Anda di halaman 1dari 4

Nama : Gusti Agung Nyoman Ananda Devi Semara Ratih

NIM : 1704551111
Mata Kuliah : Kapita Selekta Hukum Pidana
Kelas :A
ANALISIS KASUS

Direktorat Jenderal Pajak, dalam hal ini Penyidik di Kanwil DJP Riau dan
Kepulauan Riau, menjemput paksa “AP” tersangka kasus pengelapan pajak pada Hari Rabu,
18 Desember 2013 di Pekanbaru Riau. Selanjutnya, terhadap tersangka “AP” dilakukan
penangkapan dan penahanan dengan bantuan Korwas PPNS Polri.

Tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh “AP”, Wajib Pajak yang bergerak
dalam bidang perdagangan alat-alat elektronik, adalah sangkaan menyampaikan Surat
Pemberitahuan (SPT) tetapi isinya tidak benar, yaitu dengan cara melaporkan omzet yang
tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya untuk Tahun Pajak 2005 s.d. 2008. Atas
perbuatannya tersebut, diperkirakan negara mengalami kerugian sebesar Rp5 miliar.

Sebelumnya, tersangka “AP” tidak kooperatif terhadap pemanggilan Penyidik


Kanwil DJP Riau dan Kepulauan Riau dalam rangka melengkapi keterangan tambahan yang
diperlukan oleh Jaksa Peneliti. Setelah dua kali tidak memenuhi panggilan Penyidik tanpa
alasan, selanjutnya Penyidik berkoordinasi dengan Korwas PPNS Polri dalam rangka
permohonan bantuan membawa dan menghadapkan tersangka “AP” kepada Penyidik Kanwil
DJP Riau dan Kepulauan Riau.

Keberhasilan ini menunjukkan kesungguhan Ditjen Pajak dalam rangka


melaksanakan penegakan hukum di bidang perpajakan. Selain itu, terungkapnya kasus ini
diharapkan juga mampu memberikan efek jera (detterent effect) kepada seluruh Wajib Pajak
lainnya sehingga kepatuhan Wajib Pajak akan semakin meningkat.

PEMBAHASAN HASIL ANALISIS

Berdasarkan kasus diatas, tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh AP adalah
tindak pidana penggelepan pajak, dimana AP menyampaikan atau membuat Surat
Pemberitahuan (SPT) dengan isi yang tidak benar. Menurut ketentuan pada Pasal 3 ayat (1)
UU 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan menegaskan bahwa “Setiap Wajib
Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa
Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan
menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib
Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak.” Sehingga, memang perbuatan AP tersebut sudah melanggar peraturan terkait pajak.

Menurut Mardiasmo, penggelapan pajak (tax evasion) adalah usaha yang dilakukan
oleh wajib pajak untuk meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang-undang.
Dikarenakan melanggar undang-undang, penggelapan pajak ini dilakukan dengan
menggunakan cara yang tidak legal. Para wajib pajak sama sekali mengabaikan ketentuan
formal perpajakan yang menjadi kewajibannya, memalsukan dokumen, atau mengisi data
dengan tidak lengkap dan tidak benar.1 Pelaku tax evasion dapat dikenakan sanksi
administratif maupun sanksi pidana.

Dalam laporan kasus diatas, tidak disampaikan secara jelas apakah AP


menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) yang isinya tidak benar tersebut secara sengaja
atau tidak sengaja. Namun, perlu diketahui bahwa pengisian tidak benar dalam pelaporan
pajak melalui Surat Pemberitahuan baik karena kealpaannya (secara tidak sengaja), wajib
pajak dapat dikenakan sanksi pidana juga. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 38 UU
28 tahun 2007 yang berbunyi :

“Setiap orang yang karena kealpaannya :

1. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau

2. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak


lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar

sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan


tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah
pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling
singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.”

1
Ardyaksa, T.K. dan Kiswanto, K., 2014, Pengaruh Keadilan, Tarif Pajak, Ketepatan Pengalokasian,
Kecurangan, Teknologi dan Informasi Perpajakan Terhadap Tax Evasion, Accounting Analysis Journal, Vol 3,
No 4, 2014, hal 12
Selanjutnya, apabila AP dengan sengaja melakukan Tindakan penggelapan pajak
tersebut, maka akan dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (1), yang
berbunyi :

“Setiap orang yang dengan sengaja :

1. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau
tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak;
2. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak
atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
3. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
4. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya
tidak benar atau tidak lengkap;
5. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29;
6. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu
atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan
yang sebenarnya;
7. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak
memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
8. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan
data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan
secara program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (11); atau
9. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.

sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana


dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam)
tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar.”

Jadi, dapat saya simpulkan bahwa jika seorang wajib pajak tidak sengaja/alpa dalam
menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi isinya
tidak benar atau tidak lengkap sehingga menyebabkan kerugian pada pendapatan negara dan
perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kalinya, maka
didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan
paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau
dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.

Pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan


Wajib Pajak. Namun, bagi Wajib Pajak yang melanggar pertama kali tidak dikenai sanksi
pidana, tetapi dikenai sanksi administrasi.2 Oleh karena itu, Wajib Pajak yang karena
kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat
Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan
yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara tidak
dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan Wajib Pajak. Dalam
hal ini, Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang
terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari
jumlah pajak yang kurang dibayar

Berdasarkan kasus diatas, AP telah melakukan penggelapan pajak dalam jangka


waktu 3 (tiga) tahun yakni pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2008 sehingga merugikan
negara sampai sebanyak 5 (lima) miliar rupiah. Selain itu AP dinilai tidak kooperatif terhadap
pemanggilan Penyidik Kanwil DJP Riau dan Kepulauan Riau dalam rangka melengkapi
keterangan tambahan yang diperlukan oleh Jaksa Peneliti karena dua kali tidak memenuhi
panggilan Penyidik tanpa alasan. Menurut saya, kasus AP selain dikenakan sanksi
administrasi, AP dapat dikenakan sanksi pidana pada ketentuan Pasal 41B yang menegaskan
bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).” Hal tersebut
dikarenakan AP tidak kooperatif dan tidak memenuhi pemanggilan penyidik tanpa alasan
yang membuat proses penyidikan terhambat.

2
Erikson Wijaya, 2018, Sanksi Perpajakan: Administratif dan Pidana, diakses dari <http://punditax.com/sanksi-
perpajakan-administratif-dan-pidana-ii/> pada tanggal 20 April 2020

Anda mungkin juga menyukai