Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan mengikuti kegiatan perkuliahan Hukum Konstitusi
oleh Dosen Pengampuh Ahmad Wijaya SH
Disusun Oleh:
FAKULTAS HUKUM
2020
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Hakikat Dan Tujuan
Konstitusi ini dengan baik.
Dalam penyusunan makalah ini, dengan kerja keras dan dukungan dari berbagai pihak, kami
telah berusaha untuk dapat memberikan yang terbaik dan sesuai dengan harapan, walaupun dalam
pembuatannya kami menghadapi kesulitan, karena keterbatasan ilmu pengetahun dan keterampilan
yang kami miliki.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada selaku
dosen dan juga kepada teman-teman yang telah memberikan dukungan dan dorongan kepada kami.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang membangun sangat kami butuhkan agar dapat menyempurnakannya dimasa yang
akan datang.Semoga apa yang disajikan dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi teman-teman dan
pihak yang berkepentingan.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 6
A. Kesimpulan........................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 28
BAB I
PENDAHULUAN
Berdasarkan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 menyebutkan bahwa negara Indonesia adalah
negara hukum.Artinya bahwa seluruh penyelenggaraan negara Indonesia harus berdasarkan
pada hukum. Sebagai negara hukum Indonesia telah berusaha membentuk sistem hukum
yang sesuai dengan perkembangan jaman. Hal itu dapat dilihat sejak reformasi tahun 1998
negara Indonesia merubah arah hukum menjadi lebih demokratis sesuai dengan tuntutan
masyarakat. Yang mana intinya adalah bahwa hukum dibentuk untuk melindungi
kepentingan masyarakat. Begitulah negara Indonesia sebagai negara hukum dalam
menjalankan kehidupan negara yang didasarkan pada hukum.
Keberadaan sebuah negara haruslah memenuhi empat unsur sebagai berikut: (1)
memenuhi unsur pemerintahan yang berdaulat, (2) wilayah tertentu, (3) rakyat yang hidup
teratur sebagai suatu bangsa (nation), dan (4) pengakuan dari negara-negara lain.
Dari keempat unsur untuk berdirinya suatu negara ini belumlah cukup menjamin
terlaksananya fungsi kenegaraan suatu bangsa kalau belum ada hukum dasar atau hukum
yang tertinggi yang mengaturnya. Hukum dasar dan hukum tertinggi yang dimaksud adalah
sebuah Konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD).
Konstitusi merupakan hukum dasar atau hukum yang paling tertinggi dalam suatu
negara. Konstitusi bisa berbentuk tertulis yang disebut dengan Undang-Undang Dasar
(UUD) dan bisa berbentuk tidak tertulis yang disebut dengan Konvensi. Semua peraturan
yang berada dibawah konstitusi harus tunduk kepada Konstitusi. Dalam konteks Indonesia
Undang-Undang Dasar 1945 menempati urutan teratas dalam Tata Urutan Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia. Hal ini tercantum dalam pasal 7 ayat (1) Undang –
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.3
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini jenis dan hierarki peraturan perundang –
undangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut:
PEMBAHASAN
Perkataan konstitusi berasal dari bahasa Prancis “constituer dan constitution”. Kata
pertama berarti membentuk, mendirikan atau menyusun, dan arti kedua berarti susunan atau
pranata (masyarakat). Menurut Rukmana Amanwinata dalam buku Ellydar Chaidar, istilah
konstitusi dalam bahasa Indonesia antara lain berpadanan dengan kata “constitution”
(bahasa Inggris), “cosntitutie” (bahasa Belanda), “constitutionel” (bahasa Prancis),
“verfassung” (bahasa Jerman), “constitutio” (bahasa Latin), “fundamental laws” (Amerka
Serikat). Konstitusi sebagai kaidah yang tertuang dalam suatu dokumen khusus dikenal
dengan sebutan UndangUndang Dasar. Sekedar catatan perlu juga diutarakan bahwa ada
yang memandang UUD itu bukan kaidah hukum melainkan kumpulan pernyataan
(manifesto), pernyataan tentang keyakinan, pernyataan cita-cita. Konstitusi dianggap
sebagai sebuah hukum atau aturan dasar suatu negara, dalam bentuk tertulis atau tidak
tertulis yang membentuk karakteristik dan konsepkonsep pemerintahannya, berisi prinsip-
prinsip asasi yang dipatuhi sebagai dasar kehidupan kenegaraan, pengendalian pemerintah,
pengaturan, pembagian dan pembatasan fungsi-fungsi yang berbeda dari departemen-
departemen serta penjabaran secara luas urusan-urusan yang berkaitan dengan pengujian
kekuasaan kedaulatan. Jika disederhanakan, konstitusi adalah sebuah piagam pelimpahan
wewenang dari rakyat kepada pemerintah. 1
Terkait dengan keberadaan konstitusi, maka pada dasarnya secara tegas konstitusi
adalah; Pertama, public authority hanya dapat dilegitimasi menurut ketentuan konstitusi;
kedua, pelaksanaan kedaulatan rakyat (melalui perwakilan) harus dilakukan dengan
Konstitusi dalam Arti Ideal Segi ideal ini sebenarnya jika dilihat dalam sejarah,
mulamula sekali memang ideal untuk golongan borjuis liberal. Jadi dianggap sebagai suatu
gagasan atau cita-cita yang mutlak agar penguasa tidak bertindak sewenang-wenang
terhadap rakyatnya dan kemudian paham ini diterima oleh semua negara. Disini konstitusi
mengandung arti sebagai wadah yang menampung sesuatu ide yang dicantumkan satu
persatu sebagai isi konstitusi sebagaimana dimaksud dalam pengertian konstitusi dalam
relatif di atas. 2
2
Indah Sari, Konstitusi Sebagai Tolak Ukur Eksistensi Negara Hukum
Modern, Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara–Fakultas Hukum Universitas Dirgantara Marsekal
Suryadarma | Volume 9 No. 1, September 2018, hlm. 46.
mata uang. Kewenangan (de bevoegdheden) secara formal melekatkan kekuasaan pada
kedaulatan.3 Istilah kedaulatan merupakan terjemahan dari souvereignty, souvereinitas,
keduanya berasal dari kata bahasa latin: superanus atau supernitas, bermakna de hoogste
bevoegdheid, kewenangan yang sempurna dan tertinggi. Negara tanpa kedaulatan
bermakna staat onbevoegdheid, negara nan tiada berdaulat, lebih rendah derajatnya dari the
puppet state. Jean Bodin (1530 – 1596) dalam bukunya, Les six livres de la Republique
(1576) halaman 122 – 128, memandang kedaulatan negara sebagai la puissance absolue
yang tidak terputus-putus, kepunyaan republik, sedangkan orang-orang latin menyebutnya
maiestatum, yakni kekuasaan terbesar guna memerintah (= la plus grande puissance de
commander). Konstitusi dalam sejarah perkembangannya membawa pengakuan akan
keberadaan pemerintahan rakyat (= demos + cratein) Pemunculan konstitusi di USA di kala
tahun 1787 meredam maeistatum dari kedaulatan, dengan menyerahkan kedaulatan
(souvereignty) di tangan rakyat. Revolutie Perancis turut menumbuh kembangkan
kedaulatan rakyat dalam sistem la republique di abad XVII. Paham pemisahan kekuasaan di
berbagai negara, yang dipadu dengan checks and balances, turut mereduksi puissance
absolue negara-negara. Konstitusi merupakan naskah legitimasi paham kedaulatan rakyat.
Naskah dimaksud merupakan kontrak sosial yang mengikat setiap warga dalam
membangun paham kedaulatan rakyat.
Bagi mereka yang memandang negara dari sudut pandang kekuasaan dan
menganggapnya sebagai organisasi kekuasaan, UUD dapat dipandang sebagai lembaga atau
kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaaan dibagi antara beberapa lembaga
kenegaraan, misalnya antara badan legislatif, badan eksekutif dan badan yudikatif. UUD
menentukan cara – cara bagaimana pusat-pusat kekuasaan itu melakukan kerjasama dan
menyesuaikan diri satu sama lainnya. UUD merekam hubungan-hubungan kekuasaan
dalam suatu Negara.5
Selain ketentuan di atas, konstitusi berfungsi untuk menjamin hak-hak dari pada
warga negaranya dari tindakan sewenang-wenang dari pada penguasanya dan
Dewi Haryanti,
6
Tinjauan Singkat Konstitusi TertulisYang Pernah Berlaku Di Indonesia,
JURNAL SELAT, OKTOBER 2014, VOL. 2 NO. 1, hlm.214.
terselenggaranya kepentingan masyarakat dan untuk dijadikan landasan structural dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang pasti.
Menurut Lord Bryce, motif timbulnya konstitusi adalah keinginan daripada anggota
warga negaranya untuk menjamin hak-hak mereka sendiri pada waktu hak itu terancam dan
selanjutnya membatasi tindakan dari penguasa di kemudian hari, keinginan dari pihak yang
diperintah/pihak yang memerintah untuk menjamin hak rakyat dengan jalan untuk
menentukan suatu system ketatanegaraan yang pasti yang semula tidak jelas, menurut
aturan positif dengan maksud di kemudian hari tidak dimungkinkan tindakan yang
sewenang-wenang dari penguasa, keinginan daripada pembentuk Negara baru untuk
menjamin adanya cara penyelenggaraan ketatanegaraan yang pasti dan dapat
membahagiakan rakyatnya, keinginan untuk menjamin adanya kerjasama yang efektif dari
beberapa negara yang pada mulanya berdiri sendiri yang nantinya menjadi Negara bagian
dari negara federal di samping dalam hal tidak diadakan dalam kerjasama tetap mempunyai
hak dan kepentingan yang diurus sendiri.
a. Perubahan Konstitusi
Perubahan atau amandemen UUD mempunyai banyak arti. Amandemen tidak saja
berarti “menjadi lain isi serta bunyi” ketentuan dalam UUD tetapi juga “mengandung
sesuatu yang merupakan tambahan pada ketentuan-ketentuan dalam UUD yang sebelumnya
tidak terdapat didalamnya”. 7
Miriam Budiarjo mengemukakan adanya empat macam prosedur perubahan konstitusi yaitu
:
b. Komisi Konstitusi
Komisi Konstitusi adalah anak kandung MPR RI hasil pemilu 1999 harus diakui
bahwa proses kelahirannya tidaklah terlalu mulus. Di MPR, banyak yang pro, tetapi tidak
kurang yang kontra. Bukankah Undang-Undang Dasar 1945 telah empat kali diubah oleh
MPR? Apa gunanya lagi dibentuk Komisi Konstitusi. Demikian jalan pikiran mereka
menentang.8
Dewi Haryanti,
8
Tinjauan Singkat Konstitusi TertulisYang Pernah Berlaku Di Indonesia,
JURNAL SELAT, OKTOBER 2014, VOL. 2 NO. 1, hlm.214
Berdasarkan Pasal 1 Keputusan MPR RI No.4/ MPR/2003 itu menetapkan bahwa
tugas Komisi Konstitusi adalah melakukan pengkajian secara komprehensif terhadap UUD
1945 dalam waktu hanya 7 (tujuh) bulan. Dalam melakukan pengkajian itu, Komisi
Konstitusi terikat kepada kesepakatan dasar Panitia Ad Hoc I MPR yang menyatakan :
Menurut Hadimulyo, telah terjadi perubahan mendasar yang penting yang perlu dicermati
oleh Komisi Konstitusi yaitu :
Pertama, yang menyangkut hakekat kedaulatan rakyat. MPR tidak lagi sebagai
lembaga tertinggi negara. Susunan MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD yang
dipilih oleh rakyat baik melalui partai-partai politik atau langsung perorangan dalam
pemilihan umum. Tidak ada lagi anggota yang diangkat.
Kedua, adanya pembatasan masa jabatan presiden selama dua kali, yang dipilih
rakyat dalam pemilihan presiden (dan wakil presiden) secara langsung. Proses pencalonan
pasangan presiden dan wakil presiden diusulkan partai politik atau gabungan partai politik.
Untuk dapat menjadi presiden dan wakil presiden, pasangan tersebut harus mendapatkan
lebih dari lima puluh persen jumlah suara dalam pemilihan umum dari sedikitnya dua puluh
persen suara setiap provinsi yang tersebar di lebih setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Kelima, anggaran pendapatan dan belanja negara yang dilaksanakan secara terbuka
dan bertanggungjawab, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara, mata uang, keberadaan bank sentral yang independen, dan halhal lain yang
mengenai keuangan negara diatur dan ditetapkan dengan undang-undang. Badan pemeriksa
keuangan yang bebas dan mandiri diadakan untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara, yang melaporkan hasil pemeriksaannya kepada dan ditindaklanjuti
oleh DPR dan DPRD dan/atau badan sesuai dengan kewenangannya yang diatur sesuai
dengan undang-undang.
Keenam, mengenai hak asasi manusia, antara lain: hak untuk hidup dan
mempertahankan hidup dan kehidupan, hak perlindungan, dari kekerasan dan diskriminasi,
hak atas pemenuhan kebutuhan dasar, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil, hak untuk bekerja dan memperoleh imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak, hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, dan hak
atas status kewarganegaraan. Begitu juga kebebasan untuk memeluk agama dan beribadah
menurut agamanya, hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran, hak untuk
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat dan pikiran dengan lisan
maupun tulisan, hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, hak untuk
memperoleh layanan kesehatan, hak atas jaminan sosial, hak untuk mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta hak atas milik pribadi dan hakhak yang lain
dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Ketujuh, perbedaan fungsi dan tugas antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). TNI adalah alat negara yangbertugas
mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara, sedangkan
Polri adalah alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat yang bertugas
melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Perubahan ini
mengandung konsekuensi perubahan undang-undang yang selama ini mengatur TNI/Polri.
M. Laica Marzuki,Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 4, Agustus 2010,
9
hlm. 4-5.
dengan jelas mencantumkan nomenklatur: Sistem Konstitusional. Dikatakan pada butir (2):
”Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme
(kekuasaan yang tidak terbatas). Namun, beberapa pasal UUD (redaksi lama) tidak
mendukung paham konstitusionalisme itu. Salah satu pasal konstitusi yang sifatnya tiranis,
termaktub dalam Pasal 7 UUD 1945 (redaksi lama), berbunyi: ”Presiden dan Wakil
Presiden memegang masa jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih
kembali”. Pasal konstitusi tersebut tidak menetapkan masa jabatan Presiden dan Wakil
Presiden secara tegas dan rinci. Keduanya dipilih selama masa jabatan lima tahun dan dapat
dipilih lagi selama lima tahun berikutnya secara terus menerus. Di masa lalu, Soekarno dan
Soeharto memerintah dalam waktu yang cukup lama, Soekarno sejak tahun 1945 sampai
dengan tahun 1967 (22 tahun) saat diangkatnya Soeharto menjadi Pejabat Presiden RI pada
Sidang MPRS tahun 1967 dan baru berhenti tahun 1998 (31 tahun). Pemberlakuan paham
konstitusionalisme dalam UUD, antara lain dipandang perlu mengadopsi:
• Sistem Separation of Power atau Distribution of Power yang disertai checks and
balances;
Peraturan hukum yang bersifat normatif ialah kalau peraturan hukum itu masih
dipatuhi oleh masyarakat, kalau tidak ia merupakan peraturan yang mati (ideal), tidak
pernah terwujud. Jadi konstitusi yang bersifat normatif, jika konstitusi itu resmi diterima
oleh suatu bangsa dan bagi mereka bukan saja berlaku dalam arti hukum (legal), tetapi juga
merupakan kenyataan dalam arti sepenuhnya. 10
Nilai konstitusi yang bersifat nominal ialah kalau konstitusi itu kenyataannya tidak
dilaksanakan dan hanya disebutkan namanya saja. Dengan kata lain konstitusi tersebut
menurut hukum berlaku, tetapi tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya yaitu tidak
memiliki kenyataan yang sempurna.
Nilai konstitusi yang bersifat semantik ialah suatu konstitusi yang dilaksanakan dan
diperlakukan dengan penuh, tetapi hanyalah sekedar memberi bentuk (formalization) dari
tempat yang telah ada untuk melaksanakan kekuasaan politik. Maksud ensensil dari suatu
b. Relevansi Konstitusi
Prinsip-prinsip keadilan yang disampaikan oleh John Rawls pada umumnya sangat
relevan bagi negara-negara dunia yang sedang berkembang, seperti Indonesia, misalnya.
Relevansi tersebut semakin kuat tatkala hampir sebagian besar populasi dunia yang
menetap di Indonesia masih tergolong sebagai masyarakat kaum lemah yang hidup di
bawah garis kemiskinan.
Akan tetapi, apabila dicermati jauh sebelum terbitnya karyakarya Rawls mengenai
“keadilan sosial” (social justice), bangsa Indonesia sebenarnya telah menancapkan dasar
kehidupan berbangsa dan bernegaranya atas dasar keadilan sosial. Dua kali istilah “keadilan
sosial” disebutkan di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Dengan demikian,
keadilan sosial telah diletakkan menjadi salah satu landasan dasar dari tujuan dan cita
negara (staatsidee) sekaligus sebagai dasar filosofis bernegara (filosofische grondslag) yang
termaktub pada sila kelima dari Pancasila. Artinya, memang sejak awal the founding
parents mendirikan Indonesia atas pijakan untuk mewujudkan keadilan sosial baik untuk
warga negaranya sendiri maupun masyarakat dunia.
Dalam konsepsi Rawls, keadilan sosial tersebut dapat ditegakkan melalui koreksi
terhadap pencapaian keadilan dengan cara memperbaiki struktur dasar dari institusi-
institusi sosial yang utama, seperti misalnya pengadilan, pasar, dan konstitusi negara.
Apabila kita sejajarkan antara prinsip keadilan Rawls dan konstitusi, maka dua
prinsip keadilan yang menjadi premis utama dari teori Rawls juga tertera dalam konstitusi
Indonesia, terlebih lagi setelah adanya perubahan UUD 1945 melalui empat tahapan dari
1999 sampai dengan 2002. Prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle) tercermin
dari adanya ketentuan mengenai hak dan kebebasan warga negara (constitutional rights and
freedoms of citizens) yang dimuat di dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia,
diantaranya yaitu Pasal 28E UUD 1945 mengenai kebebasan memeluk agama (freedom of
religion), kebebasan menyatakan pikiran sesuai hati nurani (freedom of conscience), serta
kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat (freedom of assembly and speech).
Begitu pula dengan prinsip kedua bagian pertama sebagai prinsip perbedaan
(difference principle), Konstitusi Indonesia mengadopsi prinsip yang sama pada Pasal 28H
ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan”. Dari sinilah dasar penerapan affirmative action atau positive
discrimination dapat dibenarkan secara konstitusional. Pengaturan demikian sama halnya
dalam Konstitusi India yang menerapkan sistem “reservation” untuk mengangkat kelas
terbelakang (backward class) di bidang pendidikan dan sosial berdasarkan Pasal 15 ayat (4)
dan Bagian IV tentang “Directive Principles of State Policy” Konstitusi India.
11
Pan Mohamad Faiz, Teori Keadilan Jhon Rawls, Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 1, April 2009, hlm.146.
Kendatipun demikian, Rawls tetap membuka ruang adanya pembatasan terhadap kebebasan
berpolitik. Akan tetapi pembatasan tersebut haruslah memberikan jaminan dan manfaat
yang sama bagi kelompok atau golongan yang kurang beruntung (the least advantaged).
Di kalangan para ahli hukum, pada umumnya dipahami bahwa hukum mempunyai
tiga tujuan pokok yaitu: (i) keadilan (justice); (ii) kepastian (certainty atau zekerheid); (iii)
kegunaan (utility). Keadilan itu sepadan dengan keseimbangan (balance, mizan) dan
kepatutan (equity), serta kewajaran (proportionality). Sedangkan kepastian hukum terkait
dengan ketertiban (order) dan ketentraman. Sementara itu, kegunaan diharapkan dapat
menjamin bahwa nilai-nilai tersebut akan mewujudkan kedamain hidup bersama12
Karena konstitusi itu sendiri merupakan hukum yang dianggap paling tinggi
tingkatannya, tujuan konstitusi sebagai hukum yang tertinggi itu juga untuk mencapai dan
mewujudkan tujuan yang tertinggi. Tujuan yang dianggap tertinggi adalah (i) keadilan; (ii)
ketertiban; dan (iii) perwujudan nilai-nilai ideal seperti kemerdekaan atau kebebasan dan
kesejahteraan atau kemakmuran bersama, sebagaimana yang dirumuskan sebagai tujuan
oleh para pendiri negara (the founding fathers and mothers).27 Sehubungan dengan itulah,
beberapa sarjana merumuskan konstitusi itu seperti merumuskan tujuan negara, yaitu
negara konstitusional, atau negara berkonstitusi.
M. Darin Arif Mu’allifin, Hubungan Konstitusi Dengan Tugas Dan Fungsi Negara,
12
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung, AHKAM, Volume 4, Nomor 1, Juli 2016,
hlm.164.
Menurut J. Barents, ada tiga tujuan negara, yaitu: (i) untuk memelihara ketertiban
dan ketentraman; (ii) mempertahankan kekuasaan; dan (iii) mengurus halhal yang
berkenaan dengan kepentingan-kepentingan umum28 Semeatara itu, Maurice Hauriou
menyatakan bahwa tujuan konstitusi adalah untuk menjaga keseimbangan antara: (i)
ketertiban (order); (ii) kekuasaan (gezag); (iii) kebebasan (vrijheid).29
Kebebasan individu warganegara harus terjamin, tetapi kekuasaan negara juga harus
berdiri tegak sehingga tercipta tertib bermasyarakat dan bernegara. Ketertiban itu sendiri
terwujud apabila dipertahankan oleh kekuasaan yang efektif dan kebebasan warga negara
tetap tidak terganggu. Sementara itu G.S Diponolo merumuskan tujuan konstitusi ke dalam
lima kategori yaitu: (i) kekuasaan; (ii) perdamaian, keamanan, dan ketertiban, (iii)
kemerdekaan, (iv) keadilan, serta (v) kesejahteraan dan kebahagiaan.
13
Yogi Prasetyo,Adab Konstitusi; Upaya Meluruskan Kesesatan Pikir Konstitusi, justitia
jurnal hukum fakultas hukum universitas muhammadiyah Surabaya, Volume 1 No.1 April
2017, hlm.9.
a. Hubungan Konstitusi (Hukum) dengan Tugas dan Fungsi Negara
M. Darin Arif Mu’allifin, Hubungan Konstitusi Dengan Tugas Dan Fungsi Negara,
14
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung, AHKAM, Volume 4, Nomor 1, Juli 2016,
hlm.166.
subtance (isi hukum), legal structure (institusi hukum) dan legal culture (budaya hukum),
keberadaan Konstitusi dapat dianalisis sebagai berikut.
Setelah diamandemen, sebagai contoh Pasal 33 UUDNRI 1945 terdapat ayat (4)
yang menegaskan bahwa, perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional. Menurut Suteki, Pasal 33 ayat (4) UUDNRI 1945 makna
keadilan sosial di Indonesia telah diintroduksi prinsip-prinsip baru dengan sistem
perekonomial liberal, bukan lagi komunal.15
15
Ibid, hlm.167
mengakibatkan bentuk Negara Kesatuan berubahmenjadiNegaraSerikat.UUDS1950
merupakan konstitusi yang ketiga, walaupun kembali kepada Negara Kesatuan Republik
Indonesia, tetapi sistem pemerintahannya adalah Parlementer sampai dikeluarannya Dekrit
Presiden tanggal 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945 yang berlaku hingga reformasi
yang menghantarkan amandemen UUD 1945 ke empat kali dan berlaku sampai sekarang.
Perubahan UUD 1945 telah membawa implikasi terjadi perubahan terhadap struktur
kelembagaan tinggi negara. Perubahan ini mempunyai implikasi terjadinya pergeseran
kekuasaan lembaga negara, ada lembaga negara baru, dan ada lembaga negara yang tetap
ada serta ada lembaga negara yang dihapuskan. Perubahan UUD 1945 tersebut
dimaksudkan untuk terdapat check and balances antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. 17
Widya Gama Mahakam Samarinda, Yustisia Vol.2 No.3 September - Desember 2013, hlm.125.
17
Aldri Frinaldi dan Nurman S,Perubahan Konstitusi Dan Implikasinya Pada Perubahan
Lembaga Negara, DEMOKRASI Vol. IV No.1 Th. 2005, hlm.21.
2. Lembaga legislatif sebagai lembaga perwakilan rakyat (parlemen) yang
memegang kedaulatan rakyat, dalam praktek-praktek ketatanegaraan secara umum
dilakukan dengan sistem dua kamar (becameral system) dengan kedudukan antar lembaga
parlemen tersebut memiliki kedudukan yang samasama kuat (strong becameral). Seperti
yang dilakukan oleh negara Amerika Serikat dan negara-negara besar lainnya. Walaupun
terdapat pula beberapa negara yang menganut parlemen dengan satu kamar (unicameral),
seperti negara monarki absolute.
18
Ibid, hlm. 127.
5. Sebagaimana diuraikan diatas, maka dalam sejarah konstitusi Republik
Indonesia, konstitusi telah mengalami perubahan maupun penggantian yang dilakukan oleh
pemerintahan masa lalu sampai masa kini dengan berbagai pertimbangan kondisi sosial,
politik maupun ekonomi yang sangat sulit untuk dihindarkan. Namun pada dasarnya
Undang-Undang Dasar 1945 adalah merupakan konstitusi yang lentur (flexible) hal ini
dikarenakan dalam ketentuan pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli sebelum
perubahan, maupun naskah sesudah perubahan tetap mengatur tentang tata cara bagaimana
merubah Undang-Undang Dasar 1945.
BAB III
PENUTUP
A).KESIMPULAN
B). SARAN
Pada dasarnya Negara-negara didunia pasti mencita-citakan konstitusi yang ideal, akan
tetapi no body is perfect, selama itu masih buatan manusia, maka sulit untuk mendekati
nilai kesempurnaan. Sehingga pada dasarnya konstitusi hakekatnya haruslah memuat tigal
hal, yang pertama pembatasan dan pembagian kekuasaan, structural ketatanegaraan yang
bersifat fundamental dan perlindungan Hak Asasi Manusia, mungkin itu akan menjadi tolak
ukur dan landasan utama dalam menjalankan kehidupan bernegara.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Santoso, Perkembangan Konstitusi Di Indonesia. Jurnal Yustisia. Vol. 2 No. 3 2013
Astim Riyanto. Pengetahuan Hukum Konstitusi menjadi Ilmu Hukum Konstitusi. Jurnal
Hukum dan Pembangunan. No 2, April 2015 tahun ke-44
Aldy, Nurman S. Perubahan Konstitusi dan Implikasinya pada lembaga Negara. Jurnal
Demokrasi. Vol IV, No. 1, 2005
Abu Tamrin. Perubahan Konstitusi dan Reformasi ketatanegaraan Indonesia. Jurnal Cita
Hukum. Vol. 3, No. 1, 2014
Andi Muhammad Asrun, Hak Asasi Manusia dalam kerangka Negara Hukum: Catatan
Perjuangan Di Mahkamah Konstitusi. Jurnal Cita Hukum. Vol. 4, No. 1, 2016
Indah Sari, Konstitusi Sebagai Tolak Ukur Eksistensi Negara Hukum Modern, Jurnal
Ilmiah Hukum Dirgantara–Fakultas Hukum Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma |
Volume 9 No. 1, September 2018.
Deddy Nursamsi, Kerangka Cita Hukum (Recht Idee) bangsa sebagai dasar kewenangan
mahkamah konstitusi dalam menaguji undang-undang terhadap UUD 1945. Jurnal Cita
Hukum. Vol 1, No, 1, Juni 2014
Ibnu Sina Chandranegara, Fugsi Falsafah Negara Dalam Konsep Penerapan Negara
Hukum. Jurnal Cita Hukum, Vol 11 No. 1, Juni 2014
Kus Eddy Sartono. Kajian Konstitusi Indonesia dari awal kemerdekaan sampai reformasi
konstitusi pasca orde baru. Vol 2, No. 2, 2012
Sudidjo ,Pancasila sebagai dasar filsafat dan poaradigma ilmu hukum , justitia jurnal
hukum fakultas hukum universitas muhammadiyah Surabaya, Volume 1 No.1 April 2017,
hlm.9.
Widayat, kajian Konstitusi Dalam Sistem ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Hukum Pro
Justicia. Vol 1 No. 1, 2011
Yogi Prasetyo,Adab hukumi; Upaya paradigma penyelamatan ilmu hukum, justitia jurnal
hukum fakultas hukum universitas muhammadiyah Surabaya, Volume 2 No.2 April 2017.