Anda di halaman 1dari 38

ASIDOSIS METABOLIK LUKA BAKAR

MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok
Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat II
Dosen Pembimbing : Ns. Venny Mayumi Gultom, S.Kep.

Disusun oleh:
1. Bella Shinta (30.01.12.0003)
2. Eko Prasetyo (30.01.12.0007)
3. Frisca Ramadhani (30.01.12.0013)
4. Imam Arni Yusuf (30.01.12.0017)
5. Kristo Vorus F. Y (30.01.12.0021)
6. Luh Ayu Yugianti (30.01.12.0023)
7. Monalisa Sitanggang (30.01.12.0031)
8. Nyoman Lusiawati (30.0.12.0033)
9. Sariah Damayanti (30.01.12.0041)
10. Tiara Pertiwi (30.01.12.0045)
11. Vinasta Agus Wahyudi (30.01.12.0049)
12. Wira Nirma Mellah Batra (30.01.12.0051)
13. Wulan Maya Sari (30.01.12.0053)
14. Yun Rehna Rosari S. (30.01.12.0057)
SEKOLAH TINGGI KESEHATAN PERDHAKI CHARITAS
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
PALEMBANG
TAHUN AKADEMIK 2015
KATA PENGANTAR

Segala puji serta rasa syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas
berkah dan rahmat-Nyalah serta ridho-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini tentang “Asidosis Metabolik Luka Bakar”. Dengan
harapan makalah ini dapat membantu mahasiswa/i dalam mempelajari mata kuliah
keperawatan gawat darurat.
Makalah ini merupakan salah satu tugas yang di berikan kepada kami
dalam rangka pengembangan dasar ilmu keperawatan gawat daruratyang
berkaitan dengan luka bakar.Selain itu tujuan dari penyusunan makalah ini juga
untuk menambah wawasan tentang pengetahuan keperawatan gawat darurat
secara meluas. Sehingga besar harapan kami, makalah yang kami sajikan dapat
menjadi konstribusi positif bagi pengembang wawasan pembaca.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini belum sempurna dan
masih perlu perbaikan serta penyempurnaan, baik dari segi materi maupun
pembahasan. Oleh sebab itu dengan lapang dada penulis akan menerima kritik dan
saran yang sifatnya membangun demi penyempurnaan makalah ini dimasa
mendatang.
Demikianlah, semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan dapat
ikut memberikan sumbangan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Palembang, April 2015

Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.......................................................................... i
KATA PENGANTAR........................................................................ ii
DAFTAR ISI...................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan................................................................. 2
1.4 Manfaat Penulisan............................................................... 3
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Dasar Medis........................................................... 4
2.1.1 Pengertian.................................................................. 4
2.1.2 Anatomi Fisiologi..................................................... 4
2.1.3 Patofisiologi Teori..................................................... 9
2.1.4 Patoflow Diagram..................................................... 13
2.1.5 Penatalaksanaan........................................................ 15
2.1.6 Update Jurnal............................................................ 19
2.1.7 Penanganan Terkait Update Jurnal........................... 24
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan............................................. 25
2.2.1 Pengkajian Primary dan Secondary Survey.............. 25
2.2.2 Diagnosa Keperawatan............................................. 29
2.2.3 Perencanaan.............................................................. 29
2.2.4 Implementasi............................................................. 32
2.5.5 Evaluasi..................................................................... 33
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan......................................................................... 34
3.2 Saran.................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Combutio atau luka bakar merupakan suatu kejadian yang paling
sering terjadi di Indonesia dan negara lainnya. Luka bakar yang terjadi dapat
disebabkan oleh panas, listrik ataupun kimia. Dan kecelakaan luka bakar ini
dapat terjadi dimana-mana seperti di rumah, kantor ataupun tempat umum
yang lainnya (mal, terminal). Di Indonesia angka kejadian luka bakar cukup
tinggi, lebih dari 250 jiwa pertahun meninggal akibat luka bakar. Dikarenakan
jumlah anak-anak dan lansia cukup tinggi di Indonesia serta ketidakberdayaan
anak-anak dan lansia untuk menghindari terjadinya kebakaran, selain itu laki-laki
cenderung lebih sering mengalami luka bakar dibanding wanita (Rohman Azzam,
2008).
Pasien cedera luka bakar dianggap sebagai pasien trauma multiple
karena efek fisiologik dari luka bakar pada sistem organ. Selain itu, pada
cedera luka bakar, pasien sering mengalami cedera traumatik. Terdapat
kegawatdaruratan yang dapat muncul pada penderita luka bakar salah satunya
adalah asidosis metabolik dimana terjadi ketidakseimbangan asam basa yang
disebabkan oleh perfusi jaringan yang tidak adekuat. Biasanya terjadi pada pasien
dengan luka bakar yang cukup luas, karena kehilangan cairan yang banyak.
Sehingga penderita luka bakar memerlukan perawatan secara khusus ,
disebabkan luka bakar terdapat keadaan seperti mengeluarkan banyak air,
serum, darah, terbuka untuk waktu yang lama dan ditempati kuman dengan
patogenitas tinggi atau dengan kata lain mudah terinfeksi (Pamela S. Kidd,
2010).
Tujuan penatalaksanaan luka bakar di unit gawat darurat adalah
menghentikan proses luka bakar, mempertahankan jalan nafas, pernafasan dan
sirkulasi (ABC), mempertahankan jaringan yang ada, serta mencegah infeksi.
Oleh sebab itu, pasien luka bakar memerlukan penanganan yang serius dimana
dalam hal ini peran perawat sangat penting dalam memberikan asuhan
keperawatan yang komprehensif.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan 
permasalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan asidosis metabolik luka bakar?
2. Bagaimana anatomi dan fisiologi yang berhubungan dengan asidosis
metabolik luka bakar?
3. Bagaimana patofisiologi dan patofisiologi diagram mengenai asidosis
metabolik luka bakar?
4. Bagaimana penanganan medis dan tindakan keperawatan terkait update
jurnal mengenai asidosis metabolik luka bakar?
5. Bagaimana pengkajian (primary survey dan secondary survey) mengenai
asidosis metabolik luka bakar?
6. Bagaimana pendokumentasian asuhan keperawatan tentang asidosis
metabolik luka bakar?

1.3 Tujuan Pembahasan


Adapun tujuan penulisan makalah ini antara lain :
1. Mahasiswa/i mampu mengkolaborasikan berbagai aspek dalam
pemenuhan kebutuhan kesehatan klien.
2. Mahasiswa/i mampu menjamin kualitas asuhan holistik secara kontinu dan
konsisten.
3. Mahasiswa/i mampu menggunakan proses keperawatan dalam
penyelesaian masalah klien.
4. Mahasiswa/i mampu memberikan asuhan peka budaya dengan menghargai
sumber-sumber etnik, agama, atau faktor lain dari setiap klien yang unik.
5. Mahasiswa/i mampu menggunakan keterampilan interpersonal yang
efektif dalam kerja tim dan pemberian asuhan keperawatan dengan
mempertahankan hubungan kolaboratif.
6. Mahasiswa/i mampu mendapatkan, memahami dan menganalisis jurnal
gawat darurat terbaru.

1.4 Manfaat Penulisan


Sesuai dengan latar belakang, rumusan masalah dan tujuan penulisan yang
hendak dicapai, maka manfaat yang dapat diharapkan dari penulisan makalah ini
adalah :
1. Bagi Mahasiswa
Hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat digunakan untuk
meningkatkan pengetahuan mahasiswa memahami kegawatdaruratan asidosis
metabolik luka bakar.

2. Bagi Perawat
Hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi
tenaga kesehatan khususnya perawat agar mengetahui asidosis metabolik luka
bakardan mampu menerapkan asuhan keperawatannya dalam kehidupan sehari-
hari, sehingga dapat diaplikasikan pada pelayanan kesehatan.

3. Bagi Institusi Pendidikan


Hasil penulisan makalah ini  diharapkan bisa meningkatkan pengetahuan
dan sebagai bahan masukan bagi sekolah atau instansi kesehatan.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1. Konsep Dasar Medis


2.1.1 Pengertian
Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh kontak dengan suhu tinggi
seperti api, air panas, listrik, bahan kimia, dan radiasi, juga oleh sebab kontak
dengan suhu rendah. Luka bakar ini dapat mengakibatkan kematian, atau akibat
lain berkaitan dengan problem fungsi maupun estetik (Clevo & Margareth, 2012).
Luka bakar adalah kerusakanjaringan tubuh terutama kulit akibat langsung
atau ekspose dengan sumber panas (thermal), kimia, elektrik, dan radiasi Luka
bakar adalah luka yang disebabkan oleh trauma panas yang memberikan gejala,
tergantung luas dalam dan lokasi lukanya (Andra & Yessie, 2013).
Kegawatdaruratan yang dapat muncul pada penderita luka bakar salah
satunya adalah asidosis metabolik dimana terjadi ketidakseimbangan asam basa
yang disebabkan oleh perfusi jaringan yang tidak adekuat, adanya peningkatan
produksi asam dari produk akhir, fungsi renal berkurang (menyebabkan retensi
produk akhir tertahan), kehilangan bikarbonat serum. Kondisi ini akhirnya
menyebabkan asidemia atau keasaman darah, dimana pH arteri turun hingga
dibawah 7,35. Biasanya terjadi pada pasien dengan luka bakar yang cukup luas,
karena kehilangan cairan yang banyak. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat
mempengaruhi sistem saraf pusat dan menyebabkan koma (Pamela S. Kidd,
2010).

2.1.2 Anatomi dan Fisiologi


Anatomi Kulit
Kulit adalah organ tubuh terluas yang menutupi otot dan mempunyai
fungsi sebagai pelindung tubuh dan berbagai trauma ataupun masuknya bakteri,
kulit juga mempunyai fungsi utama reseptor yaitu untuk mengindera suhu,
perasaan nyeri, sentuhan ringan dan tekanan, pada bagian stratum korneum
mempunyai kemampuan menyerap air sehingga dengan demikian mencegah
kehilangan air serta elektrolit yang berlebihan dan mempertahankan kelembaban
dalam jaringan subkutan.
Tubuh secara terus menerus akan menghasilkan panas sebagai hasil
metabolisme makanan yang memproduksi energi, panas ini akan hilang melalui
kulit, selain itu kulit yang terpapar sinar ultraviolet dapat mengubah substansi
yang diperlukan untuk mensintesis vitamin D. Kulit tersusun atas 3 lapisan utama
yaitu epidermis, dermis dan jaringan subkutan.

Gambar 1. Anatomi Kulit


1. Epidermis
Epidermis terbagi atas empat bagian :
a. Lapisan basal/stratum germinativum
 Terdiri atas sel-sel kuboid yang tegak lurus terhadap dermis
 Tersusun sebagai tiang pagar atau palisade
 Sebagai lapisan terbawah dari epidermis
 Terdapat melanosit yaitu sel dendritik yang membentuk melanin
(mulindungi kulit dari sinar matahari)

b. Lapisan Malpighi/stratum spinosum


 Merupakan lapisan epidermis yang paling tebal
 Terdiri atas sel polygonal
 Sel-sel mempunyai protoplasma yang menonjol yang terlihat seperti
duri

c. Lapisan granular/stratum granulosum


 Terdiri atas butir-butir granul keratohialin yang basofili

d. Lapisan tanduk/ korneum


 Terdiri atas 20-25 lapisan sel tanduk tanpa inti

2. Dermis (Korium)
Dermis merupakan lapisan dibawah epidermis, terdiri atas jaringan ikat yang
memiliki dua lapisan :
a. Pars papilaris yang terdiri atas sel fibroblast yang memproduksi kolagen
b. Retikularis yang memiliki banyak pembuluh darah, tempat akar rambut
kelenjar keringat dan kelenjar sebaseus

3. Jaringan Subkutan (Hypodermis/Subcutis)


Jaringan subkutan adalah :
a. Lapisan terdalam yang banyak mengandung sel liposit yang menghasilkan
lemak
b. Merupakan jaringan adipose, yaitu sebagai bantalan antara kulit dan
struktur internal seperti otot dan tulang
c. Sebagai jaringan mobilitas kulit, perubahan kontur tubuh dan penyekatan
panas
d. Sebagai bantalan terhadap trauma
e. Tempat penumpukan energi (Budiyono, 2011).

4. Kelenjar-kelenjar pada kulit


a. Kelenjar sabasae, berfungsi mengontrol sekresi minyak ke dalam ruang
antara folikel rambut dan batang rambut yang akan melumasi rambut
sehingga menjadi halus lentur dan lunak.
b. Kelenjar keringat
Diklasifikasikan menjadi 2 katagori :
 Kelenjer Ekrin terdapat disemua kulit
Melepaskan keringat sebagai reaksi peningkatan suhu lingkungan dan
suhu tubuh.Kecepatan sekresi keringat dikendalikan oleh saraf
simpatik.Pengeluaran keringat pada tangan, kaki, aksila, dahi, sebagai
reaksi tubuh terhadap stress, nyeri dll.
 Kelenjer Apokrin
Terdapat di aksil, anus, skrotum, labia mayora, dan bermuara pada
folikel rambut. Kelenjer inaktif pada masa pubertas, pada wanita akan
membesar dan berkurang pada sklus haid. K.Apokrin memproduksi
keringat yang keruh seperti susu yang diuraikan oleh bakteri
menghasilkan bau khas pada aksila. Pada telinga bagian luar terdapat
kelenjer apokrin khusus yang disebut K. Seruminosa yang
menghasilkan serumen (Andra & Yessie, 2013).

Fisiologi Kulit
Kulit mempunyai berbagai fungsi yaitu sebagai berikut :
1. Pelindung atau proteksi
Epidermis terutama lapisan tanduk berguna untuk menutupi jaringan–
jaringan tubuh di sebelah dalam dan melindungi tubuh dari pengaruh–pengaruh
luar seperti luka atau serangan kuman. Lapisan paling luar dari kulit ari
diselubungi dengan lapisan tipis lemak yang menjadikan kulit tahan air. Kulit
dapat menahan suhu tubuh, menahan luka–luka kecil, mencegah zat kimia dan
bakteri masuk ke dalam tubuh serta menghalau rangsang – rangsang fisik seperti
sinar ultraviolet dari matahari.

2. Penerima rangsang
Kulit sangat peka terhadap berbagai rangsangan sensorik yang
berhubungan dengan sakit, suhu panas atau dingin, tekanan, rabaa, dan getaran.
Kulit sebagai alat perasa dirasakan melalui ujung – ujung saraf sensasi.
3. Pengontrol/pengatur suhu
Bertahan pada suhu dingin dan kondisi panas yang membuat peredaran
darah meningkat sehingga terjadi penguapan keringat.

4. Sebagai penjaga keseimbangan air


a. Sratum korneum dapat menyerap air sehingga mencegah kehilangan air
serta elektrolit yang berlebihan dari bagian internal tubuh dan
mempertahankan kelembaban dalam jaringan subkutan.
b. Air mengalami evaporasi (repirasi tidak kasat mata) kurang lebih 600
ml/hari untuk orang dewasa.

5. Tempat produksi vitamin D


a. Kulit yang terpapar sinar UV akan mengubah substansi untuk mensintesis
vitamin D.
(Budiyono, 2011).

Proses Penyembuhan Luka


Proses yang kemudian pada jaringan rusak ini adalah penyembuhan luka yang
dapat dibagi dalam 3 fase:
1. Fase inflamasi
Fase yang berentang dari terjadinya luka bakar sampai 3-4 hari pasca luka
bakar. Dalam fase ini terjadi perubahan vaskuler dan proliferasi seluler. Daerah
luka mengalami agregasi trombosit dan mengeluarkan serotonin, mulai timbul
epitelisasi.
2. Fase proliferasi
Fase proliferasi disebut fase fibroplasia karena yang terjadi proses
proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung sampai minggu ketiga. Pada fase
proliferasi luka dipenuhi sel radang, fibroplasia dan kolagen, membentuk jaringan
berwarna kemerahan dengan permukaan berbenjol halus yang disebut granulasi.
Epitel tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasar dan mengisi
permukaan luka, tempatnya diisi sel baru dari proses mitosis, proses migrasi
terjadi ke arah yang lebih rendah atau datar. Proses fibroplasia akan berhenti dan
mulailah proses pematangan.
3. Fase maturasi
Terjadi proses pematangan kolagen. Pada fase ini terjadi pula penurunan
aktivitas seluler dan vaskuler, berlangsung hingga 8 bulan sampai lebih dari 1
tahun dan berakhir jika sudah tidak ada tanda-tanda radang. Bentuk akhir dari fase
ini berupa jaringan parut yang berwarna pucat, tipis, lemas tanpa rasa nyeri atau
gatal.

2.1.3 Patofisiologi Teori


Kulit adalah organ terluar tubuh manusia dengan luas 0,025 m 2 pada anak
baru lahir sampai 2 m2 pada orang dewasa. Luka bakar disebabkan oleh
perpindahan energi dari sumber panas ke tubuh, dapat dikelompokkan menjadi
luka bakar termal, radiasi atau kimia. Pada kebakaran dalam ruang tertutup atau
bila luka terjadi diwajah dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas dengan gejala
sesak napas, takipnoe, stridor, suara parau, dan dahak berwarna gelap akibat
jelaga. Dapat juga terjadi keracunan gas CO (karbon monoksida) sangat kuat
yang terikat dengan hemoglobin sehingga hemoglobin tidak lagi mampu mengikat
oksigen. Tanda keracunan ringan yaitu lemas, binggung, pusing, mual dan muntah
(Sjamsuhidajat, dkk, 2010).
Kulit dengan luka bakar akan mengalami kerusakan pada epidermis,
dermis, maupun jaringan subkutan tergantung faktor penyebab dan lamanya kulit
kontak dengan sumber panas atau penyebabnya. Dalamnya luka bakar akan
mempengaruhi kerusakan/gangguan integritas kulit dan kematian sel-sel.
Kedalaman luka bakar diklasifikasikan sebagai derajat I, II, dan III sesuai dengan
tabel dibawah.
Kedalaman Lokasi Penyebab Penampilan Warna Perasaan
Ketebalan partial Epidermis  Jilatan api  Kering tidak ada Bertambah Nyeri
superfisial  Sinar UV gelembung. merah
(derajat I) (terbakar  Oedem minimal atau
matahari) tidak ada.
 Pucat bila ditekan
dengan ujung jari,
berisi kembali bila
tekanan dilepas.
Lebih dalam dari Melewati  Kontak  Blister besar dan  Berbinti Sangat
ketebalan partial epidermis bahan air lembab yang k-bintik nyeri
(derajat II) dan sampai /padat ukurannya bertambah kurang
a. Superfisial ke dermis  Jilatan api besar. jelas
b. Dalam kepada  Pucat bila ditekan  Berwarn
pakaian dengan ujung jari, bila a putih,
 Kimiawi tekanan dilepas berisi coklat,
 Sinar UV. kembali. pink,
daerah
merah
coklat.
Ketebalan Semua  Kontak  Kering disertai kulit  Putih,  Tidak
sepenuhnya lapisan dengan mengelupas. kering sakit,
(derajat III) melewati bahan cair/  Pembuluh darah  Hitam, sedikit
dermis padat seperti arang terlihat coklat sakit.
 Nyala api dibawah kulit yang tua.  Rambut
 Kimia mengelupas.  Hitam, mudah
 Kontak  Gelembung jarang, merah. lepas
dengan arus dindingnya sangat bila
listrik tipis, tidak membesar. dicabut.
 Tidak pucat bila
ditekan.
(Kahan & Raves, 2011)
Luka bakar mengakibatkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah
sehingga air, natrium, klorida, dan protein tubuh akan keluar dari dalam sel
mengakibatkan kebocoran cairan intrakapiler ke interstisial sehingga terjadi
oedema dan bula yang mengandung banyak elektrolit. Selain itu terjadi pertukaran
elektrolit yang abnormal antara sel dan cairan interstisial dimana secara khusus
natrium masuk kedalam sel dan kalium keluar dari dalam sel, dengan demikian
mengakibatkan berkurangnya cairan intravaskuler. Diikuti penurunan curah
jantung, maka terjadilah penurunan perfusi pada organ besar seperti aliran darah
keginjal menurun yang akhirnya menyebabkan asidosis metabolik, aliran darah
gastrointestinal menurun akibatnya resiko ileus, begitu pula aliran darah tidak
lancar yang jika tidak segera diatasi menyebabkan nekrosis.
Cedera panas menghasilkan efek lokal dan efek sistemik yang berkaitan
dengan luasnya destruksi jaringan. Pada luka bakar yang luasnya kurang dari
20%, mekanisme kompensasi tubuh masih bisa mengatasinya. Bila kulit yang
terbakar luas (lebih dari 20%), dapat terjadi syok hipovolemik disertai gejala yang
khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan
darah menurun, dan produksi urin berkurang (Corwin, 2000).
Respon sistemik lainnya adalah anemia yang disebabkan oleh
penghancuran sel darah merah secara langsung oleh panas, hemolisis sel darah
merah yang cedera, dan terjebaknya sel darah merah dalam trombi mikrovaskular
sel-sel yang rusak. Penurunan jumlah sel-sel darah merah dalam jangka panjang
dapat mengakibatkan pengurangan masa hidup sel darah merah. Pada awalnya
terdapat peningkatan aliran darah ke jantung, otak, dan ginjal dengan penurunan
aliran darah ke saluran gastrointestinal. Terdapat peningkatan metabolisme untuk
mempertahankan panas tubuh, yang disediakan untuk memenuhi peningkatan
kebutuhan energi tubuh.
Fisiologi syok pada luka bakar akibat dari lolosnya cairan dalam sirkulasi
kapiler secara massive dan berpengaruh pada sistem kardiovaskular karena
hilangnya atau rusaknya kapiler, yang menyebabkan cairan akan lolos atau hilang
dari compartment intravaskuler ke dalam jaringan interstisial. Eritrosit dan
leukosit tetap dalam sirkulasi dan menyebabkan peningkatan hematokrit dan
leukosit. Darah dan cairan akan hilang melalui evaporasi sehingga terjadi
kekurangan cairan. Peningkatan metabolisme juga dapat menyebabkan kehilangan
cairan melalui sistem pernapasan.
Kompensasi terhadap syok dengan kehilangan cairan maka tubuh
mengadakan respon dengan menurunkan sirkulasi sistem gastrointestinal yang
mana dapat terjadi ilius paralitik, tachycardia dan tachypnea merupakan
kompensasi untuk menurunkan volume vaskuler dengan meningkatkan kebutuhan
oksigen terhadap injury jaringan dan perubahan sistem. Kemudian menurunkan
perfusi pada ginjal, dan terjadi vasokontriksi yang akan berakibat pada depresi
filtrasi glomerulus dan oliguri.
            Respon luka bakar akan meningkatkan aliran darah ke organ vital dan
menurunkan aliran darah ke perifer dan organ yang tidak vital. Respon metabolik
pada luka bakar adalah hipermetabolisme yang merupakan hasil dari peningkatan
sejumlah energi, peningkatan katekolamin, dimana terjadi peningkatan temperatur
dan metabolisme, hiperglikemi karena meningkatnya pengeluaran glukosa untuk
kebutuhan metabolik yang kemudian terjadi penipisan glukosa,
ketidakseimbangan nitrogen oleh karena status hipermetabolisme dan injury
jaringan. Sehingga test diagnostic yang dapat dilakukan pada pasien luka bakar
yaitu pemeriksaan darah lengkap yang menunjukkan hemokonsentrasi
sehubungan dengan perpindahan/kehilangan cairan, dan AGD sebagai dasar
penting untuk kecurigaan cedera inhalasi, penurunan PaO2 atau PaCO2.
2.1.5 Penatalaksanaan
1. Pre Hospital
Seorang yang sedang terbakar akan merasa panik, dan akan belari untuk
mencari air. Hal ini akan sebaliknya akan memperbesar kobaran api karena tertiup
oleh angin. Oleh karena itu, segeralah hentikan (stop), jatuhkan (drop), dan
gulingkan (roll) orang itu agar api segera padam. Bila memiliki karung basah,
segera gunakan air atau bahan kain basah untuk memadamkan apinya. Sedang
untuk kasus luka bakar karena bahan kimia atau benda dingin, segera basuh dan
jauhkan bahan kimia atau benda dingin. Matikan sumber listrik dan bawa orang
yang mengalami luka bakar dengan menggunakan selimut basah pada daerah luka
bakar. Jangan membawa orang dengan luka bakar dalam keadaan terbuka karena
dapat menyebabkan evaporasi cairan tubuh yang terekspose udara luar dan
menyebabkan dehidrasi. Orang dengan luka bakar biasanya diberikan obat-obatan
penahan rasa sakit jenis analgetik : Antalgin, aspirin, asam mefenamat samapai
penggunaan morfin oleh tenaga medis.

2. Hospital
a. Resusitasi A, B, C.
Setiap pasien luka bakar harus dianggap sebagai pasien trauma, karenanya
harus dicek airway, breathing dan circulation-nya terlebih dahulu.
 Airway - apabila terdapat kecurigaan adanya trauma inhalasi, maka segera
pasang Endotracheal Tube (ET). Tanda-tanda adanya trauma inhalasi
antara lain adalah: riwayat terkurung dalam api, luka bakar pada wajah,
bulu hidung yang terbakar, dan sputum yang hitam.
 Breathing - eschar yang melingkari dada dapat menghambat gerakan dada
untuk bernapas, segera lakukan escharotomi. Periksa juga apakah ada
trauma-trauma lain yang dapat menghambat gerakan pernapasan, misalnya
pneumothorax, hematothorax, dan fraktur costae.
 Circulation - luka bakar menimbulkan kerusakan jaringan sehingga
menimbulkan edema. pada luka bakar yang luas dapat terjadi syok
hipovolumik karena kebocoran plasma yang luas.
b. Resusitasi Cairan
Dua cara yang lazim digunakan untuk menghitung kebutuhan cairan pada
penderita luka bakar yaitu :
1) Cara Evans
Untuk menghitung kebutuhan pada hari pertama hitunglah :
 Berat badan (kg) X % luka bakar X 1cc Nacl
 Berat badan (kg) X % luka bakar X 1cc Larutan Koloid
 2000cc glukosa 5%
Separuh dari jumlah (1), (2), (3) diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya
diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah
cairn hari pertama. Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan yang
diberikan hari kedua. Sebagai monitoring pemberian lakukan penghitungan
diuresis.
Maksimum 10.000 ml selama 24 jam. Luka bakar derajat dua dan tiga
yang melebihi 50 %  luas permukaan tubuh dihitung berdasarkan 50 % luas
permukaan tubuh.

2) Cara Baxter
Merupakan cara lain yang lebih sederhana dan banyak dipakai. Jumlah
kebutuhan cairan pada hari pertama dihitung dengan rumus :
Baxter = % luka bakar X BB (kg) X 4cc
Separuh dari jumlah cairan yang diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya
diberikan dalam 16 jam. Hari pertama terutama diberikan elektrolit yaitu larutan
ringer laktat karena terjadi hiponatremi. Untuk hari kedua diberikan setengah dari
jumlah pemberian hari pertama. Terapi cairan lebih diindikasikan pada luka bakar
derajat II dan III dengan luas >25% atau pasien tidak dapat minum, terapi cairan
dapat dihentikan bila masukkan oral dapat menggantikan parenteral.

3) Infus, kateter, CVP, oksigen, laboratorium, kultur luka


4) Monitor urine dan CVP
5) Topikal dan tutup luka
 Cuci luka dengan savlon : NaCl 0,9% ( 1 : 30 ) + buang jaringan nekrotik
 Tulle
 Silver sulfa diazin tebal
 Tutup kassa tebal
 Evaluasi 5 – 7 hari, kecuali balutan kotor
6) Obat – obatan
 Antibiotika : tidak diberikan bila pasien datang < 6 jam sejak kejadian.
 Bila perlu berikan antibiotika sesuai dengan pola kuman dan sesuai kultur.
 Analgetik : kuat (morfin, petidine)
 Antasida : kalau perlu

3. Tindakan Keperawatan
a. Nutrisi diberikan cukup untuk menutup kebutuhan kalori dan
keseimbangan nitrogen yang negatif pada fase katabolisme, yaitu
sebanyak 2.500 - 3.000 kalori sehari dengan kadar protein tinggi.
b. Perawatan lokal dapat secara terbuka atau tertutup.
c. Antibiotik topikal diganti satu kali dalam satu hari, didahului hidroterapi
untuk mengangkat sisa-sisa krim antibiotik sebelumnya. Bila kondisi luka
sangat kotor atau dijumpai banyak krusta dan atau eksudat, pemberian
dapat diulang sampai dengan 2 - 3 kali sehari.
d. Rehabilitasi termasuk latihan pernapasan dan pergerakan otot dan sendi.
e. Usahakan tak ada gangguan dalam penyembuhan; penyembuhan bisa
dicapai secepatnya dengan:
 Perawatan luka bakar yang baik
 Penilaian segera daerah-daerah luka bakar derajat II atau III dalam
 Kalau memungkinkan buang kulit yang non vital dan
menambalnya secepat mungkin.
f. Usahakan mempertahankan fungsi sendi-sendi. Latihan gerakan atau bidai
dalam posisi baik.
g. Aturlah proses maturasi sehingga tercapai tanpa ada proses kontraksi yang
akan mengganggu fungsi. Bilamana luka bakar sembuh per sekundam
dalam 3 minggu atau lebih selalu ada kemungkinan timbul parut hipertrofi
dan kemungkinan kontraktur pada waktu proses maturasi. Sebaiknya
dipasang perban ½ menekan, bidai yang sesuai dan anjuran untuk
mengurangi edema dengan elevasi daerah yang bersangkutan. 
h. Antibiotik sistemik spektrum luas diberikan untuk mencegah infeksi.
Infeksi dapat memperburuk derajat luka bakar dan mempersulit
penyembuhan. Yang banyak dipakai adalah golongan aminoglikosida yang
efektif terhadap pseudomonas.
i. Suplementasi vitamin yamg dapat diberikan yaitu vitamin A 10.000 unit
per minggu, vitamin C 500 mg dan sulfas ferosus 500 mg.

4. Penatalaksanaan Pembedahan
Eskaratomi dilakukan juga pada luka bakar derajat III yang melingkar
pada ekstremitas atau tubuh. Hal ini dilakukan untuk sirkulasi bagian distal akibat
pengerutan dan penjepitan dari eskar. Tanda dini penjepitan berupa nyeri,
kemudian kehilangan daya rasa menjadi kebal pada ujung-ujung distal. Tindakan
yang dilakukan yaitu membuat irisan memanjang yang membuka eskar sampai
penjepitan bebas.
Debirdemen diusahakan sedini mungkin untuk membuang jaringan mati
dengan jalan eksisi tangensial. (Arif, 2000)
2.1.6 Update Jurnal

J Emerg Trauma Shock. 2012 Apr-Jun; 5(2): 178–180.


doi:  10.4103/0974-2700.96488
PMCID: PMC3391843

Severe Metabolic Acidosis Following


Assault Chemical Burn
Sophie D Roock,1,2Jean-Paul Deleuze,1Thomas Rose,1Serge Jennes,1 and Philippe
Hantson2
Author information ►Article notes ►Copyright and License information ►
Go to:

Abstract
Assault chemical burns are uncommon in northern Europe. Besides local toxicity,
systemic manifestations are possible after strong acid exposure. A 40-year-old
woman was admitted 1 h after a criminal assault with sulfuric acid. The total
burned surface area was 35%, third degree. Injury was due to sulfuric acid
(measured pH 0.9) obtained from a car battery. Immediate complications were
obstructive dyspnea and metabolic acidosis. The admission arterial pH was 6.92,
with total bicarbonate 8.6 mEq/l and base deficit 23.4 mEq/l. The correction of
metabolic acidosis was achieved after several hours by the administration of
bicarbonate and lactate buffers. The patient developed several burns-related
complications (sepsis and acute renal failure). Cutaneous projections of strong
acids may cause severe metabolic acidosis, particularly when copious irrigation
and clothes removal cannot be immediately performed at the scene.

Keywords: Chemical assault, sulfuric acid burn, metabolic acidosis

Introduction
Assault chemical burns are uncommon in northern Europe as compared with
Africa or Asia.[1–4] Besides extensive skin lesions leading to functional and
aesthetic sequelae, projection of strong acids such as sulfuric acid may also cause
severe metabolic disturbances requiring aggressive resuscitation.
Case Report
A 40-year-old (45-kg weight) previously healthy woman was admitted to the
intensive burn care unit approximately 90 min after an assault chemical burn
following conjugal violence. The total burned surface area was estimated at 35%
(neck, face, head, arms, thorax, abdomen, and left leg), third degree [Figure 1].
There were severe bilateral eyes and ears lesions. Injury was due to sulfuric acid
(battery acid, pH measured at 0.9). As the patient and relatives were in panic,
irrigation with water was not performed at the scene of the accident but was
started immediately after the arrival in the burn center. The emergency medical
team began fluid resuscitation (Parkland's formula), and orotracheal intubation
was performed on-site after evidence of the severity of facial burns. The patient
was sedated for hospital transfer and presented the following vital signs: arterial
blood pressure 70/30 mmHg, pulse 110 bpm, SpO 2>90% with normal lung
auscultation.

Figure 1
Admission examination with third-degree caustic lesions extending to the neck
(incisions), trunk, and arms

The admission electrocardiogram and chest X-ray examination did not reveal
significant abnormalities. Laboratory investigations mainly revealed a profound
metabolic acidosis with a pH at 6.92, PaCO 2 42 mmHg, total bicarbonate 8.6
mEq/l, base deficit 23.4 mEq/l, sodium 148 mEq/l, potassium 4.1 mEq/l, chloride
117 mEq/l, calcium 6.1 mg/dl, and phosphorus 15.1 mg/dl. The lactate level was
within the normal range: 1.7 mmol/L. Renal function was initially preserved
(serum creatinine 0.83 mg/dl), with no evidence for rhabdomyolysis. Blood
coagulation tests on admission were disturbed, with fibrinogen 117 mg/dl,
activated partial thromboplastin time (APTT) 69 s, and International Normalized
Ratio (INR) 2.23. Platelets count was 169 000/mm 3. Metabolic acidosis was
progressively corrected by the administration of a total of 300 mmol of sodium
bicarbonate over 14 h and of 140 mmol of lactate from Hartmann's solution over
the first 24 h Table 1. The adjustment of the ventilator settings was complicated
by the progressive development of a thoracic rigidity secondary to the chemical
burns.
Table 1
Evolution of blood gas analysis from admission and correction with bicarbonate
buffer

During the ICU stay, the patient developed several complications. Mechanical
ventilation was required for 40 days, and a percutaneous tracheostomy had been
performed after 1 month. The hemodynamic condition required mild inotropic
support (maximal dose of dobutamine, 5 μg/kg/min) for a period of 15 days.
Echocardiography demonstrated a moderate alteration of the left ventricular
function. While urine output was maintained during the first week, continuous
venovenous hemofiltration had to be started after this interval and was continued
for 7 weeks. The patients also developed multiple episodes of wound-related
sepsis treated by adapted antimicrobial therapy. In addition, iterative surgery was
required with a total of 15 procedures for excision and grafting. After 5 months,
the patient left the intensive care unit for rehabilitation.

Discussion
According to a recent systematic review, the annual incidence of severe burns in
Europe (1985-2009) was 0.2 to 2.9/10 000 inhabitants, with a predominance of
male patients younger than 16 years.[1] Flames, scalds, and contact burns were
the most prevalent causes in the total population. Chemical burns were less
frequent than electrical burns, and when they occurred, they were mainly
encountered after accidental professional exposure. While the major risk factors
for death are older age and total percentage of burned surface area after severe
burns from all origins, no specific prognostic factors exist for chemical burns.[1]

Assault chemical burns are uncommon in northern Europe in comparison with


Africa or Asia.[2–4] There is a predominance of female victims in the case of
aggression, mainly after domestic disputes.[4] After an assault chemical burn, the
face, head, and neck are predominantly injured but extension to the trunk and
upper limbs is not rare. The physical and psychological outcomes are usually
poor, with disfigurement, loss of vision, and requirement for a long series of
surgical interventions.

As it appears inexpensive and readily available from exhausted automobile


batteries, sulfuric acid is one of the agents most often involved in acid burns.[5] In
the present observation, the chemical agent was analyzed in a specialized military
laboratory, which confirmed the nature of the agent and the extremely low pH
measured at 0.9. It appeared that the aggressor had collected the total content of a
car battery. Sulfuric acid and its precursor sulfur trioxide cause injury by inducing
dehydration damage and by creating excessive heat in the tissues. The result is the
development of necrotic coagulation eschars with thrombus formation in the
lesion's microvasculature.[6]

The immediate management of a chemical burn relies on the removal of agent


from contact with the patient. However, minimal literature on the science of
decontamination of sulfuric acid exposure exists.[7] Early treatment suggested in
the literature is controversial and is not always supported by experimental data. In
a paper published in 1974, Jelenko stressed that water lavage should be avoided in
sulfuric acid burns due to the propensity of the agent to produce an exothermic
reaction on contact with water.[8,9] He suggested neutralization with magnesium
oxide, lime water, or soap. Lime water is an aqueous solution of calcium
hydroxide. Theoretically, irrigation with lime water could offer the possibility to
neutralize sulfuric acid while minimizing exothermic reactions. The reaction
between sulfuric acid and lime water should be written as follows:

H2SO4 + Ca(OH)2 -> CaSO4 + 2 H2O

The only experimental study that focused on sulfuric acid appeared in 1927.[10]
Water lavage was superior to neutralization with sodium bicarbonate in the
treatment of 96% sulfuric acid burns in rats. With 50% and 25% sulfuric acid,
there was no difference between the rats treated by neutralization or with pure
water.

No recent experimental data, however, suggest that neutralizing agents should be


effective and safe. Therefore, immediate copious irrigation with tap water seems
essential as the only early treatment. Penner evaluated the in vitro dilution of
concentrated sulfuric acid with water and found an instantaneous increase in
temperature. If the amount of water was increased 20-fold, the temperature
increase was less, encouraging larger volumes of a neutralizing solution to
minimize the temperature changes.[11]

Conclusion
This observation emphasizes the possibility of severe systemic toxicity after
dermal exposure to some agents. This has been well demonstrated with
hydrofluoric acid causing hypocalcemia and ventricular fibrillation or for formic
acid and intravascular hemolysis. As assault sulfuric acid burns mainly occur in
countries with a limited access to primary emergency care, the exact occurrence of
severe metabolic acidosis with such an agent is not precisely known but should be
suspected according to the nature of the product, the duration of exposition, and
the extent of the lesions. In the present observation, the severity of the metabolic
acidosis was also related to the absence of the initial irrigation.

Footnotes
Source of Support: Nil

Conflict of Interest: None declared.

References
1. Brusselaers N, Monstrey S, Vogelaers D, Hoste E, Blot S. Severe burn injury in
Europe: A systematic review of the incidence, etiology, morbidity, and mortality.
Crit Care. 2010;14:R188. [PMC free article] [PubMed]
2. Asaria J, Kobusingye OC, Khingi BA, Balikuddembe R, Gomez M, Beveridge
M. Acid burns from personal assault in Uganda. Burns. 2004;30:78–81. [PubMed]
3. Purdue GF, Hunt HL. Adult assault as a mechanism of burn injury. Arch Surg.
1990;25:268–9. [PubMed]
4. Mannan A, Ghani S, Clarke A, Butler PEM. Cases of chemical assault
worldwide: A literature review. Burns. 2007;33:149–54. [PubMed]
5. Faga A, Scevola D, Mezzeti MG, Scevola S. Sulphuric acid burned women in
Bangladesh: A social and medical problem. Burns. 2000;26:701–9. [PubMed]
6. Palao R, Monge I, Ruiz M, Barret JP. Chemical burns: Pathophysiology and
treatment. Burns. 2010;36:295–304. [PubMed]
7. Flammiger A, Maibach H. Sulphuric acid burns (corrosion and acute irritation):
Evidence-based overview to management. Cutan Ocul Toxicol. 2006;25:55–61.
[PubMed]
8. Jelenko C., 3rd Chemicals that “burn” J Trauma. 1974;14:65–72. [PubMed]
9. Leonard LG, Scheulen JJ, Munster AM. Chemical burns: Effect of prompt first
aid. J Trauma. 1982;22:420–3. [PubMed]
10. Davidson EC. The treatment of acid and alkali burns.An experimental study.
Ann Surg. 1927;85:481–9. [PMC free article] [PubMed]
11. Penner GE. Acid ingestion: Toxicology and treatment. Ann Emerg Med.
1980;9:374–9. [PubMed]

Articles from Journal of Emergencies, Trauma, and Shock are provided here
courtesy of Medknow Publications
2.1.7 Penanganan Terkait Update Jurnal
Sesuai dengan kasus diatas penanganan luka bakar yang mengalami asidosis
metabolik, dengan total luas permukaan luka bakarnya adalah 35% (derajat
ketiga), pH masuk arteri adalah 6.92, jumlah bikarbonat 8,6 mEq/l dan defisit
basa 23,4 mEq/l. Penanganannya yaitu dengan pemberian resusitasi cairan dengan
menggunakan formula Parkland’s dan intubasi Orotracheal.
Pemberian resusitasi cairan dengan menggunakan formula Parkland’s yaitu
kebutuhan cairan dalam 24 jam dihitung berdasarkan rumus:

4 mL/kg per persen luas luka bakar


Setengah dari jumlah cairan total diberikan dalam 8 jam pertama sejak
terjadinya luka bakar, kemudian sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya.

Sesuai kasus, seorang wanita dengan berat badan 45 kg mengalami luka


bakar seluas 35%. Rumus 4(45)(35) = 6300. Sebanyak 6,3 liter cairan yang
hendak diberikan dibagi menjadi 3,15 liter dalam 8 jam pertama sejak terjadinya
luka bakar. Karenanya, laju pemberian larutan Ringer laktat per IV awal adalah
393 mL/hari. Contoh tersebut juga menekankan kemungkinan komplikasi yang
dapat terjadi apabila volume larutan salin akan diberikan.
Asidosis metabolik semakin diperbaiki dengan total pemberian 300 mmol
natrium bikarbonat lebih dari 14 jam dan 140 mmol laktat dari Hartmann’s
solution atau senyawa natrium laktat selama 24 jam. Hartmann’s solution yaitu
cairan kristaloid yang mendekati isotonik dan darah dan ditunjukkan untuk
pemberian intravena, gunanya untuk menggantikan cairan garam tubuh dan
mineral yang mungkin hilang untuk berbagai alasan medis. Hal ini cocok ketika
kerugian menghasilkan banyak asam yang hadir dalam darah dan sangat mirip-
meskipun tidak identik dengan penggunaan larutan Ringer laktat karena
konsentrasi ion yang berbeda.
Dalam pengamatan kasus tersebut, bahwa tingkat keparahan dari asidosis
metabolik juga terkait dengan tidak adanya irigasi awal.
2.2. Konsep Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
Prioritas pertama perawatan pasien luka bakar adalah menghentikan proses
luka bakar. Bila tujuan tersebut telah tercapai, pasien luka bakar ditangani sebagai
pasien trauma dan pengkajian keperawatan mengikuti pengkajian primer dan
sekunder.

1. Primary Survey

a. Airway
 Periksa mulut dan hidung apakah ada jelaga, luka bakar, lepuh, dan
edema. Perhatikan rambut wajah dan hidung yang hangus. Bila tanda
iniada, pertahankan indeks kecurigaan tinggi adanya cedera inhalasi
 Pantau bunyi inspirasi abnormal pada pasien (mis.,bunyi seperti gagak,
stridor, dan kasar) yang mungkin berkaitan dengan sumbatan parsial
faring dan laring karen edema luka bakar
 Luka bakar yang mengelilingi leher dapat mengganggu jalan napas
sebagai akibat efek edema tipe torniket

b. Breathing
 Evaluasi frekuensi pernapasan, penggunaan otot aksesori, simetrisitas
dinding dada, dan ekskursi
 Luka bakar derajat-tiga yang mengelilingi dada dapat merusak ekspansi
dada karena pembentukan krusta tebal. Pembuangan krusta mungkin
perlu dilakukan untuk memungkinkan ekspansi dada saat inspirasi
 Auskultasi paru, apakah ada gerakan dada bilateral dan bunyi tambahan
 Kaji adanya agitasi atau perubahan tingkat kesadaran
 Selain tanda kemungkinan status cedera inhalasi pada pengkajian jalan
napas, suara serak, stridor, mengi, batuk sputum mengandung karbon,
takipnea, dispnea, dan agitasi mungkin ditemukan selama pengkajian
pernapasan
c. Circulation
 Pasien luka bakar akan mengalami penurunan curah jantung dalam
beberapa menit pertama cedera
 Takikardi
 Kaji nadi, khususnya pada bagian distal luka bakar. Nadi yang tidak
dapat diraba harus dievaluasi dengan Doppler. Luka bakar derajat ketiga
yang mengelilingi ekstremitas mungkin memerlukan pembuangan krusta.
 Kaji pengisian ulang kapiler, rangka tubuh dan suhu ekstremitas serta
warna kulit
 Kaji perfusi serebral dengan mengevaluasi tingkat kesadaran pasien.
Afinitas karbon monoksida pada hemoglobin 200 kali lebih kuat
dibandingkan oksigen. Tanda dan gejala perfusi jaringan yang tidak
adekuat dapat menunjukkan keracunan karbon monoksida

d. Disability
Mengkaji ulang AVPU (Alert, Verbal, Pain, Unrespons) pasien,
melakukan pemeriksaan GCS dan tingkat kesadaran dari pasien : sadar/ somnolen/
sopor/ koma, serta kedaan pupil dengan menggunakan penlight.

2. Secondary Survey
Secondary survey merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan
secara head to toe, hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil.
Beberapa pengkajian sekunder yang harus di lakukan pada pasien luka bakar
antara lain :
a. Tentukan luas luka bakar
Berbagai jenis formula yang digunakan untuk menghitung jumlah cairan
yang harus diberikan kepada pasien luka bakar harus berdasarkan  total
permukaan tubuh (TBSA: total body surface area) yang cedera. Luas luka bakar
pada dewasa dihitung menggunakan rumus sembilan (Rule of nine) yang
diprovokasi oleh Wallace, yaitu:
Dewasa Anak
 Kepala dan leher : 9% 18%
 Lengan masing-masing 9% : 18% 18%
 Badan depan 18%, badan belakang 18% : 36% 36%
 Tungkai masing-masing 18%  ; 13,5 % : 36% 27%
 Genitatalia/perinium                                 : 1% 1%
Total : 100%

Gambar 2. Skema Pembagian Luas Luka Bakar

Pada anak-anak menggunakan tabel dari Lund atau Browder yang


mengacu pada ukuran bagian tubuh terbesar pada seorang bayi atau anak (yaitu
kepala).
Usia (tahun) 0 1 5 10 15 Dewasa
A-kepala (muka-belakang) 9½ 8½ 6½ 5½ 4½ 3½
A-kepala (muka-belakang) 2¾ 3¼ 4 4¼ 4½ 4¾
C-1 kaki (muka-belakang) 2½ 2½ 2¾ 3 3¼ 3½
(Moenadjat, 2009)
b. Tentukan derajat luka bakar
 Derajat I : superficial → nyeri, erythema, tanpa bullae
 Derajat II : partial thickness → nyeri, cairan merembes, bullae (+)
 Derajat III : full thickness → tidak nyeri, putih/ gelap
c. Tentukan berat badan penderita
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari
pasien dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007)
 A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,
makanan)
 M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat
 P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit
yang pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-
obatan herbal)
 L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi,
dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode
menstruasi termasuk dalam komponen ini)
 E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian
yang menyebabkan adanya keluhan utama)

3. Tersier Survey
a. Pemeriksaan darah
 Darah lengkap
 Kadar HbCO
 Gula darah
 Elektrolit
 Analisa gas darah
 Golongan darah beserta pemeriksaan lainnya
 Tes kehamilan pada penderita wanita usia subur

b. Pemeriksaan radiologi
 Pemeriksaan foto toraks
 Foto toraks dilakukan setelah pemasangan ET
c. Pemasangan pipa lambung
Bila penderita muntah-muntah, kembung, luka bakar melebihi 20% harus
dipasang pipa lambung yang dihubungkan dengan alat penghisap. Pada penderita
yang memerluka transfer ke pusat luka bakar harus dipasang NGT.

d. Obat-obatan narkotik, analgesik, dan sedatif


Penderita luka bakar berat sering gelisah yang disebabkan hipoksemia dan
hipovolemia daripada disebabkan rasa nyeri. Oleh karena itu penderita akan
membaik setelah pemberian oksigen atau cairan infus daripada narkotik,
analgesik, atau sedatif. Bila obat-obatan tersebut memang diperlukan berikanlah
dalm dosis kecil, bisa diberikan berulang-ulang dan diberi secara IV.

e. Antibiotika
Pemberian antibiotik profilaksis tidak dianjurkan pada saat-saat pertama
luka bakar baru terjadi, antibiotik hanya diberikan bila terjadi inflamasi.

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


1. Defisit volume cairan
2. Gangguan pertukaran gas
3. Risiko perubahan perfusi jaringan perifer
4. Nyeri
5. Kerusakan integritas kulit
6. Risiko infeksi

2.2.3 Intervensi Keperawatan


1) Defisit volume cairan yang berhubungan dengan peningkatan permeabilitas
kapiler dan kehilangan volume plasma dari ruangan vaskular (pergeseran cairan).
Tujuan : Volume cairan adekuat
Kriteria hasil : tidak terjadinya edema, tidak terjadinya penurunan haluaran urine
dan tekanan vena sentral, GCS: E4 V5 M6, TTV normal: TD 120/80 mmHg,
N: 60-100 x/menit, RR 16-24 x/menit, Suhu 36,5-37,5oC.
Intervensi
1. Pantau tanda-tanda vital apakah takikardia dan hipotensi
2. Pasang dua kateter intervena (IV) diameter besar untuk resusitasi cairan
3. Pasang kateter urinarius untuk memantau haluaran

2) Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan cedera alveolar dan


penurunan hemoglobin.
Tujuan : Pertukaran gas kembali normal
Kriteria hasil : peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat, mampu
bernafas dengan mudah, kadar AGD normal, GCS: E4 V5 M6, TTV normal:
TD 120/80 mmHg, N: 60-100 x/menit, RR 16-24 x/menit, Suhu 36,5-
37,5oC.
Intervensi
1. Berikan oksigen 100% dengan masker nonrebreather
2. Bantu ventilasi dengan alat berbentuk kantong dengan katup bila ada
upaya pernapasan yang tidak adekuat
3. Siapkan intubasi untuk pasien dengan tanda potensial obstruksi jalan
napas.
4. Tinggikan kepala tempat tidur bila pasien kemungkinan mengalami cedera
inhalasi kecuali dikontraindikasikan pada trauma penyerta
5. Pantau sturasi oksigen dengan oksimetri nadi (oksimetri nadi mungkin
tidak berbeda antara hemoglobin jenuh dengan karbon monoksida dan
hemoglobin jenuh dengan oksigen).
6. Siapkan untuk eskarotomi pada kasus luka bakar mengelilingi dada yang
menurunkan ekspansi dada dan kemampuan pasien untuk bernapas.
7. Pantau hemoglobin
8. Pantau kadar karbokasihemoglobin untuk pasien keracunan karbon
monoksida
3) Perubahan perfusi jaringan perifer yang berhubungan dengan edema seluruh
tubuh, jaringan avaskular, penurunan haluar jantung, dan hipovolemia.
Tujuan : Perfusi jaringan perifer kembali normal
Kriteria hasil : TTV normal TD 120/80 mmHg, N: 60-100 x/menit, RR 16
24 x/menit, Suhu 36,5-37,50C, nadi perifer teraba kuat dan regular, tidak
pucat/ anemis, akral hangat, capillary refill <2 detik.
Intervensi:
1. Evaluasi nadi perifer, fungsi sensori, suhu kulit, dan pengisisan ulang
kapiler.
2. Pasang manset TD pada ekstremitas yang tidak cedera bila
memungkinkan.
3. Lepaskan perhiasan dan pakaian yang ketat
4. Siapkan untuk membantu eskarotomi pasien luka bakar yang mengelilingi
ekstremitas yang berkaitan dengan defisi perfusi

4) Nyeri yang berhubungan dengan stimulasi terhadap sensor nyeri yang terpajan.
Tujuan : Nyeri teratasi atau teradaptasi
Kriteria hasil : Pasien tampak rileks, tidak gelisah, TTV normal TD 120/80
mmHg, N: 60-100 x/menit, RR 16 24 x/menit, Suhu 36,5-37,5oC.
Intervensi
1. Dinginkan luka bakar dengan kompres air hangat sampai lembab dingin,
hati-hati untuk menghindari hipotermia.
2. Tutup luka bakar yang di dinginkan dengan kain kering dan bersih untuk
mencegah iritasi akibat ujung saraf terpajan aliran udara.
3. Berikan medikasi nyeri sesuai program
4. Beritahu pasien tentang semua prosedur yang akan dilakukan dan apa yang
akan terjadi selama prosedur tersebut
5) Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan luka bakar, edema, dan
kerusakan mobilitas fisik seperti yang ditunjukkan dengan destruksi dermis,
epidermis, dan struktur dibawahnya, lepuh berisi cairan, dan bercak-bercak,
berlilin, putih, merah cairan, atau warna kulit kehitaman.
Intervensi:
1. Hilangkan sumber pembakar
2. Bilas luka bakar kimiawi dengan air selama 20 sampai 30 menit
3. Bila telinga yang terbakar, amankan selang endotrakea dan lambung jauh
dengan telinga
4. Tar, aspal, dan plastik yang melekat pada kulit harus di dinginkan dengan
air.
5. Miringkan pasien selama 2 jam

6) Risiko infeksi yang berhubungan dengan perubahan sistem integumen yang


ditunjukkan oleh destrubsi dermis dan epidermis.
Intervensi:
1. Gunakan sarung tangan steril utuk semua kontak luka
2. Gunakan gown steril, masker, dan sepatu serta penutup kepala untuk luka
bakar sedang atau mayor
3. Terapkan teknik aseptik dengan ketat
4. Gunakan line steril untuk pasien dengan luka bakar sedang sampai berat
5. Berikan antibiotik dan toksoid tetanus sesuai pesanan

2.2.4 Implementasi Keperawatan


Dilakukan sesuai intervensi dan kondisi pasien.
2.2.5 Evaluasi Keperawatan
Hasildari evaluasi dari yang diharapkan dalam pemberian tindakan
keperawatan melalui proses keperawatan pada pasien dengan kegawatdaruratan
asidosis metabolik pada pasien luka bakar berdasarkan tujuan pemulangan adalah
sebagai berikut :
1. Volume cairan adekuat
2. Pertukaran gas kembali normal
3. Perfusi jaringan perifer normal
4. Nyeri teratasi atau dapat teradaptasi
5. Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
6. Tidak ada tanda-tanda infeksi
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Luka bakar adalah kerusakan jaringan tubuh terutama kulit akibat
langsung atau ekspose dengan sumber panas (thermal), kimia, elektrik, dan radiasi
Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh trauma panas yang memberikan
gejala, tergantung luas dalam dan lokasi lukanya (Andra & Yessie, 2013).
Cedera panas menghasilkan efek lokal dan efek sistemik yang berkaitan
dengan luasnya destruksi jaringan. Pada luka bakar yang luasnya kurang dari
20%, mekanisme kompensasi tubuh masih bisa mengatasinya. Bila kulit yang
terbakar luas (lebih dari 20%), dapat terjadi syok hipovolemik disertai gejala yang
khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan
darah menurun, dan produksi urin berkurang (Corwin, 2000).
Kegawatdaruratan yang dapat muncul pada penderita luka bakar salah
satunya adalah asidosis metabolik dimana terjadi ketidakseimbangan asam basa
yang disebabkan oleh perfusi jaringan yang tidak adekuat, adanya peningkatan
produksi asam dari produk akhir, fungsi renal berkurang (menyebabkan retensi
produk akhir tertahan), kehilangan bikarbonat serum. Kondisi ini akhirnya
menyebabkan asidemia atau keasaman darah, dimana pH arteri turun hingga
dibawah 7,35.

3.2 Saran
Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan, maka penulis berharap
dengan makalah ini semoga mahasiswa/i dapat mengerti bagaimana asuhan
keperawatan gawat daruratpada pasien luka bakar yang mengalami asidosis
metabolik, dan paham bagaimana patofisiologi yang terjadi pada pasien yang
mengalami penyakit tersebut, sehingga bisa berpikir kritis dalam melakukan
tindakan keperawatan dan dapat meningkatkan wawasan tentang asuhan
keperawatan asidosis metabolik pada luka bakar.
Bagi perawat semoga akan terus meningkatkan kualitas dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien asidosis metabolik dengan ikut
melibatkan keluarga dalam perawatan pasien dengan cara dapat melakukannya
bersamaan ketika melakukan tindakan lain sehingga dapat meminimalkan masalah
keperawatan, serta bagi penulis karya tulis ilmiah lainnya untuk lebih menggali
dan meningkatkan teori-teori serta penemuan yang mendukung kasus asidosis
metabolik pada luka bakar.
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elisabeth, J. (2000). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC


Mansjoer , A. (2002). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: FKUI
Guyton & Hall. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC
R. Sjamsuhidajat, Wim De Jong. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC
Kidd, Pamela S. (2012). Pedoman Keperawatan Emergency. Edisi 2. Jakarta :
EGC
Hudak & Gallo. (1997). Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik. Jakarta : EGC
Brunner and Suddarth. (1997). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi
8. Volume 3. Jakarta : EGC
C. Long Barbara. (1996). Keperawatan Medikal Bedah: Suatu Pendekatan
Proses Keperawatan. Bandung : Yayasan IAPK
Ignatavicius, Donna D. (1991). Medical Surgical Nursing. Philadelphia: WB
Saunders Company
Sylvia A. Price (2006). Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Volume 2. Jakarta: EGC
Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat (Plus Contoh Askep dengan
Pendekatan NANDA, NIC, NOC). Yogyakarta : Nuha Medika
Wilkinson, Judit M. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan : Diagnosis
NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC
Marylin E. Doenges. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta :
EGC
Debby. (2012). Luka Bakar. Diakses pada tanggal 09 April 2015.
http://debbyakin.blogpost.com/2012/05/luka-bakar.html?m=1
Agustianti, Yenni. (2010). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Luka Bakar.
Diakses pada tanggal 09 April 2015.
http://abhique.blogspot.com/2010/01/asuhan-keperawatan-pada-pasien-
dengan.html?m=1
Priangga, Satria Dwi. (2014). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Combustio. Diakses pada tanggal 09 April 2015.
http://satriadwipriangga.blogspot.com/2014/01/asuhan-keperawatan-pada-
pasien.html?m=1

Sophie D Roock, Jean-Paul Deleuze, Thomas Rose, Serge Jennes, and Philippe


Hantson. (2012). Severe Metabolic Acidosis Following Assault Chemical
Burn. J Emerg Trauma Shock. Apr-Jun; 5 (2): 178–180.
doi:  10.4103/0974-2700.96488. PMCID: PMC3391843. Diakses pada
tanggal 09 April 2015.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3391843/

Anda mungkin juga menyukai