtua. Rasulullah menyebutkan tiga waktu

mendasar dalam memberikan pengarahan kepada anak:

1) Dalam perjalanan

Pengarahan ini tidak dilakukan pada ruang tertutup, namun ditepat yang

terbuka, ketika jiwa anak dalam keadaan siap menerima arahan dan

nasihat. Dalam memberikan pengarahan, Rasulullah melakukannya saat


31

sedang melakukan perjalanan. Hal ini karena besarnya penerimaan anak

pada waktu semacam ini. Bahkan Rasulullah menyampaikan rahasia

ditengah melakukan perjalanan dengan seorang anak. Sebagaimana

yang diriwayatkan oleh Al Hakim dari Ibnu Abas radhiyallahu‟anhuma

berkata (Suwaid, 2010):

Rasulullah SAW diberi hadiah seekor bighal oleh Kisra. Beliau


menungganginya dengan tali kekang dari serabut. Beliau
memboncengkanku di belakangnya. Kemudian beliau berjalan.
Tidak beberapa lama, beliau menoleh dan memanggil, “Hai anak
kecil.” Aku jawab, “Labbaika, wahai Rasulullah.” Beliau
bersabda, “Jagalah agama Allah, niscaya Dia menjagamu.” (HR
Al Hakim dalam kitab Mustadraknya 3/541)

2) Waktu makan

Pada waktu makan, interaksi yang tepat bagi orangtua untuk

mempengaruhi akal dan meluruskan kesalahan-kesalahan yang

dilakukan anak. Hal ini karena biasanya anak akan menampilkan apa

adanya, sehingga terkadang menunjukkan perilaku yang layak dan tidak

layak. Jika orangtua tidak duduk bersama dengan anak selama makan,

maka anak akan terus melakukan kesalahannya dan orangtua akan

kehilangan kesempatan waktu yang tepat dalam memberikan

pengarahan. Dalam riwayat Abu Dawud, at Tirmidzi, dan Ibnu Hibban

dalam kitab shahihnya disebutkan dengan lafal (Suwaid, 2010):

“Mendekatlah wahai anakku, ucapkan basmalah, makanlah dengan


tangan kanan dan makanlah apa yang ada dihadapanmu” (Sahih al
Jami ash-Shaghir, nomor 251)
32

3) Waktu anak sakit

Ketika anak sakit, terdapat dua keutamaan yang dapat dilakukan oleh

orangtua yaitu meluruskan kesalahan-kesalahan dan perilakunya serta

keyakinan, yakni keutamaan fitrah anka dan melunakan hati anak saat sakit.

Diriwayatkan oleh Bukhari dari Anas radhiyallahu‟anhu, ia berkata:

Seorang anak Yahudi yang menjadi pelayan Rasulullah SAW.


Rasulullah datang menjenguknya. Beliau duduk di dekat kepalanya
dan bersabda kepadanya, “Masuk Islamlah engkau.” Dia melihat ke
arah bapaknya yang saat itu juga berada disana. Si bapak berkata,
“Turutilah Abdul Qasim.” Maka dia pun masuk Islam. Rasulullah
pergi sambil berdoa, “Segala puji bagi Allah yang telah
menyelematkan dari api neraka.” (HR Bukhari 6757)

c. Bersikap adil

Selain menuntut orangtua untuk memberikan tauladan yang baik,

orangtua juga dituntut untuk bersikap adil dan menyamakan pemberian

kepada anak-anaknya. Kedua hal tersebut memiliki pengaruh yang besar

untuk anak agar membentuk pribadi yang berbakti dan menjaga

ketaatannya. Rasulullah Saw telah menjelaskan secara jelas mengenai

suatu kaidah yang agung dalam pencapaian bakti dan ketundukan seorang

anak kepada orangtuanya, yaitu bersikap adil dan menyamakan pemberian.

Hal ini dijelaskan dalam riwayat an-Nu‟man bin Basyir

radhiyallahu‟anhuma (Suwaid, 2010), Rasulullah bersabda:

“Berlaku adillah terhadap anak-anak kalian dalam pemberian


seperti kalian suka apabila mereka berlaku adil terhadap kalian
dalam hal berbakti dan skelembutan.”(Al-Ahadits ash-Shahihah,
nomor 1249)
33

d. Mendoakan anak

Doa merupakan pokok utama yang harus dipanjatkan oleh orangtua

dan dituntut untuk selalu konsisten dalam menjalankannya. Doa yang

dipanjatkan oleh orangtua akan selalu dikabulkan oleh Allah SWT, sebab

doa yang mereka ucapkan merupakan doa yang paling mujarab dan paling

diridhoi oleh Allah SWT. Melalui panjatan doa, rasa sayang dan rasa cinta

orangtua akan semakin tertanam kuat dihati dan akan semakin membara

atas apa yang mereka rasakan, sehingga keduanya akan semakin tunduk

kepada Allah dan semakin berusaha sekuat tenaga untuk dapat

memberikan yang terbaik pada sang anak terutama untuk masa depannya.

Seperti yang diriwayatkan oleh Al Hakim dalam kitab Mustadrak (Suwaid,

2010):

Abu Hamzah bin Abdillah berkata: “Aku bertanya kepada Abu


Ubaidah bin Mas’ud, “Apa yang engkau ingat dari Rasullullah
Saw?” Dia menjawab, “Aku ingat bahwa beliau menggendongku
ketika aku berumur lima atau enam tahun, kemudian beliau
mendudukkanku di pangkuan beliau, mengusap kepalaku dan
mendoakan keberkahan bagiku serta anak cucuku.” (HR Al Hakim
3/259)

e. Membantu anak untuk berbakti dan mengajarkan ketaatan

Peran orangtua tidak hanya mengajarkan anak untuk berbakti

kepada kedua orangtuanya saja, akan tetapi orangtua juga memiliki peran

yang penting dalam mempersiapkan segala sarana untuk membantu anak

agar berbakti dan menaati perintah Allah SWT, serta mendorongnya untuk

selalu patuh dan mengerjakan perintahnya. Kemampuan orangtua untuk

membantu anak dalam mengajarkan tentang berbakti dan ketaatan kepada


34

Allah SWT dapat menciptakan kenyamanan bagi anak yang akan

mendorongnya untuk berinisiatif menjadi orang yang memiliki akhlakul

karimah. Hal ini dikarenakan setiap orangtua sangat mengharapkan kepada

anak-anaknya agar memiliki akhlak mulia dalam dirinya, seperti yang

dikatakan oleh Rasulullah Saw (Shihab, 1994):

Rasulullah bersabda, “Hormatilah anak-anakmu dan didiklah


mereka. Allah memberi rahmat kepada seseorang yang membantu
anaknya sehingga sang anak dapat berbakti kepadanya”. Sahabat
Nabi bertanya: ”Bagaimana cara membantunya?”. “Menerima
usahanya walaupun kecil, memaafkan kekeliruannya, tidak
membebaninya dengan beban yang berat, dan tidak pula
memakinya yang melukai hatinya,” jawab Nabi Saw (HR Abu
Daud).

f. Menjauhi marah atau mencela

Rasulullah menyerukan kepada setiap orangtua untuk tidak banyak

mencela perilaku anak dan menjauhi amarah. Sebab orangtua harus memahami

kemampuan akal anak, sehingga tidak semua perilaku anak harus ditegur.

Memang sebagian perilaku anak harus ditegur, tetapi ada juga kesalahan anak

yang harus dimaafkan. Diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim dari Anas

r.a., ia berkata:

“Aku menjadi pembantu Rasulullah SAW selama sepuluh tahun.


Demi Allah! Sedikit pun Rasulullah tidak pernah berkata,
“Mengapa kau berbuat demikian? Apakah tidak sebaiknya kau
lakukan ini?” (HR Al Bukhari, 2768; Muslim, 2309)

Rasulullah juga melarang orangtua untuk mencela anak dan

memperilhatkan kesalahan anak. Apabila orangtua mencela anak, sama

halnya sedang mencela dirinya sendiri, karena orangtua yang telah


35

mendidik anak. Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dari Uwah, dari

bapaknya berkata (Suwaid, 2010):

Rasulullah, atau Abu Bakar, atau Umar berkata kepada seseorang


yang sedang mencela anaknya atas sesuatu yang dilakukannya,
“Anakmu adalah anak panah dari tempat anak panahmu” (Al-
Bayan wat Ta‟rif Asbab Warudil Hadits (2/102)

g. Mempengaruhi Jiwa anak

Orangtua dapat mempengaruhi jiwa anak melalui pendidikan yang

baik. Selain itu, sikap penerimaan dan kehangatan orangtua yang

ditunjukkan dengan menerima kondisi dengan penuh kasih sayang dan

rasa cinta tanpa syarat, maka menumbuhkan perasaan positif dan dan dapat

mempengaruhi jiwa anak. Orangtua yang mampu memperlakukan anak

dengan kasih sayang, penuh kelembutan, memberikan ciuman, menerima

anak dengan apa adanya, maka anak akan tumbuh menjadi orang yang

seimbang dalam semua aspek kehidupan. Namun apabila anak tidak

diperlakukan demikian, maka anak tumbuh menjadi jiwa yang lemah.

Mempengaruhi jiwa anak dapat dilakukan dari berbagai aspek,

seperti menumbuhkan perasaan anak dengan berteman dan menyambut

kegembiraan anak, memberikan pujian dan sanjungan yang proposional,

menumbuhkan keberanian, memberikan kepercayaan, dapat merespon

bakat dan minat anak, serta mampu mendidik anak dengan kesabaran.

Oleh karena itu, apabila orangtua mampu mempengaruhi jiwanya,

membangun perasaan anak, dan menunaikan hak anak, maka anak dapat

berkembang menjadi manusia yang seimbang dalam kehidupan di masa


36

yang akan datang. Sebagaimana yang dikatakan oleh Asy-syaikh

Muhammad al Khidr Husain (Suwaid, 2010):

“Sesungguhnya jiwa dapat tumbuh dengan pendidikan yang baik


bagaimana tubuh dapat tumbuh dengan gizi yang baik.
Pertumbuhan tubuh memiliki batas yang jelas dan tidak akan
terlewati. Apabila sudah sampai puncak, akan kembali mundur ke
belakang. Tidak akan berhenti sampai berhenti nafas tau
meninggalkan madrasah alam nan luas ini”

3. Perbedaan Prophetic parenting dengan Pengasuhan Barat

Baumrind (1971), mengatakan bahwa terdapat tiga jenis pengasuhan

yakini authoritarian, authoritative, dan permissive. Pada pengasuhan

prophetic parenting ini hampir memiliki kesamaan dengan gaya pengasuhan

dari barat yakni authoritative. Pengasuhan authortative, orangtua

mengarahkan aktivitas anak secara rasional dan mandiri, tetapi masih

menetapkan batasan-batasan dan kendali atas tindakan anak, mampu menjalin

komunikasi dua arah (memberi dan menerima), mampu menunjukkan

kehangatan dan kasih sayang (Santrock, 2007).

Namun yang menjadi keunggulan dari gaya prophetic parenting adalah

gaya pengasuhan ini berbasis Islami yang meneladani cara Rasulullah dan

memiliki landasan nilai-nilai Islam berdasarkan Al Quran dan Hadist. Metode

yang dibangun atas dasar kenyataan pengarahan Rasulullah kepada para

sahabat dalam mendidik anak. Artinya tidak hanya sekedar hasil uji coba,

pengamatan, survey seperti metode pendidikan barat. Metode yang

diterapkan pun menembak segala aspek seperti jiwa, hati, akal, jasmani, dan
37

spiritual, sehingga proses pengasuhan bertujuan untuk mencari ridha Allah

demi membentuk kesalehan anak (Suwaid, 2010). Berikut perbedaan gaya

pengasuhan dari Barat dan gaya pengasuhan prophetic parenting:


Tabel 1. Perbedaan Gaya Pengasuhan Barat dan Prophetic parenting

Pengasuhan Authoritarian Pengasuhan Permissive Pengasuhan authoritative Prophetic parenting


a. pengasuhan yang membatasi a. permisif-neglected yaitu a. Mengarahkan anak secara rasional a. Orangtua yang prophetic parenting
dan menghukum anak. orangtua sangat tidak terlibat bahwa ada alasan dibalik semua mengasuh dan mendidik anak secara
b. Orangtua mendesak anak dalam kehidupan anak. kebijakan yang diterapkan dan anak berkala, sedikit demi sedikit, penuh
untuk mengikuti arahan, b. permisif-memanjakan yaitu dapat mengutarakan keberatannya kesabaran, kelembutan dan kasih
menghormati pekerjaan dan orangtua sangat terlibat dengan ketika anak tidak ingin mengikuti sayang
upaya mereka. anak, namun tidak terlalu kebijakan tersebut. b. Orangtua yang prophetic parenting
c. rangtua yang otoriter menuntut atau mengontrol anak. b. Kepatuhan dan kedisiplinan menjadi mampu bersikap tenang, tidak
menerapkan batas dan orangtua yang permisif kunci dalam pola asuh authoritative. terburu-buru, lembut, tidak kasar,
kendali yang tegas serta cenderung membiarkan atau Mengontrol batasan orangtua dan memiliki hati yang penyayang,
meminimalisir perdebatan membebaskan anak melakukan anak, namun tidak membuat anak toleransi, menjauhkan diri dari
verbal. yang diingkan. merasa terbatasi dengan batasan marah, simbang dan proposional,
d. Orangtua otoriter juga sering tersebut dan selingan dalam memberi nasihat
memukul, memaksakan c. Menjalin komunikasi dua arah c. Orangtua mampu menampilkan suri
aturan secara kaku tanpa (menerima dan memberi) teladan yang baik; mengajarkan anak
menjelaskannya, dan d. Orangtua menggunakan berbakti dan mengerjakan ketaatan
menunjukkan amarah pada perspektifnya sebagai orang dewasa, melalui bimbingan dan arahan
anak namun tetap mampu mengenali akhklak, akidah, dan ibadah;
minat anak secara pribadi mendoakan anak, bersikap adil pada
e. Membentuk aturan dan reinforcement semua anak; tidak membebani anak
berdasarkan alasan bukan hanya diluar batas kemampuannya;
berdasarkan keputusan pribadi atau memaafkan kesalahannya; menerima
keinginan anak semata. kekurangan; dan tidak marah atau
mencela anak

38
C. Tunagrahita

1. Pengertian Tunagrahita

Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik

mengalami pertumbuhan dan perkembangan berbeda dari anak normal

lainnya yakni terjadi kelainan pada beberapa dimensi penting dari fungsi

kemanusiaannya seperti fisik, emosi, mental, dan sosial (Mangunsong, 2014).

Tunagrahita merupakan salah satu kategori yang termasuk dalam klasifikasi

anak berkebutuhan khusus. Tunagrahita, yaitu anak yang mengalami

hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental yang memiliki

intelektual jauh dibawah rata-rata, sehingga mengalami kesulitan dalam

mengerjakan tugas-tugas akademik, komunikasi maupun sosial

(Desiningrum, 2016). Selain itu, penyandang tunagrahita mengalami

hambatan perilaku adaptif selama masa perkembangan hidupnya dari 0 tahun

hingga 18 tahun (Delphie, 2006). Berdasarkan tingkat kecerdasan pada

penyandang tunagrahita dapat dikelompokkan, yaitu kategori ringan memiliki

IQ 70-55, sedang memiliki IQ 55-40, berat memiliki IQ 40-25, berat sekali

memiliki IQ kurang dari 25.

2. Karakteristik Tunagrahita

Karakteristik tunagrahita bersadarkan keparahan kelaianan

(Desiningrum, 2016):

39
40

a. Mampu didik, masih memiliki kemampuan untuk diarahkan namun pada

bidang akademik yang sederhana.

b. Mampu latih, tunagrahita disertai kelanian fisik baik sensori maupun

motorik. Secara penampilan fisik mudah dideteksi dengan anak normal

lainnya

c. Perlu rawat, tunagrahita kategori berat yang sudah tidak mampu dilatih

keterampilan apapun.

Menurut Page (Desiningrum, 2016), karaketristik individu penyandang

tunagrahita dijelaskan dari berbeberapa aspek:

a. Intelektual, memiliki IQ di bawah rata-rata sesuai dengan kelompok

usianya

b. Segi sosial, memiliki kemampuan yang rendah dalam hal mengurus,

memerilahara, dan memimpin diri, sehingga tidak mampu bersosialisasi

c. Ciri pada fungsi mental lainnya, mengalami kesulitan memusatkan

perhatian, jangkauan perhatian sempit dan cepat beralih, sehingga kurang

mampu menghadapi tugas

d. Dorongan dan emosi, pada tunagrahita kategori berat hampir tidak

menunjukkan dorongan untuk mempertahankan dirinya, seperti tidak

menunjukkan tanda-tanda ketika haus atau lapar, ketika mendapatkan

stimulus menyakitkan tidak mampu menghindarinya. Koordinasi gerak

kurang atau dapat juga gerakan sering tidak terkendali. Emosi lemah dan

pengahayatan terbatas pada rasa senang, marah, dan benci

e. Kemampuan dalam bahasa, sangat terbatas dan artikulasi tidak jelas


41

f. Kemampuan dalam bidang akademis, mengalami hambatan dalam

mencapai akademis seperti membaca dan menghitung, namun dapat dilatih

kemampuan dasar.

g. Kepribadian dan kemampuan organisasi, umumnya tidak percaya diri,

tidak mampu mengontrol, dan mengarahkan dirinya, sehingga bergantung

pada orang lain.

3. Faktor-faktor yang Menyebabkan Tunagrahita

Menurut Desiningrum (2016), adapun faktor-faktor yang menyebabkan

ketunagrahitaan.

a. faktor keturunan, seperti kelainan kromosom dan gen

b. Gangguan metabolisme dan gizi yang mengakibatkan terjadinya gangguan

fisik dan mental

c. Infeksi dan keracunan semasa janin masih dalam kandungan, seperti

infeksi rubella dan faktor rhesus

d. Bayi mengalami trauma otak saat proses persalinan atau terkena zat

radioaktif saat hamil

e. Masalah pada kelahiran, seperti kelahiran disertai hypnoxia yang

menyebabkan bayi mengalami kerusakan otak, kejang, dan napas pendek

f. Faktor lingkungan, latar belakang pendidikan orangtua dan kurangnya

kesadaran orangtua akan pentingnya memberikan rangsangan positif

dalam masa perkembangan anak.


42

4. Kondisi Psikologis yang dialami Orangtua

Krisis yang ditimbulkan ketika orangtua ketika mendapatkan diagnosis

bahwa ada sesuatu yang bermasalah atau tidak sempurna dengan kondisi anak

mereka merupakan hal yang paling sulit dan pengalaman yang mengejutkan bagi

orangtua (Heiman, 2002). Rachmayati dan Zulkaida (2007), mengatakan bahwa

ketika orangtua mengetahui kondisi berbeda dengan anak lainnya, mereka akan

melewati tahapan-tahapan, yakni denial (menolak menerima kenyataan), anger

(marah), bargaining (menawar), depression (depresi), dan akhirnya pada tahapan

acceptance (pasrah menerima kenyataan). Transisi yang dialami oleh orangtua

dengan anak yang memiliki kebutuhan khusus membawa perubahan signifikan

dalam kehidupan sosial, sehingga membuat mereka frustasi dan merasa tidak puas

(Heiman, 2002), menyebabkan orangtua mengalami keterpurukan.

Pada beberapa kasus menemukan bahwa reaksi awal yang ditunjukkan

oleh orangtua cenderung negatif ketika mengetahui bahwa anak mengalami

kelainan (Blachar & Bakar, 2007; Hill & Rose, 2009; dalam Thawala, Ntinda,

Hlanze, 2015). Thawala, Ntinda, dan Hlanze (2015), juga mengatakan bahwa

orangtua cenderung menyalahkan diri sendiri dan seolah-olah merekalah yang

menyebabkan kelaian pada anak mereka, serta berpikir bahwa hal tersebut berasal

dari genetik atau penggunaan alkohol. Bahkan beberapa orangtua mengalami

stres, depresi, marah, shock, penyangkalan, merasa bersalah atau menyalahkan

diri sendiri, dan kebingungan ketika mengetahui kondisi anak mengalami kelainan

maupun disabilitas (Heiman, 2002). Perasaan tersebut dapat menjadi kendala

terhadap kapasitas orangtua untuk menerima kondisi anak (Van Riper & Selder,
43

1989, dalam Aldosari & Pufpaff, 2014). Selain itu, perasaan-perasaan negatif

tersebut juga menjadi penyebab utama orangtua mengalami stres dalam

mengasuh, depresi dan kecemasan (Cappe, dkk., 2011; Mak & Kwok, 2010).

Selain itu, orangtua juga dituntut untuk dapat beradaptasi dengan

perubahan keadaan dan kebutuhan anak, besarnya finansial yang dibutuhkan,

tuntutan memberikan perawatan, serta perasaan yang tidak siap terhadap tugas-

tugas pengasuhan (Hughes, 1999; dalam Daire, dkk., 2011; Sullivan-Bolyai,

Sadler, & Knafl, 2003; Oruche, dkk., 2012; dalam Moawad, 2012). Orangtua juga

memiliki berbagai pikiran dan emosi yang negatif, seperti perasaan ketidakpastian

masa depan anak, kemudian dihadapkan masalah dengan anak kandung lainnya,

menurunnya kualitas perkawinan, kesulitan dalam mencari bantuan, serta

mendapatkan stigma negatif dari masyarakat terkait kondisi anak yang

berkebutuhan khusus (William & Piamjariyakul, 2010; Howel, dkk., 2007; Habib,

Jameel, & Fazzal, 2015; Mulcahy & Savage, 2016). Efek negatif dari kondisi

yang dihadapi oleh orangtua dengan anak berkebutuhan khusus menimbulkan

perasaan ketidakmampuan untuk melakukan peran dan tanggung jawabnya

kemudian berdampak pada pengasuhan yang tidak efektif. Oleh karena itu,

mengasuh anak berkebutuhan khusus menjadi kesulitan yang besar bagi orangtua
44

D. Pelatihan Prophetic parenting untuk Meningkatkan Resiliensi Orangtua


dalam Mengasuh Anak Berkebutuhan Khusus

Sebagian dari orangtua menyadari betapa sulitnya berperan sebagai

orangtua. Namun bagi orangtua dengan anak berkebutuhan khusus, peran tersebut

merupakan tantangan yang sulit untuk dilalui (Thwala, Ntinda, & Hlanze, 2015).

Smith (2002), mengatakan bahwa orangtua dengan anak berkebutuhan khusus

mengalami stres yang lebih tinggi dan memiliki tantangan yang besar untuk

merawat anak. Hal ini karena orangtua dihadapkan pada tuntut untuk dapat

beradaptasi dengan perubahan keadaan dan kebutuhan anak, besarnya finansial

yang dibutuhkan, tuntutan memberikan perawatan, serta perasaan yang tidak siap

terhadap tugas-tugas pengasuhan (Hughes, 1999; dalam Daire, dkk., 2011;

Sullivan-Bolyai, Sadler, & Knafl, 2003; Oruche, dkk., 2012; dalam Moawad,

2012). Selain itu, orangtua juga dihadapkan pada berbagai pikiran dan emosi yang

negatif (Habib, Jameel, & Fazzal, 2015), seperti perasaan ketidakpastian masa

depan anak (Mulcahy & Savage, 2016). Hal ini menimbulkan tekanan dan

menimbulkan perasaan kurang memiliki kopetensi pada orangtua yang berdampak

pula dalam pengasuhan anak (Pouretemad, dkk., 2009).

Orangtua yang merasa kurang kompeten dalam merawat dan mengasuh

serta kurang dapat menerima kenyataan mengenai kondisi anaknya, hanya akan

membuat dirinya semakin merasa terpuruk dan menjadi tidak melakukan

perannya sebagai orangtua dalam mendukung perkembangan anak (Hidayati,

2013). Dampaknya, orangtua cenderung bersikap keras, terlalu protektif dalam

memperlakukan anak atau cenderung membebaskan/mengabaikan perilaku anak


45

tanpa adanya pengawasan (Wijaya, 2015). Hal tersebut justru menyebabkan

pengasuhan menjadi tidak efektif dan menghambat perkembangan anak (Hidayati,

2013). Oleh karena itu, orangtua harus segera bangkit dan melakukan hal yang

terbaik bagi anak (Davis & Carter, 2008), yakni dengan meningkatkan

kemampuan untuk resiliensi, melakukan terapi, mencari dukungan sosial,

emosional dan psikologis (Pandya, 2017).

Meskipun orangtua telah mengikutsertakan anak pada program ditempat

terapi dan didukung dengan obat-obatan, tetapi jika intensitas penanganan anak

berkebutuhan khusus selama dirumah kurang efektif, maka dapat mempengaruhi

pula pada perkembangan dan kesejahteraan anak. Hal ini disebabkan kurangnya

pengetahuan orangtua dalam menangani atau mengasuh anak berkebutuhan

khusus (Kazdin & Whitley, 2003). Demi mencapai intensitas penanganan terapi

yang optimal, diperlukan dukungan dan partisipasi dari keluarga khususnya

orangtua dalam memberikan pengasuhan terhadap anak (Hidayati, 2013). Selain

pengasuhan, respon dan sensitivitas yang ditunjukkan oleh ibu sangat diperlukan

untuk menumbuhkan kelekatan yang aman bagi anak berkebutuhan khusus

(Atkinson, dkk., 1999; Clements & Barnett, 2002; dalam Barnett, dkk., 2003).

Pendidikan pengasuhan diketahui dapat memberikan sumber kognitif yang

penting dan membantu orangtua untuk terlibat dalam pengasuhan yang lebih

efektif (Neitzel & Stright, 2004). Selain itu, pendidikan dapat pula menjadi

mekanisme bagi para orangtua dalam mengembangkan self efficacy dalam

mengasuh (Coleman & Karraker, 1998). Hal ini karena optimisme yang dimiliki

orangtua merupakan faktor protektif agar lebih resilien dalam proses pengasuhan
46

yang lebih positif (Ellingsen, Baker, Blacher, & Crinc, 2014). Sejalan dengan

Reivich & Shatte (2002), bahwa individu yang resilien yaitu memiliki self

efficacy dan optimisme dalam menghadapi stres atau kesulitan. Ellingsen, dkk

(2014), menambahkan bahwa ibu yang memiliki pengetahuan yang baik terkait

pengasuhan, merasa lebih mampu menjalankan tanggung jawab dalam mengasuh

anak.

Individu dapat dikatakan resilien apabila memiliki dua daktor yaitu faktor

resiko dan faktor protektif. Artinya, jika individu dihadapkan pada faktor resiko

dan individu tersebut juga memiliki faktor protektif, maka individu dapat

beradaptasi dan mampu mengatasi masalah yang dihadapinya (Gotberg, 1999).

Salah satu faktor protektif yang membentuk konsep resliensi adalah proteksi dari

lingkungan atau komunitas, seperti sahabat, sekolah, guru dan lain sebagainya

(Hill, Stafford, Ross, & Daniel, 2007). Menurut McMillan & Chavis (Noltemeyer

& Bush, 2013), melalui proteksi dari lingkungan, orangtua dapat membentuk

penerimaan yang tulus. Berinteraksi dengan sesama orangtua yang memiliki anak

berkebutuhan khusus dapat menumbuhkan pandangan positif, perasaan empati,

dan dukungan emosional (Noltemeyer & Bush, 2013). Adapun faktor penentu

yang dapat membuat seseorang menjadi resilien, yakni kemampuan interpersonal,

kompetensi, penerimaan diri (high self regard), spiritual, dan helpful life

circumstance (Bogar & Killacky, 2003).

Salah satu upaya untuk meningkatkan resiliensi orangtua yaitu melalui

pelatihan prophetic parenting sebagai bentuk intervensi. Pelatihan ini melibatkan

orangtua yang memiliki permasalahan yang sama. Selain mendapatkan tambahan


47

pengetahuan dan ketrampilan dalam mengasuh, orangtua juga mendapatkan

dukungan emosioanl, menumbuhkan pandangan yang lebih positif, meningkatkan

spiritualitas, dan menumbuhkan perasaan empati, sehingga dapat lebih resilien

dalam melakukan pengasuhan. Patterson (2002) mengatakan bahwa orangtua

yang menunjukkan resiliensi, meski menghadapi kesulitan, mereka tetap mencari

dukungan keluarga, membantu memberikan dukungan ekonomi keluarga,

melakukan pengasuhan yang positif, mengikuti pendidikan dan sosialisasi, dan

lain-lain. Sinha, Verma, & Hershe (2016), juga menambahkan bahwa salah satu

faktor yang mampu mempengaruhi resiliensi orangtua yaitu gaya pengasuhan

yang diterapkan, kemudian kehangatan yang terjalin antara orangtua dan anak

diketahui pula dapat berpengaruh pada resiliensi orangtua dalam mengasuh anak.

Selain faktor protektif lingkungan, keyakinan spiritualitas juga diketahui

sebagai faktor penentu seseorang untuk dapat resilien (Bogar & Killacky, 2006).

Connor dan Davidson (2003), mengatakan bahwa pengaruh spiritual merupakan

salah satu karakteristik yang dapat membentuk individu menjadi pribadi resilien.

Keimanan yang dimiliki oleh individu memiliki peran penting sebagai intervensi

yang dapat membantu individu dalam mengatasi permasalahan dan dapat

memberikan dampak positif terhadap kelangsungan individu itu sendiri. Hal ini

didukung dengan bukti empiris yang menunjukkan bahwa agama dan spiritualitas

dijadikan sebagai alat dan sarana untuk penanganan dan mempromosikan

kesejahteraan (Rovers & Kocum, 2010).

Pelatihan prophetic parenting ini merupakan metode pengasuhan yang

menggunakan pendekatan perspektif Islam serta meneladani gaya Rasulullah


48

dalam mengasuh yaitu membimbing dan mendidik anak secara berkala, sedikit

demi sedikit, penuh kelembutan, kesabaran dan kasih sayang (Suwaid, 2010).

Sejalan dengan penemuan Mahoney, Pargament, Tarakeshwar, dan Murray-

Swank (2001), bahwa keberagamaan memiliki kaitan yang erat terhadap praktik

pengasuhan yang lebih efektif, menciptakan kehangatan orangtua, dan

meningkatkan kohevisitas dalam keluarga. Spiritualitas yang dimiliki orangtua

dengan anak berkebutuhan khusus, dapat memunculkan kemurahan hati, gagasan

tentang keadilan, kedamaian, cinta tanpa syarat, pengampunan, mengembangkan

resiliensi dan coping, meningkatkan kesadaran relasional dalam hal hubungan

simbolis yang sehat dengan anak dan orang penting lainnya (Chang & McConkey,

2008; Poston & Turnbull, 2004).

Pakenham, Sofronoof, dan Samios (2004) juga menemukan bahwa

spiritualitas memberikan makna yang positif terhadap proses adaptasi dukungan

sosial dan self efficacy. Hal ini menunjukkan bahwa orangtua yang termotivasi

oleh keyakinan spiritualitas cenderung lebih merasa bahagia dan mereka

menyimpan harapan, seperti lebih mudah untuk membingkai ulang kehidupan

mereka terhadap pandangan dan pengalaman memiliki anak berkebutuhan khusus

(Beisinger & Arikawa, 2007; Kausar, Jevne, & Sobsey, 2003).

Adapun beberapa metode pengasuhan yang akan diterapkan dalam

pelatihan prophetic parenting, yakni menampilkan suri teladan, mencari waktu

yang tepat dalam memberikan arahan, bersikap adil dan menyamaratakan

pemberian, menunaikan hak anak, mendoakan anak, mengajarkan anak untuk


49

berbakti dan ketaatan, tidak memarahi atau mencela anak. Masing-masing metode

memiliki landasan penting untuk diterapkan oleh orangtua dalam mengasuh anak.

Dimensi menampilkan suri teladan yang baik, orangtua adalah figur

modelling dalam perkembangan anak karena anak akan meniru kebiasan, sikap,

dan perilaku yang ditunjukkan oleh orangtua (Kasapi, 2013, dalam Ceka &

Murati, 2016). Orangtua juga memiliki tanggung jawab atas perkembangan anak

dan membuat anak tumbuh menjadi pribadi yang baik (Good, 1998; dalam Ceka

& Murati, 2016). Apabila orangtua memiliki pengaruh yang positif dalam hal

pendidikan dan kehidupan anak, maka masa depan anak akan lebih sukses

(Colanoiq, & Vera, 1972; dalam Ceka & Murati, 2016). Dalam hal ini, peran ibu

sebagai seorang pendidik merupakan sumber penting untuk pengembangan

identitas anak, karena seorang ibu yang akan menjamin kehidupan anak untuk

mengangkatnya dari sedikit menuju pencapaian kemandirian total anak dalam

kehidupan dewasa (Ceka & Murati, 2016).

Dimensi mempengaruhi jiwa anak. Dalam mempengaruhi jiwa anak,

orangtua dapat menumbuhkan perasaan nyaman dan aman pada anak melalui

penerimaan dan kehangatan. Penerimaan dapat ditunjukkan dengan sikap

kehangatan merupakan hal yang terpenting dalam pengasuhan yang mengacu pada

ekpresi kasih sayang, cinta, penghargaan, kebaikan, dan menganggap. Ungkapan

kehangatan dan keterlibatan orangtua sangat penting bagi anak dalam mencari

kenyamanan (Skinner, Johnson, & Synder, 2005). Kehangatan juga dapat

menemukan interaksi orangtua dan anak dalam pengajaran disiplin (Skinner,

Johnson, & Synder, 2005). Disamping itu, orangtua juga dapat mempengaruhi
50

jiwa anak dengan cara menumbuhkan keberanian dan memberi kepercayaan pada

anak, merespon minat dan bakat anak, mendidik anak dengan memberikan janji

yang positif dan ancaman agar anak dapat mengikuti aturan.

Dimensi ini diberikan dengan tujuan untuk mendorong orangtua agar dapat

lebih dapat menerima dan mencintai anak apa adanya. Selain itu, mendorong

orangtua untuk tetap yakin, meski secara kemampuan kognitif anak lemah, namun

orangtua tetap dapat mempengaruhi jiwa anak yang kuat dan mandiri. Bogar dan

Killacky (2006), individu yang memiliki penerimaan diri yang positif, maka

kelemahan yang dirasakan mampu tertutupi oleh kelebihan yang dimiliki.

Dengan demikian, orangtua dapat lebih resilien karena mampu menerima

perubahan atau kesulitan dengan positif, tidak mudah menyerah dan mampu

memecahkan persoalan dengan positif (Connor & Davidson, 2003; Dong, dkk.,

2013).

Dimensi bersikap adil diberikan bertujuan untuk mendorong orangtua agar

dapat toleransi terhadap situasi yang stresfull dan tetap tegar menghadapi stres,

sehingga orangtua dapat dengan cepat melakukan coping dan tetap fokus meski

dalam kondisi penuh tekanan. Sebagaimana yang dikatakan Connor dan Davidson

(2003), bahwa individu yang resilien percaya terhadap naluri, mampu toleransi

terhadap afek negatif dan kuat menghadapi stres. Hal ini perlu dimiliki orangtua

karena orangtua dengan anak berkebutuhan khusus dihadapkan pada kondisi

penuh tekanan yakni memiliki tanggung jawab yang besar baik dalam

memberikan pengawasan untuk anak berkebutuhan khusus dan diwaktu yang

sama juga ia harus membagi pikiran dan perhatian dengan anak kandung lainnya.
51

Orangtua yang terbagi perhatian lebih besar terhadap anak berkebutuhan

khusus, dapat menimbulkan kurangnya penerimaan, muncul perasaan dendam,

merasa terabaikan atau penolakan bagi anak kandung lainnya (Kaur, 2015). Oleh

karena itu, orangtua perlu melakukan upaya yang besar untuk menciptakan

keseimbangan dalam hubungan antara anak dengan berkebutuhan khusus dengan

anak kandung lainnya (Kaur, 2015). Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam

Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan Ibnu dari hadist an Nu‟man bin Basyir

(Suwaid, 2010):

Rasulullah SAW bersabda,”Berlaku adillah kalian terhadap anak-anak


kalian, berlaku adillah kalian terhadap anak-anak kalian, berlaku
adillah kalian terhadap anak-anak kalian.” (Al-Ahadits ash-Shahihah,
nomor 1249)

Dimensi mencari waktu yang tepat dalam memberikan arahan. Pada

dimensi ini bertujuan untuk mengarahkan orangtua agar mampu mengontrol ego

dan emosi dalam diri. Salah satu yang mencerminkan seseorang resilien adalah

memiliki kemampuan untuk mengontrol (Connor & Davidson, 2003). Penting

bagi orangtua dalam memilih waktu memberikan nasihat atau arahan pada anak

karena hal tersebut sangat berpengaruh terhadap pemahaman dan hal yang akan

dilakukan oleh anak (Suwaid, 2010). Pada saat akan memberikan nasihat,

orangtua harus memahami karakteristik dan kondisi anak, karena pada saat

tertentu anak dapat menerima nasihat, tetapi juga diwaktu atau kondisi lain anak

juga dapat menolak dengan keras. Sebagaimana penjelasan E. L. Thorndike

(Gunarsa & Gunarsa, 2008) mengenai hukum kesiapan, bahwa proses belajar

dapat berjalan dengan lancar, jika anak sudah siap menerima rangsangan terhadap
52

rangsangan yang akan diberikan. Oleh sebab itu, jika orangtua mampu

mengarahkan hati dan memahami kondisi anak, maka pengarahan yang diberikan

akan sesuai dengan harapan (Suwaid, 2010).

Dimensi mendoakan anak. Doa adalah landasan penting dan mewajibkan

bagi orangtua untuk selalu konsisten dalam menjalankannya (Suwaid, 2010). Doa

yang dipanjatkan oleh orangtua terutama ibu untuk anak bagaikan doa Nabi

kepada umatnya. Sebagaimana yang telah diriwayatkan

Abu Hurairah berkata: Rasulullah bersabda, “Tiga doa yang pasti


dikabulkan tanpa diragukan lagi: Doa orang yang dizalimi, doa orang
yang berpergian, dan doa orangtua untuk anaknya” (Sunan Abu Daud,
kitab shalat bab Do‟a bi Dhahril Ghaib 2/89. Sunan At-Tirmidzi, kitab Al-
Bir bab Doaul Walidain 8/98-99. Sunan Ibnu Majah, kitab Doa 2/348 No
3908 Musnad Ahmad 2/478. Dihasankan Al-Albani dalam Silsilah
Shahihah No 596).

Hal ini karena doa orangtua menunjukkan cerminan hati yang

merefleksikan kasih sayang dan cinta orangtua untuk anak. Melalui doa, rasa cinta

dan kasih sayang orangtua terhadap anak akan membara serta tertanam semain

kuat, sehingga orangtua akan semakin tunduk kepada Allah SWT dan berusaha

untuk memberikan pengasuhan dan perhatian yang terbaik untuk anak (Suwaid,

2010). Henry (2013), mengatakan bahwa doa mampu memberi energi spiritual

yang dapat menghasilkan banyak manfaat psikologis. Selain itu, doa juga mampu

membantu individu untuk mengatasi stres dan perasaan bahaya (Henry, 2013).

Sejalan dengan McCullough (Henry, 213) mencatat bahwa orang yang berdoa

memiliki harapan positif tentang kesulitan yang dihadapi karena mereka mampu

menilai ulang peristiwa yang menegangkan dengan cara yang positif. Watts
53

(2011) juga menambahkan bahwa doa dapat membantu individu pulih dari

tekanan kehidupan dengan menenangkan pikiran dan tubuh. Diperkuat dengan

pendapat Hamdan (2010), bahwa doa dapat meredakan kekhawatiran dan

kesusahan dan membawa rasa kedamaian.

Salah satu indikator individu yang resilien adalah memiliki pengaruh

spiritual (Connor & Davidson, 2003). Individu yang resilien memiliki keyakinan

dan keimanan terhadap Tuhan dan hal tersebut sebagai proses intervensi yang

akan membantu individu menemukan pemecahan masalah atas kesulitan yang

dialami (Connor & Davidson, 2003). Oleh karena itu, melalui doa, maka orangtua

dengan anak berkebutuhan khusus dapat bangkit kembali dan memiliki harapan

yang positif akan masa depan anak.

Dimensi mengajarkan anak berbakti dan mengerjakan ketaatan. Rasulullah

menganjurkan pada orangtua untuk mengajarkan anak berbakti dan mengerjakan

ketaatan sedini mungkin. Hal ini karena orangtua memiliki tanggung jawab yang

besar dalam membantu anak berbakti (Suwaid, 2010). Mengajarkan anak berbakti

dan ketaatan, maka dapat menghindarkan orangtua dari anak yang durhaka

(Suwaid, 2010). Namun dalam penerapan pada anak berkebutuhan khusus

orangtua juga harus menyesuaikan dengan kemampuan anak dan harus sabar

dalam mengajarkannya. Connor dan Davidson (2003), mengatakan bahwa

individu yang resilien memiliki gagasan kompetensi personal, memiliki standar

yang tinggi, gigih, dan ulet. Oleh karena itu, tujuan dari dimensi ini adalah meski

anak memiliki kekurangan dalam kemampuan berpikir, namun orangtua tetap

memiliki kewajiban dalam mendidik dan membimbing akhlak anak berkebutuhan


54

khusus. Selain itu, dimensi ini juga berupaya menyadarkan orangtua agar lebih

dapat mengontrol emosi dan ego pribadinya dalam memberikan tuntutan kepada

anak, sebab anak memiliki batas kemampuan yang berbeda-beda. Sebagaimana

yang telah diriwayatkan dalam hadist (Shihab, 1994)

Rasulullah bersabda, “Hormati anak-anakmu dan didiklah mereka. Allah


memberi rahmat kepada seseorang yang membantu anaknya, sehingga
sang anak dapat berbakti kepadanya”. Sahabat Rasullah bertanya,
“Bagaimana cara membantunya?”. “ Menerima usahanya walau kecil,
memaafkan kekeliruannya, tidak membebani dengan beban yang berat,
dan tidak pula memaki yang melukai hatinya” jawab Rasulullah (HR Abu
Daud).

Dimensi tidak memarahi atau mencela anak. Dalam peran mengasuh,

orangtua sering dihadapkan pada berbagai perilaku yang dilakukan oleh anak.

Terlebih pada orangtua dengan anak berkebutuhan khusus yang harus ekstra

dalam memberikan perawatan dan pengasuhan, yang akhirnya berpengaruh pada

pengendalian emosi orangtua. Dampaknya anak menjadi merasa tertekan, tidak

aman, atau justru menjadi semakin memberontak (Santrock, 2007). Namun setiap

kondisi tidak dapat diperlakukan dengan sikap yang sama, sebab anak memiliki

karakteristik untuk dapat menerima arahan dan mendapatkan toleransi (Al Adawy,

2009). Terutama pada anak berkebutuhan khusus, orangtua harus dapat bersikap

lembut dengan penuh kesabaran. Hal ini karena setiap anak menyukai kelembutan

dan kasih sayang. Oleh sebab itu, individu dikatakan resilien yaitu dapat

mengendalikan emosi dengan baik dan mampu toleransi terhadap afek negatif

maupun tekanan (Connor & Davidson, 2003). Sebagaimana diriwayatkan dalam

hadist
55

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah Maha halus dan menyukai


kehalusan. Dia memberikan sesuatu dengan kelembutan dan Allah tidak
memberikan dengan kekerasan” (HR Muslim, 2593)

Oleh karena itu, melalui pelatihan prophetic parenting diharapkan dapat

meningkatkan resiliensi orangtua untuk melakukan praktik pengasuhan yang lebih

positif.
56

Bagan 1
Dinamika Psikologis Pelatihan Prophetic parenting untuk Meningkatkan Resiliensi Orangtua Mengasuh Anak Berkebutuhan
Khusus

Risk factor
Memiliki ABK

a. Pengasuhan menjadi lebih Resiliensi Tinggi


positif a. Memiliki kompetensi
Kondisi dan tekanan yang dialami Ibu b. Menjadi teladan yang baik, personal, gigih, dan
mampu bersikap adil pada
a. Tuntutan memberikan perhatian dan optimis
semua anak, mendoakan
perawatan yang esktra terhadap abk anak, sabar dalam b. Mampu toleransi thd afek
b. Perasaan tidak pasti akan masa mengajarkan anak untuk negatif dan kuat
depan anak berbakti dan taat pada menghadapi stres
c. Biaya pendidikan yang mahal
Pelatihan prophetic
Allah, tidak mudah marah c. Menerima perubahan
d. Memiliki tanggung jawab mengurus parenting c. Tidak membebani anak dengan positif
anak kandung lainnya diluar kemampuan, d. Mampu mengontrol diri
memaafkan kesalahan,
e. Spiritualitas (yakin dan
menerima kekurangnya,
dan tidak memarahi anak menerima takdir Allah)
d. Meluruskan niat mengasuh
karena Allah
Resiliensi Rendah Faktor Penentu Resiliensi
a. Mengeluh tertekan dan kesulitan
mengasuh anak a. Interpersonally skilled
b. Belum dapat menerima sepenuhnya b. Compentent Keterangan:
mengenai kondisi anak c. High self regard : menimbulkan
c. Pesimis akan masa depan anak d. Spiritual : mempengaruhi
d. Trauma untuk memiliki anak lagi e. Helpful life circumstance : faktor penentu
: intervensi
: tujuan
57

E. Hipotesis

Hipotesis dalam penilitian ini adalah adanya perubahan skor resiliensi

antara kelompok orangtua yang diberikan perlakuan pelatihan prophetic parenting

dibandingkan kelompok orangtua yang tidak diberikan perlakuan pelatihan

prophetic parenting.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Identifikasi variabel penelitian

Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

1. Variabel Tergantung : Resiliensi

2. Variabel Bebas : Pelatihan Prophetic parenting

B. Definisi Operasional

1. Resiliensi

Secara operasional, resiliensi adalah skor yang diperoleh subjek setelah

mengisi skala resiliensi. Peneliti menggunakan skala resiliensi yang sebelumnya

pernah digunakan oleh Kurniawan (2015) yang terdiri dari 25 aitem. Skala

resiliensi yang digunakan oleh Kurniawan (2015) merupakan adaptasi dari skala

Modified CD-RISC (Dong, dkk., 2013). Skala ini bertujuan untuk mengungkap

tingkat resiliensi orangtua yang akan dilihat dari aspek fleksibilitas untuk

menghadapi perubahan dan tantangan, dukungan keluarga dan sosial, dan

pengaruh spiritual, dan memiliki kehidupan yang berorientasi pada tujuan.

Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek, maka semakin tinggi resiliensi

individu. Begitupun sebaliknya semakin rendah skor resiliensi subjek, maka

semakin rendah pula tingkat resiliensi individu.

58
59

2. Pelatihan Prophetic Parenting

Pelatihan prophetic parenting merupakan salah satu kegiatan pelatihan

yang dirancang untuk membantu para orangtua dalam menerapkan gaya

pengasuhan yang meneladani metode Rasulullah dalam mendidik dan mengasuh

anak, seperti yang telah diriwayatkan dalam Al Quran dan Hadist yaitu dengan

mengajarkan orangtua untuk dapat membimbing dan mendidik secara berkala,

sedikit demi sedikit, dan menunjukkan sikap kehangatan, kelembutan dan kasih

sayang dalam mengasuh dan membentuk kepribadian anak (Suwaid, 2010).

Penyusunan modul pelatihan prophetic parenting dibuat oleh peneliti yang

menggunakan acuan teori dan aspek dari Suwaid (2010). Subjek dalam penelitian

ini akan dibagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol. Kelompok yang akan diberikan perlakuan berupa pelatihan

prophetic parenting adalah kelompok eksperimen. Pelatihan ini akan dilakukan

sebanyak tiga kali pertemuan.

C. Subjek Penelitian

Kriteria subjek dalam penelitian ini adalah:

1. Ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus penyandang tunagrahita (TK,

SD, SMP, SMA)

2. Memiliki anak lebih dari 1 yang salah satu diantaranya anak berkebutuhan

khusus

3. Beragama Islam

4. Pendidikan minimal SMP


60

5. Memiliki skor resiliensi rendah hingga sedang

6. Bersedia mengikuti pelatihan dengan mengisi lembar informed consent.

Subjek pada penelitian ini ditentukan menggunakan teknik puposive

sampling yaitu memilih subjek sesuai dengan yang ditentukan oleh peneliti

(Latipun, 2006)

D. Rancangan penelitian

Pada penelitian merupakan penelitian kuasi-eksperimen dengan

menggunakan rancangan penelitian non randomized pretest-posttest control group

design, yaitu rancangan eksperimen dengan melakukan prates terlebih dahulu

sebelum perlakuan diberikan dan pascates sesudahnya, yang termasuk di

dalamnya melibatkan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dengan subjek

yang teah ditetapkan (Latipun, 2006). Rancangan pada penelitian ini bertujuan

untuk melihat pengaruh dari suatu perlakuan terhadap kelompok yang diberikan

perlakuan dengan kelompok yang tidak diberikan perlakuan. Berikut bentuk

rancangan eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini:

Tabel 2. Desain Penelitian

Kelompok Prates Perlakuan Pascates 1 Pascates 2


Eksperimen Y1 X Y2 Y3
(KE)

Kontrol (KK) Y1 -X Y2 Y3

Keterangan:
KE : Kelompok Eksperimen
KK : Kelompok Kontrol
61

Y1 : Pengukuran prates
Y2 : Pengukuran Pascates 1
Y3 : Pengukuran 2 minggu setelah pelatihan (pascates 2)
X : Perlakuan (pelatihan prophetic parenting)
-X : Tanpa perlakuan

Pemilihan subjek dilakukan dengan meminta subjek untuk mengisi skala

resiliensi Modified CD-RISC (Dong, dkk., 2013). sebagai tahap pretes. Subjek

yang memiliki skor resiliensi rendah hingga sedang dan bersedia untuk mengikuti

pelatihan, maka akan dipilih sebagai anggota kelompok eksperimen. Sementara

subjek yang juga memiliki skor resiliensi rendah hingga sedang namun tidak

bersedia untuk mengikuti pelatihan, maka akan dipilih sebagai anggota kelompok

kontrol.

Intervensi yang akan diberikan pada kelompok eksperimen berupa

pelatihan prophetic parenting. Pascates 1 akan diberikan setelah dilakukan

intervensi kepada subjek kelompok eksperimen. Sedangkan pada kelompok

kontrol, pascates 1 akan diberikan setelah prosesi pelatihan pada kelompok

kontrol selesai. Pelaksanaan pelatihan akan dilakukan oleh seorang psikolog

sebagai fasilitator dalam memberikan arahan dan penjelasan terkait materi.

Pascates 2 akan dilakukan dua minggu setelah intervensi. Hal ini dilakukan untuk

melihat pengaruh perlakuan yang telah diberikan dan sejauh mana penerapannya

dalam kehidupan sehari-hari oleh subjek kelompok eksperimen


62

E. Metode Pengumpulan Data

1. Wawancara

Wawancara dilakukan pada orangtua yang memiliki anak berkebutuhan

khusus diawal dan diakhir penelitian untuk memperoleh data kualitatif.

Wawancara awal dilakukan untuk mengetahui kondisi dan perasaan yang dialami

oleh orangtua yang kemudian menganalisis kebutuhan para orangtua dengan anak

berkebutuhan khusus, sehingga perlakuan yang diberikan diharapkan dapat

bermanfaat dan sesuai dengan kebutuhan para orangtua dengan anak

berkebutuhan khusus. Selanjutnya wawancara akhir dilakukan saat pascates 2

guna mengetahui pengaruh yang dirasakan oleh para orangtua setelah diberikan

perlakuan dan sejauh mana orangtua dapat menerapkan perlakuan tersebut dalam

kehidupan sehari-hari. Berikut adalah guide wawancara yang digunakan untuk

menggali permasalahan subjek:

a. Bagaimana perasaan dan pengalaman subjek selama mengasuh anak

berkebutuhan khusus?

b. Apa saja hambatan yang dialami selama mengasuh anak berkebutuhan khusus

(tunagrahita)?

c. Bagaimana selama ini merespon hambatan yang subjek alami selama

mengasuh anak?

d. Bagaimana perasaan subjek ketika mengetahui anak terlahir berbeda dengan

anak lainnya?
63

e. Bagaimana perasaan subjek ketika anak harus menjalani pendidikan luar biasa

(sekolah luar biasa)?

f. Bagaimana perasaan subjek terhadap pandangan orang sekitar mengenai

kondisi anak Anda?

g. Apakah ada rasa kekhawatiran terhadap masa depan anak?

Observasi dilakukan dengan cara pengamatan terhadap subjek saat

diberikan perlakuan. Ada beberapa aspek yang akan diobeservasi dalam penelitian

ini yaitu partisipasi perserta, keaktifan peserta, respon (emosi dan perilaku) yang

ditunjukkan selama pelatihan, serta keseriusan subjek dalam memperhatikan

materi yang disampaikan selama proses diberikan perlakuan.

2. Skala Resiliensi

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini bertujuan untuk

mengungkap fakta terkait variabel yang akan diteliti (Latipun, 2010). Skala yang

digunakan dalam penelitian ini adalah skala resiliensi yang sebelumnya digunakan

oleh Kurniawan (2015) yang juga merupakan adaptasi dari skala Modified CD-

RISC (Dong, dkk., 2013). Pada penelitian ini subjek diminta untuk mengisi

sejumlah pernyataan guna mengungkap permasalahan yang akan diteliti, yaitu

dengan memilih salah satu dari kelima alternatif pilihan jawaban yang sesuai

dengan keadaan subjek. Penyekoran pernyataan favourable bergerak dari 1-5,

sedangkan untuk penyekoran pernyataan unfavourable bergerak dari 5-1.

Validitas adalah sejauhmana skala tersebut dapat mengukur atribut yang

dirancang untuk dapat menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan yang
64

akan diukurnya (Azwar, 2004). Azwar (2004) mengatakan standar pengukuran

yang digunakan untuk menguji validitas aitem menggunakan nilai batas kritis

yaitu 0,30. Namun jika terdapat aitem yang valid berada dibawah nilai 0,30 dan

aitem tersebut memiliki konten yang penting, maka nilai batas kritis dapat

diturunkan menjadi 0,25 (Azwar, 2004).

Reliabilitas adalah sejauhmana hasil dari pengukuran dapat dipercaya dan

tetap konsisiten apabila dilakukan beberapa kali pengukuran dengan alat ukur

yang sama, terhadap kelompok subjek yang sama, maka hasil yang diperoleh

relatif sama atau konsisiten dari waktu ke waktu. Dalam aplikasinya, reliabilitas

akan dinyatakan oleh koefisien cronbach alpha apabila angkanya berada dalam

rentang dari 0 sampai dengan 1,00 (Azwar, 2004). Akan tetapi nilai alpha yang

tinggi tidak berarti bahwa alat ukur tersebut memenuhi unidimensional, yaitu

kesatuan satu set aitem untuk mengukur variabel laten (Hendryadi & Suryani,

2015). Oleh karena itu, standar angka cronbach alpha yang dinyatakan dapat

diterima yaitu pada kisaran 0,70 (Suryani & Hendryadi, 2015).

Skala resiliensi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Modified CD-

RISC yang telah diadaptasi dan diuji coba oleh Kurniawan (2015), berjumlah 25

aitem dengan koefisien validitas bergerak dari 0,560-0,905 dan memiliki koefisien

alpha realiabilitas sebesar 0,975. Berikut ini adalah blueprint skala resiliensi dapat

dilihat pada Tabel 3:


65

Tabel 3. Blueprint Skala Resiliensi Modifikasi CD-RISC

Butir favourable
Aspek
nomor butir Jumlah
Fleksibiltas untuk mengatasi perubahan
dan tantangan 1,4,5,6,8,12,14,16,18,19 10
Dukungan dari keluarga dan lingkungan
sosial 2,7,24 3
Pengaruh spiritual, yakin kepada Tuhan 3,9,13 3
Memiliki kehidupan yang berorientasi
pada tujuan 10,11,15,17,20,21,22,23,25 9
Jumlah 25 25

F. Prosedur Penelitian

Pada penelitian ini akan dilakukan dengan beberapa tahapan

1. Tahap persiapan penelitian

a. Peneliti melakukan need asesment yang terjadi dilapangan

b. Peneliti melakukan wawancara awal pada orangtua yang memiliki anak

berkebutuhan khusus

c. Studi pustaka

2. Tahap seleksi fasilitator, co fasilitator dan pengamat (observer)

Kualifikasi yang harus dimiliki oleh fasilitator antara lain:

a. Beragama Islam

b. Memiliki pengalaman memberikan psikoedukasi tentang pengasuhan

c. Mampu membimbing dalam penghayatan doa

d. Bersedia terlibat selama proses pelatihan


66

Kualifikasi untuk asisten fasilitator pada penelitian ini antara lain:

a. Mahasiswa Magister Profesi Psikologi yang telah berpengalaman

menjalankan praktek kerja profesi

b. Pernah mengikuti program kegiatan pelatihan psikologi

c. Mampu membantu keperluan fasilitator selama kegiatan pelatihan

berlangsung

d. Bersedia terlibat seluruh prosesi kegiatan pelatihan

Sedangkan kualifikasi yang harus dimiliki oleh observer adalah:

a. Mahasiswa psikologi atau mahasiswa magister profesi psikologi yang telah

lulus mata kuliah observasi atau pernah mengambil proses asesmen

psikologi

b. Memiliki pengetahuan terkait observasi perilaku dalam bidang psikologi

3. Tahap Pemberian Intervensi

Penyusunan modul pelatihan prophetic parenting dibuat sendiri oleh

peneliti yang mengacu teori dan aspek dari Suwaid (2010). Adapun beberapa

aspek yang disampaikan pada pelatihan ini yaitu menampilkan suri teladan

yang baik. Aspek ini bertujuan untuk memberikan pemahaman akan

pentingnya menjadi teladan yang baik untuk anak, karena anak akan

mengikuti perilaku yang ditunjukkan oleh orangtua. Kemudian aspek

mempengaruhi jiwa anak yang bertujuan untuk menciptakan penerimaan

yang tulus, kehangatan dan kasih sayang orangtua terhadap anak


67

berkebutuhan khusus. Pada aspek ini juga mendorong orangtua untuk

menumbuhkan kepercayaan diri dan merespon minat bakan anak

berkebutuhan khusus. Aspek membantu mengajarkan anak berkebutuhan

khusus untuk berbakti dan taat pada Allah. Aspek ini bertujuan untuk

mendorong orangtua mengajarkan anak tentang akhlak, ibadah, dan akidah.

Selanjutnya aspek mendoakan anak yang betujuan untuk menguatkan

keyakinan akan kekuatan mendoakan anak. Aspek menjauhi marah bertujuan

untuk melatih dan menekankan orangtua tentang kesabaran dan memaafkan

kesalahan anak. Kemudian aspek mencari waktu yang tepat menasihati anak,

bertujuan untuk mendorong orangtua untuk lebih dapat mengendalikan emosi

dan memahami situasi maupun kondisi anak untuk siap diberikan masukan

serta mengajarkan cara menasihati anak dengan tepat.

Sesi nasihat cinta orangtua yaitu menekankan akan tanggung jawab

mengasuh dan menerima takdir Allah. kemudian pada sesi mengasuh dengan

qalbu yaitu mendorong orangtua untuk mengasuh anak dengan ikhlas dan hati

yang tulus demi mendapatkan ridho dari Allah. Kemudian sesi sharing

bertujuan untuk memberikan kebebasan orangtua untuk mengungkapkan

permasalahan yang dialami. Berikut blueprint rancangan pelatihan prophetic

parenting:
68

Tabel 4. Rancangan Pelatihan Prophetic parenting (Sebelum Uji Modul dan


Professional Judgement)
Pertemuan/Sesi Kegiatan Tujuan Waktu
I/1 Pembukaan, Menjalin hubungan yang akrab dan 15”
perkenalan dan hangat antar peserta
inform consent Peserta mengetahui tujuan
dilakukan pelatihan
Mendapatkan persetujuan dari
peserta untuk berpartisipasi dalam
kegiatan
I/2 Sharing antar Memberikan kesempatan pada 50”
orangtua peserta untuk berbagi cerita terkait
pengalaman mengasuh anak
berkebutuhan khusus, sehingga
dapat menambahkan pengetahuan
dan menumbuhkan rasa
kebersamaan
I/3 Mengenali a. Peserta memahami tentang 20”
pengasuhan dan pengasuhan beserta macam gaya
prophetic pengasuhan yang selama ini
parenting banyak dilakukan
b. Mengenalkan tentang prophetic
parenting beserta metode yang
diajarkan oleh Rasulullah
c. Peserta mengetahui keunggulan
menerapkan prophetic parenting
I/4 Dimensi a. Mendorong peserta untuk 15”
mempengaruhi membangun hubungan yang
jiwa anak hangat dengan anak
b. Mendorong peserta untuk
mempengaruhi jiwa anak
dengan cara menumbuhkan
keberanian anak, memberi
kepercayaan, merespon minat
anak, mengajarkan untuk
berlomba-lomba dalam
mengerjakan kebaikan, memberi
pujian, dan memberi janji
beserta ancaman yang positif
I/5 Dimensi bersikap a. Peserta dapat memahami 15”
adil bagaimana memperlakukan
ABK dengan anak lainnya
secara adil
b. Peserta memahami dampak
negatif dari sikap tidak adil pada
69

anak
I/6 Penutup Mengakhiri pertemuan pertama 10”
II/1 Dimensi a. Peserta memahami pentingnya 20”
menampilkan suri menampilkan suri teladan yang
teladan baik
b. Peserta dapat memahami dan
menyadari orangtua adalah
teladan bagi anak
c. Memberikan pemahaman terkait
hal-hal yang dapat dilakukan
orangtua dalam menampilkan
suri teladan yang baik kepada
anak
II/2 Dimensi membantu a. Memberikan pemahaman 20”
anak untuk berbakti terhadap orangtua bahwa dalam
mendidik dan menumbuhkan
akhlak anak orangtua harus
sabar yaitu dengan cara
bertahap, sediki demi sedikit,
namun tetap penuh kelembutan.
b. Mendorong orangtua untuk
mengajarkan anak tentang
akidah, akhlak, dan ibadah
II/3 Dimensi mencari a. Memberikan pemahaman 15”
waktu yang tepat mengenai waktu yang tepat
dalam memberikan memberikan nasihat
nasihat b. Peserta dapat menentukan waktu
yang tepat dalam memberikan
pengarahan
c. Peserta memahami cara
memberikan arahan kepada anak
II/4 Dimensi menjauhi a. Memberikan pemahaman 40”
marah dan tidak mengenai anjuran meringankan
mencela anak teguran
b. Memberikan pemahaman
kepada peserta mengenai
dampak memarahi dan mencela
anak
c. Memberikan keterampilan cara
mengontrol amarah
d. Memberikan keterampilan cara
menghadapi anak yang
melakukan perilaku yang tidak
sesuai
II/5 Dimensi a. Menguatkan keyakinan bahwa 30”
mendoakan anak doa merupakan sumber
70

kekuatan yang berdampak


positif pada anak
b. Mengajak peserta untuk
memperbanyak istigfar,
melafalkan surah al fatihah, dan
merefleksikan diri
II/6 Nasihat cinta untuk a. Menguatkan keyakinan peserta 20”
orangtua bahwa anak adalah perhiasan
dunia dan amanah yang Allah
karuniakan
b. Menumbuhkan insight untuk
menerima takdir Allah atas
kondisi yang dialami anak
II/7 Homework dan a. Memberikan tugas rumah untuk 5”
penutup mengetahui perubahan yang
dirasakan peserta ketika
menerapkan prophetic parenting
selama 1 minggu
b. Mengevaluasi kegiatan
pertemuan pertama dan kedua
c. Mengakhiri kegiatan dan
mengingatkan pertemuan
selanjutnya
III/1 Evaluasi dan a. Mengetahui seberapa jauh 40”
refleksi peserta dapat menerapkan
prophetic parenting dalam
kehidupan sehari-hari dan
dampak yang dirasakan
b. Peserta merasakan manfaat dari
pelatihan
III/2 Posttest dan penutu Mengukur resiliensi subjek setelah 5”
mengikuti pelatihan
III/3 Penutup Mengakhiri seluruh proses kegiatan 5”
pelatihan
Follow up Sharing mengenai Mengetahui perkembangan 25”
(14 hari setelah perasaan dan psikologis setelah pelatihan
pertemuan III) perubahan yang
dialami peserta
Pascates 2 Mengukur resiliensi 5”
71

4. Materi yang dibutuhkan saat pelaksanaan intervensi


a. Lembar informed consent sebagai bukti persetujuan subjek untuk
mengikuti proses intervensi
b. Skala resiliensi Modified Connor and Davidson Resilience Scale yang
telah diadaptasi oleh Kurniawan (2015)
c. Modul pelaksanaan pelatihan prophetic parenting
d. Ruangan untuk pelaksanaan pelatihan prophetic parenting
e. Alat tulis seperti pulpen dan kertas
f. Worksheet evaluasi dan observasi untuk setiap pertemuan

G. Metode Analisis Data

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Analisis dengan pendekatan kuantitatif

bertujuan untuk melihat perbedaan skor rerata antara kelompok eksperimen

dan kelompok kontrol. Analisis kuantitatif menggunakan bantuan software

Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 16. Uji hipotesis yang

dilakukan penelitian ini menggunakan metode Anava Mix Design. Analisis ini

dilakukan untuk mengetahui perpaduan antara dua sub analisis, yakni within

subject test dan between subject test (Pallant, 2010). Within subjetc test ini

untuk mengetahui perbedaan skor dalam satu kelompok yaitu prates dan

pascates. Sementara between subject test untuk mengetahui skor antar

kelompok yakni eksperimen dan kontrol (Pallant, 2010).

Selain menggunakan metode analisis kuantitatif, peneliti juga

melakukan analisis kualitatif melalui wawancara, observasi, dan lembar kerja.


72

Hal ini dilakukan untuk menjelaskan dinamika psikologis yang terjadi pada

masing-masing subjek selama dan sesudah diberikan pemberian perlakuan.

Analisis kualitatif ini diharapkan dapat memperkuat hasil dari kuantitatif.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Orientasi Kancah dan Persiapan

1. Orientasi Kancah

Penelitian ini mengambil subjek penelitian ibu-ibu yang memiliki anak

berkebutuhan khusus tunagrahita dan down syndrome. Pemilihan subjek

penelitian dilakukan pada dua tempat yaitu SLB A dan SLB B. SLB A merupakan

sekolah luar biasa yang melayani pendidikan anak berkebutuhan khusus dengan

berbagai jenis ketunaan, seperti tunagrahita, tunanetra, tunarungu, tunadaksa,

tunalaras, tunaganda, ADHD, autis dan down syndrome. SLB A menyediakan

layanan jenjang pendidikan mulai dari tingkat TK hingga SMA dengan jumlah

siswa sebanyak 108 orang. Peneliti melakukan skrining pada walimurid dari siswa

SLB A tingkat SD dengan ketunaan tunagrahita (C/C1). Skrining yang dilakukan

pada walimurid SLB A akan digunakan sebagai subjek kelompok eksperimen.

Sementara SLB B adalah sekolah luar biasa yang melayani pendidikan

luar biasa khusus untuk golongan C dan C1. SLB Santhi Yoga Klaten

menyediakan layanan pendidikan mulai dari tingkat SD hingga SMA dengan

jumlah siswa sebanyak 136 siswa. Peneliti juga melakukan skrining pada

walimurid SLB B tingkat SD dengan jenis ketunaan tunagrahita. Skrining yang

dilakukan di SLB B digunakan untuk pemilihan subjek kelompok kontrol.

73
74

Alasan peneliti memilih kedua lokasi sekolah luar biasa tersebut, karena

kedua sekolah tersebut terdapat banyak siswa yang menyandang tunagrahita.

Sementara itu, alasan peneliti memilih subjek dari walimurid SLB A untuk

dijadikan kelompok eksperimen karena sebagian dari orangtua walimurid belum

pernah mendapatkan pelatihan pengasuhan. Selain itu, pihak sekolah juga belum

pernah menyelenggarakan pelatihan pengasuhan untuk walimurid.

Kemudian kondisi di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar

orangtua khususnya ibu mengeluh kesulitan, kebingungan, bahkan mengaku

tertekan ketika mengasuh anak berkebutuhan khusus. Kesulitan tersebut dialami

ketika orangtua dihadapkan pada kondisi saat mengatasi emosi anak, anak sulit

untuk diajak kerjasama, dan keinginan anak yang harus dipenuhi. Bahkan ada

orangtua yang mengaku sempat malu dengan perilaku anak yang menyandang

berkebutuhan khusus. Beberapa orangtua juga memiliki kekhawatiran akan masa

depan anaknya yang berkebutuhan khusus.

Peneliti memilih subjek penelitian pada ibu karena mayoritas pengasuh

utama anak berkebutuhan khusus adalah ibu. Selain itu, para ibu memiliki waktu

luang yang lebih banyak untuk mengikuti pelatihan prophetic parenting,

dibandingkan ayah yang harus mencari nafkah. Kemudian di sekolah tersebut juga

terdapat banyak walimurid khususnya ibu-ibu yang menunggu anak di sekolah

hingga jam pulang sekolah. Oleh sebab itu, peneliti memilih ibu-ibu SLB A

sebagai subjek kelompok eksperimen dalam penelitian ini.


75

Sedangkan alasan peneliti memilih subjek kelompok kontrol di lokasi

berbeda yakni walimurid SLB B adalah untuk menghindari terjadinya interaksi

pertukaran informasi antara subjek kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

2. Persiapan Penelitian

Persiapan yang dilakukan oleh peneliti untuk menjalankan penelitian ini

adalah perizinan, persiapan alat ukur, persiapan modul terapi. Berikut tahapan

persiapan dalam penelitian ini:

a. Persiapan Administrasi

Pada proses persiapan administrasi, peneliti mengurus perizinan penelitian

yang ditujukan untuk pihak sekolah yang terkait. Perizinan penelitian wajib

dilakukan demi memenuhi syarat administratif yang diajukan oleh pihak sekolah

dan demi mendukung kelancaran proses penelitian. Peneliti mengurus surat

perizinan tersebut dengan mengajukan permohonoan kepada bagian akademik

Magister Psikologi Profesi Universitas Islam Indonesia untuk mengeluarkan surat

permohonan izin penelitian yang ditujukan kepada kepala sekolah SLB A dan

SLB B. Akhirnya diterbitkan surat izin penelitian dengan Nomor

018/Ketua_M.Psi/20/Akd/III/2018 tertanggal 9 Maret 2018.

Setelah dikeluarkannya surat perizinan tersebut, peneliti memberikan

langsung surat izin tersebut pada kepala sekolah yang bersangkutan. Kemudian

kepala sekolah memberikan informasi terkait data yang sesuai dengan

karakteristik subjek penelitian.


76

b. Persiapan Alat Ukur Penelitian

Peneliti menggunakan skala resiliensi modified Connor-Davidson

Resilience Scale (CD-RISC) yang sebelumnya telah diadaptasi dan diuji coba oleh

Kurniawan (2015) pada subjek ibu-ibu. Setelah peneliti melakukan kembali uji

coba pada 67 orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus tunagrahita

diperoleh nilai koefisien validitas bergerak dari 0,257-0,756 dengan koefisien

alpha reabilitas sebesar 0,880. Oleh karena itu, skala resiliensi digunakan oleh

peneliti sebagai instrumen seleksi terhadap subjek penelitian kelompok kontrol

dan kelompok eksperimen. Berikut tabel butir aitem yang gugur pada hasil uji

coba alat ukur resiliensi

Berikut ini adalah blueprint skala resiliensi dapat dilihat pada Tabel 5:

Tabel 5. Blueprint Skala Resiliensi Modifikasi CD-RISC Setelah Uji Coba

Butir favourable
Aspek
nomor butir Jumlah
Fleksibiltas untuk mengatasi perubahan
dan tantangan 1,4,5,6,8,12,14,16,18,19 10
Dukungan dari keluarga dan lingkungan
sosial 2,7,24 3
Pengaruh spiritual, yakin kepada Tuhan 3,9,13 3
Memiliki kehidupan yang berorientasi
pada tujuan 10,11,15,17,20,21,22,23,25 9
Jumlah 25 25
77

c. Persiapan Modul Pelatihan

Modul pelatihan prophetic parenting disusun sendiri oleh peneliti yang

menggunakan acuan dari teori Suwaid (2010). Pelatihan ini bertujuan untuk

memberikan pengetahuan dan keterampilan pengasuhan berbasis Islami pada

orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Apabila orangtua dengan

anak berkebutuhan khusus memiliki pengetahuan dan keterampilan pengasuhan

prophetic parenting, maka diharapkan dapat lebih resilien dalam memberikan

pengasuhan yang lebih positif.

Peneliti juga melakukan professional judgement pada modul pelatihan

prophetic parenting guna untuk mendapatkan penilaian dan masukan dari

professional. Penilaian tersebut dilakukan oleh dua orang dosen yang menguasai

prophetic parenting dan pendidikan anak berkebutuhan khusus. Berdasarkan

hasil professional judgement oleh dua orang dosen, peneliti mendapatkan

beberapa masukan untuk perbaikan modul, seperti estimasi waktu dan jumlah

pertemuan, simulasi, lembar kerja, menambahkan doa-doa kebaikan anak,

kesesuaian video dengan tujuan pelatihan.

Sebelumnya peneliti merancang kegiatan pelatihan prophetic parenting

dilakukan sebanyak dua kali pertemuan dengan agenda full materi dan satu

pertemuan untuk refleksi. Namun setelah mendapatkan masukan, peneliti

mengagendakan pelaksanaan pelatihan menjadi 4 kali pertemuan dengan durasi

120 menit. Selain itu, pada pertemuan pertama sesi pengenalan pengasuhan akan

lebih baik langsung menembak tentang pengenalan prophetic parenting agar

sesuai dengan tujuan.


78

Masukan lainnya yaitu perlu ditambahkan lembar kerja tentang

menentukan tujuan yang ingin dilakukan maupun diubah dari subjek. Selain itu,

lembar kerja 1 juga disesuaikan dengan materi yang akan disampaikan.

Penayangan video juga perlu dipertimbangkan kesesuaian antara nilai kesuksesan

yang ingin diinspirasikan dari video dan konsep dasar prophetic parenting. Hal

ini bertujuan kesuksesan prophetic parenting berorientasi dunia dan akhirat, tidak

sebatas duniawi saja. Akhirnya peneliti merubah konten video yang berkaitan

dengan kisah-kisah insipiratif anak berkebutuhan khusus yang sukses dunia dan

akhirat, seperti penyandang cerebal palsy yang menjadi hafiz quran dan

penyandang down syndrome yang menjadi guru.

Selain itu, masukan untuk sesi mendoakan anak perlu ditambahkan doa-

doa lainnya seperti mendoakan anak untuk mendirikan sholat, mendoakan anak

agar sholeh, dan lain-lain. Akhirnya peneliti menambahkan beberapa doa pada

sesi mendoakan anak. Adapun beberapa perubahan terkait rencana dan

pelaksanaan pelatihan ditunjukkan pada tabel sebagai berikut:

Tabel 6. Pelaksanaan Pelatihan Prophetic parenting (Setelah Uji coba dan


Professional Judgement)
Pertemuan Sesi Waktu Kegiatan Tujuan
Pembukaan Menjalin hubungan yang akrab
(perkenalan, dan hangat antar peserta
penjelasan maksud Peserta mengetahui tujuan
1 15” dan tujuan, Informed dilakukan pelatihan
Consent) Mendapatkan persetujuan dari
peserta untuk berpartisipasi
I
dalam kegiatan
3 Mei 2018
Pemutaran Video Mendorong dan memancing
5” “Disabled” peserta untuk membuka cerita
pengalaman mengasuh anak
2
berkebutuhan khusus
Sharing Memberikan kesempatan pada
40”
peserta untuk berbagi cerita
79

terkait hambatan dan


pengalaman mengasuh anak
berkebutuhan khusus
Lembar Kerja 1 Mengetahui sejauh mana
pengasuhan yang selama ini
5”
diterapkan oleh masing-masing
peserta
Mengenal Prophetic a. Mengenalkan tentang
parenting prophetic parenting beserta
metode yang diajarkan oleh
Rasulullah
b. Menekankan mendidik dan
3 40”
mengasuh anak secara
bertahap, sediki demi
sedikit, penuh kelembutan,
kasih sayang

Bersikap adil Memberikan pemahaman


tentang pentingnya bersikap adil
40”
dan dampak negatif dari sikap
4 tidak adil pada anak
Lembar kerja 2 Mendorong peserta untuk
5” menentukkan tujuan perilaku
yang ingin diubah
Penutup Mengakhiri sesi pertemuan
5 5”
pertama
Pembukaan dan Mengetahui pendapat peserta
Evaluasi mengenai pertemuan yang telah
1 10” dilakukan dan mereview materi
pertemuan sebelumnya

Menjauhi marah a. Memberikan pemahaman


dan mencari waktu tentang meringankan
yang tepat teguran, larangan mencela
II menasihati anak anak, dampak memarahi dan
4 Mei 2018 mencela anak
b. Memberikan pemahaman
60”
tentang mencari waktu yang
2
tepat menasihati anak
berkebutuhan khusus
c. Memberikan pemahaman
tentang memberi pujian pada
anak berkebutuhan khusus
Simulasi: Memberikan keterampilan pada
30”
Roleplay menegur peserta tentang menasihati dan
80

dan menasihati menegur perilaku anak


anak
Mempengaruhi a. Mendorong peserta untuk
jiwa anak menumbuhkan perasaan
anak melalui sikap
4 45” kehangatan, kasih sayang,
dan kelembutan
b. Mendorong peserta untuk
mempengaruhi jiwa anak
5 5” Penutup Mengakhiri pertemuan kedua
Pembuka dan a. Mengetahui pendapat dan
Evaluasi perkembangan yang
dirasakan peserta mengenai
15” pertemuan yang telah
dilakukan
1
b. Mereview materi pertemuan
sebelumnya
Lembar kerja 4 Merefleksikan perilaku suri
5” teladan yang selama ini sudah
dilakukan oleh peserta
Pemutaran video: Memberikan contoh tayangan
“anak meniru tentang perilaku anak yang
5”
perilaku orangtua” meniru perilaku yang
ditunjukkan oleh orangtua
Menampilkan suri a. Memberikan pemahaman
teladan yang baik pada peserta mengenai
pentingnya memberikan
III teladan yang baik untuk
7 Mei 2018 2 anak berkebutuhan khusus
b. Memberikan pemahaman
60” pada peserta mengenai
proses-proses penanaman
nilai-nilai keteladanan
c. Memberikan contoh hal-hal
yamg dapat dilakukan
peserta untuk menampilkan
teladan yang baik
Mengajarkan anak a. Memberikan pemahaman
berkebutuhan pentingnya mengajarkan
khusus untuk anak berkebutuhan khusus
berbakti dan taat untuk berbakti dan taat pada
3 60” pada Allah Allah SWT
b. Peserta dapat memahami
hal-hal yang dapat
dilakukan untuk
mengajarkan akidah, ibadah,
81

dan akhlak pada anak


berkebutuhan khusus
c. Menyadarkan peserta
tentang pentingnya tidak
membebani anak di luar
kemampuannya, menerima
kekurangannya, memaafkan
kesalahannya, dan tidak
mencela atau memarahi
anak
4 5” Penutup Mengakhiri pertemuan ketiga
Pembukaan dan a. Mengetahui pendapat dan
evaluasi perkembangan yang
dirasakan peserta mengenai
1 5” pertemuan yang telah
dilakukan
b. Mereview materi pertemuan
sebelumnya
Nasihat cinta untuk a. Menumbuhkan insight untuk
orangtua menerima ketetapan dari
Allah
b. Menekankan peserta bahwa
anak adalah perhiasan dunia
dan amanah yang telah Allah
karunikan
c. Menekankan tentang peran
2 30”
dan tanggung jawab
orangtua dalam mendidik
IV
anak
8 Mei 2018
d. Memberikan penguatan pada
peserta bahwa memiliki
anak berkebutuhan khusus
tetap memiliki masa depan
yang baik
Mendidik dan a. Memberikan
mengasuh dengan
pemahaman
qalbu
mengenai mengasuh
dengan qalbu
3 30”
b. Mendorong peserta
untuk melibatkan
Qalbu dalam
pengasuhan
82

Pemuataran video Memberikan penguatan melalui


Bella Syndrome video dengan menunjukkan
pfeiffer, Fajar si bebagai kisah insipiratif nyata
15” hafiz Quran, dari orangtua yang mengasuh
Penyandang down dengan qalbu dan kisah anak
syndrome yang yang sukses menjadi hafiz dan
menjadi guru pengajar
Mendoakan anak a. Memberikan pemahaman
mengenai kekuatan
mendoakan anak
b. Mendorong peserta untuk
30” memperbayak doa dan
4 istigfar sebagai bentuk
pensucian jiwa maupun hati
guna melembutkan hati
yang keras
Doa bersama Mengajak peserta untuk
15”
mendoakan kebaikan anak
Pascates 1 Mengukur resiliensi peserta
5 10”
setelah mengikuti pelatihan
Evaluasi, a. Mengetahui pendapat
homework, dan peserta selama mengikuti
penutup pelatihan
b. Memberikan tugas rumah
untuk mengetahui
6 15” perubahan yang dirasakan
peserta ketika menerapkan
prophetic parenting selama
2 minggu
c. Mengakhiri kegiatan
pelatihan
Follow up Evaluasi tugas Mengetahui perkembangan
22 Mei rumah peserta setelah mengikuti
2018 pelatihan
1 15”
Mengetahui sejauh mana peserta
menerapkan prophetic parenting
dalam kehidupan sehari-hari
Pengukuran Mengetahui resiliensi peserta
2 10”
resiliensi setelah pelatihan
83

d. Seleksi Fasilitator

Pelatihan prophetic parenting ini disampaikan oleh dua orang fasilitator.

Dua fasilitator tersebut akan bergantian dalam menyampaikan materi dipertemuan

yang berbeda. Kedua fasilitator tersebut sesuai dengan kriteria yang telah

ditentukan oleh peneliti. Fasilitator yang mengisi pertemuan pertama dan kedua

merupakan seorang dosen sekaligus psikolog yang telah berpengalaman dan

memahami tentang pengasuhan dan anak berkebutuhan khusus. Sedangkan

fasilitator untuk pertemuan ketiga dan keempat adalah seorang dosen sekaligus

mendalami dan meneliti terkait pengasuhan Islami. Peran fasilitator pada

pelatihan prophetic parenting ini adalah menyampaikan materi tentang prophetic

parenting dan memfasilitasi peserta untuk berbagi cerita maupun bertanya.

Berikut adalah profil yang digunakan untuk menyeleksi fasilitator:

Tabel 7. Profil Fasilitator


Fasilitator Profil
Fasilitator I 1. Beragama Islam
(FN) 2. Dosen dan psikolog pendidikan
3. Pendidikan terakhir Magister
4. Memiliki pengalaman memberikan psikoedukasi tentang
pengasuhan
5. Memahami mengenai anak berkebutuhan khusus
6. Pernah mengikuti seminar tentang pengasuhan
7. Research yang terkait dengan pengasuhan:
a) Spiritual well-being, parent attachment, and moral
disengagement among college students
b) Parent attachment and self esteem among Indonesian and
Chinese undergraduate students
Fasilitator II 1. Beragama Islam
(IR) 2. Dosen
3. Pendidikan terakhir Magister
4. Memiliki pengalaman memberikan psikoedukasi tentang
pengasuhan
5. Memahami mengenai anak berkebutuhan khusus
6. Pernah mengikuti seminar tentang pengasuhan
7. Research terkait pengasuhan:
84

a) Penurunan stres pengasuhan orangtua dan disfungsi


interaksi orangtua-anak melalui pendidikan pengasuhan
versi pendekatan spiritual (PP-VPS).
b) Parenting skill training as attempt to cope child abuse in
family
c) Strategi manajemen konflik orangtua ditinjau dari
keyakinan orangtua, gender orangtua, dan jenis kelamin
orangtua.

Sementara pengamat yang terlibat dalam penelitian ini terdiri dari tiga

orang mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan Magister Psikologi Profesi

Universitas Islam Indonesia. Tugas pengamat dalam penelitian ini adalah

melakukan pengamatan terhadap subjek selama proses kegiatan pelatihan

prophetic parenting berlangsung.

B. Laporan Pelaksanaan Penelitian

1. Pelaksanaan Prates

Setelah mendapatkan penilaian professional judgement dari praktisi dan

akademisi yang berpengalaman terhadap modul pelatihan prohetic parenting,

peneliti melakukan perbaikan. Peneliti merevisi modul seperti jumlah pertemuan

dan urutan sesi materi yang disampaikan, kesesuaian video dengan materi yang

disampaikan, dan lembar kerja. Setelah melakukan perbaikan, peneliti melakukan

tahapan uji coba modul kepada lima orang.

Subjek yang terlibat pada proses uji coba modul tidak memiliki kesamaan

karakteristik yang sesuai dengan penelitian ini. Namun subjek yang terlibat

dalam uji coba modul masih dalam cakupan orangtua yang memiliki anak

berkebutuhan khusus. Hal ini dikarenakan kesibukan dan kesediaan dari masing-
85

masing orangtua. Uji coba modul hanya dilakukan pada lima orangtua walimurid

SLB Wiyata Dharma 3, Ngaglik.

Alasan peneliti melakukan uji modul di sekolah tersebut karena pihak

sekolah belum pernah mengadakan program pelatihan parenting untuk walimurid.

Selain itu, berdasarkan wawancara dengan beberapa walimurid mengatakan

bahwa walimurid mengharapkan adanya fasilitas layanan dari sekolah untuk

orangtua. Hal ini karena walimurid membutuhkan adanya sarana dan fasilitas

sebagai wadah untuk saling memberi dukungan, saling berbagi pengalaman dan

pengetahuan antar walimurid terkait hambatan dalam mengasuh anak

berkebutuhan khusus.

Uji coba modul dilakukan guna mengetahui kejelasan dan kesesuaian

dalam penyampaian tujuan pelatihan, ketepatan waktu intervensi, kejelasan

bahasa yang digunakan. Uji coba modul dilaksanakan pada tanggal 17 April

2018. Berikut hasil uji coba modul pelatihan prophetic parenting:

Tabel 8. Standar Penilaian Modul Intervensi yang Diberikan kepada Peserta


Uji Coba
Aspek Skor
Apakah psikolog 1 (sangat 2 (tidak 3 (jelas) 4 (sangat
menyampaikan tidak jelas) jelas) jelas)
tujuan terapi
dengan jelas?
Apakah tujuan 1 (sangat 2 (tidak 3 (sesuai) 4 (sangat
terapi sesuai dengan tidak sesuai) sesuai) sesuai)
materi yang
disampaikan oleh
psikolog?
Menurut ibu, 1 (sangat 2 (tidak 3 (menarik) 4 (sangat
apakah materi yang tidak menarik) menarik)
disampaikan dalam menarik)
terapi ini menarik?
Apakah psikolog 1 (sangat 2 (sulit untuk 3 (mudah 4 (sangat
menyampaikan sulit dipahami) dipahami) mudah
86

Aspek Skor
materi terapi dipahami) dipahami)
dengan bahasa yang
mudah dipahami?
Menurut ibu, 1 (sangat 2 (tidak 3 (ideal) 4 (sangat
apakah materi tidak ideal) ideal) ideal)
terapi disampaikan
dalam jumlah
waktu yang ideal?

Rerata skor tiap peserta diperoleh dengan cara membagi skor total dengan jumlah

item pertanyaan.

Tabel 9. Hasil Penilaian Uji Coba Modul


Peserta Kuantitatif Kualitatif
(Rerata Skor)
1 3,6 Setiap peserta mendapatkan fotokopian
materi, agar peserta dapat mempelajari dan
mengingat kembali materi yang telah di
sampaian, diberikan test psikologi
2 3,4 Materi kurang tangkap terutama visualnya
(penayangan video yang menggunakan
bahasa inggris), mendapat wawasan baru,
berharap kegiatan ini dapat diteruskan
suatu waktu
3 3,4 Alokasi waktu untuk sesi berbagi
pengalaman harap ditambah, alokasi
waktu masih kurang (sebaiknya kegiatan
dimulai lebih pagi lagi)
4 3,4 Penayangan video yang menggunakan
bahasa inggris, sehingga kurang bisa
memahami makna video, alokasi waktu
masih kurang (sebaiknya kegiatan dimulai
lebih pagi lagi)
5 3,8 Sebaiknya lebih sering atau rutin
dilakukan penelitian atau sharing, agar
dapat menambah wawasan dan lebih
menguatkan orangtua dari anak-anak yang
istimewa, alokasi waktu masih kurang
87

Berdasarkan hasil uji coba modul yang telah dilakukan, disimpulkan

bahwa secara umum materi yang disampaikan sudah sesuai dengan tujuan dan

dapat disampaikan dengan jelas. Bahkan dengan adanya uji modul tersebut

peserta merasa selain memperoleh wawasan yang baru, bahwa pelatihan prophetic

parenting juga dapat memberikan wadah bagi peserta untuk berbagi pengalaman

terkait hambatan dalam mengasuh anak berkebutuhan khusus. Kemudian peserta

juga mengharapkan adanya kelanjutan dari kegiatan tersebut. Hal ini karena

peserta membutuhkan fasilitas untuk berbagi pengalaman dan memerlukan

tambahan pengetahuan tentang mengasuh anak berkebutuhan khusus yang selama

ini jarang diberikan oleh pihak sekolah.

Namun yang menjadi masukan untuk modul pelatihan ini adalah terkaitan

kesesuaian waktu. Peserta merasa bahwa waktu yang disediakan untuk uji coba

kurang mencukupi. Peserta juga menyarankan agar penayangan video

menggunakan bahasa Indonesia agar lebih mudah untuk dipahami. Kemudian

peserta juga mengharapkan mendapatkan modul atau handout yang berisi materi

pelatihan prophetic parenting agar dapat dipelajari dan diingat kembali.

Oleh karena itu, pada penayangan video peneliti akan meminta fasilitator

untuk menerjemahkan kata-kata yang diucapkan atau makna yang terdapat dalam

video. Keterbatasan waktu pelaksanaan uji modul dapat dimaklumi, karena

kesibukan dari masing-masing peserta berbeda-beda, sehingga peneliti hanya

melakukan satu kali pertemuan dengan durasi 120 menit. Berikut preview hasil uji

coba modul dan professional judgement terhadap pelaksanaan pelatihan prophetic

parenting:
88

Tabel 10. Preview Hasil Uji Coba Modul Dan Professional Judgement
Terhadap Pelaksanaan Pelatihan Prophetic Parenting
Konten yang diubah Sebelum Uji Modul Sesudah Uji Modul
Jumlah pertemuan Mengagendakan dua kali Diubah dari dua
pertemuan dengan 6 sesi pertemuan menjadi empat
dan materi yang padat pertemuan dengan 4-5
sesi
Waktu pelaksanaan Berlangsung selama 180 Diringkas mejadi 120
menit menit
Materi yang disampaikan Hanya materi tanpa Menyisipkan roleplay,
adanya roleplay diskusi, dan penambahan
video
Sesi sharing Estiamasi waktu 30 menit Estimasi waktu ditambah
(tidak mencukupi) menjadi 50 menit
Video Penayangan video Penayangan video
dipertemuan 1 masih dipertemuan 1, diberikan
menggunakan bahasa penjelasan isi atau konten
Inggris dari video
Penayangan video Penayangan video
pertemuan 4, tidak sesuai pertemuan 4, diubah
dengan konsep prophetic dengan video
parenting yaitu “penyandang down
kesuksesan berorientasi syndrome yang menjadi
pada duniawi semata guru” dan “penyandang
(Kisah Ah-Lee pianis dari cerebal palsy yang
Korea) menjadi penghafal Al
Quran”
Lembar kerja Terdapat 8 lembar kerja Diringkas menjadi 4
lembar kerja
Materi pengenalan Mengenalkan berbagai Langsung pada
pengasuhan jenis pengasuhan barat, pembahasan materi
setelah itu diakhiri pengenalan pengasuhan
dengan pengenalan
prophetic parenting

Setelah melakukan tahap uji coba modul pelatihan, peneliti juga

melakukan skrining dengan menggunakan skala resiliensi. Setelah itu, peneliti

melakukan kategorisasi berdasarkan skor perolehan subjek. Peneliti menggunakan

persentil 20,40,60,80 dengan lima kategori untuk mengkategorikan subjek pada

kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Pembagian kelompok berdasarkan


89

lokasi yakni SLB A sebagai kelompok eksperimen dan SLB B sebagai kelompok

kontrol. Subjek yang akan dilibatkan dalam penelitian ini yaitu memiliki skor

kategori sangat rendah, rendah, dan sedang. Berikut kategorisasi berdasarkan skor

yang diperoleh subjek:

Tabel 11. Kategorisasi Skor Resiliensi Subjek Berdasarkan Persentil


Kategori Norma Persentil Rentang skor Jumlah
Sangat Tinggi X < 20 X< 4,22 12
Tinggi 20 ≤ X ≤ 40 4,22 ≤ X≤ 4,52 14
Sedang 40 ≤ X< 60 4,52 ≤ X < 4,76 13
Rendah 60 ≤ X <80 4,76 ≤ X < 5,00 13
Sangat Rendah X > 80 X> 5,00 15
Jumlah 67

Hasil ketegorisasi skor resiliensi berdasarkan persentil, diketahui terdapat

12 orang masuk dalam kategori sangat rendah, 14 orang masuk dalam kategori

rendah, 13 orang masuk dalam kategori sedang, 13 orang masuk dalam kategori

tinggi, dan 15 orang masuk dalam kategori sangat tinggi. Dari 67 orang, terdapat

21 orang yang memenuhi syarat kriteria subjek penelitian. Selain berdasarkan

kriteria, peneliti juga melakukan pertimbangan lain, seperti kesediaan waktu dan

jarak rumah dengan sekolah. Kemudian yang menyatakan kesediaannya untuk

dijadikan subjek penelitian sebanyak 19 orang. Dari 19 orang yang bersedia

menjadi subjek penelitian kemudian dibagi menjadi dua kelompok yaitu sembilan

subjek dimasukan dalam kelompok eksperimen dan 10 subjek dimasukan dalam

kelompok kontrol.
90

2. Pelaksanaan Intervensi Pelatihan Prophetic parenting

Pelaksanaan pelatihan prophetic parenting pada kelompok eksperimen

dilakukan sebanyak empat kali pertemuan. Tiap pertemuan terdiri dari lima

hingga enam sesi. Pelatihan prophetic parenting ini dilaksanakan di ruang Tari

SLB Negeri 1 Sleman. Berikut uraian mengenai proses kegiatan pelatihan

prophetic parenting di setiap pertemuannya

a. Pertemuan pertama (Kamis, 3 Mei 2018; 09.00-11.00)

Pertemuan pertama pelatihan prophetic parenting dilaksanakan pada hari

Kamis, 3 Mei 2018 di ruang tari SLB A. Pelatihan prophetic parenting dimulai

pukul 09.00 hingga pukul 11.00. Awalnya peneliti mengundang 10 orang dan

yang bersedia mengikuti pelatihan prophetic parenting adalah sebanyak 9 orang.

Namun yang dapat hadir pada pertemuan pertama hanya 7 orang yaitu LS, TK,

DY, NR, ST, SL, dan RT. Sementara dua peserta lainnya (SB dan PN) tidak

dapat hadir mengikuti kegiatan pelatihan dikarenakan SB mengambil surat

pengumuman kelulusan anak pertama dan PN mengantarkan anak periksa ke

dokter.

Setelah semua peserta hadir, kemudian peneliti membuka pertemuan

pertama dengan mengucapkan salam dan doa. Kemudian peneliti

memperkenalkan diri beserta seluruh tim (fasilitator dan observer) yang akan

membantu proses pelatihan prophetic parenting. Setelah memperkenalkan

seluruh anggota tim, peneliti meminta peserta untuk saling memperkenalkan diri.

Peneliti juga mengucapkan terimakasih kepada semua peserta yang hadir karena
91

telah bersedia untuk meluangkan waktunya untuk ikut berpartisipasi pada

pelatihan prophetic parenting.

Setelah memperkenalkan diri, peneliti menyampaikan penjelasan kepada

peserta mengenai tujuan pelatihan dan gambaran proses kegiatan yang akan

dilakukan. Selain itu, peneliti juga memberikan kebebasan kepada peserta untuk

mengeluarkan ide, pikiran dan perasaan mengenai mengasuh anak. Peneliti juga

menghimbau para peserta untuk saling menjaga kerahasiaan atas apa yang telah

disampaikan masing-masing peserta. Peneliti meminta persetujuan kepada

peserta untuk merekam suara selama kegiatan berlangsung dan peserta

menyatakan kesediaannya.

Selanjutnya, obsever membantu peneliti membagikan lembar informed

consent kepada masing-masing peserta. Peneliti meminta peserta untuk membaca

dengan sesama mengai lembar inform consent. Peserta menandatangai lembar

inform consent dan menyatakan kesediaannya untuk mengikuti seluruh rangkaian

proses pelatihan prophetic parenting. Peneliti kembali menyampaikan bahwa

manfaat dari kegiatan pelatihan prophetic parenting akan diperoleh dengan

maksimal, apabila peserta dapat berkomitmen untuk selalu hadir di semua

pertemuan. Peserta menyatakan kesediaannya dengan mengatakan InsyaAllah.

Kemudian observer membagikan lembar kerja 1 kepada peserta. Lembar kerja

tersebut bertujuan untuk mengetahui sejauh mana indikator-indikator prophetic

parenting yang selama ini sudah dilakukan oleh peserta.

Sesi selanjutnya, peneliti mempersilahkan fasilitator untuk menyampaikan

materi. Fasiliator pada pertemuan pertama ini adalah seorang dosen pengajar UII
92

sekaligus berprofesi sebagai psikolog. Sebelum memulai materi fasilitator

kembali memperkenalkan diri. Setelah itu, fasilitator memberikan kata pengantar

dengan merefleksikan perasaan peserta selama berperan menjadi orangtua.

Fasilitator mengatakan bahwa peserta mendapatkan amanah dari Allah untuk

mendidik anak istimewa yang nantinya orangtua akan dimintai pertanggung

jawaban di akhirat, sehingga tugas peserta adalah bagaimana agar dapat menjaga

fitrah anak sebaik mungkin.

Kemudian peneliti menanyangkan video tentang ungkapan anak-anak

disabilitas. Setelah video diputar, fasilitator menyimpulkan dari video tersebut

dan meminta peserta untuk merefleksikannya. Namun tidak ada peserta yang mau

memulainya sehingga fasilitator memancing masing-masing peserta untuk

merefleksikan kembali dari video tersebut. Sebagian peserta mengatakan merasa

terharu dengan melihat video tersebut, meski mereka memiliki keterbatasan

namun tetap bisa percaya diri. Peserta mengharapkan jika anak-anaknya juga

dapat seperti anak-anak dalam video tersebut yaitu memiliki percaya diri yang

baik.

Selanjutnya fasilitator mengajak peserta untuk berbagi cerita terkait

kendala selama mengasuh anak berkebutuhan khusus. LS mengeluhkan bahwa

anak sulit untuk diarahkan dan apabila memiliki kemauan harus segera dipenuhi.

TK juga memiliki permasalahan yang sama dengan LS yaitu emosinya tinggi dan

jika memiliki keinginan harus segera dipenuhi. DY mengeluhkan bahwa anak

mudah marah terutama ketika diberi nasihat dan perintah. NR mengeluhkan

bahwa anak sangat emosional dan sensitif. NR juga mengatakan bahwa untuk
93

menasihati anak yang berkebutuhan khusus harus pelan-pelan, maka nurut. Jika

dinasihati dengan cara berteriak, maka anak akan marah.

Sementara RN mengaku kurang sabar menghadapi perilaku anak. Selain

itu RN juga khawatir dengan pengaruh lingkungan sekitar yang perilakunya

sering ditiru oleh anaknya. RT mengeluhkan bahwa anak memiliki masalah

emosi tidak stabil dan anak mudah terpengaruh oleh lingkungan, sehingga sering

meniru perilaku yang tidak baik. SR juga memiliki keluhan yang sama dengan

peserta lainnya yaitu perilaku anak yang mudah emosi. Selain itu, SR

mengatakan bahwa jika anak memiliki keinginan sesuatu, maka ingin segera

dituruti. SR juga bingung cara mengajari anak untuk berperilaku baik, sehingga

SR sering terbawa emosi. SR menceritakan keluhannya tersebut dengan suara

yang sangat lirih dan hanya menatap fasilitator.

Hambatan yang dialami ST yaitu kesulitan memahami perasaan anak

terutama ketika anak mengutarakan keinginannya. Selain itu, anak juga suka

menangis tanpa alasan. Terkadang anak menunjukkan perilaku menangis, namun

tidak mengeluarkan air mata. ST mengira bahwa anaknya sedang bersandiwara.

Kemudian fasilitator bertanya dirumah apakah anak sering melihat tayangan

televisi. ST menduga bahwa perilaku menangis yang sering ditunjukkan oleh

anak, akibat anak sering menonton sinetron.

Kemudian fasilitator merefleksikan apa yang dialami oleh sebagian peserta

bahwa setiap orangtua memiliki hambatan dalam mengasuh. Fasilitator juga

membantu peserta untuk merefleksikan perasaan selama mengasuh anak

berkebutuhan khusus seperti perasaan tidak sanggung, butuh kesabaran yang


94

ekstra, dan mengurang emosi. Sebagian besar peserta (DY, NR, ST, TK, LS, SR)

mengaku pernah merasakan ketidaksanggupan mengasuh anak berkebutuhan

khusus. NR menyeletuk perasaan tersebut sangat dirasakan terutama ketika

kondisi tubuh sedang lelah kemudian anak sulit untuk diarahkan dan sulit untuk

dipahami kemauannya, sehingga sering terbawa emosi. Fasilitator memahami

perasaan yang dialami oleh peserta bahwa mengasuh anak membutuhkan

kesabaran yang ekstra dan Allah telah mempersiakan kapasitas orangtua untuk

bersabar dalam mengasuh anak.

Kemudian fasilitator menjelaskan tentang kewajiban mengasuh anak dan

keutamaan dalam mengasuh anak. Fasilitator menekankan bahwa mengasuh anak

adalah suatu ibadah, amanah dan alaman jariyah. Kemudian fasilitator

menanyakan sejauh mana peserta mengenal pengasuhan prophetic parenting.

Semua peserta saling berpandangan dan mengatakan belum ada yang memahami

maupun mendengar pengasuhan prophetic parenting. Kemudian peserta juga

belum memahami cara pengasuhan yang selama ini Rasulullah ajarkan.

Kemudian fasiltator menjelaskan tentang prophetic parenting dan menekankan

bahwa setiap anak dilahirkan dengan memiliki fitrah keimanan, sehingga

orangtua berkewajiban untuk mengenalkan Allah. Fasilitator mengatakan bahwa

mengasuh itu memiliki dua kunci utama yaitu ketaqwaan orangtua pada Allah

dan menjaga lisan.

Setelah itu fasilitator menjelaskan tentang sikap pengasuhan yang selama

ini Rasulullah ajarkan, dan menunjukkan ayat Al Quran sebagai penguatan bahwa
95

prophetic parenting memiliki landasan berdasarkan Al Quran dan menguatkan

bahwa Rasulullah adalah suri teladan yang baik.

Sebelum masuk ke sesi bersikap adil, peserta diberikan waktu untuk

istirahat sejenak. Disela-sela jeda istirahat, peneliti memberikan ice breaking

selama 5 menit. Setelah itu, dilanjutkan kembali oleh fasilitator untuk

memberikan materi, lalu peserta diajak kembali oleh fasilitator untuk sharing

pengalaman dimana anak sering berkelahi dan berebut.

Diantara semua peserta NR yang paling keras menyatakan bahwa anaknya

sering berkelahi dan berebut. NR memiliki dua orang anak yang jarak usianya

sangat dekat, sehingga sering berkelahi. SR menceritakan pengalamannya dimana

G (anak yang berkebutuhan khusus) sering bertengkar dengan adiknya hanya

karena G tidak suka melihat adiknya yang sering marah-marah. Namun yang

terjadi adik justru balik memarahi G. RT sering memberikan pengertian kepada

kakak yang tidak mau mengalah pada adiknya yang berkebutuhan khusus. RT

mengatasinya dengan memberikan pengertian pada kakaknya agar mau

mengalah. Ketika menasihati anak pertama RT berusaha untuk menyampaikan

tidak langsung didepan adiknya. RT juga tetap menasihati anak yang

berkebutuhan khusus untuk memperbaiki perilakunya, namun anak tersebut

menolak dan merasa tidak bersalah. RT bercerita sambil tertawa.

Sementara yang dialami oleh NR mengatakan bahwa kedua anaknya

sering bertengkar dan berebut. Hal ini karena kedua anak NR adalah laki-laki dan

memiliki jarak usianya dekat yaitu selisih dua tahun. Hal yang dilakukan NR

selama ini untuk menghadapi kondisi tersebut yaitu dengan cara menasihati
96

kedua anaknya, meski sering terbawa emosi. LS juga mengeluhkan hal yang

sama bahwa kedua anaknya sering bertengkar dan tidak mau saling mengalah.

Kemudian TK mengatakan bahwa semasa anak pertama masih duduk dibangku

SD sering terjadi pertengkaran dengan anak yang berkebutuhan khusus hingga

suami marah besar pada dua anaknya tersebut. TK sering menasihati kakak agar

mau mengalah pada adiknya. Namun ketika TK menasihati terkadang tidak mau

mendengarkan terutama ketika anak sedang emosi, sehingga membuat TK juga

terbawa emosi. DY mengaku kedua anaknya jarang bertengkar karena jarak usia

yang jauh, sehingga anak pertama lebih banyak memahami.

Fasilitator menjelaskan bahwa sebagian orangtua menuntut anak yang

paling tua harus memahami adik-adiknya. Namun yang terjadi anak yang paling

tua tidak dapat memahaminya. Permasalahannya adalah bagaimana cara orangtua

mengkomunikasikan hal tersebut dengan tepat agar anak yang lebih tua bisa

memahami maksud dari nasihat yang orangtua sampaikan.

Kemudian fasilitator juga menanyakan kepada peserta apakah anak

kandung lainnya merasa malu dengan kondisi sodaranya yang berkebutuhan

khusus. TK mengatakan bahwa anak pertama merasa malu dengan kondisi F

(anak berkebutuhan khusus) hanya karena F belum bisa membaca. Bahkan

kakaknya tersebut enggan untuk mengajak F bermain bersama. Fasilitator

memahami kondisi yang dialami ibu TK bahwa hal tersebut wajar dialami oleh

anak. sebab anak paling tua biasanya merasa bahwa adik yang selalu diutamakan.

Fasilitator memberikan masukan bahwa orangtua juga harus meluangkan waktu

dengan anak paling tua agar anak yang tertua itu juga tetap merasakan perhatian
97

dan kasih sayang, sehingga anak tertua juga bisa memahami dan mengayomi

adiknya.

Fasilitator mengajak peserta untuk merefleksikan kembali apakah peserta

sudah bersikap adil pada semua anak. TK mengakui bahwa masih belum dapat

bersikap adil hal ini karena F (anak berkebutuhan khusus) sering merasa iri dan

menganggap TK lebih sering memenuhi keinginan kakak (dikasih uang terus,

dibelikan motor) dibanding F. TK juga mengeluhkan bahwa anak yang

berkebutuhan khusus tersebut yang sedang mulai sering merengek minta

dibelikan handphone. Fasilitator memberikan pengertian kepada TK bahwa untuk

memberikan benda tersebut harus membuat kesepakatan dengan anak.

Sedangkan DY merasa sudah bersikap adil dengan semua anak hal ini

karena anak yang pertama usianya sudah cukup besar. NR juga merasa sudah

berusaha bersikap adil, misal jika anak pertama minta dibelikan jajan, maka anak

kedua juga dibelikan jajan. Sama seperti RT yang merasa sudah bersikap adil

sesuai dengan porsinya. Kemudian SR juga merasa sudah berusaha bersikap adil

pada semua anak misal membelikan sesuatu untuk adiknya, maka kakaknya juga

harus dibelikan. Namun SR mengatakan bahwa terkadang G (anak yang

berkebutuhan khusus) masih merasa iri dengan kakak yang punya sepeda,

sedangkan G minta dibelikan sepeda namun belum diwujudkan oleh SR. Untuk

mengatasi hal tersebut SR menjanjiakan pada G akan membelikan sepeda setelah

lebaran. ST karena usia A (anak berkebutuhan khusus) jaraknya sangat jauh

dengan kakak-kakaknya jadi jarang saling merasa iri.


98

Kemudian fasilitator menanyakan kembali kepada peserta jika anak

berebut mainan apa yang biasanya peserta lakukan. NR menjawab jika

dihadapkan pada kondisi tersebut, maka NR meminta kakak untuk mengalah

pada adiknya yang berkebutuhan khusus. NR juga mengatakan bahwa kakak

sering mengeluh karena NR selalu membela dan mendahulukan adiknya yang

berkebutuhan khusus.

Fasilitator menjelaskan tentang pentingnya bersikap adil berdasarkan

hadist. Fasilitator juga menekankan untuk memberikan sesuatu pada anak harus

sesuai dengan kebutuhan. Kemudian fasilitator menjelaskan dampak jika tidak

bersikap adil pada semua anak dengan mengambil contoh dari cerita nabi Yusuf.

Setelah itu, peneliti dan observer membagikan lembar kerja 2 dan

pengisian lembar kerja 2 dipandu oleh fasilitator. Fasilitator juga menjelaskan

tujuan mengisi lembar kerja 2 tersebut untuk mengidentifikasikan tujuan perilaku

pengasuhan yang ingin diubah oleh masing-masing peserta.

Setelah semua peserta selesai mengerjakan lembar kerja 2, peneliti

mengakhiri pertemuan pertama dengan mengingatkan dan mengkonfirmasi

kembali kehadiran semua peserta untuk hadir dipertemuan selanjutnya. Semua

peserta menyatakan kesediaannya untuk hadir kembali dipertemuan selanjutnya.

Namun ada masukan dari beberapa peserta agar peneliti dapat memulai acara

pelatihan prophetic parenting lebih pagi lagi. Peneliti pun meminta persetujuan

kepada peserta lainnya dan memastikan kembali pada kesediaan waktu masing-

masing peserta. Akhirnya disepakati bahwa pertemuan kedua hingga selanjutnya

akan dimulai pukul 08.30. Peneliti mengakiri sesi dan mengucapkan hamdallah.
99

b. Pertemuan kedua (Jumat, 4 Mei 2018; 08.30-10.45)

Pertemuan kedua dilaksanakan pada hari Jumat, 4 Mei 2018. Pelatihan

dimulai pukul 08.30-10.45. Pada pertemuan kedua ini peserta yang dapat hadir

kembali hanya 6 orang yaitu DY, NR, TK, SR, ST, dan RT. Sedangkan LS tidak

dapat hadir dipertemuan kedua dengan alasan tidak mendapatkan izin dari tempat

kerja. Selain itu, pertemuan kedua masih diisi oleh fasilitator yang sama dan tiga

orang observer yang sama. Pada pertemuan kedua ini, posisi tempat duduk

peneliti ubah dan disusun sedemikian rupa agar antara peserta dapat lebih akrab

dan hangat.

Peneliti membuka pertemuan kedua dengan mengucapkan salam dan

berdoa. Setelah itu, peneliti menanyakan kabar semua peserta. Kemudian peneliti

juga mengevaluasi pertemuan sebelumnya dengan menanyakan perasaan dan

manfaat yang diperoleh peserta. NR langsung merespon dan mengatakan bahwa

NR menjadi lebih sayang, mencoba mengakurkan anak, dan lebih sabar dalam

mengasuh anak. Begitu pula dengan RT dan ST berusaha untuk lebih sabar, lebih

intropeksi diri dalam mengasuh anak. Peneliti mengapresiasi manfaat yang

diperoleh peserta. Sebelum masuk sesi materi, peneliti mengajak peserta untuk

melakukan gerakan senam pinguin. Hal ini bertujuan untuk membangun

semangat dan keakraban antar peserta.

Setelah itu, peneliti mempersilahkan fasilitator untuk menyampaikan

materi. Fasilitator mengucap salam dan menanyakan kabar peserta. Sebelum

masuk materi fasilitator merefleksikan mengenai problem mengasuh anak


100

berkebutuhan khusus yang biasanya dialami oleh sebagian orangtua. Fasilitator

juga menyampaikan bahwa agenda pada pertemuan hari ini akan membahas

bagaimana Rasulullah mengendalikan marah dan menasihati anak diwaktu yang

tepat. Selama ini Rasulullah jika melihat anak melakukan kesalahan yaitu dengan

cara meringankan teguran. Bahwa tidak semua perilaku anak harus disalahkan

dan dimarahi, karena masih banyak perilaku anak yang masih bisa ditoleransi

atau dimaafkan. Seperti yang dijelaskan dalam hadist dan ayat Al Quran.

Fasilitator juga menyisipkan dengan beberapa contoh kasus.

Selanjutnya, fasilitator menjelaskan bahwa Rasulullah juga

menganjurkan untuk tidak mencela anak. Sebab jika orangtua mencela anak,

sama halnya mencela diri sendiri. Fasilitator juga menyelipkan cerita contoh

kasus. Fasilitator menekankan selagi masih ada cara lain hindari meneriaki atau

memukul anak. Kemudian fasilitator juga menjelaskan dampak membantak

maupun memukul anak yaitu harga diri menjadi rendah, percaya diri menurun,

anak menjadi pemberontak, tertekan. Fasilitator merefleksikan apa yang telah

diceritakan oleh peserta dipertemuan sebelumnya. Fasilitator menjelaskan hadist

Rasulullah menganjurkan untuk mengendalikan marah. Kemudian menjelaskan

cara untuk mengontrol marah. Setelah itu, fasilitator menjelaskan cara menasihati

untuk memperbaiki kesalahan anak. Fasilitator juga mencotohkan dengan kasus

bagaimana proses kata-kata yang dikeluarkan dapat masuk dan diterima oleh

anak. Fasilitator juga menekankan untuk mengucapkan tiga kata ajaib yaitu maaf,

tolong, dan terimakasih.


101

Fasilitator mengajak peserta untuk sharing pengalaman tentang waktu

atau kondisi seperti apa saat menasihati anak. TK merasa marah ketika F (anak

berkebutuhan khusus) tidak mau mendengarkan nasihat, misal anak disuruh

belajar, namun anak menolak. Kemudian TK menasihati “kalau mau pintar harus

belajar, kalo gamau belajar nanti kamu tidak akan naik kelas dan tidak bisa

bersama teman-teman”. Kemudian fasilitator memancing TK kembali jika anak

tetap menolak hal yang dilakukan oleh TK yaitu menyerah dan terkadang TK

menjanjiakan sesuatu pada anak jika anak mau menurutinya.

Fasilitator menjelaskan bahwa memberi janji pada anak bisa jadi salah

satu cara agar anak mau mengikuti arahan orangtua. namun fasilitator

menekankan bahwa janji yang telah diucapkan dihadapkan anak harus ditepati.

Hal ini karena anak memiliki memori yang kuat untuk mengingat hal-hal yang

dijanjikan. TK membenarkan pernyataan fasilitator bahwa anaknya sering

menagih hal-hal yang dijanjikan oleh TK.

Kemudian RT mengatakan menasihati anak disaat S (anak berkebutuhan

khusus) nakal, misal main sabun kemudian tempat menjadi licin. RT sering

terbawa emosi terutama ketika kondisi tubuh sudah lelah. Kemudian fasilitator

memahami perasaan RT karena ketika kondisi tubuh sedang lelah tentu

mengharapkan anak dapat memahami ibunya dan tidak membuat ulah. Fasilitator

memberikan masukan pada RT agar meredakan emosi dahulu sebelum

menasihati anak.

Kemudian ST mengatakan perilaku yang mengesalkan dilakukan anak

yaitu misal anak sudah mandi dan bersih, kemudian bermain tanah yang
102

membuat tubuh dan bajunya menjadi kotor. ST mencoba menasihati namun anak

tidak mau mendengarkan, akhirnya ST mengangkat tubuh anak dan langsung

membersihkan kaki dan tangan anak. SR juga menyampaikan kondisi yang

membuat kesal yaitu pada saat G main terlalu lama hingga sore hari, sulit untuk

membangunkan anak untuk berangkat sekolah, dan malas sikat gigi. SR

mengeluh sudah menasihati dengan cara apapun baik membujuknya ataupun

diberi tahu dengan cara yang halus anak tetap tidak paham dan menolak.

Terkadang anak juga menjadi tersinggung dan mengamuk.

Sementara DY menceritakan perilaku anak yang mengesalkan dan sulit

untuk diarahkan yaitu jika E (anak berkebutuhan khusus) sulit untuk mandi.

Untuk mengatasi perilaku anaknya tersebut DY membujuknya dengan

menjanjikan naik bis jika anak mau mandi. Kemudian fasilitator menimplai

apakah DY menepati janji tersebut. DY tertawa dan tidak mewujudkan janjinya,

karena DY mengatakan hal tersebut hanya untuk mengelabuhi anak agar mau

mandi.

NR juga merasa kesal dengan perilaku anak ketika B (anak berkebutuhan

khusus) seusai mainan tidak mau membereskannya kembali, sehingga ruangan

menjadi berantakan. Agar anak mau merapikan mainnya, NR mengancam akan

membakar mainannya jika anak tidak mau merapikannya kembali. namun anak

justru marah sambil membereskan mainannya kemudian mengurung diri di dalam

kamar sebagai bentuk aksi arahnya.

Fasiliator mengatakan bahwa terdapat cara lain untuk membujuk atau

menasihati anak. Fasilitator juga menjelaskan bahwa Rasulullah menyarankan


103

tiga waktu yang tepat dalam memberi nasihat pada anak yaitu dalam perjalanan,

waktu makan, dan waktu sakit. fasilitator menjelaskannya dengan contoh kasus.

Fasilitator juga menekankan pada peserta bahwa menasihati anak juga harus

menlihat kondisi anak, jika anak sedang marah atau asik dengan permainannya,

maka nasihat yang diberikan tidak akan didengar oleh anak.

Kemudian fasilitator juga memberikan cara mengatasi perilaku anak agar

dapat diarahkan yaitu orangtua harus membuat kesepakatan dengan anak,

menanamkan konsekuensi pada anak, dan harus konsisten dengan apa yang sudah

disepakati dengan anak. Namun yang paling penting adalah orangtua juga harus

sabar menghadapi perilaku anak dan meningkatkan kontrol emosi dalam diri.

Sebab memarahi anak bukanlah cara yang efektif untuk menasihati anak ataupun

mengubah perilaku anak.

Fasilitator kemudian menjelaskan tentang memuji anak. Namun sebelum

masuk materi fasilitator memancing peserta untuk sharing pengalaman terakhir

memuji anak. DY memuji anak ketika anak sudah mampu menggunakan

pakaiannya sendiri. NR mengucapkan terimakasih ketika anak mau menuruti

perintahnya (mau merapikan kembali mainannya). SR ketika anak mau gosok

gigi, SR membujuknya anak. Sempat berhasil, namun ketika disuruh untuk gosok

gigi anak kembali menolak. ST ketika anak disuruh mandi, anak mampu

mempersiapkannya sendiri, maka ST mengatakan pada anak “kan adek pinter

sudah bisa mandiri, bisa siapin dan pakai baju sendiri”. RT ketika anak pulang

sekolah kemudian menunjukkan hasil pekerjaannya disekolah seperti latihan

menulis. Kemudian RT mengatakan “pinter sekali kamu dek besok gitu lagi ya”.
104

RT merasa bersyukur kini anaknya sudah mampu menulis walau masih belum

rapih. TK memuji anak ketika diperintah untuk membeli sesuatu dan tidak salah

beli, maka TK akan mengatakan “terimakasih ya nak, kamu pinter”.

Fasilitator mengatakan bahwa pujian mampu menggerakkan perasaan

anak menjadi senang dan anak akan terus melakukan perbuatan terpuji. Orangtua

bisa menjadi detektif kebaikan untuk mempertahankan perilaku baik anak.

Fasilitator juga menekankan agar orangtua selalu melibatkan Allah dan meminta

perlindungan pada Allah. fasilitator juga menjelaskan contoh-contoh memuji

anak terutama terkait perilaku baiknya. Setelah itu, fasilitator juga menjelaskan

hal-hal yang perlu diperhatikan ketika memuji anak agar pujian yang diberikan

tidak berlebihan dan tetap proposional.

Setelah itu, fasilitator mengajak peserta roleplay/simulasi bermain peran

menasihati anak. Pada sesi roleplay, peserta diminta untuk berpasang-pasangan

dan menentukan situasi anak yang membuat emosi. Peserta yang berperan

menjadi orangtua diminta untuk mengingat cara lama yang digunakan ketika

menasihati/menegur anak. sedangkan peserta yang berperan menjadi anak

diminta untuk mengungkapkan perasaannya ketika diperlakukan demikian.

setelah itu, peserta yang berperan menjadi orangtua diminta untuk menentukan

cara yang tepat untuk menasihati anak dan diminta untuk cek perasaan pada

peserta yang berperan menjadi anak. Observer dan peneliti mendampingi dan

membantu peserta untuk melakukan perannya masing-masing.

Peserta terlihat malu-malu dan kaku untuk memerankan perannya.

Peserta juga tertawa ketika berusaha untuk mempraktikan perannya tersebut.


105

kemudian NR mengatakan bahwa sulit untuk memerankan karena biasa

menggunakan bahasa jawa dan merasa aneh jika harus dipraktikan. Akhirnya

fasilitator meminta peserta untuk menuliskan situasi/perilaku anak yang

menyebalkan, respon lama yang selama ini digunakan oleh peserta, dan respon

baru yang akan digunakan ooleh peserta. Ada beberapa peserta yang harus

dibantu oleh observer untuk mengerjakan simulasi tersebut. Kemudian fasilitator

meminta peserta untuk mempersentasikan apa yang telah ditulisnya. Fasilitator

kemudian mengevaluasi dan mengajak peserta untuk mengkoreksi kembali

respon baru yang sudah dilakukan oleh masing-masing peserta untuk menasihati

anak.

Setelah melakukan simulasi pada masing-masing peserta, fasilitator

melanjutkan materi mempengaruhi jiwa anak. fasilitator menjelaskan bahwa

selain mengubah perilaku anak, orangtua juga perlu mempengaruhi jiwa anak.

Selanjutnya fasilitator menjelaskan cara Rasulullah mempengaruhi jiwa anak

agar anak merasa nyaman dan gembira. Fasilitator juga menyelipkan beberapa

contoh. Fasilitator menjelaskan mempengaruhi jiwa anak agar berani dan percaya

diri. Fasilitator menjelaskan merespon minat dan bakat pada anak berkebutuhan

khusus.

Setelah semua materi disampaikan fasilitator menayangkan beberapa

video tentang mengasuh anak. Setelah diputarkan video, fasilitator memberikan

penguatan pada peserta agar lebih sabar dalam mengasuh, bisa menjadi teladan

yang baik, dan orangtua diharapkan dapat menjaga amanah yang Allah berikan

dengan mengasuh anak dengan menanamkan nilai-nilai agama. Selanjutnya,


106

peneliti mengingatkan kembali untuk pertemuan selanjutnya dan mengkonfirmasi

kehadiran masing-masing peserta. Kemudian peneliti menutup pertemua kedua

dengan mengucap hamdalah dan salam.

c. Pertemuan Ketiga (Senin, 7 Mei 2018; 09.15-11.00)

Pertemuan ketiga dilakukan pada hari Senin, 7 Mei 2018 di ruang tari SLB

A. Pada pertemuan ketiga ini terjadi berbagai hambatan. Seharusnya kegiatan

pertemuan ketiga dimulai pukul 08.30. Namun karena terjadi kesalahpahaman

pada taksi online saat menjemput dan mengantar fasilitator pada tujuan yang

salah, sehingga menyebabkan keterlambatan dan kegiatan baru dimulai pukul

09.15 hingga pukul 11.00. Disamping itu, hambatan lain yang terjadi

dipertemuan ketiga ini adalah terjadi kesalahpahaman dengan pihak sekolah yaitu

memberikan izin pada mahasiswa lain untuk melakukan kegiatan yang serupa

dengan jadwal dan undangan orangtua yang sama. Akibatnya menimbulkan

kebingungan bagi peserta. Namun setelah peneliti konfirmasi kembali, akhirnya

hal tersebut dapat teratasi dan peserta pun bersedia untuk mengikuti pertemuan

terakhir pelatihan prophetic parenting.

Peserta yang hadir pada pertemuan ini hanya 6 orang yaitu DY, NR, SR,

ST, RT, dan TK. Peneliti membuka pertemuan ketiga dengan mengucap salam

dan doa. Peneliti mengucapkan terimakasih atas kesediaan peserta untuk

meluangkan waktunya hadir kembali pada pertemuan ketiga. Peneliti juga

menyampaikan penjelasan dan permintaan maaf kepada peserta atas


107

ketidaktepatan waktu memulai kegiatan di pertemuan ketiga. Peserta memaklumi

hal tersebut.

Sembari menunggu kedatangan fasilitator, peneliti mengevaluasi

pertemuan sebelumnya dengan menanyakan perasaan dan hal-hal yang telah

peserta praktekan kembali di rumah. DY mengatakan merasa puas dan senang

setelah mengikuti dua pertemuan pelatihan prophetic parenting. Kemudian NR

menimpali mengaku merasa lebih sayang anak, dapat menasihati anak dengan

cara yang lembut sekaligus memberikan contoh yang baik pada anak. SR

menambah pengetahuan baru dan lebih sabar dalam mengasuh anak. ST

mengatakan merasa sangat terbantu, lebih lembut pada anak, lebih sabar. RT juga

merasakan hal yang sama seperti peserta lainnya yaitu merasa lebih sabar.

Begitu juga dengan TK mengaku senang mendapatkan ilmu baru terutama

tentang mendidik anak dengan sabar. Peneliti mengapresiasi hal-hal yang

dirasakan oleh peserta. Kemudian peneliti juga menanyakan kepada peserta

terkait hal-hal yang telah dipraktekan. NR mengatakan sudah mencoba

mempraktekan seperti menyuruh anak sholat. NR mengatakan bahwa kini jika

anak mendengar adzan langsung siap-siap mengerjakan solat. NR juga

mengarahkan anak untuk solat dengan cara yang lembut. Peneliti mengapresiasi

usaha yang telah dilakukan oleh NR.

Tak lama kemudian fasilitator datang. Peserta diminta untuk mengerjakan

lembar kerja 4, setelah selesai peneliti memperkenalkan fasilitator secara singkat.

Kemudian mempersilahkan fasilitator untuk menyampaikan materi. Peneliti juga


108

menyampaikan bahwa peserta memiliki kesempatan untuk bertanya langsung

kepada fasilitator terkait hambatan selama mengasuh.

Fasilitator pada pertemuan ketiga ini berbeda dengan fasilitator pertemuan

sebelumnya. Fasilitator tersebut adalah seorang dosen sekaligus pakar parenting

yang memiliki pengalaman memberikan seminar-seminar tentang pengasuhan

Islami. Pertemuan ketiga ini fasilitator membahas materi tentang suri teladan dan

mengajarkan anak untuk berbakti serta taat kepada Allah. Fasilitator mengucap

salam dan memperkenalkan diri dihadapan peserta. Saat fasilitator menceritakan

jumlah anak yang dimiliki, peserta sempat tertawa. Fasilitator juga menjelaskan

tujuan fasilitator hadir pada kegiatan pelatihan tersebut. Sebelum masuk materi,

fasilitator memberikan kata pengantar bahwa peserta adalah orang yang

dipercaya oleh Allah untuk mengasuh anak berkebutuhan khusus. Fasilitator

menekankan bahwa peserta adalah orang-orang pilihan Allah yang yakin mampu

membesarkan anak yang peserta inginkan.

Fasilitator menguatkan niat peserta untuk hadir mengikuti pelatihan adalah

untuk mencari ilmu dan berbagi pengalaman. Fasilitator menguatkan bahwa

peserta mengasuh harus dilandaskan niat karena Allah. kemudian fasilitator

melakukan interaksi kepada peserta dengan menanyakan “menurut ibu mengasuh

ibadah atau bukan?”. Beberapa peserta menjawab bahwa mengasuh adalah

ibadah dan akan mendapatkan pahala. Fasilitator kembali menekanakan niat

peserta bahwa mengasuh adalah ibadah dan melakukan segala sesuatu karena

Allah. Fasilitator kembali menekankan dan meyakinkan peserta bahwa


109

pengasuhan kenabian mengajarkan peserta untuk mengasuh anak sebagai bentuk

ibadah. Peserta setuju dengan pernyataan fasilitator.

Fasiliator mengatakan bahwa hal yang selama ini dilakukan adalah hal

yang sangat penting, berharga, perkara didunia maupun akhirat karena peserta

adalah orang-orang pilihan yang dipilih Allah untuk mengasuh anak

berkebutuhan khusus. Sebab Allah percaya bahwa peserta mampu mengasuh

anak. Fasilitator melafalkan ayat quran dan menjelaskan artinya bahwa Allah

tidak akan membebani seseorang diluar kemampuannya. Fasilitator kembali

menekankan bahwa Allah mempercayai peserta untuk membesarkan anak-anak.

Kemudian fasilitator mempersilahkan peneliti untuk memutar video

“children see, children do”. Pandangan peserta tertuju pada layar monitor.

Kemudian fasilitator meminta peserta untuk mengomentari video tersebut. ST

menjawab bahwa video tersebut menceritakan tentang keluarga yang tidak

harmonis kemudian tidak memperdulikan anak-anaknya dan mencontohkan

perilaku yang tidak baik. kemudian fasiliator bertanya pada peserta jika perilaku

anak tidak baik, maka siapa yang mencontohkan. ST menjawab yang

mencontohkan adalah ibunya/orangtuanya yang marah-marah dihadapan

anaknya.

Kemudian fasilitator tanya kembali pada ST adakah perilaku yang tidak

disukai dari anak. ST mengatakan bahwa anak tidak suka marah-marah.

Fasilitator merefleksikan kembali bahwa perilaku marah-marah berasal dari

siapa. Peserta tertawa dan menyadari bahwa perilaku anak muncul akibat melihat

orangtua sering marah-marah. fasilitator meminta peserta untuk menyimpulkan


110

dari video tersebut. ST menjawab bahwa orangtua harus memberikan contoh

yang baik pada anak. fasilitator meminta memberikan contoh orangtua harus

bersikap baik dihadapan anak. NR menjawab orangtua tidak boleh bertengkar

dihadapan anak agar tidak melihat. ST menambahkan jika orangtua mengajak

anak solat, maka orangtua juga harus melakukannya juga.

Selanjutnya fasilitator meminta peserta untuk mengungkapkan harapan

yang ingin dilakukan oleh anak. PN ingin anak nurut dan taat, karena anak susah

untuk diarahkan. Hal ini karena anak belum dapat memahami perintah PN. PN

juga menyadari bahwa kemauannya sering berlawanan dengan kemauan anak,

misal suruh sekolah tidak mau dan sering melawan. Kemudian fasilitator

meminta peserta mencari penyebab anak tidak mau melakukan hal tersebut. PN

mengatakan jika kalau di sekolah mau mengikuti, namun di rumah tidak mau. PN

meminta masukan pada fasilitator, sebab PN sudah menggunakan berbagai cara,

namun anak tetap tidak mau mengikutinya. Fasilitator mengajak peserta untuk

refleksi diri bahwa anak tidak menurut bisa jadi orangtua tidak menurut pada

pasangan. Beberapa peserta setuju dengan fasilitator.

TK ingin anaknya soleh dan pinter. Kemudian fasilitator menggali soleh

yang diharapkan TK. TK ingin anaknya rajin mengaji dan solat. Fasilitator

menggali kembali tentang intensitas solat si anak. TK mengatakan bahwa anak

masih belum mengerjakan solat lima waktu (bolong-bolong). Fasilitator

mengajak TK merefleksikan apakah selama ini menjalankan solat lima waktu.

TK hanya tersenyum, begitupun dengan peserta lainnya.


111

Fasilitator mengajak semua peserta untuk merefleksikan diri agar dapat

menjadikan diri sebagai contoh yang baik untuk anak. fasilitator juga

menambahkan bahwa selama ini orangtua banyak yang mengeluh stres. Stres

tersebut terjadi dapat disebabkan karena orangtua mengharapkan lebih dari anak.

Akibatnya orangtua tidak pernah puas atas usaha yang dilakukan anak tidak

pernah sesuai dengan harapan, sehingga menimbulkan stres. Peserta pun tertawa

dengan penjelasan fasilitator. Fasilitator menyarankan agar peserta menerima dan

menghargai sekecil apapun yang telah dilakukan oleh anak.

Fasilitator mengatakan bahwa orangtua adalah contoh bagi anak-anak.

Fasilitator juga memberikan contoh, menyuruh anak solat, sedangkan ibunya asik

menonton sinetron. NR tertawa dan bergumam. Fasilitator menekankan bahwa

peserta harus bisa menjadi contoh yang baik untuk anak supaya apa yang dilihat

anak pada orangtuanya, maka anak juga akan mengikutinya.

Peneliti menayangkan video anak mudah mencotoh orangtua. Pandangan

peserta dan fasilitator tertuju layar monitor. Ditengah-tengah sesi tersebut peserta

tertawa melihat video yang diputar. Fasilitator mengatakan kembali bahwa

perilaku anak akan mencontoh dari orangtuanya. Fasilitator mengajak peserta

untuk menjadi contoh yang baik untuk anak. Fasilitator juga menjelaskan bahwa

syarat menjadi teladan yang baik untuk anak adalah niat karena Allah. Artinya

ketika peserta sedang marah kepada anak, maka tidak akan berlebihan

menunjukkan sikap kecewa pada anak dan lebih mengendalikan emosi.

Fasilitator menekankan kembali jika peserta mengharapkan anak dapat sesuai


112

dengan harapan, maka peserta juga harus dapat menjadi contoh yang baik untuk

anak.

Fasilitator menjelaskan proses penanaman teladan pada anak dengan

contoh bahwa peserta menghadiri undangan pelatihan prophetic parenting karena

Allah untuk mendapatkan ilmu baru, maka peserta akan merasa semangat

mengikutinya. Fasilitator meminta peneliti untuk menayangkan video.

Setelah video diputar, fasilitator memberikan kesimpulan bahwa

menanamkan akidah dengan cara menghubungkan dengan Allah. Fasilitator

mengatakan bahwa anak dilahirkan dalam keadaan fitrah dan bagaimana orangtua

mengembangkan fitrah anak. Fasilitator mengajak peserta untuk refleksi dengan

membacakan pernyataan di slide dan meminta peserta untuk merespon

pernyataan tersebut. NR mengaku kadang-kadang masih bertengkar dengan

suami dihadapan anak. RT juga mengaku terkadang ketika memarahi anak masih

menggunakan nada tinggi. Kemudian fasilitator mengajak peserta untuk berpikir

bahwa masalah ada solusinya.

Fasilitator menanyakan peserta menikah dengan pasangan karena apa.

Peserta tertawa dan saling memandang satu sama lain. Fasilitator menceritakan

pengalaman ketika konflik dengan istrinya. Fasilitator menekankan kembali

bahwa pengasuhan prophetic parenting mengajarkan peserta untuk melakukan

apapun karena Allah. fasilitator mangatakan bahwa ketika peserta memarahi anak

bisa jadi karena peserta sedang marah dengan pasangan. Fasilitator

menyampaikan bahwa peserta harus membangun hubungan yang harmonis


113

dengan pasangan dan sebisa mungkin menghindari pertengkaran dengan

pasangan dihadapan anak-anak.

Kemudian fasilitator menjelaskan QS Ash Shaff ayat 2-3 dengan

mengingatkan melalui contoh cerita nabi. ST mampu memberikan contoh-contoh

cerita nabi yang berkaitan dengan surah Ash Shaff. Fasilitator menguatkan

peserta bahwa ketika anak belum mampu meraih apa yang seharusnya dilakukan

oleh anak normal lainnya, maka peserta tidak boleh putus asa.

Fasilitator menambahkan bahwa Allah telah menciptakan orang-orang

dengan kondisi tersebut untuk menguatkan peserta menjadi orangtua yang baik

dan tidak boleh putus asa ketika anak belum bisa baik sebagaimana yang

orangtua harapkan. Fasilitator juga menekankan bahwa peserta tidak dapat

membandingkan perkembangan anaknya yang masih SD dengan anaknya yang

sudah SMP, sebab jika orangtua menuntut anak agar sesuai dengan harapan

orangtua, maka orangtua akan stres. Para peserta pun tertawa dan saling

berpandangan dengan peserta lainnya.

Fasilitator menjelaskan contoh memberi teladan yang baik untuk anak.

Fasilitator juga mengingatkan kembali materi pertemuan sebelumnya mengenai

memuji anak. Fasilitator menyampaikan bahwa memuji anak harus proposional.

Agar memuji anak menyelamatkan, maka memuji anak dengan melibatkan Allah,

seperti mengucapkan alhamdulillah agar anak tau bahwa Allah telah

memberinya. Oleh karena itu, apabila memuji dengan melibatkan Allah, maka

hati anak akan terjaga meski tidak mendapat pujian sekalipun. Fasilitator juga

menjelaskan tentang janji pada anak, sebab janji pada anak akan selalu diingat
114

dalam ingatan anak. fasilitator menegaskan bahwa memberi janji harus sesuai

dengan kemampuan orangtua.

Sebelum sesi selanjutnya, fasilitator memberikan kesempatan pada peserta

untuk bertanya. Namun peserta tidak ada yang mengajukan pertanyaan.

Fasilitator menjelaskan pentingnya mengajarkan anak berbakti dan taat pada

Allah.

Kemudian fasilitator menjelaskan mengajarkan orangtua mengenai akidah,

akhlak dan ibadah kepada anak dengan memberi contoh. Fasiliator menjelaskan

mengajarkan ibadah pada anak. Fasilitator bertanya apakah peserta sedang dalam

keadaan berwudu. Peserta hanya tersenyum dan saling memandang. Fasilitator

menekankan bahwa peserta dapat membiasakan dalam keadaan berwudhu sebab

terdapat banyak kebaikan. Kemudian mengajarkan anak sholat, orangtua juga

harus refleksi apakah sudah melakukan solat lima waktu. Selain mengamalkan

solat lima waktu apakah peserta juga melakukan solat sunah lainnya.

mengenalkan puasa pada anak seperti sahur bersama, mengajak anak berpuasa

namun disesuaikan kemampuan si anak, dan berbuka bersama. Fasilitator

menyampaikan selain mengajarkan anak untuk taat kepada Allah, orangtua juga

harus selalu mendekatkan pada Allah.

Fasilitator menjelaskan mengajarkan akhlak pada anak. Fasilitator

menekankan bahwa orangtua harus membiasakan mengucapkan alhamdulillah

pada anak. Agar anak terbiasa mengucap terimakasih karena Allah dan bantuan

yang telah diberikan orang lain. Disamping itu, orangtua juga harus

mengiringinya dengan mendoakan anak. Fasilitator juga mengajak peserta untuk


115

refleksi diri berdoa sebelum berpakaian. Peserta pun tertawa dan mengatakan

lupa tidak berdoa sebelum menggunakan pakaian. Kemudian fasiltator meminta

peserta untuk melafalkan doa berpakaian. Namun peserta tertawa karena tidak

hafal dengan doa tersebut. NR mengatakan bahwa sebelum menggunakan

pakaian lebih sering mengucap bismillah. Fasilitator mengingatkan peserta

kembali dengan melafalkan doa menggunakan pakaian.

Selanjutnya fasilitator menjelaskan hadis yang ditayangkan pada monitor.

Fasilitator menekankan bahwa dalam mengajarkan apapun kepada anak harus

melibatkan Allah dan Rasulullah. Fasilitator menyampaikan bahwa orangtua

harus sabar karena Allah menyukai kesabaran. Fasilitator menjelaskan bahwa

kunci pengasuhan ada empat yaitu menerima usahanya, memaafkan

kesalahannya, tidak membebani anak, dan tidak memarahi anak. Fasilitator

menjelaskan dengan contoh kasus dan peserta terlihat fokus hal ini ditunjukkan

dengan sikap mengangguk-angguk terhadap pernyataan fasiltator. Sebelum

menutup sesi, fasilitator menyimpulkan dan menekankan kembali pada peserta

bahwa peserta harus bisa menjadi contoh yang baik dengan landasan karena

Allah. kemudian fasilitator mengembalikan pada peneliti untuk mengakhiri sesi.

Peneliti mengingatkan kembali untuk pertemuan terakhir dan memastikan

kembali pada masing-masing peserta akan kehadirannya. Peserta menjawab

kesediaan untuk hadir kembali dipertemuan terakhir. Peneliti menutup pertemuan

ketiga dengan mengucap salam, doa dan terimakasih.


116

d. Pertemuan keempat (Selasa, 8 Mei 2018; 08.30-11.00)

Pertemuan keempat merupakan pertemuan terakhir dari kegiatan pelatihan

prophetic parenting. Pertemuan ini dilaksanakan pada hari Selasa, 8 Mei 2018 di

SLB A. Kegaiatan dimulai pukul 08.30 hingga pukul 11.00. Namun sebelum

kegiatan pelatihan dimulai sempat terjadi hambatan yaitu terkait ruangan yang

akan digunakan untuk pelatihan. Awalnya pihak sekolah menyarankan untuk

menggunakan ruang tari, namun karena ruang tari digunakan untuk kegiatan

mahasiswa lain akhirnya pihak sekolah merekomendasikan ruang UKS. Namun

karena kondisi ruang UKS yang tidak memungkinkan, sehingga peneliti meminta

izin untuk meminta ruangan lainnya yaitu ruang kelas baru. Kepala sekolah dan

pihak humas menyetujuinya, namun guru lain sedikit keberatan jika pelatihan

dilakukan ruangan tersebut. Hal ini karena ruangan tersebut akan digunakan untuk

kelas keterampilan. Namun pada akhirnya pihak sekolah memberikan izin untuk

menggunakan ruangan tersebut meski dengan keterbatasan fasilitas. Meski sempat

terjadi perdebatan dan hambatan terkait tempat, namun kegiatan pelatihan tetap

dapat dimulai pukul 08.30. peserta yang hadir dipertemuan empat sebanyak 7

orang yaitu DY, SR, ST, NR, TK, PN, dan RT.

Peneliti membuka pertemuan keempat dengan mengucapkan salam

kemudian dilanjutkan dengan doa. Peneliti mengucapkan terimakasih kepada

peserta karena telah hadir kembali mengikuti kegiatan pelatihan hingga pertemuan

terakhir. Peneliti juga meminta maaf kepada peserta atas keterbatasan fasilitatas.

Peserta pun tersenyum dan memahami kondisi tersebut. Kemudian peneliti

mengevaluasi pertemuan sebelumnya dan meminta masing-masing peserta untuk


117

menyampaikan perasaannya. ST mengatakan alhamdulillah karena mendapatkan

ilmu pengasuhan yang dapat dipraktekan pada anak. ST juga merasakan adanya

kemajuan dari perkembangan anak. peneliti juga meminta ST menyimpulkan

pertemuan sebelumnya. ST mengatakan meskipun anak memiliki keterbatasan,

namun ST tetap mendorong anak untuk mengikuti TPA disekitar rumah.

DY mengatakan kini anak sudah mau belajar solat, meski masih bolong-

bolong. DY juga merasa senang karena anak sudah bisa mandiri. SR merasa dapat

ilmu, bisa lebih sabar dalam mengasuh anak meski masih kesulitan mengontrol

emosi. SR juga berusaha untuk mengajarkan anak berbakti dan taat kepada Allah

dengan cara lebih sabar dan lembut.

RT merasa lebih sabar karena niat mengasuh anak dan membangun akhlak

anak karena Allah. NR lebih tau cara yang tepat menasihati anak. Selain itu, kini

anak juga mulai rajin solat. Jika mendengar adzan, NR mempersiapkan peralatan

solat untuk anak dan NR juga menunggu anak solat didepan mesjid. Meski dua

rokaat anak sudah keluar, namun NR tetap menghargai usaha yang dilakukan

anak. PN anak menunjukkan peningkatan mau mengerjakan solat. Sebelumnya

anak tidak mau menggunakan mukena, namun berkat diajak oleh ayahnya dan

kakaknya akhirnya anak bisa diajak kerjasama. TK mengucap alhamdulillah

karena mendapatkan ilmu dari tim peneliti. Anak juga sudah bisa mandiri, walau

dalam mengerjakan solat belum sepenuhnya lima waktu. Namun TK akan terus

berusaha untuk mendorong anak untuk tetap menjalankan solat.

Setelah itu peneliti mempersilahkan fasilitator untuk menyampaikan

materi. Fasiliatator membuka dengan mengucap salam dan hamdallah karena


118

kegiatan dapat mulai dengan tepat waktu. Peserta tertawa ketika fasilitator

menceritakan kejadian pertemuan sebelumnya. Fasiliatator juga mengapresiasi

pernyataan evaluasi peserta. NR dan ST tersenyum. fasilitator juga mengatakan

bahwa peserta harus menerima usaha anak tanpa harus menuntut agar anak sesuai

harapan. seperti yang dialami oleh anak NR meski anak solat hanya dua rakaat

kemudian pulang, maka orangtua harus menghargai dan bersyukur karena anak

mau melakukan kebaikan meski tidak sesuai harapan orangtua. Hal ini

dimaksudkan agar orangtua juga tidak stres dengan tuntutan yang diberikan pada

anak. Fasilitator meyakinkan pada peserta bahwa peserta adalah orangtua pilihan

yang Allah percayakan untuk mengasuh anak berkebutuhan khusus.

Fasilitator menanyakan pada masing-masing peserta tentang arti penting

seorang anak. peserta tertawa. ST menjawab dengan mata berkaca-kaca sambil

mengatakan bahwa anak itu sangat penting, anak dapat menghibur, bersyukur

kepada Allah meski berkebutuhan khusus namun anak bisa memberikan

kenyamanan hati. Fasilitator menanyakan pada peserta, adakah tetangga atau

teman yang masih menunggu momongan. Peserta saling bersautan menjawab

pertanyaan fasilitator. Fasilitator memberikan penguatan pada ST meski anak

terlahir dalam kondisi berkebutuhan khusus, namun ST dipercayai oleh Allah

untuk memiliki anak. sementara masih ada orang lain yang mengharapkan

memiliki seorang anak.

Selanjutnya, DY mengatakan merasa senang memiliki anak, karena jika

pulang ke rumah anak dapat menghiburnya. Jika anak tidak dirumah, DY akan

khawatir. ST menambahkan bahwa ST merasa khawatir dengan masa depan anak.


119

ST juga mengharap agar anak tetap tumbuh menjadi anak yang soleh serta

berharap banyak pada kakak-kakaknya untuk dapat membantu membesarkan

adiknya yang berkebutuhan khusus. ST mengungkapkan hal tersebut dengan mata

berkaca-kaca dan suara yang bergetar. SR merasa senang dikaruniai anak dan

berharap dapat menjadi penerus masa depan. Fasilitator juga menguatan SR meski

anak mengalami berkebutuhan khusus namun belum tentu cucu SR akan

mengalami kondisi yang sama. Fasilitator juga menguatkan pada peserta bahwa

jangan mengkhawatirkan sesuatu yang belum tentu terjadi.

Kemudian RT mengungkapkan bahwa anak adalah anugerah dari Allah

dan buah hati yang sangat berharga. NR senang dikaruniai anak dan dipercayai

oleh Allah meski terlahir dalam kondisi berkebutuhan khusus. NR juga merasa

bahwa anak yang berkebutuhan khusus dapat menghiburnya. PN lebih giat

mengajari anak yang kekurangan, lebih semangat untuk mendidik anak dalam hal

agama meski mengalami keterlambatan. TK merasa senang dan ikhlas walau

berkebutuhan khusus, karena anak adalah amanah dari Alllah sehingga TK harus

menjaga dan mengasuhanya dengan benar.

Fasilitator merefleksikan perasaan peserta bahwa saat pertama memiliki

anak yang berkebutuhan khusus tentu muncul perasaan kecewa. NR menimpali

dengan mengungkapkan perasaannya bahwa saat NR mengetahui anak terlahir

tidak normal sempat sedih, drop, nangis dan mengadu pada Allah atas takdir yang

diberikan pada dirinya “kenapa saya diberikan anak yang seperti ini”. NR

mengungkapkan hal tersebut dengan nada suara bergetar dan berkaca-kaca.

Fasilitator menggali kembali perasaan NR terkait pada saat kapan NR dapat


120

bangkit dari kondisi tersebut. Namun ST menimpali pertanyaan fasilitator pada

NR. ST mengatakan mulai bangkit dari kesedihan sejak anak bisa melakukan

kemandirian. Anak juga dapat membantu pekerjaan kakak-kakaknya. Fasilitator

juga menanyakan pada peserta lain.

Fasilitator menguatkan peserta bahwa Allah memiliki cerita atau rencana

lain dibalik kesulitan yang dialami oleh masing-masing peserta. Kemudian

fasilitator membacakan dan menjelaskan makna hadis yang ditayangkan pada

monitor. Fasilitator menekankan bahwa sekecil apapun yang peserta lakukan,

mendampingi anak, bersabar dalam memberikan perhatian dan pengasuhan,

hingga jatuh bangun, harus dilakukan dengan ikhlas. Fasilitator menambahkan

kesuskesan apapun yang diraih seseorang adalah bersifat sementara. Fasilitator

mengatakan bahwa anak adalah amanah dan mendorong peserta untuk melakukan

yang terbaik untuk anak. fasilitator menambahkan bahwa pertemuan yang diikuti

peserta merupakan sebuah usaha untuk memberikan yang terbaik untuk anak.

Fasilitator mengatakan bahwa segala sesuatu harus karena Allah. fasilitator

mendorong peserta untuk terus berusaha dalam mendidik anak dengan ikhlas agar

anak dapat tumbuh sebagaimana yang diharapkan.

Fasilitator juga merefleksikan pernyataan peserta sebelumnya bahwa anak

dapat menghibur sebab anak adalah perhiasan dunia. Anak dapat membahagiakan

orangtua, jika anak tidak ada ditengah-tengah kehidupan peserta maka akan

merasa kehilangan. Fasilitator menekankan kembali tentang keikhlasan mengasuh

anak. Fasilitator juga menjelaskan dengan contoh kasus hal-hal yang

menimbulkan kekecewaan. Meskipun perilaku anak mengecewakan, tetapi jika


121

peserta berusaha mengasuh anak dengan iklhas, maka peserta akan tetap

mendapatkan pahala.

Fasilitator juga berbagi cerita tentang anak berkebutuhan khusus berusia

14 tahun yang mampu kuliah di ITB. Saat fasilitator menceritakan hal tersebut,

NR meresponnya dengan antusias karena mengetahui cerita tersebut. Fasilitator

menceritakan hal tersebut bertujuan untuk menguatkan para peserta yang merasa

khawatir akan masa depan anaknya. Fasilitator menguatkan bahwa anak memiliki

kesempatan untuk meraih masa depan yang baik, sehingga diharapkan untuk tidak

pernah menyerah mewujudkan masa depan anak.

Selanjutnya fasilitator menjelaskan ayat quran tentang jangan membenci

anak meski terlahir tidak sempurna. Fasilitator mengatakan bahwa hal apapun

yang terjadi adalah kehendak Allah. jika Allah berkendak, maka hal tersebut baik

untuk manusia. Fasilitator juga menekankan bahwa Allah menghendaki peserta

mendapatkan pahala yang banyak. Fasilitator juga menghimbau peserta untuk

tidak tertipu oleh kesenangan dunia. Artinya ketika peserta merasa bahwa anak

berbeda dengan anak normal lainnta, maka peserta harus merubah keyakinan

bahwa Allah itu baik dan menghendaki kemudahan, agar terhindar dari perasaan-

perasaan tidak bersyukur.

Fasilitator mendorong peserta untuk menerima takdir Allah, sebab Allah

ingin memberikan yang terbaik. Jika peserta memiliki anak yang tidak sesuai

dengan harapan, maka mulai dari sekarang peserta harus belajar mencintai atas

apa yang diberi Allah. Fasilitator mengungatkan kembali dengan ayat quran An

nisa‟ ayat 19. Fasilitator juga menekankan untuk belajar ikhlas dan bersabar.
122

Fasilitator menjelaskan janji Allah bahwa balasan mengasuh anak adalah

mendapatkan surga firdaus. Fasilitator pun menawarkan hal tersebut. peserta

menjawab ingin masuk surga firdaus. Fasilitator menegaskan bahwa untuk

mendapatkan surga firdaus dengan mengasuh anak, tidak akan ditanya tentang

kondisi anak yang normal atau tidak. Namun syaratnya adalah sabar dan ikhlas.

Fasilitator mengajak peserta untuk refleksi diri bahwa menjadi orangtua baik anak

normal maupun tidak normal adalah sama dan kuncinya adalah ikhlas dan taqwa.

Sebelum masuk sesi selanjutnya, fasilitator memberikan kesempatan pada peserta

untuk bertanya. Fasilitator juga menguatkan peserta untuk banyak bersyukur.

Sesi selanjutnya yaitu mengasuh dengan qalbu. Failitator menjelaskan

tentang pentingnya mengasuh dengan qalbu. Fasilitator juga menjelaskan dengan

landasan sebagaimana Rasulullah ajarkan. Kemudian peneliti memutarkan sebuah

video tentang orangtua yang mengasuh dengan qalbu. Saat video diputarkan, SR

sempat meneteskan air mata. Sedangkan peserta lainnya berkaca-kaca.

Setelah video selesai diputar, fasilitator mengatakan terharu dan ingin

menangis melihat video tersebut. Kemudian ST langsung mengungkapkan

perasaannya sambil mata berkaca-kaca. ST mengatakan menjadi teringat dengan

masa lalu dimana suami meninggal saat AL (anak berkebutuhan khusus) berusia

tiga tahun. Sejak anak lahir suami banyak membantu ST dalam mengasuh dan

merawat anak. ST merasa bahwa suami memiliki rasa kasih sayang yang besar

terhadap AL (anak berkebutuhan khusus). ST merasa bersyukur memiliki suami

yang baik, sangat perhatian dan penyayang. ST mengaku ingin menangis ketika

menceritakan kebaikan suami. Akhirnya pun ST menangis dan menyandar pada


123

pundak DY. DY dan SR pun ikut meneteskan air mata. Fasilitator menguatkan ST

bahwa kebaikan suami akan dibalas oleh Allah dan akan menghapus

keburukannya. ST menyetujui pernyataan fasiltator. ST merasakan kebaikan-

kebaikan yang selama ini suami tunjukkan. Suami dapat menjadi teladan yang

baik sehingga anak dapat mencontoh perilaku baiknya yang dermawan. ST

merasa bersyukur anak-anak terutama AL (anak berkebutuhan khusus) memiliki

hati yang dermawan seperti ayahnya. ST menceritakan dengan suara bergetar

sambil menangis. Fasilitator kembali menguatkan ST, ketika ST mengucapkan

alhamdulillah, maka ST telah menyempurnakan kebaikan.

Ketika fasilitator mempersilahkan peserta untuk menceritakan

perasaannya, DY menangis dan tidak dapat berkata apapun. Fasilitator pun

mencoba menggalinya, namun tangisan DY semakin menjadi-jadi. ST dan SR

menepuk pundak DY. Akhirnya TK mengungkapkan merasa terharu, meski

anaknya terlahir dengan normal, namun secara belajar mengalami keterlambatan

dan sulit mengingat pelajaran. TK baru menyadari anaknya mengalami

keterlamabatan belajar ketika masuk SD dimana anak sering tinggal kelas.

kemudian NR menceritakan bahwa ia merasa terharu karena melihat video

tersebut terlihat orangtuanya sabar merawat kondisi anak yang lebih parah dari

NR. NR merasa bahwa dirinya belum dapat sekuat dan sabar seperti dalam

tayangan video. Padahal anak NR mampu berjalan dan berbicara, namun NR

masih sering merasa sedih dan putus asa dengan perkembangan anak. NR

menceritakan dengan mata berkaca-kaca. Fasilitator menguatkan pada peserta

untuk terus bersyukur.


124

Fasilitator menguatkan peserta dengan mengatakan bahwa Allah tidak

pernah menginginkan kesulitan untuk hambanya, namun yang dikehendaki oleh

Allah adalah keselamatan dan kemudahan. DY terlihat menunduk sambil

mendengarkan penjelasan fasilitator. Fasilitator juga mengulang kalimat bahwa

peserta adalah orang-orang pilihan Allah.

Fasilitator menjelaskan point mengasuh dengan qalbu yaitu memfokuskan

dengan niat karena Allah. fasilitator menjelaskan dengan contoh kasus. Kemudian

fasilitator menjelaskan point lainnya. setelah itu, peneliti memutarkan kembali

dua video anak berkebutuhan khusus yang menginspirasi. Peserta melihat video

dengan fokus. Fasilitator kemudian menyimpulkan bahwa kesuksesan untuk anak

tidaklah duniawi saja tapi peserta dapat mengarahkan anak untuk sukses akhirat

seperti menjadi hafiz quran. fasilitator juga menceritakan contoh kasus yang

sukses secara akhirat. Fasilitator mendorong peserta untuk menerima yang terbaik

dari Allah.

Sesi selanjutnya adalah mendoakan anak. fasilitator mereview materi-

materi yang telah disampaikan. Kemudian fasilitator menjelaskan tentang

pentingnya mendoakan anak. Fasilitator menjelaskan makna hadist tentang

kekuatan doa. Kemudian fasilitator menjelaskan makna doa-daoa untuk anak serta

melafalkan doa tersebut. Peserta pun ikut melafalkan. Setelah itu, fasilitator

menjelaskan keutamaan istigfar dan kekuatan sayyidul istigfar. Setelah

menyampaikan semua materi, fasilitator mengajak peserta untuk berdoa bersama.

Fasilitator memimpin peserta untuk mendoakan kebaikan anak. peserta pun

menundukkan kepala sambil menengadahkan kedua tangannya. NR dan SR


125

selama berdoa terlihat memejamkan mata. Setelah doa selesai, fasilitator

memberikan penguatan. Kemudian diakhir sesi ST mengatakan bahwa

terimakasih karena penyampaian fasilitator dapat menyentuh hati. Fasilitator

menutup dengan salam dan menyerahkan sesi selanjutnya pada peneliti.

Kemudian peneliti bertanya perasaan yang dirasakan oleh peserta setelah

memperoleh materi dipertemuan terakhir. SR mengatakan merasa hati lebih

tentram. ST memiliki anak berkebutuhan khusus bukan jadi beban. Sebelumnya

ST merasa lebih berat ketika harus menghadapi anak berkebutuhan khusus,

namun setelah ikut pelatihan menjadi lebih menerima. Peneliti memberikan

kesempatan pada DY untuk menyampaikan perasaan. DY menangis dan tak

berkata apapun, kemudian ST memeluk DY. ST menambahkan bahwa ST merasa

mendapatkan ilmu baru dan mendoakan tim peneliti.

Peneliti meminta peserta untuk mengisi lembar evaluasi dan posttest.

Setelah selesai mengisi lembar tersebut, peneliti menjelaskan tugas rumah yang

harus dilakukan peserta. Tujuan dari tugas rumah tersebut adalah untuk

merefleksikan perubahan sikap dalam mengasuh anak berkebutuhan khusus.

Ketika peneliti menjelaskan terkait tugas rumah, awalnya peserta tampak

kebingungan untuk mengisi lembar tugas rumah. namun setelah dijelaskan

kembali, akhirnya peserta mampu memahami instruksi yang diberikan peneliti.

Setelah itu, peneliti mengakhiri sesi dengan mengucapkan terimakasih

kepada peserta yang telah bersedia ikut berpartisipasi pada pelatihan prophetic

parenting. Peneliti juga mengapresiasi atas hal-hal yang dilakukan oleh peserta.

Peneliti mengakhiri pertemuan dengan mengucap salam dan hamdallah.


126

8. Pelaksanaan Pascates 1 Setelah Pelatihan

Pelaksanaan setelah pelatihan yaitu melakukan pengukuran pasca tes 1

pada kelompok eksperimen setelah perlakuan pelatihan prophetic parenting

berakhir. Pasca tes 1 dilakukan pada pertemuan empat diakhir sesi yaitu hari

Selasa, 8 Mei 2018 di SLB Negeri 1 Sleman. Seluruh peserta diberikan lembar

pasca tes 1 berupa skala resiliensi dan lembar evaluasi pelatihan. Sementara

kelompok kontrol, pengukuran pascates 1 dilakukan pada tanggal 9 Mei 2018.

9. Pelaksanaan Tindak lanjut (pascates 2)

Peneliti melakukan proses tindak lanjut (pascates 2) secara individual

dengan mengunjungi rumah subjek. Tindak lanjut (pasca tes 2) dilakukan sekitar

dua minggu setelah pelaksanaan pelatihan prophetic parenting yaitu tanggal 21-

22 Mei 2018. Pada proses tindak lanjut ini, selain melakukan pengukuran pasca

tes kedua, peneliti juga melakukan evaluasi tugas rumah dan menggali

pengalaman yang dirasakan subjek selama kurang lebih dua minggu mengikuti

pelatihan. Sementara pada kelompok kontrol, proses tindak lanjut dilakukan

secara individual dengan mengunjungi rumah masing-masing subjek. Pengukuran

pasca tes 2 dilakukan pada tanggal 23 dan 25 Mei 2018.

10. Pelaksanaan terhadap Kelompok Kontrol (waiting list)

Pada kelompok kontrol, peneliti tidak memberikan pelatihan prophetic

parenting secara lengkap seperti yang diberikan pada kelompok eksperimen.

Peneliti hanya memberikan psikoedukasi dan ringkasan materi tentang prophetic

parenting. Hal ini dikarenakan bertepatan dengan ujian sekolah tingkat SD,
127

sehingga siswa lainnya diliburkan dan orangtua tidak memungkinkan untuk

hadir. Oleh karena itu, peneliti melakukan psikoedukasi dengan mengunjungi

rumah masing-masing subjek.

C. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah ibu-ibu yang memiliki anak

berkebutuhan khusus tunagrahita. Awalnya subjek dilibatkan dalam penelitian ini

berjumlah 19 orang yang dibagi menjadi dua kelompok, yakni 9 subjek kelompok

eksperimen dan 10 subjek kelompok kontrol. Namun terdapat tiga subjek

kelompok eksperimen yang dinyatakan gugur karena tidak menghadiri seluruh

pertemuan pelatihan prophetic parenting. SB tidak hadir dalam pelatihan

prophetic parenting sejak pertemuan awal hingga akhir, yang awalnya karena

harus mengambil pengumuman anak, namun saat dikonfirmasi kembali untuk

hadir dipertemuan selanjutnya tidak memberikan jawaban. Sedangkan LS hanya

mengikuti pertemuan pertama dan tidak dapat melanjutkan mengikuti pelatihan

dikarenakan tidak mendapatkan izin dari tempat LS bekerja. Sementara PN hadir

mengikuti pelatihan prophetic parenting hanya pada dua pertemuan terakhir. Hal

ini menyebabkan jumlah subjek kelompok eksperimen berkurang menjadi 6

subjek.

Pada kelompok kontrol, awalnya peneliti menentukan 10 orang, namun

subjek yang terlibat dalam penelitian hanya berjumlah lima orang, sedangkan
128

lima orang lainnya dianggap gugur. Hal ini disebabkan karena lima orang lainnya

hanya mengembalikan angket pada pengkuran pertama saja (prates).

Subjek pada penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak berkebutuhan

khusus (tunagrahita dan down syndrom) yang memiliki skor resiliensi berada

pada kategori sangat rendah hingga sedang. Berikut adalah deskripsi subjek

penelitian

Tabel 12. Deskripsi Subjek Penelitian Kelompok Eksperimen

Jumlah Skor Kasar Kategori


Inisial Usia pendidikan
anak resiliensi Resiliensi
DY 49 2 SMP 102 Sedang
ST 53 4 PGA 56 Sangat rendah
NR 42 2 SMA 99 Sedang
TK 42 2 SMA 90 Sangat rendah
RT 38 2 SMA 90 Sangat rendah
SR 46 4 SMA 94 Rendah
SB** 46 2 SMA 92 Rendah
LS* 40 2 SMA 92 Rendah
PN* 49 2 SMA 92 Rendah
Keterangan
*: subjek yang hanya mengikuti beberapa pertemuan pelatihan prophetic
parenting
**: subjek yang tidak mengikuti seluruh pertemuan pelatihan prophetic
parenting

Tabel 13. Deskripsi Subjek Penelitian Kelompok Kontrol


Jumlah Skor Kasar Kategori
Inisial Usia Pendidikan
anak resiliensi Resiliensi
MU* 46 3 SMP 76 Sangat rendah
SD* 44 2 SMA 83 Sangat rendah
SW* 40 2 SMK 93 Rendah
PR* 48 2 SMP 103 Sedang
HR 32 2 SMA 93 Rendah
SG 49 3 SMA 91 Rendah
SP 48 3 SMEA 86 Sangat rendah
MW* 50 2 S1 85 Sangat rendah
DW 45 2 SMA 104 Sedang
SM 49 2 SMK 98 Sedang
Keterangan *: hanya terlibat pada pengukuran pertama (prates)
129

2. Analisis Kuantitatif

a. Deskripsi Data Penelitian

Subjek yang terlibat dalam penelitian ini secara kesuluruhan berjumlah 11

orang yakni enam subjek kelompok eksperimen dan lima subjek kelompok

kontrol. Pada penelitian ini dilakukan pengukuran skala resiliensi sebanyak tiga

kali yaitu sebelum pelatihan dilakukan (prates), segera setelah pelatihan

prophetic parenting selesai diberikan (pascates 1), dan dua minggu setelah

pelatihan prophetic parenting diberikan (tindak lanjut atau pascates 2). Saat

melakukan tindak lanjut, kelompok kontrol mendapatkan psikoedukasi tentang

prophetic parenting. Berikut deskripsi data penelitian dilihat melalui tabel:

Tabel 14. Deskripsi Data Penelitian Skor Resiliensi


Pengukuran
Gained Gained Gained
Score 1 Score 2 Score 3
Kelompok Nama Pascates Pascates
Prates (pra- (pasca1 (Pra-
1 2
pasca1) -pasca pasca2)
2)
DY 102 123 108 -21 15 -6
ST 56 67 89 -11 -22 -33
NR 99 94 106 5 -12 -7
Eksperimen
TK 90 109 109 -19 0 -19
RT 90 95 86 -5 9 -4
SR 94 91 109 3 -18 -15
HR 93 92 90 1 2 3
SG 91 94 89 -3 5 -2
Kontrol SP 86 97 106 -11 -9 -20
DW 104 111 104 -7 7 0
SM 98 86 94 12 -8 4
130

Skor pascates 1 pada subjek kelompok eksperimen menunjukkan bahwa

empat orang yakni DY, ST, RT, dan TK mengalami peningkatan skor resiliensi,

sedangkan dua orang lainnya mengalami penurunan skor resiliensi yakni NR dan

SR. Kemudian saat pascates 2 ( tindak lanjut) terdapat dua orang yang mengalami

penurunan skor resiliensi adalah DY dan RT, satu orang yakni TK tidak

mengalami perubahan dan tiga orang lainnya yaitu ST, SR, dan NR mengalami

peningkatan skor resiliensi setelah dua minggu mengikuti pelatihan.

Sementara pada kelompok kontrol, diketahui dua orang subjek mengalami

penurunan skor resiliensi yakni HR dan SM, sedangkan tiga subjek lainnya yakni

SG, SP, dan DW mengalami peningkatan skor resiliensi. Kemudian pada saat

tindak lanjut, dua orang mengalami peningkatan resiliensi yakni SP dan SM,

sedangkan tiga subjek lainnya yaitu HR, SG, dan DW mengalami penurunan skor

resiliensi.

Tabel 15. Deskripsi Data Statistik Resiliensi Kelompok Eksperimen dan


Kelompok Kontrol
Kelompok
Pengukuran Eksperimen Kontrol
Min Max Rerata SD Min Max Rerata SD
Prates 56 102 79 7,67 86 104 95 3
Pascates 1 67 123 95 9,33 86 111 98,5 4,17
Tindak Lanjut 86 109 97,5 3,83 89 106 97,5 2,83
131

Grafik 1. Perbandingan Skor Rerata Resiliensi

120

100

80
Skor Resiliensi

60
Eksperimen
40 Kontrol

20

0
Prates Pascates Tindak Lanjut
Pengukuran

Jika dilihat berdasarkan grafik, pengukuran prates pada kelompok

eksperimen memiliki nilai rerata 79, sedangkan kelompok kontrol memiliki nilai

rerata sebesar 95. Hal ini menunjukkan bahwa saat pengukuran prates skor

resiliensi pada kelompok kontrol jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok

eksperimen. Kemudian saat pengukuran pascates 1, pada kelompok eksperimen

memiliki nilai rerata sebesar 95, sedangkan nilai rerata pada kelompok kontrol

sebesar 98,5. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan skor resiliensi pada

kelompok eksperimen setelah diberikan pelatihan prophetic parenting. Namun

kenaikan skor resiliensi yang dialami oleh kelompok eksperimen, ternyata juga

terjadi pada kelompok kontrol yang mengalami peningkatan skor resiliensi

pascates 1 yang lebih tinggi dibandingkan kelompok eksperimen.

Lebih lanjut saat pengukuran pascates 2, pada kelompok eksperimen

memiliki rerata skor resiliensi sebesar 97,5, sama halnya dengan kelompok
132

kontrol yang memiliki nilai rerata sebesar 97,5. Hal ini menunjukkan bahwa 2

minggu pasca diberikan perlakuan pelatihan prophetic parenting terjadi

peningkatan skor rerata resiliensi pada kelompok eksperimen. Hal tersebut terjadi

pula pada kelompok kontrol yang mengalami peningkatan saat pengukuran

pascates 2.

b. Uji Normalitas

Sebelum melakukan uji hipotesis, peneliti melakukan uji asumsi telebih

dahulu guna memastikan apakah sebaran data normal dan homogen. Uji

normalitas dilakukan guna mengetahui normal atau tidaknya sebaran data pada

variabel yang dianalisis menggunakan Saphiro-Wilk Test. Peneliti melakukan

analisis Saphiro-Wilk Tes, karena jumlah subjek dalam penelitian hanya 11

orang. Data dikatakan terdistribusi dengan normal jika p>0,05, namun jika berada

pada p<0,05, maka sebaran data dikatakan tidak normal.

Tabel 16. Uji Normalitas Saphiro-Wilk


Variabel penelitian Kelompok penelitian Sig. Keterangan
Eksperimen 0,019 Tidak normal
Resiliensi (pretes)
Kontrol 0,960 Normal

Berdasarkan hasil uji normalitas, menunjukkan bahwa sebaran data pada

skala pretes kelompok eksperimen memiliki nilai p = 0,019 (p<0,05) sedangkan

sebaran data pada kelompok kontrol memiliki nilai 0,960 (p>0,05). Artinya

bahwa sebaran data pada kelompok eksperimen dikatakan tidak normal,

sedangkan sebaran data pada kelompok kontrol terdistribusi normal.


133

c. Uji Homogenitas

Peneliti melakukan uji homogentias guna mengetahui varian data resiliensi

pada kedua kelompok penelitian termasuk homogen atau tidak. Varian data

dikatakan homogen apabila memiliki nilai signifikansi p>0,05, tetapi jika nilai

signifikansi berada pada p<0,05, maka data dikatakan tidak homogen.

Tabel 17. Uji Homogenitas Resiliensi

Levene’s Test of Equality of Error Variances


Variabel penelitian
F Sig.
Resiliensi 1,015 0,340

Berdasarkan hasil uji homogenitas pada skala resiliensi menunjukkan

bahwa kedua data kelompok penelitian bersifat homogen dengan perolehan nilai F

sebesar 0,340 dan signifikansi sebesar 0,340 (p>0,05).

d. Uji Hipotesis

Uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis statistik Anava

Mixed Design. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui perpaduan antara dua sub

analisis, yakni within subject test dan between subject test (Pallant, 2010). Within

subjetc test ini untuk mengetahui perbedaan skor prates dan pascates dalam satu

kelompok. Sementara between subject test untuk mengetahui skor antar

kelompok yakni eksperimen dan kontrol (Pallant, 2010). Hipotesis dalam

penelitian ini adalah adanya perubahan skor resiliensi pada kelompok yang

diberikan perlakuan pelatihan prophetic parenting dibandingkan kelompok yang

tidak mendapatkan perlakuan pelatihan prophetic parenting.


134

Syarat asumsi sphericity dilakukan dengan melihat table mauchly’s test of

sphericity. Jika p<0,05, artinya signifikan, maka untuk melihatnya dapat

menggunakan nilai koreksi Greenhouse-Geisser. Sebaliknya, jika p>0,05, artinya

tidak signifikan, maka nilai yang dilihat adalah nilai sphericity assumed

(Widhiarso, 2011). Berikut adalah hasil pemaparan analisis penelitian:

Tabel 18. Uji Asumsi Sphericity


Mauchly’s Test of
Variabel Sphericity Keterangan
Sig.
Resiliensi Sebelum 0,720 Tidak Signifikan
dikontrol
Resiliensi Setelah 0,461 Tidak Signifikan
dikontrol

Berdasarkan tabel diatas, uji sphericity sebelum dilakukan kontrol variabel

diperoleh nilai p=0,720 (p>0,05), sedangkan nilai signifikansi setelah dilakukan

kontrol variabel diperoleh nilai p=0,461 (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa

keduanya tidak signifikan, maka langkah selanjutnya adalah melihat nilai koreksi

sphericty assumed.

Tabel 19. Interaksi antara Time (pra-pascates1-pascates2) dan Group


(Eksperimen dan Kontrol)
Test’s of Within-Subject
Variabel Effect Keterangan
F Sig. η²
Nilai Sphericity Assumed Tidak
1,394 0,274 0,134
(Sebelum dikontrol) signifikan
Nilai Sphericity Assumed Tidak
1,048 0,377 0,130
(Setelah dikontrol variabel) signifikan

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa sebelum mengontrol variabel,

interaksi antar waktu pengukuran prates menuju pascates 1 dan pascates 2 pada

dua kelompok (eksperimen dan kontrol) tidak menunjukkan perbedaan yang


135

signifikan. Namun setelah dikontrol variabel dukungan keluarga dan dukungan

sosial, ternyata juga tetap tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara

kelompok yang mendapatkan perlakuan pelatihan prophetic parenting dengan

kelompok yang tidak mendapatkan perlakukan pelatihan prophetic parenting.

Artinya bahwa tidak ada perbedaan skor resiliensi yang signifikan antara

kelompok eksperimen yang mendapatkan perlakukan pelatihan prophetic

parenting dibandingkan kelompok kontrol yang tidak mendapatkan perlakuan

pelatihan prophetic parenting.

Tabel 20. Uji Beda Skor Resiliensi antara Prates, Pascates, dan Tindak
Lanjut pada kelompok eksperimen
Variabel I (time) J (time) MD (I-J) Sig. Keterangan
Pascates -8,667 0,267 Tidak signifikan
Prates
Resiliensi Tindak lanjut -13,333 0,143 Tidak signifikan
Pascates Tindak lanjut -4,667 1,000 Tidak signifikan

Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa resiliensi pada kelompok

eksperimen saat pengukuran prates menuju pascates memiliki nilai mean

difference sebesar -8,667 dengan nilai p=0,267 (p>0,05). Kemudian saat

dilakukan pengukuran dari pascates menunju tindak lanjut, kelompok eksperimen

mengalami penurunan skor resiliensi yang ditunjukkan dengan nilai mean

difference sebesar -4,667 dengan nilai p=1,000 (p>0,05). Hal ini dapat

disimpulkan bahwa tidak terjadi perubahan yang signifikan pada kelompok

eksperimen setelah diberikan pelatihan prophetic parenting.


136

Tabel 21. Uji Beda Skor Resiliensi antara Prates, Pascates, dan Tindak
Lanjut pada kelompok Kontrol
Variabel I (time) J (time) MD (I-J) Sig. Keterangan
Pascates -1,600 1,000 Tidak signifikan
Prates
Resiliensi Tindak lanjut -2,200 1,000 Tidak signifikan
Pascates Tindak lanjut -0,600 1,000 Tidak signifikan

Berdasarkan tabel diatas, menunjukkan bahwa resiliensi pada kelompok

kontrol saat pengukuran prates menuju pascates memiliki nilai mean difference

sebesar -1,600 dengan nilai p=1,000 (p>0,05). Kemudian saat dilakukan

pengukuran dari pascates menunju tindak lanjut, kelompok eksperimen

mengalami penurunan skor resiliensi yang ditunjukkan dengan nilai mean

difference sebesar -0,600 dengan nilai p=1,000 (p>0,05). Hal ini dapat

disimpulkan bahwa tidak terjadi perubahan skor resiliensi yang signifikan pada

kelompok kontrol.

Tabel 22. Efek Variabel Kontrol terhadap Resiliensi


Variabel Sig. Partial Eta Squared (η²)
Dukungan keluarga 0,535 0,057
Dukungan sosial 0,899 0,002

Berdasarkan tabal diatas, terlihat bahwa variabel dukungan keluarga

memiliki nilai signifikasi p=0,535 dan hanya memberikan efek 0,057 atau 5,7%,

sedangkan pada variabel dukungan sosial menunjukkan nilai signifikansi p=0,899

dan hanya memberikan efek sebesar 0,002 atau 0,2%. Hal ini dapat dikatakan

bahwa variabel dukungan sosial dan dukungan keluarga tidak memberikan

pengaruh yang signifikan terhadap efektivitas pelatihan prophetic parenting.


137

Tabel 23. Analisis Tambahan

Variabel F Sig. (η²) keterangan


Setelah mengabaikan kelompok Tidak
3,411 0,074 0,406
kontrol signifikan
Setelah mengabaikan skor
7,974 0,022 0,499 Signifikan
pascates 2 (follow up)

Berdasarkan tabel diatas, menunjukkan bahwa setelah dianalisis dengan

mengabaikan kelompok kontrol nilai signifikansi pelatihan p=0,074 dengan efek

0,406. Hal ini dapat dikatakan jika mengabaikan kelompok kontrol ternyata

pelatihan prophetic parenting tetap tidak memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap skor resiliensi.

Namun setelah dianalisis dengan mengabaikan skor pascates 2 (tindak

lanjut) menunjukkan nilai signifikansi pelatihan p=0,022 dengan efek 0,499 atau

49,9%. Artinya apabila mengabaikan kelompok kontrol dan skor pascates 2

(tindak lanjut), maka pelatihan prophetic parenting memiliki pengaruh yang

signifikan dengan efek sebesar 49,9 %.

3. Analisis Kualitatif

Analisis kualitatif dilakukan pada subjek kelompok eksperimen

berdasarkan hasil observasi dan wawancara awal hingga tahap tindak lanjut.

Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui dinamika perasaan, perilaku, dan

pengalaman subjek sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan prophetic

parenting. Berikut uraian analisis kualitatif yang dilakukan pada subjek

kelompok eksperimen yang mengikuti pertemuan secara keseluruhan:


138

a. Subjek 1 (Ibu DY)

DY memiliki dua orang anak laki-laki, namun usia diantara kedua anaknya

memiliki jarak usia yang cukup jauh. Anak bungsu DY menjalani pendidikan luar

biasa karena mengalami kelambatan dalam perkembangannya. Bahkan hingga

saat ini masih belum lancar dalam berkomunikasi. DY mengandung anak bungsu

saat berusia 36 tahun. DY mengatakan bahwa kelainan yang dialami pada anak

mulai terlihat sejak awal kelahiran, yakni kondisi anak terlahir tanpa menangis.

Dokter juga telah mendiagnosa bahwa perkembangan anak bungsu akan

mengalami keterlambatan. Hal tersebut pun benar terjadi yakni anak mengalami

kelambanan dalam perkembangannya. Anak mampu duduk dengan sempurna

diusia 1 tahun, kemudian anak juga masih belum lancar dalam berkomunikasi.

Selama mengasuh, hal yang paling membuat DY terpuruk dan tertekan

adalah ketika mendapat cacian dari saudara yang mengatakan bahwa anak bungsu

mengalami gangguan mental hanya karena anak tidak lancar berbicara. DY pun

sempat menangis dan merasa sakit hati dengan tanggapan dari saudaranya

tersebut. Tidak hanya itu, DY juga mendapatkan komentar negatif dari tetangga

sekitar bahkan ada tetangga yang menyuruh anak bungsu DY agar memasukkan

anak ke panti penyandang cacat. DY juga terkadang merasa berat untuk

mengasuh anak berkebutuhan khusus. Sebab hambatan yang dialami DY adalah

anak sering emosi dan suit untuk diarahkan, jika diberi nasihati sering marah,

sehingga DY juga sering terbawa emosi untuk memarahi anak.


139

Selama mengikuti pelatihan prophetic parenting, DY tidak banyak

memberikan respon ataupun menceritakan pengalaman mengasuh anak

berkebutuhan khusus secara detail. DY termasuk peserta yang paling pasif

diantara peserta lainnya. DY akan memberikan respon jika ditanya oleh

fasilitator. Terkadang DY juga tidak memberikan respon apapun saat ditanya oleh

fasilitator. Setiap memberikan respon, DY pun terlihat malu hal ini ditunjukkan

dengan tersenyum, suara yang lirih dan selalu melirik peserta lain setiap akan

memberikan respon. Namun DY tetap memperhatikan fasilitator dalam

menyampaikan materi. Kemudian saat sesi pengerjaan lembar kerja DY terlihat

bingung dan melirik pada subjek yang duduk disebelahnya. Observer beberapa

kali membantu mengarahkan DY mengisi lembar kerja maupun angket.

Pada pertemuan pertama, DY hanya menceritakan secara singkat kendala

yang dialaminya yakni anak mudah sering marah dan menolak untuk diberikan

arahan. Selain itu, anak juga sulit untuk diajak bekerja sama, (misal disuruh

mandi). Biasanya DY mengatasi hal tersebut dengan cara mengelabuhi anaknya

dengan memberikan janji-janji, namun janji tersebut jarang DY tepati.

Dipertemuan keempat, DY mengatakan bahwa ia merasa senang memiliki anak,

karena anak dapat menghiburnya. DY merasa khawatir, jika anak tidak ada

dirumah.

Kemudian pada saat melihat tayangan video mengasuh anak dengan qalbu

di pertemuan keempat, DY menangis. Namun ketika diminta untuk

mengungkapkan perasaannya, DY tidak dapat berkata-kata dan semakin deras

tangisannya. ST memeluk DY disaat menangis. Saat fasilitator memberikan


140

penguatan, DY tertunduk sambil terisak. Pada saat evaluasi pelatihan pertemuan

terakhir, DY mengatakan merasa lebih tenang, terutama ketika memiliki masalah

dengan anak, DY dapat meredakan amarah anak. DY berusaha untuk menjadi

orangtua yang baik dan menghindari mengucap perkataan-perkataan yang dapat

menyakiti perasaan anak. DY juga ingin menghilangkan perilaku ketika DY

sedang marah jangan sampai anak juga ikut dimarahi. Kemudian perilaku yang

ingin diterapkan dan dipertahankan adalah menjadi teladan yang baik untuk anak

dan menghilangkan perilaku yang buruk agar anak tidak meniru perilaku buruk

tersebut.

Pada saat tindak lanjut, DY mengaku merasa lebih sabar dalam mengasuh

anak. DY juga sudah mencoba untuk mengurangi memarahi anak, meski

terkadang masih sulit untuk mengendalikannya. DY juga merasa lebih dapat

menerima kondisi anak dan berusaha untuk tidak memperdulikan pandangan

negatif dari orang lain. DY juga tetap percaya diri meski anak dilahirkan dalam

kondisi tidak normal, hal ini ditunjukkan dengan DY yang selalu mengajak anak

bungsu pergi atau menghadiri acara. Selain itu, DY juga melihat adanya

perubahan dari anak yang sudah mau belajar mengerjakan solat, meski masih

belum sempurna dan anak juga jauh lebih mandiri. Hanya saja DY masih

kesulitan untuk mengarahkan anak, sebab emosi anak yang tidak stabil, sehingga

hal tersebut yang menyebabkan DY kurang sabar.

Secara umum, terjadi perubahan skor resiliensi pada DY, yakni saat prates

skor yang diperoleh yaitu 102, kemudian saat pasca tes 1 meningkat menjadi 123,

namun pada saat pascates 2 menurun menjadi 108. Hal ini dikarenakan DY
141

teringat dengan pengalaman masa lalu yang mendapatkan perlakuan kurang baik

dari keluarga dan tetangga terhadap anak bungsunya. Jika mengevaluasi

berdasarkan tugas rumah ternyata DY belum benar-benar menerapkan semua

materi prophetic parenting dalam kehidupan sehari-harinya.

Grafik 2. Perkembangan Skor Resiliensi pada DY

123
102 108

prates pascates1 pascates2

b. Subjek 2 (Ibu ST)

ST adalah subjek yang memiliki usia paling tua diantara subjek lainnya.

ST merupakan seorang janda yang memiliki empat orang anak. Anak bungsu ST

yaitu AL memiliki jarak usia yang cukup jauh dengan ketiga kakaknya. Ketiga

anak ST telah bekerja dan menikah bahkan dua anak ST telah memiliki anak. ST

kini hidup bersama anak kedua, sementara suami ST meninggal saat AL berusia

3 tahun.

ST hamil anak keempat saat usia sekitar 40 tahunan. ST mengaku saat

hamil anak keempat merupakan diluar rencana. Bahkan saat itu, ST sedang

melanjutkan pendidikan sekaligus menjalani pekerjaannya sebagai guru agama.

Namun ketika mengetahui dirinya hamil akhirnya ST memutuskan untuk resign


142

dari pekerjaan dan pendidikannya. Tidak hanya itu, ST dan suami juga

memutuskan untuk pindah ke Jogja. Saat melahirkan AL, ST mengaku sangat

sedih dan terpuruk karena mengetahui bahwa anak terlahir dalam kondisi down

syndrome dan sumbing. ST mengaku hanya dapat pasrah menghadapi kenyataan

tersebut.

ST juga mengutarakan memiliki kekhawatiran akan masa depan AL. ST

menaruh harapan besar kepada anak-anak lainnya untuk dapat membantu

membesarkan dan memenuhi kebutuhan AY. Hambatan yang dialami ST selama

mengasub AL adalah kesulitan untuk memahami perasaan AL. Hal ini karena AL

adalah anak yang sering memendam emosi dan suka menangis tanpa alasan,

sehingga ST sulit memahami apa yang diinginkan atau yang dirasakan oleh AL.

Terkadang anak menunjukkan perilaku menangis, namun tidak mengeluarkan air

mata, sehingga ST mengira bahwa anak sedang berpura-pura.

ST juga khawatir dengan perilaku AY yang sering berbicara sendiri.

Kemudian jika AL menginginkan sesuatu, maka ingin segera dipenuhi, jika tidak

dipenuhi AL akan marah. ST juga sempat mendapatkan laporan dari walikelas

bahwa AL sering sembunyi dibalik meja ketika diperlakukan tidak baik oleh

temannya. Terkadang ST mengaku merasa terbebani dan terkadang muncul

perasaan tidak mampu untuk mengasuh dan membesarkan anak bungsunya.

Skor resiliensi sebelum dilakukan pelatihan prophetic parenting adalah 56

dalam kategori sangat rendah. Selama mengikuti pelatihan prophetic parenting

ST sangat antusias. Hal ini ditunjukkan dengan keaktifan ST dalam memberikan

respon. ST juga aktif mendengarkan materi yang disampaikan oleh fasilitator.


143

Terlebih ketika pertemuan ketiga dan keempat, ST terlihat lebih antusias dan

aktif dibandingkan pertemuan sebelumnya. Pada pertemuan pertama, ST

menyatakan komitmennya akan berusaha menjadi orangtua yang lebih sabar dan

berusaha untuk bersikap adil. Kemudian perilaku lama yang ingin dihilangkan

adalah emosi dan pemarah. Pada pertemuan ketiga, ST menyampaikan merasa

sangat terbantu dengan adanya pelatihan prophetic parenting. Hal ini membuat

ST menjadi lebih sabar dan berusaha lebih lembut dalam mengasuh anak

berkebutuhan khusus.

Setelah melihat video contoh orangtua yang mengasuh anak dengan qalbu

dipertemuan keempat, ST menceritakan masa lalunya bahwa suami sangat

berjuang untuk anak dan istrinya. Selama hidupnya suami banyak membantu ST

mulai saat operasi hingga AL (anak yang berkebutuhan khusus) berusia 3 tahun.

Suamilah yang mengurus semuanya. ST juga mengungkapkan bahwa selama

hidupnya suami menunjukkan kasih sayangnya yang sangat besar pada AL. ST

merasakan kebaikan hati suami yang masih teringat hingga sekarang. Bahkan

kebaikan yang selama ini ditunjukkan oleh suami turun dan diteladani oleh anak-

anaknya. ST bersyukur AL dapat mencontoh perilaku baik sang ayah, bahwa AL

juga suka memberi sedekah. ST mengatakan bahwa suami memang dikenal

sebagai orang yang dermawan dan sering membantu orang yang susah. ST

merasa bersyukur memiliki suami yang baik, sangat pengertian dan penyayang.

Selama mengikuti empat pertemuan pelatihan prophetic parenting, ST

menyampaikan perasaannya dan mengucapkan alhamdulillah karena memperoleh

ilmu yang dapat dipraktekan dalam mengasuh anak. ST merasa sangat terbantu
144

dengan mengikuti pelatihan ini karena ST mendapatkan kemudahan atau solusi

dalam mengasuh anak. ST mengaku lebih dapat mengendalikan emosi ketika

menghadapi anak. ST merasa bahwa kini sedikit demi sedikit anak sudah mau

mendengarkan nasihat atau nurut pada arahan ST.

ST juga merasakan adanya kemajuan perkembangan dari anak yang kini

sudah bisa lebih mandiri. Meskipun anak memiliki keterbatasan, namun ST tetap

mendorong anak membentuk akhlaknya dengan mengajak anak untuk mengikuti

TPA di sekitar rumah. ST juga merasa bahwa selama ini anak dapat menghibur

dirinya. ST merasa bersyukur kepada Allah meski anak dilahirkan dalam kondisi

berkebutuhan khusus, namun anak bisa memberikan kenyamanan hati dalam

hidup ST. Pelatihan prophetic parenting mampu membuat ST tidak lagi merasa

terbebani akan mengasuh anak berkebutuhan khusus.

Pada saat tindak lanjut, ST menceritakan perasaan dan pengalamannya

setelah dua minggu mengikuti pelatihan dan menerapkannya dalam kehidupan

sehari-hari. ST mengaku setelah mengikuti pelatihan menjadi lebih bisa

memahami anak dan lebih ikhlas. Dalam menjalani pengasuhan pun menjadi

terasa ringan, tidak seperti sebelumnya dimana ST merasa berat dan tak mampu

untuk mengasuh anak. Meski ST masih kesulitan untuk mengendalikan emosi,

namun ST tetap berusaha untuk lebih sabar. ST juga merasa bersyukur masih ada

anak yang kondisinya jauh lebih parah dibandingkan kondisi AL (anak yang

berkebutuhan khusus). ST menyadari bahwa mengasuh adalah sebuah ibadah dan

yakin bahwa Allah akan memberikan kemudahan dan rejeki untuk membesarkan

anak. ST juga berusaha untuk selalu mendoakan yang terbaik untuk anak.
145

Kemudian ST juga melihat perubahan positif dari anak, yakni lebih nurut

dan lebih mandiri. Disamping itu, masih ada beberapa point dari prophetic

parenting yang belum bisa ST terapkan. Hal ini dikarenakan ST masih kesulitan

memahami komunikasi anak yang sering menggunakan isyarat, namun ST akan

berusaha untuk menerapkan pada anak yang berkebutuhan khusus.

Secara umum, terjadi peningkatan skor resiliensi pada ST, yakni saat

prates skor yang diperoleh ST yaitu 56, kemudian saat pascates 1 meningkat

menjadi 67 dan saat pascates 2 menjadi 89.

Grafik 3. Perkembangan Skor Resiliensi pada ST

89

67
56

prates pascates1 pascates2

c. Subjek 3 (Ibu NR)

NR memiliki dua orang anak laki-laki yang usianya hanya selisih dua

tahun. Anak kedua NR menyandang down syndrome. Saat anak terlahir berbeda

dengan anak lainnya, NR mengaku sempat sedih, terpuruk, menangis dan

menyangkal atas takdir yang diberikan oleh Allah (“kenapa saya diberikan anak

yang seperti ini”). NR juga sempat merasa sedih, khawatir dan bingung saat

melihat perkembangan anak yang lambat dibandingkan anak normal lainnya.


146

Terkadang NR juga masih sulit menerima kelebihan dan kekurangan yang

dialami oleh anak.

Skor resiliensi pada NR sebelum mengikuti pelatihan prophetic parenting

adalah 99 termasuk dalam kategori sedang. Hambatan yang dialami NR adalah

mengasuh kedua putra yang hanya memiliki selisih usia dua tahun, karena kedua

anaknya sering berkelahi dan berebut. Disamping itu, anak yang berkebutuhan

khusus memiliki karakter yang sangat emosional dan sensitif, sehingga NR harus

menasihatinya dengan pelan-pelan. Jika dinasihati dengan cara berteriak, maka

anak akan marah. Namun NR sering terbawa emosi, sehingga terkadang NR

membentak anak. Terkadang NR merasa kesulitan untuk membagi perhatian pada

kedua anaknya. NR juga mengatakan sempat merasa tidak sanggup mengasuh

kedua anaknya tersebut. Hal tersebut sangat dirasakan saat NR merasa lelah

sementara anak sulit untuk diarahkan, sehingga sering terbawa emosi.

Selama mengikuti pelatihan prophetic parenting, awalnya NR tidak

banyak memberikan respon. Namun pada pertemuan kedua hingga akhir NR

mulai terlihat antusias hal ini ditunjukkan dengan sikap NR yang cukup aktif

dalam memberikan respon. Saat evaluasi pada pertemuan kedua dan ketiga, NR

menyampaikan perasaannya bahwa NR menjadi lebih sayang pada kedua

anaknya, berusaha untuk mengakurkan kedua anaknya, dan menjadi lebih sabar

dalam mengasuh anak. Selain itu, NR juga berusaha menasihati anak dengan cara

yang lembut dan memberikan contoh yang baik pada anak-anaknya.

Pada pertemuan keempat NR juga menceritakan bahwa ia sudah mencoba

mempraktekkan apa yang telah diperoleh dari pembelajaran pelatihan prophetic


147

parenting, seperti mengajak anak yang berkebutuhan khusus untuk solat dengan

cara yang lembut. NR menceritakan perubahan yang ditunjukkan oleh anak

bahwa kini anak yang berkebutuhan khusus mulai rajin menjalankan solat. Jika

mendengar adzan, maka anak akan langsung siap-siap untuk mengerjakan solat

dan NR akan membantu mempersiapkan peralatan solat untuk anaknya. NR juga

ikut mengantarkan dan menunggu anak solat di masjid. Meski anak hanya

mengerjakan dua rokaat kemudian keluar, namun NR tetap menghargai usaha

yang dilakukan oleh anak.

Kemudian setelah melihat video dipertemuan keempat yaitu video tentang

mengasuh anak dengan qalbu, NR mampu merefleksikan bahwa ternyata masih

ada orangtua yang memiliki anak yang lebih parah dibandingkan anak NR.

Padahal anak NR mampu berjalan dan berbicara, namun NR masih sering merasa

sedih dan putus asa dengan perkembangan anak. NR pun menceritakan sambil

menangis. Meski NR belum dapat sekuat dan sabar seperti orangtua yang

ditayangkan pada video, namun NR berusaha untuk lebih sabar dalam mengasuh

anak. NR juga mengungkapkan rasa senang dan bersyukur karena dikaruniai dan

dipercayai oleh Allah seorang anak meski anak terlahir dalam kondisi

berkebutuhan khusus. NR merasa bahwa anak yang berkebutuhan khusus dapat

menghiburnya. NR juga dapat menyimpulkan bahwa mengasuh anak harus

dilakukan dengan ikhlas. NR pun berkomitmen untuk menjadi orangtua yang

bersikap adil, menanamkan nilai-nilai baik pada anak, dan berusaha untuk lebih

bisa mengendalikan emosi.


148

Secara umum, terjadi perubahan skor resiliensi pada NR yakni saat prates

skor yang diperoleh yaitu 99, namun saat pasca tes 1 mengalami penurunan

menjadi 94. Berdasarkan pengamatan peneliti hal tersebut disebabkan karena

pada saat pengukuran pascates 1, NR terlihat tergesa-gesa dalam mengisi

kuisioner. NR juga sesekali melihat jam dinding dan berbisik pada subjek yang

duduk sebelah. Kemudian pada saat pengukuran pascates 2 skor resiliensi NR

meningkat menjadi 106. Hal ini terjadi karena saat tindak lanjut, NR mengaku

telah mencoba menerapkan prophetic parenting dalam kehidupan sehari-hari.

Namun ada beberapa aspek yang belum NR lakukan dengan maksimal, yaitu

membacakan doa-doa kebaikan untuk anak seusai solat. Hal yang dirasakan NR

setelah dua minggu mengikuti pelatihan dan menerapkan prophetic parenting

adalah NR mengaku lebih sabar menghadapi perilaku anak. Meski terkadang

masih terbawa emosi ketika anak tidak dapat diarahkan.

Namun NR juga sudah mulai berusaha untuk menasihati dengan lembut

dan mengurangi membentak anak. Hal tersebut dirasakan oleh NR bahwa

menasihati anak dengan lembut dan sabar mampu memberikan perubahan yang

positif bagi anak yakni anak menjadi lebih mudah diarahkah. NR juga merasa

bahwa anak mulai rajin mengikuti TPA dan mengerjakan solat jamaah di masjid

sekitar rumah. Meski anak hanya dapat bertahan mengikutinya sebentar, namun

NR tetap menghargai perilaku baik anak. Tidak hanya itu, NR juga mendapatkan

respon positif dari anak bahwa anak merasa senang karena NR berubah menjadi

bersikap lebih baik dan jarang memarahinya. NR pun menyadari bahwa


149

menasihati anak dengan cara memarahi atau meneriaki, justru akan membuat

anak semakin memberontak dan marah.

Selain itu, NR juga sangat terkesan dengan pernyataan fasilitator bahwa

mengasuh adalah ibadah dan terimalah kondisi anak baik kelebihan dan

kekurangannya, sebab anak adalah amanah. Hal ini yang membuat NR menjadi

lebih dapat menerima kekurangan dan kelebihan anak serta meluruskan niat

bahwa mengasuh merupakan ibadah. NR juga menyadari bahwa ternyata masih

banyak orangtua yang memiliki anak dengan kondisi yang lebih parah

dibandingkan anak bungsu NR. Selain itu, kini NR juga sudah dapat menerima

dengan positif terhadap pandangan negatif dari tetangga sekitar tentang kondisi

anak yang sekolah luar biasa dan belum lancar berbicara. NR memahami bahwa

orang yang memberikan pandangan negatif terhadap anak bungsunya karena

tidak mengerti tentang kondisi anak penyandang down syndrome. Oleh karena itu

NR memilih untuk merespon pandangan negatif tersebut dengan memberikan

pengertian pada orang yang bersangkutan dengan menjelaskan bahwa anak

adalah penyandang down syndrome yang mengalami hambatan dalam

pekembangannya yang cenderung lambat dibandingkan anak seusianya, sehingga

anak harus mengikuti pendidikan luar biasa.


150

Grafik 4. Perkembangan Skor Resiliensi pada NR

106

99

94

prates pascates1 pascates2

d. Subjek 4 (Ibu TK)

TK memiliki dua orang anak laki-laki dengan jarak usia 5 tahun. Anak

kedua TK menjalani pendidikan di sekolah luar biasa berinisial F yang saat ini

duduk dibangku kelas 3 diusia 11. F lahir secara normal seperti anak-anak normal

lainnya hanya saja kemampuan belajar pada F cenderung lambat dibandingkan

anak-anak seusianya. Sebelumnya F menjalani pendidikan di sekolah umum

hanya sampai kelas 2. Selama menjalani pendidikan di sekolah umum, F

memiliki riwayat berulang kali tinggal kelas. Hal ini disebabkan F kesulitan

dalam mengikuti pelajaran khususnya kemampuan membaca dan mengingat

pelajaran.

Meski TK telah mengikutsertakan F les privat, namun F tidak

menunjukkan perkembangan signifikan. Guru les tersebut pun

merekomendasikan pada TK agar memindahkan F ke sekolah luar biasa.

Sebenarnya pihak sekolah sebelumnya masih ingin mengupayakan F untuk tetap

melanjutkan di sekolah tersebut. Sebelum memindahkan F ke sekolah luar biasa,


151

TK berdiskusi dengan suami terlebih dahulu, namun pada akhirnya TK memilih

mengikuti arahan dari guru les, meski diliputi oleh rasa sedih dan kecewa.

TK juga mengatakan sempat malu ketika harus memindahkan anak di

sekolah luar biasa. Bahkan rasa malu tersebut semakin bertambah ketika tetangga

sekitar mengetahui bahwa anak TK disekolahkan luar biasa. Bahkan ada

beberapa tetangga yang mengira bahwa anak TK tidak normal. Tidak hanya TK

yang merasa malu, F juga sempat malu dan menolak untuk dipindahkan ke

sekolah luar biasa. Bahkan hingga saat ini F menolak untuk menggunakan tas

yang berlabel sekolah luar biasa.

Disamping itu, TK memiliki kekhawatiran akan masa depan F. Melihat

kemampuan akademik F yang lambat dan sulit untuk mengingat, membuat TK

ragu akan cita-cita yang ingin dicapai F. TK mengatakan bahwa F ingin menjadi

montir dan melanjutkan pendidikan seperti kakaknya yaitu sekolah kejuruan

mesin. Namun TK merespon hal tersebut dengan meremehkan kemampuan F

dengan berkata “kamu itu ga bisa baca kok pengen jadi montir, mana bisa”.

TK juga mengeluhkan bahwa anak sangat sensitif dan mudah marah.

selain itu, jika memiliki suatu keinginan, harus dipenuhi. Jika tidak segera

dipenuhi, maka F akan selalu menagihnya dengan cara marah-marah dan

melempar atau memukul benda-benda yang ada disekitarnya. TK sering

kewalahan menghadapi perilaku F yang emosional. Tak jarang membuat TK

sering terbawa emosi untuk memarahi hingga memukul F. Namun yang terjadi

jika TK memarahi dan memukul F, maka F akan kembali marah dan memukul

TK. Jika sudah demikian, suami TK yang akan mengatasinya. Suami TK


152

memiliki sikap pengasuhan yang keras dan tegas. Jika anak tidak dapat

diarahkan, maka suami akan menasihatinya dengan nada tinggi dan membentak.

Sebelum mengikuti pelatihan prophetic parenting TK termasuk memiliki skor

resiliensi dalam kategori sangat rendah yaitu 90.

Selama mengikuti pelatihan prophetic parenting, TK cukup kooperatif dan

terbuka menceritakan pengalamannya. TK juga fokus memperhatikan fasilitator

dalam menyampaikan materi. Pada pertemuan pertama dan kedua, TK banyak

menceritakan hambatan yang dialami selama mengasuh anak yang berkebutuhan

khusus. TK mengeluhkan bahwa anak yang berkebutuhan khusus tersebut sedang

sering merengek minta dibelikan handphone. Kemudian di pertemuan ketiga, TK

menyatakan harapan bahwa ingin anak yang berkebutuhan khusus bisa menjadi

anak yang soleh dan pintar. TK juga mengharapkan anak dapat rajin mengaji dan

solat. Meski sebenarnya anak masih belum sempurna mengerjakan solat lima

waktu. Namun saat, fasilitator meminta TK untuk merefleksikan antara harapan

dengan contoh yang selama ini ditampilkan yakni apakah selama ini TK

menjalankan solat lima waktu, TK hanya tersenyum.

Kemudian pada pertemuan empat, TK menyampaikan bahwa anak sudah

dapat mandiri, meski dalam mengerjakan solat belum sepenuhnya lima waktu.

Namun TK akan terus berusaha untuk mendorong anak agar tetap mau

menjalankan solat. Kemudian TK juga mengatakan merasa senang dan ikhlas

walau anak dalam kondisi berkebutuhan khusus, karena bagi TK anak adalah

amanah dari Allah, sehingga ia harus menjaga dan mengasuhnya dengan benar.

TK berkomitmen akan berusaha menjadi orangtua yang baik, bijaksana, dan


153

dapat bersikap adil pada semua anak. TK juga ingin menghilangkan perilaku

lamanya yaitu perilaku yang mudah marah dan perilaku baru yang ingin

diterapkan adalah lebih bersikap sabar, adil, dan bijaksana.

Secara umum, terdapat perubahan skor resiliensi pada TK yakni saat

pretes skor yang diperoleh TK yaitu 90, kemudian saat pasca tes 1 meningkat

menjadi 109, dan saat pasca tes 2 skor tetap konsisten yaitu 109. Pada saat proses

tindak lanjut yaitu dua minggu setelah mengikuti pelatihan dan menerapkannya

dalam kehidupan sehari-hari, TK mengaku lebih mampu mengendalikan emosi.

Selama dua minggu tersebut, TK juga mengaku belum menunjukkan amarah

pada anak.

TK juga merasa bahwa kini anak menjadi lebih mudah untuk diarahkan.

Hal ini karena TK mencoba menerapkan cara yang halus dan lembut dalam

menasihati anak. TK menyadari bahwa anak lebih mudah untuk diarahkan jika

menggunakan cara yang lebih halus. TK tidak dapat selalu menuntut anak, sebab

hal tersebut akan menimbulkan pemberontakan dari anak. Kemudian TK juga

menyadari bahwa ketika memarahi anak, akan timbul rasa penyesalan, sehingga

kini TK berusaha untuk bersikap lembut dan sabar. Apabila mulai tidak sabar,

maka TK berusaha untuk istigfar dan menyesali sikap amarahnya. Selain itu, TK

juga melihat adanya perubahan yang positif pada anak yakni anak sudah mulai

rajin ke musola untuk mengikuti solat tarawih. Anak juga mampu menjalankan

puasa hingga magrib. TK juga mulai membiasakan untuk mengajak anak

berbincang.
154

TK juga tidak lagi merasa ragu akan masa depan anak. Sebab TK yakin

dan percaya meski anak memiliki kekurangan dalam hal akademik, namun TK

yakin keterampilan yang di sekolah akan membantunya mencapai masa depan

yang lebih baik. TK juga tidak lagi memperdulikan pendangan negatif dari

tetangga sekitar mengenai anak bungsu yang sekolah luar biasa.

Grafik 5. Perkembangan Skor Resiliensi pada TK

109 109
90

prates pascates1 pascates2

e. Subjek 5 (Ibu RT)

RT memiliki dua orang anak. Anak pertama menjalani pendidikan di

sekolah umum, namun anak bungsu menjalani pendidikan di sekolah luar biasa,

karena lambat dalam mengikuti pelajaran. Selain lambat dalam mengikuti

pelajaran, anak juga memiliki emosi yang tidak stabil. Anak bungsu RT yaitu SV

memiliki riwayat lahir prematur.

Sejak awal kelahiran anak bungsu, RT sudah diagnosa oleh dokter bahwa

anak akan mengalami kelambatan perkembangan. RT mengaku sempat terpuruk


155

dan sedih mendapatkan diagnosa tersebut. RT juga sempat stres mengasuh anak

bungsunya yang berkebutuhan khusus, hingga menggunakan bantuan jasa asisten

rumah tangga meski hanya beberapa tahun. RT mengaku kewalahan mengasuh

anak, terutama perilaku yang aktif dan mudah marah.

RT memiliki pengalaman negatif yang tak terlupakan yaitu mendapatkan

pandangan negatif dari keluarga yang mencaci bahwa anak RT adalah anak idiot.

RT mengaku marah dan tidak terima, ketika keluarga mengatakan bahwa

anaknya idiot. Tidak hanya itu, anak juga sering mendapatkan perlakuan dari

teman sebayanya yang meremehkan kelemahannya. Hal ini yang membuat RT

sering merasa sedih dan marah ketika mendapatkan pandangan negatif dari orang

lain. Sebelum mengikuti pelatihan prophetic parenting RT memiliki skor

resiliensi 90 yaitu termasuk dalam kategori rendah.

Selama mengikuti pelatihan prophetic parenting, RT cukup kooperatif

dan bersedia untuk memberikan respon maupun berbagi cerita. RT juga

memperhatikan fasilitator dalam menyampaikan materi, meski beberapa kali

terlihat mengajak peserta lain berbicara. Pada pertemuan pertama, RT

menceritakan keluhan mengasuh anak berkebutuhan khusus bahwa anak

memiliki emosi yang tidak stabil dan anak mudah terpengaruh oleh lingkungan,

sehingga sering meniru perilaku yang tidak baik. RT juga mengeluhkan

terkadang merasa tidak sanggup untuk mengasuh anak dan sering terbawa emosi

terutama ketika kondisi tubuh sudah lelah, sedangkan anak sulit untuk diajak

bekerja sama.
156

Setelah mengikuti tiga pertemuan, RT bisa merasa lebih sabar untuk

menghadapi anak dan berupaya untuk intropeksi diri. RT juga menganggap

bahwa anak adalah buah hati yang sangat berharga. Dengan mengikuti pelatihan

prophetic parenting ini, RT mengaku menjadi tersadar akan mengasuh anak yang

harus dihadapi dengan kesabaran dan keikhlasan. RT mengatakan ingin berusaha

untuk menjadi orangtua yang lebih sabar dalam mengasuh anak dan akan selalu

memperhatikan kebutuhan anak serta berusaha untuk memberikan apa yang

dibutuhkan oleh anak. perilaku lama yang ingin dihilangkan oleh RT adalah

memanjakan anak disaat anak sudah mulai bisa mandiri. Perilaku baru yang ingin

diterapkan adalah membiasakan anak dengan menaati apa yang RT ajarkan.

Pada saat tindak lanjut, RT mengaku lebih bisa menerima kondisi anak

dan membukakan pikiran RT bahwa anak adalah amanah dari Allah. RT juga

meyakini bahwa RT adalah orangtua pilihan yang Allah percayai untuk

mengasuh anak berkebutuhan khusus. Meski masih ada orang yang memiliki

pandangan negatif terhadap anaknya, RT berusaha menerima dan mengabaikan

perkataan negatif tersebut. RT yakin bahwa anak adalah anugerah yang Allah

berikan. Meski anak bungsu memiliki banyak kekurangan, namun RT yakin akan

kelebihan anak. RT juga mengaku lebih sabar dalam mengasuh anak, ketika

ingin marah RT pun menjadi merasa tidak tega. RT menyadari bahwa anak

memiliki masalah emosi yang tidak stabil, sehingga RT harus lebih sabar dalam

menghadapinya. Jika anak sulit untuk dikendalikan, maka RT lebih memilih

untuk mendiamkan anak terlebih dahulu hingga kondisi anak mulai tenang.
157

Secara umum, terjadi perubahan skor resiliensi yang dialami RT, yakni

saat prates skor yang diperoleh RT yaitu 90, kemudian meningkat saat pasca tes 1

menjadi 95, namun pada saat pasca tes 2 mengalami penurunan menjadi 86.

Setelah digali lebih dalam, ternyata RT memiliki masalah lain yakni selain

mengasuh anak berkebutuhan khusus, RT juga harus merawat kedua orangtuanya

yang sakit. Ibu dari RT memiliki penyakit komplikasi, sehingga harus

mendapatkan perawatan khusus dan menjalani pengobatan rutin. Sementara ayah

dari RT kondisinya sudah sangat tua yaitu hampir 90 tahun, sehingga perilaku

dan emosinya seperti anak kecil. Sementara RT mengurus kedua orangtua tanpa

mendapat bantuan dari saudara kandung. Kondisi tersebut yang membuat RT

tertekan dan merasa berat untuk dihadapi.

Grafik 6. Perkembangan Skor Resiliensi pada RT

95

90

86

prates pascates1 pascates2

f. Subjek 6 (Ibu SR)

SR memiliki empat orang anak. Ketiga anak SR menjalani pendidikan di

sekolah umum, namun berbeda dengan anak ketiga yakni G menjalani sekolah

luar biasa. Sejak awal tahap perkembangan G memang mengalami kelambatan. G

baru bisa berjalan saat usia 3 tahun dan mampu berbicara dengan lancar saat usia
158

TK. Sebelumnya G sempat menjalani pendidikan di sekolah umum, namun

karena kemampuan berpikirnya cenderung lambat, sehingga SR memutuskan G

untuk menjalani pendidikan sekolah luar biasa.

SR mengaku kecewa ketika harus menghadapi kenyataan bahwa G harus

menjalani pendidikan sekolah luar biasa. SR juga mengatakan sempat malu

memiliki anak yang berbeda dengan anak lainnya. Hal ini karena perilaku G

sering membuat ulah, membuat kegaduhan, berkata kasar dan memiliki emosi

yang tidak terkontrol. Bahkan SR mengaku sempat trauma untuk mengajak G

mengikuti kegiatan masyarakat seperti pengajian, hanya karena perilaku G yang

sering membuat ulah.

Selain itu, SR juga mengeluh kesulitan mengatasi emosi G yang tidak

terkendalikan. Terutama ketika memiliki keinginan, maka harus dipenuhi. Jika

tidak segera dipenuhi, maka G akan mengamuk dan melempar benda-benda yang

ada di sekitarnya. Tidak hanya itu, G juga sering menunjukkan perilaku marah

ketika sedang dalam kondisi lelah atau tidak enak badan. SR pun sering terbawa

emosi menghadapi perilaku G sulit untuk diarahkan maupun dinasihati. Namun

semakin SR memarahi G, maka G akan semakin marah yang akhirnya membuat

SR semakin kesal hingga memukul G.

Apabila SR tidak berhasil mengatasi perilaku G, biasanya suami akan

turun tangan membantu untuk menghadapinya. Dalam pengasuhan, suami

memiliki sikap yang keras dan tegas. Jika anak tidak dapat diarahkan, maka

suami akan memarahi bahkan memukul anak, sehingga anak akan lebih patuh

dan tunduk pada ayahnya. SR juga mengaku terkadang merasa tidak mampu
159

untuk menghadapi perilaku G. Bahkan SR memiliki niatan untuk membawa

anaknya pada orang pintar agar disembuhkan dari perilakunya. Sebab selain

memiliki perilaku yang sulit untuk dikendalikan, anak juga sering tidak paham

dengan nasihat yang SR berikan. Jika SR menasihatinya, G justru mengajukan

pertanyaan-pertanyaan yang tidak nyambung dan sulit untuk dijawab, sehingga

semakin membuat SR semakin kesal.

Selain itu, SR juga merasa ragu akan masa depan anaknya tersebut. SR

menganggap bahwa anak belum dapat bertanggung jawab. SR juga tidak

menemukan bakat yang menonjol dari anak tersebut. Selama menjalani

pendidikan di sekolah luar biasa, SR pun tidak melihat adanya perkembangan

yang signifikan dari G. Terkadang SR juga merasa kecewa karena selama ini

sering mendahulukan kebutuhan anak lainnya, sedangkan kebutuhan G yang

mengharapkan dibelikan sepeda belum mampu SR penuhi. SR merasa bahwa G

berbeda dengan saudara kandung lainnya terutama anak kedua dan anak keempat

yang jauh lebih rajin dan lebih terlihat bakat yang dimilikinya, sedangkan G

cenderung lambat berpikir dan tidak terlihat bakat yang dimilikinya.

Selama mengikuti pelatihan prophetic parenting, SR termasuk peserta

yang tidak banyak memberikan respon. SR akan memberikan respon, hanya jika

ditanya oleh fasilitator. Pada pertemuan pertama, SR datang bersama anak

bungsunya. Selama proses kegiatan berlangsung, SR terlihat melamun dan

terbagi perhatiannya pada anak. Namun SR tetap mendengarkan fasilitator

menyampaikan materi meski jarang melakukan kontak mata dengan fasilitator.

Selain itu, saat diminta untuk menceritakan hambatan selama mengasuh, SR


160

memberikan respon dengan suara yang sangat lirih dan hanya melakukan kontak

dengan fasilitator. Namun pada pertemuan ketiga dan keempat, SR terlihat lebih

antusias, hal ini ditunjukkan dengan pandangan tertujua pada pemateri dan

memperhatikan penyampaian pemateri dengan seksama. SR sesekali juga

menjawab pertanyaan fasilitator, meski dengan suara yang sangat lirih.

Dipertemuan pertama dan kedua, SR juga menceritakan keluhan bahwa

anak yang berkebutuhan khusus sangat emosional dan sulit untuk diarahkan,

sehingga sering membuat SR marah. Kemudian saat evaluasi dipertemuan

keempat, SR mengaku lebih sabar dalam menghadapi anak, meski terkadang

masih kesulitan untuk mengontrol emosi. SR juga berusaha untuk mengajarkan

anak berbakti dan taat kepada Allah dengan cara yang lebih sabar dan lembut. SR

juga mengungkapkan rasa senang karena dikaruniai anak dan berharap dapat

menjadi penerus masa depan.

Kemudian saat melihat tayangan video mengasuh dengan qalbu

dipertemuan keempat, SR menangis dan mengatakan terharu. SR juga ikut

meneteskan air mata saat mendengar cerita peserta lain. Hal yang dirasakan SR

selama mengikuti pelatihan prophetic parenting adalah SR mengaku merasa

senang dan merasa lebih nyaman. SR juga sangat terkesan dengan materi

dipertemuan terakhir, karena mampu meningkatkan spriritualitas dan kesabaran

dalam menjalani kehidupan khususnya mengasuh anak. SR berkomitmen untuk

menjadi orangtua yang lebih bijak dan sabar dalam menghadapi anak-anak.

Perilaku lama yang ingin dihilangkan SR adalah kesulitan dalam mengendalikan

amarah, khususnya pada anak yang berkebutuhan khusus. SR juga ingin


161

menerapkan perilaku baru yaitu berusaha untuk lebih memahami perilaku anak-

anak dengan penuh kesabaran dan akan berusaha untuk memenuhi permintaan

anak yang berkebutuhan khusus.

Secara umum, ada perubahan skor resiliensi pada SR. Saat prates, skor

yang diperoleh SR yaitu 94, namun saat pasca tes 1 menurun menjadi 91. Setelah

digali lebih dalam, ternyata SR sedang mengalami kesulitan ekonomi. Hal ini

karena keluarga SR memiliki banyak kebutuhan mengingat keempat anaknya

masih menjalani pendidikan dan membutuhkan biaya yang cukup banyak.

Kondisi ini menyebabkan SR belum mampu bersikap adil pada kebutuhan

maupun memnuhi permintaan semua anak.

Kemudian saat pascates 2 meningkat menjadi 109. Pada saat tindak lanjut,

SR menceritakan perasaan dan hikmah yang diperoleh selama kurang lebih dua

minggu setelah mengikuti pelatihan prophetic parenting dan menerapkannya

dalam kehidupan sehari-hari. SR mengaku lebih tenang dan menjadi belajar

untuk berusaha lebih sabar lagi dalam mengasuh anak, meski perilaku anak masih

sulit untuk diarahkan. SR juga mengaku merasa bersyukur, meski G memiliki

kemampuan berpikir yang lambat, namun G masih fisik yang sempurna

dibandingkan murid-murid lainnya yang memiliki fisik yang kurang sempurna.

Selain itu, SR juga merasa bersyukur bahwa G tidak seperti anak-anak lainnya

yang segala permintaannya harus segera dipenuhi. Meski anak sering memiliki

banyak permintaan, namun permintaan yang diajukan bukanlah barang-barang

yang mahal dan anak juga masih bisa diberikan pengertian serta tidak memaksa

harus segera dipenuhi permintaannya pada saat itu juga.


162

SR juga mengaku menjadi lebih banyak intropeksi diri, bahwa ternyata

masih ada anak lain di sekitar rumah yang memiliki perilaku lebih nakal dari G

(anak yang berkebutuhan khusus), sehingga SR tak perlu lagi malu dengan

kondisi anak. Kemudian ketika SR mulai tidak sabar menghadapi perilaku anak,

SR akan mengingat kembali dengan apa yang telah diperoleh dari pelatihan

bahwa mengasuh anak berkebutuhan khusus harus lebih sabar.

Disamping itu, SR juga melihat adanya perubahan positif dari anak yakni

anak sudah mau menjalankan solat dan mengikuti taraweh di masjid. Jika

mendengar adzan, maka anak akan segera bergegas di masjid. Kemudian anak

juga mau belajar menjalankan puasa, meski masih belum sempurna hingga

magrib. Selain itu terkait masa depan anak, SR menaruh keyakinan pada Allah,

bahwa Allah akan mengatur rejeki anak.

Grafik 7. Perkembangan Skor Resiliensi pada SR

109

94
91

prates pascates1 pascates2


163

D. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pelatihan prophetic

parenting tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap peningkatan

resiliensi orangtua dalam mengasuh anak berkebutuhan khusus (tunagrahita).

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya, seperti yang

dilakukan oleh Pamungkas (2015) menunjukkan bahwa pelatihan keterampilan

pengasuhan efektif mampu menurunkan stres pengasuhan pada ibu yang memiliki

autis. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Whitingham, dkk (2009), juga

menunjukkan bahwa program pelatihan pengasuhan dengan pendekatan Triple P

mampu meningkatkan pemahaman orangtua dan mampu menurunkan stres

pengasuhan pada orangtua yang memiliki anak autis. Kemudian penelitian yang

dilakukan oleh Kurniawan dan Uyun (2013), membuktikan bahwa pendidikan

pengasuhan spiritualitas mampu menurunkan stres pengasuhan dan disfungsi

interaksi orangtua. Sementara pada penelitian ini tidak menunjukkan hasil yang

serupa dengan penelitian sebelumnya.

Tidak terbuktinya hipotesis dalam penelitian ini disebabkan adanya

extraneous variable atau muncul faktor lain yang mengancam validitas internal

dan mempengaruhi hasil penelitian. Penelitian ini tidak dilakukan randomisasi,

sehingga menimbulkan kemunculan extraneous variable yang mempengaruhi

hasil penelitian. Padahal desain eksperimen yang benar yaitu pemilihan subjek

dilakukan secara random (Slack & Draugalis, 2001). Extraneous variabel

merupakan faktor lain yang memiliki potensi untuk bias dan mengancam validitas

internal pada suatu penelitian eksperimen (Ross & Morrison, 2014).


164

Ross dan Morrison (2014) juga menambahkan bahwa ancaman validitas

tidak dapat dihindari pada suatu penelitian eksperimen, sebab ancaman validitas

memberikan kerangka kerja penelitian eksperimen untuk mengevaluasi situasi

yang dapat mempengaruhi pengukuran. Oleh karena itu, kehadiran ancaman

validitas tidak dapat dianggap sebagai penemuan eksperimen yang tidak akurat

semata (Ross & Morrison, 2014). Myers dan Hansen (2006) menambahkan bahwa

suatu penelitian eskperimen yang melibatkan manusia, terjadi banyak hal yang

tidak dapat dikontrol oleh peneliti, sehingga mengancam validitas internal yang

dapat mempengaruhi hasil penelitian. Sementara itu pada penelitian ini, terdapat

beberapa extraneous variable yang mengancam validitas internal, yakni selection

interaction, history, selection, dan atrisi atau mortalitas (Hastjarjo, 2011).

Pertama, ancaman selection interaction yaitu interaksi ancaman seleksi

dengan salah satu ancaman lainnya dalam penelitian (Slack & Draugalis, 2001).

Selection interaction ini terjadi dikarenakan penelitian ini tidak melakukan

randomisasi dalam pembagian kelompok yang menyebabkan tidak matching. Jika

ditelaah lebih lanjut, diketahui bahwa skor prates pada kelompok kontrol memiliki

nilai yang lebih tinggi dibandingkan kelompok eksperimen disertai dengan skor

pascates 2 yang mengalami penurunan drastis menyebabkan mempengaruhi hasil

penelitian menjadi tidak terbukti. Apabila mengabaikan skor pascates 2 (tindak

lanjut), maka pelatihan prophetic parenting mampu memberikan pengaruh yang

signifikan terhadap kemampuan resiliensi subjek. Namun kenyataannya, pengaruh

dari pelatihan prophetic parenting tersebut hanya memberikan efek sementara dan

tidak memberikan pengaruh dalam jangka waktu yang lama. Apabila kelompok
165

kontrol dapat dikontrol dengan baik, maka pelatihan mampu memberikan efek

yang signifikan.

Kemudian kondisi sulit yang dialami oleh masing-masing subjek juga

berbeda, sehingga mempengaruhi hasil penelitian. Pada beberapa subjek

kelompok eksperimen diketahui adanya faktor lain yang mempengaruhi turunnya

skor resiliensi. Berdasarkan hasil wawancara, hal yang mempengaruhi

menurunnya skor resiliensi pada SR yaitu terkait dengan masalah ekonomi. Jika

dilihat dari hasil pengahasilan keluarga, keluarga SR termasuk ekonomi

menengah ke bawah. SR mengaku sering merasa bingung ketika tidak memiliki

uang sementara keluarga memiliki banyak kebutuhan. Mengingat SR harus

membiayai dan memenuhi kebutuhan keempat anaknya yang masih sekolah. SR

mengaku pasrah dengan kondisi perekonomian keluarga yang terbatas.

Dampak dari kondisi kesulitan ekonomi yang merupakan faktor resiko,

selain mempengaruhi resiliensi SR, hal ini juga mempengaruhi praktik

pengasuhan yang kurang positif (Ellingsen, dkk., 2014). Meski SR berusaha

untuk bersikap adil memenuhi kebutuhan anak, namun karena kondisi ekonomi

yang lemah menyebabkan SR tidak dapat memenuhi keinginan anaknya yang

berkebutuhan khusus yang mengharapkan sepeda.

Sedangkan kondisi sulit yang dialami oleh RT, selain harus mengasuh

anak berkebutuhan khusus, RT juga harus merawat kedua orangtuanya. Ibu dari

RT memiliki penyakit diabetes dan darah tinggi, sehingga RT harus mendampingi

baik perawatan maupun menjalani pengobatan rutin. Kemudian ayah dari RT

memiliki usia yang sangat sepuh yaitu 90 tahun dimana usia tersebut terjadi fase
166

regresi (kemunduran) yaitu perilaku dan emosi kembali seperti anak keci. Kondisi

tersebut yang membuat RT merasa berat dan tertekan. Kondisi yang dialami oleh

SR dan RT yaitu dihadapkan pada kondisi kesulitan ekonomi dan merawat

keluarga yang sakit kronis dianggap sebagai faktor resiko yang mempengaruhi

proses resiliensi (Linley & Joseph, 2014; He, dkk., 2013). Kalil (2003),

mengatakan bahwa faktor resiko adalah hal-hal yang berpotensi menimbulkan

persoalan atau kesulitan dalam hidup seseorang.

Namun lain halnya yang dialami oleh DY, kurang adanya dukungan dari

keluarga dan sosial menjadi ancaman validitas selection-history yang

mempengaruhi skor resiliensi DY saat pengukuran pascates 2 (tindak lanjut). Saat

itu, DY teringat kembali dengan pengalaman tidak menyenangkan di masa

lalunya yaitu mendapatkan cacian dari keluarga yang menganggap bahwa anak

bungsu DY memgalami gangguan jiwa. Ditambah dengan tanggapan negatif dari

tetangga yang menyarankan DY untuk memasukkan anak ke panti penyandang

disabilitas. Mengingat kejadian tersebut membuat DY sakit hati dan menangis.

Sejalan dengan McConnel dan Savage (2015), mengatakan bahwa

konsekuensi negatif dari prasangka budaya yang menganggap bahwa anak

berkebutuhan khusus dianggap menyimpang, tragis, dan menyedihkan, sehingga

hal ini juga menyebabkan kesedihan dan luka yang mendalam bagi orangtua

terhadap pengucilan sosial tersebut. Selain itu, kurangnya dukungan dari orang

lain dan sikap negatif dari masyarakat membuat individu sulit untuk mengatasi

tantangan yang dialami (Sharpley, Bitsika, Efremidis, 1997; dalam Habib, Jamel,

& Fazal, 2015). Padahal menurut Werner (1992), bahwa sumber dukungan
167

eksternal sangat mempengaruhi seseorang untuk menjadi resilien. Selain itu,

berdasarkan pengamatan peniliti ketika ikut menunggu anak di sekolah, DY

jarang terlihat bergabung dengan walimurid lainnya. Kemudian jika dilihat

berdasarkan pendidikan, DY juga memiliki latar belakang pendidikan yang lebih

rendah dibandingkan subjek lainnya.

Hal ini dapat disimpulkan bahwa kondisi ekonomi, pendidikan,

pengalaman yang tidak menyenangkan, kurangnya dukungan sosial, penyakit

kronis, dan tekanan hidup yang dialami mempengaruhi proses resiliensi SR, RT,

dan DY. Sejalan dengan Bonanno, Galea, Bucciareli, dan Vlahov (2007),

menemukan bahwa faktor sosio-kontekstual berkaitan dengan kemampuan

resiliensi seseorang, seperti gender, usia, tingkat pendidikan, level munculnya

trauma, kesulitan ekonomi, dukungan sosial, penyakit kronis dan tekanan hidup.

Oleh karena itu, kombinasi antara pembagian kedua kelompok tanpa randomisasi

dan kondisi lain yang dialami subjek mempengaruhi perubahan skor resiliensi

yang tidak hanya dipengaruhi oleh pelatihan yang dilakukan.

Kemudian munculnya ancaman history, yaitu ancaman validitas yang

muncul akibat adanya peristiwa atau kondisi yang tidak dapat dikendalikan oleh

peneliti selama penelitian berlangsung (Ross & Morisson, 2014). Ancaman ini

history ini murni terjadi diluar kendali peneliti yaitu saat pelaksanaan pertemuan

terakhir dari perlakuan, ternyata waktu pelaksanaan bersamaan dengan kegiatan

mahasiswa lain yang juga mengadakan pelatihan pengasuhan di lokasi yang sama.

Kondisi ini sempat mengambat proses pelatihan dan subjek kelompok eksperimen
168

dalam penelitian ini pun hampir terpapar oleh perlakuan lain dan mengancam

validitas internal.

Sedangkan pada kelompok kontrol yaitu selama penelitian terjadi interaksi

antara subjek kelompok kontrol dengan orangtua walimurid lainnya. Sebagian

dari subjek kelompok kontrol adalah orangtua yang sering menunggu anak selama

sekolah bersama orangtua walimurid lainnya. Kondisi ini yang mempengaruhi

adanya dukungan dari sosial. Maybery, Ezpelage, dan Koenig (Noltemeyer &

Bush, 2013), mengatakan bahwa individu yang mampu menjalin hubungan sosial

dengan masyarakat sekitar berfungsi sebagai faktor protektif untuk seseorang

menjadi resilien, karena individu tersebut mendapatkan dukungan dan rasa aman

dari lingkungannya.

Sedangkan pada NR terjadi penurunan skor resiliensi disebabkan terjadi

ancaman maturation. Maturation adalah terjadi perubahan biologis atau psikologis

yang terjadi pada subjek (Slack & Draugalis, 2001). Ketika mengisi angket

resiliensi, NR terlihat gelisah dan tergesa-gesa. Hal ini ditunjukkan sikap NR yang

selalu melihat ke arah jam dinding, mengingat saat sesi pengukuran pascates 1

dipertemuan terakhir hampir mendekati waktu jam pulang sekolah. NR pun

akhirnya mengisi angket dengan tergesa-gesa dan peneliti menutup pertemuan NR

langsung bergegas keluar ruangan.

Selection yaitu ancaman validitas akibat adanya perbedaan sistematik pada

karakteristik subjek penelitian antara kelompok eksperimen dan kelmpok kontrol

yang menyebabkan pembagian kelompok menjadi tidak matching (Ross &

Marrison, 2014). Pada penelitian ini, selection terjadi akibat matching problem
169

antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang tidak seimbang. Hal ini

disebabkan karena tidak dilakukannya randomisasi pada penelitian ini. Peneliti

menentukan kriteria subjek berdasarkan kategori skor resiliensi yaitu rendah

hingga sedang. Namun karena terkendala dengan kesediaan dan komitmen subjek

untuk terlibat dalam penelitian ini, menyebabkan kelompok menjadi tidak

matching. Dampaknya skor resiliensi pretes pada kelompok kontrol lebih tinggi

dibandingkan skor pretes kelompok eksperimen, hal ini yang menyebabkan skor

tidak seimbang dan mempengaruhi hasil penelitian.

Selain matching problem yang mengancam selection pada validitas

internal, hal ini juga disebabkan dapat disebabkan oleh faktor lain yaitu

ketidakseimbangan latar belakang pendidikan subjek. Street (2006), mengatakan

bahwa tingkat pendidikan juga diketahui dapat mengancam extranous variabel

lainnya yaitu ancaman validitas eksternal berupa personological variabel.

Personological variabel merupakan interaksi antara perlakuan eksperimen dan

karakteristik subjek (Bracht & Glass, 1968 dalam Street, 2006). Contoh dari

personological variabel yaitu usia, ekstroversi-introversi, tingkat kecemasan,

karakter individu, tanggung jawab, pekerjaan, latar belakang pendidikan, dan

tingkat indenpendensi (Street, 2006).

Jika dilihat latar belakang pendidikan, DY memiliki tingkat pendidikan

yang lebih rendah dibandingkan peserta lainnya yaitu lulusan SMP. Selama

mengikuti pelatihan, jika diminta fasilitator untuk memberikan respon, DY tidak

banyak memberikan respon jawaban dan terkadang tidak menjawab pertanyaan

fasilitator. Selain itu, ketika pengerjaan lembar kerja DY juga terlihat


170

kebingungan, sehingga dibantu oleh observer dan subjek yang duduk disebelah

DY. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ebrahimi, dkk (2013),

yang mengatakan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi keberhasilan

seseorang untuk menerima pengetahuan terkait pengasuhan.

Selection yang terjadi pada penelitian ini juga berkaitan dengan atrisi atau

mortalitas. Atrisi atau mortalitas yaitu ancaman validitas yang disebabkan oleh

gugurnya subjek karena mundur atau hilang saat perlakuan maupun saat

pengukuran, sehingga dampak artifuktual gugurnya subjek tersebut secara

sistematis mempengaruhi hasil penelitian (Hastjarjo, 2011). Pada penelitian ini,

awalnya subjek yang bersedia untuk dijadikan kelompok eksperimen sebanyak

sembilan orang. Namun pada saat proses penelitian berlangsung, tiga orang

tersebut dinyatakan gugur karena satu orang tidak hadir sejak pertemuan pertama,

sedangkan dua orang lainnya tidak mengikuti pelatihan secara keseluruhan atau

hanya beberapa pertemuan.

Ketidakhadiran ketiga subjek tersebut disebabkan adanya kepentingan

yang tidak bisa ditinggalkan. Seperti halnya LS yang tidak mendapatkan izin dari

tempat bekerja, PN kondisi anak yang memiliki motivasi yang rendah untuk

datang ke sekolah, SR mengambil surat pengumuman kelulusan anak dan merasa

tidak perlu mengikuti pelatihan karena sebelumnya pernah mendapatkan seminar

parenting.

Kemudian pada kelompok kontrol, awalnya menyeleksi 10 subjek yang

dijadikan kelompok kontrol. Namun lima orang lainnya gugur karena hanya

terlibat dalam satu kali pengukuran yaitu prates. Hal ini disebabkan pengukuran
171

pasca bertepatan dengan agenda sekolah yang sedang mengadakan ujian sekolah

tingkat SD, sehingga siswa lainnya diliburkan. Selain itu, jadwal pengukuran juga

bertepatan dengan libur awal puasa, sehingga hanya lima dari sepuluh subjek yang

mengembalikan pengukuran pasca. Gugurnya subjek baik pada kelompok

eksperimen maupun kelompok kontrol mempengaruhi hasil pengukuran skor

resiliensi. Perubahan skor resiliensi, tidak hanya karena adanya pelatihan

prophetic parenting saja, melainkan dipengaruhi pula oleh subjek itu sendiri.

Selain disebabkan oleh ancaman validitas internal dan matching problem,

tidak terbuktinya penelitian ini juga disebabkan oleh jadwal pelaksanaan pelatihan

dan jarak pengukuran dari pascates 1 menunju pascates 2 yang terlalu singkat.

Pelatihan prophetic parenting ini dilakukan empat kali pertemuan dengan jeda

waktu yang tidak seimbang. Pertemuan satu dan dua dilakukan dua hari berturut-

turut, kemudian jeda selama dua hari karena akhir pekan. Kemudian dilanjutkan

pertemuan ketiga dan keempat yang dilakukan dua berturut-turut. Selama

pelatihan juga hanya diberikan satu penugasan rumah, padahal idealnya

penugasan rumah diberikan pada setiap pertemuan. Selain itu, jarak waktu

pengukuran pascates 1 ke pascates 2 singkat yaitu hanya 2 minggu. Hal ini

dikuatkan oleh pernyataan Street (2006), bahwa interaksi waktu pengukuran dan

efek perlakuan dapat mempengaruhi hasil penelitian.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Rutter (2013), bahwa resiliensi dilihat

sebagai proses bukan sebagai atribut tetap dari individu. Beberapa dari individu

akan menunjukkan kemampuan resiliensi di berbagai situasi, tetapi tidak dapat

diasumsikan pada kondisi protektif yang sama kaitannya dengan semua resiko.
172

Apalagi resiliensi merupakan konsep interaktif dan harus disimpulkan, sehingga

tidak dapat diukur secara langsung seolah-olah hal tersebut merupakan sifat

karakteristik. Hal ini sejalan dengan Uyun & Rumiani (2012), bahwa untuk

mengubah kemampuan resiliensi seseorang dengan memberikan perlakuan yang

diberikan dalam waktu yang relatif singkat merupakan hal yang tidak mudah,

sebab resiliensi merupakan aspek kepribadian yang relatif menetap. Sebagaimana

yang dikatakan oleh Agaibi dan Wilson (2005) bahwa resiliensi adalah pola

kepribadian atau kemampuan koping yang sudah terbentuk dalam waktu yang

lama. Oleh karena itu, resiliensi tidak dapat diubah hanya dalam waktu beberapa

minggu.

Meski secara statistik tidak terbukti secara signifikan dan hanya

memberikan pengaruh sementara terhadap perubahan skor resiliensi, namun

secara analisis kualitatif menunjukkan bahwa masing-masing subjek mampu

menunjukkan respon yang positif dan merasakan perubahan diri yang lebih baik

khususnya dalam mengasuh anak setelah mengikuti pelatihan prophetic

parenting. Setelah mengikuti pelatihan prophteic parenting, semua peserta

mengatakan mendapatkan wawasan baru mengenai mengasuh anak berkebutuhan

khusus.

Sejalan dengan Brookmman-Frazee (2004), bahwa program pendidikan

pengasuhan memiliki dampak positif pada orangtua yang memiliki anak

berkebutuhan khusus. Hal ini karena, menurut Neitzel dan Stright (2004),

pendidikan pengasuhan merupakan sumber kognitif yang penting untuk

membantu orangtua untuk terlibat dalam pengasuhan yang efektif. Kemudian


173

pendidikan pengasuhan yang secara umum mengacu pada “program atau

pelatihan” dirancang untuk memberikan pengetahuan dan mengajarkan

keterampilan mengasuh pada orangtua (Schultz, Schmidt, & Stichter, 2011).

Selain memperoleh wawasan dan keterampilan baru tentang pengasuhan,

Coleman dan Karraker (1998) juga menambahkan bahwa pendidikan pengasuhan

mampu membantu orangtua dalam mengembangkan self efficacy dalam

pengasuhan. Seperti yang dialami oleh NR, selain mendapatkan pengetahuan baru

tentang pengasuhan, NR juga mengaku lebih memahami menghadapi perilaku

anak dan cara menasihati anak dengan cara yang tepat.

Pelatihan prophetic parenting yang dilakukan dalam penelitian ini

menggunakan pendekatan spiritual terkait metode pengasuhan yang berbasis

Islami. Pengasuhan dalam pandangan Islam menekankan bahwa anak adalah

amanah dari Allah dan setiap orangtua memiliki pertanggungjawaban atas

pengasuhannya. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadist:

Rasulullah Shallallahu „alaihi wa Sallam bersabda, “Setiap kalian adalah


pemimpin dan setiap kalian adalah orang yang dimintai
pertanggungjawaban tentang orang-orang yang dipimpinnnya. Laki-laki
adalah pemimpin keluarganya, dia akan dimintai pertanggungjawaban
tentang orang-orang yang dipimpinnya. Seorang perempuan adalah
pemimpin di rumah suaminya. dia akan dimintai tanggung jawab tentang
orang-orang yang dipimpinnya. Seorang pelayan adalah pemimpin harta
tuannya. Dia akan dimintai pertanggung jawaban atas harta yang dia
urus. Maka tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan tiap-tiap kamu akan
ditanya kepemimpinannya” (HR.Al-Bukhari 893 dan Muslim 1829)

Pelatihan prophetic parenting juga mampu mengubah pandangan peserta

tentang mengasuh anak merupakan suatu bentuk ibadah kepada Allah.

Bahwasanya anak merupakan amanah yang Allah berikan dan orangtua memiliki
174

tanggung jawab untuk mengasuhnya. Poston dan Trunbull (2004) mengatakan

bahwa orangtua yang memiliki iman dan pandangan spiritual mampu memaknai

bahwa memiliki anak berkebutuhan khusus sebagai bentuk hadiah dari anak yang

dapat memberikan berkah dan ujian keimanan mereka. Sebagaimana yang

diungkapkan oleh ST, NR, RT, dan TK bahwa anak merupakan karunia dan

anugerah yang Allah berikan kepada mereka. Meski anak memiliki kekurangan

dan memiliki kondisi yang berbeda dengan anak normal lainnya, namun ST, NR

dan TK merasa bersyukur dan ikhlas, karena anak merupakan amanah dari Allah

sehingga memiliki tanggung jawab untuk tetap menjaga dan mengasuhnya dengan

benar.

Kurniawan dan Uyun (2013), juga mengatakan bahwa orangtua yang

mampu memaknai aspek kehidupan dengan spiritual akan memunculkan emosi-

emosi spiritual, seperti perasaan bersyukur, ketakjuban, kerendahan hati,

keyakinan, dan harapan tentang kehidupan anak. Kurniawan dan Uyun (2013)

menambahkan bahwa pengasuhan terhadap anak tidak hanya sebagai proses titik

balik psikologis dan sosial, namun juga sebagai proses sebuah sinyal spiritual.

Seperti yang dialami oleh SR mengaku merasa bersyukur, meski anak memiliki

kelemahan dalam berpikir yang cenderung lambat, namun anak masih diberikan

fisik yang sempurna dibandingkan murid-murid lainnya yang memiliki fisik yang

kurang sempurna.

Hal tersebut juga dirasakan oleh NR, setelah mengikuti pelatihan

prophetic parenting juga mampu membukakan hati NR untuk lebih bersyukur dan

meningkatkan kesabaran, karena masih ada orangtua lainnya yang memiliki anak
175

jauh lebih parah kondisinya dibandingkan anak NR. NR juga mengakui meski

anak memiliki kekurangan, namun anak tetap merupakan karunia yang Allah

berikan yang patut NR syukuri, sehingga dalam mengasuh anak NR

melakukannya dengan ikhlas.

Sama halnya yang dirasakan oleh RT mengaku lebih bisa menerima

kondisi anak dan membukakan pikiran bahwa anak adalah amanah dari Allah. RT

juga meyakini bahwa RT termasuk orangtua pilihan yang Allah percayai untuk

mengasuh anak berkebutuhan khusus. Begitu pula yang dirasakan oleh ST, ST

merasa bersyukur kepada Allah meski anak dilahirkan dalam kondisi

berkebutuhan khusus, namun anak bisa memberikan kenyamanan hati dalam

hidup ST. Disamping itu, pelatihan prophetic parenting ini juga mampu

membukakan hati ST untuk lebih bersyukur karena masih banyak anak

berkebutuhan khusus lainnya yang kondisinya lebih berat daripada yang ST

hadapi.

Sebelumnya ST juga sempat mengeluh merasa tidak mampu dan

menganggap bahwa mengasuh anak berkebutuhan khusus merupakan hal yang

berat. Namun setelah mengikuti pelatihan prophetic parenting, ST mengaku tidak

lagi merasa terbebani, justru kini ST merasa lebih ikhlas dan lebih memahami

kondisi anak. Meski ST sempat khawatir akan masa depan anak, namun ST tetap

menaruh keyakinan yang besar bahwa Allah akan memberikan jalan kemudahan

untuk berjuang membesarkan anak bungsunya yang berkebutuhan khusus. ST

selalu berusaha mendoakan yang terbaik untuk anak. Sama halnya yang dialami

oleh NR dan SR yang sempat mengaku tidak sanggup menghadapi perilaku anak
176

yang mudah emosi dan sulit untuk diarahkan. Namun setelah mengikuti pelatihan,

membuat NR dan SR tersadar bahwa mengasuh merupakan bentuk ibadah dan

harus lebih banyak bersabar serta meluruskan niat karena Allah. SR juga menaruh

keyakinan bahwa Allah akan mengatur rejeki anak, meski anak memiliki

kekurangan.

Orangtua yang memaknai pengasuhan sebagai bentuk ibadah dan

mengaharap ridho Allah, mampu membuat orangtua lebih resilien ketika

dihadapkan pada kesulitan pengasuhan. Hal ini menunjukkan bahwa spiritualitas

yang dimiliki oleh orangtua dengan anak berkebutuhan khusus, mampu

menumbuhkan kemurahan hati, gagasan tentang keadilan, kedamaian, cinta tanpa

bersyarat, pengampunan, mengembangkan resiliensi dan coping, serta

meningkatkan kesadaran relasional hubungan yang sehat dengan anak (Chang &

McConkey, 2008; Poston & Trunbull, 2004). Sejalan dengan Kurniawan dan

Uyun (2013), keyakinan spiritualitas yang dimiliki orangtua mampu memperbaiki

kondisi psikologis para orangtua untuk tidak mudah stres dan menyerah ketika

dihadapkan pada hambatan dalam pengasuhan. Hal ini karena orangtua yang

meluruskan niat pengasuhan demi mendapatkan ridho Allah, akan menunjukkan

kesungguhan dan mempersembahkan pengasuhan yang terbaik untuk anak

(Kurniawan & Uyun, 2013). Orangtua juga meyakini bahwa Allah akan meridhoi

dan merahmati setiap aktivitas pengasuhan yang dilakukannya dan meyakini

bahwa Allah tidak pernah memberikan kesulitan diluar batas kemampuan dan

kesanggupan manusia untuk mengatasi kesulitannya (Kurniawan & Uyun, 2013).


177

Sebagaimana pendapat Bogar dan Killacky (2006), yang mengatakan

bahwa keyakinan spiritual merupakan komponen penting bagi individu untuk

dapat bangkit kembali melewati masa-masa sulit. Keyakian spiritualitas mampu

membuat individu menerima dan meyakini bahwa kondisi yang terjadi merupakan

takdir Allah (Bogar & Killacky, 2006). Bashir, Khursid, dan Qardi (2014),

menambahkan bahwa keyakinan spiritualitas tidak hanya mampu membuat

orangtua menjadi resilien, namun juga mampu membawa perubahan sikap positif

bagi orangtua untuk lebih termotivasi mengatasi mekanisme saat dihadapkan pada

tantangan mengasuh anak berkebutuhan khusus. Tidak hanya itu, orangtua yang

termotivasi oleh keyakinan spiritual memiliki harapan dan mampu membingkai

ulang kehidupan dengan mengubah pandangan yang lebih positif terhadap

pengalaman memiliki anak berkebutuhan khusus (Kusar, Jevene, & Sobsey

2003),.

Penelitian yang dilakukan oleh Murray-Swank, Mahoney, dan Pargament

(2006), menemukan bahwa orangtua yang memandang pengasuhan sebagai salah

satu bentuk ibadah kepada Allah, mampu meningkatkan hubungan yang positif

dan lebih hangat terhadap anak. Selain itu, orangtua yang percaya bahwa

pengasuhan merupakan tanggung jawab dari Allah, mendorong seseorang untuk

melakukan praktik pengasuhan yang positif dan lebih konsisten, mengasuh

dengan hati nurani dan kasih sayang, serta menghindari kekerasan verbal

(Murray-Swank, Mahoney, & Pragment, 2006; Ellison & Bradshaw, 2009).

Sejalan dengan Kurniawan dan Uyun (2013), bahwa orangtua yang

memandang mengasuh sebagai kewajiban spiritual, mendorong orangtua untuk


178

lebih sabar dan menyayangi anak terutama dalam mengungkapkan persetujuan

untuk berperilaku yang pantas dan konsisten dalam memberikan pujian atas

perilaku-perilaku yang diinginkan. Orangtua yang memandang mengasuh sebagai

kewajiban spiritual berusaha untuk menghindari melakukan perilaku yang

mempermalukan atau mengancam anak, hanya untuk mengharapkan anak dapat

menampilkan perilaku yang pantas dan sesuai dengan kehendak orangtua.

Seperti yang dialami oleh NR, setelah mengikuti pelatihan prophetic

parenting mengaku lebih sayang terhadap anak, lebih sabar dan berusaha untuk

bersikap lembut dalam menghadapi emosi dan perilaku anak. Kedekatan NR

dengan anak juga semakin hangat hingga anak mengungkapkan rasa senang

terhadap perubahan perilaku NR yang lebih lembut. NR menyadari bahwa

memarahi dan mengancam anak justru membuat anak menjadi lebih marah dan

tidak dapat dikendalikan. NR semakin memahami bahwa untuk menasihati

anaknya yang berkebutuhan khusus, harus menggunakan cara yang lembut.

Sama halnya dengan TK yang mulai berusaha mengurangi memarahi anak.

TK juga menyadari bahwa anak lebih mudah diarahkan apabila TK menasihatinya

dengan cara yang lembut. TK juga menyadari bahwa orangtua tidak dapat

menuntut anak agar sesuai dengan kehendak TK. Begitu pula yang dialami DY

mengaku lebih sabar dan intensitas untuk memarahi anak menjadi berkurang.

Connor dan Davidson (2003), menambahkan bahwa individu yang resilien

mampu mengontrol emosi dikala situasi yang menekan dan lebih tenang dalam

membuat pemecahan masalah. Hal ini menunjukkan bahwa para subjek berusaha

untuk lebih sabar dan menghindari marah, karena mereka menyadari bahwa
179

dengan memarahi atau mengancam anak bukan cara yang efektif mengubah

perilaku anak. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadist:

Ada seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah: “Berilah aku wasiat.”


Beliau menjawab, “Engkau jangan marah!”. Orang itu mengulangi
permintaannya berulang-ulang, kemudian Rasulullah bersabda, “Engkau
jangan marah!” (HR Bukhari 6116)

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pelatihan prophetic parenting

tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penelitian ini. Pelatihan

prophetic parenting ini hanya memberikan pengaruh sementara pada kelompok

eksperimen yaitu hanya pada saat pascates 1 saja tindak sampai jangka waktu

yang lama (tindak lanjut). Meski secara statistik tidak signifikan, namun secara

analisis kualitatif menunjukkan bahwa masing-masing subjek kelompok

eksperimen mengalami perubahan yang positif dan memperoleh manfaat yang

positif setelah mengikuti pelatihan baik secara emosi, kognitif, perilaku, dan

spiritual.

E. Evaluasi

Secara umum, pelatihan prophetic parenting dapat berjalan dengan baik,

meski mengalami beberapa hambatan. Kelebihan dari penelitian ini adalah kedua

fasilitator cukup menguasai pelatihan prophetic parenting, sehingga dapat

memberikan penjelasan materi dengan baik dan banyak melakukan interaktif

dengan peserta. Fasilitator juga mampu memahami respon yang ditunjukkan oleh

peserta selama proses kegiatan pelatihan berlangsung. Fasilitator juga mampu


180

mengapresiasi hal-hal yang telah dilakukan oleh subjek. Selain itu, fasilitator

mampu menyampaikan materi secara jelas dengan memberikan contoh kasus yang

sering terjadi di kehidupan sehari-hari. Hanya saja, pada fasilitator yang mengisi

pertemuan pertama dan kedua, dalam penyampaiannya masih menggunakan

istilah-istilah yang kurang dipahami oleh peserta. Pengamat juga dinilai baik

dalam melakukan peran mengamati peserta dan tanggap terhadap kebutuhan

fasilitator maupun peserta.

Jika mengevaluasi selama proses pelatihan berlangsung, pelatihan sempat

mengalami beberapa kendala terkait waktu dan tempat. Sebelum pelaksanaan

pelatihan dilakukan, sempat terjadi kesalahpahaman antara peneliti dan pihak

sekolah terkait waktu. Jadwal pelatihan yang telah disepakati antara peneliti dan

pihak sekolah ternyata bertepatan dengan pelaksanaan ujian sekolah, sehingga

pihak sekolah meliburkan siswa lainnya selama satu minggu. Hal ini

menyebabkan pelaksanaan pelatihan prophetic parenting tertunda selama satu

minggu.

Kemudian pada pertemuan ketiga, terjadi kesalahpahaman dengan taksi

online yang mengantar fasilitator pada tujuan yang salah, sehingga waktu

pelaksanaan tertunda selama 45 menit. Disamping itu, terjadi kembali

kesalahpahaman dengan pihak sekolah yakni pihak sekolah memberikan izin pada

mahasiswa lain untuk melakukan kegiatan yang serupa dengan jadwal dan

undangan orangtua yang sama. Hal ini menyebabkan kebingungan bagi peneliti

dan peserta. Namun setelah peneliti konfirmasi kembali pada pihak yang terkait,
181

hambatan tersebut dapat teratasi. Peserta juga bersedia dan berkomitmen untuk

mengikuti pertemuan terakhir pelatihan prophetic parenting.

Sementara pada pertemuan keempat, terjadi kendala terkait tempat dan

fasilitas. Awalnya pihak sekolah menyediakan ruang UKS untuk digunakan

kagiatan pelatihan. Namun karena kapasitas ruangan yang tidak memungkinkan

dengan jumlah peserta yang terlibat, sehingga peneliti mengajukan untuk

menggunakan ruang lain yaitu ruang kelas baru. Meski ruang tersebut hanya

terdapat kursi dan beberapa meja, namun pertemuan keempat dapat berjalan

dengan lancar.

Pada kelompok kontrol, awalnya berjumlah 10 orang, namun lima orang

lainnya dianggap gugur karena hanya terlibat dalam satu kali pengukuran yakni

prates. Peneliti juga awalnya akan melakukan waiting list pada kelompok kontrol

agar mendapatkan pelatihan prophetic parenting. Namun dikarenakan adanya

kegiatan ujian sekolah dan libur awal puasa, sedangkan siswa lain diliburkan,

sehingga hal tersebut tidak dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, peneliti

memberikan psikoedukasi dan ringkasan materi tentang prophetic parenting

secara individual dengan mengunjungi rumah masing-masing subjek sebagai

pengganti dari pelatihan prophetic parenting.

Kelemahan dalam penelitian ini adalah kurang mempertimbangkan

batasan latar belakang pendidikan dengan tepat. Padahal mempertimbangkan

standar pendidikan subjek penting untuk dilakukan karena latar pendidikan

mempengaruhi seseorang untuk dapat menerima dan memahami materi pelatihan

yang disampaikan. Dalam penelitian ini, peneliti menentukan subjek dengan


182

batasan pendidikan minimal SMP, sedangkan latar belakang pendidikan yang

dimiliki oleh masing-masing subjek tidak seimbang. Hal ini ditunjukkan dengan

adanya satu orang subjek yang memiliki latar belakang pendidikan SMP,

sementara sebagian subjek lainnya memiliki latar belakang pendidikan SMA,

sehingga berdampak pula pada kemampuan subjek untuk memahami dan

menerima materi yang disampaikan.

Kemudian penelitian ini juga tidak memberikan variabel kontrol dan

mengontrol data demografik setelah dilakukan survey pilot. Hal ini menyebabkan

munculnya variabel extraneous yang tidak dapat dikendalikan oleh peneliti.

Dampaknya muncul berbagai ancaman validitas internal seperti history, selection

interaction, atrisi atau mortalitas,maturation, dan selection yang mempengaruhi

hasil penelitian. Ancaman tersebut seperti kondisi faktor resiko yang dialami

masing-masing subjek berbeda, adanya interaksi subjek kelompok kontrol dengan

walimurid lainnya selama proses penelitian, problem matching dalam pembagian

kelompok, dan gugurnya subjek baik pada kelompok eksperimen dan kelompok

kontrol, sehingga kelompok menjadi tidak seimbang dan mempengaruhi hasil

penelitian.

Kelemahan lain dari penelitian ini adalah jarak pengukuran pascates 1

menuju pascates 2 yang terlalu singkat yakni hanya dua minggu. Kemudian jarak

waktu pelaksanaan yang terlalu dekat pada setiap pertemuan, sehingga tidak

adanya tugas rumah di setiap pertemuan sebagai evaluasi dari pelatihan prophetic

parenting. Padahal untuk mengubah seseorang menjadi resilien dengan

memberikan perlakuan dalam waktu yang singkat tidaklah mudah. Hal ini karena
183

resiliensi merupakan proses bukan sebagai atribut yang menetap, sehingga tidak

dapat berubah dalam jangka waktu yang singkat yaitu hanya dalam hitungan

beberapa minggu.

Selain itu, terdapat banyak kekurangan dan kelemahan pada modul

pelatihan prophetic parenting, yakni terlalu banyak materi yang disampaikan

dibandingkan simulasi, sehingga menyebabkan kurang efektif. Hal ini juga

berkaitan dengan kriteria latar belakang pendidikan subjek yang mempengaruhi

paham atau tidaknya materi yang disampaikan. Selain itu, pada pelatihan

prophetic parenting ini ayah tidak dapat ikut berpartisipasi. Hal ini dikarenakan

kesibukan dan kesediaan waktu ayah dari anak berkebutuhan khusus tunagrahita

tidak memungkinkan untuk mengikuti pelatihan prophetic parenting di pagi hari.

Padahal keterlibatan ayah juga memberikan pengaruh praktik pengasuhan yang

lebih positif dan dapat saling memberikan dukungan pada ibu dari anak yang

berkebutuhan khusus.
BAB V

KESMIMPULAN DAN SARAN

F. Kesimpulan

Pelatihan prophetic parenting pada penelitian ini tidak memberikan

perubahan yang signifikan terhadap peningkatan resiliensi orangtua dalam

mengasuh anak berkebutuhan khusus (tunagrahita). Desain penelitian ini tidak

memberikan efek karena tidak mengontrol kelompok kontrol dengan baik,

sehingga menyebabkan problem matching yang berawal dari skor prates pada

kelompok kontrol lebih tinggi dibandingkan kelompok eksperimen. Pelatihan

prophetic parenting ini juga tidak memberikan pengaruh dalam waktu jangka

yang panjang. Hal ini terbukti jika mengabaikan skor pascates 2 (follow up), maka

efek pelatihan menjadi signifikan.

Adapun beberapa faktor yang menyebabkan perlakuan tidak memberikan

pengaruh dalam penelitian ini yaitu adanya extraneous variabel yang mengancam

validitas internal berupa kondisi atau faktor lain yang tidak dapat dikontrol oleh

peneliti (history), matching problem (selection), dan gugurnya subjek (atrisi atau

moralitas). Selain itu, faktor socio-kontekstual yang berkaitan dengan kemunculan

resiliensi serta konsep resiliensi sebagai pola kepribadian yang relatif tidak,

sehingga dapat diubah dalam waktu yang singkat.

Meski pelatihan prophetic parenting tidak memberikan pengaruh jangka

waktu yang panjang terhadap peningkatan skor resiliensi pada semua subjek,

184
185

namun secara analisis kualitatif para subjek merasa memperoleh manfaat yang

positif dan mengalami perubahan diri yang lebih baik setelah mengikuti pelatihan

prophetic parenting. Terutama terkait emosi, pikiran, perilaku, dan spiritual

tentang mengasuh anak berkebutuhan khusus.

G. Saran

Tidak terbuktinya hasil penelitian ini, memberikan banyak evaluasi

terhadap kekurangan yang perlu dijadikan pertimbangan dan masukkan untuk

penelitian selanjutnya, subjek penelitian, dan pihak sekolah. berdasarkan

pelaksanaan dan evaluasi pada penelitian ini ada beberapa saran diantaranya:

1. Subjek penelitian (Orangtua dari anak berkebutuhan khusus tunagrahita)

Subjek diharapkan dapat menerapkan hal-hal yang diperoleh selama

mengikuti pelatihan prophetic parenting dalam kehidupan sehari-hari. hal ini

perlu dilakukan agar proses praktik pengasuhan lebih positif dan meminimalkan

terjadinya stres dalam pengasuhan. Selain itu, subjek juga diharapkan dalam

menjalankan praktik pengasuhan perlu melibatkan peran suami atau ayah. Hal ini

karena keterlibatan ayah dalam pengasuhan memberikan kontribusi yang penting

terhadap perkembangan anak berkebutuhan khusus. Perlu juga bagi subjek untuk

menyepakati pengasuhan yang akan dilakukan bersama suami agar pengasuhan

lebih konsisten.

Subjek juga diharapkan selalu melibatkan Allah dalam pengasuhan dan

meluruskan niat bahwa mengasuh anak hanya semata ingin mendapatkan rahmat
186

dari Allah. Hal ini karena pengasuhan yang dilakukan oleh orangtua akan

dimintai pertanggung jawaban.

2. Pihak sekolah

Pihak sekolah diharapkan dapat mengadakan pertemuan rutin antar

walimurid dengan agenda memberikan psikoedukasi atau pelatihan pengasuhan

anak berkebutuhan khusus. hal ini dikarenakan selain untuk menambah wawasan

para walimurid, tetapi juga untuk memberikan dukungan dan pemecahan masalah

dalam menghadapi hambatan pengasuhan. Selain itu, pihak sekolah juga

diharapkan memperjelas alur atau SOP melakukan penelitian untuk mahasiswa.

Hal ini bertujuan untuk mempermudah koordinasi antara guru yang bertanggung

jawab dan mahsiswa yang melakukan penelitian. Selain itu, pihak sekolah juga

diharapkan dapat meningkatan koordinasi antara pihak yang bertanggung jawab

mengarahkan mahasiswa penelitian dan pihak yang memberikan izin. Hal ini

bertujuan untuk meminimalkan terjadinya kesalahpahaman atau tumpang tindih

jadwal penelitian dengan mahasiswa lain.

3. Penelitian selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat mempertimbangkan

pembagian kelompok dengan metode matching. Hal ini bertujuan agar dalam

pembagian kelompok eksperimen dan kelompok kontrol memiliki skor yang

seimbang, sehingga dapat meminimalisir terjadinya ancaman validitas internal.

Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan variabel kontrol dan
187

mengontrol data demografik, setelah dilakukan pilot survey. Kemudian peneliti

selanjutnya juga diharapkan perlu mengoptimalkan dalam menjaring subjek serta

memastikan kembali hal-hal yang dapat menimbulkan bias atau faktor penganggu

lain yang mengancam validitas internal dalam penelitian. Selain itu, kriteria

subjek juga perlu dipertimbangan terutama terkait latar belakang pendidikan. Hal

ini dapat mempengaruhi kemampuan subjek untuk menerima dan memahami

infromasi maupun materi pelatihan yang diberikan. Peneliti selanjutnya

diharapkan dapat melibatkan ayah atau pasangan subjek penelitian untuk terlibat

dalam pelatihan pengasuhan. Hal ini karena keterlibatan ayah dalam pengasuhan

memiliki kontribusi yang penting bagi perkembangan anak.

Modul dalam penelitian ini merupakan modul pendahuluan yang dibuat

sendiri oleh peneliti, sehingga memiliki banyak kekurangan yang perlu diperbaiki

dan dievaluasi lebih lanjut. Adapun beberapa masukan bagi peneliti selanjutnya

terhadap modul pelatihan prophetic parenting. Perlu menyempurnakan modul

pelaksanaan, terutama terkait jarak waktu pelaksanaan dan keseimbangan materi

yang diberikan. Modul pelatihan prophetic parenting dalam penelitian ini terlalu

banyak sesi pemberian materi dibandingkan simulasi atau roleplay, sehingga bagi

peneliti selanjutnya dapat menambahkan beberapa simulasi atau roleplay yang

nantinya dapat dipraktekan oleh subjek. Kemudian pemberian tugas rumah dapat

dibuat lebih praktis dan informatif seperti diberi contoh dan petunjuk pengerjaan,

sehingga tidak memunculkan kebingungan bagi subjek.

Selain itu, perlu juga memperhatikan jeda waktu pelaksanaan pelatihan.

Pertemuan minimal dilakukan seminggu dua kali atau seminggu sekali, agar
188

dapat dilakukan pemberian tugas rumah untuk mengevaluasi perubahan yang

telah dilakukan. Hal ini karena resiliensi adalah variabel yang dilihat sebagai

proses bukan sebagai atribut tetap, sehingga seseorang membutuhkan waktu

untuk berproses menjadi resilien.


189

DAFTAR PUSTAKA

Agaibi, C. E., & Wilson, J. P. (2005). Trauma, PTSD, and resilience: A review of
the literature. Trauma, Violence, and Abuse, 6, 195-216.

Ahern, N. R. (2006). Adolescent resilience: An evolutionary concept analysis.


Journal of Pediatric Nursing, 21, 175-185

Al-„Adawy, A. A. (2009). Fiqih pendidikan anak. Jakarta: Qisthi Press.

Aldosari, M. S. & Pufpaff, L. A.(2014). Sources of stress among parents of


children with intellectual disabilities: a preliminary investigation in saudi
arabia. The Journal Of Special Education Apprenticeship, 3 (1)

Azwar, S. (2004). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Offset.

Baker, J., & Fenning, R. M. (2007). Prediction of social skills in 6 year old
children without development delays. American Journal of Intellectual &
Developmental Disability, 112, 375-91. http://dx.doi.org/10.1352/0895-
8017(2007)112[0375:POSSIY]2.0.CO;2

Barnett,D., Clements, M., Kaplan-Estrin, M.,& Fialka, J.(2003). Building new


dreams supporting parents‟ adaptation to their child with special needs.
Infants and Young Children,16 (3), 184–200

Bashir, Α., Khursid, Α., & Qadri, F. (2014). Awareness and Problems of Parents
of Children with Autism Spectrum Disorders. International Journal of
Interdisciplinary Research and Innovations, 2 (2), 42-48.

Baumrind, D. (1971). Current patterns of parental authority. Developmental


Psychology, 4 (1), 1-103.ISSN: 0012-1649. doi: 10.1037/h0030372

Biesinger, R., & Arikawa, H. (2007). Religious attitude and happiness among
parents of children with developmental disabilities. Journal of Religion,
Disability & Health, 11, 23–32.

Bogar, C. B. & Killacky, D. H. (2006). Resiliency Determinants And Resiliency


Processes Among Female Adult Survivors Of Childhood Sexual Abuse.
Journal of Counseling & Development, 86, 318-328

Bonanno, G. A., Galea, S., Bucciarelli, A., & Vlahov, D. (2007). What predicts
psychological resilience after disaster? The role of demographics,
190

resources, and life stress. Journal of Consulting and Clinical Psychology,


75 (5), 671-682
Brookman-Frazee, L. (2004). Using parent/clinician partnerships in parent
education programs for children with autism. Journal of Positive Behavior
Interventions, 6, 195–213. doi: 10.1177/10983007040060040201

Brooks, J. (2011). The process of parenting. 8th Edition. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Ceka, A., & Murati, R. (2016). The role of parents in the education of children.
Journal of Education and Practice, 7 (5).

Chang, B., A.E. Noonan & S.L. Tennstedt (1998). The role of religion/spirituality
in coping with caregiving for disabled elders. The Gerontologist, 38(4),
463–70.

Chang, M., & McConkey, R. (2008). The perceptions and experiences of


Taiwanese Parents who have children with an intellectual disability.
International Journal of Disability, Development and Education, 55, 27–
41.

Coleman, P. K., & Karraker, K. H. (1998). Self-efficacy and parenting quality:


Findings and future applications. Developmental Review, 18, 47–85.

Connor, K. M & Davidson, J. R. T. (2003). Development of a new resilience


scale: The Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC). Depression and
Anxiety, 18, 76-82

Daire, A.P., Munyon, M. D., Carlson, R. G., Kimemia, M., & Mitcham, M.
(2011). Examining distress of parents of children with and without special
needs. Journal of Mental Health Counseling, 33 (2)

Daniel, B. (2010). Concepts of adversity, risk, vulnerability and resilience: a


discussion in the context of the „child protection system. Social Policy &
Society 9:2, 231–241

Davis, N, O, & Carter, A, S. (2008). Parenting stress in mothers and fathers of


toddlers with autism spectrum disorders: associations with child
characteristic. Journal Autism Dev Disorder, 38, 1278-1291

Dean, C., Myors, K., & Evans, E. (2003). Community wide implimintation of a
parenting program: the south east sydney positive parenting project.
Australian e journal for the advancement of mental health, 2, 154-171
191

Desiningrum, D. R. (2016). Psikologi anak berkebutuhan khusus. Yogyakarta:


Psikosain.

Dong, F., C. Nelson., S. Shah-Haque., Ahsan Khan., & Elizabeth, A. (2013). A


modified cd-risc: including previously unaccounted for resilience
variables. Kansas Journal of Medicine, 6 (1), 11-20

Ebrahimi, H., Malek, A., Babapoor, J., & Abdorrahmani, N. (2013).


Empowerment of mothers in raising and caring of child with autism
spectrum disorder. International Research Journal of Applied and Basic
Sciences, 4, 3109 –3113.

Eley, D. S., Cloninger, C. R., Walters, L. Laurence, C., Synnott, R., & Wilkinson,
D. (2013), The relationship between resilience and personality traits in
doctors: implications for enhancing well being. Peer Journal 1, 216; DOI
10.7717/peerj.216

Ellingsen, R., Baker, B. L., Blacher, J., & Crnic, K. (2014). Resilient parenting of
children at developmental risk across middle childhood. Research in
Developmental Disabilities, 35.

Ellison CG, Bradshaw M: Religious beliefs, sociopolitical ideology, and attitudes


toward corporal punishment. Journal Family Issues, 30, 320-340. doi
10.1177/ 0192513X08326331

Fox, L., Vaughn, B. J., Wyatte, M. L., & Dunlap, G. (2002). “We can‟t expect
other people to understand”: Family perspectives on problem behavior.
Exceptional Children, 68, 437–450

Grotberg, E. H. (1999). Tapping Your Inner Strenght: How To Find The


Resilience to Deal With Anything. Canada: New Harbinger Publications

Gunarsa, S. D., & Gunarsa, Y. S. D. (2004). Psikologi praktis: Anak, remaja, dan
keluarga. Jakarta: Gunung Mulia

Habib, H. A., Jameel, S., & Fazzal, S.(2015). Psychological distress of parents of
children with down syndrome. Scientice International(Lahore), 27(4).

Hamdan, A. (2010). A comprehensive contemplative approach from the Islamic


Tradition. In T. Plante (Ed.), Contemplative practices in action:
Spirituality, meditation, and health (pp. 122–142). Santa Barbara: Praeger

Hastjarjo, T. D. (2011). Validitas Eksperimen. Buletin Psikologi, 19 (2), 70-80.


192

He, F., Cao, R., Feng, Z., Guan, H., & Peng, J. (2013). The impacts of
dispositional optimism and psychological resilience on the subjective well-
being of burn patients: A structural equation modelling analysis. Journal of
PLOS ONE, 8.
Heiman, T. (2002). Parents of children with disabilities: resilience, coping, and
future expectations. Journal of Developmental and Physical Disabilities,
14,.( 2)

Henry, H. M. (2013). Spiritual energy of Islamic prayers as a catalyst for


psychotherapy. Journal religious Health. DOI 10.1007/s10943-013-9780-
4

Herman H, Stewart DE, Diaz-Granados N, Berger EL, Jackson B, & Yuen T.


(2011). What is resilience?. The Canadian Journal of Psychiatry, 56 :
258–265.

Heward, W. L. (2003). Exceptional Children An introduction to Special


Education. New Jersey: Merrill, Prentice Hall.

Hidayati, F. (2013). Pengaruh pelatihan “pengasuhan ibu cerdas” terhadap stres


pengasuhan pada ibu dari anak autis. Jurnal Psikoislamika, 10 (1)

Hill, M ; Stafford, A; Ross, N; & Daniel, B. (2007). Parenting and resilience.


New York: Joseph Rowntree Foundation

Howell, A., Hauser-Cram, P., & Kersh, J. (2007). Setting the Stage: Early child
and family characteristics as predictors of later loneliness in children with
developmental disabilities. American Journal on Mental Retardation, 112,
18–30.

Jowkar B, Friborg O, Hjemdal O. (2010). Cross-cultural validation of the


Resilience Scale for Adults (RSA) in Iran. Scandinavian Journal of
Psychology 51(5)

Kalil, A. (2003). Family resilience and good child outcomes: A review of the
literature. Wellington: The Ministry of Social Development.

Kaur, H. (2015). Resilience among the parent of children with intellectual


disabilities. Journal of Health and Wellbeing, 6 (10), 1033-1036
193

Kausar, S., Jevne, R., & Sobesy, D. (2003). Hope in families of children with
developmental disabilities. Journal on Developmental Disabilities, 10, 35–
45.

Kausar, S., Jevne, R., & Sobesy, D. (2003). Hope in families of children with
developmental disabilities. Journal on Developmental Disabilities, 10, 35–
45.

Kazdin, A. E. & Whitley, M. K. (2003). Treatment of parental stress to enhance


therapeutic change among children referred for agressive and antisocial
behavior. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 71, 504-515

Kurniawan, I. N, & Uyun, Q. (2013). Penurunan stres pengasuhan orang tua dan
disfungsi interaksi orang tua-anak melalui pendidikan pengasuhan versi
pendekatan spiritual (PP-VPS). Jurnal Intervensi Psikologi, 5 (1)

Kurniawan, Y. (2015). Terapi kelompok pendukung untuk meningkatkan


resiliensi pada orangtua pasien talasemia. Tesis (tidak diterbitkan).
Yogyakarta: UII.

Latipun. (2006). Psikologi eksperimen. Malang: UMM Pres

Lestari, F. A., & Mariyati, L. I. (2015). Resiliensi ibu yang memiliki anak down
syndrome di sidoarjo. PSIKOLOGIA, 3 (1)

Lin, S. (2000). Coping and adaptation in families of children with cerebral palsy.
Exceptional Children, 66, 201–218.

Linley, P. A., & Joseph, S. (2004). Positive change following trauma and
adversity: A review. Journal of Traumatic Stress, 17 (1) ,

Mahoney, A., Pargament, K. I., Murray- Swank, A., & Murray-Swank, N (2003).
Religion and sanctification of family relationships. Review of Religious
Research, 4, 220-236. DOI: 10.2307/3512384

Mahoney, A., Pargament, K. I., Tarakeshwar, N., & Murray-Swank, A (2008).


Religion in the home in the 1980s and 1990s: a meta-analytic review and
conceptual analysis of links between religion, marriage, and parenting.
Psychology of Religion and Spirituality, 5 (1).

Mak, W. W. S., Ng, I. S. W., & Wong, C. C. Y. (2011). Resilience: Enhancing


well-being through the positive cognitive triad. Journal of Counseling
Psychology, 58, 610-617. doi:10.1037/a0025195

Mangunsong, F. (2014). Psikologi dan pendidikan anak berkebutuhan khusus.


Depok: LPSP3 UI
194

McAllister, M., & McKinnon J. (2009). The importance of teaching and learning
resilience in the health disciplines: a critical review of the literature. Nurse
Education Today 29:371–379
McConnel, D., dan Savage, A. (2015). Stress and resilience among families caring
for children with intellectual disability: expanding the research agenda.
Curr Dev Disord Rep. DOI 10.1007/s40474-015-0040-z

Min-Chiang, H. (2013). A parent education program for parents of chinese


american children with autism spectrum disorders (asds): A pilot study.
Focus on Autism and Other Developmental Disabilities, 20 (10), 1-7

Moawad, G. E. N. A. (2012). Coping strategies of mothers having children with


special needs. Journal of Biology, Agriculture and Healthcare, 2 (8).

Mulcahy H and Savage E (2016) Uncertainty: a little bit not sure. Parental
concern about child growth or development. Journal of Child Health Care
20(3): 333–343

Murphey, D., Barry, M., & Vaughn, B. (2013). Positive mental health: Resiliensi.
Adolescent Health Highlight.

Murray-Swank, N. A., Mahoney, A., & Pargament, K. I. ( 2 0 0 6 ) .


Sanctification of parenting: Influences on corporal punishment and
warmth by liberal and conservative Christian mothers. The International
Journal of the Psychology of Religion, 16, 271- 287.

Myers & Hansen. (2006). Experimental psychology. USA: Wadsworth, Inc.

Neitzel, C., & Stright, A. D. (2004). Parenting behaviours during child problem
solving: The roles of child temperament, mother education and personality
and the problem-solving context. International Journal of Behavioral
Development, 28, 166–179.

Noltemeyer, A. L & Bush, K. R. (2013). Adversity and resilience: A synthesis of


international research. School Psychology International, 34(5), 474-487.
doi: 10.1177/0143034312472758

Norlin, D., & Broberg, M. (2013). Parents of children with and without intelectual
disability: couple relationship and individual well-being. Journal of
Disability and Rehabilitation, 57 (6), 552-566.

Pakenham, K. L., Sofronoff, K., & Samios, C. (2004). Finding meaning in


parenting a child with Asperger syndrome: correlates of sense making and
benefit finding. Research in Developmental Disabilities, 25, 245–264.
195

Pallant, J. (2010). SPSS survival manual: A step by step guide to data analysis
using SPSS, 4th Edition. Australia: Allen & Unwin Book Publishers, Inc

Pamungkas, A. (2015). Pelatihan keterampilan pengasuhan autis untuk


menurunkan stres pengasuhan pada ibu dengan anak autis. Emphaty, 3 (1).

Pandya, S. P. (2017). Spirituality and parents of children with disability: views of


practitioners. Journal of Disability & Religion, 21(1), 64-83, DOI:
10.1080/23312521.2016.1270178

Patterson, J. M. (2002) Integrating family resilience and family stress theory.


Journal Marital Family.;64(2):349–60.

Phelps, K. W., McCammon, S. L., Wuensch, K. L., Golden, J. A. (2014).


Enrichment, stress, and growth from parenting an individual with an
autism spectrum disorder. Journal of Intellectual and Developmental
Disability, 34 (2), 133-141

Pinheiro, M. R., & Matos, A. P. (2013). Exploring the construct validity of the
two versions of the Resilience Scale in an Portuguese adolescent sample.
The European Journal of Social & Behavioural Sciences.

Poston, D. J., & Turnbull, A. P. (2004). Role of spirituality of religion in family


quality of life for families of children with disabilities. Education and
Training in Developmental Disabilities, 39 (2), 95–108.

Pouretemad, H. R., Khooshabi, K., Roshanbin, M., & Jadidi, M. (2009). The
effectiveness of group positive parenting program on parental stress of
mothers of children with attention-deficit/hyperactivity disorder. Archives of
Iranian Medicine, 12 (1), 60-68

Preece, D., & Trajkovski, V. (2017). Parent education in autism spectrum disorder
– a review of the literature. Equity and Social Inclusion Through Positive
Parenting, 53.

Rachmayanti, S., & Zulkaida, A., (2007). Penerimaan diri orangtua terhadap anak
autis dan peranannya dalam terapi autisme. Jurnal Psikologi.1 (1). 7-17.

Reivich, K & Shatte, A. (2002). The resilience factor: Seven essential skills for
overcoming life's hurdles. New York: Three Rivers Press

Ross, S. M., & Morrison, G. R. (2014). Eksperimental research methods.


196

Rovers, M., & Kocum, L. (2010). Development of a holistic model of spirituality.


Journal of Spirituality in Mental Health, 12, 2–24

Rutter, M. (2013). Resilience as dynamic concept. Development and


Psychopathology 24 (2012), 335–344. doi:10.1017/S0954579412000028
Sanders, M. R. (1999). The Triple P-Positive parenting programme: towards an
empirically validated multilevel parenting and family support strategy for
the prevention of behavior and emotional problems in children. Clinical
Child and Family Psychology Review, 2, 71–90.

Sanders, M. R., Cann, W., & Markie-Dadds, C. (2003). The triple p-positive
parenting programme: a universal population-level approach to the
prevention of child abuse. Child Abuse Review ,12, 155–171

Santoso. (2005). Metodologi penelitian kuantitatf dan kualitatif. Jakarta: Prestasi


Pustaka.

Santrock, J. W. (2007). Perkembangan anak, Jilid 2. Jakarta: Erlangga

Schultz, T. R., Schmidt, C. T., & Stichter, J. P. (2011). A review of parent


education programs for parents of children with autism spectrum
disorders. Focus on Autism and Other Developmental Disabilities, 26, 96–
104. doi:10.1177/1088357610397346

Scorgie, A., & Sobsey. B. (2000). Roecher Institute beyond the limits. Mothers
caring for children with disabilities. Children and Family Series, North
York, Canada: Rocher Institute.

Shihab, Q. (1994). Lentera Hati: Kisah dan hikmah kehidupan. Bandung: Mizan.

Shonkoff, J.P & Meisell, S. J. (2000). Handbook of early childhood intervention


2nd Edition. United Kingdom: Cambridge University Press.

Sinha, D., Verma, N., & Hershe, D. (2016). A comparative study of parenting
styles, parental stress and resilience among parents of children having
autism spectrum disorder, parents of children having specific learning
disorder and parents of children not diagnosed with any psychiatric disorder.
Annals of International Medical and Dental Research, 2

Skinner, E., Johnson, S., & Snyder, T. (2005). Six dimensions of parenting: A
motivational model. Parenting: Science And Practice, 5(2)

Slack, M. K., & Draugalis, J. R. (2001). Establishing the internal and external
validity of experimental studies. Am Journal Health-System Pharm, 58
(15), 2173-2181
197

Smith, R. M. (2002). Academic engagement of high school students with


significance disabilities: A competent-oriented interpretation
(Unpublished master‟s thesis).Syracuse University, New York.

Street, D. L. (2006). Controlling extraneous variables in experimental research: a


research note. Accounting Education: An International Journal, 4 (2), 169-
188, Doi:10.1080/09639289500000020

Suryani & Hendryadi. (2015). Metode riset kuantitatif: teori dan aplikasi pada
penelitian bidang manajeman dan ekonomi islam. Jakarta: Kencana.

Suwaid, M. N. A. H. (2010). Prophetic parenting: Cara Nabi Saw mendidik anak.


Yogyakarta: Pro U Media.

Thawala, S. K., Ntinda, K., & Hlanze, B. (2015). Lived experiences of parents‟ of
children with disabilities in swaziland. Journal of Education and Training
Studies, 3 (4)

Uyun, Q., & Rumiani. (2012). Sabar dan shalat sebagai model untuk
meningkatkan resiliensi di daerah bencana, yogyakarta. Jurnal Intervensi
Psikologi, 4 (2), 253-267.

Wagnild GM, Collins JA. (2009). Assessing resilience. Journal Psychosocial


Nurse Mental Health Service, 47 (12), 28-33

Wagnild, G. M. (2003). Resilience and successful aging: Comparison among low


and high income older adults. Journal of Gerontological Nursing, 29, 42-
49.

Watts, F. (2001). Prayer and psychology. In F. Watts (Ed.), Perspective on prayer


(pp. 39–52). Chippenham:Rowe.

Werner, E. (1992). The children of Kauai: Resiliency and recovery in adolescence


and adulthood. Journal of Adolescent Health, 13, 262–268.

Whitingham, K., Sofronoff, K., Sheffield, J., & Sanders, M. R. (2009). Stepping
stones tirple P: An RCT of a parenting program with parents of a child
diagnosis with an autism spectrum disorder. Journal Abnormal Child
Psychology, 37, 469-480

Widhiarso, W. (2011). Aplikasi Anava Campuran untuk Desain Eksperimen Pre-


Post Test Design. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada:
Yogyakarta
198

Wijaya, Y. D. (2015). Positive parenting program (Triple P) sebagai usaha untuk


menurunkan pengasuhan disfungsional pada orangua yang mempunyai
anak berkebutuhan khusus (dengan diagnosa autis dan ADHD). Jurnal
Psikologi, 13(1)

Williams, P., & Piamjariyakul, U. (2010). Developmental disabilities: Effects on


well siblings. Issues in Comprehensive Pediatric Nursing, 33, 39–55.
199

LAMPIRAN
200

UJI VALIDITAS DAN REABILITAS


Tabel Reabilitas
Reliability Statistics

Cronbach's
Alpha Based on
Cronbach's Standardized
Alpha Items N of Items

.878 .880 25

Tabel koefisien validitas


Item-Total Statistics

Cronbach's
Scale Mean if Scale Variance if Corrected Item- Squared Multiple Alpha if Item
Item Deleted Item Deleted Total Correlation Correlation Deleted

R1 95.0597 141.602 .337 .667 .876

R2 94.5821 141.641 .479 .632 .873

R3 94.3134 146.128 .263 .385 .877

R4 95.3731 135.450 .551 .533 .870

R5 95.0000 136.212 .516 .626 .871

R6 95.7612 140.942 .312 .560 .876

R7 94.7910 138.107 .505 .514 .872

R8 94.8657 138.845 .486 .669 .872

R9 95.4627 131.919 .524 .599 .871

R10 95.1045 141.368 .262 .471 .878

R11 96.1045 140.913 .294 .661 .877

R12 95.5970 136.850 .482 .537 .872

R13 95.5821 139.853 .257 .423 .879

R14 95.6119 133.241 .522 .635 .871

R15 95.0000 137.758 .494 .588 .872

R16 95.1791 128.422 .756 .780 .863

R17 95.0149 136.348 .459 .717 .873

R18 96.0448 133.771 .559 .768 .870

R19 95.7313 137.836 .441 .541 .873


201

R20 95.1343 132.603 .560 .709 .869

R21 96.0299 132.575 .436 .567 .875

R22 94.7761 138.358 .491 .653 .872

R23 94.9851 138.318 .424 .573 .874

R24 95.0149 141.833 .307 .533 .876

R25 94.8955 138.034 .442 .541 .873

KATEGORISASI PERSENTIL

Statistics

resiliensi_PAKEM_KLATEN

N Valid 67

Missing 0

Mean 4.5893

Std. Error of Mean .05737

Median 4.6800
a
Mode 4.72

Std. Deviation .46961

Variance .221

Range 2.56

Minimum 2.88

Maximum 5.44

Sum 307.48

Percentiles 20 4.2240

40 4.5280

60 4.7600

80 5.0000

a. Multiple modes exist. The smallest value is shown


202

resiliensi_PAKEM_KLATEN

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 2.88 1 1.5 1.5 1.5

3.64 1 1.5 1.5 3.0

3.68 1 1.5 1.5 4.5

3.8 1 1.5 1.5 6.0

3.92 2 3.0 3.0 9.0

4 2 3.0 3.0 11.9

4.04 2 3.0 3.0 14.9

4.08 1 1.5 1.5 16.4

4.16 1 1.5 1.5 17.9

4.2 1 1.5 1.5 19.4

4.24 1 1.5 1.5 20.9

4.28 1 1.5 1.5 22.4

4.32 3 4.5 4.5 26.9

4.36 4 6.0 6.0 32.8

4.4 1 1.5 1.5 34.3

4.44 2 3.0 3.0 37.3

4.48 1 1.5 1.5 38.8

4.52 1 1.5 1.5 40.3

4.56 1 1.5 1.5 41.8

4.6 3 4.5 4.5 46.3

4.64 1 1.5 1.5 47.8

4.68 2 3.0 3.0 50.7

4.72 5 7.5 7.5 58.2

4.76 2 3.0 3.0 61.2

4.8 4 6.0 6.0 67.2

4.84 1 1.5 1.5 68.7

4.88 3 4.5 4.5 73.1


203

4.92 3 4.5 4.5 77.6

5 5 7.5 7.5 85.1

5.04 2 3.0 3.0 88.1

5.08 1 1.5 1.5 89.6

5.12 1 1.5 1.5 91.0

5.16 1 1.5 1.5 92.5

5.2 1 1.5 1.5 94.0

5.24 2 3.0 3.0 97.0

5.44 2 3.0 3.0 100.0

Total 67 100.0 100.0


204

UJI ASUMSI

1. UJI NORMALITAS

Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

pre_KE .387 6 .005 .748 6 .019


*
Pre_KK .181 5 .200 .985 5 .960

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

2. UJI HOMOGENITAS

a
Box's Test of Equality of Covariance Matrices

Box's M 4.635

F .480

df1 6

df2 517.028

Sig. .823

Tests the null hypothesis that the observed


covariance matrices of the dependent variables are
equal across groups.

a. Design: Intercept + DK + DS +
KELOMPOK
Within Subjects Design: PELATIHAN
205

UJI HIPOTESIS

1. Uji Asumsi Sphericity

Sebelum dikontrol variabel


b
Mauchly's Test of Sphericity

Measure:MEASURE_
1
a
Epsilon
Within
Subjects Mauchl Approx. Chi- Greenhous Huynh-
Effect y's W Square df Sig. e-Geisser Feldt Lower-bound

PELATIHAN .921 .656 2 .720 .927 1.000 .500

Tests the null hypothesis that the error covariance matrix of the orthonormalized transformed
dependent variables is proportional to an identity matrix.

a. May be used to adjust the degrees of freedom for the averaged tests of significance.
Corrected tests are displayed in the Tests of Within-Subjects Effects table.

b. Design: Intercept + KELOMPOK


Within Subjects Design: PELATIHAN

Setelah dikontrol variabel

b
Mauchly's Test of Sphericity

Measure:MEASURE_1
a
Epsilon
Within
Subjects Approx. Chi- Greenhouse-
Effect Mauchly's W Square df Sig. Geisser Huynh-Feldt Lower-bound

PELATIHAN .772 1.550 2 .461 .815 1.000 .500

Tests the null hypothesis that the error covariance matrix of the orthonormalized transformed dependent
variables is proportional to an identity matrix.

a. May be used to adjust the degrees of freedom for the averaged tests of significance. Corrected tests are
displayed in the Tests of Within-Subjects Effects table.

b. Design: Intercept + DK + DS + KELOMPOK


Within Subjects Design: PELATIHAN
206

2. UJI BEDA SKOR ANTARA PRETES, PASCATES1, DAN


PASCATES 2

a. Uji Beda Skor Resiliensi antara Prates, Pascates 1, dan


Pascates 2 pada kelompok eksperimen

Pairwise Comparisons

Measure:MEASURE_1

95% Confidence Interval for


a
Difference
(I) (J) Mean Difference
a
factor1 factor1 (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound

1 2 -8.667 4.112 .267 -23.200 5.867

3 -13.333 5.103 .143 -31.369 4.703

2 1 8.667 4.112 .267 -5.867 23.200

3 -4.667 6.130 1.000 -26.331 16.998

3 1 13.333 5.103 .143 -4.703 31.369

2 4.667 6.130 1.000 -16.998 26.331

Based on estimated marginal means

a. Adjustment for multiple comparisons: Bonferroni.


207

b. Uji Beda Skor Resiliensi antara Prates, Pascates 1, dan


Pascates 2 pada kelompok Kontrol

Pairwise Comparisons

Measure:MEASURE_1

95% Confidence Interval for


(I) (J)
a
Difference
KONTR KONTR Mean Difference
a
OL OL (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound

1 2 -1.600 3.945 1.000 -17.224 14.024

3 -2.200 4.499 1.000 -20.019 15.619

2 1 1.600 3.945 1.000 -14.024 17.224

3 -.600 3.326 1.000 -13.772 12.572

3 1 2.200 4.499 1.000 -15.619 20.019

2 .600 3.326 1.000 -12.572 13.772

Based on estimated marginal means

a. Adjustment for multiple comparisons: Bonferroni.


208

3. Interaksi antar waktu pengukuran (pre-pasca) dan kelompok

a. Sebelum dikontrol
Tests of Within-Subjects Effects

Measure:MEA
SURE_1

Type III Partial


Sum of Mean Eta Noncent. Observed
a
Source Squares df Square F Sig. Squared Parameter Power

PELATIHAN Sphericity 170.19


340.388 2 2.741 .091 .233 5.482 .472
Assumed 4

Greenhouse- 183.58
340.388 1.854 2.741 .097 .233 5.082 .452
Geisser 7

Huynh-Feldt 170.19
340.388 2.000 2.741 .091 .233 5.482 .472
4

Lower-bound 340.38
340.388 1.000 2.741 .132 .233 2.741 .316
8

PELATIHAN * Sphericity
173.115 2 86.558 1.394 .274 .134 2.788 .260
KELOMPOK Assumed

Greenhouse-
173.115 1.854 93.369 1.394 .274 .134 2.584 .250
Geisser

Huynh-Feldt 173.115 2.000 86.558 1.394 .274 .134 2.788 .260

Lower-bound 173.11
173.115 1.000 1.394 .268 .134 1.394 .185
5

Error(PELATIH Sphericity
1117.733 18 62.096
AN) Assumed

Greenhouse-
1117.733 16.687 66.983
Geisser

Huynh-Feldt 1117.733 18.000 62.096

Lower-bound 124.19
1117.733 9.000
3

a. Computed using alpha = ,05


209

Grafik sebelum dikontrol variabel dukungan sosial dan dukungan


keluarga
210

Setelah Dikontrol Variabel Dukungan Sosial dan Dukungan


Keluarga

Tests of Within-Subjects Effects

Measure:ME
ASURE_1

Type III Sum Mean Partial Eta Noncent. Observed


a
Source of Squares df Square F Sig. Squared Parameter Power

PELATIHAN Sphericity Assumed 202.786 2 101.393 1.516 .253 .178 3.033 .269

Greenhouse-Geisser 202.786 1.629 124.475 1.516 .257 .178 2.471 .240

Huynh-Feldt 202.786 2.000 101.393 1.516 .253 .178 3.033 .269

Lower-bound 202.786 1.000 202.786 1.516 .258 .178 1.516 .188

PELATIHAN Sphericity Assumed 12.889 2 6.445 .096 .909 .014 .193 .062
* DK
Greenhouse-Geisser 12.889 1.629 7.912 .096 .872 .014 .157 .061

Huynh-Feldt 12.889 2.000 6.445 .096 .909 .014 .193 .062

Lower-bound 12.889 1.000 12.889 .096 .765 .014 .096 .058

PELATIHAN Sphericity Assumed 77.326 2 38.663 .578 .574 .076 1.157 .127
* DS
Greenhouse-Geisser 77.326 1.629 47.465 .578 .543 .076 .942 .118

Huynh-Feldt 77.326 2.000 38.663 .578 .574 .076 1.157 .127

Lower-bound 77.326 1.000 77.326 .578 .472 .076 .578 .101

PELATIHAN Sphericity Assumed 140.083 2 70.041 1.048 .377 .130 2.095 .197
*
Greenhouse-Geisser 140.083 1.629 85.987 1.048 .367 .130 1.707 .178
KELOMPOK
Huynh-Feldt 140.083 2.000 70.041 1.048 .377 .130 2.095 .197

Lower-bound 140.083 1.000 140.083 1.048 .340 .130 1.048 .144

Error(PELAT Sphericity Assumed 936.061 14 66.862


IHAN)
Greenhouse-Geisser 936.061 11.404 82.083

Huynh-Feldt 936.061 14.000 66.862

Lower-bound 936.061 7.000 133.723

a. Computed using alpha = ,05


211

Grafik Setelah Dikontrol Variabel Dukungan Sosial dan


Dukungan Keluarga
212

4. Variabel kontrol

Tests of Between-Subjects Effects

Measure:MEASURE_1
Transformed
Variable:Average

Type III
Sum of Mean Partial Eta Noncent. Observed
a
Source Squares Df Square F Sig. Squared Parameter Power

Intercept 9583.631 1 9583.631 25.516 .001 .785 25.516 .990

DK 159.999 1 159.999 .426 .535 .057 .426 .088

DS 6.445 1 6.445 .017 .899 .002 .017 .051

KELOMPO
157.641 1 157.641 .420 .538 .057 .420 .087
K

Error 2629.178 7 375.597

a. Computed using alpha =


,05
213

ANALISIS TAMBAHAN

UJI EFEK SETELAH MENGABAIKAN KELOMPOK


KONTROL

b
Mauchly's Test of Sphericity
Measure:MEASURE_1
a
Epsilon

Approx. Greenhou
Within Mauchly' Chi- se- Huynh- Lower-
Subjects Effect sW Square df Sig. Geisser Feldt bound

factor1 ,802 ,885 2 ,642 ,834 1,000 ,500

Tests the null hypothesis that the error covariance matrix of the orthonormalized
transformed dependent variables is proportional to an identity matrix.
a. May be used to adjust the degrees of freedom for the averaged tests of significance.
Corrected tests are displayed in the Tests of Within-Subjects Effects table.
b. Design: Intercept
Within Subjects Design:
factor1

Tests of Within-Subjects Effects


Measure:MEASURE_1

Partial
Type III Eta Noncent.
Sum of Mean Squar Paramete Observed
a
Source Squares Df Square F Sig. ed r Power

factor1 Sphericity
549,333 2 274,667 3,411 ,074 ,406 6,821 ,506
Assumed

Greenhouse-
549,333 1,669 329,175 3,411 ,088 ,406 5,692 ,450
Geisser

Huynh-Feldt 549,333 2,000 274,667 3,411 ,074 ,406 6,821 ,506

Lower-bound 549,333 1,000 549,333 3,411 ,124 ,406 3,411 ,323


Error(fact Sphericity
805,333 10 80,533
or1) Assumed
214

Greenhouse-
805,333 8,344 96,515
Geisser

Huynh-Feldt 10,00
805,333 80,533
0

Lower-bound 805,333 5,000 161,067

a. Computed using alpha = ,05

UJI EFEK SETELAH MENGABAIKAN KELOMPOK


KONTROL DAN FOLLOW UP

a
Multivariate Tests

Partial Noncent.
Hypothe Error Eta Paramet Observe
c
Effect Value F sis df df Sig. Squared er d Power

Pelatihan Pillai's 7,974


,499 b
1,000 8,000 ,022 ,499 7,974 ,697
Trace

Wilks' 7,974
,501 b
1,000 8,000 ,022 ,499 7,974 ,697
Lambda
Hotelling's 7,974
,997 b
1,000 8,000 ,022 ,499 7,974 ,697
Trace

Roy's
7,974
Largest ,997 b
1,000 8,000 ,022 ,499 7,974 ,697
Root
Pelatihan Pillai's b
,001 ,006 1,000 8,000 ,941 ,001 ,006 ,051
* DK Trace
Wilks' b
,999 ,006 1,000 8,000 ,941 ,001 ,006 ,051
Lambda
Hotelling's b
,001 ,006 1,000 8,000 ,941 ,001 ,006 ,051
Trace
Roy's
b
Largest ,001 ,006 1,000 8,000 ,941 ,001 ,006 ,051
Root
215

Pelatihan Pillai's 2,066


,205 b
1,000 8,000 ,189 ,205 2,066 ,245
* DS Trace

Wilks' 2,066
,795 b
1,000 8,000 ,189 ,205 2,066 ,245
Lambda

Hotelling's 2,066
,258 b
1,000 8,000 ,189 ,205 2,066 ,245
Trace

Roy's
2,066
Largest ,258 b
1,000 8,000 ,189 ,205 2,066 ,245
Root

a. Design: Intercept + DK + DS
Within Subjects Design: Pelatihan
b. Exact statistic
c. Computed using alpha = ,05

Tests of Within-Subjects Effects


Measure: MEASURE_1

Type III Partial


Sum of Mean Eta Noncent. Observed
a
Source Squares df Square F Sig. Squared Parameter Power

Pelatihan Sphericity
263,021 1 263,021 7,974 ,022 ,499 7,974 ,697
Assumed

Greenhouse-
263,021 1,000 263,021 7,974 ,022 ,499 7,974 ,697
Geisser

Huynh-Feldt 263,021 1,000 263,021 7,974 ,022 ,499 7,974 ,697

Lower-bound 263,021 1,000 263,021 7,974 ,022 ,499 7,974 ,697


Pelatihan Sphericity
,192 1 ,192 ,006 ,941 ,001 ,006 ,051
* DK Assumed
Greenhouse-
,192 1,000 ,192 ,006 ,941 ,001 ,006 ,051
Geisser
Huynh-Feldt ,192 1,000 ,192 ,006 ,941 ,001 ,006 ,051
Lower-bound ,192 1,000 ,192 ,006 ,941 ,001 ,006 ,051
Pelatihan Sphericity
68,162 1 68,162 2,066 ,189 ,205 2,066 ,245
* DS Assumed
Greenhouse-
68,162 1,000 68,162 2,066 ,189 ,205 2,066 ,245
Geisser
Huynh-Feldt 68,162 1,000 68,162 2,066 ,189 ,205 2,066 ,245
216

Lower-bound 68,162 1,000 68,162 2,066 ,189 ,205 2,066 ,245


Error(Pel Sphericity
263,893 8 32,987
atihan) Assumed

Greenhouse-
263,893 8,000 32,987
Geisser

Huynh-Feldt 263,893 8,000 32,987

Lower-bound 263,893 8,000 32,987

a. Computed using alpha = ,05


217

SKALA RESILIENSI
PERNYATAN KESEDIAAN SEBAGAI RESPONDEN PENELITIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Lengkap :
Usia :
Jenis Kelamin :
Agama :
Pendidikan terakhir :
Pekerjaan :
Jumlah anak :
Alamat lengkap :

Nomor HP/Whatsapp :

Wali Murid dari (Nama anak & usia):

Penghasilan perbulan :
 kurang dari 500.000
 500.000 - 1.500.000
 1.500.000 - 2.500.000
 2.500.000 - 4.000.000
 lebih dari 4.000.000
Menyatakan bersedia sebagai subjek dalam penelitian ini

Tanda Tangan,
218

Isilah kuesioner ini sesuai dengan kondisi atau bentuk gambaran


pengalaman Anda selama mengasuh anak berkebutuhan khusus

PETUNJUK PENGISIAN
Di bawah ini ada 25 item pernyataan yang tidak memiliki jawaban BENAR atau
SALAH. Silahkan Anda berikan tanda centang (√) pada salah satu dari lima
kolom yang tersedia di sebelah kanan pernyataan. Berilah jawaban yang paling
sesuai dengan kondisi diri Anda dan pastikan untuk menjawab SEMUA item
pernyataan.
Keterangan pilihan jawaban:
Tidak pernah : Tidak pernah Anda alami selama menjalani hidup
(kemunculan 0 atau tidak pernah sama sekali)
Jarang :Anda alami dan merasakannya dalam frekuensi yang
sangat sedikit (kemunculan 1-3 kali dalam sebulan)
Kadang-kadang : Dialami dan dirasakan dalam frekuensi sedang
(kemunculan antara 4-6 kali dalam satu bulan)
Sering : Sering kali dialami dalam banyak situasi
(kemunculan antara 7-8 kali dalam sebulan)
Selalu : Selalu Anda alami dan Anda rasakan (kemunculan
hampir setiap hari selama satu bulan)

NO PERNYATAAN Tidak Jarang Kadang- Sering Selalu


Pernah Kadang
1. Saya mampu menyesuaikan diri
terhadap perubahan yang terjadi
dalam hidup saya
2. Saya mampu menjalin hubungan
yang baik dengan orang lain
3. Saya yakin Tuhan pasti menolong
saya
4. Saya dapat menghadapi
219

NO PERNYATAAN Tidak Jarang Kadang- Sering Selalu


Pernah Kadang
situasi/peristiwa apapun yang terjadi
5. Keberhasilan di masa lalu, membuat
saya keyakinan untuk menghadapi
tantangan hidup yang baru
6. Saya dapat melihat sisi humor (lucu)
dari setiap masalah yang dihadapi
7. Saya berkewajiban membantu orang
lain yang membutuhkan
8. Saya mampu bangkit kembali
setelah menghadapi
penderitaan/masalah
9. Ada alasan di balik peristiwa yang
terjadi pada diri saya
10. Saya berusaha melakukan yang
terbaik, tak peduli bagaimana
situasinya
11. Saya mampu meraih target yang
telah ditetapkan
12. Saya berusaha maksimal pada suatu
hal, meskipun tampaknya tidak ada
harapan lagi
13. Ketika saya berada dalam kondisi
yang sulit, saya tahu harus kemana
untuk meminta bantuan
14. Saya tetap dapat berpikir dengan
tenang, meskipun berada di bawah
tekanan
15. Saya memilih untuk menyelesaikan
masalah
16. Saya tidak mudah menyerah hanya
karena terjadi kegagalan
17. Saya yakin bahwa diri saya adalah
orang yang kuat
18. Saya mampu membuat keputusan
dengan pilihan yang sulit
19. Saya mampu mengatasi emosi yang
220

NO PERNYATAAN Tidak Jarang Kadang- Sering Selalu


Pernah Kadang
tidak menyenangkan (marah, sedih,
kecewa, menyesal, dan lain-lain)
20. Saya memiliki keinginan yang kuat
untuk meraih tujuan
21. Saya menyukai tantangan
22. Saya bekerja keras untuk meraih
tujuan
23. Saya bangga dengan keberhasilan
yang telah saya peroleh
24. Keluarga bersedia membantu saya
untuk membuat keputusan
25. Saya menemukan manfaat dari
pekerjaan yang dilakukan
221

SKALA DUKUNGAN KELUARGA & DUKUNGAN SOSIAL


Nama :________________
Lingkarilah pilihan yang sesuai dengan situasi di lingkungan sosial Anda selama
Anda mengasuh Anak Berkebutuhan Khusus.
No. Orang Tidak Kadang- Membantu Sangat Sangat
membantu kadang biasa Membantu Membantu
sama membantu Sekali
sekali
1 Orang tua 1 2 3 4 5
2 Pasangan 1 2 3 4 5
3 Mertua 1 2 3 4 5
4 Anak 1 2 3 4 5
5 Saudara ipar 1 2 3 4 5
6 Saudara kandung 1 2 3 4 5
7 Paman dan bibi 1 2 3 4 5
8 Tetangga 1 2 3 4 5
9 Teman/orangtua 1 2 3 4 5
walimurid lainnya
10 Sekolah (guru) 1 2 3 4 5
11 Pelayan kesehatan 1 2 3 4 5
(dokter, terapis,
psikolog)
222
PRATES RESILIENSI
Kelompok Eksperimen

Inisial R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 RS mean Kategori
DY 3 5 5 3 5 4 5 5 5 3 4 3 4 5 5 3 5 3 3 5 2 5 3 5 4 102 4.72 S
ST 3 3 5 3 1 2 1 3 1 5 1 2 2 1 3 1 3 1 3 1 1 3 1 3 3 56 2.88 SR
NR 4 5 5 4 3 4 5 4 5 4 3 4 3 4 5 4 3 3 3 5 4 4 3 4 4 99 4.6 S
TK 3 5 5 3 2 3 4 4 5 4 3 2 3 3 4 3 4 3 4 5 1 5 4 3 5 90 4.2 SR
RT 4 5 5 3 3 4 4 4 3 5 3 3 3 3 4 4 1 2 3 4 3 4 4 4 5 90 4.2 SR
SR 3 4 5 3 4 3 5 4 4 3 3 4 5 5 5 4 3 2 3 3 2 4 5 4 4 94 4.4 S

Kelompok Kontrol

nama R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 RS mean Kategori
HW 3 5 5 3 3 4 5 5 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 5 5 5 5 93 4.36 R
SG 4 5 5 3 3 4 4 2 2 4 3 5 5 3 3 3 4 3 3 5 3 4 3 4 4 91 4.28 R
SP 3 3 5 3 3 3 5 4 3 4 3 4 3 3 3 4 3 3 3 4 2 2 4 5 4 86 4.08 SR
DW 5 5 5 4 5 3 4 5 5 4 3 3 4 3 5 5 4 3 4 5 5 4 3 3 5 104 4.72 S
SM 5 5 5 3 5 4 3 5 5 4 3 3 5 3 5 5 3 3 3 3 3 4 4 3 4 98 4.56 S

184
ii

PASCATES 1 RESILIENSI

Kelompok Eksperimen

Inisial R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 pasca1
DY 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 3 5 5 5 5 5 5 123
ST 3 4 5 3 3 1 5 3 2 3 3 3 2 1 3 1 4 2 3 2 1 1 3 3 3 67
NR 3 4 5 3 3 4 4 3 4 3 3 4 4 4 4 3 3 4 4 4 4 4 5 4 4 94
TK 5 5 5 4 4 4 5 5 5 4 4 3 4 4 5 4 5 3 4 5 4 5 4 4 5 109
RT 3 5 5 3 3 3 5 5 5 3 3 3 4 3 4 3 3 2 3 5 5 5 4 4 4 95
SR 3 5 5 4 5 3 4 4 4 3 2 3 4 3 4 4 4 3 3 3 3 4 2 5 4 91

Kelompok Kontrol

Inisial R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 pasca1
HW 4 5 5 4 3 3 4 4 3 3 3 3 4 3 4 4 3 3 3 4 3 4 4 5 4 92
SG 4 4 5 4 3 4 4 5 3 5 3 3 3 3 4 4 4 2 3 5 3 5 3 4 4 94
SP 5 5 5 5 4 3 4 4 3 4 3 4 3 4 3 3 5 3 3 4 2 4 5 5 4 97
DW 5 5 5 4 5 4 4 5 5 5 3 4 4 5 4 5 5 4 4 5 5 4 4 3 5 111
SM 3 4 5 3 4 3 4 4 4 2 3 4 5 3 3 3 4 3 3 3 3 3 4 3 3 86
iii

PASCATES 2 RESILIENSI

Kelompok Eksperimen

Inisial R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 Pasca2
DY 5 5 5 3 3 3 5 5 3 3 5 2 5 5 5 3 5 5 5 5 5 5 3 5 5 108
ST 4 4 5 3 4 3 4 4 3 3 3 5 3 3 2 3 3 2 3 5 3 5 5 4 3 89
NR 4 4 5 5 4 4 5 4 5 3 3 3 5 5 5 5 4 3 3 5 3 5 4 5 5 106
TK 5 5 5 4 4 3 5 5 4 4 3 4 3 5 5 5 5 4 4 5 3 5 5 4 5 109
RT 3 4 5 3 3 3 5 3 3 3 3 4 4 3 4 3 1 3 3 4 4 4 3 4 4 86
SR 5 4 5 5 4 5 5 4 5 3 4 3 5 5 4 4 5 4 5 4 3 4 5 4 5 109

Kelompok Kontrol

Inisial R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 Pasca2
HW 4 4 5 4 3 3 4 3 3 3 3 3 4 3 4 4 4 3 3 3 3 4 4 5 4 90
SG 4 4 5 4 3 3 4 3 2 3 4 3 4 3 4 4 4 3 3 3 4 4 3 5 3 89
SP 2 3 5 2 5 4 5 5 5 5 5 3 2 4 5 5 5 3 5 5 3 5 5 5 5 106
DW 5 4 5 4 3 3 4 4 5 4 3 4 5 4 5 5 4 3 4 5 5 5 4 3 4 104
SM 3 4 5 4 4 3 3 4 4 3 3 4 4 3 4 4 4 3 4 5 4 4 4 3 4 94
iv

VARIABEL KONTROL DUKUNGAN KELUARGA (DK) DAN DUKUNGAN SOSIAL (DS)

Kelompok Eksperimen

Inisial DK1 DK2 DK3 DK4 DK5 DK6 DK7 DK8 DK9 DK10 DK11 RS DS1 DS2 RS
DY 4 5 1 3 1 4 1 1 2 4 4 30 9 5 14
ST 3 5 2 5 3 4 4 2 2 4 1 35 9 6 15
NR 2 5 1 2 3 3 2 2 3 4 4 31 9 5 14
TK 4 3 1 2 1 1 1 1 1 5 3 23 6 3 9
RT 3 4 1 2 2 2 1 2 2 4 4 27 8 6 14
SR 4 5 1 3 1 4 1 2 1 4 4 30 9 6 15

Kelompok Kontrol

Inisial DK1 DK2 DK3 DK4 DK5 DK6 DK7 DK8 DK9 DK10 DK11 RS DS1 DS2 RS
HW 5 5 2 5 2 5 5 3 4 5 5 46 9 8 17
SG 4 4 1 4 2 2 2 2 2 4 4 31 7 6 13
SP 2 4 2 5 1 2 1 2 4 4 4 31 7 7 14
DW 1 4 1 3 2 3 1 2 2 5 2 26 8 5 13
SM 5 5 3 3 3 4 2 2 2 5 5 39 9 8 17

Anda mungkin juga menyukai