Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN HEMATOLOGI

“ Resistensi Osmotic”

OLEH :

Nama : Ni Kadek Diah Tri Yunita Dewi


NIM : P07134018 078

Kelas. : 2B

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

JURUSAN TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR

2020
PRAKTIKUM HEMATOLOGI II
Pemeriksaan Resistensi Osmotic
I. TUJUAN
a. Tujuan umum
1. Mahasiswa dapat menetahui prosedur pemerikasaan Daya Kerapuhan Eritrosit
(Resistensi Osmotic).
2. Mahasiswa dapat menjelaskan prosedur pemeriksaan Daya Kerapuhan Eritrosit
(Resistensi Osmotic).
b. Tujuan khusus
1. Mahasiswa dapat melakukan prosedur pemeriksaan Daya Kerapuhan Eritrosit
(Resistensi Osmotic).
2. Mahasiswa dapat menginterpretasikan hasil pemeriksaan Daya Kerapuhan
Eritrosit (Resistensi Osmotic).

II. METODE
Metode yang digunakan adalah metode manual
III. PRINSIP
Eritrosit akan pecah atau membengkak bila dimasukan ke dalam larutan hypotonis
dan mengkerut dalam larutan hipotanis sedangkan sedangkan dalam larutan isotonis tidak
terjadi perubahan.
IV. DASAR TEORI
Eritrosit merupakan suatu komponen utama darah setelah leukosit, trombosit dan plasma
(Oliveira & Saldanha, 2009). Sel darah tersebut dihasilkan melalui proses hematopoiesis
dalam sumsum tulang. Retikulosit, yang merupakan bentuk prematur dari eritrosit, akan
mengalami maturasi dan membentuk sel darah merah berdiameter 8 µm yang berbentuk
diskus bikonkaf dengan usia sel 120 hari (Pasini, Kirkegaard, Mortensen, Lutz, Thomas,
& Mann, 2006).
Membran plasma eritrosit bersifat permeable terhadap molekul air (H2O). Hal ini oleh
sebab adanya transport protein AQP1 (Mathai et al, 1996; Smith et al 1994, Umenishi
and Verkman, 1998) . Sel darah merah yang dimasukkan dalam larutan hipertonis akan
mengalami krenasi (pengerutan) sel karena lebih banyak air yang keluar sel daripada
yang masuk. Demikian sebaliknya, apabila eritrosit berada dalam lingkungan yang
hipotonis, maka osmosis akan terjadi dari luar ke dalam sel yang akan menyebabkan sel
akan menggembung. Apabila membran plasma tidak dapat menahan tekanan tinggi
intrasel tersebut oleh sebab tercapainya critical volume, maka sel akan pecah dan
hemoglobin akan dilepaskan (Paleari & Mosca, 2008).
Tes fragilitas osmotik menilai kejadian lisis eritrosit akibat adanya osmotic stress.
Tingkat fragilitas osmotik eritrosit dipengaruhi oleh perbandingan luas permukaan sel
terhadap volume sel. Peningkatan fragilitas osmotik dapat ditemukan pada sferositosis.
Pada keadaan ini sel mengalami penurunan perbandingan luas permukaan terhadap
volume sel. Hal ini menyebabkan sel sferosit tidak dapat mengembang seefektif eritrosit
diskoid normal dan menjadi lebih rentan terhadap tekanan osmotik. Peningkatan fragilitas
osmotik juga dapat ditemukan pada anemia hemolitik autoimun (Paleari & Mosca, 2008),
pasca transfusi (inkompatibilitas ABO dan Rhesus), toksisitas obat atau zat kimia,
leukemia limfositik kronis, dan luka bakar. Pada keadaan talasemia (mayor dan minor),
anemia (defisiensi besi, asam folat, B6), polisitemia vera, post splenektomi, nekrosis hati
akut dan subakut, dan ikterik obstruktif, fragilitas eritrosit menurun. Tes skrining yang
paling sering digunakan untuk penilaian penurunan fragilitas eritrosit, seperti pada
talasemia, adalah tes fragilitas (Wiwanitkit, 2009), contohnya One Tube Osmotic
Fragility Test (OTOFT).
Akibat adanya gangguan struktural dan biokimia dari eritrosit yang mengalami keadaan-
keadaan patologis di atas, hampir dapat dipastikan bahwa terdapat perubahan morfologi
sel, yang dapat ditinjau lebih lanjut menggunakan pemeriksaan sediaan apus darah tepi
(SADT). Seberapa erat hubungan antara
perubahan fragilitas eritrosit dengan SADT eritrosit masih sangat layak untuk diteliti
dengan tujuan untuk melihat apakah terdapat korelasi antara keduanya.

V. ALA DAN BAHAN


a. Alat
1. Tabung serologis
2. Centrifuge
3. Pipet tetes
4. Yellow tip
5. Blue tip
6. Mikropipet
7. stopwatch
b. Bahan
1. Darah EDTA
2. NaCl 1%
3. Aquades

VI. CARA KERJA


1. Tabung reaksi disediakan senanyak 10 dan diisi dengan NaCl 1% pada masing-
masing tabung (1,2 ml; 1,1 ml; 1,0 ml; 0,9 ml; 0,8 ml; 0,7 ml;0,6 ml;0,5ml; 0,4 ml;
0,3 ml)
2. Tabung yang sama ditambahkan aquades secara bersamaan (0,6 ml; 0,7 ml; 0,8 ml;
0,9 ml; 1,0 ml; 1,1 ml; 1,2 ml; 1,3 ml; 1,4 ml; 1,5 ml)
3. Tabung yang sama ditambahkan 1 tetes darah
4. Didiamkan selama 15 menit
5. Disentrifuge dengan kecepatan 2000 rpm selama 15 menit
6. Tabung diamati secara visual: dimana terjadi permulaan hemolysis dan hemolysis
sempurna
7. Hasil dibandingkan dengan nilai normal, dan disimpulkan

VII. NILAI RUJUKAN


No tabung NaCl 1% Aquadest Konsentrasi NaCl (%)
1. 1,2 ml 0,6 ml 0,66
2. 1,1 ml 0,7 ml 0,61
3. 1,0 ml 0,8 ml 0,55
4. 0,9 ml 0,9 ml 0,50
5. 0,8 ml 1,0 ml 0,44
6. 0,7 ml 1,1 ml 0,39
7. 0,6 ml 1,2 ml 0,33
8. 0,5 ml 1,3 ml 0,27
9. 0,4 ml 1,4 ml 0,22
10. 0,3 ml 1,5 ml 0,17

VIII. HASIL
-
IX. PEMBAHASAN
Eritrosit yang bersirkulasi mempunyai masa paruh sekitar 120 hari. Karena ia tak berinti,
ia merupakan sel yang mati di keseluruhan masa tersebut dengan komposisi yang selalu
berubah. Eritrosit mengandung sekitar 65% air dan 33% hemoglobin. Komposisi
elektrolit rata-rata adalah Na+ 8 mmol/l volume sel total, K+ 90 mmol/l, Clˉ 55 mmol/l,
pH 7,2 dan perbedaan utama dalam komposisi ion dari sel-sel otot adalah tingginya
konsentrasi klorida. Akibat kandungan air eritrosit relatif rendah maka konsentrasi total
zat-zat yang bisa berdifusi seperti glukosa dan urea lebih rendah daripada plasma
(Lindsey et al., 1990).
Air normalnya mengalami pertukaran antara cairan ekstraseluler dan sel berdasarkan
osmolalitas (konsentrasi) cairan. Cairan eritrosit dan plasma memiliki konsentrasi ionik
yang serupa, isoosmolar atau isotonik. Osmosis terjadi ketika terdapat ketidakseimbangan
salah satu konsentrasi yang lebih tinggi. Bila eritrosit berada dalam larutan yang
hipotonis, cairan yang kadar osmolalitasnya lebih rendah daripada plasma atau serum
normembengkakan dan akhirnya eritrosit tersebut mengalami ruptur (Kee, 2007)
Bentuk eritrosit yang normal adalah biconcave, bentuk ini ditentukan dari rasio atau
perbandingan luas permukaan (LP) eritrosit dan volume (V) eritrosit (LP/V). Jika luas
permukaan besar dan volume kecil, maka rasio LP/V akan meningkat, berdampak
menurunkan fragilitas eritrosit, karena eritrosit akan memiliki kemampuan untuk
menapung cairan hipotonis lebih banyak.
Peningkatan fragilitas eritrosit terjadi pada bentuk spheris (spherositosis) ellips
(ellipsositosis) dan target sel. Keutuhan membran ditentukan oleh membran lipid, protein
integral, protein perifer, yang berupa glikoprotein, spektrin, ankirin, spektrin, protein
(Gurr, 2002).
Hemolisis adalah peristiwa keluarnya hemoglobin dari dalam sel darah merah menuju ke
cairan di sekelilingnya. Keluarnya hemoglobin ini disebabkan karena pecahnya membran
sel darah merah. Membran sel darah merah mudah dilalui atau ditembus oleh ion-ion H+,
OHˉ, NH4+, PO4, HCO3ˉ, Clˉ, dan juga oleh substansi-substansi yang lain seperti
glukosa, asam amino, urea, dan asam urat. Sebaliknya membran sel darah merah tidak
dapat ditembus oleh Na+, K+, Ca++, Mg++, fosfat organic dan juga substansi lain seperti
hemoglobin dan protein plasma. Secara umum, membran yang dapat dilaui atau ditembus
oleh suatu substansi dikatakan bahwa membran ini permeabel terhadap substansi
tersebut. Membran yang semipermeabel adalah membran yang hanya dapat ditembus
oleh molekul air saja, tetapi tidak dapat ditembus oleh substansi lain. Tidak ada membran
pada organisme yang bersifat betul-betul semi permeabel, yang ada adalah membran
yang bersifat permeabel selektif, yaitu membran yang dapat ditembus oleh molekul air
dan substansi-substansi lain, tetapi tidak dapat ditembus oleh substansi yang lain lagi.
Jadi membran sel darah merah termasuk yang permeabel selektif (Ronald, 2004).
Ada dua macam hemolisis yaitu:
a. Hemolisis Osmotik
Hemolisis osmotik terjadi karena adanya perbedaan yang besar antara tekanan osmosis
cairan di dalam sel darah merah dengan cairan di sekeliling sel darah merah. Dalam hal
ini tekanan osmosis isi sel jauh lebih besar daripada tekanan osmosis di luar sel. Tekanan
osmosis isi sel darah merah adalah sama dengan tekanan osmosis larutan NaCl 0,9%. bila
sel darah merah dimasukkan ke dalam larutan 0,8% belum terlihat adanya hemolisis
tetapi sel darah merah yang dimasukkan ke dalam larutan NaCl 0,4% hanya sebagian saja
dari sel darah merah yang mengalami hemolisis sedangkan sebagian sel darah merah
yangt lainnya masih utuh. Perbedaan ini disebabkan karena umur sel darah merah
berbeda-beda.
Sel darah merah yang sudah tua, membran sel mudah pecah sedangkan sel darah merah
yang muda, membran selnya kuat. Bila sel darah merah dimasukkan ke dalam larutan
NaCl 0,3%, semua sel darah merah akan mengalami hemolisis. Hal ini disebut hemolisis
sempurna. Larutan yang mempunyai tekanan osmosis lebih kecil daripada tekanan
osmosis isi sel darah merah disebut larutan hipotonis, sedangkan larutan yang
mempunyai tekanan osmosis lebih besarisi sel darah merah disebut larutan hipertonis.
Suatu larutan yang mempunyai tekanan osmosisyang sama besar dengan tekanan osmosis
isi sel disebuit larutan isotonis (Ronald, 2004).

b. Hemolisis Kimiawi
Pada hemolisis kimiawi, membran sel darah merah dirusak oleh macam-macam substansi
kimia. inding sel darah merah terutama terdiri dari lipid dan protein membentuk suatu
lapisan yang disebut lipoprotein. Jadi setiap substansi kimia yang dapat melarutkan lemak
(pelarut lemak) dapat merusak atau melarutkan membran sel darah merah. Kita mengenal
bermacam-macam pelarut lemak yaitu kloroform, aseton, alkohol, benzene dan eter.
Substansi lain yang dapat merusak membran sel darah merah diantaranya adalah bias
ular, bias kalajengking, garam empedu, saponin, nitrobenzene, pirogalol, asam karbon,
resi, dan senyawa arsen,dan senyawa radikal bebas (Ronald, 2004).

Fragilitas osmotik merupakan salah satu metode untuk meneliti keadaan membran
eritrosit. Pemeriksaan fragilitas osmotik eritrosit digunakan untuk mengukur resistensi
eritrosit yang mengalami hemolisis saat dipaparkan pada berbagai tingkat konsentrasi
larutan salin hipotonis. Larutan hipotonis yang digunakan untuk pemeriksaan fragilitas
osmotik, yaitu NaCl dengan berbagai tingkat konsentrasi dari konsentrasi 0,1–1%. Ketika
eritrosit terpapar oleh lingkungan yang hipotonis air akan masuk ke dalam sel dan
menyebabkan sel tersebut mengalami pembengkakan dan akhirnya lisis. Persentase
eritrosit hemolisis dalam larutan hipotonis diperoleh dari membandingkan absorbansi
larutan yang diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 540
nm dengan absorbansi larutan aquabides. Metode one tube osmotic fragility (OTOF)
sering dilakukan untuk uji saring thalasemia. Pemeriksaan OTOF ini menggunakan 1
konsentrasi, yaitu 0,35%. Penelitian yang menggunakan 1 konsentrasi larutan utama,
yaitu NaCl 0,35% dan konsentrasi larutan di atasnya, yaitu NaCl 0,40% dan konsentrasi
NaCl 0,30% sebagai konsentrasi larutan di bawahnya.
Pemeriksaan fragilitas osmotik eritrosit dapat membantu dalam menegakkan diagnosis
kelainan membran eritrosit contohnya spherosistosis herediter, anemia defisiensi besi,
dan thalasemia. Thalasemia merupakan penyakit herediter, sehingga diperlukan skrining
dan diagnosis yang tepat bagi penderitanya. Skrining tersebut biasanya dilakukan pada
anak yang masih sekolah, yaitu 15 sampai 16 tahun, skrining kepada mahasiswa untuk
mendeteksi karir, sebelum melakukan pernikahan, dan kepada pembawa yang diketahui.
Menurut penelitian Dewanto tahun 2015, mahasiswa kedokteran tahun pertama perlu
memiliki pengetahuan yang baik mengenai penyakit thalasemia ini agar dapat melakukan
pencegahan thalasemia kepada generasi muda berikutnya. Pengetahuan yang lebih baik
membuat mahasiswa kedokteran melakukan pemeriksaan status karir thalasemianya lebih
awal. Deteksi dini status karir thalasemia pada dewasa muda dapat meningkatkan
program pencegahan penyakit thalasemia. Menurut Riskesdas tahun 2013 terdapat 18,4%
warga Indonesia dengan kelompok umur 15–24 tahun yang mengalami anemia,
sedangkan frekuensi pembawa gen talasemia di Indonesia berkisar antara 6–10%.
Darah yang akan diperiksa untuk pemeriksaan fragilitas osmotik eritrosit tidak boleh
dalam keadaan beku, oleh karena itu digunakan antikoagulan. Antikoagulan yang biasa
dipakai, yaitu ethylenediaminetetra-acetic-acid (EDTA), heparin, natrium sitrat, dan
oksalat. Menurut David Rover (2012), sampel yang digunakan untuk pemeriksaan
fragilitas osmotik eritrosit, yaitu darah dengan antikoagulan heparin, tetapi tidak
disebutkan mengenai penggunaan antikoagulan EDTA. Heparin jarang digunakan dalam
pemeriksaan hematologi karena harganya relatif mahal dan dapat memengaruhi hasil dari
pemeriksaan apusan darah tepi. Antikoagulan EDTA menghambat proses pembekuan
dengan mengikat ion kalsium dalam darah.
Pada praktikum ini menggunakan larutan saline untuk menguji resistensi osmotik
erotrosit. Apabila medium di sekitar eritrosit menjadi hipotonis (karena penambahan
larutan NaCl hipotonis) medium tersebut (plasma dan lrt. NaCl) akan masuk ke dalam
eritrosit melalui membran yang bersifat semipermiabel dan menyebabkan sel eritrosit
menggembung. Bila membran tidak kuat lagi menahan tekanan yang ada di dalam sel
eritrosit itu sendiri, maka sel akan pecah, akibatnya hemoglobin akan bebas ke dalam
medium sekelilingnya. Sebaliknya bila eritrosit
berada pada medium yang hipertonis, maka cairan eritrosit akan keluar menuju ke
medium luar eritrosit (plasma), akibatnya eritrosit akan keriput (krenasi). Keriput ini dapat
dikembalikan dengan cara menambahkan cairan isotonis ke dalam medium luar eritrosit
(plasma). Sesuai dengan prosedur yang akan telah dilakukan interpretasi hasil yang akan
tampak pada uji resistensi osmotik adalah sebagai berikut:

Pada tabel di atas merupakan contoh hasil dari praktikum uji fragilitas darah. Jika hasil yang
tampak berwarna merah jernih di semua bagian maka hasil hemolisisnya positif. Jika terdapat
warna merah jernih dan terdapat endapan hasil hemolisisnya positif. Untuk hasil lapisan atas merah
pucat atau bening dan lapisan bawah merah itu menandakan bahwa hemolisis negatif.
Fator-faktor yang dapat memengaruhi pemeriksaan fragilitas osmotik eritrosit, yaitu
umur eritrosit, pH plasma, suhu, antikoagulan, waktu penyimpanan, saturasi oksigen
darah, dan tingkat pencapaian keseimbangan hemolisis. Pemeriksaan fragilitas osmotik
eritrosit biasanya dilakukan dalam waktu kurang dari 2 jam saat pengambilan darah yang
disimpan dalam suhu ruangan atau dalam waktu 6 jam apabila darah disimpan dalam suhu
4°C. Tes fragilitas osmotik tersebut normalnya dilakukan pada suhu ruangan (15–25°C).

X. KESIMPULAN
Fragilitas osmotik merupakan salah satu metode untuk meneliti keadaan membran
eritrosit. Pemeriksaan fragilitas osmotik eritrosit digunakan untuk mengukur resistensi
eritrosit yang mengalami hemolisis saat dipaparkan pada berbagai tingkat konsentrasi
larutan salin hipotonis. Larutan hipotonis yang digunakan untuk pemeriksaan fragilitas
osmotik, yaitu NaCl dengan berbagai tingkat konsentrasi dari konsentrasi 0,1–1%. Ketika
eritrosit terpapar oleh lingkungan yang hipotonis air akan masuk ke dalam sel dan
menyebabkan sel tersebut mengalami pembengkakan dan akhirnya lisis.
Pemeriksaan fragilitas osmotik eritrosit dapat membantu dalam menegakkan diagnosis
kelainan membran eritrosit contohnya spherosistosis herediter, anemia defisiensi besi,
dan thalasemia. Fator-faktor yang dapat memengaruhi pemeriksaan fragilitas osmotik
eritrosit, yaitu umur eritrosit, pH plasma, suhu, antikoagulan, waktu penyimpanan,
saturasi oksigen darah, dan tingkat pencapaian keseimbangan hemolisis.

DAFTAR PUSTAKA

Virgiati, Vina. 2017. Perbedaan Fragilitas Osmotik setelah Penyimpanan 2 Jam, 4 Jam,
dan 6 Jam. http://repository.unjani.ac.id/index.php?p=show_detail&id=390&keywords=.
Diakses pada 18 April 2020.
Hamid, Abdul, 2001. “Biokimia Metabolisme Biomolekul”. Penerbit Alfabeta : Jakarta.
Hardjasasmita, Pantjita. 2006. “Ikhtisar Biokimia Dasar”. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai