Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN CONGESTIVE HEART FAILUR (CHF)

Disusun oleh

SUGIONO NIM (319022)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN
PPNI JAWA BARAT
BANDUNG
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN CONGESTIVE HEART FAILUR (CHF)

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Pengertian
Congestive Heart Failure (CHF) adalah sindrom klinis (sekumpulan Tanda dan gejala),
ditandai oleh sesak napas dan fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh
kelainan struktur atau fungsi jantung. (Marulam, 2014)
Kegagalan jantung kongestif adalah suatu kegagalan pemompaan (di mana cardiac
output tidak mencukupi kebutuhan metabolik tubuh), hal ini mungkin terjadi sebagai akibat
akhir dari gangguan jantung, pembuluh darah atau kapasitas oksigen yang terbawa dalam
darah yang mengakibatkan jantung tidak dapat mencukupi kebutuhan oksigen pada berbagai
organ. (Ni Luh Gede Yasmin, 1993)
Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi
jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya adakalau disertai peninggian volume
diastolik secara abnormal. Penamaan gagal jantung kongestif yang sering digunakan kalau
terjadi gagal jantung sisi kiri dan sisi kanan. (Mansjoer, 2001)
Pengertian lain menyebutkan bahwa dekompensasi cordis adalah ketidakmampuan
jantung memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme dan kebutuhan
oksigen jaringan. (Doenges, 2008) Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
dekompensasi cordis merupakan keadaan jantung yang sudah tidak mampu lagi memompa
darah sesuai dengan kebutuhan tubuh.

2. Etiologi
Menurut Price (1994) decompensasi cordis adalah sebagai berikut:
1) Kelainan mekanis.
a. Peningkatan beban tekanan
 Sentral (stenosis aorta dan sebagainya)
 Perifer (hipertensi sistemik dan sebagainya)
b. Peningkatan beban volume (regurgitasi katub, pirau, peningkatan beban awal dan
sebagainya)
c. Obstruksi terhadap pengisian ventrikel (stenosis mitralis atau trikus pidalis).
d. Tamponade perikardium.
e. Restriksi endokardium atau miokardium.
f. Aneurisme ventrikel.
g. Dis sinergi ventrikel.
2) Kelainan miokardium
a. Primer
 Kardiomiopati.
 Miokarditis.
 Kelainan metabolik.
 Toksisitas, (alkohol, obat dan sebagainya).
 Presbikardia.
b. Kelainan dis-dinamik sekunder (sekunder terhadap kelainan mekanis) .
 Kekurangan oksigen (penyakit jantung koroner).
 Kelainan metabolik.
 Inflamasi.
 Penyakit sistemik.
 Penyakit paru obstruktif menahun.
2
3) Berubahnya irama jantung atau urutan konduksi.
 Henti jantung.
 Fibrilasi.
 Takikardi atau bradikardi yang berat.
 Asinkronisasi listrik, gangguan konduksi.
3. FAKTOR RESIKO
Menurut Arif masjoer (2001), Gejala yang muncul dapat berbeda tergantung pada
kegagalan ventrikel mana yang terjadi.
1) Gagal jantung kiri
Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri karena ventrikel kiri tak
mampu memompa darah yang datang dari paru. Manifestasi klinis yang terjadi,
yaitu :
a. Dispnu
Terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli dan mengganggu
pertukaran gas.Dapat terjadi ortopnu.Bebrapa pasien dapat mengalami
ortopnu pda malam hari yang dinamakan Paroksimal Nokturnal Dispnea
( PND).
b. Batuk
c. Mudah lelah
Terjadi karena curah jantung yang kurang yang menghambat jaringan dari dari
sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil
katabolisme juga terjadi karena meningkatnya energi yang digunakan untuk
bernafas dan insomnia yang terjadi karena distress pernafasan dan batuk.
d. Kegelisahan dan kecemasan
Terjadi akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan bernapas
dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik.
2) Gagal jantung kanan :
a. Kongestif jaringan perifer dan viseral.
b. Edema ekstrimitas bawah (edema dependen), biasanya edema pitting,
penambahan berat badan.
c. Hepatomegali. Nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen terjadi akibat
pembesaran vena di hepar.
d. Anorexia dan mual. Terjadi akibat pembesaran vena dan statis vena dalam
rongga abdomen.
e. Nokturia
f. Kelemahan.
4. PATOFISIOLIGI
Secara patofisiologi CHF adalah ketidak mampuan jantung untuk menyalurkan
darah,termasuk oksigen yang sesuai dengan kebutuhan metabolisme jaringan pada saat
istirahat atau kerja ringan. Hal tersebut menyebabkan respon sistemik khusus yang bersifat
patologik (selain saraf, hormonal, ginjal dan lainnya) serta adanya tanda dan gejala yang
khas. Congestive Heart Failure (CHF) terjadi karena interaksi kompleks antara faktor-faktor
yang memengaruhi kontraktilitas, after load, preload, atau fungsi lusitropik (fungsi relaksasi)
jantung, dan respons neurohormonal dan hemodinamik yang diperlukan untuk menciptakan
kompensasi sirkulasi. Meskipun konsekuensi hemodinamik CHF berespons terhadap
intervensi farmakologis standar, terdapat interaksi neurohormonal kritis yang efek
gabungannya memperberat dan memperlama sindrom yang ada. Sistem renin angiotensin

3
aldosteron (RAA): Selain untuk meningkatkan tahanan perifer dan volume darah sirkulasi,
angiotensin dan aldosteron berimplikasi pada perubahan struktural miokardium yang terlihat
pada cedera iskemik dan kardiomiopati hipertropik hipertensif. Perubahan ini meliputi
remodeling miokard dan kematian sarkomer, kehilangan matriks kolagen normal, dan fibrosis
interstisial. Terjadinya miosit dan sarkomer yang tidak dapat mentransmisikan kekuatannya,
dilatasi jantung, dan pembentukan jaringan parut dengan kehilangan komplians miokard
normal turut memberikan gambaran hemodinamik dan simtomatik pada Congestive Heart
Failure (CHF)
Sistem saraf simpatis (SNS): Epinefrin dan norepinefrin menyebabkan peningkatan
tahanan perifer dengan peningkatan kerja jantung, takikardia, peningkatan konsumsi oksigen
oleh miokardium, dan peningkatan risiko aritmia. Katekolamin juga turut menyebabkan
remodeling ventrikel melalui toksisitas langsung terhadap miosit, induksi apoptosis miosit,
dan peningkatan respons autoimun.
Disfungsi ventrikel kiri sistolik
1. Penurunan curah jantung akibat penurunan kontraktilitas, peningkatan afterload,
atau peningkatan preload yang mengakibatkan penurunan fraksi ejeksi dan
peningkatan volume akhir diastolik ventrikel kiri (LVEDV). Ini meningkatkan
tekanan akhir diastolik pada ventrikel kiri (I-VEDP) dan menyebabkan kongesti
vena pulmonal dan edema paru.
2. Penurunan kontraktilitas (inotropi) terjadi akibat fungsi miokard yang tidak
adekuat atau tidak terkoordinasi sehingga ventrikel kiri tidak dapat melakukan
ejeksi lebih dari 60% dari volume akhir diastoliknya (LVEDV). lni
menyebabkan peningkatan bertahap LVEDV ( Left Ventricular End-Diastolic
Volume) (juga dinamakan preload) mengakibatkan peningkatan LVEDP dan
kongesti vena pulmonalis. Penyebab penurunan kontraktilitas yang tersering
adalah penyakit jantung iskemik, yang tidak hanya mengakibatkan nekrosis
jaringan miokard sesungguhnya, tetapi juga menyebabkan remodeling ventrikel
iskemik. Remodeling iskemik adalah sebuah proses yang sebagian dimediasi
oleh angiotensin II (ANG II) yang menyebabkan jaringan parut dan disfungsi
sarkomer di jantung sekitar daerah cedera iskemik. Aritmia jantung dan
kardiomiopati primer seperti yang disebabkan oleh alkohol, infeksi,
hemakromatosis, hipertiroidisme, toksisitas obat dan amiloidosis juga
menyebabkan penurunan kontraktilitas. Penurunan curah jantung
mengakibatkan kekurangan perfusi pada sirkulasi sistemik dan aktivasi sistem
saraf simpatis dan sistem RAA, menyebabkan peningkatan tahanan perifer dan
peningkatan afterload.
3. Peningkatan afterload berarti terdapat peningkatan tahanan terhadap ejeksi LV.
Biasanya disebabkan oleh peningkatan tahanan vaskular perifer yang umum
terlihat pada hipertensi. Bisa juga diakibatkan oleh stenosis katup aorta.
Ventrikel kiri berespon terhadap peningkatan beban kerja ini dengan hipertrofi
miokard,suatu respon yang meningkatkan massa otot ventrikel kiri tetapi pada
saat yang sama meningkatkan kebutuhan perfusi koroner pada ventrikel kiri.
Suatu keadaan kelaparan energi tercipta sehingga berpadu dengan ANG II dan
respons neuroendokrin lain, menyebabkan perubahan buruk dalam miosit,
seperti semakin sedikitnya mitokondria untuk produksi energi, perubahan
ekspresi gen dengan produksi protein kontraktil yang abnormal (aktin, miosin,
dan tropomiosin), fibrosis interstisial, dan penurunan daya tahan hidup miosit.

4
Dengan berjalannya waktu, kontraktilitas mulai menurun dengan penurunan
curah jantung dan fraksi ejeksi, peningkatan LVEDV, dan kongesti paru.
4. Peningkatan preload berarti peningkatan LVEDV, yang dapat disebabkan
langsung oleh kelebihan volume intravaskular sama seperti yang terlihat pada
infus cairan intra vena atau gagal ginjal. Selain itu, penurunan fraksi ejeksi yang
disebabkan oleh perubahan kontraktilitas atau afterload menyebabkan
peningkatan LVEDV sehingga meningkatkan preload. Pada saat LVEDV
meningkat, ia akan meregangkan jantung, menjadikan sarkomer berada pada
posisi mekanis yang tidak menguntungkan sehingga terjadi penurunan
kontraktilitas. Penurunan kontraktilitas ini yang menyebabkan penurunan fraksi
ejeksi, menyebabkan peningkatan LVEDV yang lebih lanjut, sehingga
menciptakan lingkaran setan perburukan Congestive Heart Failure (CHF).
5. Pasien dapat memasuki lingkaran penurunan kontraktilitas, peningkatan
afterload, dan peningkatan preload akibat berbagai macam alasan (mis., infark
miokard [MI], hipertensi, kelebihan cairan) dan kemudian akhimya mengalami
semua keadaan hemodinamik dan neuro-hormonal. CHF sebagai sebuah
mekanisme yang menuju mekanisme lainnya.
Disfungsi ventrikel kiri diastolik
1. Penyebab dari 90% kasus
2. Didefinisikan sebagai kondisi dengan temuan klasik gagal kongestif dengan
fungsi diastolik abnormal tetapi fungsi sistolik normal; disfungsi diastolik
mumi akan dicirikan dengan tahanan terhadap pengisian ventrikel dengan
peningkatan LVEDP tanpa peningkatan LVEDV atau penurunan curah
jantung.
3. Tahanan terhadap pengisian ventrikel kiri terjadi akibat relaksasi abnormal
(lusitropik) ventrikel kiri dan dapat disebabkan oleh setiap kondisi yang
membuat kaku miokard ventrikel seperti penyakit jantung iskemik yang
menyebabkan jaringan parut, hipertensi yang mengakibatkan kardiomiopati
hipertrofi, kardiomiopati restriktif, penyakit katup atau penyakit perikardium.
4. Peningkatan denyut jantung menyebabkan waktu pengisian diastolik menjadi
berkurang dan memperberat gejala disfungsi diastolik. Oleh karena itu,
intoleransi terhadap olahraga sudah menjadi umum.
5. Karena penanganan biasanya memerlukan perubahan komplians miokard yang
sesungguhnya, efektivitas obat yang kini tersedia masih sangat terbatas.
Penatalaksanaan terkini paling berhasil dengan penyekat beta yang
meningkatkan fungsi lusitropik, menurunkan denyut jantung, dan mengatasi
gejala. Inhibitor ACE dapat membantu memperbaiki hipertrofi dan membantu
perubahan struktural di tingkat jaringan pada pasien dengan remodeling
iskemik atau hipertensi. Sumber : (Elizabeth, 2009).

5
PATHWAY

Diafungsi Beban Tekanan Beban Sistole Beban Volume


Miokardium Berlebihan Berlebih Berlebih

Kontrak Tilitas Beban Sistole Perload CHF KANAN


Beerkurang Meningkat Meningkat

Hambatan Pengosongan
ventrikel

Beban Jantung Meningkat

DEFISIT
CHF KIRI CHF
PENGETAHUAN

Gagal Pompa
Ventrikel Kiri

Forward Failure
Backward Failure

Cardiac Output Menurun


Renal flow
LVED (Left Ventrikuler End Diastolic) naik
Suplai O2
Suplai Darah KE Glomerular
Ke otak Tekanan venaa pukmonalis
jaringan Filtration rate

Metabolisme
Nutrisi anaerob Tekanan Kapiler paru
Retensi Na + H2O

Metabolisme sel Timbunan Asam Odema paru


laktat Kelebihan Volume
Cairan
Lemah Cairan Masuk Dalam
Fatique
ALveoli

Hambatan
Itoleransi Aktifitas
Religiositas
Ganguan
Ketidak Evektifan
Pertukaran
bersihan jalan nafas
Ganguan perfusi jaringan Gas

6
5. KASIFIKASI
Berdasarkan American Heart Association (Yancy et al.,2013), klasifikasi dari
gagal jantung kongestif yaitu sebagai berikut.
a. Stage A
Stage A merupakan klasifikasi dimana pasien mempunyai resiko tinggi, tetapi
belum ditemukannya kerusakan struktural pada jantung serta tanpa adanya tanda
dan gejala (symptom) dari gagal jantung tersebut. Pasien yang didiagnosa gagal
jantung stage Aumumnya terjadi pada pasien dengan hipertensi, penyakit jantung
koroner, diabetes melitus, atau pasien yang mengalami keracunan pada
jantungnya (cardiotoxins).
b. Stage B
Pasien dikatakan mengalami gagal jantung stage B apabila ditemukan adanya
kerusakan struktural pada jantung tetapi tanpa menunjukkan tanda dan gejala dari
gagal jantung tersebut.Stage B pada umumnya ditemukan pada pasien dengan
infark miokard, disfungsi sistolik pada ventrikel kiri ataupun penyakit valvular
asimptomatik.
c. Stage C
Stage C menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan struktural pada jantung
bersamaan dengan munculnya gejala sesaat ataupun setelah terjadi
kerusakan.Gejala yang timbul 12dapat berupa nafas pendek, lemah, tidak dapat
melakukan aktivitas berat.
d. Stage D
Pasien dengan stage D adalah pasien yang membutuhkan penanganan atau pun
intervensi khusus dan gejala dapat timbul bahkan pada saat keadaan istirahat, serta
pasien yang perlu dimonitoring secara ketat.
The New York Heart Associatio (Yancy et al., 2013) mengklasifikasikan gagal
jantung dalam empat kelas, meliputi :
a. Kelas I
Aktivitas fisik tidak dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara normal tidak
menyebabkan dyspnea, kelelahan, atau palpitasi.
b. Kelas II
Aktivitas fisik sedikit dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara normal
menyebabkan kelelahan, dyspnea, palpitasi, serta angina pektoris (mild CHF).
c. Kelas III
Aktivitas fisik sangat dibatasi, melakukan aktivitas fisik sedikit saja mampu
menimbulkan gejala yang berat (moderateCHF).
d. Kelas IV
Pasien dengan diagnosa kelas IV tidak dapat melakukan aktivitas fisik apapun,
bahkan dalam keadaan istirahat mampu menimbulkan gejala yang berat (severe
CHF).
Klasifikasi gagal jantung baik klasifikasi menurut AHA maupun NYHA
memiliki perbedaan yang tidak signifikan.Klasifikasi menurut AHA berfokus pada
faktor resiko dan abnormalitas struktural jantung, sedangkan klasifikasi menurut
NYHA berfokus pada pembatasan aktivitas dan gejala yang ditimbulkan yang pada
akhirnya kedua macam klasifikasi ini menentukan seberapa berat gagal jantung yang
dialami oleh pasien.

7
6. KOMPLIKASI
Komplikasi Menurut Wijaya & Putri (2013) komplikasi pada gagal jantung Yaitu:
1. Edema paru akut terjadi akibat gagal jantung kiri
2. Syok kardiogenik : stadium dari gagal jantung kiri, kongestif akibat penurunan
curah jantung dan perfusi jaringan yang tidak adekuat ke organ vital (jantung
dan otak)
3. Episode trombolitik Trombus terbentuk karena imobilitas pasien dan
gangguan sirkulasi dengan aktivitas trombus dapat menyumbat pembuluh
darah.
4. Efusi perikardial dan tamponade jantung Masuknya cairan kekantung
perikardium, cairan dapat meregangkan perikardium sampai ukuran maksimal.
CPO menurun dan aliran balik vena kejantung menuju tomponade jantung.

7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Menurut Doenges (2000) pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosa CHF yaitu:
1. Elektro kardiogram (EKG)Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis,
iskemia, disritmia, takikardi, fibrilasi atrial
2. Scan jantung Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan pergerakan
dinding.
3. Sonogram (echocardiogram, echokardiogram doppler)Dapat menunjukkan
dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam fungsi/struktur katub atau area
penurunan kontraktilitas ventricular.
4. Kateterisasi jantung Tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu
membedakan gagal jantung kanan dan gagal jantung kiri dan stenosis katub atau
insufisiensi.
5. Rongent Dada Dapat menunjukan pembesaran jantung, bayangan mencerminkan
dilatasi atau hipertrofi bilik atau perubahan dalam pembuluh darah abnormal
6. Elektrolit Mungkin berubah karena perpindahan cairan/penurunan fungsi ginjal,
terapi diuretic
7. Oksimetri Nadi Saturasi oksigen mungkin rendah terutama jika gagal jantung
kongestif akut menjadi kronis.
8. Analisa Gas Darah (AGD)
Gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkalosis respiratori ringan (dini) atau
hipoksemia dengan peningkatan PCO2 (akhir)
9. Pemeriksaan Tiroid Peningkatan aktivitas tiroid menunjukkan hiperaktivitas tiroid
sebagai pre pencetus gagal jantung kongestif.

8. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Dapat terdengar bunyi jantung ketiga.


2. Identifikasi radiologis adanya kongesti paru dan pembesaran ventrikel dapat
mengindikasikan Congestive Heart Failure (CHF)
3. Identifikasi pembesaran ventrikel dengan magnetic resonance imaging (MRI)
atau ultrasonografi dapat mengindikasikan adanya Congestive Heart Failure
(CHF)
4. Pengukuran tekanan diastolik akhir ventrikel dengan sebuah kateter yang
dimasukkan ke dalam arteri pulmonalis ( mencerminkan tekanan ventrikel kiri )
atau ke dalam vena kava ( mencerminkan tekanan ventrikel kanan ) dapat

8
mendiagnosis Congestive Heart Failure (CHF)Tekanan ventrikel kiri biasanya
mencerminkan volume ventrikel kiri.
5. Elektrokardiografi dapat memperlihatkan dilatasi abnormal ruang jantung dan
kelainan kontraktilitas.
6. BNP (Brain Natriuretic Peptide ) serum ( dan sedikit meluas ANP ) memberikan
informasi keparahan dan perkembangan penyakit. Kadar normal bervariasi
sesuai usia ( nilai dasar meningkat sesuai usia ) dan jenis kelamin ( meningkat
pada wanita dari pada pria ), sehingga usia dan jenis kelamin harus
dipertimbangkan saat mengevaluasi hasil pengukuran. Sumber : ( Elizabeth,
2009 )

9. PENATALAKSANAAN
1. Penggunaan penyekat beta dan penghambat enzim pengubah angiotensin
( inhibitor ACE ) sebagai terapi yang paling efektif untuk CHF kecuali ada
kontraindikasi khusus. Inhibitor ACE menurunkan afterload (TPR) dan volume
plasma ( preload ). Penyekat reseptor angiotensin dapat digunakan sebagai
inhibitor ACE.
2. Diberikan diuretik untuk menurunkan volume plasma sehingga aliran balik vena
dan peregangan serabut otot jantung berkurang.
3. Terapi oksigen mungkin digunakan untuk mengurangi kebutuhan jantung.
4. Nitrat mungkin diberikan untuk mengurangi after load dan preload.
5. Uji coba nitric oxide boosting drug (BiDil) .
6. Penyekat aldosteron ( epleronon ) telah terbukti mengobati gagal jantung
kongestif setelah serangan jantung.
7. Digoksin (digitalis) mungkin diberikan untuk meningkatkan kontraktilitas.
Digoksin bekerja secara langsung pada serabut otot jantung untuk meningkatkan
kekuatan setiap kontraksi tanpa bergantung panjang serabut otot. Hal ini akan
menyebabkan peningkatan curah jantung sehingga volume dan peregangan ruang
ventrikel berkurang. Saat ini digitalis lebih jarang digunakan untuk mengatasi
CHF dibandingkan masa sebelumnya. Sumber : ( Elizabeth, 2009 )

10. PENGOBATAN
Terapi gagal jantung dibagi atas terapi non farmakologi dan terapi farmakologi.
A. Terapi non farmakologi
1. Diet
Pasien gagal jantung dengan diabetes, dislipidemia atau obesitas harus diberi diet
yang sesuai untuk menurunkan gula darah, lipid darah, dan berat badannya. Asupan NaCl
harus dibatasi menjadi 2-3 g Na/hari, atau < 2 g/hari untuk gagal jantung sedang sampai
berat. Restriksi cairan menjadi 1,5-2 L/hari hanya untuk gagal jantung berat.
2. Merokok : Harus dihentikan.
3. Aktivitas fisik
Olah raga yang teratur seperti berjalan atau bersepeda dianjurkan untuk pasien gagal
jantung yang stabil (NYHA kelas II-III) dengan intensitas yang nyaman bagi pasien.
4. Istirahat : Dianjurkan untuk gagal jantung akut atau tidak stabil.
5. Bepergian Hindari tempat-tempat tinggi dan tempat-tempat yang sangat panas atau lembab
(Nafrialdi dan Setiawati, 2007).

9
B. Terapi Farmakologi
1. ACE Inhibitor ACE Inhibitor merupakan obat pilihan untuk gagal jantung
kongestif. Obat ini bekerja dengan menghambat enzim yang berasal dari angiotensin I
membentuk vasokontriktor yang kuat angiotensin II (Mycek et al., 2001).
Penghambatan ACE mengurangi volume dan tekanan pengisian ventrikel kiri, dan
meningkatkan curah jantung (Ganiswarna, 1995). Konsep dasar pemakaian inhibitor
ACE sebagai vasodilator dalam pengobatan gagal jantung adalah karena
kemampuannya untuk :
a. Menurunkan retensi vaskular perifer yang tinggi akibat tingginya tonus arteriol
dan venul ( peripheral vascular resistance)
b. Menurunkan beban tekanan pengisian ventrikel yang tinggi (ventricular
fillingpressure) (Suryadipraja, 2004).Pada pemakaian ACE Inhibitor harus diwaspadai
terjadinya hiperkalemia, karena itu pemakaiannya dengan diuretik hemat K+ atau
pemberian K+ harus dengan hati-hati demikian juga pasien hipotensi (baik akibat
pemberian diuretik berlebihan
maupun karena hipotensi sistemik) serta pada gagal ginjal.

2.Antagonis Aldosteron
Antagonis aldosteron termasuk spironolakton dan inhibitor konduktan natrium duktus
kolektifus (triamteren dan amirolid). Obat-obat ini sangat kurang efektif bila digunakan
sendiri tanpa kombinasi dengan obat lain untuk penatalaksaanaan gagal jantung. Meskipun
demikian, bila digunakan dalam kombinasi dengan tiazid atau diuretika Ansa Henle, obat-
obat golongan ini efektif dalam mempertahankan kadar kalium yang normal dalam serum
(Kelly dan Fry, 1995). Spironolakton merupakan inhibitor spesifik aldosteron yang sering
meningkat pada gagal jantung kongestif dan mempunyai efek penting pada retensi potassium.
Triamteren dan amirolid beraksi pada tubulus distal dalam mengurangisekresi
potassium. Potensi diuretik obat-obat tersebut ringan dan tidak cukup untuk sebagian
besar pasien gagal jantung, namun dapat meminimalkan hipokalemia akibat agen tertentu
(Massie dan Amidon, 2002). Efek samping akibat pemakaian spironolakton adalah gangguan
saluran cerna, impotensi, ginekomastia, menstruasi tidak teratur, letargi, sakit kepala, ruam
kulit, hiperkalemia, hepatotoksisitas, dan osteomalasia (Anonim, 2000). Spironolakton dapat
berinteraksi dengan aspirin, suplemen kalium, kolestiramin,digoksindan propoksifen
(Stockley, 2008). Spironolakton kontraindikasi pada pasien insufisiensi ginjal akut, anuria,
hiperkalemia, hipermagnesia dan gagal ginjal berat (Nawarskas et al., 2002)

3. Vasodilator
Vasodilator berguna untuk mengatasi preloaddan afterload yang berlebihan.
Preload adalah volume darah yang mengisi ventrikel selama diastole. Peningkatan
preload menyebabkan pengisian jantung berlebih. Afterloadadalah tekanan yang harus
di atasi jantung ketika memompa darah ke sistem arterial. Dilatasi vena mengurangi
preload jantung dengan meningkatkan kapasitas vena, dilator arterial menurunkan
resistensi arteriol sistemik dan menurunkan afterload(Mycek et al., 2001). Contoh
obat yang berfungsi sebagai arteriodilator adalah hidralazin, fentolamin, sedangkan
venodilator adalah nitrat organik penghambat Angiotensin Converting
Enzyme(penghambat ACE), α bloker, dan Na-nitropusid bekerja sebagai dilator arteri
dan vena (Ganiswarna, 1995).

10
Vasodilator lain yang dapat digunakan untuk gagal jantung adalah hidralazin
dan prazosin selain golongan nitrat yang efek kerjanya pendek serta sering
menimbulkan toleransi (Suryadipraja, 2004).

4. Obat-obat Inotropik

Berkenaan dengan penggunaan diuretik pada gagal jantung, efek merugikan


yang paling penting karena diuretik adalah abnormalitas elektrolit, termasuk
hiponatremia, hipokalemia, dan alkalosis metabolik hipokloremia (Ooi dan Colucci,
2008). Golongan digitalis merupakan satu-satunya agen inotropik oral yang tersedia
di AS. Agen inotropik intravena antara lain obat simpatomimetik dan inhibitor
fosfodiesterase.
(a)Obat-obat simpatomimetik
Obat-obat simpatomimetik adalah obat inotropik kuat yang terutama
digunakan untuk terapi gagal jantung berat pada suasana akut. Contoh obat ini adalah
dopamine dan dobutamin. Efek-efek merugikan yang terpenting berkaitan dengan
sifat alami obat ini yang aritmogenik dan potensi obat untuk menimbulkan iskemia
otot jantung, takikardi, dan iritabilitas ventricular dapat dikurangi dengan
memperkecil dosis (Kelly dan Fry, 1995). Dobutamin menyebabkan peningkatan
siklik AMP intrasel, yang menyebabkan aktivasi protein kinase. Saluran kalsium
lambat merupakan tempat penting fosforilasi protein kinase. Jika ion kalsium dalam
sel miokard meningkat, kontraksi akan meningkat (Mycek et al., 2001).
Efek samping dari obat ini utamanya adalah takikardia berlebihan dan aritmia
(Nafrialdi dan Setiawati, 2007).
(b)Inhibitor fosfodiesterase
Contoh obat golongan ini adalah amrinon dan milrinon. Obat ini menyebabkan
peningkatan kalsium intrasel dan kontraktilitas jantung (Mycek et al., 2001). Pada
penggunaan jangka panjang obat ini meningkatkan mortalitas (mempercepat
kematian). Karena itu indikasinya hanyauntuk penggunaan jangka pendek pada gagal
jantung tahap akhir dengan gejala-gejala yang refrakter terhadap obat lain (Nafrialdi
dan Setiawati, 2007).
(c)Digitalis
Sifat umumnya sebagai inotropik positif yaitu meningkatkan kekuatan
kontraksi miokard. Preparat digitalis mempunyai 3 khasiat pada otot jantung, yaitu
kerja inotropik positif (meningkatkan kontraksi miokard), kerja kronotropik negatif
(memperlambat denyut jantung), dan kerja dromotropik negatif (mengurangi hantaran
sel-sel jantung). Contoh preparat digitalis yang banyak digunakan adalah digoksin
(Keedan Hayes, 1996). Over dosis digoksin menyebabkan toksisitas digitalis dengan
tanda-tanda anoreksia, diare, mual dan muntah, bradikardi dan takikardi, kontraksi
ventrikel prematur, aritmia jantung, sakit kepala, penglihatan kabur, ilusi penglihatan,
bingung dan delirium. Orang lanjut usia lebih rentan terjadi toksisitas (Katzung,
2004). Digoksin dapat ditambahkan pada pasien dengan gejala berat yang belum
bereaksi selama terapi diuretik, ACEI, atau β-bloker. Digoksin diberikan secara rutin
pada pasien gagal jantung dan fibrilasi atrial. Efek samping yang ditimbulkan adalah
aritmia, gangguan pencernaan dan gangguan saraf (Massie dan Amidon, 2002

11
11. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian Keperawatan
1. Pengkajian Primer
§   Airways
a.         Sumbatan atau penumpukan sekret
b.        Wheezing atau krekles
§   Breathing
a.         Sesak dengan aktifitas ringan atau istirahat
b.        RR lebih dari 24 kali/menit, irama ireguler dangkal
c.         Ronchi, krekles
d.        Ekspansi dada tidak penuh
e.         Penggunaan otot bantu nafas
§   Circulation
a.         Nadi lemah , tidak teratur
b.        Takikardi
c.         TD meningkat / menurun
d.        Edema
e.         Gelisah
f.         Akral dingin
g.        Kulit pucat, sianosis
h.        Output urine menurun
2.   Pengkajian Sekunder
Riwayat Keperawatan
a.       Keluhan
1)      Dada terasa berat (seperti memakai baju ketat).
2)      Palpitasi atau berdebar-debar.
3)      Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND) atau orthopnea, sesak nafas
saat beraktivitas, batuk (hemoptoe), tidur harus pakai bantal lebih dari
dua buah.
4)      Tidak nafsu makan, mual, dan muntah.

12
5)      Letargi (kelesuan) atau fatigue (kelelahan
6)      Insomnia
7)      Kaki bengkak dan berat badan bertambah
8)      Jumlah urine menurun
9)      Serangan timbul mendadak/ sering kambuh.
3. Riwayat penyakit: hipertensi renal, angina, infark miokard kronis, diabetes
melitus, bedah jantung, dan disritmia.
4.    Riwayat diet: intake gula, garam, lemak, kafein, cairan, alkohol.
5.     Riwayat pengobatan: toleransi obat, obat-obat penekan fungsi jantung,
steroid, jumlah cairan per-IV, alergi terhadap obat tertentu.
6.    Pola eliminasi orine: oliguria, nokturia.
7.    Merokok: perokok, cara/ jumlah batang per hari, jangka waktu
8.    postur, kegelisahan, kecemasan
9.    Faktor predisposisi dan presipitasi: obesitas, asma, atau COPD yang
merupakan faktor pencetus peningkatan kerja jantung dan mempercepat
perkembangan CHF.

B.      Pemeriksaan Fisik


1)      Evaluasi status jantung: berat badan, tinggi badan, kelemahan, toleransi aktivitas,
nadi perifer, displace lateral PMI/ iktus kordis, tekanan darah, mean arterial
presure, bunyi jantung, denyut jantung, pulsus alternans, Gallop’s, murmur.
2)      Respirasi: dispnea, orthopnea, suara nafas tambahan (ronkhi, rales,
wheezing)
3)      Tampak pulsasi vena jugularis, JVP > 3 cmH2O, hepatojugular refluks
4)      Evaluasi faktor stress: menilai insomnia, gugup atau rasa cemas/takut
yang kronis
5)      Palpasi abdomen: hepatomegali, splenomegali, asites
6)      Konjungtiva pucat, sklera ikterik
7)      Capilary Refill Time (CRT) > 2 detik, suhu akral dingin, diaforesis, warna kulit
pucat, dan pitting edema.
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan volume paru,
hepatomegali, splenomigali
13
2. Penurunan curah jantung menurun berhubungan dengan perubahan
kontraktilitas miokardia, perubahan frekuensi, irama, perubahan struktural
(kelainan katup).
3. Intoleran aktvitas berhubungn dengan ketidak seimbangan suplai oksigen,
kelemahan umum.
4. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan meningkatnya cairan antara
kapiler dan alveolus.
N DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
O
1. Pola nafas Setelah di lakukakan  Monitor kedalaman  Distress
tidak efektif tindakan keperawatan pernafasan, pernapasan
berhubungan selama 2 x 24jam frekuensi, dan dan
dengan maka diharapkan klien ekspansi dada. perubahan
penurunan dengan kreteria hasil :  Catat upaya pada tanda
volume paru,  Pola nafas efektif pernafasan  vital dapat
hepatomegali, setelah dilakukan termasuk terjadi
splenomigali. tindakan penggunaan otot sebagai
keperawatan  bantu nafas akibat dari
selama di RS, RR  Auskultasi bunyi diafragma
Normal , tak ada napas dan catat yang
bunyi nafas adanya bunyi napas menekan
tambahan  dan krekels, mengi. paru-paru.
penggunaan otot  Tinggikan kepala   kesulitan
bantu pernafasan. dan  bantu untuk bernafas
Dan GDA Normal. mencapi posisi dengan
yang senyaman ventilator
mungkin dan/atau
 Pemberian oksigen peningkatan
dan cek GDA tekanan jalan
napas di duga
memburukny
a
kondisi/terjad
inya

14
komplikasi.
 Bunyi napas
menurun/tak
ada bila jalan
napas
obstruksi
sekunder
terhadap
perdarahan,
krekels dan
mengi
menyertai
obstruksi
jalan
napas/kegaga
lan
pernapasan
 Duduk tinggi
memungkink
an ekspansi
paru dan
memudahka
pernapasan.
Pengubahan
posisi dan
ambulansi
meningkatka
n pengisian
udara
segmen paru
berbeda
sehingga
memperbaiki
difusi gas.
15
 Pasien
dengan
gangguan
nafas
membutuhka
n oksigen
yang
adekuat.
GDA untuk
mengetahui
konsentrasi
O2 dalam
darah.
2. Penurunan Setelah di lakukakan  Aukskultasi nadi  agar
curah jantung tindakan keperawatan  kaji frekuensi mengetahui
menurun selama 2 x 24jam jantung, irama seberapa
berhubungan maka diharapkan klien jantung besar
dengan dengan kreteria hasil :  Kaji kulit terhadap tingkatan
perubahan  Menununjukan pucat dan sianosis perkembanga
kontraktilitas tanda vital dalam  Berikan oksigen n penyakit
miokardia, batas normal, dan tambahan dengan secara
perubahan bebas gejala gagal kanula universal.
frekuensi, jantung. nasal/masker sesuai  pucat
irama,    Melaporkan indikasi menunjukan
perubahan penurunan episode  Berikan obat sesuai menurunnya
structural dispnea, angina. indikasi perfusi
(kelainan  Ikut serta dalam perifer
katup) aktvitas sekunder
mengurangi beban terhadap
kerja jantung. tidak
adekuatnya
curah
jantung.
Sianosis

16
dapat terjadi
akibat dari
suplai
oksigen yang
berkurang
pada jaringan
atau sel.
 meningkatka
n sediaan
oksigen
untuk
kebutuhan
miokard,
untuk
melawan
hipoksia.
Kola
borasi :t6
 vasodilator
digunakan
untuk
meningkatka
n curah
jantung, dan
menurunkan
volume
sirkulasi.

3. Intoleran Setelah di lakukakan  Periksa tanda vital  hipotensi


aktvitas tindakan keperawatan sebelum dan segera ortostatik
berhubungn selama 2 x 24jam setelah aktivitas, dapa terjadi
dengan maka diharapkan klien khususnya bila karena akibat
ketidak dengan kreteria hasil : pasien dari obat
seimbangan  Berpatisipasi pada menggunakan vasodilator

17
suplai aktivitas yang vasodilator, dan dan diuretic.
oksigen, diinginkan, diuretic.  penurunan
kelemahan memenuhi  Catat respon atau
umum. kebutuhan kardiopulmonal ketidakmamp
keperawatan diri terhadap uan
sendiri. aktivitas, catat miokardium
 Mencapai takikardi,disritmia, untuk
peningkatan dispnea, pucat meningkatka
toleransi aktivitas  Evaluasi n volume
yang dapat di peningkatan sekuncup
ukur, dibuktikan intoleran aktivitas. selama
oleh menurunya  Implementasi aktivitas,
kelemahan dan program rehabilitas dapat
kelelahan tanda jantung/aktifitas menyebabka
vitalselam n
aktivitas. peningkatan
segera pada
frekuensi
jantung dan
kebutuhan
oksigen, juga
peningkatan
kelelahan
dan
kelemahan
 dapat
menunjukan
dekompensas
i jantung dari
pada
kelebihan
aktivitas.
Kolaborasi
 peningkatan
18
bertahap
pada aktifitas
menghindari
kerja
jantung/kons
umsi oksigen
berlebihan.
Rehabilitasi
juga perlu
dilakukan
ketika fungsi
jantung tidak
dapat
kembali
membaik
saat berada
dibawah
tekanan.

4. Gangguan Setelah di lakukakan  Aukskultasi bunyi  Menyatakan


pertukaran tindakan keperawatan napas, catat adanya
gas selama 2 x 24jam krekels, mengi. kongesti
berhubungan maka diharapkan klien  Anjurkan pasien paru/pengum
dengan dengan kreteria hasil: untuk batuk efektif, pulan secret
meningkatnya  Mendemonstrasika napas dalam menunjukan
cairan antara n ventilasi dan  Pertahankan posisi kebutuhan
kapiler dan oksigenasi adekuat semifowler. untuk
alveolus pada jaringan.  Berikan oksigen intervensi
 Berpartisipasi tambahan sesuai lanjut.
dalam program indikasi.  memberikan
pengobatan dalam  Kolaborasi : jalan napas
batas kemampuan. Berikan obat sesuai dan

19
indikasi.(Diuretic, memudahkan
furosemid (laxis). aliran
 Bronkodilator, oksigen.
contoh aminofiin  Menurunkan
 Berikan oksigen kosumsi
tambahan yang oksigen/kebu
sesuai dengan tuhan dan
indikasi hasil GDA meningkatka
dan toleransi n inflamasi
pasien. paru
maksimal.
 meningkatka
n kontraksi
oksigen
alveolar,
yang dapat
memperbaiki
/menurunkan
hipoksemia
jaringan.
 menurunkan
kongesti
alveolar,
mningkatkan
pertukaran
gas.
 meningkatka
n aliran
oksigen
dengan
mendilatasi
jalan napas
kecil.
 Terjadinya/k
20
egagalan
nafas yang
akan datang
memerlukan
upaya
penyelamata
n hidup.

21
DAFTAR PUSTAKA

Ardini, Desta N. 2007. Perbedaaan Etiologi Gagal jantung Kongestif pada Usia Lanjut
dengan Usia Dewasa Di Rumah Sakit Dr. Kariadi Januari - Desember 2006.
Semarang: UNDIP
Jayanti, N. 2010. Gagal Jantung Kongestif. Dimuat dalam
http://rentalhikari.wordpress.com/2010/03/22/lp-gagal-jantung-kongestif/ (diakses
pada 6 Februari 2012)
Johnson, M.,et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Mc Closkey, C.J., Iet all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition.
New Jersey: Upper Saddle River
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika
Udjianti, Wajan J. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba medika

22

Anda mungkin juga menyukai