Makalah Asidosis Metabolik Luka Bakar Asli
Makalah Asidosis Metabolik Luka Bakar Asli
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok
Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat II
Dosen Pembimbing : Ns. Venny Mayumi Gultom, S.Kep.
Disusun oleh:
1. Bella Shinta (30.01.12.0003)
2. Eko Prasetyo (30.01.12.0007)
3. Frisca Ramadhani (30.01.12.0013)
4. Imam Arni Yusuf (30.01.12.0017)
5. Kristo Vorus F. Y (30.01.12.0021)
6. Luh Ayu Yugianti (30.01.12.0023)
7. Monalisa Sitanggang (30.01.12.0031)
8. Nyoman Lusiawati (30.0.12.0033)
9. Sariah Damayanti (30.01.12.0041)
10. Tiara Pertiwi (30.01.12.0045)
11. Vinasta Agus Wahyudi (30.01.12.0049)
12. Wira Nirma Mellah Batra (30.01.12.0051)
13. Wulan Maya Sari (30.01.12.0053)
14. Yun Rehna Rosari S. (30.01.12.0057)
SEKOLAH TINGGI KESEHATAN PERDHAKI CHARITAS
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
PALEMBANG
TAHUN AKADEMIK 2015
KATA PENGANTAR
Segala puji serta rasa syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas
berkah dan rahmat-Nyalah serta ridho-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini tentang “Asidosis Metabolik Luka Bakar”. Dengan
harapan makalah ini dapat membantu mahasiswa/i dalam mempelajari mata kuliah
keperawatan gawat darurat.
Makalah ini merupakan salah satu tugas yang di berikan kepada kami
dalam rangka pengembangan dasar ilmu keperawatan gawat daruratyang
berkaitan dengan luka bakar.Selain itu tujuan dari penyusunan makalah ini juga
untuk menambah wawasan tentang pengetahuan keperawatan gawat darurat
secara meluas. Sehingga besar harapan kami, makalah yang kami sajikan dapat
menjadi konstribusi positif bagi pengembang wawasan pembaca.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini belum sempurna dan
masih perlu perbaikan serta penyempurnaan, baik dari segi materi maupun
pembahasan. Oleh sebab itu dengan lapang dada penulis akan menerima kritik dan
saran yang sifatnya membangun demi penyempurnaan makalah ini dimasa
mendatang.
Demikianlah, semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan dapat
ikut memberikan sumbangan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.......................................................................... i
KATA PENGANTAR........................................................................ ii
DAFTAR ISI...................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan................................................................. 2
1.4 Manfaat Penulisan............................................................... 3
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Dasar Medis........................................................... 4
2.1.1 Pengertian.................................................................. 4
2.1.2 Anatomi Fisiologi..................................................... 4
2.1.3 Patofisiologi Teori..................................................... 9
2.1.4 Patoflow Diagram..................................................... 13
2.1.5 Penatalaksanaan........................................................ 15
2.1.6 Update Jurnal............................................................ 19
2.1.7 Penanganan Terkait Update Jurnal........................... 24
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan............................................. 25
2.2.1 Pengkajian Primary dan Secondary Survey.............. 25
2.2.2 Diagnosa Keperawatan............................................. 29
2.2.3 Perencanaan.............................................................. 29
2.2.4 Implementasi............................................................. 32
2.5.5 Evaluasi..................................................................... 33
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan......................................................................... 34
3.2 Saran.................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Combutio atau luka bakar merupakan suatu kejadian yang paling
sering terjadi di Indonesia dan negara lainnya. Luka bakar yang terjadi dapat
disebabkan oleh panas, listrik ataupun kimia. Dan kecelakaan luka bakar ini
dapat terjadi dimana-mana seperti di rumah, kantor ataupun tempat umum
yang lainnya (mal, terminal). Di Indonesia angka kejadian luka bakar cukup
tinggi, lebih dari 250 jiwa pertahun meninggal akibat luka bakar. Dikarenakan
jumlah anak-anak dan lansia cukup tinggi di Indonesia serta ketidakberdayaan
anak-anak dan lansia untuk menghindari terjadinya kebakaran, selain itu laki-laki
cenderung lebih sering mengalami luka bakar dibanding wanita (Rohman Azzam,
2008).
Pasien cedera luka bakar dianggap sebagai pasien trauma multiple
karena efek fisiologik dari luka bakar pada sistem organ. Selain itu, pada
cedera luka bakar, pasien sering mengalami cedera traumatik. Terdapat
kegawatdaruratan yang dapat muncul pada penderita luka bakar salah satunya
adalah asidosis metabolik dimana terjadi ketidakseimbangan asam basa yang
disebabkan oleh perfusi jaringan yang tidak adekuat. Biasanya terjadi pada pasien
dengan luka bakar yang cukup luas, karena kehilangan cairan yang banyak.
Sehingga penderita luka bakar memerlukan perawatan secara khusus ,
disebabkan luka bakar terdapat keadaan seperti mengeluarkan banyak air,
serum, darah, terbuka untuk waktu yang lama dan ditempati kuman dengan
patogenitas tinggi atau dengan kata lain mudah terinfeksi (Pamela S. Kidd,
2010).
Tujuan penatalaksanaan luka bakar di unit gawat darurat adalah
menghentikan proses luka bakar, mempertahankan jalan nafas, pernafasan dan
sirkulasi (ABC), mempertahankan jaringan yang ada, serta mencegah infeksi.
Oleh sebab itu, pasien luka bakar memerlukan penanganan yang serius dimana
dalam hal ini peran perawat sangat penting dalam memberikan asuhan
keperawatan yang komprehensif.
2. Bagi Perawat
Hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi
tenaga kesehatan khususnya perawat agar mengetahui asidosis metabolik luka
bakardan mampu menerapkan asuhan keperawatannya dalam kehidupan sehari-
hari, sehingga dapat diaplikasikan pada pelayanan kesehatan.
2. Dermis (Korium)
Dermis merupakan lapisan dibawah epidermis, terdiri atas jaringan ikat yang
memiliki dua lapisan :
a. Pars papilaris yang terdiri atas sel fibroblast yang memproduksi kolagen
b. Retikularis yang memiliki banyak pembuluh darah, tempat akar rambut
kelenjar keringat dan kelenjar sebaseus
Fisiologi Kulit
Kulit mempunyai berbagai fungsi yaitu sebagai berikut :
1. Pelindung atau proteksi
Epidermis terutama lapisan tanduk berguna untuk menutupi jaringan–
jaringan tubuh di sebelah dalam dan melindungi tubuh dari pengaruh–pengaruh
luar seperti luka atau serangan kuman. Lapisan paling luar dari kulit ari
diselubungi dengan lapisan tipis lemak yang menjadikan kulit tahan air. Kulit
dapat menahan suhu tubuh, menahan luka–luka kecil, mencegah zat kimia dan
bakteri masuk ke dalam tubuh serta menghalau rangsang – rangsang fisik seperti
sinar ultraviolet dari matahari.
2. Penerima rangsang
Kulit sangat peka terhadap berbagai rangsangan sensorik yang
berhubungan dengan sakit, suhu panas atau dingin, tekanan, rabaa, dan getaran.
Kulit sebagai alat perasa dirasakan melalui ujung – ujung saraf sensasi.
3. Pengontrol/pengatur suhu
Bertahan pada suhu dingin dan kondisi panas yang membuat peredaran
darah meningkat sehingga terjadi penguapan keringat.
2. Hospital
a. Resusitasi A, B, C.
Setiap pasien luka bakar harus dianggap sebagai pasien trauma, karenanya
harus dicek airway, breathing dan circulation-nya terlebih dahulu.
Airway - apabila terdapat kecurigaan adanya trauma inhalasi, maka segera
pasang Endotracheal Tube (ET). Tanda-tanda adanya trauma inhalasi
antara lain adalah: riwayat terkurung dalam api, luka bakar pada wajah,
bulu hidung yang terbakar, dan sputum yang hitam.
Breathing - eschar yang melingkari dada dapat menghambat gerakan dada
untuk bernapas, segera lakukan escharotomi. Periksa juga apakah ada
trauma-trauma lain yang dapat menghambat gerakan pernapasan, misalnya
pneumothorax, hematothorax, dan fraktur costae.
Circulation - luka bakar menimbulkan kerusakan jaringan sehingga
menimbulkan edema. pada luka bakar yang luas dapat terjadi syok
hipovolumik karena kebocoran plasma yang luas.
b. Resusitasi Cairan
Dua cara yang lazim digunakan untuk menghitung kebutuhan cairan pada
penderita luka bakar yaitu :
1) Cara Evans
Untuk menghitung kebutuhan pada hari pertama hitunglah :
Berat badan (kg) X % luka bakar X 1cc Nacl
Berat badan (kg) X % luka bakar X 1cc Larutan Koloid
2000cc glukosa 5%
Separuh dari jumlah (1), (2), (3) diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya
diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah
cairn hari pertama. Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan yang
diberikan hari kedua. Sebagai monitoring pemberian lakukan penghitungan
diuresis.
Maksimum 10.000 ml selama 24 jam. Luka bakar derajat dua dan tiga
yang melebihi 50 % luas permukaan tubuh dihitung berdasarkan 50 % luas
permukaan tubuh.
2) Cara Baxter
Merupakan cara lain yang lebih sederhana dan banyak dipakai. Jumlah
kebutuhan cairan pada hari pertama dihitung dengan rumus :
Baxter = % luka bakar X BB (kg) X 4cc
Separuh dari jumlah cairan yang diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya
diberikan dalam 16 jam. Hari pertama terutama diberikan elektrolit yaitu larutan
ringer laktat karena terjadi hiponatremi. Untuk hari kedua diberikan setengah dari
jumlah pemberian hari pertama. Terapi cairan lebih diindikasikan pada luka bakar
derajat II dan III dengan luas >25% atau pasien tidak dapat minum, terapi cairan
dapat dihentikan bila masukkan oral dapat menggantikan parenteral.
3. Tindakan Keperawatan
a. Nutrisi diberikan cukup untuk menutup kebutuhan kalori dan
keseimbangan nitrogen yang negatif pada fase katabolisme, yaitu
sebanyak 2.500 - 3.000 kalori sehari dengan kadar protein tinggi.
b. Perawatan lokal dapat secara terbuka atau tertutup.
c. Antibiotik topikal diganti satu kali dalam satu hari, didahului hidroterapi
untuk mengangkat sisa-sisa krim antibiotik sebelumnya. Bila kondisi luka
sangat kotor atau dijumpai banyak krusta dan atau eksudat, pemberian
dapat diulang sampai dengan 2 - 3 kali sehari.
d. Rehabilitasi termasuk latihan pernapasan dan pergerakan otot dan sendi.
e. Usahakan tak ada gangguan dalam penyembuhan; penyembuhan bisa
dicapai secepatnya dengan:
Perawatan luka bakar yang baik
Penilaian segera daerah-daerah luka bakar derajat II atau III dalam
Kalau memungkinkan buang kulit yang non vital dan
menambalnya secepat mungkin.
f. Usahakan mempertahankan fungsi sendi-sendi. Latihan gerakan atau bidai
dalam posisi baik.
g. Aturlah proses maturasi sehingga tercapai tanpa ada proses kontraksi yang
akan mengganggu fungsi. Bilamana luka bakar sembuh per sekundam
dalam 3 minggu atau lebih selalu ada kemungkinan timbul parut hipertrofi
dan kemungkinan kontraktur pada waktu proses maturasi. Sebaiknya
dipasang perban ½ menekan, bidai yang sesuai dan anjuran untuk
mengurangi edema dengan elevasi daerah yang bersangkutan.
h. Antibiotik sistemik spektrum luas diberikan untuk mencegah infeksi.
Infeksi dapat memperburuk derajat luka bakar dan mempersulit
penyembuhan. Yang banyak dipakai adalah golongan aminoglikosida yang
efektif terhadap pseudomonas.
i. Suplementasi vitamin yamg dapat diberikan yaitu vitamin A 10.000 unit
per minggu, vitamin C 500 mg dan sulfas ferosus 500 mg.
4. Penatalaksanaan Pembedahan
Eskaratomi dilakukan juga pada luka bakar derajat III yang melingkar
pada ekstremitas atau tubuh. Hal ini dilakukan untuk sirkulasi bagian distal akibat
pengerutan dan penjepitan dari eskar. Tanda dini penjepitan berupa nyeri,
kemudian kehilangan daya rasa menjadi kebal pada ujung-ujung distal. Tindakan
yang dilakukan yaitu membuat irisan memanjang yang membuka eskar sampai
penjepitan bebas.
Debirdemen diusahakan sedini mungkin untuk membuang jaringan mati
dengan jalan eksisi tangensial. (Arif, 2000)
2.1.6 Update Jurnal
Abstract
Assault chemical burns are uncommon in northern Europe. Besides local toxicity,
systemic manifestations are possible after strong acid exposure. A 40-year-old
woman was admitted 1 h after a criminal assault with sulfuric acid. The total
burned surface area was 35%, third degree. Injury was due to sulfuric acid
(measured pH 0.9) obtained from a car battery. Immediate complications were
obstructive dyspnea and metabolic acidosis. The admission arterial pH was 6.92,
with total bicarbonate 8.6 mEq/l and base deficit 23.4 mEq/l. The correction of
metabolic acidosis was achieved after several hours by the administration of
bicarbonate and lactate buffers. The patient developed several burns-related
complications (sepsis and acute renal failure). Cutaneous projections of strong
acids may cause severe metabolic acidosis, particularly when copious irrigation
and clothes removal cannot be immediately performed at the scene.
Introduction
Assault chemical burns are uncommon in northern Europe as compared with
Africa or Asia.[1–4] Besides extensive skin lesions leading to functional and
aesthetic sequelae, projection of strong acids such as sulfuric acid may also cause
severe metabolic disturbances requiring aggressive resuscitation.
Case Report
A 40-year-old (45-kg weight) previously healthy woman was admitted to the
intensive burn care unit approximately 90 min after an assault chemical burn
following conjugal violence. The total burned surface area was estimated at 35%
(neck, face, head, arms, thorax, abdomen, and left leg), third degree [Figure 1].
There were severe bilateral eyes and ears lesions. Injury was due to sulfuric acid
(battery acid, pH measured at 0.9). As the patient and relatives were in panic,
irrigation with water was not performed at the scene of the accident but was
started immediately after the arrival in the burn center. The emergency medical
team began fluid resuscitation (Parkland's formula), and orotracheal intubation
was performed on-site after evidence of the severity of facial burns. The patient
was sedated for hospital transfer and presented the following vital signs: arterial
blood pressure 70/30 mmHg, pulse 110 bpm, SpO 2>90% with normal lung
auscultation.
Figure 1
Admission examination with third-degree caustic lesions extending to the neck
(incisions), trunk, and arms
The admission electrocardiogram and chest X-ray examination did not reveal
significant abnormalities. Laboratory investigations mainly revealed a profound
metabolic acidosis with a pH at 6.92, PaCO 2 42 mmHg, total bicarbonate 8.6
mEq/l, base deficit 23.4 mEq/l, sodium 148 mEq/l, potassium 4.1 mEq/l, chloride
117 mEq/l, calcium 6.1 mg/dl, and phosphorus 15.1 mg/dl. The lactate level was
within the normal range: 1.7 mmol/L. Renal function was initially preserved
(serum creatinine 0.83 mg/dl), with no evidence for rhabdomyolysis. Blood
coagulation tests on admission were disturbed, with fibrinogen 117 mg/dl,
activated partial thromboplastin time (APTT) 69 s, and International Normalized
Ratio (INR) 2.23. Platelets count was 169 000/mm 3. Metabolic acidosis was
progressively corrected by the administration of a total of 300 mmol of sodium
bicarbonate over 14 h and of 140 mmol of lactate from Hartmann's solution over
the first 24 h Table 1. The adjustment of the ventilator settings was complicated
by the progressive development of a thoracic rigidity secondary to the chemical
burns.
Table 1
Evolution of blood gas analysis from admission and correction with bicarbonate
buffer
During the ICU stay, the patient developed several complications. Mechanical
ventilation was required for 40 days, and a percutaneous tracheostomy had been
performed after 1 month. The hemodynamic condition required mild inotropic
support (maximal dose of dobutamine, 5 μg/kg/min) for a period of 15 days.
Echocardiography demonstrated a moderate alteration of the left ventricular
function. While urine output was maintained during the first week, continuous
venovenous hemofiltration had to be started after this interval and was continued
for 7 weeks. The patients also developed multiple episodes of wound-related
sepsis treated by adapted antimicrobial therapy. In addition, iterative surgery was
required with a total of 15 procedures for excision and grafting. After 5 months,
the patient left the intensive care unit for rehabilitation.
Discussion
According to a recent systematic review, the annual incidence of severe burns in
Europe (1985-2009) was 0.2 to 2.9/10 000 inhabitants, with a predominance of
male patients younger than 16 years.[1] Flames, scalds, and contact burns were
the most prevalent causes in the total population. Chemical burns were less
frequent than electrical burns, and when they occurred, they were mainly
encountered after accidental professional exposure. While the major risk factors
for death are older age and total percentage of burned surface area after severe
burns from all origins, no specific prognostic factors exist for chemical burns.[1]
The only experimental study that focused on sulfuric acid appeared in 1927.[10]
Water lavage was superior to neutralization with sodium bicarbonate in the
treatment of 96% sulfuric acid burns in rats. With 50% and 25% sulfuric acid,
there was no difference between the rats treated by neutralization or with pure
water.
Conclusion
This observation emphasizes the possibility of severe systemic toxicity after
dermal exposure to some agents. This has been well demonstrated with
hydrofluoric acid causing hypocalcemia and ventricular fibrillation or for formic
acid and intravascular hemolysis. As assault sulfuric acid burns mainly occur in
countries with a limited access to primary emergency care, the exact occurrence of
severe metabolic acidosis with such an agent is not precisely known but should be
suspected according to the nature of the product, the duration of exposition, and
the extent of the lesions. In the present observation, the severity of the metabolic
acidosis was also related to the absence of the initial irrigation.
Footnotes
Source of Support: Nil
References
1. Brusselaers N, Monstrey S, Vogelaers D, Hoste E, Blot S. Severe burn injury in
Europe: A systematic review of the incidence, etiology, morbidity, and mortality.
Crit Care. 2010;14:R188. [PMC free article] [PubMed]
2. Asaria J, Kobusingye OC, Khingi BA, Balikuddembe R, Gomez M, Beveridge
M. Acid burns from personal assault in Uganda. Burns. 2004;30:78–81. [PubMed]
3. Purdue GF, Hunt HL. Adult assault as a mechanism of burn injury. Arch Surg.
1990;25:268–9. [PubMed]
4. Mannan A, Ghani S, Clarke A, Butler PEM. Cases of chemical assault
worldwide: A literature review. Burns. 2007;33:149–54. [PubMed]
5. Faga A, Scevola D, Mezzeti MG, Scevola S. Sulphuric acid burned women in
Bangladesh: A social and medical problem. Burns. 2000;26:701–9. [PubMed]
6. Palao R, Monge I, Ruiz M, Barret JP. Chemical burns: Pathophysiology and
treatment. Burns. 2010;36:295–304. [PubMed]
7. Flammiger A, Maibach H. Sulphuric acid burns (corrosion and acute irritation):
Evidence-based overview to management. Cutan Ocul Toxicol. 2006;25:55–61.
[PubMed]
8. Jelenko C., 3rd Chemicals that “burn” J Trauma. 1974;14:65–72. [PubMed]
9. Leonard LG, Scheulen JJ, Munster AM. Chemical burns: Effect of prompt first
aid. J Trauma. 1982;22:420–3. [PubMed]
10. Davidson EC. The treatment of acid and alkali burns.An experimental study.
Ann Surg. 1927;85:481–9. [PMC free article] [PubMed]
11. Penner GE. Acid ingestion: Toxicology and treatment. Ann Emerg Med.
1980;9:374–9. [PubMed]
Articles from Journal of Emergencies, Trauma, and Shock are provided here
courtesy of Medknow Publications
2.1.7 Penanganan Terkait Update Jurnal
Sesuai dengan kasus diatas penanganan luka bakar yang mengalami asidosis
metabolik, dengan total luas permukaan luka bakarnya adalah 35% (derajat
ketiga), pH masuk arteri adalah 6.92, jumlah bikarbonat 8,6 mEq/l dan defisit
basa 23,4 mEq/l. Penanganannya yaitu dengan pemberian resusitasi cairan dengan
menggunakan formula Parkland’s dan intubasi Orotracheal.
Pemberian resusitasi cairan dengan menggunakan formula Parkland’s yaitu
kebutuhan cairan dalam 24 jam dihitung berdasarkan rumus:
1. Primary Survey
a. Airway
Periksa mulut dan hidung apakah ada jelaga, luka bakar, lepuh, dan
edema. Perhatikan rambut wajah dan hidung yang hangus. Bila tanda
iniada, pertahankan indeks kecurigaan tinggi adanya cedera inhalasi
Pantau bunyi inspirasi abnormal pada pasien (mis.,bunyi seperti gagak,
stridor, dan kasar) yang mungkin berkaitan dengan sumbatan parsial
faring dan laring karen edema luka bakar
Luka bakar yang mengelilingi leher dapat mengganggu jalan napas
sebagai akibat efek edema tipe torniket
b. Breathing
Evaluasi frekuensi pernapasan, penggunaan otot aksesori, simetrisitas
dinding dada, dan ekskursi
Luka bakar derajat-tiga yang mengelilingi dada dapat merusak ekspansi
dada karena pembentukan krusta tebal. Pembuangan krusta mungkin
perlu dilakukan untuk memungkinkan ekspansi dada saat inspirasi
Auskultasi paru, apakah ada gerakan dada bilateral dan bunyi tambahan
Kaji adanya agitasi atau perubahan tingkat kesadaran
Selain tanda kemungkinan status cedera inhalasi pada pengkajian jalan
napas, suara serak, stridor, mengi, batuk sputum mengandung karbon,
takipnea, dispnea, dan agitasi mungkin ditemukan selama pengkajian
pernapasan
c. Circulation
Pasien luka bakar akan mengalami penurunan curah jantung dalam
beberapa menit pertama cedera
Takikardi
Kaji nadi, khususnya pada bagian distal luka bakar. Nadi yang tidak
dapat diraba harus dievaluasi dengan Doppler. Luka bakar derajat ketiga
yang mengelilingi ekstremitas mungkin memerlukan pembuangan krusta.
Kaji pengisian ulang kapiler, rangka tubuh dan suhu ekstremitas serta
warna kulit
Kaji perfusi serebral dengan mengevaluasi tingkat kesadaran pasien.
Afinitas karbon monoksida pada hemoglobin 200 kali lebih kuat
dibandingkan oksigen. Tanda dan gejala perfusi jaringan yang tidak
adekuat dapat menunjukkan keracunan karbon monoksida
d. Disability
Mengkaji ulang AVPU (Alert, Verbal, Pain, Unrespons) pasien,
melakukan pemeriksaan GCS dan tingkat kesadaran dari pasien : sadar/ somnolen/
sopor/ koma, serta kedaan pupil dengan menggunakan penlight.
2. Secondary Survey
Secondary survey merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan
secara head to toe, hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil.
Beberapa pengkajian sekunder yang harus di lakukan pada pasien luka bakar
antara lain :
a. Tentukan luas luka bakar
Berbagai jenis formula yang digunakan untuk menghitung jumlah cairan
yang harus diberikan kepada pasien luka bakar harus berdasarkan total
permukaan tubuh (TBSA: total body surface area) yang cedera. Luas luka bakar
pada dewasa dihitung menggunakan rumus sembilan (Rule of nine) yang
diprovokasi oleh Wallace, yaitu:
Dewasa Anak
Kepala dan leher : 9% 18%
Lengan masing-masing 9% : 18% 18%
Badan depan 18%, badan belakang 18% : 36% 36%
Tungkai masing-masing 18% ; 13,5 % : 36% 27%
Genitatalia/perinium : 1% 1%
Total : 100%
3. Tersier Survey
a. Pemeriksaan darah
Darah lengkap
Kadar HbCO
Gula darah
Elektrolit
Analisa gas darah
Golongan darah beserta pemeriksaan lainnya
Tes kehamilan pada penderita wanita usia subur
b. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan foto toraks
Foto toraks dilakukan setelah pemasangan ET
c. Pemasangan pipa lambung
Bila penderita muntah-muntah, kembung, luka bakar melebihi 20% harus
dipasang pipa lambung yang dihubungkan dengan alat penghisap. Pada penderita
yang memerluka transfer ke pusat luka bakar harus dipasang NGT.
e. Antibiotika
Pemberian antibiotik profilaksis tidak dianjurkan pada saat-saat pertama
luka bakar baru terjadi, antibiotik hanya diberikan bila terjadi inflamasi.
4) Nyeri yang berhubungan dengan stimulasi terhadap sensor nyeri yang terpajan.
Tujuan : Nyeri teratasi atau teradaptasi
Kriteria hasil : Pasien tampak rileks, tidak gelisah, TTV normal TD 120/80
mmHg, N: 60-100 x/menit, RR 16 24 x/menit, Suhu 36,5-37,5oC.
Intervensi
1. Dinginkan luka bakar dengan kompres air hangat sampai lembab dingin,
hati-hati untuk menghindari hipotermia.
2. Tutup luka bakar yang di dinginkan dengan kain kering dan bersih untuk
mencegah iritasi akibat ujung saraf terpajan aliran udara.
3. Berikan medikasi nyeri sesuai program
4. Beritahu pasien tentang semua prosedur yang akan dilakukan dan apa yang
akan terjadi selama prosedur tersebut
5) Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan luka bakar, edema, dan
kerusakan mobilitas fisik seperti yang ditunjukkan dengan destruksi dermis,
epidermis, dan struktur dibawahnya, lepuh berisi cairan, dan bercak-bercak,
berlilin, putih, merah cairan, atau warna kulit kehitaman.
Intervensi:
1. Hilangkan sumber pembakar
2. Bilas luka bakar kimiawi dengan air selama 20 sampai 30 menit
3. Bila telinga yang terbakar, amankan selang endotrakea dan lambung jauh
dengan telinga
4. Tar, aspal, dan plastik yang melekat pada kulit harus di dinginkan dengan
air.
5. Miringkan pasien selama 2 jam
3.1 Kesimpulan
Luka bakar adalah kerusakan jaringan tubuh terutama kulit akibat
langsung atau ekspose dengan sumber panas (thermal), kimia, elektrik, dan radiasi
Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh trauma panas yang memberikan
gejala, tergantung luas dalam dan lokasi lukanya (Andra & Yessie, 2013).
Cedera panas menghasilkan efek lokal dan efek sistemik yang berkaitan
dengan luasnya destruksi jaringan. Pada luka bakar yang luasnya kurang dari
20%, mekanisme kompensasi tubuh masih bisa mengatasinya. Bila kulit yang
terbakar luas (lebih dari 20%), dapat terjadi syok hipovolemik disertai gejala yang
khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan
darah menurun, dan produksi urin berkurang (Corwin, 2000).
Kegawatdaruratan yang dapat muncul pada penderita luka bakar salah
satunya adalah asidosis metabolik dimana terjadi ketidakseimbangan asam basa
yang disebabkan oleh perfusi jaringan yang tidak adekuat, adanya peningkatan
produksi asam dari produk akhir, fungsi renal berkurang (menyebabkan retensi
produk akhir tertahan), kehilangan bikarbonat serum. Kondisi ini akhirnya
menyebabkan asidemia atau keasaman darah, dimana pH arteri turun hingga
dibawah 7,35.
3.2 Saran
Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan, maka penulis berharap
dengan makalah ini semoga mahasiswa/i dapat mengerti bagaimana asuhan
keperawatan gawat daruratpada pasien luka bakar yang mengalami asidosis
metabolik, dan paham bagaimana patofisiologi yang terjadi pada pasien yang
mengalami penyakit tersebut, sehingga bisa berpikir kritis dalam melakukan
tindakan keperawatan dan dapat meningkatkan wawasan tentang asuhan
keperawatan asidosis metabolik pada luka bakar.
Bagi perawat semoga akan terus meningkatkan kualitas dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien asidosis metabolik dengan ikut
melibatkan keluarga dalam perawatan pasien dengan cara dapat melakukannya
bersamaan ketika melakukan tindakan lain sehingga dapat meminimalkan masalah
keperawatan, serta bagi penulis karya tulis ilmiah lainnya untuk lebih menggali
dan meningkatkan teori-teori serta penemuan yang mendukung kasus asidosis
metabolik pada luka bakar.
DAFTAR PUSTAKA