Anda di halaman 1dari 6

Seni Pengobatan Tradisional Masyarakat Batak 

Medanbisnisdaily.com-Medan. Di dalam kehidupan Siraja Batak dahulu ilmu pengobatan


telah ada, mulai sejak dari dalam kandungan sampai melahirkan. Misalnya perawatan
dalam kandungan, perawatan setelah melahirkan, perawatan bagi dan perawatan dugu-
dugu.
Setiap hari si ibu pasca melahirkan harus diberi makan dugu-dugu, yakni makanan yang diolah

dari sayur bangun-bangun dengan daging ayam, kemiri dan kelapa. Makanan ini berfungsi untuk

mengembalikan peredaran urat bagi si ibu, membersihkan darah kotor dan menambah serta

memperlancar ASI. Belakangan makanan ini juga dianjurkan oleh dalam dunia medis modern

sekarang ini.

Sedangkan untuk anak yang baru dilahirkan diberikan kemiri untuk membersihkan kotoran yang

dibawa bayi dalam kandung. Sekaligus membersihkan pencernaan bayi dari kotoran pertama

yang disebut tilan.

Ramuan selama perawatan bayi juga ada. Misalnya dengan mencampurkan daun sirih, kemiri

jerango untuk kemudian dikunyah. Akan lebih baik dikunyah karena akan bercampur dengan

ludah yang mengandung bakteri-bakteri baik yang bagus untuk kesehatan.

Ramuan itu lalu ditempelkan ke ubun-ubun bayi dan diolesi ke seluruh tubuh. Tujuannya adalah

untuk menjaga kehangatan tubuh bayi dan menghindari masuk angin. Termasuk juga agar si

bayi kelak tidak menderita sawan.

Masyarakat Batak Toba belajar pengobatan itu dari alam. Supranaturalis ini mencontohkan

pembuatan dappol siburuk, yakni minyak urut untuk digunakan mengobati patah tulang dan

semacamnya. Minyak ini terinsipirasi dari kisah burung si buruk.

Mencikaraui" Keberagamaan di
Minangkabau (1995-2017) dan Respon
Ormas Islam[1]
"Mencikaraui" Keberagamaan  di Minangkabau (1995-2017) dan Respon Ormas
Islam[1]

5 Agustus 2017

Oleh Shofwan Karim

I. Introduksi[2]"Mencikaraui" (Bahasa Minang) berarti memperkatakan dengan nada


agak marah. Judul ini berdasarkan permintaan kepada Penulis oleh Ketua Panitia
Temu Alumni dan Halal Bi Halal, Pendidikan Guru Agama (PGA) Padang, pada
Sabtu, 5 Agustus 2017 di sebuah hotel di Padang. Tulisan ini merupakan
sumbangan pada pertemuan itu.  

Bagian-bagian tertentu dari tulisan ini, merujuk kepada tulisan Penulis pada Seminar
Keluarga Mahasiswa Minangkabau di Kairo Mesir, Juli 2004. Selebihnya adalah
pengamatan pada tahun-tahun belakangan ini. 

Wilayah kultural Minangkabau yang meliputi wilayah Administrasi Pemerintahan


Sumatra Barat adalah Provinsi di sebelah Barat bagian tengah Sumatera. Provinsi
ini berbatasan dengan sebelah Selatan dengan Provinsi Bengkulu, sebelah Barat
dengan lautan Hindia, sebelah Utara dengan Provinsi Sumatra Utara dan sebelah
Timur dengan Provinsi Riau dan Jambi. Penduduknya sekarang 5,7  juta orang.

Mata pencaharian pokok atau ekonomi berdasarkan perdagangan, small


business, usaha kecil dan menengah, pertanian, perkebunan, dan pariwisata.

Budaya Minangkabau yang berintikan Adat Minangkabau menganut sistem


kekerabatan menurut garis keturunan ibu atau matrilinial- line. Kehidupan sosial,
keluarga, tatanan adat dan budaya  diatur di dalam tatanan kesukuan yang
berdasarkan dua kelarasan utama : Bodi Caniago dan Koto Piliang yang
kemudian masing-masing kelarasan itu berkembang ke dalam berbagai suku
sebagai pecahan atau dahan-dahannya.

Setelah Islam masuk beberapa abad lalu, agama yang dipegang teguh masyarakat
Minangkabau adalah Islam di samping memegang teguh adat. Dengan begitu Islam
dan adat menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Maka lahirlah adagium Adat
Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Perpaduan keduanya
melahirkan harmoni sosial di bawah sistem kepemimpinan tigo tunggu sajarangan:
Ninik--Mamak, Alim-Ulama dan Cerdik-Pandai serta tigo tali sapilin: Adat, Syara' dan
Undang.

Di dalam menjalankan tatanan kehidupan sosial budaya, politik, pemerintahan,


ekonomi dan keagamaan, masyarakat Minangkabau senantiasa mendasarkan
keputusan dan membuat kebijakan melalui musyawarah dan mufakat.

sebagai bagian tak terpisahkan dengan Tanah Air Indonesia, mengalami pasang naik dan
surut di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak zaman klasik, penjajahan Belanda,
era pergerakan nasional, penjajahan Jepang, alam kemerdekaan awal, masa Orde Lama, masa
Orde baru dan sekarang Orde Reformasi dan Pasca Reformasi (1998-2017).

Yang paling khas di dalam kehidupan pemerintahan, kenegaraan dan kebangsaan itu bagi
Minangkabau adalah peristiwa PRRI (1957-1960). Peristiwa ini oleh sebagian besar kalangan
masyarakat Minangkabau baik yang di kampung maupun di rantau membekas dalam,  bahkan
boleh jadi pada hal-hal tertentu, menjadi traumatik. 
Trauma itu membuat masyarakat Minangkabau tertekan secara psikologis beberapa dekade.
Keadaan itu berjalan di masa Orde Lama (1955-1965).  Pada masa ini kepemimpinan dan
kebijakan publik dinominasi oleh kaum komunis,  nasionalis serta kaum agama tradisionalis
yang disebut Nasakom yang pada intinya semuanya terpusat kepada Soekarno.

Pasca rezim Soekarno, setelah pembunuhan beberapa Jenderal tahun 1965, lahirlah Orde
Baru atau pemerintahan Soeharto. Pada masa awal era ini masyarakat Minangkabau mulai
merehabilitir diri. Pada waktu ini Sumatra Barat dipimpin seorang Gubernur Sipil Harun Zain
yang memerintah dengan motto : Mambangkik Batang Tarandam. 

Pada dasarnya era ini situasi Minangkabau yang porak-poranda dilanda perang saudara
dengan pemerintah pusat sebelumnya, hendak diperbaiki. Masyarakat Minangkabau dan
tokoh-tokohnya  berupaya mengembalikan harga diri dan martabat yang dianggap
sebelumnya sempat terbenam lumpur sejarah. [3]

Era klasik dan masa pergerakan nasional yang telah diisi oleh perjuangan tokoh-tokoh Islam
dan nasionalis Minangkabau ingin dijadikan motivasi ulang untuk kejayaan. Tokoh-tokoh
pejuang, ulama dan tokoh bangsa seperti Tuanku Imam Bonjol, Siti Manggopoh, Syekh
Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syekh Jalaludin al-Falaki al-Azhari, Dr. Syekh Abdul
Karim Amarullah (Inyiek Rasul) , Dr. Syekh Abdullah Ahmad, Syekh Moh. Jamil Jambek
atau Inyiak Jambek, Inyiek Musa Parabek, Inyiek Sulaiman Al-Rasuli, Rahmah El-Yunusiah,
Zainuddin Labai el-Yunisy, Agus Salim, Rasuna Said, Duski Samad, Hatta, Natsir, HAMKA,
Sutan Syahrir, Moh. Yamin dan deretan tokoh besar bangsa yang sebelumnya telah
mengharumkan nama Minangkabau di pelataran nasional, kembali ditoleh sebagai motivasi
kemajuan.

Wakil Gubernur Sumatera Barat Nasrul Abit terus berupaya memerangi narkoba,
LGBT dan berbagai penyakit masyarakat lainnya yang terus menghantui provinsi
Ranah Minang. Nasrul menyebut salah satu cara ampuh untuk menekan
berbagai penyakit masyarakat tersebut adalah dengan menanamkan pendidikan
agama dan budi pekerti kepada pelajar dan generasi muda Sumbar.

Untuk itu saya mengajak bisa menjaga keluarga kita masing-masing dan
ciptakan pendidikan budi pekerti yang baik dan agama,  agar anak kita jangan
sampai bersentuhan dalam masalah sosial tersebut," kata Nasrul, Ahad (16/6).

Nasrul menyebut narkoba, LGBT dan berbagai penyakit masyarakat lainnya


dapat menghancurkan generasi penerus Sumbar. Selain itu menurut mantan
Bupati Kabupaten Pesisir Selatan itu penyakit masyarakat juga akan
menggerogoti falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.

Nasrul menyebutkan perilaku LGBT di Sumbar makin meresahkan. Ini karena


populasi orang dengan perilaku menyimpang ini yang diduga semakin banyak di
Sumbar. Pelaku LGBT di Sumbar mencapai 18.000 orang. Jumlah tersebut
merupakan terbanyak di Indonesia. Nasrul merasa sangat prihatin dengan angka
ini.

"Sangat memprihatinkan sekali, banyak sekali masyarakat kita yang komplen


mengenai jumlah tersebut, tapi data hasil tim konselor penelitian perkembangan
penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immuno Deficiency
Syndrome (AIDS), bisa dibuktikan banyaknya masyarakat Sumbar dirawat
dirumah," ujar Nasrul.

Dia juga menjelaskan, perilaku LGBT menjadi salah satu penyebab penularan
penyakit HIV/AIDS. Dia khawatir angka HIV/AIDS di Sumbar akan semakin
meningkat, karena belum ada obat yang bisa menyembuhkan penyakit HIV dan
AIDS.

Maranggap” Tradisi Batak Toba yang Kaya Nilai dan Pengetahuan


Medanbisnisdaily.com-Medan.Tradisi “maranggap” pada masyarakat Batak Toba tidak
hanya mengandung nilai-nilai, tetapi juga sejumlah pengetahuan medis. Maranggap
adalah satu tradisi di mana para tetangga bermalam di rumah keluarga yang baru
memperoleh anak. Dulu kegiatan ini bisa dilakukan sampai satu minggu.
Selama maranggap mereka menggelar acara untuk menghilangkan kejenuhan. Pada
dasarnya maranggap dilakukan untuk membantu keluarga yang baru saja dikarunai anak itu.
Terutama keluarga yang baru mendapat anak pertama. Maklum, selain belum
berpengalaman mengurus anak, kehadiran tetangga itu juga untuk membantu si istri dalam
proses pemulihan pasca melahirkan.

Yang perempuan akan mengurus pekerjaan di dapur. Sedangkan pada malam harinya,
kelompok laki-laki akan berjaga-jaga. Mereka menjagai si ibu dan bayinya. Dalam keyakinan
masyarakat Batak Toba di masa lalu, bayi yang baru lahir, rentan diganggu roh halus.

Selain itu juga kerap menjadi sasaran seseorang yang sedang menuntut ilmu. Karena itu ari-
ari bayi harus ditanam secara sembunyi-sembunyi. Jangan ada yang tahu. Karena tak
jarang orang maranggap untuk mencari tahu dimana ari-ari itu ditanam.

Biasanya ari-ari itu dimasukkan ke dalam tandok kecil yang diayam dari pandan lengkap
bdengan 1 biji kemiri, 1 buah jeruk purut, dan tujuh lembar daun sirih. Umumnya ditanam di
tanah becek atau sawah dengan harapan, si anak kelak akan dilimpahi rezeki.

Hal itu dijelaskan budayawan Batak Toba dari Komunitas Laponta, Batara Guru Simanjuntak
kepada medanbisnisdaily.com, Jumat (15/9).

Maklum persalinan di masa lalu, tidak seperti sekarang ini. Setelah si ibu melahirkan, ia
perlu mendapat terapi khusus. Pada umumnya si ibu akan “marbara”. Yakni menghangatkan
tubuhnya dengan bara api. Hal ini dilakukan agar tulang dan persendiannya cepat sembuh
dan tidak keropos.
Ketika marbara si ibu harus dijaga ketat. Apalagi saat malam hari. Bara api dipastikan harus
tetap menyala. Maklum udara di kampung sangat dingin. Kondisi ibu yang baru melahirkan
sangat rentan dengan iklim dingin. Dikhawatirkan si ibu menggigil sehingga berpengaruh
kepada kesehatan dan ASI-nya.

Begitu juga dengan si bayi. Meski sudah dilampin dengan beberapa lapis kain, tetap juga
harus berada dalam ruang yang hangat.

?Namun yang harus lebih diperhatikan adalah posisi tidur si bayi dan ibunya. Sering terjadi
karena lalai, si bayi tertimpa ibunya sendiri. Termasuk ada kasus ibu yang melempar
bayinya karena ia bermimpi buruk. Untuk memastikan itulah si ibu perlu ditemani secara
intens,” jelas Batara Guru.

Pengetahuan Medis

Proses bersalin dalam tradisi masyarakat Batak Toba cukup unik. Sebelum sarana
kesehatan memadai, persalinan biasa ditangani oleh si baso. Si baso adalah sebutan bagi
seorang perempuan yang mempunyai bermacam keahlian. Salah satunya dalam bidang
persalinan.

Biasanya, si baso juga memiliki sejumlah pengetahuan yang tak dimiliki kebanyakan orang.
Misalnya ia dapat meramal nasib atau menentukan hari-hari baik. Bahkan adakalanya ia
mampu berkomunikasi dengan makhluk-makhluk halus.

Setelah ibu melahirkan, si baso lalu memecahkan kemiri, mengunyahnya dan kemudian
memberikannya kepada bayi. Tujuannya untuk membersihkan kotoran yang dibawa bayi
dari kandungan.

“Juga membersihkan saluran pencernaan makanan dari kotoran pertama si bayi, yang
disebut tilan,” jelas Batara.

Ia juga memilin benang berwarna merah, putih, hitam untuk dijadikan kalung atau gelang.
Kemudian membungkus beberapa jenis tanaman obat seperti jerango untuk dijadikan
mainan kalung atau gelang itu. Beberapa hari kemudian, dalam bungkusan itu, biasanya
juga disimpan tali pusarnya.
Dalam budaya Batak Toba, proses kehamilan sampai kelahiran mengandung nilai-nilai.
Contohnya, pada bulan 1 adalah proses menyatunya benih roh dan rohani dengan jasmani
dan kodrati Mulajadi Nabolon (Sang Pencipta).

Pada bulan ke-2, Debata Natolu hadir dalam diri janin. Kehadiran Debata Natolu, diyakini
akan menjaga, merawat dan menuntun bayi serta ibunya. Kehadiran Debata Natolu
mengiringi proses yang terjadi di bulan-bulan berikutnya.

Dalam pengetahuan orang Batak Toba, setelah sembilan bulan dalam kandungan, bayi
akan mulai berputar mencari lubang untuk keluar. Kejadian ini berlangsung selama tujuh
hari. Setelah hari ketujuh itu, diyakini pintu bumi akan terbuka dan bayi tersebut keluar.

Selama fase mengandung dan melahirkan itu, kita juga mengenal beberap ritus lain, yang
kini sudah jarang dipraktikkan. Antara lain, mangirdak. Mangirdak berarti memberi
semangat. Yakni kelurga istri datang dan memberi makan anak perempuannya. Biasanya ini
dilakukan pada fase tujuh bulanan.

Dalam kesempatan itu juga diberikan ulos tondi. Ulos tondi menyimbolkan kekuatan jiwa dan
fisik, khususnya bagi si ibu agar diberi kekuatan dan semangat untuk menghadapi proses
melahirkan.

Sesudah anak lahir, selanjutnya akan digelar ritus mangharoani, yakni syukuran karena si
bayi telah lahir dengan selamat. Pada terminologi lain kerap disebut mamboan aek si unte.
Air yang dibawa merupakan simbol untuk memperlancar ASI.

Anda mungkin juga menyukai