Anda di halaman 1dari 94

TESIS

HUBUNGAN HEALTH LITERACY DAN SELF EFFICACY


TERHADAP SELF CARE MANAGEMENT PENDERITA
DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI PUSKESMAS
KOTA MAKASSAR
(Batua, Antang dan Bara-Barayya)

FITRI A. SABIL
P4200216001

SEKOLAH PASCA SARJANA


PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018

i
HUBUNGAN HEALTH LITERACY DAN SELF EFFICACY
TERHADAP SELF CARE MANAGEMENT PENDERITA
DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI PUSKESMAS
KOTA MAKASSAR
(Batua, Antang dan Bara-Barayya)

Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister Keperawatan
Fakultas Keperawatan
Disusun dan diajukan oleh

(FITRI A. SABIL)
P4200216001

Kepada

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018

ii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:


Nama : Fitri A. Sabil
NIM : P4200216001
Program Studi : Ilmu Keperawatan
Fakultas : Keperawatan
Judul : Hubungan Health Literacy dan Self Efficacy Terhadap Self
Care Management Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 di
Puskesmas Kota Makassar (Batua, Antang dan Bara-
Barayya)

Menyatakan bahwa tesis saya ini asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik Magister baik di Universitas Hasanuddin maupun di
Perguruan Tinggi lain. Dalam tesis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas
dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama dan
dicantumkan dalam daftar rujukan.
Apabila dikemudian hari ada klaim dari pihak lain maka akan menjadi
tanggung jawab saya sendiri, bukan tanggung jawab dosen pembimbing atau
pengelola Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Unhas dan saya bersedia
menerima sanksi akademik sesuai dengan peraturan yang berlaku, termasuk
pencabutan gelar Magister yang telah saya peroleh.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada
paksaan dari pihak manapun.

Makassar, November 2018


Yang menyatakan,

Fitri A. Sabil

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur yang tidak terhingga penulis panjatkan kehadirat Allah SWT

yang telah melimpahkan rahmat, anugerah, dan karuniaNya sehingga penulis

dapat menyelesaikan proposal tesis dengan judul “Hubungan Health Literacy Dan

Self Efficacy Terhadap Self Care Management Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2

Di Puskesmas Kota Makassar (Batua, Antang dan Bara- barayya) ”.

Penyusunan proposal tesis ini dapat terselesaikan dengan baik berkat

bantuan dari berbagai pihak. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tinggi

penulis haturkan kepada Ibu Kusrini S. Kadar, S.Kp., MN., Ph.D selaku

pembimbing I dan Ibu Dr. Elly L. Sjattar, S.Kp, M.Kes selaku pembimbing II

atas segala bimbingan dan arahan yang selama ini telah diberikan kepada penulis

dari awal hingga akhir penulisan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Rektor Universitas Hasanuddin Makassar Prof. Dr. Dwia A. Tina

Pulubuhu, MA.

2. Dr. Ariyanti Saleh, S.Kp.. M.Kes selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan

Universitas Hasanuddin.

3. Dr. Elly L. Sjattar, S.Kp., M.Kes selaku Ketua Program Studi Magister

Ilmu Keperawatan FIK UNHAS.

4. Segenap dosen pengajar Program Studi Magister Ilmu Keperawatan atas

segala ilmu yang dicurahkan.

5. Teman-teman “PSMIK 07” atas persaudaraan, kerjasama, motivasi, serta

dukungannya.

iv
Terima kasih dengan rasa haru dan bangga penulis ucapkan kepada

kedua orang tua saya yang tercinta Ayahanda Andi Sabil Mangemba dan Hj.

Nurhalia serta saudara-saudaraku Eva Andayani, Evi Elivia, Widiastuti dan

Ardiansyah. Terima kasih yang tak terhingga atas segala doa, pengorbanan,

kesabaran, dukungan dan semangat yang tak henti-hentinya diberikan hingga

penulis dapat menyelesaikan studi.

Akhirnya, dengan menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna,

saran dan kritik dengan senang hati penulis terima demi penyempurnaan tesis ini

dan perbaikan dimasa yang akan datang. Semoga Allah SWT senantiasa

melimpahkan rahmatNya kepada kita semua dan apa yang disajikan dalam tesis

ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Aamiin Yaa Rabbal Aalamiin.

Makassar, November 2018

Penulis

(Fitri A. Sabil)

v
ABSTRAK

FITRI A. SABIL. Hubungan Health Literacy dan Self Efficacy Terhadap Self
Care Management Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 di Puskesmas Kota
Makassar (Batua, Antang dan Bara- Barayya). (dibimbing oleh Kusrini S. Kadar
dan Elly L. Sjattar).

Latar belakang : Health literacy dan self-efficacy merupakan faktor penting


dalam meningkatkan self-care management pada penderita DM. Seseorang yang
memiliki health literacy yang baik akan meningkatkan keyakinan dalam dirinya
untuk melakukan hal-hal agar dapat mencapai tujuan terkait penyakitnya. Oleh
karena itu dalam meningkatkan self-care management dibutuhkan health literacy
dan self-efficacy yang baik agar dapat mencegah komplikasi yang lebih jauh pada
penderita DM.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan health literacy dan self-efficacy terhadap
tingkat self-care management penderita DM tipe 2 di Puskesmas Kota Makassar.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif dengan
menggunakan instrumen HLS-Q16 untuk health literacy, Self-Efficacy for
Diabetes Scale untuk self-efficacy dan diabetes self-management questionnaire
(DSMQ) untuk mengukur manajemen perawatan diri. Jumlah sampel dalam
penelitian ini adalah 105 pasien DM tipe 2 yang datang berobat di Puskesmas kota
Makassar.
Hasil: Penelitian ini memperlihatkan bahwa health literacy memiliki hubungan
yang signifikan dengan self-care management DMT2 (p=0,000, r=0,498)
begitupun dengan self-efficacy memiliki hubungan yang signifikan dengan self-
care management DMT2 (p= 0,000, r=0,458) dan hubungan langsung yaitu
health literacy terhadap self-care management dengan nilai p=0,000, sedangkan
hubungan tidak langsung self-efficacy terhadap self-care management yaitu
p=0,009.
Kesimpulan: Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa health literacy
dan self-efficacy sama-sama dapat meningkatkan self-care management pasien
DM, akan tetapi hubungan langsung health literacy dengan self-care management
lebih memiliki hubungan yang kuat dibandingkan jika melalui self-efficacy. Hal
ini berarti bahwa dengan meningkatkan health literacy maka akan langsung dapat
meningkatkan self-care management pasien dengan DM.

Kata kunci: Health Literacy, Self-Efficacy, Self-Care Management, Diabetes


Mellitus Tipe 2.

vi
ABSTRACT

FITRI A. SABIL. Relationship between Health Literacy and Self-efficacy


towards Self-Care management of Type 2 Diabetes Mellitus Patients in Makassar
City Health Center (Batua, Antang and Bara-Barayya). (Supervised by Kusrini S.
Kadar and Elly L. Sjattar).

Background: Health literacy and self-efficacy are important factors in increasing


self-care management in patients with diabetes. Someone who has good health
literacy will have higher self-confidence to do things to achieve goals related to
their disease. Therefore, to be able to improve self-care management requires
good health literacy and self-efficacy in order to prevent further complications in
DM patients.
Objective: To determine the relationship of health literacy and self-efficacy
towards self-care management of type 2 DM patients in Makassar city.
Method: This study used a descriptive study design using the HLS-Q16
instrument for health literacy, the Self-Efficacy for Diabetes Scale and the
diabetes self-management questionnaire (DSMQ). The number of samples in this
study were 105 type 2 DM patients who came for treatment at the health center in
Makassar.
Results: This study found that health literacy had a significant relationship (p =
0,000, r = 0,498) with self-care management. Similar result found in self-efficacy
with self-care management patient with DMT2 (p= 0,000, r=0,458). The path
analysis showed direct relationships between health literacy and self-care
management showed higher correlation (p=0,000) compare to indirect relationship
through, self-efficacy to self-care management (p = 0,009).
Conclusion: From the results of this study, it can be concluded that patient with
good health literacy is more likely to have good self-care management for their
diabetes.

Keywords: Health Literacy, Self-Efficacy, Self-Care Management, Type 2


Diabetes Mellitus.

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i


HALAMAN PENGAJUAN JUDUL ............................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN TESIS ........................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ..................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
ABSTRAK INDONESIA ............................................................................... vi
ABSTRAK ENGLISH ................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
a. Latar Belakang ..................................................................................... 1
b. Rumusan Masalah ................................................................................ 4
c. Tujuan Penelitian ................................................................................. 5
d. Pertanyaan Original Penelitian............................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
a. Algoritma Pencarian............................................................................. 7
b. Tinjauan Teori Health Literacy............................................................ 8
c. Tinjauan Teori Self Efficacy ................................................................. 19
d. Konsep Self Care Management pada Pasien DM Tipe 2 ..................... 25
e. Konsep Teori Orem .............................................................................. 32
BAB III KERANGKA KONSEP & HIPOTESIS PENELITIAN
a. Kerangka Konsep Penelitian ................................................................ 33
b. Variabel Penelitian ............................................................................... 34
c. Definisi Operasional............................................................................. 34
d. Hipotesis............................................................................................... 35
BAB IV METODE PENELITIAN
a. Desain Penelitian .................................................................................. 36
b. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 36

viii
c. Populasi dan Sampel ............................................................................ 36
d. Teknik Sampling .................................................................................. 38
e. Instrumen Pengumpulan Data .............................................................. 38
f. Analisis Data ........................................................................................ 42
g. Pengolahan Data................................................................................... 43
h. Etik Penelitian ...................................................................................... 44
i. Alur Penelitian ..................................................................................... 46
BAB V HASIL
a. Hasil Analisis Univariat ....................................................................... 47
b. Hasil Analisis Bivariat ......................................................................... 49
c. Hasil Analisis Multivariat .................................................................... 51
BAB VI PEMBAHASAN
a. Diskusi Hasil ........................................................................................ 53
b. Implikasi Dalam Keperawatan ............................................................. 64
c. Keterbatasan Penelitian ........................................................................ 65
d. Rekomendasi ........................................................................................ 65
BAB VII KESIMPULAN .............................................................................. 66
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

ix
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 5.1 Distribusi karakteristik Responden di Puskesmas Kota Makassar 48


Tabel 5.2 Gambaran Tingkat Health Literacy, Self Efficacy, dan Self Care
Management Responden di Puskesmas Kota
Makassar…………………............................................................ 49
Tabel 5.3 Gambaran Sub Skala Pada Self Care Managemen Responden di
Puskesmas Kota Makassar……………………………………… 49
Tabel 5.4 Analisis Hubungan Health Literacy dan Self Efficacy terhadap
Self Care Managemen Responden di Puskesmas Kota
Makassar.……………….............................................................. 50
Tabel 5.5 Analisis Hubungan Health Literacy dan Self Efficacy
Responden di Puskesmas Kota
Makassar…………........................................................................ 51
Tabel 5.6 Coefficients Health Literacy dan Self Efficacy terhadap Self
Care Management Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di
Puskesmas Kota
Makassar……………................................................................ 51

x
DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Model of improving functional health literacy in clinical care


(Nutbeam, 2015) …………………………………………………… 10
2.2 Model of improving interactive dan critical health literacy oleh
Nutbeam (2015) ……………………………………………………. 11
2.3 Model Konseptual Health literacy (Sørensen, et al., 2012) ……….. 13
2.4 Konsep Teori Orem ………………………………………………... 32
3.5 Kerangka Konsep Penelitian ………………………………………. 33
4.6 Alur Penelitian ……………………………………………………... 46
5.7 Model Analisi Jalur ………………………………………………... 52

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Algoritma Studi Literatur

Lampiran 2. Lembar Persetujuan Menjadi Responden

Lampiran 3. Kuesioner Penelitian 1

Lampiran 4. Kuesioner Penelitian 2

Lampiran 5. Kuesioner Penelitian 3

Lampiran 6. Uji Statistik

Lampiran 7. Izin Etik

Lampiran 8. Surat Izin Pengambilan Data dari DINKES Kota Makassar

Lampiran 9. Surat Izin Selesai Penelitian dari Puskesmas

xii
BAB I
PENDAHULUAN

Bab ini terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan
pentingnya penelitian serta pertanyaan originalitas.
A. Latar Belakang
Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan
meningkatnya kadar glukosa dalam darah yang diakibatkan oleh kelainan
dalam sekresi insulin, aksi insulin atau keduanya. Diabetes melitus dibagi
dalam 2 kategori yaitu diabetes melitus tipe 1 dan diabetes melitus tipe 2
(DMT2), diabetes melitus tipe 1, disebabkan karena kekurangan absolut
sekresi insulin. Diabetes tipe 2, disebabkan karena resistensi insulin dengan
kelainan pada sekresi insulin (American Diabetes Association, 2018).
DMT2 merupakan diabetes melitus yang paling umum atau yang
paling sering dijumpai. Menurut International Diabetes Federation, (2009)
diabetes sebagai penyakit kronis yang mempengaruhi hampir 285 juta
individu diseluruh dunia dan prevalensi penyakit ini telah meningkat sebesar
50%. Didapatkan laporan dari 130 negara pada tahun 2013 bahwa 382 juta
orang menderita diabetes dan diperkirakan akan meningkat menjadi 592 juta
pada tahun 2035 (Guariguata et al., 2014).
Di Indonesia didapatkan data dari Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia bahwa pada tahun 2015, yang menderita diabetes melitus mencapai
9.1 juta orang, sehingga menempati urutan ke 5 terbanyak penderita diabetes
melitus setelah Negara Cina, India, USA dan Brazil, yang sebelumnya
menempati urutan ke 7 pada tahun 2013 (PERKENI, 2015). Demikian halnya
di Sulawesi Selatan, didapatkan bahwa ada 15 Provinsi yang angka kejadian
diabetes melitus melebihi angka kejadian secara nasional dan Sulawesi
Selatan menempati urutan ke 3 tertinggi setelah Sulawesi Utara
(RISKESDAS, 2013). Khusus di kota Makassar didapatkan jumlah penderita
baru diabetes melitus sebanyak 4406 orang dari 46 Puskesmas kota Makassar,
3 Puskesmas tertinggi angka kejadian diabetes melitus yaitu Puskesmas Batua
982 penderita, Antang 257 penderita dan Bara-Barayya didapatkan 206
penderita (Dinas kesehatan Kota Makassar, 2017).

1
DMT2 merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan tetapi
dapat dikendalikan dan dapat menimbulkan masalah serta komplikasi seperti
peningkatan indeks massa tubuh, kadar glikemik tidak terkontrol, komplikasi
kaki, ginjal, kardiovaskuler, retinopati (Webb, Rheeder, & Zyl, 2014).
Prevalensi komplikasi penderita diabetes melitus tipe 2 ini cenderung
meningkat dan semakin memburuk disebabkan karena ketidak mampuan
penderita dalam mengelola penyakitnya secara mandiri (American Diabetes
Association, 2018). Dalam hal ini manajemen diri menjadi sangat penting
dalam pengobatan diabetes mellitus. Perawatan diri adalah salah satu
manajemen diri diabetes mellitus dan perlu untuk mendapatkan kontrol
glikemik yang memadai (Safila, 2015). Pada dasarnya semua manusia
mempunyai kebutuhan untuk melakukan perawatan diri dan mempunyai hak
untuk melakukan perawatan diri secara mandiri. Menurut Dorothea E. Orem
(2001) Perawatan diri merupakan kebutuhan manusia dimana individu
berusaha menjaga, mempertahankan serta meningkatkan kualitas hidup
pasien untuk kehidupan, kesejahteraan serta penyembuhan dari penyakit dan
terhindar dari komplikasi (Alligood, 2014).
Keberhasilan dari program managemen penyakit kronis tidak lepas
dari, kemampuan individu dalam mengakses, memahami, dan menggunakan
informasi dan pelayanan kesehatan untuk membuat keputusan tentang
perawatan kesehatannya yang dikenal dengan Health Literacy (Berkman,
Davis, & McCormack, 2010).
Data tingkat health literacy di Indonesia saat ini masih terbatas, tetapi
beberapa penelitian telah dilakukan yang menggambarkan tingkat health
literacy pasien dengan penyakit kronik dan ibu hamil di Indonesia yang masih
rendah (Gani, Kadar & Kaelan, 2017; Santosa, 2012; Soemitro, 2014).
Rendahnya tingkat health literacy pasien akan berdampak pada buruknya
manajemen penyakit pasien tersebut misalnya pada pasien-pasien dengan
penyakit kronik seperti diabetes. Menurut Kanj & Mitic (2009) menemukan
bahwa dengan tingkat health literacy yang rendah terjadi peningkatan angka
penyakit kronis sebesar 47% dari total beban penyakit, dan health literacy
memerankan peran penting dalam manajemen penyakit kronis. Dampak lain

2
dari rendahnya health literacy adalah dapat menyebabkan diagnosis penyakit
yang tertunda, keterampilan perawatan diri yang rendah, peningkatan
penggunaan layanan darurat, tingkat rawat inap yang tinggi, peningkatan
kejadian berbagai penyakit, dan pada akhirnya melipat gandakan tingkat
kematian (Sayah, Majumdar, Williams, Robertson, 2012; Javadzade et al.,
2012).
Health literacy pada setiap individu penting untuk diketahui karena
berhubungan dengan kemampuan untuk memperoleh informasi kesehatan
dalam upaya meningkatkan dan mempertahankan kesehatannya. Secara
general health literacy dikatakan dapat meningkatkan pengetahuan kesehatan
serta membantu individu/masyarakat dalam pengambilan keputusan yang
tepat tentang kesehatan mereka (Jones et al., 2011; Nutbeam, 2000).
Kemampuan pasien dalam mengambil keputusan yang tepat juga bisa
disebabkan karena pasien tersebut memiliki kepercayaan diri atau yang
dikenal dengan istilah self-efficacy dalam melakukan perawatan diri untuk
mengatasi masalah kesehatannya.
Health literacy dan self efficacy merupakan hal yang penting dalam
melakukan self care management pada pasien DM, Self-efficacy dikenal
sebagai salah satu sumber daya dalam memberdayakan individu untuk
melakukan tugas pribadi mereka. Konsep self-efficacy berawal dari Teori
Sosial-Kognitif Bandura (SCT). Menurut teori ini, ada hubungan erat antara
kinerja individu dan self-efficacy. Apalagi self-efficacy merupakan perantara
antara pengetahuan dan praktik. Dengan demikian, keterampilan orang dalam
memperoleh dan menerapkan pengetahuan terkait kesehatan dapat memberi
efek yang signifikan pada kesejahteraan individu (Soltani, 2015). Penelitian
yang dilakukan di Turki menyatakan bahwa self efficacy memiliki hubungan
yang positif dalam perawatan diri pasien DM dan perawatan diri dibutuhkan
dalam memaksimalkan manajemen diri diabetes (Kav, Yilmaz, Bulut, 2015)
Fasilitas kesehatan tingkat I merupakan tempat pelayanan pertama
yang menjadi pilihan masyarakat dalam memeriksakan kesehatannya, untuk
itu, perlu dilakukan upaya yang tepat dalam pemberian pelayanan kesehatan
pada pasien diabetes mellitus di pelayanan kesehatan pertama, khususnya

3
dalam hal promotif dan preventif seperti yang menjadi program pemerintah
(Kementerian kesehatan RI, 2015). Beberapa penelitian sudah banyak
dilakukan penelitian mengenai health literacy dan self efficacy (Bohanny et
al.,2013; Heijmans, Waverijn, Rademakers, Vaart, & Rijken, 2015;Javadzade
et al.,2012;Masoompour, Tirgari, & Ghazanfari, 2017), namun yang melihat
hubungan keduanya dengan self care management khususnya di Indonesia
masih sangat kurang. Oleh karena itu peneliti tertarik melihat hubungan
langsung yaitu health literacy terhadap self care management diabetes
mellitus dan hubungan tidak langsung yaitu health literacy melalui self
efficacy terhadap self care management diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas
Kota Makassar.
B. Rumusan Masalah
DMT2 merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan tetapi
dapat dikendalikan dan tanpa manajemen diri yang tepat dapat menimbulkan
masalah serta komplikasi yang serius, seperti penyakit kardiovaskular,
neuropati dan retinopati (American Diabetes Association, 2010). Oleh karena
itu dibutuhkan tingkat health literacy yang baik untuk bisa meningkatkan
self-efficacy dan dapat membantu pasien untuk dapat melaksanakan kontrol
gula darah. Health literacy yang rendah merupakan penghalang dalam
meningkatkan hasil kesehatan pada pasien diabetes dan pasien dengan kondisi
kronis lainnya, serta dapat menyebabkan diagnosis penyakit yang tertunda,
keterampilan perawatan diri yang rendah, peningkatan penggunaan layanan
darurat, tingkat rawat inap yang tinggi, peningkatan kejadian berbagai
penyakit, dan pada akhirnya melipat gandakan tingkat kematian (Sayah,
Majumdar, Williams, Robertson, 2012; Javadzade et al., 2012). Begitupun
penelitian yang dilakukan Bohanny et al., (2013) menyatakan bahwa pasien
yang memiliki self-efficacy lebih tinggi akan memiliki perilaku perawatan diri
yang lebih baik. Akan tetapi masih sedikit study khususnya di Indonesia yang
melihat hubungan antara health literacy dan self-efficacy terhadap self care
management pasien. Berdasarkan rumusan diatas peneliti tertarik mengkaji
lebih jauh mengenai hubungan health literacy dan self efficacy terhadap self
care management pada penderita DMT2 di Puskesmas Kota Makassar dan

4
hubungan health literacy terhadap diabetes self care management yang baik
jika tidak memiliki self efficacy. Berdasarkan hal tersebut maka pertanyaan
penelitian adalah apakah ada hubungan antara health literacy dan self efficacy
terhadap tingkat self care management penderita DMT2 di Puskesmas Kota
Makassar dan apakah health literacy dapat langsung berhubungan dengan
diabetes self care management yang baik walaupun tidak memiliki self
efficacy yang baik?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan health literacy dan self efficacy terhadap
tingkat self care management penderita DMT2 di Puskesmas Kota
Makassar .
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui tingkat health literacy penderita DMT2 di Puskesmas
Kota Makassar.
b. Mengetahui tingkat self efficacy penderita DMT2 di Puskesmas Kota
Makassar.
c. Mengetahui tingkat self care managemen penderita DMT2 di
Puskesmas Kota Makassar.
d. Menganalisis hubungan health literacy dan self efficacy terhadap self
care management penderita DMT2 di Puskesmas Kota Makassar.
e. Menganalisis hubungan health literacy terhadap self care
management penderita DMT2 tanpa melihat self efficacy pasien di
Puskesmas Kota Makassar.
D. Pertanyaan Original Penelitian
Penelitian tentang health literacy dan self efficacy pada pasien DMT2
sudah diketahui hubungannya, begitupun dengan self care behavior, dari
beberapa penelitian tersebut telah diteliti terkait hubungan health literacy dan
self efficacy terhadap self c are behaviors pada pasien DMT2, namun belum
ada yang meneliti terkait hubungan health literacy dan self efficacy terhadap
self care management pada pasien DMT2 sementara menurut American
Diabetes Association, (2018) bahwa tanpa manajemen diri yang tepat dapat

5
menimbulkan masalah serta komplikasi yang serius, seperti penyakit
kardiovaskular, neuropati dan retinopati. Oleh karena itu originalitas dari
penelitian ini adalah ingin mengetahui hubungan health literacy dan self
efficacy terhadap self care manajemen pada pasien DMT2 di Puskesmas Kota
Makassar dan mengetahui apakah health literacy dapat meningkatkan self
care management jika tidak memiliki self efficacy.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini, diuraikan tinjauan tentang konsep health literacy, faktor-
faktor yang mempengaruhi, dampak health literacy bagi kesehatan, serta
penelitian-penelitian terkait health literacy. Konsep mengenai self efficacy,
dimensi self efficacy, sumber-sumber self efficacy, proses self efficacy, faktor-
faktor yang mempengaruhi self efficacy, pengukuran self efficacy. Konsep
mengenai self care management pada pasien DMT2 juga dijelaskan.
A. ALGORITMA PENCARIAN
Beberapa artikel ilmiah digunakan pada tinjauan pustaka ini. Adapun
artikel ilmiah yang digunakan adalah artikel yang didapatkan dengan
menggunakan 3 database Google Scholar, Science Direct, dan Pubmed.
Google Scholar dengan keyword ("Health literacy") AND ("self care
management") didapatkan 1.540 artikel, setelah dilakukan filter 5 tahun
terakhir didapatkan 1.030 artikel. Pada tehnik pencarian dengan Science
direct dengan kata kunci (“health literacy”) AND (“self efficacy”) AND
(“self care management”) OR (“self care management diabetes mellitus type
2”) dengan hasil pencarian didapatkan 57 artikel setelah dilakukan filter 5
tahun terakhir didapatkan 32 artikel. Pada teknik pencarian melalui Pubmed
dengan keyword 1 “health literacy” didapatkan 13209 artikel, keyword 2
“self efficacy” didapatkan 51254 artikel dan keyword 3 “self care
management” OR “self care management diabetes mellitus” OR “self care
management diabetes mellitus type 2” . Selanjutnya keyword 1,2 dan 3
digabungkan dan didapatkan 173 artikel, setelah dilakukan filter 5 tahun
terakhir didapatkan 93 artikel.

7
B. TINJAUAN TEORI
1. Tinjauan teori Health literacy
a. Konsep health literacy
Health literacy diperkenalkan sejak tahun 1974 dalam publikasi
pendidikan kesehatan (Nutbeam, 2008) dan telah berkembang di negara-
negara maju seperti Amerika, Eropa, Australia, dan sebagian wilayah
Asia (Sorensen et al., 2012). Dari segi bahasa, literacy diartikan sebagai
kemampuan baca dan tulis berbahasa Inggris (Chang & Kelly, 2007).
Berbagai definisi tentang health literacy menurut para ahli mulai dari
sebatas kemampuan membaca dan menulis sampai pada definisi yang
sangat luas dan spesifik.
Menurut National Library of Medicine, health literacy sebagai
kemampuan seseorang untuk mendapatkan, mengolah dan memahami
informasi dan pelayanan kesehatan dasar sehingga mampu membuat
keputusan terkait kesehatannya dengan tepat (Hernandez & Landi, 2011).
Institute of Medicine (IOM) menyatakan bahwa keterampilan baca dan
tulis seseorang berpengaruh terhadap kemampuan health literacy-nya.
Menurut IOM, health literacy didasarkan pada kemampuan dan
pemahaman masyarakat untuk membaca, menulis dan menggabungkan
materi yang berhubungan dengan health literacy (Cutilli & Bennett,
2009). Demikian halnya oleh National Assessment of Adult Literacy
(NAAL) yang mendefinisikan health literacy sebatas pada kemampuan
membaca dan menulis informasi. Kemampuan yang dimaksud adalah
kemampuan partisipan untuk membaca paragraf yang bertujuan mencari,
memahami dan menggunakan informasi, melihat dan memanfaatkan
informasi yang bukan hanya berupa teks tetapi juga gambar, aplikasi
pelayanan, peta dan label nutrisi. Literasi kuantitatif berhubungan dengan
angka-angka dalam kehidupan sehari-hari, seperti menghitung dosis obat
berdasarkan instruksi resep (Cutilli & Bennett, 2009).
Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa health
literacy merupakan kemampuan individu secara kognitif dan sosial
dalam mendapatkan, memproses dan menggunakan informasi kesehatan

8
dalam pengambilan keputusan kesehatan yang akan mempengaruhi status
kesehatannya di berbagai bidang kehidupan di sepanjang hidup.
b. Dimensi Health literacy
Dimensi health literacy telah dikategorikan oleh beberapa ahli
diantaranya Nutbeam, 2015 mengklasifikasikan health literacy menjadi
tiga kategori yaitu: Functional health literacy, Communicative health
literacy dan Critical health literacy. Functional health literacy adalah
istilah yang digunakan untuk menggambarkan keterampilan dasar health
literacy yang dimiliki individu untuk mendapatkan informasi kesehatan
yang relevan, misalnya mengenai risiko kesehatan, dan bagaimana
menggunakan sistem kesehatan. Communicative health literacy
menggambarkan kemampuan literacy yang lebih maju yang
memungkinkan individu untuk mengakses informasi dan memperoleh
makna dari berbagai bentuk komunikasi (interpersonal, media massa, dan
untuk menerapkan informasi tersebut). Sedangkan Critical health
literacy menggambarkan keterampilan kognitif yang lebih maju bersama
dengan keterampilan sosial, dapat diterapkan untuk menganalisis
informasi secara kritis, dan menggunakan informasi ini untuk
memberikan kontrol lebih besar atas kejadian dan situasi (Nutbeam,
2015; Sorensen et al., 2012).
c. Model konsep Health literacy
Terdapat beberapa model konsep health literacy menurut para ahli
tetapi, pada penelitian ini akan dilihat hanya beberapa dari model tersebut
yang berhubungan dengan topik penelitian diantaranya yaitu:

9
1. model improving functional health literacy dalam konteks klinis.

Gambar 1. Model of improving functional health literacy in clinical


care (Nutbeam, 2015)

Model tersebut menjelaskan bagaimana meningkatkan functional


health literacy, terutama dalam area klinis. Ini berfokus pada
pengembangan keterampilan membaca dan kemampuan untuk
menerapkan keterampilan dalam pengambilan keputusan kesehatan
sehari-hari. Hal ini juga menyoroti pentingnya menemukan cara untuk
meningkatkan kualitas organisasi jasa pelayanan kesehatan melalui
komunikasi antara pasien dan penyedia layanan kesehatan. Waktu yang
terbatas di klinik sering membatasi komunikasi petugas kesehatan-pasien
untuk informasi faktual tentang risiko kesehatan, dan tentang cara
menggunakan obat-obatan serta layanan perawatan. Untuk itu perlu
diefektifkan waktu yang ada untuk tetap memberikan informasi kepada
pasien terkait prosedur pengobatan maupun perawatan kesehatannya.
Pendidikan pasien di klinik juga berkontribusi dalam pengembangan
pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk manajemen diri
pada penyakit kronis (Nutbeam, 2015).
Meningkatkan interactive health literacy membutuhkan
pendekatan metode pendidikan yang berbeda. Ini dimaksudkan agar

10
memungkinkan seseorang untuk mandiri dalam memperoleh informasi
kesehatan yang relevan, memaknai informasi itu, dan menerapkan
informasi tersebut untuk kesehatan diri dan keluarga. Bentuk pendidikan
kesehatan disini lebih interaktif, terprogram dan terstruktur, seperti yang
dimulai pada bangku sekolah, program pendidikan kesehatan sekolah
kontemporer, program pendidikan orang dewasa berdedikasi, maupun
program khusus untuk pendidikan pasien (Nutbeam, 2015).
2. Model of improving interactive dan critical health literacy
Meningkatkan critical health literacy membutuhkan metode yang
lebih kritis dan kompleks. Bukan hanya berbagai kemampuan untuk
meningkatkan kapasitas individu tetapi juga masyarakat dengan berbagai
determinan kesehatan, baik itu politik, ekonomi, sosial, dan lingkungan
(Nutbeam, 2000; Nutbeam, 2015). Model yang digunakan dalam
meningkatkan interactive/comunicative dan critical health literacy
digambarkan pada bagan 3 sebagai berikut:

Gambar 2. Model of improving interactive dan critical health literacy oleh


Nutbeam (2015)

11
Model tersebut dijelaskan bahwa untuk meningkatkan interactive
dan critical health literacy, dimulai dengan mendapatkan informasi
mengenai pengetahuan dan kemampuan individu dalam membaca,
numeracy, dan pengetahuan dasar tentang kesehatan (1), yang mengarah
pada kesehatan yang disesuaikan dengan pendidikan dan komunikasi (2).
Pada titik ini model bervariasi secara signifikan menunjukkan tujuan dari
pendidikan kesehatan diarahkan terhadap pengembangan pribadi yang
relevan dengan pengetahuan dan kemampuan (3), dan keterampilan
interpersonal serta sosial (4,5). Pada model ini, outcome pendidikan dan
komunikasi dapat mempengaruhi hasil health literacy (6). Orang-orang
dengan health literacy yang baik memiliki keterampilan dan kemampuan
yang memungkinkan mereka untuk terlibat dalam meningkatkan tindakan
kesehatan termasuk perilaku pribadi (7), serta tindakan sosial kesehatan
untuk dan kemampuan mempengaruhi orang lain terhadap keputusan
yang kesehatan seperti berhenti merokok, atau berpartisipasi dalam
program skrining pencegahan (8,9). Hasilnya tidak hanya meningkatkan
kesehatan tetapi juga memungkinkan lebih banyak pilihan dalam hal
kesehatan (10). Masing-masing dari pendekatan di atas akan bergantung
pada keaksaraan dasar dan berhitung dalam populasi tertentu. Individu
dengan keterampilan yang kurang dalam membaca, komunikasi lisan dan
berhitung tidak hanya akan memiliki eksposure lebih sedikit untuk
pendidikan kesehatan, tetapi juga kurang mengembangkan keterampilan
untuk bertindak atas informasi yang diterima. Untuk itu, strategi yang
dibangun tetap berkaitan dengan mempromosikan keaksaraan, berhitung
dan keterampilan bahasa dalam populasi.

12
3. Model Konseptual Health literacy

Gambar 3. Model Konseptual Health literacy (Sørensen, et al., 2012)


Model tersebut menjelaskan suatu proses yang menghasilkan
pengetahuan dan keterampilan seseorang dalam 3 kontinum kesehatan,
yaitu sedang sakit, seseorang yang berisiko terhadap penyakit atau
dalam sistem pencegahan, atau sebagai masyarakat dalam kaitannya
dengan upaya promosi kesehatan di masyarakat, tempat kerja, sistem
pendidikan, dan arena politik. Kemampuan health literacy akan
memungkinkan seseorang untuk bertindak secara independen dalam
mengatasi hambatan pribadi, struktural, sosial, dan ekonomi (Sørensen
et al, 2012).
Dalam model yang digambarkan pada gambar 5, terdapat 4
determinan faktor yang memberikan pengaruh terhadap health literacy,
yaitu faktor individu, situasional, sosial, dan lingkungan. Yang
termasuk determinan individu adalah usia, jenis kelamin, ras, status
sosial ekonomi, pendidikan, dan pendapatan. Dan yang termasuk
determinan situasional adalah dukungan sosial, keluarga dan rekan,
penggunaan media serta lingkungan fisik. Faktor sosial dan lingkungan
meliputi situasi demografi, budaya, bahasa, politik dan sistem sosial.
d. Faktor- faktor yang mempengaruhi health literacy
Banyak faktor yang mempengaruhi health literacy individu,
diantaranya usia, jenis kelamin, pendidikan, budaya, bahasa, akses

13
pelayanan, dan akses informasi kesehatan. Tetapi, pada penelitian ini,
akan dilihat hanya beberapa dari faktor tersebut.
1. Pendidikan
Menjadi individu yang sehat merupakan pilihan dalam memilih gaya
hidup sehat, hal ini selalu dikaitkan dengan tahu bagaimana untuk
mencari perawatan medis, mengetahui langkah-langkah pencegahan serta
memahami dan menggunakan informasi kesehatan hal tersebut
dipengaruhi oleh pendidikan yang dimiliki individu. Pendidikan
berhubungan dengan berbagai perilaku yang berkaitan dengan
kesehatan. Individu dengan pendidikan rendah, cenderung berperilaku
yang dapat beresiko terhadap kesehatannya (Ownby, 2012). Meskipun
secara umum pendidikan memperlihatkan hubungan yang linier dengan
health literacy. Namun, ini bukan menjadi satu-satunya faktor. Seperti
hasil dari NAAL menunjukkan bahwa lebih dari 52% responden yang
menyelesaikan pendidikan SMA memiliki health literacy yang rendah
(Santoso, 2012). Ini berarti kemampuan kebiasaan dalam membaca,
mengakses, menganalisis, dan menggunakan informasi kesehatan-lah
yang akan berpengaruh terhadap tingkat health literacy seseorang. Dan
meningkatkan pendidikan, merupakan salah satu cara yang tepat
(Nutbeam, 2015).
2. Budaya
Beberapa penelitian menunjukkan budaya mempengaruhi health
literacy individu. Budaya minoritas cenderung memiliki health literacy
yang lebih rendah dibandingkan budaya mayoritas. Hal ini mungkin
disebabkan ketidakseimbangan sosial ekonomi dan berbagai diskriminasi
yang masih terjadi. Pemukiman yang terpisah, kurangnya akses
pendidikan, teknologi dan informasi menjadi penghambat dalam
mengakses dan menggunakan informasi serta pelayanan kesehatan
(Santoso, 2012). Hasil penelitian yang dilakukan Indiana Minority Health
Coalition, (2010) menunjukkan bahwa kaum Hispanic yang merupakan
minoritas memiliki 3,5 kali lnadequat/marginal health literacy dari pada
American dan African‟s/kaum hitam.

14
3. Bahasa
Bahasa dapat mempengaruhi health literacy karena perbedaan
bahasa dapat menghalangi seseorang dalam memahami informasi yang di
berikan. Dalam health literacy dibutuhkan kemampuan memahami bahasa
nasional dan internasional, karena setiap orang akan dihadapkan pada
berbagai sumber bacaan seperti brosur pendidikan kesehatan, label obat,
informasi gizi nutrisi, berbagai prosedur, informed consent, sampai form
asuransi kesehatan. Hal tersebut membutuhkan kemampuan pemahaman
dan bahasa yang memadai dalam memahami informasi yang didapatkan
(Singleton & Krause, 2009).
4. Akses pelayanan kesehatan
Dari penelitian Pawlak, 2005 menyatakan bahwa akses pelayanan
kesehatan dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
mendapatkan, memproses dan memahami informasi kesehatan dari
petugas kesehatan yang akan berdampak pada seseorang.
5. Akses informasi kesehatan health literacy
Hasil penelitian dari Ownby, Waldrop-Valverde & Taha, (2012);
Santosa, (2012) menyatakan bahwa faktor yang paling berhubungan
dengan tingkat health literacy adalah akses informasi kesehatan. Dimana
Seseorang yang sering mengakses informasi kesehatan akan memiliki
health literacy yang lebih baik daripada yang jarang mengakses informasi
kesehatan.
e. Pengukuran Health literacy
1) The European Health Literacy Survey Questionnaire (HLS-EU-Q)
HLS-EU-Q merupakan instrumen yang di kembangkan oleh
Konsorsium HSL-EU digunakan dalam mengukur literasi kesehatan
dan kuesioner ini tidak hanya digunakan dalam pengaturan klinis,
tetapi juga dalam populasi dan komunitas (Sørensen, 2013). Instrumen
ini terdiri dari 3 versi yaitu HLS-EU-Q47 merupakan versi terkait
matriks asli yang terdiri dari 47 item pertanyaan, HLS-EU-Q16
merupakan versi singkat terdiri dari 16 item pertanyaan dan HLS-EU-
Q86 merupakan versi terkait matriks dan konsep pengembangan.

15
Setiap pertanyaan menggunakan skala Likert 1-5, dimana 1= sangat
sulit, 2= cukup sulit, 3= cukup mudah, 4= sangat mudah dan 5= tidak
tahu.
2) Rapid Estimate of Adult literacy in Medicine (REALM)
REALM merupakan instrumen paling umum dan reliable
digunakan untuk mengukur health literacy. REALM pertama kali
diperkenalkan oleh Davis (1991) yang menganalisis tingkat
kemampuan membaca pasien di pelayanan kesehatan tingkat pertama
di Amerika Serikat (Chan, 2011). Instrumen ini terdiri atas 66 item
istilah kesehatan dengan urutan tingkat kesulitan yang semakin
meningkat. Cara menggunakan instrumen ini adalah pasien akan
diberikan daftar istilah kesehatan yang diurutkan berdasarkan tingkat
kesulitannya, kemudian meminta pasien untuk membaca istilah
tersebut dan memberikan skoring berdasarkan mampu atau tidaknya
pasien membaca istilah yang ada. Waktu yang disediakan untuk
menyelesaikan kuesioner ini adalah 3-5 menit. Jumlah kata yang
berhasil dibaca akan menentukan tingkat health literacy pasien. Skor
0-18 menunjukkan low health literacy dengan reading grade level 3.
Skor 19-44 juga menunjukkan low health literacy tetapi dengan
reading grade level 4-6. Kategori marginal health literacy akan
diperoleh oleh pasien yang mendapatkan rentang skor 45-60 dengan
reading grade level 7-8. Dan skor 61-66 termasuk dalam Adequate
literacy dengan reading grade level 9 (Bass, Wilson & Griffith, 2003).
Kuesioner ini kemudian direvisi dan dikembangkan dengan
jumlah kata yang lebih sedikit dan waktu yang lebih singkat untuk
menyelesaikan kuesioner ini. Instrumen tersebut diantaranya,
REALM-R dengan jumlah kata 8 dan waktu membaca 2 menit, skor 6
ke bawah menunjukkan health literacy yang rendah. Sedangkan
REALM-short form hanya terdiri dari 7 kata. Skor 0 menunjukkan
dapat membaca informasi dengan sangat lambat dengan reading grade
level 3; skor 1-3 menunjukkan mampu membaca sumber informasi
namun tidak dengan resep; skor 4-6 dapat membaca hampir semua

16
materi edukasi kesehatan dengan reading grade level 7-8; skor 7
menunjukkan mampu membaca semua materi edukasi kesehatan dan
reading grade level 9 . Jumlah kata yang lebih sedikit dari kedua
instrumen ini tidak mengurangi keakuratan-nya, terbukti dengan nilai
cronbach alfa antara 0,98 dan 0,99 (Jordan, Osborne & Buchbinder,
2011). Meskipun dapat digunakan di berbagai penelitian di berbagai
negara, kuesioner ini juga memiliki kekurangan, diantaranya, tidak
bisa menilai kemampuan numeracy pasien. Selain itu, tidak bisa
menghindari bias jika terjadi kesalahan dalam penyebutan kata
(Pronounciation) akibat sinusitis atau gangguan tenggorokan lainnya,
dan dengan kuesioner ini tidak bisa diketahui apakah pasien yang bisa
membaca istilah kesehatan yang tersedia benar-benar memahami arti
dari kata tersebut atau tidak (Bass et al, 2003).
3) Medical Term Recognition Test (METER)
METER juga digunakan untuk mengetahui kemampuan
membaca pasien sekaligus memberikan informasi bagi pemeriksa atau
peneliti tentang pengetahuan pasien terhadap istilah-istilah kesehatan.
Dalam METER, akan disediakan 40 kata yang benar dan 40 kata yang
salah, dan pasien akan diminta untuk memberikan tanda checklist pada
kata yang dianggap benar dan tanda silang pada kata yang dianggap
salah. Tidak berbeda dengan REALM-R, waktu yang disediakan
untuk menyelesaikan ini adalah 2 menit. Skor 0-20 dikategorikan
dalam low health literacy, 21-34 menunjukkan marginal health
literacy, dan 35-40 dikategorikan adequate health literacy (Rawson,
Gunstad, Hughes, Spitznagel, Potter, BS, Waechter & Rosneck,
2009).
4) Test of Functional Health Literacy in Adults (TOFHLA)
TOFHLA digunakan untuk mengukur kemampuan membaca
pasien dan pemahaman pasien terhadap informasi kesehatan.
Kuesioner ini mulai dikembangkan pada tahun 1995 yang berfokus
pada kemampuan functional health literacy pasien Parker et al, 1995
dalam Chan, 2011). Terdapat 50 pertanyaan untuk mengukur

17
kemampuan membaca dan 17 pertanyaan untuk mengukur
kemampuan numeracy. Pasien diberikan bahan bacaan terkait dengan
informasi medis, misalnya informed consent, instruksi tes diagnostik,
formulir pendaftaran ataupun instruksi minum obat, kemudian
menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait dengan pemahaman mereka
terhadap informasi yang dibaca. Skor 0-59 menunjukkan inadequate
health literacy, 60-74 marginal health literacy, dan skor 75-100
termasuk adequate health literacy (Parker et al, 1995 dalam Chan,
2011).
Waktu yang lama untuk menyelesaikan kuesioner ini, yaitu 20-
25 menit mengakibatkan tidak efektifnya penggunaan TOFHLA.
Untuk itu, dikembangkan versi pendek dari instrumen ini, yaitu short
form (S-TOFHLA). Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan
kuesioner adalah 12 menit. Dalam kuesioner ini, terdapat 36 item
pertanyaan dan tidak ada pertanyaan untuk mengukur numeracy
pasien. Skor 0-16 termasuk inadequate health literacy, 17-22
termasuk marginal health literacy dan 23-36 termasuk adequate
health literacy (Parker 1995 dalam Jordan et al, 2011).
5) Newest Vital Sign (NVS)
NVS merupakan instrumen yang digunakan untuk mengukur 3
dimensi health literacy berdasarkan NAAL, yaitu pemakaian kata
(prose literacy), angka (numeracy), dan teks (document literacy). Pada
kuesioner ini, pasien diberikan label nutrisi es krim, kemudian diminta
untuk menjawab 6 pertanyaan terkait informasi yang ada pada label
nutrisi tersebut. Setiap jawaban bernilai 1 poin. Skor kurang dari 4
dikategorikan ke dalam low literacy. Nilai cronbach alfa NVS adalah
0,86, berarti cukup reliable untuk digunakan (Jordan et al, 2011).
Kelebihan dari instrumen ini adalah waktu yang digunakan sangat
singkat yaitu 3-6 menit dan sudah menilai 3 dimensi literacy.
Meskipun demikian, klasifikasi dalam penilaiannya tidak spesifik,
tidak ada penjelasan untuk kategori marginal dan adequate literacy

18
dalam instrumen ini (Weiss, Mays, Martz, Castro, DeWalt, Pignone,
Mockbee, & Hale, 2005).
6) Functional Critical and Comunicative Health Literacy (FCCHL)
Jika sebagian besar instrumen pengukuran health literacy hanya
dapat menilai functional health literacy pasien, FCCHL kemudian
muncul dengan pengembangan yang lebih kompleks dengan menilai 3
dimensi dari health literacy, yaitu functional, critical, dan
communicative. Kuesioner ini dikembangkan pertama kali oleh
Ishikawa pada tahun 2008 yang melihat ketiga dimensi health literacy
pada pasien Diabetes mellitus tipe 2 (Ishikawa, Takeuchi, & Yano,
2008).
Saat ini, FCCHL tidak hanya digunakan di Jepang, tetapi juga
telah digunakan di negara eropa, yaitu Jerman dan Belanda (Heijmans,
Waverijn, Rademakers, Van der Vaart, & Rijken, 2015). FCCHL
Terdiri dari 14 item pertanyaan, 5 pertanyaan untuk functional health
literacy, 5 pertanyaan untuk communicative health literacy, dan 4
pertanyaan untuk critical health literacy. Setiap pertanyaan dinilai
dengan skala Likert 1-4. Penilaian dilakukan berdasarkan nilai mean.
Semakin tinggi nilai mean, semakin tinggi pula tingkat health literacy
pasien (Ishikawa et al, 2008; Heijmans et al, 2015)
Melihat dari spesifikasi instrumen, maka pada penelitian ini
akan digunakan instrumen yang dikembangkan oleh Konsorsium
HSL-EU digunakan dalam mengukur literasi kesehatan dan kuesioner
ini tidak hanya digunakan dalam pengaturan klinis, tetapi juga dalam
populasi dan komunitas (Sørensen, 2013), yaitu The European Health
Literacy Survey Questionnaire (HLS-EU-Q16).
2. Tinjauan teori self efficacy
a. Konsep self efficacy
Self-efficacy adalah persepsi subjektif individu terhadap kemampuan
seseorang dalam mengorganisir secara efektif dan menyelaraskan
ketrampilan kognitif, social, emosional, dan prilaku yang dimiliki untuk
mencapai berbagai maksud tujuan (Bandura, 1986). Self-efficacy

19
didefinisikan sebagai kepercayaan pada kemampuan seseorang dalam
mengatur dan memutuskan suatu tindakan yang dibutuhkan untuk
mencapai hasil tertentu (Tucker, Olson, & Frusti, 2009). Secara umum,
self-efficacy merupakan penilaian diri seseorang terhadap
kemampuannya dalam mengerjakan suatu pekerjaan tertentu untuk
mencapai tujuan tertentu (Oh, Yang, Kim, Yoo, & Lee, 2014).
Self-efficacy bersifat subjektif karena menekankan pada keyakinan
seseorang sebagai hasil persepsi terhadap kemampuan yang dimilikinya
(Abrahamson, Arling, & Gillette, 2013). Self-efficacy mempengaruhi
mekanisme atau arah prilaku individu, yaitu menghadapi atau
menghindari suatu tugas atau situasi (Bandura, 1986). Menurut (Bandura,
1977) self- efficacy menentukan apakah seseorang akan menunjukkan
perilaku seseorang dapat tertentu, sekuat apa seseorang dapat bertahan
saat menghadapi kesulitan atau kegagalan dan bagaimana kesuksesan dan
kegagalan dalam satu tugas tertentu.
Self-efficacy membuat perbedaan dalam pikiran, perasaan, dan
tindakan orang. Individu dengan tingkat self-efficacy yang tinggi memilih
untuk melakukan tugas yang lebih menantang, memulai dan melanjutkan
kegiatan, mencapai hasil yang positif, dan menetapkan tujuan yang lebih
tinggi untuk diri mereka sendiri, yang akhirnya meningkatkan komitmen
mereka terhadap tujuan (Bandura & Locke, 2003). Self-efficacy
menciptakan motivasi dan meningkatkan kinerja. Selain itu, tingkat self-
efficacy yang tinggi meningkatkan rasa kontrol diri dan penampilan dan
membantu seseorang untuk melakukan tugas pada tingkat yang lebih
tinggi (DeVellis, 2013).
Self-efficacy memiliki dampak pada kinerja melalui mediasi
hubungan antara eksposur dan tindakan sebelumnya (Lauder et al., 2008).
Di sisi lain, orang yang kurang memiliki self-efficacy lebih cenderung
menghadapi masalah dalam melakukan aktivitas tertentu (Bandura, 1994).
Self-efficacy dalam keperawatan berpengaruh terhadap ketrampilan
kinerja. Keyakinan self-efficacy telah ditunjukkan dapat membantu
pemikiran analitik yang efisien dalam situasi pengambilan keputusan yang

20
kompleks (Tucker et al., 2009). Secara umum, self-efficacy seorang
perawat berkorelasi dengan otonomi dan pemberdayaan profesional.
Perawat dengan tingkat self-efficacy tinggi menganggap hambatan sebagai
peluang bukan ancaman (Soudagar, Rambod, & Behesh, 2015). Selain itu,
individu dengan keyakinan memadai akan self-efficacy mereka bertujuan
mengatasi situasi sulit dari pada menghindarinya. Mereka lebih mampu
mengatasi situasi tertentu dan lebih cenderung melakukan tugas sampai
mereka unggul dalam hal itu (Bandura, 1997).
b. Dimensi Self-Efficacy
Menurut (Bandura, 1986), self-efficacy pada diri individu akan
berbeda antara satu individu dengan yang lainnya berdasarkan tiga
dimensi. Berikut ini adalah tiga dimensi tersebut:
a) Dimensi tingkat (magnitude)
Dimensi ini berkaitan dengan derajat kesulitan tugas ketika
individu merasa mampu untuk melakukannya. Apabila individu
dihadapkan pada tugas- tugas yang disusun menurut tingkat
kesulitannya, maka self-efficacy individu mungkin akan terbatas pada
tugas-tugas yang mudah, sedang atau bahkan meliputi tugas- tugas
yang paling sulit, sesuai dengan batas kemampuan yang dirasakan
untuk memenuhi tuntutan perilaku yang dibutuhkan masing- masing
tingkat. Dimensi ini memiliki implikasi terhadap pemilihan
tingkah laku yang berada di luar batas kemampuan yang
dirasakannya.
b) Dimensi kekuatan (strength)
Dimensi ini berkaitan dengan tingkat kekuatan dari keyakinan
atau pengharapan individu mengenai kemampuannya. Pengharapan
yang lemah mudah digoyahkan oleh pengalaman- pengalaman yang
tidak mendukung. Sebaliknya, pengharapan yang mantap mendorong
individu tetap bertahan dalam usahanya. Meskipun mungkin
ditemukan pengalaman yang kurang menunjang. Dimensi ini biasanya
berkaitan langsung dengan dimensi tingkat, yaitu makin tinggi taraf

21
kesulitan tugas, makin lemah keyakinan yang dirasakan untuk
menyelesaikannya.
c) Dimensi generalisasi (generality)
Dimensi ini berkaitan dengan luas bidang tingkah laku yang mana
individu dapat merasa yakin terhadap kemampuan dirinya. Apakah
terbatas pada suatu aktivitas dan situasi tertentu atau pada serangkaian
aktivitas dan situasi yang bervariasi.
c. Fungsi Self-efficacy
Banyak penelitian telah dilakukan pada empat proses psikologis utama
dimana kepercayaan diri terhadap khasiat mempengaruhi fungsi manusia
(Bandura, 1994). Self-efficacy yang telah terbentuk akan mempengaruhi
dan memberi fungsi pada aktivitas individu. Bandura (1994)
menjelaskan tentang pengaruh dan fungsi tersebut, yaitu: a) Proses
afektif: Proses yang mengatur keadaan emosional dan elisitasi reaksi
emosional; b) Proses Kognitif: Proses berpikir terlibat dalam akuisis,
pengorganisasian dan penggunaan informasi; c) Motivasi: Aktivasi untuk
bertindak. Tingkat motivasi tercermin dalam pilihan tindakan, dan
intensitas dan ketekunan usaha; d) Perwujudan Self-Efficacy: Keyakinan
orang tentang kemampuan mereka untuk menghasilkan efek; e) Self-
Regulation: Latihan pengaruh atas motivasi diri sendiri, proses berpikir,
keadaan emosional dan pola perilaku.
d. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Self- efficacy
Secara umum, self-efficacy dipengaruhi oleh beberapa faktor. Self-
efficacy diyakini sebagai konstruksi dinamis yang berubah seiring
berjalannya waktu dalam menanggapi pengalaman baru, seperti
pengalaman pendidikan dan klinis. Pengalaman sosial mempengaruhi self-
efficacy dan menentukan apakah seseorang memiliki tingkat self-efficacy
tinggi atau rendah (Soudagar, Rambod, & Behe, 2015).
Bandura (1986) mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi tingkat self efficacy seseorang yaitu jenis kelamin, usia,
tingkat pendidikan, penghasilan, budaya, dukungan keluarga, stress,

22
motivasi, edukasi, sifat tugas yang dihadapi, reward, dan status atau peran
individu dalam lingkungannya.
e. Sumber-Sumber Self Efficacy
Bandura (1997), mengatakan SE dibentuk dari empat sumber
informasi, yaitu:
a) Mastery experience (Pengalaman keberhasilan)
Yaitu keberhasilan sebelumnya dalam mencapai sesuatu yang mirip
dengan perilaku baru. Keberhasilan yang sering didapatkan akan
meningkatkan self-efficacy yang dimiliki seseorang, sedangkan kegagalan
akan menurunkan self-efficacy nya. Apabila keberhasilan yang didapat
seseorang lebih banyak karena faktor-faktor di luar dirinya, biasanya tidak
akan membawa pengaruh terhadap peningkatan self-efficacy. Akan tetapi,
jika keberhasilan tersebut didapatkan dengan melalui hambatan yang besar
dan merupakan hasil perjuangannya sendiri, maka hal itu akan membawa
pengaruh pada peningkatan self-efficacy-nya.
b) Vicarious experience atau modeling (meniru).
Yaitu pengalaman keberhasilan orang lain yang memiliki kemiripan
dengan individu dalam mengerjakan suatu tugas biasanya akan
meningkatkan self-efficacy seseorang dalam mengerjakan tugas yang
sama. Self-efficacy tersebut didapatkan melalui social models yang
biasanya terjadi pada diri seseorang yang kurang pengetahuan tentang
kemampuan dirinya sehingga mendorong seseorang untuk melakukan
modeling. Namun, self-efficacy yang didapat tidak akan terlalu
berpengaruh bila model yang diamati tidak memiliki kemiripan atau
berbeda dengan model
c) Verbal persuasion (persuasi verbal)
Yaitu individu yang mendapat bujukan atau sugesti untuk percaya
bahwa ia dapat mengatasi masalah- masalah yang akan dihadapinya.
Persuasi verbal dapat mengarahkan individu untuk berusaha lebih giat
untuk mencapai tujuan dan kesuksesan. Akan tetapi self-efficacy yang
tumbuh dengan metode ini biasanya tidak bertahan lama, apalagi

23
kemudian individu mengalami peristiwa traumatis yang tidak
menyenangkan.
d) Physiological & emotional state
Yaitu kecemasan dan stres yang terjadi dalam diri seseorang ketika
melakukan tugas sering diartikan sebagai suatu kegagalan. Pada umumnya
seseorang cenderung akan mengharapkan keberhasilan dalam kondisi yang
tidak diwarnai oleh ketegangan atau tidak merasakan adanya keluhan atau
gangguan somatic lainnya. Self-efficacy biasanya ditandai oleh rendahnya
tingkat stres dan kecemasan sebaliknya self-efficacy yang rendah ditandai
oleh tingkat stres dan kecemasan yang tinggi pula.
f. Pengukuran Self Efficacy
Pengukuran self-efficacy dapat dilakukan dengan cara kuantitatif
maupun kualitatif. Untuk mempertimbangkan waktu dan efisiensi
pelaksanaan, pengukuran kuantitatif dapat dilakukan dengan menggunakan
kuesioner.
a) General self-efficacy scale
Kuesioner self-efficacy telah banyak digunakan dan dikembangkan
oleh peneliti seperti general self-efficacy scale yang dikembangkan oleh
Sherer, Hebrew, Schwarzer dan Jerusalem (1995). Dalam kuesioner
general self-efficacy scale mengukur tiga dimensi yaitu magnitude,
strength dan generality. Selain menggunakan kuesioner, self-efficacy juga
dapat diukur melalui in deep interview dan observasi.
b) Diabetes Management Self-Efficacy Scale (DMSES)
Self efficacy juga dapat di ukur dengan dengan kuesioner Diabetes
Management Self-Efficacy Scale (DMSES) digunakan untuk menyelidiki
kemampuan pasien untuk memantau glukosa darah, diet, dan latihan fisik.
Skala aslinya terdiri dari 20 item menggunakan skala jenis Likert dengan
pilihan jawaban mulai dari "0 = Saya tidak bisa melakukannya sama
sekali" hingga "10 = Saya sangat bisa melakukannya." Jawaban
dijumlahkan untuk mendapatkan skor efikasi diri secara keseluruhan,
mulai dari 0 hingga 200. Skor yang lebih tinggi mewakili self-efficacy
yang lebih besar dalam perawatan diri diabetes. DMSES sebelumnya

24
divalidasi untuk digunakan pada pasien Persia dengan T2DM. 31 Versi
Persia termasuk 19 item, yang mengukur tingkat kepercayaan seseorang
dengan DMT2 dalam melakukan aktivitas perawatan diri. Itu memiliki
skor konsistensi internal yang memadai (0,83). Keandalan tes-tes ulang
juga memadai, dengan kesepakatan moderat antara skor tes-tes ulang (r =
0,86, p <0,001). Beberapa penelitian telah menggunakan Scale ini untuk
mengukur self efficacy pasien DM tipe 2 seperti (Bohanny et al., 2013;
Javadzade et al., 2012; Masoompour et al., 2017; Sturt, Hearnshaw, &
Wakelin, 2010).
c) Self-Efficacy for Diabetes Scale
Self efficacy penderita diabetes dapat di ukur dengan kuesioner Self-
Efficacy for Diabetes Scale. Kuesioner ini digunakan untuk melihat
kemampuan pasien untuk memantau glukosa darah, diet, dan latihan fisik.
Kuesioner ini terdiri dari 8 item pertanyaan, setiap item dinilai dengan
skala Likert 1-10. 1= tidak sepenuhnya percaya diri” dan 10 = benar-benar
yakin (Beckerle & Lavin, 2013).
Melihat dari spesifikasi instrumen, jumlah item pertanyaan yang
relatif sedikit dibanding dengan instrumen-instrumen lainnya dan
instrumen ini masih kurang digunakan di Indonesia, maka pada penelitian
ini akan digunakan instrumen Self-Efficacy for Diabetes Scale untuk
menyelidiki kemampuan pasien untuk memantau glukosa darah, diet, dan
latihan fisik.
3. Konsep Self Care Management pada pasien DMT2
DMT2 merupakan penyakit yang dapat mempengaruhi seluruh aspek
kehidupan penderitanya, pasien DMT2 memiliki peningkatan risiko
terjadinya komplikasi dan dapat mengancam jiwa apabila tidak segera
ditangani serta dilakukan pengontrolan yang tepat. Untuk itu, diperlukan
self care management yang baik untuk melakukan pengelolaan terhadap
penyakitnya serta mencegah terjadinya komplikasi (American Diabetes
Association, 2018)
Perawatan pada DMT2 dilakukan oleh pasien itu sendiri dan tim
medis memiliki kontrol yang lebih sedikit pada pasien. Perawatan diri

25
adalah proses aktif dan praktis yang dipandu oleh pasien yang bertujuan
untuk memperbaiki kondisi fisik atau menjaga kesehatan melalui
tindakan seperti diet, latihan fisik, pemantauan gula darah, mencari
layanan kesehatan preventif atau terapi serta menerapkan terapi yang
ditentukan untuk penyakit dan gangguan seperti diabetes (American
Diabetes Association, 2018). Terdapat beberapa komponen perawatan
diri yang diakui dan spesifik untuk mencegah atau menunda komplikasi
dan kemungkinan kematian dini yang terkait dengan
diabetes. Komponennya adalah pemantauan kadar glukosa darah, kontrol
pola makan, latihan fisik yang optimal, kepatuhan terhadap obat-obatan
dan perawatan kaki yang tepat (American Diabetes Association, 2018;
Tewahido & Berhane, 2017).
Penelitian yang dilakukan Didarloo, Shojaeizadeh, Ardebili,
Niknami, Hajizadeh, Alizadeh, (2011) menunjukkan bahwa perawatan
diri diabetes membantu mengontrol gula darah pasien yang berpengaruh
pada hasil perawatan kesehatan yang lebih baik. Perawatan diri diabetes
telah secara signifikan mengurangi tingkat rawat inap, mencegah
komplikasi yang ditimbulkan oleh penyakit, membantu untuk
meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan biaya. Oleh karena itu
perawatan diri sangat penting dalam manajemen diabetes mellitus
(Javadzade et al., 2012; Koponen, Simonsen, & Suominen, 2017).
a. Konsep Self Care Orem
Konsep self care Orem merupakan konsep dasar tentang perawatan
diri bagi setiap individu, konsep ini diresmikan dan disahkan pada tahun
1967 oleh Nursing Development Group Conference. Konsep perawatan
diri sebagai fungsi regulasi manusia berbeda dengan fungsi pengaturan
lain seperti neuro- endokrin. Ini merupakan tindakan mandiri individu
dalam mempertahankan dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan
(Alligood, 2014).
Teori Orem dalam pelayanan keperawatan ditujukan kepada
kebutuhan individu dalam melakukan tindakan keperawatan mandiri
dalam mengatur/ memenuhi kebutuhannya. Dalam konsep keperawatan

26
Orem mengembangkan teori yang saling berhubungan yaitu self care,
self care deficit dan nursing system (Alligood, 2014).
1) Teori self care
Self care merupakan aktifitas individu dalam merawat diri mereka
sendiri dalam memenuhi serta mempertahankan kehidupan,
memelihara kesehatan dan kesejahteraan. Dalam teori self care,
Orem mengemukakan beberapa teori yaitu:
a) Self-care agency adalah kemampuan individu dalam melakukan
perawatan diri sendiri yang digambarkan sebagai pengetahuan,
keterampilan, dan motivasi untuk tindakan perawatan diri yang
dapat dipengaruhi oleh usia, perkembangan, sosiokultural,
kesehatan dan lain-lain.
b) Self care demand adalah semua tindakan perawatan diri yang
harus dilakukan oleh individu pada suatu titik waktu untuk
menjaga kesehatan dan meningkatkan kesejahteraan.
c) Basic conditioning factors, terdiri dari faktor usia, jenis kelamin,
status kesehatan, orientasi sosial budaya, sistem perawatan
kesehatan, kebiasaan keluarga, pola hidup, faktor lingkungan
dan keadaan ekonomi.
2) Teori self care deficit
Teori ini merupakan bagian penting dalam perawatan secara umum
dimana segala perencanaan keperawatan diberikan kepada saat
perawatan dibutuhkan. Teori ini menggambarkan manusia sebagai
penerima perawatan yang tidak mampu memenuhi kebutuhan
perawatan dirinya dan memiliki berbagai keterbatasan.
3) Teori nursing system
Teori ini Merupakan teori yang menguraikan secara jelas bagaimana
kebutuhan perawatan diri pasien dapat terpenuhi oleh perawat atau
pasien itu sendiri. Orem (2001) dalam Muhlisin & Irdawati, (2010)
menjelaskan bahwa teori nursing system memberikan identifikasi
dalam sistem pelayanan keperawatan diantaranya:

27
a. Sistem bantuan secara penuh (Wholly compensatory system)
Merupakan suatu tindakan keperawatan dengan memberikan
bantuan secara penuh pada pasien dikarenakan ketidakmampuan
pasien dalam memenuhi tindakan perawatan secara mandiri
yang memerlukan bantuan dalam pergerakan, pengontrolan dan
ambulasi. Pemberian bantuan pada sistem ini dapat dilakukan
pada pasien yang tidak mampu melakukan aktivitas dengan
sengaja seperti pada pasien koma, pasien sadar namun tidak
mampu dalam melakukan tindakan yang memerlukan ambulasi
atau manipulasi gerakan.
b. Sistem bantuan sebagian (Partially compensatory system)
Merupakan sistem dalam pemberian perawatan diri secara
sebagian dan ditujukan pada pasien yang memerlukan bantuan
secara minimal seperti pada pasien yang post operasi abdomen
dimana pasien ini memiliki kemampuan seperti cuci tangan,
gosok gigi, cuci muka namun membutuhkan pertolongan
perawat dalam ambulasi dan perawatan luka.
c. Sistem suportif dan edukatif
Merupakan sistem bantuan yang diberikan pada pasien yang
membutuhkan dukungan pendidikan dengan harapan pasien
mampu melakukan perawatan secara mandiri. Sistem ini
dilakukan agar pasien mampu melakukan tindakan keperawatan
setelah dilakukan pembelajaran. Demikian halnya dengan pasien
diabetes dimana mereka diharapkan mampu melakukan self care
diabetes tanpa bantuan orang lain (Alligood, 2014; Muhlisin &
Irdawati, 2010; Ncama, 2011).
Henry & Holzemer (1997) dalam Turner & Battle (2010)
menjelaskan bahwa self care sebagai kegiatan yang dilakukan
individu, keluarga atau komunitas untuk mencapai, mempertahankan
dan meningkatkan kesehatan yang maksimal. Self care management
meliputi evaluasi gejala, penatalaksanaan gejala dan evaluasi perilaku
penatalaksanaan perawatan diri. Self care management yang efektif

28
berarti bahwa individu memiliki rasa tanggung jawab terhadap
kesehatan mereka sendiri dan memiliki peran yang penting terhadap
perawatan kesehatan mereka sendiri (Robert Wood Johnson
Foundation, 2003 dalam Weinert, Cudney, & Kinion, 2010).
b. Faktor – faktor yang mempengaruhi self care diabetes
Secara umum Self care dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
usia, sosial ekonomi, dukungan keluarga, Lama menderita DM dan
Motivasi.
1) Usia
Usia memiliki hubungan tingkat keterpaparan, besarnya resiko
serta resistensi terhadap penyakit. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Tafti et al (2015) menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara usia dan self care diabetes, dimana dalam
penelitiannya menyebutkan bahwa usia yang relatif lebih muda,
lebih cenderung malas melakukan aktivitas fisik dibanding
dengan pasien yang berusia lebih tua.
2) Sosial ekonomi
Diabetes melitus merupakan penyakit kronik yang akan derita
sepanjang hidup penderitanya yang tentu saja akan berpengaruh
terhadap tingkat sosial ekonomi karena pasien akan
membutuhkan biaya yang cukup mahal dalam perawatannya
terutama jika pasien tersebut sudah mengalami komplikasi. Jika
status sosial ekonomi pasien kurang memadai akan
menyebabkan suatu hambatan pasien untuk melakukan
kunjungan ke pusat pelayanan kesehatan, hal ini tentu akan sulit
memantau perkembangan status kesehatan dan hal ini dapat
menyebabkan pasien lebih berisiko mengalami komplikasi
diabetes (Nwankwo et al, 2010). Begitupun dengan penelitian
yang dilakukan oleh Srivastava, Singh, & Dwivedi, (2013)
menunjukkan bahwa faktor dukungan sosial ekonomi
berpengaruh terhadap self care diabetes dimana pasien dengan

29
status sosial ekonomi yang baik maka self care diabetes pasien
tersebut juga akan meningkat.
3) Lama menderita DM
Bai, Chiou, & Chang, (2009) mengemukakan self care diabetes
dipengaruhi oleh lama menderita DM. Pasien dengan durasi
menderita diabetes lebih lama cenderung memiliki self care
diabetes yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang
memiliki durasi lebih pendek menderita diabetes. Pasien yang
menderita diabetes lebih lama pada umumnya memiliki
pemahaman yang baik tentang self care diabetes hal ini
disebabkan karena pasien lebih banyak mendapatkan informasi
mengenai self care diabetes dari berbagai sumber informasi.
4) Motivasi
Motivasi merupakan faktor yang penting bagi pasien dengan
diabetes mellitus tipe 2 karena motivasi mampu memberikan
dorongan yang kuat pada pasien untuk melakukan self care
diabetes. Penelitian yang dilakukan (Choi, Song, Chang, & Kim,
2014) menjelaskan bahwa motivasi merupakan faktor yang
berkontribusi terhadap self care diabetes. Pasien dengan
motivasi yang tinggi cenderung dapat melakukan self care
diabetes lebih baik dibandingkan pada pasien yang memiliki
motivasi kurang.
c. Pengukuran Self care management
Pengukuran self care management dapat dilakukan dengan cara
menggunakan kuesioner, banyak pengukuran dalam menilai self care
management salah satunya yaitu:
1. Diabetes Self-Management Questionnaire (DSMQ)
Diabetes Self-Management Questionnaire (DSMQ) digunakan
untuk melihat kemampuan pasien dalam melakukan perawatan
diri (penggunaan perawatan kesehatan, glukosa darah, diet, dan
latihan fisik). DSMQ terdiri dari 16 item pertanyaan, setiap item

30
dinilai dengan skala Likert 0-3 yaitu 0= tidak sesuai, 1= agak
sesuai, 2= cukup sesuai, 3= sangat sesuai (Schmitt et al., 2013).
2. Summary of Diabetes Self Care Activities (SDSCA)
Kuesioner SDSCA dikembangkan oleh Toobert dan Glasgow
pada tahun 2000 (Toobert, Hampson, & Glasgow, 2000).
SDSCA terdiri dari 12 item dan 14 rekomendasi menyelidiki
komitmen dalam lima domain tugas perawatan diri diabetes
termasuk diet, olahraga, tes glukosa darah, perawatan kaki, dan
merokok. Untuk tujuan ini, pasien diminta untuk melaporkan
frekuensi kegiatan perawatan diri selama tujuh hari terakhir.
Nilai rata-rata untuk masing-masing perilaku perawatan diri
selain merokok dihitung dari 0 hingga 7 dan pertanyaan tentang
status merokok pasien serta jumlah rokok yang digunakan dalam
sehari (Masoompour et al., 2017).
Melihat dari spesifikasi instrumen, maka pada penelitian ini
digunakan instrumen Diabetes Self-Management Questionnaire
(DSMQ) untuk menyelidiki kemampuan pasien untuk memantau
glukosa darah, diet, dan latihan fisik.

31
4. Konsep Teori Orem
Faktor-faktor health literacy
Self care agency Self care demand
Faktor individu Faktor
Usia kesehatan
Self care deficit Jenis kelamin Akses pelayanan
Pendidikan kesehatan
- Membaca Akses informasi
- Menulis kesehatan
Nursing system - Komunikasi Performa tenaga
Pekerjaan kesehatan
Pendapatan (IOM, 2004;
Parsial (IOM, 2004; Pawlak, 2005;
Total Pawlak, 2005; Ishikawa, 2011;
Sorensen et all, Ownby, 2012;
Supportif educatif 2012) Sorensen et all,
Health literacy 2012)
(Orem , 2001)

Faktor sosial & Faktor


lingkungan situasional
Faktor- faktor self efficacy Self efficacy Demografi Dukungan sosial
Budaya Faktor fisik
Jenis kelamin Bahasa Penggunaan
Usia Politik media
Tingkat pendidikan Sistem sosial (IOM, 2004;
Penghasilan (Pawlak, 2005; Pawlak, 2005;
Diabetes Self care Sorensen et all,
Budaya Sorensen et all,
management 2012) 2012)
Dukungan keluarga
Stress
Motivasi
Edukasi
sifat tugas yang dihadapi
reward
(Bandura, 1986) Basic conditioning factor

32
33
BAB III
KERANGKA KONSEP & HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konsep Penelitian


Pada penelitian ini akan dianalisis hubungan antara variabel independen
dengan variabel dependen. Variabel independen yang akan diteliti adalah
Health literacy dan variabel moderat adalah self efficacy. Sedangkan variabel
dependen, yaitu self care management pada penderita DMT2. Dengan
demikian, kerangka konsep penelitian ini dapat digambarkan sebagai
berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

H3

Health Literacy Self Efficacy Diabetes Self


care
management
H1 H2
Variabel Moderat

Keterangan:
: Variabel Independen

: Variabel Moderat

: Variabel Dependen
: Diteliti

Gambar 5: Kerangka Konsep

33
B. Variabel Penelitian
1. Variabel Independen
Variabel independen yang akan diteliti adalah Health literacy.
2. Variabel Moderat
Self efficacy sebagai variabel moderat karena self efficacy dapat
mempengaruhi hubungan Health literacy dan diabetes self care
management.
3. Variabel Dependen
Yang termasuk variabel dependen dalam penelitian ini adalah self care
management pada penderita DMT2.
C. Definisi Operasional
1. Variabel Independen
Health literacy
Definisi Operasional : Kemampuan responden dalam mencari,
memahami, menilai, menerapkan informasi
kesehatan yang didapatkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Alat ukur : Variabel ini diukur dengan menggunakan
kuesioner HLS-EU-Q sebanyak 16 item
pernyataan dengan skala Likert
Skala Ukur : Numerik
Kriteria Ukur : Kurang jika dibawah nilai median 50,00, baik
jika diatasnya
2. Variabel Moderat
Self efficacy
Definisi Operasional : Kemampuan responden dalam memantau
glukosa darah, diet, dan latihan fisik.
Alat ukur : Variabel ini diukur dengan menggunakan
kuesioner Self-Efficacy for Diabetes Scale
sebanyak 8 item menggunakan skala Likert.
Skala Ukur : Numerik

34
Kriteria Ukur : Kurang jika dibawah nilai median 53,00, baik
jika diatasnya
3. Variabel Dependen
Diabetes Self care management
Definisi Operasional : Kemampuan responden dalam melakukan
perawatan diri meliputi kepatuhan dalam
pemantauan glukosa darah, diet dan latihan fisik.
Alat ukur : Variabel ini diukur dengan menggunakan
kuesioner DSMQ sebanyak 16 item pertanyaan
menggunakan skala Likert.
Skala Ukur : Numerik
Kriteria Ukur : Kurang jika dibawah nilai median 46,00, baik
jika diatasnya
D. Hipotesis
Berdasarkan pertanyaan dan tujuan khusus penelitian, maka dirumuskan
hipotesis pada penelitian ini sebagai berikut:
1. Tingkat health literacy pasien yang baik akan membuat self efficacy
yang baik.
2. Tingkat self efficacy yang baik akan membuat diabetes self care
management pasien menjadi baik..
3. Pasien yang memiliki health literacy dan self efficacy yang baik akan
memiliki diabetes self care management yang lebih baik dibanding jika
tidak memiliki self efficacy.

35
BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental, dengan
pendekatan kuantitatif. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif
analitik korelasional dengan pendekatan cross sectional, dimana peneliti akan
melihat ada tidaknya hubungan antara variabel independen dengan dependen
pada satu kali pengukuran dalam waktu yang bersamaan (Dharma, 2015)
B. Tempat dan waktu Penelitian
a. Tempat penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Batua, Antang dan Bara-
barayya Kota Makassar karena dimana data yang di dapatkan dari Dinas
Kesehatan Kota Makassar, ketiga Puskesmas tersebut yang memiliki
angka kejadian tertinggi Diabetes Mellitus.
b. Waktu penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juli sampai bulan Agustus
2018.
Bulan
Kegiatan
2 3 4 5 6 7 8 9
1. Ujian Proposal
2. Izin Etik & administrasi
3. Pengambilan Data
4. Analisa Data
5. Ujian Hasil
6. Submit Jurnal
7. Oral Presentase
8. Ujian Tutup

C. Populasi dan Sampel


1. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien DMT2 yang datang
berobat di Puskesmas Kota Makassar (Puskesmas Batua, Antang dan
Bara-barayya).

36
2. Sampel adalah sebagian dari populasi penelitian yang dapat digunakan
sebagai subjek penelitian melalui sampling (Dharma, 2011; Nursalam,
2013). Dalam pengambilan sampel, peneliti dapat menentukan kriteria,
melalui inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi pada penelitan ini adalah
pasien dengan diagnosa DMT2 berdasarkan diagnosis dokter, pasien
DMT2 yang berobat di Puskesmas Kota Makassar, kriteria eksklusi pada
penelitian ini adalah penderita DM dengan keterbatasan fisik seperti buta,
tuli dan bisu.
3. Perhitungan besar sampel
Peneliti menggunakan rumus sampel tunggal untuk estimasi proporsi
suatu populasi dalam pengambilan besar sampel minimal (Sastroasmor
& Ismail, 2014) sebagai berikut:

n = besar sampel
= jarak sekian standar error dari rata-rata (ditentukan
berdasarkan derajat kepercayaan yang diinginkan)
= proporsi pada populasi yang ingin diketahui (p=0,5)
= derajat penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan
(presisi)
Peneliti tidak mengetahui perkiraan proporsi pada populasi, sehingga
menggunakan p=0,5 (Sastroasmoro & Ismail, 2014). Presisi penelitian ini
sebesar 10% dengan derajat kepercayaan 95 %, maka besar sampel minimal
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Berdasarkan rumus yang digunakan, maka didapatkan hasil sampel


yang digunakan yaitu 96 sampel. Untuk mengantisipasi kuesioner yang
tidak dikembalikan oleh partisipan ataupun kuesioner yang tidak lengkap
maka penambahan sampel yaitu 10%. Maka jumlah sampel minimal
didapatkan 105 sampel.

37
D. Teknik Sampling
Sampling adalah proses seleksi sampel yang akan digunakan dalam
penelitian (Burns & Grove, 2011). Teknik pengambilan sampel dalam
penelitian ini adalah cluster sampling, yaitu metode pengambilan sampel
dari beberapa kelompok dan dipilih secara acak/random, kelompok tersebut
untuk menentukan sampel. Untuk pembagian setiap Puskesmas dapat
dihitung dengan menggunakan rumus alokasi proporsional (Sugiyono,
2013) yaitu:

2 = x N1

Keterangan :

2 = banyaknya sampel tiap ruangan

= banyaknya populasi tiap ruangan

N = Jumlah populasi

N1= Jumlah sampel

Tabel distribusi sampel penelitian di Puskesmas Kota Makassar

No Puskesmas Jumlah Perhitungan Jumlah


Pasien DM Proporsional Sampel Sampel
1 Batua 68 68/152x105= 46,97 47
2 Antang 39 39/152x105= 26,94 27
3 Bara- Barayya 45 45/152x105= 31,08 31

Jumlah 152 105

E. Instrumen dan Prosedur Pengumpulan Data


1. Instrumen penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner, kuesioner
ini merupakan teknik mengumpulkan data yang dilakukan dengan cara
memberikan seperangkat pertanyaan atau pernyataan secara tertulis
kepada responden untuk dijawab (Sugiyono, 2012). Kuesioner yang

38
digunakan terdiri dari kuesioner health literacy, self efficacy dan self care
management.
Kuesioner HLS-EU-Q16 digunakan untuk mengukur tingkat
health literacy. Kuesioner HLS-EU-Q16 terdiri dari 16 item pertanyaan
dengan beberapa subdomain didalamnya yaitu mencari informasi
kesehatan 4 items (Q1, Q2, Q8, Q13), memahami informasi kesehatan 6
items (Q3, Q4, Q9, Q10, Q14, Q15), menilai informasi kesehatan
terdapat 3 items pertanyaan (Q5, Q11, Q16) dan menerapkan informasi
kesehatan terdapat 3 pertanyaan (Q6, Q7, Q12) (HLS-EU-Consortium,
2012). Setiap pertanyaan akan dinilai dengan 5 skala likert dimana
pilihan jawaban 1 = sangat sulit, 2 = cukup sulit, 3 = sangat sulit, 4=
sangat mudah dan 5 = tidak tahu. Penilaian dihitung dengan menjumlah
total skor yang didapat dan dimasukkan dalam kategori health literacy
“tinggi” 50-63 dan “rendah” 34-49.
Pada penelitian ini di gunakan kuesioner HLS-EU-Q16 yang
diadopsi dari AHLA Indonesia sebagai pemegang lisensi resmi kuesioner
tersebut dan telah di gunakan dengan versi bahasa Indonesia oleh
Nurjanah & Rachmani, (2014) tentang “Demography and Social
Determinants of Health Literacy in Semarang City Indonesia”. Kuesioner
HLS-EU-Q16 telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas di Puskesmas
Tamalanrea BTP Makassar, terhadap 20 responden yang bukan subjek
penelitian dan memiliki karasteristik yang sama, dengan nilai Item
Corelated 0,490- 0,886 dan uji reliabilitas nya didapatkan nilai Cronbach
alfa 0,947.
Kuesioner Self-Efficacy for Diabetes Scale digunakan untuk
mengukur tingkat self efficacy. Kuesioner Self-Efficacy for Diabetes
Scale, terdiri dari 8 item pertanyaan, setiap item dinilai dengan skala
Likert 1-10. 1= tidak sepenuhnya percaya diri” dan 10 = benar-benar
yakin. Penilaian dihitung dengan menjumlah total skor yang didapat dan
dimasukkan dalam kategori “yakin”53-78 dan “tidak yakin”35-52.
Pada penelitian ini di gunakan kuesioner Self-Efficacy for
Diabetes Scale yang diadopsi dari Mankan et al (2017) dan didapatkan

39
uji reliabilitas nya yaitu Cronbach alfa 0,87. Peneliti telah melakukan
proses translasi dengan tahapan yaitu instrumen asli diterjemahkan ke
dalam Bahasa Indonesia oleh tiga penerjemah yang memiliki lisensi
untuk menerjemahkan dimana salah satunya dari bidang keperawatan,
setelahnya dilakukan proses sintesis oleh satu penerjemah, untuk melihat
hasil terjemahan yang mudah dipahami dan setelah proses tersebut
dilakukan Back Translation oleh orang native ke dalam Bahasa Inggris
untuk melihat kesamaan dari hasil translasi tersebut dengan kuesioner
aslinya, selanjutnya pada tahap terakhir membandingkan kembali hasil
terjemahan (panel translator) dimana peneliti membandingkan hasil
translate dengan hasil Back Translation . Jika terdapat ketidaksesuaian,
maka langkah 1 dan 4 dapat diulangi atau hanya item yang diperlukan.
Setelah itu, peneliti melakukan uji realibilitas di Puskesmas Tamalanrea
BTP Makassar, terhadap 20 responden yang bukan subjek penelitian dan
memiliki karasteristik yang sama, dengan nilai Item Corelated 0,560-
0,817 dan uji reliabilitas nya didapatkan nilai Cronbach alfa 0,852.
Sedangkan pada kuesioner Diabetes Self-Management
Questionnaire (DSMQ) digunakan untuk mengukur tingkat kepatuhan
pasien DMT2 terkait self care management. kuesioner DSMQ sebanyak
16 item pertanyaan dengan beberapa subdomain didalamnya yaitu
Glukosa darah 5 item (1, 4, 6, 10, 12), Diet 4 item (2, 5, 9, 13) dan
aktivitas fisik 3 item (8, 11, 15) dan perawatan kesehatan 3 item (3, 7,
14) dan satu pertanyaan yang melihat self care secara keseluruhan pada
pertanyaan nomor 16 (Schmitt et al., 2013).
Kuesioner DSMQ terdiri dari 16 pertanyaan dengan empat pilihan
jawaban yang berskala Likert yaitu: “selalu dilakukan” (skor 4),
“kadang-kadang dilakukan” (skor 3), “jarang dilakukan” (skor 2), tidak
pernah dilakukan” (skor 1). Penilaian dihitung dengan menjumlah total
skor yang didapat dan dimasukkan dalam kategori self care management
“tinggi”46-64” dan “rendah” 31-45.
Pada penelitian ini digunakan kuesioner DSMQ yang diadopsi
dari penelitian Mehravar et al., (2016) tentang hubungan antara diabetes

40
manajemen diri dan komplikasi mikrovaskuler pada pasien dengan
diabetes tipe 2 di Iran. Peneliti telah melakukan proses translasi dengan
tahapan yaitu instrumen asli diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia
oleh tiga penerjemah yang memiliki lisensi untuk menerjemahkan
dimana salah satunya dari bidang keperawatan, setelahnya dilakukan
proses sintesis oleh satu penerjemah, untuk melihat hasil terjemahan
yang mudah dipahami dan setelah proses tersebut dilakukan Back
Translation oleh orang native ke dalam Bahasa Inggris untuk melihat
kesamaan dari hasil translasi tersebut dengan kuesioner aslinya,
selanjutnya pada tahap terakhir membandingkan kembali hasil
terjemahan (panel translator) dimana peneliti membandingkan hasil
translate dengan hasil Back Translation . Jika terdapat ketidaksesuaian,
maka langkah 1 dan 4 dapat diulangi atau hanya item yang diperlukan.
Setelah itu, peneliti melakukan uji realibilitas di Puskesmas Tamalanrea
BTP Makassar, terhadap 20 responden yang bukan subjek penelitian dan
memiliki karasteristik yang sama, dengan nilai Item Corelated 0,349-
0,661 dan uji reliabilitas nya didapatkan nilai Cronbach alfa 0,789.
2. Metode dan Pengumpulan Data
a. Tahap Persiapan
(1) Mengajukan permohonan surat lolos kaji etik kepada komite etik
penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
(2) Permohonan ijin penelitian dari BKBP, Kantor Wali Kota
Makassar dan Dinas Kesehatan kepada Puskesmas Kota Makassar
(Batua, Antang dan Bara-barayya).
(3) Mengumpulkan data jumlah pasien diabetes mellitus tipe 2 di
Puskesmas Kota Makassar (Batua, Antang dan Bara-barayya).
b. Tahap Sosialisasi
Sebelum pelaksanaan penelitian, peneliti melakukan sosialisasi
rencana penelitian kepada penanggung jawab PROLANIS di
Puskesmas Kota Makassar (Batua, Antang dan Bara-barayya).

41
c. Tahap Pemilihan Sampel
(1) Peneliti melakukan identifikasi terhadap populasi yang
memenuhi kriteria inklusi
(2) Populasi yang memenuhi kriteria inklusi dapat dijadikan sampel
(3) Memberikan penjelasan kepada responden terkait prosedur
penelitian, tujuan penelitian dan keamanan pasien.
(4) Jika responden setuju, maka responden akan diberikan informed
consent untuk ditanda tangani.
d. Tahap Pelaksanaan
(1) Responden mengisi kuesioner (didampingi oleh peneliti) dan
menjawab pertanyaan dalam kuesioner .
(2) Selanjutnya mengecek data yang telah diperoleh dari kuesioner.
(3) Selanjutnya data dianalisis.
B. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini terdiri dari:
1. Analisis univariat
Pada analisis univariat, data dapat disajikan dalam bentuk tabel distribusi
frekuensi, ukuran tendensi sentral (mean, median, modus) atau grafik
(Saryono & Anggraeni, 2013). Pada penelitian ini variabel karakteristik
responden dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan yang
signifikan antara variabel independen terhadap variabel dependen.
Analisa bivariate menggunakan uji spearman untuk mengukur korelasi
antara masing-masing variabel independen. Dimana dijelaskan Cohen
(1988) dalam Pallant, (2013) bahwa kekuatan korelasi secara statistik
dengan r= 0,10-0,29 dikatakan kekuatan hubungan kecil, r=0,30-0,49
dikatakan kekuatan hubungan sedang dan r=0,50-1,0 dikatakan kekuatan
hubungan besar.
3. Analisis Multivariat
Analisis multivariat digunakan untuk membuktikan hipotesis penelitian,
yaitu mengidentifikasi hubungan antara variabel-variabel penelitian yaitu

42
variabel independen dan dependen, maka dalam penelitian ini
menggunakan analisis data yaitu path analisis atau analisis jalur.
Pemilihan uji statistik yang digunakan berdasarkan pada jenis data serta
jumlah variabel yang diteliti. Uji statistik yang digunakan adalah uji
regresi linear untuk mengukur korelasi langsung dan tidak langsung
antara variabel independen dan dependen.
C. Pengolahan Data
Data yang didapatkan melalui metode kuesioner, selanjutnya dilakukan
pengolahan data. Hal tersebut dimaksudkan untuk dapat memberikan
informasi yang benar dan sesuai dengan tujuan penelitian. Adapun tahapan
dalam proses pengolahan data antara lain:
a. Editing
Langkah yang dilakukan pada tahap ini yaitu menyusun semua lembar
jawaban kueisoner yang terkumpul berdasarkan nomor urut skala yang
ditentukan, selanjutkan melakukan pemeriksaan ulang untuk meyakinkan
bahwa jawaban yang diberikan sesuai dengan petunjuk pelaksanaan.
b. Coding
Untuk memudahkan peneliti dalam proses pengolahan data, maka
dilakukan proses coding. Proses ini dilakukan dengan cara memberi
tanda maupun kode terhadap jawaban dan keputusan dari skala yang
telah ditetapkan, selanjutnya dikonversi ke dalam angka-angka-angka
untuk memudahkan proses pengolahan data.
c. Processing
Tahapan awal pada processing yaitu dengan membuat tabulating score
atau melakukan entri data kasar dalam bentuk tabulasi pada lembar kertas
data. Tahapan selanjutnya yaitu memasukkan data kedalam program
SPSS.
d. Cleaning data
Setelah data dimasukkan kedalam program SPSS. Tahapan selanjutnya
yaitu finishing entry, tahap ini bertujuan untuk mengevaluasi kesalahan
yang kemungkinan bisa terjadi. Kesalahan tersebut antara lain: missing

43
data atau data yang terlewati, variasi data (kesalahan pengetikan),
konsistensi data yaitu kesesuaian data dengan tabulating score.
D. Etik Penelitian
Secara umum menurut (polit & Beck, 2008; Nursalam, 2015)
membedakan prinsip dasar etik menjadi tiga bagian, yaitu prinsip manfaat,
prinsip menghargai waktu, prinsip menghargai hak-hak subjek dan prinsip
keadilan.
a. Mempertimbangkan prinsip manfaat (the principle of beneficence)
Penelitian harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan manfaat
bagi populasi. Selain itu, penelitian ini juga bebas dari penderitaan
kepada subjek khususnya jika menggunakan tindakan khusus, bebas
eksploitasi yang berarti bahwa partisipasi subjek dalam penelitian harus
dihindarkan dari keadaan yang tidak menguntungkan dan tidak
dipergunakan dalam hal-hal yang dapat merugikan subjek dalam bentuk
apapun, serta peneliti harus mempertimbangkan resiko dan keuntungan
yang dapat berakibat pada subjek pada setiap tindakan.
b. Prinsip menghormati harkat dan martabat manusia (the principle of
respect for human dignit)
Subjek dalam setiap penelitian harus diperlakukan secara manusiawi.
Responden memiliki hak asasi untuk memutuskan bersedia menjadi
subjek penelitian atau tidak (autonomy). Peneliti tidak boleh memberikan
paksaan agar partisipan bersedia menjadi responden. Peneliti juga harus
memberikan penjelasan secara rinci dan bertanggung jawab jika terjadi
sesuatu kepada subjek penelitian. Selain itu, subjek penelitian berhak
untuk mendapatkan informasi secara lengkap tentang tujuan penelitian
yang akan dilaksanakan, dan mempunyai hak untuk bebas berpartisipasi
atau menolak menjadi responden. Pada informed consent juga penting
untuk menyatakan bahwa data yang didapatkan hanya digunakan untuk
kepentingan penelitian.
c. Prosedur etik sebelum penelitian
Adapun prosedur etik dalam penelitian ini yaitu sebelum
melakukan penelitian, terlebih dahulu peneliti mengajukan prosedur

44
penelitian ke komisi etik Universitas Hasanuddin. Setelah mendapatkan
surat keterangan lulus dari komisi etik, langkah selanjutnya yaitu
pengambilan surat izin penelitian dan diserahkan ke Puskesmas di Kota
Makassar untuk mendapatkan data pasien diabetes mellitus tipe 2 yang
ada di Puskesmas tersebut. Peneliti terlebih dahulu memberikan informed
consent serta menjelaskan isi dari informed consent tersebut kepada
responden.

45
E. Alur Penelitian
Alur dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar

Proposal

PKM Batua, Antang dan


Izin Penelitian Komisi etik kedokteran UNHAS
Bara- Barayya

Proses Translasi

Uji Reliabilitas Instrument

Populasi :
Penderita DM tipe 2 yang datang berobat ke Puskesmas Batua,
Antang dan Bara- Barayya

Teknik Sampling :
Cluster

Sampel
Pasien yang memenuhi kriteria

Informed Consent
Menjelaskan dan meminta persetujuan responden


Variabel Independen Variabel Moderat Variabel dependen
Health Literacy Self efficacy Diabetes Self care
management

Pengumpulan Data

Analisa Data:
uji regresi linear

Hasil & Pembahasan Penelitian

Kesimpulan & Saran

Gambar 6: Alur Penelitian

46
BAB V
HASIL

Pada bab ini disajikan hasil penelitian yang dilaksanakan di 3 Puskesmas Kota
Makassar. Proses pengumpulan data pada tanggal Juli - Agustus 2018, dengan
jumlah responden sebanyak 105 pasien DMT2 yang berobat di Puskesmas Batua,
Antang dan Bara- barayya. Analisis data dilakukan dengan melakukan beberapa
tahap yakni analisis deskriptif, uji data dan analisis path analisis dengan program
SPSS dan disajikan dalam analisis univariat, analisis bivariat, dan analisis
multivariat.
A. Hasil Analisis Univariat
Analisis univariat menggambarkan karakteristik responden. Variabel yang
dianalisis meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, lama
menderita DM dan komplikasi yang dimiliki oleh pasien tersebut. Gambaran
mengenai variabel tersebut dijelaskan dalam bentuk distribusi frekuensi. Tabel 5.1
memperlihatkan distribusi karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin,
umur, pendidikan, pekerjaan, lama penderita DM dan komplikasi di Puskesmas
Kota Makassar Agustus 2018.

47
Tabel 5.1 Distribusi karakteristik Responden Berdasarkan jenis kelamin, umur,
pendidikan, pekerjaan, lama penderita DM dan komplikasi di Puskesmas Kota
Makassar Agustus 2018 (n=105)

Frekuensi Min-max Mean


Variabel
(%) (±SD)
Jenis Kelamin:
Laki-laki 25(23.8)
Perempuan 80 (76.2)
Umur :
Usia pertengahan (45-59) 49(46,7%) 40-75 59.93
Lanjut usia (60-74) 55 (52,4%) (±7.81)
Lanjut usia tua (75) 1(1,0%)
Pendidikan:
Tidak tamat SD 5(4,7%)
Tamat SD 24(22,6%)
SMP 15(14,2%)
SMA 54(50,9%)
Perguruan tinggi 7(6,6%)
Pekerjaan:
Tidak bekerja 92 (87.6%)
wiraswasta 8 (7.6%)
PNS 5 (4.8%)
6.68
Lama menderita: 1-25 (±3.81)
Komplikasi :
komplikasi 63( 59,4)
Tidak komplikasi 42 (39,6)

Dari tabel di atas terlihat bahwa umumnya responden berjenis kelamin


perempuan (76.2%), rata-rata umur responden 59 tahun (SD±7.81). Untuk tingkat
pendidikan terakhir, sebagian responden memiliki tingkat pendidikan yang tinggi
yaitu SMA sebanyak 50,9%, namun, masih ada responden yang berlatar
pendidikan rendah, (4,7% tidak tamat SD, 22,6% lulusan SD dan 14,2% lulusan
SMP). Sebagian besar (87.6%) responden tidak bekerja, rata-rata responden telah
menderita DM selama 6 tahun (SD±3.81) dan lebih dari sebagian (59,4%)
responden memiliki komplikasi penyakit lainnya seperti hipertensi, kolesterol,
mata kabur.

Penelitian ini juga melihat gambaran tingkat health literacy, self efficacy
dan self care management pasien DMT2. Tabel 5.2 di bawah ini menjelaskan
detail data yang didapatkan pada penelitian ini.

48
Tabel 5.2 Gambaran Tingkat Health Literacy, Self Efficacy, dan Self Care
Management Responden di Puskesmas
Kota Makassar Agustus 2018 (n=105)

Tinggi Rendah
Variabel Min-Maks Median
n n
Health Literacy 39 66 34-63 47,00
Self Efficacy 50 55 35-78 50,00
Self Care Management 37 68 31-64 44,00
Sumber : data primer, 2018

Tabel 5.2 menunjukkan bahwa secara keseluruhan Health Literacy, Self


Efficacy dan Self-care management responden berada pada kategori kurang
dengan data rata-rata 47,00 untuk health literacy, 50,00 untuk tingkat self efficacy
dan untuk Self care management adalah 44,00. Dalam penelitian ini, penilaian
self-care management memiliki tiga sub komponen yaitu kontrol glukosa, diet,
aktivitas fisik dan penggunaan pelayanan kesehatan. Detail gambaran sub
komponen tersebut dijelaskan pada tabel 5.3 di bawah ini.
Tabel 5.3 Gambaran Sub Skala Pada Self Care Managemen Responden di
Puskesmas Kota Makassar Agustus 2018 (n=105)

Sub skala self care management Kurang Baik


n % n %
Kontrol Glukosa 66 62,9 39 37,1
Diet 90 85,7 15 14,3
Aktifitas Fisik 79 75,2 26 24,8
Pengguna Pelayanan Kesehatan 28 26,7 77 73,3
Sumber : data primer, 2018

Tabel 5.3 memperlihatkan sub komponen kontrol gula, diet, dan aktifitas
fisik responden masih dalam kategori rendah, di mana yang paling rendah adalah
pada komponen diet, di mana sebanyak 90 responden (86.7%). Untuk sub
komponen penggunaan pelayanan kesehatan sudah memperlihatkan hal yang baik,
di mana lebih dari sebagian responden (73.3%) mengatakan sudah menggunakan
pelayanan kesehatan untuk perawatan penyakitnya.
B. Hasil Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan yang


signifikan antara variabel independen terhadap variabel dependen. Analisis yang
digunakan yakni uji spearman korelasi untuk mengukur korelasi antara masing-

49
masing variabel. Hasil uji normalitas dengan Kolmogorov-Smirnova data
menunjukkan data yang berdistribusi tidak normal yaitu health literacy, self
efficacy dan self care management mempunyai nilai p= 0.000. karena variabel
tidak normal tetapi syarat linearitas terpenuhi atau ≥0,05 maka digunakan uji
korelasi spearman.
Tabel 5.4 Analisis Hubungan Health Literacy, Self Efficacy dan Self Care
Management Responden di Puskesmas Kota Makassar Agustus 2018 (n=105)

Self Care Management

Rendah Tinggi Median p r


Total
(min-max)
n % n % n %
Health Literacy Rendah 48 72,7 18 27,3 66 100 47,00 (34-63)
*0,000 **0,498
Tinggi 20 51,3 19 48,7 39 100
Self Efficacy Rendah 43 78,2 12 21,8 55 100 50,00 (35-78)
Tinggi 25 50,0 25 50,0 50 100 *0,000 **0,458
*Spearman
**Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)

Table 5.4 menunjukkan bahwa responden yang memiliki health literacy


dan self care management rendah n=48 responden, health literacy rendah dan self
care management tinggi n=18 responden, health literacy tinggi dan self care
management rendah n=20 responden, serta responden yang memiliki health
literacy tinggi dan self care management tinggi n=19 responden dan terdapat
hubungan antara health literacy dan self care management dengan nilai p= 0,000
dan nilai korelasi spearman sebesar 0,498 yang menunjukkan korelasi positif
dengan kekuatan korelasi sedang.
Sedangkan yang memiliki self efficacy dan self care management rendah
n=43 responden, self efficacy rendah dan self care management tinggi n=12
responden, self efficacy tinggi dan self care management rendah n=25 responden,
serta responden yang memiliki self efficacy tinggi dan self care management tinggi
n=25 responden dan terdapat hubungan antara self efficacy dan self care
management dengan nilai p= 0,000 dan nilai korelasi spearman sebesar 0,458
yang menunjukkan korelasi positif dengan kekuatan korelasi yang lemah.

50
Tabel 5.5 Analisis Hubungan Health Literacy dan Self Efficacy Responden di
Puskesmas Kota Makassar Agustus 2018 (n=105)

Self Efficacy
Total
Rendah Tinggi p r

N % n % n %
Health Literacy Rendah 48 72,7 18 27,3 66 100
Tinggi 7 17,9 32 82,1 39 100 *0,000 *0,502
Total 55 52,4 50 47,6 105 100
* Spearman
**Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)

Table 5.5 menunjukkan bahwa responden yang memiliki health literacy


dan self efficacy rendah n=48 responden, health literacy rendah dan self efficacy
tinggi n=18 responden, health literacy tinggi dan self efficacy rendah n=7
responden, serta responden yang memiliki health literacy tinggi dan self efficacy
tinggi n=32 responden dan terdapat hubungan antara health literacy dan self care
management dengan nilai p= 0,000 dan nilai korelasi spearman sebesar 0,502
yang menunjukkan korelasi positif dengan kekuatan korelasi yang kuat. Dengan
demikian korelasi dari semua variabel diatas p≤0,25 sehingga semua variabel
memenuhi syarat untuk dimasukkan ke dalam analisis mutivariat regresi linear.
C. Hasil Analisis Multivariat

Analisa multivariat dilakukan dengan analisis regresi untuk menguji


hubungan langsung dan tidak langsung antara variabel health literacy, self efficacy
dan self care management.
Tabel 5.6 Coefficients Health Literacy dan Self Efficacy terhadap Self Care
Management Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di Puskesmas
Kota Makassar Agustus 2018 (n=105)

Unstandardized Standardized
Model Coefficients Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
2 (Constant) 14.939 4.933 3.029 0.003
health literacy 0.438 0.120 0.360 3.641 0.000
self efficacy 0.174 0.065 0.263 2.663 0.009
a. Dependent Variable: self care management

Berdasarkan hasil model regresi pada tabel 5.6 diketahui bahwa hubungan
langsung yaitu health literacy terhadap self care management dengan nilai

51
p=0,000, hubungan health literacy terhadap self efficacy dengan nilai p=0,003 dan
hubungan langsung self efficacy terhadap self care management yaitu p=0,009.
Dengan demikian kedua variabel tersebut berhubungan langsung dengan variabel
self care management namun dari hasil statistik didapatkan bahwa nilai hubungan
langsung yaitu health literacy terhadap self care management lebih baik hasilnya
yaitu ≤0,005 dibanding jika melalui self efficacy. Hasil ini dapat dilihat pada
gambar:

0,000

0,003 0,009
Health Literacy Self Efficacy Self Care
Management

Gambar 7: Model Analisi Jalur

52
BAB VI

PEMBAHASAN
Bab ini membahas temuan penelitian, menguraikan kesesuaian dan
kesenjangan antara hasil penelitian dengan literatur. Pembahasan mencakup
interpretasi dan diskusi hasil penelitian, implikasi pada pelayanan kesehatan
khususnya pada Puskesmas dan penelitian selanjutnya serta keterbatasan peneliti.
Interpretasi dan diskusi hasil penelitian dibandingkan dengan temuan yang
didapatkan penelitian saat penelitian, serta referensi yang relevan.
A. Diskusi Hasil
1. Tingkat Health Literacy Pasien DMT2 di Puskesmas Kota
Makassar.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, didapatkan hasil
tingkat health literacy yang rendah pada pasien DMT2 di Puskesmas kota
Makassar. Hasil yang rendah disebabkan oleh beberapa faktor misalnya
usia dan pendidikan (Ownby et al., 2012; Pawlak, 2005; Santosa et al.,
2012; Singleton & Krause, 2009). Jika dilihat dari karakteristik responden
pada penelitian ini didapatkan rata-rata responden memiliki tingkat
pendidikan yang tinggi, yaitu SMA dan perguruan tinggi. Dengan tingkat
pendidikan yang dimiliki, responden tentunya telah memiliki kemampuan
membaca yang baik, menulis, dan memungkinkan dapat mengakses
informasi dengan baik. Seperti yang dijelaskan oleh Nutbeam (2015),
bahwa health literacy menitikberatkan pada kemampuan membaca,
menulis, serta mengakses informasi yang baik. Pendidikan berperan
dalam pembentukan pengetahuan serta keterampilan yang berhubungan
dengan kesehatan (Santosa, 2012). Pendidikan juga meningkatkan
kemampuan seseorang untuk mengumpulkan dan menginterpretasikan
informasi kesehatan yang berdampak pada kesehatannya. Namun dilihat
dari karakteristik responden pada penelitian ini walaupun tingkat
pendidikan responden tinggi tapi tingkat health literacy masih rendah, hal
ini dikarenakan karakteristik usia responden yang sudah mencapai lanjut
usia, rata-rata responden berumur 59 tahun dimana responden dengan usia
lanjut akan lebih sulit untuk meningkatkan health literacy karena

53
beberapa responden mengaku bahwa mereka mengalami kesulitan pada
saat membaca karena mengalami penurunan penglihatan, sehingga
responden terkadang masih membutuhkan bantuan untuk dibacakan seperti
contoh pada saat peneliti membagikan kuesioner, mereka meminta bantuan
untuk dibacakan karena tidak membawa kacamata, responden pun
mengatakan bahwa hal inilah yang biasa terjadi ketika mereka mengikuti
pendidikan kesehatan yang pemberian informasinya berupa leaflet,
sehingga membuat mereka tidak mendapatkan informasi yang maksimal,
begitupun dengan hal pendengaran beberapa responden yang mengatakan
bahwa mereka mengalami kesulitan untuk menerima informasi karena
penyampaian oleh tenaga kesehatan yang kurang jelas. Sehingga hal ini
berdampak pada pengetahuan informasi kesehatan dan perilaku kesehatan
individu tersebut. Seperti penelitian yang dilakukan Ashida et al., (2011)
dan Gordon Singh & Aiken, (2017) menyatakan bahwa faktor usia
memiliki hubungan yang signifikan dengan health literacy dikarenakan
hal ini dipengaruhi oleh kesehatan fisik, mental yang menurun dan
peningkatan risiko penurunan kognitif dengan usia dapat mempengaruhi
kemampuan pasien untuk memperoleh, memahami, dan menerapkan
informasi kesehatan.
Beberapa perubahan yang terjadi seiring dengan bertambahnya usia
seseorang adalah terjadinya penurunan pendengaran, penglihatan dan
kemampuan berpikir sehingga mempengaruhi tingkat pemahaman
seseorang dalam menerima dan mengolah informasi yang mereka
dapatkan. Penelitian yang dilakukan Speros (2009) memperoleh data
bahwa sebanyak 20% penduduk Amerika serikat berusia 65 tahun keatas
hanya 3% dari responden yang memiliki tingkat health literacy yang
tinggi. Hal tersebut memperlihatkan bahwa usia juga ikut mempengaruhi
tingkat health literacy seseorang.
Pada kuesioner health literacy terdapat empat sub skala yang
terdiri dari mencari, memahami, menilai dan menerapkan. Mencari yang
dimaksud pada sub skala ini adalah seberapa mudah responden
menemukan informasi terkait pengobatan penyakitnya dan seberapa

54
mudah responden mencari tahu dimana mencari tenaga kesehatan ketika
sakit, memahami yaitu apakah responden memahami instruksi dokter atau
apoteker terkait cara meminum obat yang diresepkan dan memahami
informasi di media terkait bagaimana menjadi lebih sehat, menilai yaitu
kapan responden membutuhkan pendapat dari dokter lain terkait
penyakitnya dan menilai apakah informasi kesehatan di media dapat
dipercaya dan untuk sub skala menerapkan yaitu seberapa mudah
responden dapat menggunakan informasi yang diberikan oleh petugas
kesehatan untuk membuat keputusan terkait penyakitnya dan seberapa
mudah responden dapat mematuhi instruksi dari petugas kesehatan. Pada
penelitian ini didapatkan dari keempat sub skala tersebut, yang terkait
dengan mencari informasi adalah sub skala yang paling kurang
dibandingkan yang lainnya. Untuk mengkaji lebih dalam dapat dilakukan
penelitian lanjutan tentang keterkaitan antara mencari informasi dengan
tingkat pendidikan yang tinggi.
2. Tingkat Self efficacy Pasien DMT2 di Puskesmas Kota Makassar.
Self-efficacy merupakan penilaian diri seseorang terhadap
kemampuannya dalam mengerjakan suatu pekerjaan tertentu untuk
mencapai tujuan tertentu (Oh et al., 2014). Menurut Bandura & Locke,
(2003) Individu dengan tingkat self-efficacy yang tinggi memilih untuk
melakukan tugas yang lebih menantang, memulai dan melanjutkan
kegiatan untuk mencapai hasil yang positif, serta menetapkan tujuan yang
lebih tinggi untuk diri mereka sendiri, yang akhirnya meningkatkan
komitmen mereka terhadap tujuan sedangkan yang kurang memiliki self-
efficacy lebih cenderung menghadapi masalah dalam melakukan aktivitas
tertentu (Bandura, 1994).
Menurut Bandura (1986), Self-efficacy dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, penghasilan, budaya,
dukungan keluarga, stress, motivasi, edukasi, sifat tugas yang dihadapi,
reward, dan status atau peran individu dalam lingkungannya. Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan, didapatkan hasil tingkat self efficacy yang
rendah pada pasien DMT2 di Puskesmas kota Makassar. Jika dilihat dari

55
karakteristik responden, usia responden yang terbilang usia tua dapat
menyebabkan tingkat self efficacy rendah, dimana dari hasil wawancara
informal dan hasil observasi dengan beberapa responden, responden tidak
yakin dapat melakukan hal-hal yang dapat dihindari seperti diet,
berolahraga, meminum obat secara teratur karena responden terkadang
lupa instruksi yang diberikan oleh dokter. Bandura, (1986) menyatakan
bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi self efficacy rendah adalah
usia. Begitupun Penelitian yang dilakukan di Omani pada pasien DMT2
menunjukkan hasil bahwa pasien dengan usia kurang dari 40 tahun
memiliki skor kepatuhan yang signifikan positif dibandingkan dengan usia
lebih dari 40 tahun (Al-Maskari, Al-Shookri, Al-Adawi, & Khor G. Lin,
2011).
Pada kuesioner self efficacy terdapat empat sub skala yang terdiri
dari kontrol glukosa, diet, aktifitas fisik dan penggunaan pelayanan
kesehatan. Kontrol glukosa yang di maksud dalam sub skala kuesioner self
efficacy yang digunakan dalam penelitian ini yaitu keyakinan responden
untuk mengetahui apa yang harus dilakukan ketika tingkat gula darahnya
tinggi atau rendah dan keyakinan responden dalam mengontrol penyakit
diabetes mereka, diet yang dimaksud seperti keyakinan responden dalam
mengikuti diet ketika bersama dengan orang lain yang tidak menderita
diabetes dan memilih makanan yang tepat untuk penderita diabetes,
aktifitas fisik seperti seberapa sering responden dapat berolahraga dan
yakin bahwa dengan olahraga dapat mengontrol gula darah responden dan
untuk pelayanan kesehatan seperti seberapa yakin responden dapat
memeriksa kesehatannya ke dokter ketika terjadi penurunan pada
penyakitnya. Pada penelitian ini didapatkan dari keempat sub skala
tersebut, sub skala diet adalah sub skala yang paling kurang dibandingkan
dengan yang lainnya. Namun penelitian ini tidak menggali lebih lanjut
mengapa sub skala diet ini yang memiliki nilai yang paling rendah. Namun
hal tersebut dapat dijelaskan dari hasil wawancara informal dan hasil
observasi dengan beberapa penderita DM, bahwa penderita diabetes tidak

56
mampu mengontrol makanan yang mereka makan ketika mereka berada di
suatu acara atau dilingkungan orang yang tidak menderita diabetes.
3. Tingkat Self Care Management Pasien DMT2 di Puskesmas Kota
Makassar.
Self Care adalah proses aktif dan praktis yang dilakukan oleh
pasien itu sendiri yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi fisik atau
menjaga kesehatan melalui tindakan seperti diet, latihan fisik, pemantauan
gula darah, mencari layanan kesehatan yang ditentukan untuk penyakit dan
gangguan seperti diabetes (American Diabetes Association, 2018).
Menurut Orem (2001) self care merupakan kebutuhan manusia dimana
individu berusaha menjaga, mempertahankan serta meningkatkan kualitas
hidup pasien untuk kehidupan, kesejahteraan serta penyembuhan dari
penyakit dan terhindar dari komplikasi (Alligood, 2014).
Berdasarkan hasil penelitian ini masih lebih banyak penderita
DMT2 yang memiliki self care management yang rendah pada pasien DM
tipe 2 di Puskesmas kota Makassar. Hasil yang rendah disebabkan oleh
beberapa faktor misalnya motivasi (Bai et al., 2009; Choi et al., 2014;
Dehghani-Tafti et al., 2015; Srivastava et al., 2013).
Waktu lama menderita DM menurut penelitian oleh Bai et al.,
(2009) memperlihatkan bahwa self care diabetes dipengaruhi oleh lama
menderita DM. Pasien dengan durasi menderita diabetes lebih lama
cenderung memiliki self care diabetes yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien yang memiliki durasi lebih pendek menderita diabetes.
Tetapi waktu lamanya pasien menderita DM tidak serta merta menjadi
penentu baik atau tidaknya self care yang dimiliki pasien tersebut. Unsur
lain seperti motivasi juga bisa menjadi penentu, di mana semakin lama
seseorang menderita sebuah penyakit dan tidak merasa akan sembuh bisa
menurunkan semangat dan motivasi untuk perawatan dirinya (Choi et al.,
2014). Menurut penelitian yang dilakukan Shigaki et al., (2010)
menyatakan bahwa motivasi memiliki hubungan yang signifikan dalam
melakukan self care management dalam mempertahankan diet dan glukosa
darah.

57
Pada kuesioner self-care management terdapat empat sub skala
yang terdiri dari kontrol glukosa, diet, aktifitas fisik dan penggunaan
pelayanan kesehatan. Kontrol glukosa yang dimaksud pada sub skala ini
adalah pemeriksaan kadar gula darah, mengkonsumsi obat DM sesuai
instruksi dari petugas kesehatan dan pencatatan kadar gula darah secara
teratur, diet seperti pilihan makanan yang memudahkan mencapai kadar
gula darah yang optimal dan jenis makanan yang sering dikonsumsi,
aktifitas fisik seperti melakukan aktifitas fisik secara teratur untuk
mencapai tingkat kadar gula darah yang optimal dan untuk pelayanan
kesehatan seperti jadwal perjanjian dengan tenaga kesehatan terkait
penyakitnya. Penelitian ini memperlihatkan bahwa dari keempat sub skala
tersebut, self care yang terkait dengan masalah diet adalah sub skala yang
paling kurang dibandingkan yang lainnya. Namun penelitian ini tidak
menggali lebih lanjut mengapa sub skala diet ini yang memiliki nilai yang
paling rendah. Namun hal tersebut dapat dijelaskan dari hasil wawancara
informal dan hasil observasi dengan beberapa penderita DM, bahwa
penderita diabetes sangat bergantung pada obat-obatan untuk menurunkan
kadar gula mereka, sehingga menyebabkan mereka tidak begitu
memperhatikan diet mereka. Selain itu, pendidikan kesehatan mengenai
nutrisi untuk pasien diabetes masih kurang diberikan oleh petugas
kesehatan.
4. Hubungan Health Literacy dan Self Care Management Pasien DMT2
Keberhasilan dari program managemen penyakit kronis tidak lepas
dari, kemampuan individu dalam mengakses, memahami, dan
menggunakan informasi dan pelayanan kesehatan untuk membuat
keputusan tentang perawatan kesehatannya yang dikenal dengan Health
Literacy Berkman, Davis, & McCormack, (2010). Penelitian ini
memperlihatkan hasil health literacy yang berhubungan signifikan
terhadap self care management.
Heijmans, Waverijn, Rademakers, van der Vaart, & Rijken, (2015);
Kanj & Mitic (2009) menemukan bahwa dengan tingkat health literacy
yang rendah terjadi peningkatan angka penyakit kronis sebesar 47% dari

58
total beban penyakit, dan health literacy memerankan peran penting
dalam manajemen penyakit kronis. Health literacy pada setiap individu
penting untuk diketahui karena berhubungan dengan kemampuan untuk
memperoleh informasi kesehatan dalam upaya meningkatkan dan
mempertahankan kesehatannya. Secara general health literacy dikatakan
dapat meningkatkan pengetahuan kesehatan serta membantu
individu/masyarakat dalam pengambilan keputusan yang tepat tentang
kesehatan mereka (Jones et al., 2011; Nutbeam & Kickbusc h, 2000).
Health literacy yang rendah merupakan penghalang dalam meningkatkan
hasil kesehatan pada pasien diabetes dan pasien dengan kondisi kronis
lainnya, serta dapat menyebabkan diagnosis penyakit yang tertunda,
keterampilan perawatan diri yang rendah, peningkatan penggunaan
layanan darurat, tingkat rawat inap yang tinggi, peningkatan kejadian
berbagai penyakit, dan pada akhirnya melipat gandakan tingkat kematian
(Al Sayah, Su mit R. Majumdar, Beverly Williams, Sandy Robertson,
2012; Javadzade et al., 2012).
Secara teori health literacy yang rendah akan menghasilkan self
care management yang rendah begitupun dengan responden yang
memiliki health literacy tinggi akan menghasilkan self care management
yang tinggi. Namun dalam penelitian ini didapatkan responden yang
memiliki health literacy yang rendah dengan self care management yang
tinggi yaitu 18 responden. Hal ini disebabkan karena komunikasi yang
baik antar petugas kesehatan dengan pasien sehingga walaupun responden
memiliki heath literacy yang rendah tapi pasien selalu mematuhi instruksi
yang disampaikan oleh petugas kesehatan. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Mulyati et al., (2013) komunikasi antar petugas pelayanan
kesehatan dengan pasien berhubungan dengan self care behavior dan
merupakan faktor paling dominan mempengaruhi kesuksesan self care
behavior sehingga kemampuan komunikasi sangat diperlukan dalam
implementasi asuhan keperawatan.
Adapun yang health literacy- nya tinggi dengan self care
management yang rendah sebanyak 20 responden. Hal ini disebabkan

59
karena motivasi yang kurang dari responden. Dimana responden yang
mengetahui bahwa penyakit diabetes mellitus terdapat beberapa makanan
yang harus di hindari atau dikurangi namun responden tetap
mengkomsumsi makanan tersebut karena mereka berprinsip bahwa tanpa
menghindari makanan tersebut mereka tetap DM. Menurut Choi et al.,
(2014) motivasi merupakan faktor yang berkontribusi terhadap self care
diabetes. Pasien dengan motivasi yang tinggi cenderung dapat melakukan
self care diabetes lebih baik dibandingkan pada pasien yang memiliki
motivasi kurang.
5. Hubungan Self Efficacy dan Self Care Management Pasien DMT2
Self-efficacy dikenal sebagai salah satu sumber daya dalam
memberdayakan individu untuk melakukan tugas pribadi mereka. Self
efficacy merupakan penilaian diri seseorang terhadap kemampuannya
dalam mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu dan juga
dikenal sebagai salah satu sumber daya dalam memberdayakan individu
untuk melakukan tugas pribadi mereka (Oh et al., 2014).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, didapatkan hasil self
efficacy berhubungan signifikan terhadap self care management. Hal ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan Bohanny et al., (2013)
menyatakan bahwa pasien yang memiliki self efficacy lebih tinggi akan
memiliki perilaku perawatan diri yang lebih baik. Penelitian selanjutnya
dilakukan oleh Kav S , Yilmaz AA , Bulut Y, (2015) di Turki menyatakan
bahwa self efficacy memiliki hubungan yang positif dalam perawatan diri
pasien DM dan perawatan diri dibutuhkan dalam memaksimalkan
manajemen diri diabetes.
Salah satu temuan lain dari penelitian ini adalah hubungan yang
signifikan antara self-efficacy dan self care management dengan kata lain,
peningkatan self-efficacy pada pasien diabetes dapat meningkatkan self
care management pada pasien. Penelitian yang dilakukan oleh
Masoompour et al., (2017) dan Osborn et al., (2010) yang memperlihatkan
bahwa self efficacy memiliki hubungan yang positif dalam perawatan diri
pasien DM dan perawatan diri dibutuhkan dalam memaksimalkan

60
manajemen diri diabetes. Dengan demikian, self-efficacy yang dirasakan
merupakan faktor penting yang berkontribusi terhadap keberhasilan
praktik dan penggunaan keterampilan yang diperlukan. Efektivitas diri
yang dirasakan juga dapat berdampak pada upaya yang dilakukan dalam
menangani suatu tugas.
Dalam penelitian ini juga didapatkan responden self efficacy
rendah dan self care management yang tinggi. Hal ini disebabkan karena
responden mendapatkan dukungan keluarga dan dukungan sosial yang
baik untuk meningkatkan kepercayaan dan memberikan harapan pada
responden untuk meningkatkan self care management mereka. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan Mulyati et al., (2013), Ismonah
(2008) dan Rembang et al., (2017) yang menyatakan bahwa dukungan
keluarga dan dukungan sosial dapat mempengaruhi peningkatan self care
management responden.
Adapun yang self efficacy-nya tinggi dan self care management
yang rendah, dimana responden memiliki keyakinan dalam melaksanakan
self care dengan baik namun dalam pelaksanaannya mereka terkadang
lupa seperti meminum obat sesuai jadwal dan masih biasa terpengaruh
terhadap lingkungan sekitar misalnya, ketika mereka berada di suatu acara
mereka tidak mampu mengontrol makanan yang mereka makan. Hal ini
dipengaruhi oleh faktor usia dimana seiring dengan bertambahnya usia
akan terdapat beberapa perubahan yang terjadi seperti penurunan
pendengaran, penglihatan serta perubahan memori atau daya ingat yang
dimiliki.
6. Hubungan Health Literacy dan Self Efficacy Pada Pasien DMT2
Health literacy merupakan hal yang penting pada setiap individu
untuk diketahui karena berhubungan dengan kemampuan untuk
memperoleh informasi kesehatan dalam upaya meningkatkan dan
mempertahankan kesehatannya. Secara general health literacy dikatakan
dapat meningkatkan pengetahuan kesehatan serta membantu individu/
masyarakat dalam pengambilan keputusan yang tepat tentang kesehatan
mereka (Jones et al., 2011; Nutbeam & Kickbusc h, 2000). Dengan

61
kemampuan health literacy yang tinggi akan memungkinkan seseorang
untuk bertindak secara independen dalam mengatasi hambatan pribadi,
struktural, sosial, dan ekonomi (Sørensen et al, 2012). Selain health
literacy, self efficacy juga penting dalam melakukan self care management
pada pasien DM, Self-efficacy dikenal sebagai salah satu sumber daya
dalam memberdayakan individu untuk melakukan tugas pribadi mereka.
pasien dengan diabetes mellitus harus menerapkan pengetahuan dalam
pengambilan keputusan agar mampu mengaplikasikan self efficacy secara
optimal melalui peningkatan health literacy. Dengan demikian,
keterampilan orang dalam memperoleh dan menerapkan pengetahuan
terkait kesehatan dapat memberi efek yang signifikan pada kesejahteraan
individu (Soltani, 2015).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, didapatkan hasil
health literacy berhubungan signifikan terhadap self efficacy. Dimana
seseorang yang memiliki pengetahuan yang baik terkait penyakitnya akan
timbul suatu keyakinan dalam dirinya untuk melakukan sesuatu hal yang
dapat membantu dalam mencapai tujuannya terkait kesehatan mereka. Hal
ini didukung oleh penelitian yang di lakukan Masoompour et al., (2017)
dengan menggunakan 400 responden DM yang menunjukkan bahwa
adanya korelasi langsung yang signifikan antara health literacy dan self
efficacy. Hal ini menunjukkan bahwa dengan health literacy yang baik
individu/masyarakat dapat memiliki keyakinan dalam melakukan
perawatan diri dengan upaya meningkatkan dan mempertahankan
kesehatannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Nurkhasanah pada tahun 2015
menggunakan metode cross sectional dengan 142 responden yang
menggunakan instrumen HLS-Asia-Q untuk health literacy dan Self
Efficacy for Diabetes (SED) untuk self efficacy menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara tingkat health literacy dengan self efficacy.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Rafiezadeh, et al (2015) yang
menggunakan 100 pasien DM menunjukan bahwa ada hubungan yang

62
signifikan antara health literacy dan self efficacy. Hal ini disebabkan oleh
tingkat pendidikan, status pekerjaan dan akses informasi.
7. Hubungan Health Literacy, Self Efficacy Terhadap Self Care
Management Pasien DMT2.
Berdasarkan hasil uji statistik pada penelitian ini, didapatkan nilai
hubungan langsung yaitu health literacy terhadap self care management
dengan nilai p=0,000, hubungan health literacy terhadap self efficacy
dengan nilai p=0,003 dan hubungan langsung self efficacy terhadap self
care management yaitu p=0,009. Dengan demikian kedua variabel
tersebut berhubungan langsung dengan variabel self care management
namun dari hasil statistik didapatkan bahwa nilai hubungan langsung yaitu
health literacy terhadap self care management lebih baik hasilnya yaitu
≤0,005 dibanding jika melalui self efficacy. Penelitian ini membuktikan
bahwa health literacy mempunyai pengaruh yang besar dalam mengubah
self care management seseorang, dimana seseorang yang memiliki
pengetahuan yang baik terkait penyakitnya akan memiliki kemampuan
dalam melakukan hal-hal untuk mencapai tujuan terkait penyakitnya,
dibanding seseorang yang tidak memiliki pengetahuan yang baik. Menurut
teori dari Nutbeam (2015) dan Sørensen et al, (2012) bahwa seseorang
yang memiliki kemampuan health literacy yang baik akan memungkinkan
seseorang tersebut untuk bertindak secara independen dalam mengatasi
hambatan pribadi, struktural, sosial, dan ekonomi mereka.
Hal tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Xu, et
al (2008) yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak berhubungan
langsung dengan self management. Penelitan tersebut juga menyimpulkan
bahwa pengetahuan saja tidak dapat mengubah perilaku seseorang, oleh
karena itu dibutuhkan faktor lain yaitu self efficacy yang mendukung
perubahan perilaku seseorang terkait penyakitnya.
Pasien dengan health literacy dan self-efficacy yang baik dapat
memiliki motivasi yang lebih kuat untuk melakukan self care
management. Selain itu, self-efficacy adalah konsep dinamis yang dapat
dipromosikan untuk mempromosikan health literacy dan self-efficacy pada

63
pasien diabetes sehingga dapat dihasilkan self care management diabetes
yang tepat (Rezasefat Balesbaneh, et al 2014). Menurut Bandura, persepsi
self-efficacy pada individu merupakan faktor penting dalam kinerja mereka
karena bertindak sebagai bagian independen dari keterampilan dasar
seorang individu. Sebagaimana dinyatakan oleh Bandura (1994) self-
efficacy menentukan perasaan, pikiran, motivasi, dan perilaku. Dengan
demikian, hal tersebut diperhitungkan bahwa health literacy dan self
efficacy penting dalam pencapaian self care management yang baik.
B. Implikasi dalam keperawatan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya hubungan ketiga
variabel yaitu health literacy dan self efficacy terhadap self care management.
Namun jika dilihat dari model path analisis hasil uji statistik menunjukkan
bahwa hubungan langsung yaitu health literacy terhadap self care
management lebih baik dibanding hubungan tidak langsung yaitu health
literacy melalui self efficacy terhadap self care management. Oleh karena itu
health literacy mempunyai pengaruh yang besar dalam mengubah self care
management seseorang, dimana seseorang yang memiliki health literacy yang
baik, akan memiliki lebih baik keyakinan dalam melakukan hal-hal untuk
mencapai tujuan terkait kesehatannya. Health literacy seseorang dapat
ditingkatkan dengan memberikan pendidikan kesehatan yang memperhatikan
tingkat pendidikan, latar belakang budaya yang dimiliki seseorang, jenis
kelamin, pekerjaan dan usia mereka. Dengan demikian, perawat
disarankan memperhatikan metode pengajaran yang digunakan untuk pasien
tersebut harus sederhana, beragam dan spesifik untuk pasien yang berkaitan
dengan pendidikan, budaya, jenis kelamin, pekerjaan dan usia mereka. Selain
itu, sangat penting mengadakan sesi pelatihan untuk anggota keluarga dan
menyediakan layanan konseling individu dan keluarga untuk mempromosikan
strategi health literacy untuk mencapai self care management yang baik.

64
C. Keterbatasan Penelitian
Sebagaimana penelitian lain, penelitian ini juga tidak terlepas dari beberapa
keterbatasan. Adapun beberapa keterbatasan yang dirasakan dalam penelitian
ini, antara lain sebagai berikut:
1. Pertanyaan instrumen penelitian yang digunakan merupakan pertanyaan
tertutup sehingga tidak mampu menggali data lebih jauh seperti alasan
dan pendapat responden terhadap jawaban yang diberikan.
2. Dalam penelitian ini tidak menggali lebih jauh terkait sub skala pada
masing- masing variabel.
D. Rekomendasi
1. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan kuesioner untuk health
literacy yang mengkaji beberapa sub skala untuk health literacy seperti
health literacy fungsional, komunikatif dan kritikal.
2. Penelitian selanjutnya dapat membandingkan health literacy, self efficacy
dan self care management pasien yang telah mengalami komplikasi dan
yang belum. Dapat juga di bandingkan dari lama menderita diabetes
mellitus.
3. Penelitian selanjutnya dapat melihat hubungan karakteristik responden
terhadap health literacy, self efficacy dan self care management.
4. Disarankan untuk lebih rutin melakukan pendidikan kesehatan terhadap
anggota PROLANIS khususnya pada Pasien DM. Dalam melakukan
pendidikan kesehatan diharapkan memisahkan pasien DM dan pasien
kronis lainnya agar dapat memaparkan materi khusus diabetes.
5. Dalam memberikan informasi kesehatan, perawat dan petugas kesehatan
lainnya untuk memperhatikan tingkat health literacy, self efficacy dan
self care management pasien.

65
BAB VII
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa karakteristik


responden dalam penelitian ini, pada umumnya adalah perempuan dengan usia
responden yang sudah mencapai lanjut usia dengan rata-rata berusia 59 tahun dan
responden memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dengan lama menderita DMT2
selama 6 tahun dan rata-rata responden telah mengalami komplikasi. Selain itu,
Penelitian ini menggambarkan rata- rata tingkat health literacy, self efficacy dan
self care management rendah pada pasien DMT2 di Puskesmas Kota Makassar
(Puskesmas Batua, Antang dan Bara-barayya), ditinjau dari sub skala pada
variabel self care management didapatkan sub skala kontrol gula darah, diet, dan
aktifitas fisik responden masih dalam kategori rendah, di mana yang paling rendah
adalah pada sub skala kontrol diet dan sub skala penggunaan pelayanan kesehatan
sudah memperlihatkan hal yang baik dimana rata-rata responden telah
menggunakan pelayanan kesehatan untuk perawatan penyakitnya. Serta,
didapatkan hubungan health literacy dan self-efficacy terhadap self care
management namun dari hasil analysis path didapatkan, bahwa health literacy
mempunyai pengaruh yang besar dalam mengubah self care management
seseorang, dimana seseorang yang memiliki health literacy yang baik, akan
memiliki lebih baik keyakinan dalam melakukan hal-hal untuk mencapai tujuan
terkait kesehatannya. Oleh karena itu, health literacy yang baik lebih berpeluang
untuk melaksanakan self care management DM dengan baik.

66
DAFTAR PUSTAKA

A Rezasefat Balesbaneh , N Mirhaghjou * 1, M Jafsri Asl , SH Kohmanaee , E


Kazemnejad Leili, A. M. (2014). Correlation between self-care and self-
efficacy in adolescents with type 1 diabetes. Journal of Holistic Nursing and
Widwifery, 24(2), 7.
Abrahamson, K., Arling, P., & Gillette, J. (2013). Does self-efficacy influence the
application of evidence-based practice: A survey and structural equation
model. Journal of Nursing Education and Practice, 3(5), 1–8.
https://doi.org/10.5430/jnep.v3n5p1
Al-Maskari, M. Y., Al-Shookri, A. O., Al-Adawi, S. H., & Khor G. Lin. (2011).
Assessment of quality of life in patients with type 2 diabetes mellitus in
Oman. Saudi Med J 2011, 32(12), 1285–1290.
Alligood, M. R. (2014). Nursing Theorists and Their Work (8th edn). Nursing
Theorists and Their Work (8th edn).
https://doi.org/10.5172/conu.2007.24.1.106a
AMERICAN DIABETES ASSOCIATION. (2010). Diagnosis and classification
of diabetes mellitus. Diabetes Care, 33(SUPPL. 1).
https://doi.org/10.2337/dc10-S062
AMERICAN DIABETES ASSOCIATION. (2018). Standards of Medical Care in.
The Journal of Clinical and Applied Research and Education, 38(January
2015), Supplement 1. https://doi.org/10.2337/dc13-S011
Ashida, S., Goodman, M., Pandya, C., Koehly, L. M., Lachance, C., Stafford, J.,
& Kaphingst, K. A. (2011). Age differences in genetic knowledge, health
literacy and causal beliefs for health conditions. Public Health Genomics,
14(4–5), 307–316. https://doi.org/10.1159/000316234
Bai, Y.-L., Chiou, C.-P., & Chang, Y.-Y. (2009). Self-care behaviour and related
factors in older people with Type 2 diabetes. Journal of Clinical Nursing,
18(23), 3308–3315. https://doi.org/10.1111/j.1365-2702.2009.02992.x
Bandura, A., & Locke, E. A. (2003). Negative self-efficacy and goal effects
revisited. Journal of Applied Psychology, 88(1), 87–99.
https://doi.org/10.1037/0021-9010.88.1.87
Beckerle, C. M., & Lavin, M. A. (2013). Association of self-efficacy and self-care
with glycemic control in diabetes. Diabetes Spectrum, 26(3), 172–178.
https://doi.org/10.2337/diaspect.26.3.172
Berkman, N. D., Davis, T. C., & McCormack, L. (2010). Health literacy: What is
it? Journal of Health Communication, 15(SUPPL. 2), 9–19.
https://doi.org/10.1080/10810730.2010.499985
Bohanny, W., Wu, S.-F. V., Liu, C.-Y., Yeh, S.-H., Tsay, S.-L., & Wang, T.-J.
(2013). Health literacy, self-efficacy, and self-care behaviors in patients with
type 2 diabetes mellitus. Journal of the American Association of Nurse
Practitioners, 25(9), 495–502. https://doi.org/10.1111/1745-7599.12017
Chang, M., & Kelly, A. E. (2007). Patient Education : Addressing Literacy Issues.

67
Urologic Nursing, 27(5), 411–418.
Choi, S., Song, M., Chang, S. J., & Kim, S. A. (2014). Strategies for enhancing
information, motivation, and skills for self-management behavior changes: A
qualitative study of diabetes care for older adults in Korea. Patient
Preference and Adherence, 8, 219–226. https://doi.org/10.2147/PPA.S58631
Cutilli, C. C., & Bennett, I. M. (2009). Understanding the health literacy of
America: results of the National Assessment of Adult Literacy. Orthopedic
Nursing, 28(1), 27–34.
https://doi.org/10.1097/01.NOR.0000345852.22122.d6
Dehghani-Tafti, A., Mazloomy Mahmoodabad, S. S., Morowatisharifabad, M. A.,
Afkhami Ardakani, M., Rezaeipandari, H., & Lotfi, M. H. (2015).
Determinants of Self-Care in Diabetic Patients Based on Health Belief
Model. Global Journal of Health Science, 7(5), 33–42.
https://doi.org/10.5539/gjhs.v7n5p33
DeVellis, B. M. (2013). Self-efficacy theory. Patient Education Newsletter, 6(2),
4–6. https://doi.org/10.1007/978-1-4419-6868-5
Dharma, K. K. (2015). Metodologi Penelitian Keperawatan: Panduan
Melaksanakan dan Menerapkan Hasil Penelitian. Jakarta: CV. Trans Info
Media.
Didarloo, A.; Shojaeizadeh, D.; Eftekhar Ardebili, H.; Niknami, S.; Hajizadeh, E.;
Alizadeh, M. (2011). Assessment of factors affecting self-care behavior
among women with type 2 diabetes in Khoy City Diabetes Clinic using the
extended theory of reasoned action. Journal of School of Public Health &
Institute of Public Health Research, 9(2), 79–92.
Dinas kesehatan Kota Makassar. (2017). Rekapitulasi PTM Diabetes Mellitus
2017. Makassar.
Fatima Al Sayah, Sumit R. Majumdar, Beverly Williams, Sandy Robertson, J. A.
J. (2012). Health Literacy and Health Outcomes in Diabetes: A Systematic
Review. Journal of General Internal Medicine, 28(3), 444–452.
https://doi.org/10.1007/s11606-012-2241-z
Gani, N. F., Kadar, K. S., & Kaelan, C. (2017). Health Literacy and Self-Care
Management of Pregnant Women At Level 1 Health Service in Makassar.
Indonesian Contemporary Nursing Journal, 1(2), 94–100. Retrieved from
journal.unhas.ac.id/index.php/icon/article/download/3592/2130
Gordon Singh, S., & Aiken, J. (2017). The effect of health literacy level on health
outcomes in patients with diabetes at a type v health centre in Western
Jamaica. International Journal of Nursing Sciences, 4(3), 266–270.
https://doi.org/10.1016/j.ijnss.2017.06.004
Guariguata, L., Whiting, D. R., Hambleton, I., Beagley, J., Linnenkamp, U., &
Shaw, J. E. (2014). Global estimates of diabetes prevalence for 2013 and
projections for 2035. Diabetes Research and Clinical Practice, 103(2), 137–
149. https://doi.org/10.1016/j.diabres.2013.11.002
Heijmans, M., Waverijn, G., Rademakers, J., van der Vaart, R., & Rijken, M.

68
(2015). Functional, communicative and critical health literacy of chronic
disease patients and their importance for self-management. Patient Education
and Counseling, 98(1), 41–48. https://doi.org/10.1016/j.pec.2014.10.006
HLS-EU-Consortium. (2012). HLS-EU 2012 Q-Tools and Introduction. Executive
Agency for Health Consumers, 1–14.
IDF. (2016). International Diabetes Federation - Home. Retrieved from
https://www.idf.org/
Ismonah. (2008). Analsis Faktor-faktor yang berhubungan dengan self care
management diabetes melitus dalam konteks asuhan keperawatan di RS Panti
Wilasa Citarum Semarang.
Javadzade, S. H., Sharifirad, G., Radjati, F., Mostafavi, F., Reisi, M., &
Hasanzade, A. (2012). Relationship between health literacy, health status,
and healthy behaviors among older adults in Isfahan, Iran. Journal of
Education and Health Promotion, 1(August), 31.
https://doi.org/10.4103/2277-9531.100160
Jones, C. A., Mawani, S., King, K. M., Allu, S. O., Smith, M., Mohan, S., &
Campbell, N. R. C. (2011). Tackling health literacy: Adaptation of public
hypertension educational materials for an Indo-Asian population in Canada.
BMC Public Health, 11, 1471–2458. https://doi.org/10.1186/1471-2458-11-
24
Kav S , Yilmaz AA , Bulut Y, D. (2015). Self-efficacy, depression and self-care
activities of people with type 2 diabetes in Turkey, 24(1), 27–35. Retrieved
from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/29218959
Koponen, A. M., Simonsen, N., & Suominen, S. (2017). Determinants of physical
activity among patients with type 2 diabetes: the role of perceived autonomy
support, autonomous motivation and self-care competence. Psychology,
Health & Medicine, 22(3), 332–344.
https://doi.org/10.1080/13548506.2016.1154179
Lauder, W., Watson, R., Topping, K., Holland, K., Johnson, M., Porter, M., …
Behr, A. (2008). An evaluation of fitness for practice curricula: Self-efficacy,
support and self-reported competence in preregistration student nurses and
midwives. Journal of Clinical Nursing, 17(14), 1858–1867.
https://doi.org/10.1111/j.1365-2702.2007.02223.x
Mankan, T., Erci, B., Bahçecioğlu Turan, G., & Aktürk, Ü. (2017). Turkish
validity and reliability of the Diabetes Self-Efficacy Scale. International
Journal of Nursing Sciences, 4(3), 239–243.
https://doi.org/10.1016/j.ijnss.2017.05.001
Masoompour, M., Tirgari, B., & Ghazanfari, Z. (2017). The Relationship between
Health Behaviors in Diabetic Patients, (098 51), 16–25.
https://doi.org/10.22038/EBCJ.2017.24826.1551
Mehravar, F., Mansournia, M. A., Holakouie-Naieni, K., Nasli-Esfahani, E.,
Mansournia, N., & Almasi-Hashiani, A. (2016). Associations between
diabetes self-management and microvascular complications in patients with

69
type 2 diabetes. Epidemiology and Health, 38, e2016004.
https://doi.org/10.4178/epih/e2016004
Muhlisin, A., & Irdawati. (2010). Teori self care dari Orem dan pendekatan dalam
praktek keperawatn. Berita Ilmu Keperawatan, 2(2), 97–100. Retrieved from
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/2044/BIK_Vol_2_
No_2_9_Abi_Muhlisin.pdf?sequence=1
Mulyati, L., Yetti, K., Sukmarini, L., Tinggi, S., Kesehatan, I., Keperawatan, F. I.,
& Indonesia, U. (2013). Analisis Faktor yang Memengaruhi Self
Management Behaviour pada Pasien Hipertensi Analysis of Factors Effecting
Self-Management Behaviour among Patients with Hypertension. Jurnal Ilmu
Kesehatan Bhakti Husada, 1 nomor 2, 112–123.
Ncama, B. P. (2011). Self , self-care and self-management concepts : implications
for self-management education, (August 2016).
Nurjanah, N., & Rachmani, E. (2014). Demography and Social Determinants of
Health Literacy in Semarang City Indonesia. Asian Health Literacy
Association, 2014. Retrieved from
http://journal.frontiersin.org/article/10.3389/fpubh.2017.00281/full
Nutbeam, D. (2008). The evolving concept of health literacy. Social Science and
Medicine, 67(12), 2072–2078.
https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2008.09.050
Nutbeam, D. (2015). Defining, measuring and improving health literacy. Health
Evaluation and Promotion, 42(4), 450–456.
https://doi.org/10.7143/jhep.42.450
Nutbeam, D., & Kickbusch, I. (2000). Advancing health literacy: a global
challenge for the 21st century. Health Promotion International, 15(3), 183–
184. https://doi.org/10.1093/heapro/15.3.183
Nwankwo, C. H.; Nandy, B.; Nwankwo, B. O. (2010). Factors influencing
diabetes management outcome among patients attending government health
facilities in South East, Nigeria. International Journal of Tropical Medicine,
5, 28–36. Retrieved from http://docsdrive.com/.../28-36.pdf
Oh, E., Yang, Y., Kim, S., Yoo, J., & Lee, H. (2014). Level of knowledge, self-
efficacy, and attitude for evidence-based practice among undergraduate
nursing students. INTERNATIONAL JOURNAL OF EVIDENCE-BASED
HEALTHCARE, 204. https://doi.org/10.1097/01.XEB.0000455212.87444.7c
Osborn, C. Y., Cavanaugh, K., Wallston, K. A., & Rothman, R. L. (2010). Self-
efficacy links health literacy and numeracy to glycemic control. Journal of
Health Communication, 15(SUPPL. 2), 146–158.
https://doi.org/10.1080/10810730.2010.499980
Ownby, R. L., Waldrop-Valverde, D., & Taha, J. (2012). Why Is Health Literacy
Related to Health? An Exploration Among U.S. National Assessment of
Adult Literacy Participants 40 Years of Age and Older. Educational
Gerontology, 38(11), 776–787.
https://doi.org/10.1080/03601277.2011.645441

70
Pallant, J. (2013). SPSS Survival Manual: A Step By Step Guide To Data Analysis
Using IBM SPSS (5th ed.). Allen&Unwin.
Pawlak, R. (2005). Econimic Considerations of Health Literacy. Nursing
Economic, 23, 173–180.
PERKENI. (2015). Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
indonesia 2015. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PB
PERKENI).
Rafiezadeh Gharrehtapeh Sh. , Tabarsy B. , Hassanjani S. , Razavi M. , Amjady
M., H. H. (2015). Relationship Between The Health Literacy With
Selfefficacy Of The Diabetic Patient‟s Type 2 Referred To Gorgan City
Clinic In 2014. Jurnal Diabetes Nursing Summer 2015 , Volume 3 , Nomor
2 ; Halaman (S) 30 Hingga 42 ., 3, 30–42.
RI, K. K. (2015). Program Indonesia Sehat Untuk Atasi Masalah Kesehatan.
Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI,
2–4. Retrieved from
http://www.depkes.go.id/article/print/15020400002/program-indonesia-
sehat-untuk-atasi-masalah-kesehatan.html
RISKESDAS. (2013). RISET KESEHATAN DASAR. Retrieved from
www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil Riskesdas
2013.pdf%0A
Safila, I. (2015). Hubungan Antara Tingkat Literasi Kesehatan Dengan Diabetes
Aktivitas Diri Perlindungan Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di
Kabupaten Sleman. Universitas Gadjah Mada.
Santosa, K. S., Ilmu, F., Masyarakat, K., Pascasarjana, P., & Kesehatan, I. (2012).
Faktor-faktor..., Karina Samaria Santosa, FKM UI, 2012.
Sastroasmoro, S., & Ismail, S. (2014). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis
(5 ed.). Sagung Seto.
Sastroasmoro, S., & Ismail, S. (2014). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis
(5th ed.). Sagung Seto.
Schmitt, A., Gahr, A., Hermanns, N., Kulzer, B., Huber, J., & Haak, T. (2013).
The Diabetes Self-Management Questionnaire (DSMQ): Development and
evaluation of an instrument to assess diabetes self-care activities associated
with glycaemic control. Health and Quality of Life Outcomes, 11(1), 1.
https://doi.org/10.1186/1477-7525-11-138
Shigaki, C., Kruse, R. L., Mehr, D., Sheldon, K. M., Bin Ge, Moore, C., &
Lemaster, J. (2010). Motivation and diabetes self-management. Chronic
Illness, 6(3), 202–214. https://doi.org/10.1177/1742395310375630
Singleton, K., & Krause, E. M. S. (2009). Understanding Cultural and Linguistic
Barriers to Health Literacy. OJIN: The Online Journal of Issues in Nursing,
14. https://doi.org/10.3912/OJIN.Vol14No03Man04
Soemitro, D. H. (2014). Analisis Tingkat Health Literacy dan Pengetahuan Pasien
Hipertensi di Puskesmas Kabupaten Malang. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Universitas Surabaya, 3(1), 1–17.

71
Soltani, F. (2015). The relationship between self- care and self- efficacy in
patients undergoing coronary artery bypass graft in Kerman. Iran: School of
Nursing and Midwifery Secret. Kerman University of Medical Sciences.
Sørensen, Kristine, Broucke, Stephan Van den, Pelikan, Jürgen M, Fullam, James,
Doyle, Gerardine, Slonska, Zofia, Kondilis, Barbara, Stoffels, Vivian,
Osborne, Richard H, Brand, H. (2013). Measuring health literacy in
populations: illuminating the design and development process of the
European Health Literacy Survey Questionnaire (HLS-EU-Q). BMC Public
Health, 1471–2458. https://doi.org/https://doi.org/10.1186/1471-2458-13-
948
Sorensen, K., Van den Broucke, S., Fullam, J., Doyle, G., Pelikan, J., Slonska, Z.,
& Brand, H. (2012). Health literacy and public health: a systematic review
and integration of definitions and models. BMC Public Health, 12(80), 13.
https://doi.org/10.1186/1471-2458-12-80
Speros, C. I. (2009). More than Words: Promoting Health Literacy in Older
Adults. The Online Journals of Issues in Nursing, 14.
https://doi.org/10.3912/OJIN.Vol14No03Man05
Srivastava, P. K., Srivastava, S., Singh, A. K., & Dwivedi, K. N. (2013). Role of
self care in Management of Diabetes Mellitus. Journal of Diabetes &
Metabolic Disorders, 12(14), 1–5. https://doi.org/10.7897/2230-8407.0613
Sturt, J., Hearnshaw, H., & Wakelin, M. (2010). Validity and reliability of the
DMSES UK: A measure of self-efficacy for type 2 diabetes self-
management. Primary Health Care Research and Development, 11(4), 374–
381. https://doi.org/10.1017/S1463423610000101
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sugiyono. (2013). Metode penelitian manajemen: Pendekatan kuantitatif,
kualitatif, kombinasi (mixed methods), penelitian tindakan (Action
Research), penelitian evaluasi. Bandung: Alfabeta.
Tewahido, D., & Berhane, Y. (2017). Self-care practices among diabetes patients
in Addis Ababa: A qualitative study. PLoS ONE, 12(1), 1–10.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0169062
Toobert, D. J., Hampson, S. E., & Glasgow, R. E. (2000). The Summary of
Diabetes Self-Care. Diabetes Care Journal, 23(7), 943–950.
https://doi.org/10.2337/diacare.23.7.943
Tucker, S. J., Olson, M. E., & Frusti, D. K. (2009). Evidence-Based Practice Self-
efficacy Scale; Preliminary Reliability and Validity. Clinical Nurse
Specialist, 23(4), 207–215. https://doi.org/10.1097/NUR.0b013e3181aae8c6
Vini Paskalini Rembang Mario E. Katuuk Reginus Malara. (2017). Hubungan
Dukungan Sosial Dan Motivasi Dengan Perawatan Mandiri Pada Pasien
Diabetes Dalam Rsud Mokopido Toli-Toli. E-Journal Keperawatan (E-Kp),
5(1), 10.
Webb, E. M., Rheeder, P., & Zyl, D. G. Van. (2014). Diabetes care and

72
complications in primary care in the Tshwane district of South Africa.
Primary Care Diabetes, 8–15. https://doi.org/10.1016/j.pcd.2014.05.002
Weinert, C., Cudney, S., & Kinion, E. (2010). Development of my health
companion© to enhance self-care management of chronic health conditions
in rural dwellers. Public Health Nursing, 27(3), 263–269.
https://doi.org/10.1111/j.1525-1446.2010.00852.x
Xu, Y., Toobert, D., Savage, C., Pan, W., & Whitmer, K. (2008). Factors
influencing diabetes self-management in chinese people with type 2 diabetes.
Research in Nursing and Health, 31(6), 613–625.
https://doi.org/10.1002/nur.20293
Zhang, Y., Zhang, F., Hu, P., Huang, W., Lu, L., Bai, R., … Zhao, Y. (2016).
Exploring Health literacy in medical university students of Chongqing,
China: A cross-sectional study. PLoS ONE, 11(4), 1–10.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0152547

73
ALGORITMA PENCARIAN

Google Scholar Science direct Pubmed


n= 1.030 n= 32 n= 93

Skrining judul /Abstrak


Ekslusi n= 1.057

Artikel yang relevan


n= 98

Duplikasi
n= 60

Pencarian sekunder Literatur inklusi


n= 20 n= 38

Total literatur
n= 58

74
LEMBAR PERSETUJUAN SEBAGAI RESPONDEN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :


No. responden : ……………………….……………………..
Inisial : …………………………..………………….
Alamat : ………………………………………………
Setelah mendengar/membaca penjelasan yang diberikan, maka saya
bersedia menjadi responden pada penelitian yang dilakukan oleh Fitri A. Sabil.
Saya mengerti bahwa pada penelitian ini ada beberapa pernyataan-pernyataan
yang harus saya jawab, dan sebagai responden saya akan menjawab pernyataan
yang diajukan dengan jujur.
Saya menjadi responden bukan karena adanya paksaan dari pihak lain,
namun karena keinginan saya sendiri, dan tidak ada biaya yang akan
ditanggungkan kepada saya sesuai dengan penjelasan yang sudah dijelaskan oleh
peneliti.
Hasil yang diperoleh dari saya sebagai responden dapat dipublikasikan
sebagai hasil dari penelitian dan akan diseminarkan pada ujian hasil dengan tidak
akan mencantumkan nama kecuali nomor informan.

Makassar, 2018

Responden

75
KUESIONER PENELITIAN

HUBUNGAN HEALTH LITERACY DAN SELF EFFICACY


TERHADAP SELF CARE MANAGEMENT
PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE 2
DI PUSKESMAS KOTA MAKASSAR

Petunjuk Pengisian
1. Bacalah dengan cermat setiap pertanyaan dalam kuesioner ini
2. Isilah titik-titik dengan jawaban yang benar
3. Pilihlah salah satu jawaban yang sesuai dengan kondisi bapak/ibu saat ini
dengan cara memberikan tanda (√ ) pada pilihan jawaban
A. Karakteristik demografi responden
1. Nama : ……………………………………..
2. Umur : ……………………………………..
3. Jenis kelamin : VV Laki- laki Perempuan
4. Pendidikan :
nnn Tidak tamat SD
Tamat SD
SMP
SMA
Perguruan tinggi
5. Pekerjaan :
Tidak bekerja Pegawai swasta
Petani PNS
Wiraswasta Lain-lain…………
TNI/ Polri
6. Pendapatan perbulan : Kurang dari (≤ ) 2.400.000
Lebih dari ( ≥) 2.500.000
7. Lama menderita DM :

8. Komplikasi :

76
Kuesioner 1: Health Literacy
Terdapat 16 pertanyaan yang merupakan bagian dari HLS-EU-47Q
Dalam range sangat mudah sampai sangat sulit, Seberapa mudah Anda menilai
tentang hal di bawah ini : (CEKLIS (√ ) PADA NOMOR YANG SESUAI)

1. 2. 3. 4.
Dalam skala dari sangat mudah hingga sangat
No Sangat Cuku Cukup Sangat
sulit, seberapa mudah anda untuk:……
sulit p sulit mudah mudah
Menemukan informasi tentang perawatan/pengobatan
Q1
penyakit yang menjadi perhatian anda ?
Mencari tahu dimana mencari tenaga kesehatan ketika anda
Q2
sakit ?

Q3 Memahami apa yang dokter jelaskan kepada anda?

Memahami instruksi dokter atau apoteker bagaimana cara


Q4
meminum obat yang diresepkan ?

Q5 Menilai kapan anda membutuhkan pendapat dari dokter lain?

Menggunakan informasi yang diberikan oleh dokter untuk


Q6
membuat keputusan tentang sakit anda?

Q7 Mematuhi instruksi dari dokter atau apoteker anda?

Menemukan informasi bagaimana mengatur kesehatan


Q8
mental misalnya stress atau depresi ?
Memahami peringatan tentang kesehatan seperti perilaku
Q9
merokok, kurang olah raga, terlalu banyak minum alkohol?
Memahami mengapa Anda membutuhkan deteksi dini
Q10
penyakit (health screening)?

Menilai apakah informasi kesehatan di media dapat


Q11
dipercaya?

Memutuskan bagaimana anda dapat melindungi diri sendiri


Q12
dari penyakit berdasarkan informasi dari media ?
Menemukan informasi tentang aktivitas yang baik untuk
Q13
kesehatan mental anda ?
Memahami nasehat tentang kesehatan dari keluarga atau
Q14
teman ?
Memahami informasi di media tentang bagaimana menjadi
Q15
lebih sehat ?
Memberi penilaian kegiatan sehari-hari yang mempengaruhi
Q16
kesehatan anda

77
Kuesioner 2: self efficacy

Kuesioner Self-Efficacy bagi Penderita Diabetes


Kami ingin mengetahui bagaimana kepercayaan diri anda dalam melakukan
kegiatan-kegiatan tertentu. Untuk setiap pertanyaan dibawah ini, silahkan pilih
angka yang sesuai dengan kepercayaan diri anda untuk dapat melakukan
tugas-tugas tersebut secara teratur saat ini.

1. Seberapa yakinkah anda


bahwa anda dapat Sama | | | | | | | | | | Sangat
tidak
sekali 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 yakin sekali
makan makanan anda yakin
setiap 4 sampai 5 jam
setiap hari, termasuk
sarapan setiap hari?
2. Seberapa yakinkah anda
rasa dapat mengikuti Sama | | | | | | | | | | Sangat
diet anda pada saat anda tidak
sekali 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 yakin sekali
yakin
harus menyiapkan
makanan atau membagi
makanan dengan orang
lain yang tidak
menderita diabetes?
3. Seberapa yakinkah anda
rasa bahwa anda dapat Sama | | | | | | | | | | Sangat
memilih makanan yang tidak
sekali 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 yakin sekali
yakin
sesuai/tepat untuk
dimakan pada saat anda
lapar? (contohnya:
makanan ringan/snack)
4. Seberapa yakinkah anda
rasa bahwa anda dapat Sama | | | | | | | | | | Sangat
berolahraga 15 sampai tidak
sekali 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 yakin sekali
yakin
30 menit, 4 sampai 5
kali seminggu?
5. Seberapa yakinkah anda
rasa bahwa anda dapat Sama | | | | | | | | | | Sangat
melakukan sesuatu tidak
sekali 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 yakin sekali
yakin
untuk mencegah tingkat
gula darah anda
menurun pada saat anda
berolahraga?

78
6. Seberapa yakinkah anda
rasa bahwa anda Sama | | | | | | | | | | Sangat
mengetahui apa yang tidak
sekali 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 yakin sekali
yakin
dilakukan ketika tingkat
gula darah anda menjadi
lebih tinggi atau lebih
rendah daripada
seharusnya?
7. Seberapa yakinkah anda
rasa bahwa anda dapat Sama | | | | | | | | | | Sangat
memutuskan jika terjadi tidak
sekali 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 yakin sekali
yakin
perubahan pada penyakit
anda yang
mengharuskan anda
memeriksakan diri ke
dokter?
8. Seberapa yakinkah anda
rasa bahwa anda dapat Sama | | | | | | | | | | Sangat
mengontrol penyakit tidak
sekali 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 yakin sekali
yakin
diabetes anda sehingga
tidak akan mengganggu
hal-hal yang ingin anda
lakukan?

Scoring
Skor untuk setiap pertanyaan adalah angka yang dilingkari. Jika ada dua angka
berurutan yang dilingkari, gunakan angka yang lebih rendah (self-efficacy yang
lebih rendah). Jika kedua angka tersebut tidak berurutan, jangan catat skor untuk
pertanyaan tersebut. Skor akhir adalah rata-rata dari enam pertanyaan. Jika lebih
dari dua pertanyaan tidak dijawab, jangan hitung skor akhir. Angka yang lebih
tinggi menandadakan self-efficacy

79
Kuesioner 3: Self Care Management
Diabetes Self-Management Questionnaire (DSMQ)
Ceklislah (√ ) pada nomor yang menurut anda sesuai dengan kemampuan perawatan diri anda.

No Pernyataan - pernyataan berikut ini


menggambarkan aktivitas - aktivitas Sangat Cukup Agak Tidak
perawatan diri yang terkait dengan sesuai sesuai sesuai sesuai
penyakit diabetes anda. Pikirkan kembali bagi saya bagi saya bagi saya bagi saya
perawatan diri anda selama 8 minggu
terakhir, silahkan tentukan sejauh mana
setiap pernyataan sesuai dengan kondisi
anda.
1 Saya memeriksa kadar gula darah dengan
hati-hati dan penuh perhatian. ☐4 ☐3 ☐2 ☐1
☐ Pengukuran gula darah tidak
diperlukan sebagai bagian dari perawatan
saya.
2 Makanan yang saya pilih untuk dimakan
memudahkan saya mencapai kadar gula ☐4 ☐3 ☐2 ☐1
darah optimal.
3 Saya menyimpan semua perjanjian
dengan dokter yang direkomendasikan ☐4 ☐3 ☐2 ☐1
untuk perawatan diabetes saya
4 Saya meminum obat diabetes saya
(misalnya insulin, tablet) seperti yang ☐4 ☐3 ☐2 ☐1
ditentukan/ resepkan.
☐ Obat diabetes / insulin tidak
diperlukan sebagai bagian dari perawatan
saya.
5 Kadang-kadang saya makan banyak
makanan manis atau makanan lainnya ☐4 ☐3 ☐2 ☐1
yang kaya akan karbohidrat.
6 Saya mencatat kadar gula darah saya
secara teratur (atau menganalisis nilai ☐4 ☐3 ☐2 ☐1
pada grafik dengan pengukuran glukosa
darah saya).
☐ Pengukuran gula darah tidak
diperlukan sebagai bagian dari perawatan
saya.
7 Saya cenderung menghindari perjanjian
dengan dokter yang terkait dengan ☐4 ☐3 ☐2 ☐1
diabetes
8 Saya melakukan aktifitas fisik secara
teratur untuk mencapai tingkat gula ☐4 ☐3 ☐2 ☐1
darah yang optimal
9 Saya secara ketat mengikuti rekomendasi
diet yang diberikan oleh dokter saya atau ☐4 ☐3 ☐2 ☐1

80
spesialis diabetes
10 Saya tidak cukup sering memeriksa
kadar/ tingkat gula darah saya seperti ☐4 ☐3 ☐2 ☐1
yang diperlukan untuk mencapai kontrol
glukosa darah yang baik
☐ Pengukuran gula darah tidak
diperlukan sebagai bagian dari
pengobatan/ perawatan saya
11 Saya menghindari aktifitas fisik,
walaupun hal tersebut bisa ☐4 ☐3 ☐2 ☐1
memperbaiki/meningkatkan diabetes
saya.
12 Saya cenderung lupa atau melewatkan
meminum obat diabetes saya (misalnya ☐4 ☐3 ☐2 ☐1
insulin, tablet-tablet)
☐ Obat diabetes/insulin tidak diperlukan
sebagai bagian dari perawatan saya.
13 Terkadang saya memiliki "rasa tidak bisa
mengontrol makan" (bukan dipicu oleh ☐4 ☐3 ☐2 ☐1
hipoglikemi)
14 Terkait dengan perawatan diabetes saya,
saya harus lebih sering bertemu dengan ☐4 ☐3 ☐2 ☐1
dokter medis saya
15 Saya cenderung untuk melewatkan
aktifitas fisik yang sudah direncanakan. ☐4 ☐3 ☐2 ☐1
16 Perawatan diri diabetes saya buruk
☐4 ☐3 ☐2 ☐1

81

Anda mungkin juga menyukai