Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Selama bertahun-tahun terdapat anggapan bahwa sangatlah sulit untuk mendapat
kemoterapi antivirus dengan selektifitas yang tinggi. Siklus replikasi virus yang dianggap
sangat mirip dengan metabolisme normal manusia menyebabkan setiap usaha untuk menekan
reproduksi virus juga dapat membahayakan sel yang terinfeksi. Bersamaan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan pengertian yang lebih dalam mengenai tahap-tahap
spesifik dalam replikasi virus sebagai target kemoterapi anti virus, semakin jelas bahwa
kemoterapi pada infeksi virus dapat ditekan dengan efek yang minimal pada sel horpes.
Perkembangan obat anti virus baik sebagai profilaksis ataupun terapi belum mencapai
hasil seperti apa yang diinginkan oleh umat manusia. Berbeda dengan antimikroba lainnya,
antiviral yang dapat menghambat atau membunuh virus juga akan dapat merusak sel horpes
dimana virus itu berbeda. Ini karena replikasi virus RNA maupun DNA berlangsung di dalam
sel horpes dan membutuhkan enzim dan bahan lain dari horpes.
Tantangan bagi penelitian ialah bagaimana menemukan suatu obat yang dapat
menghambat secara spesifik salah satu proses replikasi virus seperti : peletakan, uncoanting,
dan replikasi. Analisis biokimia dari proses sintesis virus telah membuka tabir bagi terapi
yang efektif untuk beberapa infeksi seperti : virus herpes, beberapa virus saluran napas
dan human immunodeficiency virus (HIV).
Obat ini bersifat tidak selektif dalam menghambat replikasi virus sehingga banyak
fungsi sel horpes juga dihambat. Toksisitas misalnya supresi sumsum tulang telah
menghalangin obat di atas digunakan secara parental kecuali vidarabin. Hanya idoksuridin
dan vidarabin yang saat ini masih dapat digunakan secara topikal sebagai obat pilihan kedua
dan ketiga pada herpes simplex keratin konjunctifitis.
Obat anti virus generasi baru pada umumnya  bekerja lebih selektif terutama asiklovir
sehingga toksisitasnya lebih rendah. Berdasarkan pemaparan materi diatas maka kami
membuat makalah yang berjudul Anti Virus.
1.2.  Rumusan Masalah
1.    Apakah definisi virus dan anti virus itu?
2.    Bagaimana siklus hidup virus?
3.    Apa saja gejala yang dialami bila terinfeksi virus?
4.    Bagaimana penanganan atau penatalaksanaan penyakit yang diakibatkan oleh virus?
5.    Apa saja faktor resiko yang ada?
6.    Apa saja jurnal penelitian terbaru tentang virus dan antivirus?

1.3.  Tujuan
1.    Mengetahui definisi virus dan anti virus
2.    Mengetahui siklus hidup virus
3.    Mengetahui gejala jika terinfeksi virus
4.    Mengetahui cara penanganan penyakit akibat virus
5.    Mengetahui faktor resiko yang terjadi
6.    Mengetahui contoh jurnal tentang virus dan anti virus

1.4.  Manfaat
1.    Dapat mengetahui definisi virus dan antivirus
2.    Dapat mengetahui siklus hidup virus
3.    Dapat mengetahui gejala jika terinfeksi virus
4.    Dapat mengetahui cara penanganan penyakit akibat virus
5.    Dapat mengetahui faktor resiko yang terjadi
6.    Dapat mengetahui contoh jurnal tentang virus dan anti virus

BAB II
ISI

2.1. Definisi
       Virus adalah parasit berukuran mikroskopik yang menginfeksi sel organisme biologis.
Kata virus berasal dari bahasa latin yaitu venom yang berarti racun. Virus juga merupakan
mikroorganisme yang bersifat parasit dengan menginfeksi atau memanfaatkan sel organisme
biologis makhluk hidup lainnya seperti manusia, hewan, tanaman sebagai inangnya. Virus
tumbuh dan berkembang biak di sel organisme biologis makhluk hidup lain karena virus
hanya terdiri dari selubung protein yang terbentuk dari DNA atau RNA saja dan tidak
memiliki perlengkapan selular untuk bereproduksi.
       Anti virus adalah sebuah agen yang membunuh virus dengan menekan kemampuan
untuk replikasi, menghambat kemampuan untuk menggandakan dan memperbanyak diri.

2.2. Siklus Hidup Virus


              Virus hanya dapat berkembang biak pada sel-sel yang hidup. Untuk reproduksi,
virus hanya memerlukan asam nukleat. Di dalam proses reproduksi, virus memerlukan
lingkungan sel hidup sehingga virus memerlukan organisme lain sebagai inangnya.
Siklus hidup virus memiliki 2 jenis siklus, yaitu siklus litik dan siklus lisogenik.
       2.2.1. Siklus Litik
          Siklus litik adalah replikasi virus yang disertai dengan matinya sel inang setelah
terbentuk anakan virus yang baru. Siklus litik virus yang telah berhasil diteliti oleh para
ilmuwan adalah siklus litik virus T (Bacteriophage), yaitu virus yang menyerang
bakteri Escherichia coli (bakteri yang terdapat di dalam colon atau usus besar manusia).
Siklus litik terdiri atas 5 fase, yaitu:
1. Fase adsorbsi
        Fase adsorbsi merupakan fase awal dimana ujung ekor Bakteriofag menempel atau
melekat pada bagian tertentu dari dinding sel bakteri yang masih dalam keadaan normal.
Daerah itu disebut daerah reseptor (receptor site atau receptor spot). Virus yang menempel
kemudian mengeluarkan enzim lisosim/lisozim yang berfungsi merusak atau melubangi
dinding sel bakteri.
2. Fase penetrasi
        Fase penetrasi, ujung ekor virus T dan dinding sel bakteri E. coli yang telah menyatu
tersebut larut hingga terbentuk saluran dari tubuh virus T dengan sitoplasma sel bakteri.
Melalui saluran ini DNA virus masuk ke dalam sitoplasma bakteri.
3. Fase replikasi
        Pada fase ini, DNA virus mengambil alih sintesis protein di dalam bakteri. Terjadi
replikasi DNA virus sehingga virus jumlahnya bertambah banyak karena terjadinya sintesis
protein.
4. Fase perakitan
Fase perakitan pada siklus litik merupakan fase dimana bagian-bagian protein dan DNA
yang terbentuk dari proses sintesis protein dan replikasi DNA terjadi sehingga dihasilkan
virus-virus baru yang seutuhnya.
5. Fase lisis
Fase lisis merupakan fase rusaknya sel bakteri karena aktifitas enzimatis dari virus T
serta jumlah virus T yang sudah tidak muat ditampung oleh sel bakteri tersebut sehingga
dinding sel bakteri menjadi pecah. Selanjutnya sejumlah virus T yang baru tersebut akan
keluar dan siap untuk menyerang sel bakteri lainnya
2.2.2. Siklus Lisogenik
          Siklus lisogenik hampir mirip dengan siklus litik. Perbedaannya adalah ketika sudah
mencapai fase penetrasi, DNA virus tidak mengalami replikasi dan sintesis protein melainkan
bergabung dengan DNA bakteri sehingga antara DNA virus dan DNA bakteri menjadi satu.
Ketika DNA virus sudah bergabung dengan DNA bakteri, maka yang terjadi adalah ketika
bakteri melakukan pembelahan diri, secara otomatis DNA virus juga akan ikut mengganda.
Saat kondisi menguntungkan bagi DNA virus maka siklus lisogenik dapat masuk ke dalam
siklus litik lagi yang ditandai dengan fase replikasi dan sintesis protein dari virus tersebut.
Gambar 1 Siklus litik dan lisogenik

2.3. Tahapan Infeksi Virus


1. virus melekat pada dinding sel
2. DNA/RNA masuk ke dalam sel
3. Virus sebagai parasit menggunakan proses asimilasi sel membentuk virion baru
4. perbanyakan virion menyebabkan timbulnya gejala penyakit
2.4. Penatalaksanaan
       2.4.1. Farmakologi
Obat antivirus terdapat dalam empat golongan besar tapi obat antivirus yang akan
dibahas dalam dua bagian besar yaitu pembahasan mengenai antinonretrovirus dan
antiretrovirus. Klasifikasi pembahasan obat antivirus adalah sebagai berikut:

1.    Antinonretrovirus
-       Antivirus untuk herpes
-       Antivirus untuk influenza
-       Antivirus untuk HBV dan HCV

2         2.    Antiretrovirus
-          Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI)
-          Nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NtRTI)
-          Non- Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI)
-          Protease inhibitor (PI)
-          Viral entry inhibitor
  
A.      ANTINONRETROVIRUS
 Antivirus Untuk Influenza

Jenis virus influenza diklasifikasikan oleh protein inti mereka (yaitu, A, B, atau C),
spesies asal (misalnya, unggas, babi), dan lokasi geografis isolasi. Influenza A, satu-satunya
strain yang menyebabkan pandemi, diklasifikasikan menjadi 16 H (hemagglutinin) dan 9 N
(neuraminidase) subtipe yang diketahui berdasarkan protein permukaan. Meskipun virus
influenza B biasanya hanya menginfeksi orang, virus influenza A dapat menginfeksi berbagai
inang hewan. Subtipe influenza A saat ini yang beredar di antara populasi di seluruh dunia
termasuk H1N1, H1N2, dan H3N2. Lima belas subtipe diketahui menginfeksi burung,
menyediakan reservoir yang luas. Meskipun subtipe avian influenza biasanya sangat spesifik
untuk spesies, mereka pada kesempatan langka melintasi penghalang spesies untuk
menginfeksi manusia dan kucing. Virus dari subtipe H5 dan H7 (misalnya, H5N1, H7N7, dan
H7N3) dapat dengan cepat bermutasi dalam kawanan unggas dari bentuk patogen rendah
hingga tinggi dan baru-baru ini memperluas jangkauan inang mereka untuk menyebabkan
penyakit unggas dan manusia. Yang menjadi perhatian khusus adalah virus H5N1 unggas,
yang pertama kali menyebabkan infeksi manusia (termasuk penyakit parah dan kematian)
pada tahun 1997 dan telah menjadi endemik pada unggas Asia Tenggara sejak 2003. Hingga
saat ini, penyebaran virus H5N1 dari orang ke orang telah langka, terbatas, dan tidak aman.
Namun, munculnya virus influenza H1N1 2009 (sebelumnya disebut "flu babi") pada 2009-
2010 menyebabkan pandemi influenza pertama (yaitu, wabah global penyakit yang
disebabkan oleh virus flu baru) dalam lebih dari 40 tahun. Meskipun obat antiviral tersedia
untuk influenza memiliki aktivitas melawan influenza A, banyak atau sebagian besar strain
virus H5N1 yang beredar, serta strain H1 dan H3 yang menyebabkan influenza musiman di
Amerika Serikat, resisten terhadap amantadine dan rimantadine. Resistensi terhadap
oseltamivir juga meningkat secara dramatis.
Pengobatan untuk infekksi antivirus pada saluran pernapasan termasuk influenza tipe
A & B, virus sinsitial pernapasan (RSV).
A. Amantadin dan Rimantadin
Amantadin & rimantadin memiliki mekanisme kerja yang sama. Efikasi keduanya
terbatas hanya pada influenza A saja. Amantadine (1-aminoadamantane hydrochloride) dan
turunan α-metilnya, rimantadine, adalah amina tricyclic dari keluarga adamantine yang
memblokir jalur ion proton M2 dari partikel virus dan menghambat uncoating RNA virus
dalam sel inang yang terinfeksi, sehingga mencegah replikasinya. . Mereka aktif melawan
influenza A saja. Rimantadine empat hingga sepuluh kali lebih aktif daripada amantadine in
vitro. Amantadine terserap dengan baik dan 67% proteinbound. Waktu paruh plasma adalah
12-18 jam dan bervariasi dengan pembersihan kreatinin. Rimantadine memiliki sekitar 40%
protein-terikat dan memiliki waktu paruh 24-36 jam. Sekresi hidung dan kadar saliva
mendekati mereka dalam serum, dan tingkat cairan serebrospinal adalah 52-96% dari mereka
dalam serum; konsentrasi lendir hidung rimantadine rata-rata 50% lebih tinggi dibandingkan
dengan plasma. Amantadine diekskresikan tidak berubah dalam urin, sedangkan rimantadine
mengalami metabolisme yang luas dengan hidroksilasi, konjugasi, dan glukuronidasi sebelum
ekskresi urin. Pengurangan dosis diperlukan untuk kedua agen pada orang tua dan pada
pasien dengan insufisiensi ginjal, dan untuk rimantadine pada pasien dengan insufisiensi
hepatik yang ditandai. Dengan tidak adanya resistensi, baik amantadine dan rimantadine,
pada 100 mg dua kali sehari atau 200 mg sekali sehari, adalah pelindung 70-90% dalam
pencegahan penyakit klinis ketika dimulai sebelum paparan. Ketika dimulai dalam 1-2 hari
setelah onset penyakit, durasi demam dan gejala sistemik berkurang 1-2 hari. Target utama
untuk kedua agen adalah protein M2 dalam membran virus, menimbulkan spesifisitas
influenza A dan situs yang rentan mutasi yang menghasilkan perkembangan resistensi yang
cepat pada hingga 50% individu yang diobati. Isolat resisten dengan mutasi single-point
secara genetik stabil, mempertahankan patogenisitas, dapat ditransmisikan ke kontak yang
dekat, dan mungkin ditumpahkan secara kronis oleh pasien immunocompromised.
Peningkatan yang ditandai dalam prevalensi resistansi terhadap kedua agen dalam isolat
klinis selama dekade terakhir, pada influenza A H1N1 serta H3N2, telah membatasi
kegunaan agen ini baik untuk pengobatan atau pencegahan influenza. Resistensi silang untuk
zanamivir dan oseltamivir tidak terjadi.
Efek samping yang paling umum adalah gastrointestinal (mual, anoreksia) dan sistem saraf
pusat (gugup, kesulitan berkonsentrasi, insomnia, pusing); efek samping adalah doserelated
dan dapat berkurang atau hilang setelah minggu pertama pengobatan meskipun konsumsi
obat terus menerus.
1. Mekanisme kerja :
Amanatadin dan rimantadin merupakan antivirus yang bekerja pada protein M2 virus,
suatu kanal ion transmembran yang diaktivasi oleh pH. Kanal M2 merupakan pintu masuk
ion ke virion selama proses uncoating. Hal ini menyebabkan destabilisasi ikatan protein serta
proses transport DNA virus ke nucleus. Selain itu, fluks kanal ion M2 mengatur pH
kompartemen intraseluler, terutama aparatus Golgi.
2. Resistensi :
 Influenza A yang resisten terhadap amantadin dan rimantidin belum merupakan masalah
klinik, meskipun beberapa isolate virus telah menunjukkan tingginya angka terjadinya
resistensi tersebut. Resistensi ini disebabkan perubahan satu asam amino dari matriks protein
M2, resistensi silang terjadi antara kedua obat.
3. Indikasi :
 Pencegahan dan terapi awal infeksi virus influenza A ( Amantadin juga diindikasi untuk
terapi penyakit Parkinson ).
4. Farmakokinetik :
 Kedua obat mudah diabsorbsi oral. Amantadin tersebar ke seluruh tubuh dab mudah
menembus ke SSP. Rimantadin tidak dapat melintasi sawar darah-otak sejumlah yang sama.
Amantadin tidak dimetabolisme secara luas. Dikeluarkan melalui urine dan dapat menumpuk
sampai batas toksik pada pasien gagal ginjal. Rimantadin dimetabolisme seluruhnya oleh
hati. Metabolit dan obat asli dikeluarkan oleh ginjal.
5. Dosis :
 Amantadin dan rimantadin tersedia dalam bentuk tablet dan sirup untuk penggunaan oral.
Amantadin diberikan dalam dosis 200 mg per hari ( 2 x 100 mg kapsul ). Rimantadin
diberikan dalam dosis 300 mg per hari ( 2 x sehari 150 mg tablet ). Dosis amantadin harus
diturunkan pada pasien dengan insufisiensi renal, namun rimantadin hanya perlu diturunkan
pada pasien dengan klirens kreatinin ≤ 10 ml/menit.
6. Efek samping :
 Efek samping SSP seperti kegelisahan, kesulitan berkonsentrasi, insomnia, hilang nafsu
makan. Rimantadin menyebabkan reaksi SSP lebih sedikit karena tidak banyak melintasi
sawar otak darah. Efek neurotoksik amantadin meningkat jika diberikan bersamaan dengan
antihistamin dan obat antikolinergik/psikotropik, terutama pada usia lamjut. Efek samping
yang lebih serius (misalnya, perubahan perilaku yang ditandai, delirium, halusinasi, agitasi,
dan kejang) mungkin disebabkan oleh perubahan neurotransmisi dopamine; kurang sering
dengan rimantadine dibandingkan dengan amantadine; berhubungan dengan konsentrasi
plasma tinggi; dapat terjadi lebih sering pada pasien dengan insufisiensi ginjal, gangguan
kejang, atau usia lanjut; dan dapat meningkat bersamaan dengan antihistamin, obat
antikolinergik, hidroklorotiazid, dan trimetoprim-sulfametoksazol. Manifestasi klinis dari
aktivitas antikolinergik cenderung hadir dalam overdosis amantadine akut. Kedua agen
teratogenik dan embriotoksik pada hewan pengerat, dan cacat lahir telah dilaporkan setelah
paparan selama kehamilan.
B. Inhibitor Neuraminidase ( Oseltamivir, Zanamivir )
Merupakan obat amtivirus dengan mekanisme kerja yang sam terhadap virus
influenza A dan B. Keduanya merupakan inhibitor neuraminidase; yaitu analog asam N-
asetilneuraminat ( reseptor permukaan sel virus influenza ), dan disain struktur keduanya
didasarkan pada struktur neuraminidase virion. Inhibitor neuraminidase oseltamivir dan
zanamivir, analog dari asam sialic, mengganggu pelepasan virus influenza progeni dari sel
inang yang terinfeksi, sehingga menghentikan penyebaran infeksi di dalam saluran
pernapasan. Agen ini secara kompetitif dan reversibel berinteraksi dengan situs enzim aktif
untuk menghambat aktivitas neuraminidase virus pada konsentrasi nanomolar rendah.
Penghambatan hasil neuraminidase virus dalam penggumpalan virion influenza yang baru
dirilis satu sama lain dan ke membran sel yang terinfeksi. Tidak seperti amantadine dan
rimantadine, oseltamivir dan zanamivir memiliki aktivitas melawan virus influenza A dan
influenza B. Administrasi dini sangat penting karena replikasi puncak virus influenza pada
24-72 jam setelah timbulnya penyakit. Ketika terapi 5 hari dimulai dalam 36-48 jam setelah
timbulnya gejala, durasi penyakit menurun 1-2 hari dibandingkan dengan mereka yang
menggunakan plasebo, tingkat keparahan berkurang, dan insidensi komplikasi sekunder pada
anak-anak. dan orang dewasa berkurang. Profilaksis sekali sehari adalah 70-90% efektif
dalam mencegah penyakit setelah terpapar. Oseltamivir disetujui oleh Food and Drug
Administration (FDA) untuk pasien 1 tahun dan lebih tua, sedangkan zanamivir disetujui
pada pasien 7 tahun atau lebih. Oseltamivir adalah prodrug yang diberikan secara oral yang
diaktifkan oleh esterase hepatik dan didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh. Dosisnya
adalah 75 mg dua kali sehari selama 5 hari untuk pengobatan dan 75 mg sekali sehari untuk
pencegahan; dosis harus dimodifikasi pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Bioavailabilitas
oral sekitar 80%, pengikatan protein plasma rendah, dan konsentrasi di telinga tengah dan
cairan sinus mirip dengan plasma. Kehidupan paruh waktu oseltamivir adalah 6-10 jam, dan
ekskresi adalah dengan filtrasi glomerular dan sekresi tubular dalam urin. Probenesid
mengurangi pembersihan oseltamivir ginjal hingga 50%. Konsentrasi serum oseltamivir
carboxylate, metabolit aktif oseltamivir, meningkat dengan menurunnya fungsi ginjal; Oleh
karena itu, dosis harus disesuaikan pada pasien seperti itu. Mengambil oseltamivir dengan
makanan tidak mengganggu penyerapan dan dapat menurunkan mual dan muntah. Sakit
kepala, kelelahan, dan diare juga telah dilaporkan dan tampaknya lebih umum dengan
penggunaan profilaksis. Ruam jarang terjadi. Peristiwa neuropsikiatri transien (cedera diri
atau delirium) telah dilaporkan, terutama pada remaja dan orang dewasa yang tinggal di
Jepang. Zanamivir dikirim langsung ke saluran pernapasan melalui inhalasi. Sepuluh hingga
dua puluh persen dari senyawa aktif mencapai paru-paru, dan sisanya disimpan di orofaring.
Konsentrasi obat dalam saluran pernapasan diperkirakan lebih dari 1000 kali konsentrasi
penghambatan 50% untuk neuraminidase, dan waktu paruh paru adalah 2,8 jam. Lima hingga
lima belas persen dari total dosis (10 mg dua kali sehari selama 5 hari untuk pengobatan dan
10 mg sekali sehari untuk pencegahan) diserap dan dikeluarkan dalam urin dengan
metabolisme minimal. Efek samping yang potensial termasuk batuk, bronkospasme (kadang-
kadang berat), penurunan fungsi pulmonal yang reversibel, dan ketidaknyamanan sementara
pada hidung dan tenggorokan. Pemberian Zanamivir tidak dianjurkan untuk pasien dengan
penyakit saluran napas yang mendasarinya. Ketahanan terhadap oseltamivir dapat dikaitkan
dengan mutasi titik pada virus hemagglutinin atau neuraminidase (misalnya, mutasi H275Y).
Tingkat resistansi terhadap oseltamivir di antara virus H1N1 musiman telah meningkat secara
tiba-tiba dan secara dramatis di seluruh dunia, mencapai 97,4% pada strain yang diuji di
Amerika Serikat dari tahun 2008 hingga 2009. Ketahanan terhadap oseltamivir pada pandemi
virus H1N1 dan ketahanan terhadap zanamivir pada virus H1N1 musiman dan pandemi
jarang terjadi. . Semua virus influenza A (H3N2) dan influenza B rentan terhadap oseltamivir
dan zanamivir. Virus influenza asal babi A (H1N1) hampir selalu rentan terhadap oseltamivir
dan zanamivir.
1. Mekanisme kerja :
 Asam N-asetilneuraminat merupakan komponen mukoprotein pada sekresi respirasi, virus
berikatan pada mucus, namun yang menyebabkan penetrasi virus ke permukaan sel adalah
aktivitas enzim neuraminidase. Hambatan terhadap neuraminidase mencegah terjadinya
infeksi. Neuraminidase juga untuk penglepasan virus yang optimaldari sel yang terinfeksi,
yang meningkatkan penyebaran virus dan intensitas infeksi. Hambatan neuraminidase
menurunkan kemungkinan berkembangnya influenza dan menurunkan tingkat keparahan,
jika penyakitnya berkembang.
2. Resistensi :
 Disebabkan adanya hambatan ikatan pada obat dan pada hambatan aktivitas enzim
neuraminidase. Dapat juga disebabkan oleh penurunan afinitas ikatan reseptor hemagglutinin
sehingga aktivitas neuraminidase tidak memiliki efek pada penglepasan virus pada sel yang
terinfeksi.
3. Indikasi :
Terapi dan pencegahan infeksi virus influenza A dan B.
4. Dosis :
 Zanamivir diberikan per inhalasi dengan dosis 20 mg per hari ( 2 x 5 mg, setiap 12
jam )selama 5 hari. Oseltamivir diberikan per oral dengan dosis 150 mg per hari ( 2 x 75 mg
kapsul, setiap 12 jam ) selama 15 hari. Terapi dengan zanamivir /oseltamivir dapat diberikan
seawal mungkin, dalam waktu 48 jam, setelah onset gejala.
5. Efek samping :
 Terapi zanamivir : gejala saluran nafas dan gejala saluran cerna., dapat menimbulkan
batuk, bronkospasme dan penurunan fungsi paru reversibel pada beberapa pasien. Terapi
oseltamivir : mual, muntah, nyeri abdomen , sakit kepala. Efek samping yang potensial
termasuk mual, muntah, dan nyeri perut, yang terjadi pada 5-10% pasien di awal terapi tetapi
cenderung menghilang secara spontan.
C. Ribavirin
Ribavirin merupakan analog sintetik guanosin, efektif terhadap virus RNA dan DNA.
1. Mekanisme kerja :
 Ribavirin merupakan analog guanosin yang cincin purinnya tidak lengkap. Setelah
mengalami fosforilasi intrasel , ribavirin trifosfat mengganggu tahap awal transkripsi virus,
seperti proses capping dan elongasi mRNA serta menghambat sintesis ribonukleoprotein.
2. Resistensi :
 Hingga saat ini belum ada catatan mengenai resistensi terhadap ribavirin, namun
pada percobaan diLaboratorium menggunakan sel, terdapat sel-sel yang tidak dapat
mengubah ribavirin menjadi bentuk aktifnya.
3. Spektrum aktivitas :
Virus DNA dan RNA, khusunya orthomyxovirus ( influenza A dan B ), para
myxovirus ( cacar air, respiratory syncytialvirus (RSV) dan arenavirus ( Lassa, Junin,dll ).
4. Indikasi :
 Terapi infeksi RSV pada bayi dengan resiko tinggi. Ribavirin digunakan dalam
kombinasi dengan interferon-α/ pegylated interferon – α untuk terapi infeksi hepatitis C.
5. Farmakokinetik :
Ribavirin efektif diberikan per oral dan intravena. Terakhir digunakan sebagai aerosol
untuk kondisi infeksivirus pernapasan tertemtu, seperti pengobatan infeksi RSV. Penelitian
distribusi obat pada primate menunjukkan retensi dalam semua jaringan otak. Obat dan
metabolitnya dikeluarkan dalam urine.
6. Dosis :
Per oral dalam dosis 800-1200 mg per hari untuk terapi infeksi HCV/ dalam bentuk
aerosol ( larutan 20 mg/ml ).
7. Efek samping :
 Pada penggunaan oral / suntikan ribavirin termasuk anemia tergantung dosis pada
penderita demam Lassa. Peningkatan bilirubin juga telah dilaporkan Aerosol dapat lebih
aman meskipun fungsi pernapasan pada bayi dapat memburuk cepat setelah permulaan
pengobatan aerosoldan karena itu monitoring sangat perlu. Karena terdapat efek
teratogenikpada hewan percobaan, ribavirin dikontraindikasikan pada kehamilan.
 Antivirus Untuk Herpes

A.    Asiklovir
Asiklovir merupakan obat antivirus yang paling banyak digunakan karena efektif terhadap
virus hervers. Asiklovir adalah turunan guanosin asiklik dengan aktivitas klinis terhadap
HSV-1, HSV-2, dan VZV, tetapi kira-kira 10 kali lebih kuat terhadap HSV-1 dan HSV-2
dibandingkan dengan VZV. Aktivitas in vitro terhadap virus Epstein-Barr (EBV),
cytomegalovirus (CMV), dan herpesvirus-6 manusia (HHV-6) hadir tetapi lebih lemah.
Asiklovir membutuhkan tiga langkah fosforilasi untuk aktivasi. Ini dikonversi pertama ke
derivatif monofosfat oleh kinase timidin virusspesifikasi dan kemudian ke senyawa di- dan
trifosfat oleh enzim sel inang (Gambar 1). Karena memerlukan viral kinase untuk fosforilasi
awal, asiklovir secara selektif diaktifkan — dan metabolit aktif terakumulasi hanya pada sel
yang terinfeksi. Acyclovir triphosphate menghambat sintesis DNA virus dengan dua
mekanisme: kompetisi dengan deoxyGTP untuk polymerase DNA virus, menghasilkan
pengikatan pada templat DNA sebagai kompleks yang ireversibel; dan penghentian rantai
setelah penggabungan ke dalam DNA virus. Bioavailabilitas asiklovir oral rendah (15-20%)
dan tidak terpengaruh oleh makanan. Formulasi intravena tersedia. Formulasi topikal
menghasilkan konsentrasi tinggi pada lesi herpes, tetapi konsentrasi sistemik tidak terdeteksi
oleh rute ini. Asiklovir dibersihkan terutama oleh filtrasi glomerular dan sekresi tubular.
Waktu paruh adalah 2,5-3 jam pada pasien dengan fungsi ginjal normal dan 20 jam pada
pasien dengan anuria.

GAMBAR 1. Struktur kimia dari beberapa analog nukleosida dan nukleotida antivirus

1.      Mekanisme kerja :
 Asiklovir, suatu analog guanosin yang tidak mempunyai gugs glukosa, mengalami
monofosforilasi dalam sel oleh enzim yang di kode hervers virus, timidin kinase. Karena itu,
sel-sel yang di infeksi virus sangat rentan. Analog monofofat diubah ke bentuk di-dan
trifosfat oleh sel pejamu. Trifosfat asiklovir berpacu dengan deoksiguanosin trifosfat (dGTP)
sebagai suatu subsrat untuk DNA polymerase dan masuk ke dalam DNA virus yang
menyebabkan terminasi rantai DNA yang premature. Ikatan yan irrevelsibel dari template
primer yang mengandung aseklopir ke DNA polymerase melumpuhkan enzim. Zat ini kurang
efektif terhadap enzim penjamu.
 Gambar 3. Mekanisme kerja agen antiherpes

        Resistensi:
 Timidin kinase yang sudah berubah atau berkurang dan polymerase DNA telah
ditemukan dalam beberapa strain virus yang resisten. Resistensi terhadap asiklovir
disebabkan oleh mutasi pada gen timidin kinase virus atau pada gen DNA polymerase.

      Mekanisme kerja analog purin dan pirimidin :


 asiklovir dimetabolisme oleh enzim kinase virus menjadi senyawa intermediet.
Senyawa intermediet asiklovir(dan obat obat seperti idosuridin, sitarabin,vidaradin, dan
zidovudin) dimetabolisme lebih lanjut oleh enzim kinase sel hospes menjadi analog
nukleotida, yang bekerja menghambat replikasi virus.

1.   Indikasi :
 Infeksi HSV-1 dan HSV-2 baik lokal maupun sistemik (termasuk keratitis herpetic,
herpetic ensefalitis, herpes genitalia, herpes neonatal, dan herpes labialis.) dan infeksi
VZV(varisela dan herpes zoster). Karena kepekaan asiklovir terhadap VZV kurang
dibandingkan dengan HSV, dosis yang diperlukan untuk terapi kasus varisela dan zoster lebih
tinggi daripada terapi infeksi HSV.
2.      Dosis :
 untuk herpes genital : 5Xsehari 200mg tablet, sedangkan untuk herpes zoster ialah
4x400mg sehari.penggunaan topical untuk keratitis herpetic adalah dalam bentuk krim
ophthalmic 3% dank rim 5% untuk herpes labialis. Untuk herpes ensefalitis, HSV berat lain
nya dan infeksi VZV digunakan asiklovir intravena 30mg/kgBB perhari.
3.      Farmakokinetik :
 pemberian obat bisa secara intravena, oral atau topical. Efektivitas pemberian topical
diragukan.obat tersebar keseluruh tubuh,termaksuk cairan serebrospinal.asiklovir sebagian
dimetabolisme menjadi produk yang tidak aktif.Ekskresi kedalam urine terjadi melalui filtrasi
glomerular dan sekresi tubular.
6. Efek samping :
 Efek samping tergantung pada cara pemberian. Misalnya, iritasi local dapat terjadi
dari pemberian topical; sakit kepala; diare; mual ;dan muntah merupakan hasil pemberian
oral , gangguan fungsi ginjal dapat timbul pada dosis tinggi atau pasien dehidrasi yang
menerima obat secara intravena.
B.      Gansiklovir
Gansiklovir berbeda dari asiklovir dengan adanya penambahan gugus hidroksimetil
padaposisi 3’ rantai samping asikliknya.metabolisme dan mekanisme kerjanya sama dengan
asiklovir. Yang sedikit berbeda adalah pada gansiklovir terdapat karbon 3’ dengan gugus
hidroksil, sehingga masih memunginkan adanya perpanjangan primer dengan template jadi
gansiklovir bukanlah DNA chain terminator yang absolute seperti asklovir.
Gansiklovir adalah analog guanosin asiklik yang memerlukan aktivasi oleh
trifosforilasi sebelum menghambat polimerase DNA virus. Fosforilasi awal dikatalisis oleh
protein spesifik virus kinase phosphotransferase UL97 pada sel yang terinfeksi CMV.
Senyawa aktif secara kompetitif menghambat polimerase DNA virus dan menyebabkan
terminasi perpanjangan DNA virus. Ganciclovir memiliki aktivitas in vitro terhadap CMV,
HSV, VZV, EBV, HHV-6, dan HHV-8. Aktivitasnya terhadap CMV mencapai hingga 100
kali lebih besar daripada asiklovir. Gansiklovir dapat diberikan secara intravena, oral, atau
melalui implan intraokular. Bioavailabilitas gansiklovir oral buruk. Konsentrasi cairan
serebrospinal adalah sekitar 50% konsentrasi serum. Waktu paruh eliminasi adalah 4 jam, dan
waktu paruh intraseluler diperpanjang pada 16-24 jam. Pembersihan obat secara linier terkait
dengan pembersihan kreatinin. Gansiklovir siap dibersihkan dengan hemodialisis.
Gansiklovir intravena telah terbukti memperlambat perkembangan retinitis CMV pada pasien
dengan AIDS. Terapi ganda dengan foscarnet dan gansiklovir lebih efektif dalam menunda
perkembangan retinitis daripada obat tunggal saja (lihat Foscarnet), meskipun efek
sampingnya diperparah. Gansiklovir intravena juga digunakan untuk mengobati kolitis CMV,
esophagitis, dan pneumonitis (yang terakhir sering diobati dengan kombinasi gansiklovir dan
imunoglobulin cytomegalovirus intravena) pada pasien immunocompromised. Gansiklovir
intravena, diikuti oleh gansiklovir oral atau asiklovir oral dosis tinggi, mengurangi risiko
infeksi CMV pada penerima transplantasi. Gansiklovir oral diindikasikan untuk pencegahan
penyakit CMV end-organ pada pasien AIDS dan sebagai terapi pemeliharaan retinitis CMV
setelah induksi. Meskipun kurang efektif dibandingkan gansiklovir intravena, bentuk oral
membawa risiko berkurangnya mielosupresi dan komplikasi terkait kateter. Risiko sarkoma
Kaposi berkurang pada pasien AIDS yang menerima gansiklovir jangka panjang, mungkin
karena aktivitas melawan HHV-8. Gansiklovir juga dapat diberikan secara intraokular untuk
mengobati retinitis CMV, baik dengan injeksi intravitreal langsung atau dengan implan
intraokular. Implan telah terbukti menunda perkembangan retinitis ke tingkat yang lebih
besar daripada terapi gansiklovir sistemik. Operasi penggantian implan diperlukan pada
interval 5-8 bulan. Terapi bersamaan dengan agen anti-CMV sistemik direkomendasikan
untuk mencegah situs lain dari penyakit CMV end-organ. Resistensi terhadap gansiklovir
meningkat seiring dengan lamanya penggunaan. Mutasi yang lebih umum, di UL97,
menghasilkan penurunan tingkat bentuk gansiklovir yang triphosphorylated (yaitu, aktif).
Mutasi UL54 yang kurang umum dalam DNA polimerase menghasilkan tingkat resistensi
yang lebih tinggi dan potensi resistansi silang dengan cidofovir dan foscarnet. Tes kerentanan
antiviral direkomendasikan pada pasien yang resistan dicurigai secara klinis, seperti
penggantian terapi alternatif dan pengurangan bersamaan dalam terapi imunosupresif, jika
memungkinkan. Penambahan CMV hyperimmune globulin juga dapat dipertimbangkan.
1. Mekanisme kerja :
Gansiklovir diubah menjadi ansiklovir monofosfat oleh enzim fospotranverase yang
dihasilkan oleh sel yang terinveksi sitomegalovirus.gansiklovirmonofospat merupakan sitrat
fospotranverase yang lebih baik dibandingkan dengan asiklovir. Aktu paruh eliminasi
gangsiklovir ktrifospat sedikitnya 12 jam, sedangkan asiklovir hanya 1-2 jam.perbedaan
inilah yang menjelaskan mengapa gansiklovi lebih superior dibandingkan
dengan asiklovir untuk terapi penyakit yang disebabkan oleh sitomegalovirus.
2. Resistensi :
Sitomegalovirus dapat menjadi resisten terhadap gansiklovir oleh salah satu dari dua
mekanisme.penurunan fosporilasi gansiklovir karena mutasi pada fospotranverase virus yang
dikode oleh gen UL97 atau karena mutasi pada DNA polymerase virus.varian virus yang
sangat resisten pada gansiklovir disebabkan karena mutasi pada keduanya( Gen UL97 dan
DNA polymerase ) dan dapat terjadi resistensi silang terhadap sidofovir atau foskarnet.
3. Indikasi :
 Infeksi CMV, terutama CMV retinitis pada pasien immunocompromised ( misalnya :
AIDS ), baik untuk terapi atau pencegahan.
4. Sediaan dan Dosis :
 Untuk induksi diberikan IV 10 mg/kg per hari ( 2 X 5 mg/kg, setiap 12 jam) selama
14-21 hari,dilanjutkan dengan pemberian maintenance peroral 3000mg per hari ( 3 X sehari 4
kapsul @ 250 mg ). Inplantsi intraocular ( intravitreal ) 4,5 mg gnsiklovir sebagai terapi local
CMV retinitis.

TABEL 1. Agen untuk mengobati infeksi cytomegalovirus (CMC)


TABEL 1. Agen untuk mengobati infeksi cytomegalovirus (CMC)

5. Efek samping :
Efek samping yang paling umum dari pengobatan gansiklovir sistemik, terutama
setelah pemberian intravena, adalah mielosupresi. Myelosupresi mungkin aditif pada pasien
yang menerima simultan zidovudine, azathioprine, atau mycophenolate mofetil. Efek
samping potensial lainnya adalah mual, diare, demam, ruam, sakit kepala, insomnia, dan
neuropati perifer. Toksisitas sistem saraf pusat (kebingungan, kejang, gangguan psikiatri) dan
hepatotoksisitas jarang dilaporkan. Gansiklovir bersifat mutagenik pada sel mamalia dan
karsinogenik dan embriotoksik pada dosis tinggi pada hewan dan menyebabkan
aspermatogenesis; signifikansi klinis dari data praklinis ini tidak jelas. Tingkat gansiklovir
dapat meningkat pada pasien yang secara bersamaan mengambil probenesid atau
trimetoprim. Penggunaan bersama gansiklovir dengan ddI dapat menyebabkan peningkatan
kadar ddI.
 Zidovudin dan obat sitotoksik lain dapat meningkatkan resiko mielotoksisitas
gansiklovir. Obat-obat nefrotoksik dapat mengganggu ekskresi gansiklovir. Probenesit dan
asiklovi dapat mengurangi klirens renal gansiklovir. Rekombinan koloni stimulating factor
( G-CSF, filgastrim, lenogastrim) dapat menolong dalam penanganan neutropenia yang
disebabkan oleh gansiklovir.
  Antivirus untuk HBV dan HCV
A.    Lamivudin
§  Mekanisme Kerja: Merupakan L-enantiomer analog deoksisitidin. Lamivudin dimetabolisme
di hepatosit menjadi bentuk triposfat yang aktif. Lamivudin bekerja dengan cara
menghentikan sintesis DNA, secara kompetitif menghambat polymerase virus. Lamivudin
tidak hanya aktif terhadap HBV wild-type saja, namun juga terhadap varian precorel core
promoter dan dapat mengatasi hiperresponsivitas sel T sitotoksik pada pasien yang terinfeksi
kronik
§  Indikasi: Infeksi HBV ( wild-type dan precore variants)
§  Dosis: Per oral 100 mg per hari ( dewasa ), untuk anak-anak 1mg/kg yang bila perlu
ditingkatkan hingga 100mg/hari. Lama terapi yang dianjurkanadalah 1 tahun pada pasien
HBeAg (-) dan lebih dari 1 tahun pada pasien yang HBe(+).
§  Efek Samping: Obat ini umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Mual, muntah, sakit kepala,
peningkatan kadar ALT dan AST dapat terjadi pada 30-40% pasien.
B.     Interveron
§  Mekanisme Kerja: Virus dapat dihambat oleh interferon pada beberapa tahap, dan tahapan
hambatannya berbeda pada tiap virus. Namun, bebrapa virus dapat juga melawan efek
interveron dengan cara menghambat kerja protein tertentu yang diinduksi oleh interferon.
Salah satunya adalah resistensi hepatitis C virus terhadap interferon yang disebabkan oleh
hambatan aktifitas protein kinase oleh HCV.
§  Indikasi: Infeksi kronik HBV, infeksi kronik HCV
§  Dosis: Infeksi HBV. Pada dewasa : 5 MU/hari atau 10MU/hari; pada anak-anak : 6
MU/m2 tiga kali per minggu selama 4-6 bulan. Infeksi HCV : Interferon- α 2b monoterapi
(3MU subkutan 3 kali seminggu).
§  Efek Samping: Demam, alergi, depresi sum-sum tulang, gangguan kardiovaskular seperti
gagal jantung kongestif dan reaksi hipersensitif akut.

  B.   ANTIRETROVIRUS
1.      Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI)
Reverse transkripstase (RT ) mengubah RNA virus menjadi DNA proviral sebelum
bergabung dengan kromosom hospes. Karena antivirus golongan ini bekerja pada tahap awal
replikasi HIV, obat-obat golongan ini menghambat terjadinya infeksi akut sel yang rentan,
tapi hanya sedikit berefek pada sel yang telah terinfeksi HIV. Untuk dapat bekerja, semua
obat golongan NRTI harus mengalami fosforilasi oleh enzim sel hospes di sitoplasma.
Karena NRTI tidak memiliki gugus 3’-hidroksil, inkorporasi NRTI ke DNA akan
menghentikan perpanjangan rantai.
A.    Zidovudin
§  Mekanisme Kerja: Target zidovudin adalah enzim reverse transcriptase (RT) HIV. Zidovudin
bekerja dengan cara menghambat enzim reverse transcriptase virus, setelah gugus
asidotimidin (AZT) pada zidovudin mengalami fosforilasi. Gugus AZT 5’- mono fosfat akan
bergabung pada ujung 3’ rantai DNA virus dan menghambat reaksi reverse transcriptase.
§  Indikasi: Infeksi HIV (tipe 1 dan 2)
§  Dosis: Per oral 600mg / hari.
§  Efek Samping: Anemia, neotropenia, sakit kepala, mual.
B.     Didanosin
§  Mekanisme Kerja: Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan
rantai DNA virus.
§  Indikasi: Infeksi HIV (tipe 1 dan 2)
§  Dosis: Peroral 400 mg / hari dalam dosis tunggal atau terbagi.
§  Efek Samping: Diare, pankreatitis, neuropati perifer.

2.      Nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NtRTI)


Tidak seperti NRTI yang harus melalui 3 tahap fosforilase intraselular untuk menjadi
bentuk aktif, NtRTI hanya membutuhkan 2 tahap fosforilasi saja. Diharapkan dengan
berkurangnya satu tahap fosforilasi, obat dapat bekerja lebih cepat dan konversinya menjadi
bentuk aktif lebih sempurna.
A.    Tenofovir
§  Mekanisme Kerja: Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan
rantai DNA virus.
§  Indikasi: Infeksi HIV (tipe 1 dan 2)
§  Dosis: Peroral sekali sehari 300mg.
§  Efek Samping: Mual, muntah, flatulens, diare.

3.      Non- Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI)


Non- Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) merupakan kelas obat yang
menghambat aktivitas enzim reverse transcriptase dengan cara berikatan ditempat yang dekat
dengan tempat aktif enzim dan menginduksi perubahan konformasi pada situs aktif ini. Tidak
seperti NRTI dan NtRTI, NNRTI tidak mengalami fosforilasi untuk menjadi bentuk aktif.
A.    Nevirapin
§  Mekanisme Kerja: Bekerja pada situs alosterik tempat ikatan non subtract HIV-1 RT.
§  Resistensi: Disebabkan oleh mutasi pada RT.
§  Indikasi: Infeksi HIV-1
§  Dosis: Per oral 200mg /hari selama 14 hari pertama ( satu tablet 200 mg per hari ), kemudian
400 mg / hari ( 2 x 200 mg tablet ).
§  Efek Samping: Ruam, demam, fatigue, sakit kepala, somnolens dan peningkatan enzim hati.
B.     Efavirenz
§  Mekanisme Kerja: Sama dengan nevirapin.
§  Resistensi: Disebabkan oleh mutasi pada RT.
§  Indikasi: Infeksi HIV-1
§  Dosis: Peroral 600mg/hari (1Xsehari tablet 600mg), sebaiknya sebelum tidur untuk
mengurangi efek samping SSP nya.
§  Efek Samping: Sakit kepala, pusing, mimpi buruk, sulit berkonsentrasi dan ruam.

4.      Protease Inhibitor (PI)


Semua PI bekerja dengan cara berikatan secara reversible dengan situs aktif HIV –
protease. HIV-protease sangat penting untuk infektivitas virus dan penglepasan poliprotein
virus. Hal ini menyebabkan terhambatnya penglepasan polipeptida prekusor virus oleh enzim
protease sehingga dapat menghambat maturasi virus, maka sel akan menghasilkan partikel
virus yang imatur dan tidak virulen.
A.    Sakuinavir
§  Mekanisme Kerja: Sakuinavir bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease
peptidomimetic inhibitor.
§  Resistensi: Disebabkan oleh mutasi pada enzim protease.
§  Indikasi: Infeksi HIV (tipe 1 dan 2)
§  Dosis:  Per oral 3600 mg / hari (6 kapsul 200mg soft kapsul 3 X sehari ) atau 1800 mg / hari (3
hard gel capsule 3 X sehari), diberikan bersama dengan makanan atau sampai dengan 2 jam
setelah makan lengkap.
§  Efek Samping: Diare, mual, nyeri abdomen.
B.     Ritonavir
§  Mekanisme Kerja: Sama dengan sakuinavir.
§  Resistensi: Disebabkan oleh mutasi awal pada protease kodon 82.
§  Indikasi: Infeksi HIV (tipe 1 dan 2)
§  Dosis: Per oral 1200mg / hari (6 kapsul 100mg, 2 X sehari bersama dengan makanan).
§  Efek Samping: Mual, muntah, diare.

5.      Viral Entry Inhibitor


Obat golongan ini bekerja dengan cara menghambat fusi virus ke sel. Obat ini bekerja
dengan cara menghambat masukkan HIV ke sel melalui reseptor CXCR4.
A.    Enfuvirtid
§  Mekanisme Kerja: Enfuvirtid menghambat masuknya HIV-1 ke dalam sel dengan cara
menghambat fusi virus ke membran sel. Enfuvirtid berikatan dengan bagian HR-1 ( first
heptad-reat)pada sub unit gp41 envelope glikoprotein virus serta menghambat terjadinya
perubahan konformasi yang dibutuhkan untuk fusi virus ke membran sel.
§  Resistensi: Perubahan genotif pada gp41 asam amino 36-45 menyebabkan resistensi terhadap
enfuvirtid, tidak ada resistensi silang dengan anti HIV golongan lain.
§  Indikasi: Terapi infeksi HIV-1
§  Dosis: Enfurtid 90 mg (1ml) 2 kali sehari diinjeksikan subkutan di lengan atas, bagian
paha anterior atau di abdomen.
§  Efek Samping: Adanya reaksi lokal seperti nyeri, eritema, proritus, iritasi dan nodul atau kista.

       2.4.2. Non Farmakologi

                 1.    Pengaturan pola makan

Makan makanan yang bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Ada dua hal
yang harus ada dari pola makan sehat, yaitu makanan yang sehat, dan pola
makan. Makanan yang sehat yaitu makanan yang didalamnya terkandung
zat zat gizi, zat zat gizi tersebut adalah kerbohidrat, protein, lemak
vitamin, dan mineral. Sedangkan pola makan adalah kebiasaan makan
seseorang setiap harinya.

Jadi, pola makan sehat adalah suatu cara mengatur jumlah dan jenis makanan dengan tujuan
untuk mempertahankan kesehatan, status gizi, dan mencegah timbulnya penyakit.
2.    Meningkatkan kekebalan tubuh

Agar penyakit tidak semakin menyebar maka tingkatkan kekebalan tubuh. Salah satu
cara meningkatkan kekebalan tubuh adalah dengan cara mengkonsumsi makanan yang
banyak mengandung vitamin c seperti buah jeruk dan jambu biji. Selain itu dapat juga
berolahragasecara rutin untuk meningkatkan kekebalan tubuh.

3.    Istirahat yang cukup

Istirahat merupakan cara memulihkan kondisi tubuh setelah melakukan aktivitas, atau
bisa juga dalam keadaan sakit. Selain itu istirahat juga dapat mengurangi ketegangan otot-
otot dan meringankan ketegangan pikiran. Namun, isitrahat yang paling baik  dan sangat
dianjurkan adalah tidur. Tidur merupakan cara terbaik melakukan istirahat. Tidur pada malam
hari secukupnya minimal selama 6 jam. Tubuh yang dapat istirahat yang baik akan
mengembalikan kebugaran.

4.    Hindari kegiatan fisik secara berlebihan

Seperti mengangkat barang yang lebih berat yang membuat badan akan terengah engah
dalam melakukan aktifitas tesebut yang membuat badan berkeringat sehingga drop.

5.    Makan makanan yang bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh

Setiap hari kita selalu mengkonsumsi berbagai macam makanan. Makan tidak hanya
membyat perut terasa kenyang dan memiliki rasa yang enak tetapi harus mengandung gizi
serta nutrisi yang bisa membuat tubuh kita menjadi sehat. Makanan yang sehat artinyatidak
mengandung bahan bahan kimia seperti pengawet, dan zat pewarna yang dapat
membahayakan tubuh kita.

2.5. Gejala
       2.5.1. AIDS
       Tahap pertama:
1.      Tenggorokan sakit

2.      Demam
3.      Muncul ruam di tubuh, biasanya tidak gatal
4.      Pembengkakan noda limfa

5.      Penurunan berat badan

6.      Diare
7.      Kelelahan

8.      Nyeri persendian

9.      Nyeri otot

Tahap kedua:

Periode ini disebut sebagai masa inkubasi, atau masa laten. Virus yang ada terus
menyebar dan merusak sistem kekebalan tubuh. Pada tahapan ini, Anda akan merasa sehat
dan tidak ada masalah. Kita mungkin tidak menyadari sudah mengidap HIV, tapi kita sudah
bisa menularkan infeksi ini pada orang lain. Lama tahapan ini bisa berjalan sekitar 10 tahun
atau bahkan bisa lebih.

Tahap ketiga:

1.      Noda limfa atau kelenjar getah bening membengkak pada bagian leher dan pangkal paha.
2.      Demam yang berlangsung lebih dari 10 hari.
3.      Merasa kelelahan hampir setiap saat.
4.      Berkeringat pada malam hari.
5.      Berat badan turun tanpa diketahui penyebabnya.
6.      Bintik-bintik ungu yang tidak hilang pada kulit.
7.      Sesak napas.
8.      Diare yang parah dan berkelanjutan.
9.      Infeksi jamur pada mulut, tenggorokan, atau vagina.
10.  Mudah memar atau berdarah tanpa sebab.
2.6. Faktor Resiko

Kegagalan Terapi :
1.      Dinilai dari perkembangan penyakit ;
.
2.      Bedakan dengan sindrom pemulihan kekebalan tubuh (IRIS)
3.      Viral load tidak selalu ada_gunakan definisi klinis, bila mungkin gunakan kriteria CD4
4.      Tes resistensi obat rutin tidak dibahas
5.       Bila dipakai kriteria klinis dan/atau kriteria CD4 saja telah ada mutasi yang resisten
sebelumnya, dan menutup kemungkinan penggunaan komponen NRTI dari rejimen alternatif,
karena ada resistensi silang dalam satu golongan obat (drug class cross-resistance)
Faktor resiko HIV/AIDS:
Perilaku tertentu dapat meningkatkan resiko anda tertular virus HIV. Beberapa faktor resiko
yang paling sering menularkan virus HIV adalah:
 Berhubungan seksual dengan seorang pembawa virus HIV, baik melalui vagina, anus,
maupun oral (mulut). Hal ini juga berlaku bila anda berhubungan seksual dengan orang yang
anda tidak ketahui membawa virus HIV atau tidak

 Memiliki banyak pasangan seksual

 Berhubungan seksual dengan pekerja seks komersial atau menggunakan obat-obatan


terlarang melalui suntikan

 Menggunakan jarum suntik bersama dengan pembawa virus HIV

 Menggunakan jarum untuk menindik atau membuat tato yang tidak steril (jarang)

 Memiliki ibu yang terinfeksi oleh virus HIV sebelum anda lahir (ibu anda telah
terinfeksi oleh virus HIV saat hamil)

 Menerima transfusi darah atau berbagai produk lainnya yang diperoleh sebelum tahun
1985 (sebelum tahun 1985 semua darah yang ditransfusikan belum diperiksa apakah terdapat
virus HIV atau tidak)

 Memiliki gen pelawan infeksi HIV yang lebih sedikit

BAB III
PENUTUP

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi tentang virus yang menjadi


pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya
dengan makalah ini. Kami banyak berharap para pembaca yang budiman dapat memberikan
kritik dan saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini dan penulisan
makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi kami pada
khususnya juga kepada para pembaca yang budiman pada umumnya.

       
DAFTAR PUSTAKA
Betram G. Katzung. 2007. Farmakologi Dasar dan Klinik Ed. 10 th. Jakarta: Jayabadi
Drs. Tan Hoan Tjay dan Drs. Kirana Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting ed. 6. Jakarta:
Depkes RI

Anda mungkin juga menyukai