Anda di halaman 1dari 4

PERATURAN MENTERI TENTANG BANGUNAN HIJAU TAHUN 2015

DAN GREEN BUILDING COUNCIL INDONESIA

Jundi Shalahuddin M,

13/345364/TK/40344,

Mata Kuliah Arsitektur Hijau,

Program Studi Arsitektur, Universitas Gadjah Mada,

2015

Pada bulan Februari lalu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR)
mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) mengenai Bangunan Hijau. Bagi sebagian orang, I’tikad
baik pemerintah ini disambut dengan baik. Menurut sejumlah media yang mengutip dari
Kementerian PUPR, tujuan dari disusunnya Permen tentang Bangunan Hijau ini adalah untuk
menciptakan lingkungan yang sustainable dimana kualitas hidup saat ini yang baik tidak mengurangi
kualitas hidup di masa yang akan datang. Hal ini sejalan dengan komitmen nasional pada tahun 2011
untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) secara sukarela sebesar 26% pada tahun 2020.

Sebelumnya, Kementerian PUPR (yang sebelumnya masih bernama Kementerian Pekerjaan


Umum/PU) juga pernah mengeluarkan Peraturan Menteri yang mendukung komitmen nasional
tersebut. Beberapa diantaranya adalah Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11 Tahun 2012
tentang Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Tahun 2012-2020. Apabila
kedua Permen ini dibandingkan, akan terlihat bahwa Permen tentang Bangunan Hijau mengatur
tentang masalah teknis dan fisik sehingga lebih mudah untuk diimplementasikan. Hal ini berbeda
dengan Permen PU No. 11/2012 yang berisikan mindset atau dasar-dasar pemikiran semata tanpa
dilengkapi dengan keterangan mengenai bagaimana menerapkannya dalam bangunan.

Sehingga apabila kita lihat dari segi Kementerian PUPR, disusunnya Permen PUPR nomor 2 tahun
2015 tentang Bangunan Hijau ini merupakan suatu langkah yang terkesan lebih nyata dimana isinya
dapat dengan mudah dipahami dan dilaksanakan apabila dibandingkan dengan kebijakan-kebijakan
atau pun peraturan-peraturan mengenai pembangunan berkelanjutan sebelumnya. Dari segi isi,
sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, bahwa Permen tentang Bangunan Hijau ini lebih bersifat
teknis. Namun begitu, masih terdapat beberapa kerancuan atau ketidak jelasan.

Apabila kita kaji secara lebih mendetail, misalnya pada pasal 5 ayat (3) bagian c yang menjelaskan
tentang ketentuan bangunan yang wajib mengikuti persyaratan bangunan hijau yaitu setiap
bangunan yang memiliki potensi penghematan cukup signifikan. Berdasarkan kalimat tersebut,
artinya setiap bangunan yang akan didirikan perlu dikaji secara mendalam mengenai potensinya
dalam penghematan energi. Hal ini berarti diperlukan tenaga kerja ahli yang paham mengenai
penghematan energi dalam bangunan dalam jumlah yang banyak. Pertanyaan yang muncul
kemudian adalah: Apakah kita sudah memiliki sumber daya manusia yang memadai? Apabila tidak
memadai, apakah kemudian negara akan mempekerjakan orang asing untuk bekerja di lembaga
pemerintahan?

Kemudian bagaimana dengan kedudukan GBCI dan acuan-acuan yang digunakan oleh GBCI dalam
menetapkan nilai Greenship? Dikutip dari website resmi GBCI, www.gbcindonesia.org,

“Sistim Rating GREENSHIP dipersiapkan dan disusun oleh Green Building Council yang ada
di negara-negara tertentu yang sudah mengikuti gerakan bangunan hijau. Setiap negara tersebut
mempunyai Sistem rating masing-masing, sebagai contoh Amerika Serikat - LEED, Singapura
- Green Mark, Australia - Green Star dsb.”

Berdasarkan kutipan tersebut, GBCI sendiri mengatakan bahwa sistem rating atau poin-poin yang
digunakan oleh GBCI dalam menentukan tingkat green suatu bangunan bersumber dari GBC-GBC
yang telah ada sebelumnya.

Disisi lain, menurut Ilham Wahyudi dalam artikelnya,

“Beberapa diantara rating greenship yang dikeluarkan oleh GBCI adalah : ASD (Appropriate
Site Development), EEC (Energy Efficiency and Conservation), WAC (Water Conservation),
MRC (Material Resource and Cycle), IHC (Indoor Health and Comfort), dan BEM (Building
Environment Management).
Regulasi yang digunakan sebagai acuan yang terkait dengan rating greenship yang dikeluarkan
oleh GBCI adalah :
ASD
 Instruksi Menteri Dalam Negeri RI No. 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan.
 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum RI No. 5 Tahun 2008 tentang Pedoman
Penyediaan dan Pemanfaatan Runag Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan
 Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat RI No.32 Tahun 2006 tentang
Petunjuk Teknis Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun yang
Berdiri Sendiri
 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum RI No. 30 Tahun 2006 tentang Pedoman
Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan
 Daftar Tanaman Lokal Provinsi Republik Indonesia menurut Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia
EEC
 SNI 03-6389-2000 tentang Konservasi Energi Selubung Bangunan pada
Bangunan Gedung
 SNI 03-6390-2000 tentang Konservasi Energi sistem Udara pada Bangunan
Gedung
 Designated National Authority dalam B-277/Dep.III/LH/01/2009 Clean
Development Mechanism Project
WAC
 SNI 03-7065-2005 tentang Cara Perencanaan Sistem Plambing
 Menteri Kesehatan No. 416 Tahun 1990 tentang Syarat syarat dan Pengawasan
Kualitas Air
MRC
 Keputusan Presiden No.23 Tahun 1992 tentang Perlindungan Lapisan Ozon
 SK memperindag No 790/MPP/Kep/12/2002, tentang Larangan Memproduksi
dan Mempergangkan Bahan Perusak Lapisan Ozon
 Peraturan Menteri No. 22/M-IND/PER/4/2007 tentang Larangan Memproduksi
Bahan perusak Lapisan Ozon serta Memproduksi Barang Baru yang
menggunakan Bahan Perusak Lapisan Ozon
IHC
 SNI 03-6572-2001 tentang Tata Cara Perancangan Sistem Ventilasi dan
Pengkondisian Udara pada Bangunan Gedung.
 SNI 19-0232-2005 tentang Nilai Ambang Batas Zat Kimia di Udara Tempat
Kerja
 UU RI No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
 Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran
 SNI 03-6197-2000 tentang Konservasi Energi pada Sistem Pencahayaan
 ASHRAE Standard 62.1-2007 Ventilation for Acceptable Indoor Air Quality
BEM
 UU RI No. 18 Tahun2008 tentang Pengelolaan Sampah
 KeputusanGubernurPropinsiDKI Jakarta No.72 Tahun2002 tentangKetentuan
Pengawasan Pelaksanaan Kegiatan Membangun di Propinsi DKI Jakarta 
 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman
Persyaratan Teknis Bangunan gedung.
 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 24/PRT/M/2008tentang pedoman
Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan gedung.”

Berdasarkan kutipan dan artikel diatas, dapat diketahui bahwa dalam menerapkan acuan nilai-nilai
greenship, GBCI tidak hanya melakukan benchmarking atau mengambil acuan pada lembaga
sertifikasi bangunan hijau yang sudah ada di dunia internasional. Namun juga menggunakan aturan-
aturan atau kebijakan lokal yang sebelumnya telah dirumuskan oleh pemerintah sehingga tetap
sejalan dengan pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa Kementerian PUPR dan GBCI seenarnya
memiliki hubungan yang saling mendukung.

Apabila kita menilik lebih dalam kepada poin-poin yang diatur dalam Permen PUPR tentang
Bangunan Hijau, dapat pula kita temukan nilai-nilai yang sebenarnya telah terkandung di dalam
greenship rating tools yang digunakan leh GBCI untuk melakukan penilaian greenship. Misalnya
dalam pasal 6 ayat (4) yang menerangkan tentang persyaratan gedung hijau yang dibagi kedalam
sejumlah tahapan yaitu: pemrograman, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pemanfaatan,
dan pembongkaran. Ditemukannya keenam tahap perancangan tersebut dalam Permen dapat juga
dipandang sebagai nilai “sustainable sejak awal tahap desain hingga akhir masa hidup bangunan”
yang dipahami oleh GBCI.

Dalam pasal 8 ayat (1) tentang perencanaan teknis yang menerangkan pasal 6, terdapat sejumlah
kata kunci yaitu: tapak, energi, air, kualitas udara di dalam ruangan, material, sampah, dan limbah
yang juga merupakan pokok dari poin-poin yang dinilai dalam greenship GBCI.

Berdasarkan bahasan diatas, dapat diketahui bersama bahwa pada hakikatnya Permen PUPR dan
Greenship GBCI menganut nilai yang sama. Perbedaan diantara keduanya yang paling mencolok
adalah kenyataan bahwa Permen PUPR merupakan kewajiban untuk seluruh bangunan yang akan
didirikan. Hal ini sangat berbeda dengan negara-negara lain yang juga memilki GBC. Dimana negara-
negara lain tidak mewajibkan bangunan yang akan didirikan atau pun bangunan yang sudah ada
(existing building) untuk memiliki sertifikat greenship. Namun akan memberikan reward yang
umumnya berupa pengurangan pajak yang nilainya cukup besar dibandingkan dengan nilai pajak di
Indonesia.

Meskipun dalam Bab VIII tentang Pemberian Insentif terdapat poin yang menjelaskan bahwa akan
diberikan reward berupa pengurangan pajak, penambahan KLB, dsb; hal ini dapat dinilai kurang
efektif apabila kita memperhitungkan faktor-faktor eksternal seperti mafia pajak, dan lemahnya
kontrol hukum di Indonesia.
Disusunnya Permen PUPR tentang bangunan hijau memang merupakan suatu hal yang apabila
dijalankan dengan baik dapat memberikan dampak positif yang cukup besar mengingat sifatnya yang
wajib. Namun tetap diperlukan perhitungan khusus mengenai kemampuan sumber daya manusia
untuk mengimplementasikan Permen tersebut dan kondisi hukum di Indonesia. Hal ini tidak
menutup kemungkinan GBCI kelak akan menjadi bagian dari pemerintah untuk membantu
implementasi Permen. Salam hijau, maju terus arsitektur Indonesia!

***

Perpustakaan Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, UGM, Yogyakarta,

28 September 2015,

Jundi Shalahuddin

http://ilham-wahyudi.weebly.com/artikel-green-building.html 28/9/2015/9:10

http://www.equipmentindonesiamagazine.com/sosialisasi-permen-bangunan-hijau/786/
28/9/2015/9:40

Anda mungkin juga menyukai