SD
KEGIATAN BELAJAR 1
Apabila kita kaji secara historis-kurikuler mata pelajaran tersebut telah mengalami
pasang surut pemikiran dan praktis. Sejak lahir kurikulum tahun 1946 di awal
kemerdekaan sampai pada era reformasi saat ini.
Dalam Kurikulum 1957, dan Kurikulum 1961 tidak dikenal adanya mata Pelajaran
Penendidikan Kewarganegaraan. Dalam Kurikulum 1946 dan 1957 materi tersebut itu
dikemas dalam Mata Pelajaran Pengetahuan Umum di SD atau Tata Negara di SMP
dan SMA.
Dalam Kurikulum Proyek Printis sekolah Pembangunan (PPSP) 1973 terdapat Mata
Pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara (PKN) dan Pengetahuan Kewargaan Negara.
Warga Negara yang baik adalah warga Negara yang tahu, mau, dn mampu berbuat
baik “(somantri 1970) atau secara umum yang mengetahui, menyadari, dan
melaksanakanhak dan kewajibanya sebagai warga Negara”
c. Pasal 37 ayat (1) yang menyatakan bahwa “ kurikulum pendidikan dassar dan
menengah wajib memuat : Pendidikan Agama, Pendidikan kewarganegaraan, bahasa,
Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Seni dan Budaya,
Pendidkan Jasmani dan Olahraga, Keterampilan/Kejujuran, dan Muatan Lokal.
d. Pasal 38 ayat yang menyatakan bahwa “Kurikulum Pendidkan Dasar dan
Menengah dikembangkan sesuai relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan
Pendidikan dan komite sekolah/Madrasah di bawah koordinasi dan supervise Dinas
Pendidikan atau kantor Departemen Agama kabupaten/kota untuk Pendidikan Dasar
dan Propensi untuk Pendidikan Menengah.
3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Penndidkan (PP RI NO 19 Tahun 2005 tentang SNP)
4 Pasal 6 ayat (4) menyatakan bahwa “setiap kelompok Mata Pelajaran sebagaimana
di maksud dalam ayat (1) dilaksanakan secara holistic sehinggga pembelajaran
masing-masing kelompok mata pelajaran ikut mewarnai pemahaman dan atau
penghayatan peserta didik”.
5. Pasal 7 ayat (2) Menyatakan bahwa kelompok mata pelajaran Kewarganegaraan
dan kepribadian pada
SD/MI/SDLB/Paket A
SMP/MTs/SMPLB/Paket B
Dalam konteks itu, Khususnya pada jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah,
Sekolah seyogyanya dikembangkan sebagai pranata atau tatanan sosial-Pedagogis
yang kondusif atau member suasana bagi tumbuh kembangnya berbagai kualitas
pribadi peserta didik.
Sekolah sebagai bagian integral dari masyarakat perlu dikembangkan sebagai pusat
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sepanjang hayat, yang mampu member
keteladanan,, membangun kemauan, dan mengembangkan kreatifitas peserta didik
dalam proses pembelajaran demokratis.
Dalam kerangka semua itu mata pelajaran PKn harus berfungsi sebagai wahana
kurikuler pengembangan karakter warga negara Indonesia yang demokratis dan
bertanggung jawab.
Peran PKn dalam proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sepanjang
hayat, melalui pemberian keteladanan, pembangunan kemauan, dan pengembangan
kreatifitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
Dari kedua konsep dasar tersebut dapat dikemukakan bahwa paradigma pendidikan
demokrasi melalui PKn yang perlu dikembangkan dalam lingkungan sekolah adalah
pendidikan demokrasi yang bersifat multidimensional atau bersifat jamak. Sifat
multidimensionalnya itu terletak pada:
Pandangan yang pluralistik –uniter (bermaacam-macam teetapi menyatu) dalam
pengertian Bhineka Tunggal Ika.
Sikapnya dalam menempatkan individu, Negara, dan masyarakat global secara
harmonis.
Tujuannya yang diarahkan pada dimensi kecerdasan (spiritual, rasional, dan sosial)
Konteks (setting) yang menghasilkan pengalaman belajarnyayang terbuka, fleksibel
atau luwes, dan bervariasi kepada dimensi tujuannya.
Pertama, memberikan perhatian yang cermat dan usaha yang sungguh-sungguh pada
pengembangan pengertian entang hakikat dan karekteristik aneka ragam demokrasi,
bukan hanya yang berkembang di Indonesia.
Keempat, tersedianya sumber belajar yang dapat mempasilitasi siswa untuk dapat
memahami penerapandemokrasi di negara lain sehingga mereka memiliki wawasan
yang luas tentang ragam ide dan sistem demokrasi dalam berbagai konteks.
Stuasi sekolah dan kelas di kembangkan sebagai democratic laboratory atau lab
demokrasi dengan lingkungan sekolah/kampus yang diperlakukan sebagai micro
cosmos of democracy atau linkungan kehidupan yang demokratis yang bersifat micro
ddan memperlakukan masyarakat luas sebagai open global classroom atau sebagai
kelas yang terbuka.
Dengan cara itu akan memungkinkan siswa dapat belajar demokrasi dalam stuasi yang
demokratis dan membangun kehidupan yang lebih demokratis. Itulah makna dari
konsep “learning and for democracy,and for democracy” dengan PKn sebagai wahana
kurikuler yang utama.
KEGIATAN BELAJAR 2
Ditetapkan pula bahwa “ Kedalaman muatan Kurikulum pada setiap Mata Pelajaran
pada setia Satuan Pendidikan di tuangkan dalam kompetensi yang harus dikuasai
peserta didik sesuai dengan beban belajar yang tercantum dalam Struktur Kurikulum”
Kompetensi yang dimaksud terdiri atas Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
yang dikembangkan berdasarkan standar Kompetensi Lulusan.
Muatan Lokal dam kegiatan Pengembangan Diri merupakan bagian integral dari
stuktur kurikulum pada jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
KEGIATAN BELAJAR 3
Istilah Pedagogis diserap dari bahasa Inggris paedagogical. Akar kata dari paes dan
ago (bahasa latin), artinya Saya Membimbing. Kemudian muncul istilah paedagogy
yang artinya ilmu mendidik atau Ilmu Pendidikan (Purbakawatja 1956) . tututan
pedagogis dalam modul ini diartikan sebagai pengalaman belajar (learning
experiences) yang bagaimana diperlakukan untuk mencapai tujuan Pindidikan
Kewarganegaraan , dalam pengertian ketuntasan penguasaan kompetensi penguasaan
kompetesi kewarganegaraan yang tersurat dan tersirat dalam lingkup dan kompetensi
dasar.
Semua kompetensi dasar untuk setiap kelas menuntut prilaku nyata (overt behavior).
Hal ini berarti bahwa konsep dan nilai kewarganegaraan diajarkan tidak boleh
berhenti pada pemikiran semata, tetapi harus terwujudkan dalam perbuatan nyata.
Dengan kata lain PKn menuntut terwujudnya pengalaman belajar yang bersifat utuh
memuat belajar kognitf, belajar nilai dan sikap, dan belajar prilaku. PKn seharusnya
tidak lagi memisah-misahkan domain-domain prilaku dalam belajar.
Proses pendidikan yang menjadi kepedulian PKn adalah proses pendidikan yang
terpadu utuh, yang juga disebut sebagai bentuk confluent educatin (Mc, Neil, 1981),
tuntutan pedagogis ini memerlukan persiapan mental, professionalitas, sossial guru-
Murid ysng kohesif.
Guru siap memberi contoh dan menjadi contoh. Ingatlah pada postulat bahwa Value is
neither tough now cought, it is learned (Herman 1966). Nilai tidak bisa diajarkan
ataupun ditangkap sendiri, tetapi dicerna melalui proses belajar. Oleh karena itu, nilai
harus termuat dalam mater Pelaajaran PKn.
PKn mata pelajaran dengan visi utama sebagai pendidikan demokrasi yang bersifat
multidimensional. Ia merupakan pendidikan demokrasi, pendidikan moral ,
pendidikan sosial, dan masalah pendidikan politik.
PKn dinilai sebagai mata pelajaran yang mengusung misi Pendidikan Nilai dan Moral,
dengan alasan sebagai berikut:
1. Materi PKn adalah Konsep- konsep nilai Pancasila dan UUD 1945 beserta
dinamika peerwujudan dalam kehidupan masyarakat negara Indonesia.
2. Sasaran akhir belajar PKn adalah perwujudan nilai-nilai tersebut dalam prilaku
nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Proses pembelajaran menuntut terlibatnya emosional, intelektual, dan sosial dari
peserta didik dan guru sehingga nilai-nilai itu bukan hanya dipahami (bersifat
kognitif) tetapi dihayati (bersifat objektif) dan dilaksanakan (bersifat prilaku).
Sebagai pengayaan teoritik, pendidikan nilai dan moral sebagaimana dicakup dalam
PKn tersebut, dalam pandangan Lickona (1992) disebut “Educating for character”
atau “pendidkan watak”
Lickona mengartikan watak atau karakter sesuai dengan pandangan filosof Michael
Novak (Lickona 1992 : 50-51). Yakni compatible mix of all thoese virtues identified
sense down traditions , litersry, stories, the sages, and persons of common sense down
through history. Artinya suatu perpaduan yang harmomis dari berbagai kebijakan
yang tertuang dalam keAgamaaan, Sastra, pandangan kaum,cerdik-pandai dan
manusia pada mumnya sepanjang zaman.
Liickona (1992,51) memamdang karakter atau watak itu memiliki tiga unsur yang
saling berkaitan yakni: moral knowing, moral feeling, and moral behavior (Konsep
moral, sikap moral, Prilaku moral)
MODUL 2
KEGIATAN BELAJAR 1
Konsep Pendikan nilai secara teoritik, Herman (1972) mengemukakan suatu prinsip
yang sangat mendasar, yakni bahwa “…value is neither taught nor cought , it is
learned” yang artinya bahwa substansi nilai tidaklah semata-mata ditangkap dan
diajarkan tetapi lebih jauh, nilai dicerna dalam arti ditangkap, diinternalisasi,
dibakukan sebagai bagian yang melekat dalam kualitas pribadi seseorang melalui
proses belajar.
Dalam latar kehidupan masyarakat, proses pendidikan nilai sudah berlangsung dalam
kehidupan masyarakat dalam berbagai bentuk tradisi. Tradisi ini dapat di lihat dari
petatah-petitih adat, tradisi, lisan turun-temurun seperti dongeng, nasihat, simbol-
simbol, kesenian daerah seperti “kekawihan” di tatar pesundan dan “berbalas pantun”
ditatar melayu.
Sebagai salah satu unsur kebudayaan (Kuncaraningrat 1978) kesenian paada dasarnya
merupakan produk budaya masyarakat yang melukiskan penghayatan tentang nilsi
ysng berkembang dalam limgkungan masyarakat pada masing-masing jamanya.
Dalam pengertian generik, konsep dap roses pendidikan merupakan proses yang
sengaja dirancang dan dilakukan untuk mengembangkan potensi individu dalam
interaksi dengan lingkungannya sehingga menjadi dewasa dan dapat mengarungi
kehidupan dengan baik, dala arti selamat didunia dan diakhirat.
Oleh karena itu tepat sekali dikatakan pada dassarnya pendidikan mempunyai dua
tujuan besar yakni mengembangkan individu dan masyarakat yang “ smart and good”
(Lickona 1992 : 6). Konsepsi tujuan tersebut mengandung arti bahwa tujuan
pendidikan tidak lain adalah mengembangkan individu dan masyarakat agar cerdas
(smart) dan baik (good)
Secara elaboratif tujuan ini oleh bloom dkk (1962) dirinci menjadi tujuan
pengembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik, yakni pengembangan pengetahuan
dan pengertian, nilai dan sikap, dan keterampilan psikomotorik.
Aspek cerdas dan baik itu seyogyanya dipandang sebagai satu kesatuan utuh. Hal itu
tercermin dari konsep kecerdasan saat ini, dimana kecerdasan tidak semata-mata
berkenaan denga aspek nalar atau intelektualitas atau kognitif, tetapi melingkupi
ssegala poensi individu.
Didalam konteks pemikiran taksonomi bloom pengembangan nilai dan sikap termasuk
dalam kategori afektif, yang secara khusus berisikan perassaan dan sikap (value and
attitudes)
Proses pendidikan yang memusatkan perhatian pada penembangan nilai dan sikap ini
didunia barat dikenal dengan “value education, effective education, moral education,
caracteer education” (Winataoutra 2001)
Bagaimana PKn sebagai mata pelajaran yang memiliki misi adalah pendidikan Nilai
dan Moral?
Hal itu juga di topang oleh rumusan landasan kurikulum, yang pada pasal 36 ayat (3)
secara eksplesit perlu memperhatikan persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan,
perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan seni, keragaman potensi daerah dan
lingkungan dan peningkatan potensi, kecerdasan dan minat pesrta didik.
Oleh karena itu proses pendidikan tidak boleh dilepaskan dari proses kebudayaanyang
pada akhirnya akan mengantarkan manusia menjadi inssan yang berbudaya dan
berkeadaban.
Jika dianalisis lebih cermat dan mendalam, pendidikan nilai memiliki dimensi
pedagogis praktis yang jauh lebih kompleks daripada dimensi teoritasnya karena
terkait pada konteks sosial-kultural dimana pendidian nilai dilaksanakan.
Perlunya upaya pendidikan nilai moral yang di lakukan secara menyaluaruh dengan
pertimbsngan sebagai berikut:
Pendidikan moral merupakan suatu kebutuhan sosiokultural yang jelas dan mendesak
bagi kelangsungan kehidupan yang berkeadaban
Pewarisan nilai antar generasi dan dalam suatu generasi merpakan ahana
sosiopsikologis dan sselalu menjadi tugas dari proses peradaban
Eranan sekolah sebagai wahana psikopedagogis dan sosiopsikologis yang berfungsi
sebagai pendidik moral menjadi semakin penting, pada saat dimana hanya sebagian
kecil anak yang mendapat pendidikan moral dari orang tuanya da peranan lembaga
keagamaan semakin kecil.
Dalam setiap masyassrakat terdapat landasan etika umum, yang bersifat universal
melintasi batas ruang dan waktu sekalipun dalam masyarakat pluralistik yang
mengandung banyak potensi terjadi konflik nilai.
Demokrasi mempunyai banyak kebutuhan khususnya pendidikan moral karena inti
dari demokrasi adalah pemerintah yang berakar dari rakyat dilakukan oleh wakil
pembawa amanah rakyat, dan mengusung komitmen mewujudkan keadilan dan
kesejahteraan rakyat.
Pertanyaan yang selalu dihadapi baik individu maupun masyarakat adalah
peertanyaan moral
Terdapat dukungan yang mendasar dan luas bagi pendidikan nilai disekolah.
Komitmen yang uat terhadap pendidikan moral sangatlah esensial untuk menarik dan
membina guru-guru yang berkeadaban dan fropesional.
Pendidikan nilai adalah pekerjaan yang dapat dan haarus dilakukan sebagai suatu
keniscayaan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat
global.
Dilihat dari substansidan prosesnya, Lickona (1992 : 53-63) yang perlu dikembangkan
dalam rangka pendidikan nilaitersebut adalah Nilai karakter yang baik, (good
character) yang didalamnya mengandung tiga dimensi nilai moral yaitu dimensi
wawasaan moral, dimensi perasaan moral, dimensi prilaku moral.
Ketiga domain moralita tersebut satu dengan yang lainya memiliki keterkaitan
substantifdan fungsional. Artinya bahwa wawasan dan perasaan atau sikap dan prilaku
moral merupakan tigs hal yang secara psikologis bersinergi.