Anda di halaman 1dari 6

A.

Upaya Pemecahan Masalah Konflik dan Kekerasan Melalui Integrasi dan


Reintegrasi Sosial
Penanganan masalah sosial berupa konflik dan kekerasan telah dibahas pada bab sebelumnya.
Menurut Anda, apakah menyelesaikan konflik dan kekerasan menggunakan salah satu proses
akomodasi dianggap cukup untuk menyelesaikan masalah secara tuntas? Belum tentu. Perlu dipahami
bahwa terdapat beberapa kasus konflik yang membutuhkan tindak lanjut setelah proses akomodasi. Di
satu sisi konflik telah diselesaikan melalui upaya akomodasi. Akan tetapi, perlu dilakukan upaya
mengembalikan kondisi yang rusak pascakonflik dan kekerasan itu sendiri.
Pernahkah Anda menyaksikan gulma yang telah Anda bersihkan ternyata dapat tumbuh
kembali? Kondisi demikian menunjukkan bahwa masih terdapat bagian dari gulma yang belum
sepenuhnya mati. Seperti itulah konflik dan kekerasan, apabila tidak diselesaikan secara tuntas potensi
laten dari konflik dan kekerasan dapat kembali muncul ke permukaan. Oleh karena itu, dilakukan
langkah penanganan pascakonflik dan kekerasan yaitu melalui integrasi dan reintegrasi sosial.
1. Integrasi Sosial
Integrasi sosial menunjukkan keadaan masyarakat yang saling berhubungan. Integrasi sosial
terdiri atas dua kata ’’integrasi” dan ’’sosial”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, integrasi
diartikan sebagai pembauran hingga menjadi kesatuan. Adapun adanya penambahan kata ’’sosial”
di belakang kata integrasi mengindikasikan bahwa proses integrasi tersebut ditujukan kepada
masyarakat ataupun kelompok yang sifatnya luas, bukan kepada individu.
Pada dasarnya setiap individu atau kelompok berusaha melakukan integrasi sosial dalam
masyarakat. Coba perhatikan gambar 2.2 Gambar di samping menunjukkan kekompakan setiap
peserta outbond. Padahal setiap peserta memiliki karakter masing- masing. Akan tetapi, mereka
berusaha untuk kompak satu sama lain. Kondisi demikian menunjukkan peserta outbond saling
berintegrasi. Begitu juga dalam kehidupan masyarakat. Agar dapat hidup dan berinteraksi dengan
sesama, setiap individu akan berusaha membaur dan menyesuaikan kondisi sosial masyarakat.
Dapat dikatakan secara naluriah setiap individu memiliki kecenderungan berintegrasi.
Gambar 2.2 Peserta outbond terdiri atas beragam individu yang berbeda, tetapi mereka dapat
menunjukkan integrasi melalui kekompakan dalam menyelesaikan permainan
Meskipun demikian kecenderungan untuk berintegrasi mendapat pengecualian apabila
dikaitkan dengan masalah sosial berupa konflik dan kekerasan. Naluri untuk berintegrasi rusak
akibat konflik dan kekerasan tersebut. Akibatnya, setiap kubu memilih saling menghindar dan
mengurangi kontak sosial. Oleh karena itu, dilakukan upaya integrasi sosial untuk membantu
memperbaiki serta mengembalikan persatuan dan harmoni sosial. Mengingat integrasi merupakan
sebuah proses, jika proses yang ditujukan untuk menciptakan integrasi sosial berhasil maka dapat
dikatakan masyarakat terintegrasi dengan baik. Untuk itu, dibutuhkan faktor, syarat, dan aktor yang
mendukung terciptanya integrasi sosial.
a. Syarat Terbentuknya Integrasi Sosial
William F. Ogbum dan Mayer Nimkoff mengemukakan bahwa terdapat syarat yang harus
dipenuhi agar integrasi sosial dalam masyarakat berhasil diciptakan. Adapun syarat tersebut
sebagai berikut.
1) Anggota masyarakat sadar bahwa mereka telah berhasil saling memenuhi kebutuhan
mereka. Kebutuhan yang terpenuhi tersebut menyebabkan setiap anggota masyarakat
berusaha saling menjaga keterikatan satu sama lain.
2) Masyarakat berhasil menciptakan kesepakatan (konsensus) mengenai norma dan nilai
sosial yang dilestarikan serta dijadikan pedoman dalam berinteraksi.
3) Norma dan nilai sosial tersebut berlaku cukup lama, tidak mudah berubah, dan dijalankan
secara konsisten oleh seluruh anggota masyarakat.
Apabila ketiga syarat di atas dapat dipenuhi masyarakat pascakonfhk, proses integrasi sosial
dapat segera dilaksanakan.
b. Proses Terwujudnya Integrasi Sosial
Dalam proses penanganan pascakonfhk dan kekerasan, integrasi sosial merupakan hasil akhir
dari penyelesaian konflik dan kekerasan. Proses terwujudnya integrasi sosial dicapai melalui
empat fase yaitu akomodasi, kerja sama, koordinasi, dan asimilasi (Sousia, 2012: 18-20).
Perhatikan alur proses menciptakan integrasi sosial pascakonfhk dan kekerasan pada gambar
berikut!

Gambar 2.3 Alur integrasi sosial

Berdasarkan alur tersebut, proses penciptaan integrasi sosial pascakonfhk dan kekerasan dapat
dijelaskan sebagai berikut.
1) Konflik Menuju Akomodasi
Pada awalnya konflik dan kekerasan muncul sebagai akibat perbedaan dalam masyarakat.
Konflik dan kekerasan kemudian diredam dan diselesaikan dengan cara melakukan
akomodasi yang disesuaikan dengan sumber/akar konflik.
2) Akomodasi Menuju Kerja Sama
Pada tahap akomodasi telah tercapai kompromi dan penyelesaian masalah. Akomodasi
mencerminkan upaya kerja sama untuk menyelesaikan masalah, baik internal (antarpihak
yang terlibat konflik) maupun eksternal (melibatkan pihak lain untuk melakukan
akomodasi). Kerja sama terbentuk karena adanya kesadaran bersama dengan membuat
kesepakatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
3) Kerja Sama Menuju Koordinasi
Adanya kesadaran dalam kerja sama dapat menumbuhkan koordinasi. Pelaksanaan
koordinasi hendaknya mengedepankan kerja sama yang telah tercipta supaya terarah dan
sejalan tujuan yang ingin dicapai. Pada tahap ini, baik antarpihak yang terlibat konflik
maupun pihak ketiga yang membantu penyelesaian konflik sadar melakukan proses
integrasi.
4) Koordinasi Menuju Asimilasi
Proses asimilasi merupakan proses mengurangi perbedaan antarindividu atau kelompok
untuk memperkuat kesatuan dan memperhatikan kepentingan ataupun tujuan bersama
(Syarbaini, 2013:30). Terkait proses integrasi pascakonflik, asimilasi terjadi melalui dua
tahapan. Pertama, adanya perubahan nilai budaya pada tiap-tiap kelompok. Kedua, terjadi
penerimaan cara hidup yang baru.

Integrasi sosial merupakan proses yang akan berlangsung secara terus-menerus.


Meskipun integrasi sosial merupakan hasil akhir dari penyelesaian konflik dan kekerasan,
integrasi sosial harus tetap dijaga dan dipertahankan oleh anggota masyarakat untuk menjaga
kerukunan.
c. Sifat Integrasi Sosial
Menurut Paulus Wirutomo (2012: 35—44), integrasi sosial memiliki tiga sifat sebagai
berikut.
1) Integrasi normatif, yaitu integrasi yang terbentuk karena terdapat kesepakatan nilai, norma,
cita-cita bersama, dan rasa solidaritas antaranggota masyarakat. Integrasi ini berkaitan
dengan unsur-unsur budaya yang masih disepakati antaranggota masyarakat seperti nilai
sosial, norma sosial, dan identitas.
2) Integrasi fungsional, yaitu integrasi yang terbentuk karena adanya ketergantungan
antarkelompok masyarakat. Masyarakat dipersatukan oleh adanya kebutuhan yang hanya
dapat dipenuhi melalui interaksi ntarkelompok masyarakat.
3) Integrasi koersif, yaitu integrasi yang terbentuk karena adanya paksaan dari pihak-pihak
yang memiliki kekuasaan dengan menggunakan lembaga sosial. Misalnya, pemerintah
menggunakan aparatur negara untuk menghentikan konflik demi menciptakan gencatan
senjata. Adapun makna dari pemaksaan memiliki tiga sifat berikut.
a) Legitimate, yaitu pemaksaan yang didukung oleh masyarakat.
b) Legal, yaitu pemaksaan yang disahkan oleh hukum.
c) Naked power, yaitu pemaksaan secara tidak resmi.
Setiap proses integrasi sosial pascakonflik dan kekerasan mengandung salah satu dari
sifat tersebut. Meskipun demikian, setiap pihak berharap proses integrasi sosial pascakonflik
berakhir sebagai integrasi normatif. Oleh karena itu, diperlukan serangkaian penelitian untuk
memahami realitas sosial dalam masyarakat pascakonflik. Dengan demikian, masyarakat
tersebut dapat membuat program-program yang mengarah pada integrasi normatif.
d. Faktor Pendorong Integrasi Sosial
Upaya menciptakan integrasi sosial pascakonflik dan kekerasan membutuhkan waktu
cukup lama. Meskipun demikian, terdapat beberapa faktor pendorong terciptanya integrasi
sosial. Adapun faktor tersebut sebagai berikut (Setiadi, 2015: 395).
1) Besar Kecilnya Kelompok
Konflik dan kekerasan yang terjadi dalam masyarakat dengan jumlah anggota sedikit
cenderung lebih mudah mencapai integrasi sosial daripada kelompok masyarakat yang
memiliki banyak anggota. Kelompok masyarakat yang anggotanya sedikit memiliki tingkat
kemajemukan relatif rendah sehingga mudah melakukan penyesuaian perbedaan
antaranggota. Adapun kelompok masyarakat yang memiliki banyak anggota, tingkat
kemajemukan relative tinggi sehingga membutuhkan waktu lebih lama mencapai integrasi
sosial.
2) Homogenitas Kelompok
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, homogenitas diartikan sebagai persamaan
macam, jenis, sifat, dan watak dari anggota suatu kelompok. Adapun makna homogenitas
kelompok ialah kemiripan atau kesamaan antaranggota dalam suatu kelompok masyarakat
baik kepribadian, ciri, maupun adat istiadat. Dalam masyarakat yang memiliki tingkat
homogenitas tinggi, integrasi sosial semakin mudah tercapai. Begitu pula sebaliknya.
Dalam
masyarakat majemuk/heterogen, integrasi sosial memerlukan waktu lebih lama. Contoh
kelompok homogen yaitu kelompok yang memiliki anggota sesuku, seetnik, atau sedaerah.
3) Aktivitas Komunikasi
Proses komunikasi turut memengaruhi proses integrasi sosial. Apabila komunikasi antar-
kelompok masih dapat dijalin dan berjalan efektif, proses integrasi sosial semakin mudah.
Akan tetapi, apabila proses komunikasi antarpihak yang berkonflik tidak terjalin maka
proses integrasi sosial sulit dilakukan (Sousia, 2012: 17-18).
Contoh upaya meningkatkan komunikasi antarpihak yang berkonflik yaitu dengan
mengadakan diskusi atau musyawarah terkait program yang dapat dijalankan secara
bersama-sama pascakonflik. Melalui upaya tersebut, antarpihak yang bertikai dapat
berinteraksi dan berkomunikasi kembali.
4) Mobilitas Geografis
Mobilitas geografis atau migrasi merupakan perpindahan seseorang atau sekelompok orang
dari satu tempat ke tempat lain. Tingkat mobilitas masyarakat dapat memengaruhi proses
integrasi sosial. Masyarakat dengan mobilitas geografis tinggi seperti sering bepergian
karena memiliki pekerjaan di luar kota menambah lama proses integrasi sosial. Adapun
masyarakat yang memiliki mobilitas geografis rendah seperti masyarakat perdesaan lebih
cepat dalam melakukan proses integrasi sosial.
Contoh mobilitas geografis yaitu adanya pengungsi yang menghindari konflik. Proses
integrasi dalam masyarakat yang mengungsi cenderung membutuhkan waktu lama karena
mencari tempat aman. Masyarakat perlu disadarkan bahwa konflik yang telah usai dan
dilakukan transformasi konflik agar masyarakat tidak memendam dendam atas konflik
yang telah terjadi.
Gambar 2.4 Masyarakat yang mengungsi akibat konflik merupakan contoh dari mobilitas geografis
e. Pihak yang Terlibat dalam Proses Integrasi Sosial
Proses integrasi dapat dilakukan oleh pihak yang berkonflik itu sendiri atau melibatkan
pihak lain. Pihak-pihak yang terlibat ini disebut sebagai pemangku kepentingan (stakeholder).
Stakeholder merupakan pihak yang terlibat dalam suatu kegiatan atau program pembangunan
dan pihak yang nantinya berfungsi sebagai mediator, edukator, fasilitator, atau dinamisator.
Stakeholder proses integrasi sosial sebenarnya sama dengan stakeholder dalam penyelesaian
konflik yaitu masyarakat, pemerintah, dan organisasi. Stakeholder sendiri dapat dikelompokkan
menjadi dua yaitu pihak dari dalam dan pihak dari luar (Ritha Sofithri, 2011: 680-682).
1) Pihak dari Dalam
Pihak dari dalam yang terlibat proses integrasi sosial adalah pihak yang berasal dari
komunitas yang' mengalami konflik dan kekerasan. Biasanya mereka adalah pemimpin
yang dihormati dan dipercaya masyarakat, baik yang bersifat formal maupun nonformal.
Coba Anda identifikasi siapa saja yang dapat dijadikan tokoh internal dalam menyelesaikan
kasus konflik dan kekerasan di lingkungan Anda!

Gambar 2.5 Masyarakat yang terlibat dalam pertentangan dapat menunjuk pihak internal untuk menjadi
stakeholder
2) Pihak dari Luar
Pihak dari luar yang terlibat proses integrasi adalah pihak yang tidak terlibat konflik. Pihak
tersebut dilibatkan untuk membantu menyelesaikan konflik dan kekerasan. Pihak dari luar
dianggap sebagai pihak netral dan diharapkan mampu membantu kelompok yang bertikai
dalam melihat masalah dengan sudut pandang berbeda serta, menemukan solusi guna
mewujudkan integrasi. Adapun pihak luar yang terlibat proses integrasi sebagai berikut.
a) Polri dan Militer
Polri sebagai alat negara bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat,
serta menegakkan hukum. Oleh karena itu, Polri dapat dilibatkan dalam upaya
mewujudkan integrasi pascakonflik. Pihak kepolisian dapat mengawal proses integrasi
agar berjalan secara kondusif.
Selain Polri, terdapat pihak militer yang dapat dilibatkan yaitu TNI. Keterlibatan TNI
diperlukan apabila terjadi konflik dalam skala besar sehingga integrasi sosial sulit
dicapai.
b) LSM
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) turut memiliki andil dalam pelaksanaan
penanganan konflik dan kekerasan. Lantas apa yang dilakukan LSM terkait
penanganan pemecahan masalah sosial konflik dan kekerasan sebagai upaya
menciptakan integrasi sosial? Tindakan yang dapat dilakukan LSM sebagai berikut
(Rahmadani, 2015: 128-131).
(1) Membangun kepercayaan. LSM membangun kepercayaan masyarakat bahwa
mereka bersedia dimediasi melalui LSM dalam penyelesaian masalah.
(2) Memodifikasi isu. LSM mengidentifikasi berbagai isu yang menj adi sumber
masalah, memetakan masalah, dan memperkenalkan alternatif penyelesaian
masalah.
(3) Mendorong komunikasi antarpihak yang terlibat masalah. Melalui komunikasi,
antarpihak yang berkonflik memiliki pemahaman tentang konflik dan cara
menyelesaikannya.
Bisa jadi pihak yang dilibatkan dalam proses integrasi sosial sama dengan proses
reintegrasi sosial. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan terdapat tambahan pihak-
pihak yang dilibatkan. Kondisi tersebut disesuaikan dengan kebutuhan, besar kecilnya konflik
dan kekerasan yang ditangani, serta jenis program yang dijalankan.

Anda mungkin juga menyukai