Anda di halaman 1dari 37

KONSEP DAYA SAING EKONOMI DAERAH: MULTI-SECTOR ANALYSIS

MATA KULIAH EKONOMI WILAYAH


Dosen Pengampu :
Ajeng Nugrahaning Dewanti, S.T., M.T., M.Sc
Devi Triwidya Sitaresmi, S.T., M.T
Mega Ulimaz, S.T., M.T.

Disusun Oleh:
Muhammad Ardiyanto 08161065
Eka Vina Amalia Putri 08171015
Miftahul Qoriah 08171041
Reynaldi Yudha Pratama 08171065

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


JURUSAN TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI KALIMANTAN
BALIKPAPAN
2020
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ............................................................................................................................ i
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................... 1
1.3 Tujuan ................................................................................................................... 1
1.4 Sistematika Penulisan .............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN DAN STUDI KASUS ................................................................................ 3
2.1 Daya Saing ............................................................................................................. 3
2.1.1 Elemen Daya Saing .......................................................................................... 3
2.1.2 Konsep Daya Saing .......................................................................................... 4
2.2 Multi-Sector Analysis (MSA) ..................................................................................... 5
2.2.1 Metode AMulti-Sector Analysis (MSA) ................................................................ 5
2.2.2 Manfaat Multi-Sector Analysis (MSA) ................................................................. 7
2.3 Multi-Sector Analysis (MSA) dalam Ekonomi Wilayah ................................................. 7
2.3.1 Daya Saing Wilayah (Regional Competitiveness) ................................................ 7
2.3.2 Kemampuan Pusat (Core Competencies) ........................................................... 8
2.3.3 Infrastruktur strategis (Strategic Infrastructure) ................................................ 9
2.3.4 Manjemen resiko (Risk Management).............................................................. 10
2.4 Studi Kasus .......................................................................................................... 11
BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 32
3.1 Kesimpulan .............................................................................................................. 32
3.2 Lesson Learned ........................................................................................................ 32
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 33

i
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1 Model Porter’s Diamond ............................................................................................. 3
Gambar 2. 2 Struktur Faktor Daya Saing Global .............................................................................. 9
Gambar 2. 3 Tabel Penentuan Nilai Dampak ................................................................................. 10
Gambar 2. 4 Analisis Multi Sektor Strategi Infrastruktur Prioritas .................................................... 13
Gambar 2. 5 (a) Indeks Sektor Industri Prioritas ; (b) Strategi Infrastruktur Prioritas di di Kota Ho Chi
Minh, Vietnam ............................................................................................................................ 13
Gambar 2. 6 Tabel Matriks MSA dalam Perhitungan Indeks Kompetensi Inti Jakarta ........................ 15
Gambar 2. 7 Skor Persepsi Evaluasi Faktor Pembentuk Kompetensi Inti Jakarta .............................. 16
Gambar 2. 8 Perbandingan Skor Persepsi Evaluasi dan Kepentingan Untuk Dikembangkan Faktor
Pembentuk Kompetensi Inti Jakarta ............................................................................................. 17
Gambar 2. 9 Indeks Kompetensi Inti Jakarta ................................................................................ 19
Gambar 2. 10 Skor Persepsi Evaluasi Daya Saing Infrastruktur Strategis Jakarta ............................. 20
Gambar 2. 11 Skor Persepsi Evaluasi Daya Saing Infrastruktur Strategis Jakarta ............................. 22
Gambar 2. 12 Indeks Struktur Infrastruktur Strategis yang Mendukung Daya Saing Jakarta............. 23
Gambar 2. 13 Tabel Matriks MSA untuk Perhitunan Indeks Risiko yang Perlu Diantisipasi ................ 24
Gambar 2. 14 Indeks Risiko yang Perlu Diantisipasi untuk Meningkatkan Daya Saing Jakarta ........... 26
Gambar 2. 15 Tabel Keterangan Indeks Daya Saing Regional ........................................................ 28
Gambar 2. 16 Tabel Identifikasi Potensi Masalah Internal Eksternal................................................ 29
Gambar 2. 17 Matriks SWOT ........................................................................................................ 30

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan suatu wilayah dapat digambarkan sebagai upaya membangun dan
mengembangkan suatu wilayah berdasarkan pendekatan keruangan. Selain itu,
perkembangan suatu wilayah di pengaruhi oleh beberapa aspek yang salah satunya adalah
aspek ekonomi. Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan pada perekonomian
yang dapat meningkatkan produksi barang dan jasa yang diproduksi oleh penduduk dan dapat
meningkatkan kemakmuran masyarakat. Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah biasanya
ditentukan oleh sektor-sektor perekonomian yang ada pada suatu wilayah. dari beberapa
sektor tersebut dapat dibagi menjadi dua yaitu sektor basis dan non-basis. Sektor basis
merupakan sektor unggulan yang menjadi potensi dan spesialisasi suatu wilayah yang ikut
berkontribusi pada keunggulan komparatif suatu wilayah. Menurut Arsyad (1999)
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dipengaruhi oleh keunggulan komparatif suatu wilayah,
spesialisasi wilayah, serta potensi ekonomi yang dimiliki oleh wilayah. Beberapa hal tersebut
juga dapat dikatakan sebagai daya saing. Dimana daya saing merupakan hal penting dalam
pertumbuhan ekonomi.
Sehingga dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi perlu diketahui daya
saing suatu wilayah. Salah satu analisis yang dapat digunakan untuk menilai daya saing suatu
wilayah adalah Multi Sector Analysis (MSA). Menurut Stimson, Stough, and Roberts (2006)
menyatakan bahwa Multi Sector Analysis (MSA) adalah metode analisis untuk menilai daya
saing dan risiko pada suatu industri atau wilayah di masa mendatang. Multi Sector Analysis
(MSA) digunakan untuk mengetahui faktor dan industri apa saja yang berkontribusi untuk
keunggulan kompetitif, mengetahui kekuatan dan kelemahan dari sektor, untuk
mengidentifikasi hubungan dan interdependensi dari faktor-faktor yang mendukung. Sehingga
perlu diketahui bagaimana penilaian daya saing menggunakan Multi Sector Analysis (MSA)
yang akan dibahas pada makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah terkait dengan penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Apa teori dan konsep Multi Sector Analysis (MSA) ?
2. Bagaimana penggunaan Multi Sector Analysis (MSA) dalam menilai daya saing?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui teori dan konsep Multi Sector Analysis (MSA)
2. Mengetahui penggunaan Multi Sector Analysis (MSA) dalam menilai daya saing

1
1.4 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam laporan “Konsep Daya Saing Ekonomi Daerah: Multi-Sector
Analysis” adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab 1 pendahuluan berisi tentang latar belakang pembuatan laporan yang diawali
dengan penjelasan umum terkait ilmu ekonomi wilayah kemudian penjelasan yang lebih
khusus atau spesifik terkait konsep daya saing ekonomi daerah, selanjutnya dijelaskan pula
tujuan atau maksud dari disusunnya laporan ini.
BAB II PEMBAHASAN
Pada bab 2 berisi tentang pembahasan yang menjelaskan tentang konsep daya saing
ekonomi daerah yang berupa Multi-Sector Analysis (MSA) beserta studi kasus terkait.
BAB III PENUTUP
Bab 3 penutup merupakan bab yang berisikan kesimpulan dari setiap subbab yang telah
dijelaskan sebelumnya. Kesimpulan tersebut haruslah menjawab dari tujuan dibentuknya
laporan ini. Adapun pada bab ini terdapat juga lesson learned.
DAFTAR PUSTAKA
Daftar pustaka berisikan sumber dari setiap data maupun teori yang telah diperoleh untuk
penyusunan laporan ini. Sumber didapatkan dari hasil kajian beberapa pustaka.

2
BAB II
PEMBAHASAN DAN STUDI KASUS
2.1 Daya Saing
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 41 Tahun 2007 tentang standar
proses, daya saing adalah kemampuan untuk menunjukkan hasil yang lebih baik, lebih cepat
atau lebih bermakna. Dimana jika dikaitkan dengan ekonomi daya saing merupakan
kemampuan untuk memperkuat pangsa pasarnya, integrasi antar internal maupun eksternal,
tinkat produktivitas, dan bagaimana mempertahankan posisi yang menguntungkan. Menurut
kuncoro (2007) daya saing merupakan konsep perbandingan kemampuan dan kinerja
perusahaan, sub-sektor atau negara untuk menjual dan memasok barang dan atau jasa. Daya
saing sebuah wilayah dapat dicapai dari akumulasi dasya saing strategis setiap perusahaan.
Dimana proses penciptaan nilai tambah berada pada lingkup perusahaan. Daya saing juga
diartikan sebagai kemampuan untuk memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan
disamping kemampuan mempertahankan pendapatan yang tinggi dan berkelanjutan
(Santoso, 2009).
2.1.1 Elemen Daya Saing
Menurut porter (1990) dalam model Porter’s diamond terdapat elemen penting terkait
daya saing yaitu kondisi faktor, kondisi permintaan, industri pendukung terkait, strategi,
struktur, dan pesaing. Berdasarkan hal tersebut secara tidak langsung peran pemerintah dan
adanya peluanglah yang mempengaruhi daya saing sebuah perusahaan. Berikut merupakan
bagan dari Porter’s diamond dan penjelasan dari masing-masing elemen:

Gambar 2. 1 Model Porter’s Diamond


Sumber: Porter (1990)

3
a. Kondisi Faktor
Kondisi faktor merupakan faktor-faktor yang telah dimiliki suatu perusahaan yaitu tenaga
kerja, infrastruktur, modal, dan sumber daya alam. Beberapa faktor tersebut menjadi input
yang penting untuk sebuah industri untuk dapat berkelanjutan dalam menjalankan usahanya.
b. Kondisi Permintaan
Kondisi permintaan merupakan bentuk dan sifat asal dari suatu barang atau jasa yang
berperan penting untuk keunggulan kompetitif. Kondisi permintaan dapat mendorong sebuah
perusahaan untuk selalu berinovasi terkait kualitas maupun kuantitas barang atau jasa yang
ditawarkan.
c. Industri Pendukung Terkait
Industri Pendukung Terkait adalah integrase antar perusahaan dalam komunikasi guna
mendorong adanya pertukaran ide dan inovasi yang akan menciptakan daya saing yang kuat.
Selain itu dengan adanya industri pendukung akan meningkatkan efisiensi antar industri dalam
hal produktivitas.
d. Strategi, Struktur dan Pesaing
Daya saing dalam industri yang spesifik merupakan hasil dari konvergensi praktek
manajemen dan model organisasi mayoritas yang digunakan dan sumber keunggulan
kompetitif.
e. Peran Pemerintah
Pemerintah sebagai pemegang kebijakan memiliki peran yang penting dalam
mempengaruhi tingkah laku perusahaan dalam kegiatan produksi dan pemasaran melalui
kebijakan-kebijakan yang disusun.
f. Peran Peluang
Peran peluang dalam mempengaruhi daya saing terlepas dari peran pemerintah dan
perusahaan itu sendiri. Peran peluang yang dimaksud adalah menciptakan lingkungan daya
saing yang baru seperti terobosan teknologi mutakhir, perkembangan iklim politik, dan adanya
perubahan dalam permintaan pasar asing.
2.1.2 Konsep Daya Saing
Konsep daya saing biasanya terkait dengan kemampuan suatu perusahaan, kota,
daerah, wilayah atau negara dalam mempertahankan atau meningkatkan keunggulan
kompetitif secara terus-menerus atau berkelanjutan (Porter, 2000). Untuk memperjelas
pernyataan tersebut, pendekatan yang dapat digunakan adalah berdasarkan definisi yang
dikeluarkan oleh European Commision yang menyatakan bahwa definisi daya saing ialah
kemampuan untuk memproduksi barang dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan pasar secara
internasional secara berkelanjutan dan terus mempertahankan pendapatan yang tinggi yang

4
dapat menciptakan lapangan pekerjaan dengan secara bersamaan terekspos pada daya saing
eksternal (European Commission, 1999 P.4 dalam Gardiner, Martin dan Tyler, 2004). Camagni
(2002) menyatakan bahwa daya saing daerah merupakan salah satu isu sentral, terutama
dalam rangka menjaga kestabilan tenaga kerja dan memanfaatkan integrase eksternal
(kecenderungan global), serta bagi keberlanjutan usaha peningkatan kesejahteraan dan
kemakmuran daerah saat ini.
2.2 Multi-Sector Analysis (MSA)
Multi Sector Analysis (MSA) merupakan sebuah teknik analisa kualitatif yang digunakan
untuk menilai faktor-faktor yang memiliki daya saing dan berkontribusi di dalam
pengembangan suatu wilayah (Robert and Stimson, 1998). Kemudian menurut Stimson,
Stough, and Roberts (2005) Multi Sector Analysis (MSA) adalah metode analisis untuk menilai
daya saing dan risiko pada suatu industri atau wilayah di masa mendatang. Multi Sector
Analysis (MSA) digunakan untuk mengetahui faktor dan industri apa saja yang berkontribusi
untuk keunggulan kompetitif, mengetahui kekuatan dan kelemahan dari sektor, untuk
mengidentifikasi hubungan dan interdependensi dari faktor-faktor yang mendukung.
2.2.1 Metode AMulti-Sector Analysis (MSA)
Multi sector analysis menggunakan 3 metode analisis untuk mengetahui kelebihan dan
kekurangan sektor-sektor dalam meningkatkan daya saing ekonomi yakni Analisis SWOT,
Matrix Theory, dan structural analysis. Berikut merupakan metode-metode Multi Sector
Analysis (MSA)
A. Analisis SWOT
Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threats) pada MSA digunakan
untuk mengidentifikasi kesempatan atau kelebihan dari salah satu sektor industri yang
dapat berpengaruh terhadap industri lain dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing
ekonomi. Namun, analisis SWOT sendiri memiliki kelemahan, yaitu dalam pengerjaannya
menggunakan waktu yang lama dan juga jarang digunakan dalam analisis
pengembangan wilayah dan perencanaan ekonomi.
B. Matrix Theory
Matrix theory digunakan untuk analisis kulaitatif dengan data yang digunakan yaitu
data kualitatif dan kuantitatif serta matrik theory juga digunakan untuk
mempresentasikan serangkaian data yang kompleks serta digunakan untuk
menyederhanakan notasi angka yang besar pada suatu persamaan. Pada MSA matrix
theory digunakan untuk pembandingan sektor industri di berbagai macam kriteria.
Kriteria diperoleh dari penaksiran pelaksanaan sektor industri yang telah dibandingkan
dengan kriteria evaluasi untuk daya saing wilayah pada sektor industri.

5
Keuntungan dari matrix theory yaitu dapat mengetahui faktor yang biasa
dibandingkan pada sektor basis antar wilayah yang telah berkontribusi dalam daya saing
wilayah serta perkembangan ekonomi. Manfaat dari penggunaan teori matriks theory
pada MSA yaitu untuk mengkompilasi serangkaian indikator yang digunakan sebagai
evaluasi daya saing sektor industri disuatu wilayah dan menaksir faktor resiko apa saja
yang mungkin terjadi dari industri tersebut yang akan berdampak pada wilayah.
C. Structural Analysis
Menurut Godet (1991), analisis struktural digunakan untuk mengatasi
permasalahan dari analisis SWOT pada MSA. Analisis struktural menjelaskan suatu
sistem menggunakan matriks yang menghubungkan seluruh komponen pada sistem
tersebut dengan pembobotan.
Manfaat dari analisis strukural pada MSA adalah untuk menstimulasi pemikiran
mengenai sistem ekonomi wilayah beroperasi dan juga dapat digunakan untuk
mengevaluasi pilihan strategis dan skenario perencanaan, serta membantu dalam
komunikasi dan diskusi untuk menentukan opsi pengembangan ekonomi yang lebih
spesifik.
Pengumpulan data dalam MSA sendiri bisa di lakukan secara survei sekunder dan survei
primer. Survei sekunder dilakukan dengan melihat data-data dari intansi terkait. Survei primer
dilakukan dengan wawancara in deph interview atau hanya dengan kuesioner, dengan teknik
analisis delphi (expert panel) kemudian mengkombinasikan keduanya. Wawancara dengan
kuesioner menggunakan sistem skoring dalam menilai strength (S) dan relative importance
dengan skala likert (skala dari rentang 1 sampai 5) biasanya di labeli 1= Sangat tidak penting,
2= tidak penting, 3=cukup penting, 4=penting,dan 5=sangat penting . Bisanya yang di
tanyakan berupa kompetensi inti, infrastruktur strategi, resiko wilayah, sektor ekonomi yang
potensial, marketing possibilities, dan lain-lain. Pada kuesioner sendiri dibagi menjadi dua
bagian sebagai berikut:
1. Pertama menanyakan responden untuk mengevaluasi strength (S) faktor-faktor
yang terkait atau berhubungan dengan industrinya
2. Kedua berisi rank atau nilai relative importance (I) seberapa penting faktor tersebut
Sedangkan dalam expert panels (delphi) mewawancarai para ahli yang memiliki
keterkaitan erat dengan penelitian, seperti perwakilan dari pemerintah, pengusaha, atau
ketua komunitas. Expert panels (delphi) juga terbagi menjadi dua cara yakni menggunakan
Forum Discussion Group (FGD) dengan para ahli yanng telah di tentukan dan wawancara
secara tepisah masing-masing individu.

6
2.2.2 Manfaat Multi-Sector Analysis (MSA)
Multisector analysis memiliki manfaat dalam penggunaannya yakni
1. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja di dalam industri yang berpengaruh
terhadap keunggulan kompeitif,
2. Mengukur kekuatan dan kelemahan suatu sektor industri,
3. Untuk identifikasi huubungan antar faktor yang mendukung perkembangan suatu
industri, dan
4. Untuk mengukur seberapa besar kesempatan dan pasar baru untuk pengembangan
ekonomi wilayah.

2.3 Multi-Sector Analysis (MSA) dalam Ekonomi Wilayah


Multi-Sector Analysis (MSA) dalam ekonomi wilayah terdapat daya saing wilayah
(Regional Competitiveness), Core Competencies (CC), strategic infrastructure (IS), dan risk
management (RM).
2.3.1 Daya Saing Wilayah (Regional Competitiveness)
Terdapat beberapa faktor penentu pengembangan perekonomian di suatu wilayah yaitu
daya saing, daya saing dapat menjadi suatu penggerak atau pendorong ekonomi suatu
wilayah dalam keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Dalam pengukuran
keunggulan kompetitif Multisector Analysis terdapat tiga elemen Regional Competitiveness
(RC), yakni Core Competencies (CC), strategic infrastructure (IS), dan risk management (RM).
Berdasarkan definisinya, daya saing daerah adalah interaksi dari kompetensi inti, infrastruktur
strategis, dan resiko-resiko yang dapat menentukan tingkat produktivitas suatu daerah.
Faktor-faktor yang menentukan ketiga hal tersebut berbeda satu dengan yang lainnya sesuai
dengan karakteristik unik kota tersebut. Investasi dan sumber daya manusia yang berkualitas,
pada dasarnya merupakan dua hal yang sangat mobile dan responsif terhadap daya saing.
Semakin rendah daya saing dari suatu kota, semakin enggan kedua hal tersebut untuk masuk
ke dalam kota tersebut. Kemampuan suatu kota untuk menarik hal-hal tersebut pada akhirnya
yang akan meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan yang dapat dinikmati oleh
masyarakat.
Risiko merupakan sesuatu yang apabila tidak dikelola dengan baik maka dapat
memberikan pengaruh yang buruk terhadap pembangunan dan menurunkan daya saing dari
kota. Dengan demikian, manajemen risiko menjadi suatu tantangan yang besar untuk
diimplementasikan guna membangun suatu kota yang lebih aman dan nyaman untuk
ditinggali di masa yang akan datang. Suatu infrastruktur yang mampu meningkatkan nilai
tambah dari suatu aktifitas ekonomi unggulan, memfasilitasi produksi, transportasi dan

7
ekspor, maka infrastruktur tersebut dapat dikategorikan sebagai infrastruktur strategis.
Pembangunan infrastruktur strategis yang memadai baik dari sisi kualitas maupun
kuantitasnya, dapat meningkatkan produktifitas, menurunkan biaya produksi, meningkatkan
mobilitas dan kualitas hidup manusia. Sehingga bisa disimpulkan bahwa daya saing regional
(regional competitiveness) merupakan fungsi (f) dari:
RC = f (CC, IS, RM)
2.3.2 Kemampuan Pusat (Core Competencies)
Menurut Hamel dan Prahalad (1994), core competencies yang dimaksud dalam daya
saing wilayah berupa sumber daya keunggulan wilayah, teknologi, kemampuan, dan
infrastruktur yang mendorong keunggulan kompetitif. Core competencies dapat digunakan
untuk mengukur dua nilai diantaranya, daya saing sektor industri dan daya saing kemampuan
pusat. Kompetensi inti adalah karakteristik unik dari suatu wilayah dalam menggunakan
isumber daya, teknologi, keterampilan (skill), infrastruktur, dll dengan tujuan untuk
mengembangkan keunggulan kompetitifnya. Untuk mengukur indeks kompetensi inti,
terdapat tingkat kekuatan (Strength/S) dan tingkat kepentingan (Importance/I) faktor-faktor
yang membentuk dan/atau faktor daya tarik (attractiveness factors) kompetensi inti.
Faktor yang digunakan dalam menentukan kedua indeks tersebut adalah
Competitiveness Index (IMD-WEF). World Economic Forum (WEF) kembali mempublikasikan
laporan tahunan mengenai daya saing global, yaitu The Global Competitiveness Report 2019,
dalam laporannya WEF mengembangkan 103 indikator yang dikelompokkan ke dalam 12,
yaitu (1) institusi, (2) infrastruktur, (3) lingkungan makroekonomi, (4) kesehatan dan
pendidikan dasar, (5) pendidikan tinggi, (6) efisiensi pasar barang, (7) efisiensi pasar kerja,
(8) pasar keuangan, (9) kesiapan teknologi, (10) besaran pasar, (11) kecanggihan bisnis, dan
(12) inovasi. Selanjutnya ke 12 pilar tersebut dikelompokkan kedalam 3 kelompok pilar, yaitu
kelompok persyaratan dasar, kelompok penopang efisiensi, dan kelompok inovasi dan
kecanggihan bisnis.

8
Gambar 2. 2 Struktur Faktor Daya Saing Global
Sumber: World Economic Forum, 2019
Berikut merupakan rumus perhitungan yang digunakan dalam menghitung Indeks
Kompetensi Inti:
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑠𝑢𝑏𝑖𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝑘𝑜𝑚𝑝𝑒𝑡𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑖𝑛𝑡𝑖 𝑝𝑒𝑟𝑘𝑟𝑖𝑡𝑒𝑟𝑖𝑎𝑎𝑛
𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝐾𝑜𝑚𝑝𝑒𝑡𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑖𝑛𝑡𝑖 =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑟𝑖𝑡𝑒𝑟𝑖𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖 𝑔𝑢𝑛𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑒𝑛𝑒𝑙𝑖𝑡𝑖𝑎𝑛
2.3.3 Infrastruktur strategis (Strategic Infrastructure)
Infrastruktur strategis dalam penentuan daya saing wilayah adalah segala bentuk
infrastruktur yang mendukung penambahan nilai sebuah kegiatan. Tidak semua infrastruktur
dinyatakan strategis. Infrastruktur strategis dapat berupa sumber daya internal seperti alam,
fiskal, teknologi, dan sumber daya manusia yang mendukung wilayah untuk bersaing dalam
investasi, pengembangan, dan perdagangan. Adapun infrastruktur strategis dapat berupa
elemen fisik yang memfasilitasi usaha produksi, transportasi, dan perdagangan ekspor yang
menambahkan nilai sektor. Infrastruktur strategis diketahui berperan penting dalam
pengembangan ekonomi dan daya saing wilayah. Bahkan sebuah kesalahan kecil yang terjadi
dalam infrastruktur strategis berdampak sangat signifikan terhadap daya saing industri,
ekonomi, dan perdagangan. Infrastruktur stategis sangat berpengaruh dalam penentuan daya
saing suatu daerah karena daya saing suatu industri dan faktor-faktor terkait daya saing
sangat berkorelasi dengan dukungan infrastruktur yang baik. Infrastruktur strategis dapat

9
meningkatkan nilai tambah dari aktifitas ekonomi unggulan, memfasilitasi produksi,
transportasi, dan ekspor.
2.3.4 Manjemen resiko (Risk Management)
Manajemen resiko yang dimaksud dalam daya saing wilayah adalah elemen-elemen
resiko, alam, manusia, pasar, dll yang berdampak terhadap kinerja ekonomi wilayah.
Manajemen resiko secara signifikan akan berpengaruh terhadap daya saing ekonomi wilayah
dan keunggulan kompetitif. Penilaian resiko wilayah adalah salah satu elemen penting dalam
MSA yang sangat krusial dalam perencanaan strategis, dan juga dalam manajemen wilayah
dan keputusan investasi (Mason and Harrison, 1995). Selama ini sudah ada model perhitungan
yang dapat digunakan untuk 21 mengevaluasi dampak resiko ekonomi secara nasional, namun
kebanyakan model yang ada tidak cukup untuk mengetahui dampak dan penilaian resiko pada
level wilayah.
Hingga sekarang belum ada solusi yang dapat menjelaskan penilaian resiko dalam skala
wilayah. The Australian and New Zealend Risk Management Standards AS/NSZ 4360:1999
and AS/NZS 4360:2004 yaitu standar resiko untuk merumuskan pedoman analisis resiko dan
persiapan strategis. Standar tersebut didefinisikan sebagai berikut: “…….the chance of
something happening that will have an impact on objectives. It is measured in terms of a
combination of the consequences of an event and their likelihood.” Selain itu menurut AS/NZS
4360:2004 juga ditentukan dua aspek yang penting dalam penilaian dampak resiko yaitu
kemungkinan (likelihood) dan konsekuensi (consequences). Berikut ini adalah tabel
penentuan nilai dampak yang dapat digunakan:

Gambar 2. 3 Tabel Penentuan Nilai Dampak


Sumber: (Stimson, 2006)
Untuk mengembangkan strategi dalam manajemen resiko regional, pengkategorian
resiko sangat berguna untuk dilakukan. Terdapat tujuh kategori yang dapat dipertimbangkan
dalam penilaian dan manajemen resiko. Ketujuh resiko tersebut diantaranya:
1. Economic Risk, terdiri dari dampak pasar global, faktor perdagangan, inflasi,
transportasi dan komunikasi yang mempengaruhi barang dan jasa.

10
2. Production Risk, terdiri dari akses ke sumber daya, keuntungan, dan biaya produksi,
seperti gangguan tenaga kerja, perubahan harga material dan energi yang
mempengaruhi produksi, dan korupsi.
3. Governance Risk, terdiri dari risiko kedaulatan, ketidakstabilan pemerintah, dan
hilangnya kendali atas proses pembangunan ekonomi oleh pemerintah.
4. Environmental Risk, terjadi karena penipisan sumber daya, polusi, penyakit,
bencana alam dan buatan manusia, dan kualitas hidup.
5. Societal Or Social Risk, klaim pertanggung jawaban publik terhadap bisnis dan sikap
masyarakat terhadap kelompok-kelompok pengembangan dan penekan.
6. Technological Risk, risiko yang terkait dengan aplikasi teknologi yang digunakan
dalam proses produksi.
7. Behavioral Risk, adalah karakteristik perilaku orang. Tingkat kepercayaan, rasa
aman, dan sikap untuk bekerja memengaruhi kinerja dan efisiensi perusahaan,
organisasi, dan sektor industri
Masing-masing dari ketujuh resiko tersebut memiliki masing-masing resiko yang
berdampak terhadap ekonomi wilayah. Faktor resiko tidak dapat diterapkan begitu saja dalam
setiap sektor eknomi wilayah karena beberapa resiko menghasilkan dampak/efek yang luas.
Contohnya pada krisis ekonomi yang terjadi di Asia pada 1997, terjadi perubahan makro
ekonomi secara tiba-tiba yang berdampak terhadap sektor produksi. Perubahan ini ikut
berdampak terhadap perubahan kepemerintahan dan pengembangan wilayah di Indonesia.
Manajemen resiko wilayah membutuhkan pendekatan pengembangan strategis yang dapat
melihat resiko baik secara internal maupun eksternal. Oleh sebab itu, manajemen resiko
terbagi atas exogenous dan endogenous resiko.
a. Exogenous risk adalah resiko yang dilihat secara eksternal. Terdapat empat pendekatan
yang dapat digunakan untuk mengurangi resiko exogeneous wilayah, yaitu pembatasan
secara kolektif, dukungan dan perlindungan industri, sistem inovasi daerah, dan strategi
kerjasama.
b. Endogenous risk adalah resiko yang dilihat secara internal. Terdapat empat pendekatan
yang dapat digunakan untuk mengurangi resiko exogeneous wilayah, yaitu kluster
industri, peningkatan kerjasama lokal, dan peningkatan proses konsultasi.
2.4 Studi Kasus
2.4.1 Kelompok Industri di Kota Ho Chi Minh, Vietnam
Didapatkan dari buku Stimson pada tahun 2002 terdapat tiga studi kasus
implementasi kasus analisis MSA. Studi kasus pertama adalah ekonomi regional kecil di
Far North Queensland, Australia. Studi kasus kedua adalah dari Virginia Utara, bagian dari

11
wilayah Ibukota Nasional di Amerika Serikat, sebuah wilayah yang telah mengalami
pertumbuhan pesat dalam pengembangan layanan produsen dan industri teknologi yang
tinggi selama 20 tahun terakhir. Studi kasus ketiga adalah Kota Ho Chi Minh, Vietnam,
yang menunjukkan penerapan MSA dalam menetapkan prioritas untuk investasi
infrastruktur yang strategis untuk meningkatkan daya saing dan mendukung
pengembangan ekonomi kota yang berkembang. Salah satu penerapan kasus Multi Sector
Analyse (MSA) adalah studi untuk mengidentifikasi kelompok industri di Kota Ho Chi Minh
di Vietnam. Vietnam telah mencapai fase kritis dalam transisi dari ekonomi yang
direncanakan ke ekonomi pasar yang lebih terbuka. Masa perkembangan ekonomi yang
cepat menjelang krisis Keuangan Asia pada tahun 1998 menghasilkan kemajuan besar
dan peningkatan kualitas hidup manusia yang tinggal di kota. Namun, Kota Ho Chi Minh
menghadapi periode ketidakpastian atas perkembangannya, perlu untuk
mempertimbangkan dengan cermat bagaimana cara terbaik untuk mengembangkan jalur
pembangunan ekonomi berkelanjutan untuk kedepannya. Yang sangat penting bagi
setiap strategi ekonomi kedepannya di setiap kota adalah kebutuhan untuk meningkatkan
daya saing industri dan mengembangkan nilai tambah industri untuk mendorong
perekonomian. Ada bahaya jika kota tidak mengambil langkah-langkah untuk melakukan
hal ini, maka kota itu berisiko tersisa sebagai pusat manufaktur berbiaya rendah untuk
perusahaan-perusahaan yang sebagian besar berbasis dari asing dan relatif jauh, yang
akan bergerak maju jika biaya operasi akan naik di masa yang akan datang. Ini akan
menjadi tragedi besar bagi negara dan kota jika memiliki wirausaha yang signifikan dan
kemampuan untuk menjadi ekonomi maju di awal abad ke-21.
Pada tahun 1966, PBB memberikan bantuan kepada Komite Rakyat Kota Ho Chi
Minh untuk meningkatkan perencanaan dan manajemen kota serta meningkatkan kinerja
ekonomi. Lembaga Studi Perumahan (IHS) di Belanda dan Lembaga Penelitian Perkotaan
dan Perumahan Australia (AHURI) ditugaskan untuk melakukan penelitian dan pelatihan
untuk meningkatkan perencanaan strategis di semua lembaga pembangunan kota.
Masalah utama yang ditangani oleh proses perencanaan adalah bagaimana menetapkan
prioritas untuk investasi infrastruktur untuk meningkatkan kinerja ekonomi. Maka
diputuskan untuk menggunakan teknik MSA menentukan prioritas untuk investasi
infrastruktur strategis di 21 klaster industri yang telah diidentifikasi melalui analisis shift-
share dan perhitungan location quotients (LQ), dan menggunakan analisis SIG dari set
data industri (Lindfield 1998; Roberts dan Lindfield 2000). Prioritas dan analisis untuk
pengembangan 15 elemen infrastruktur strategis untuk mendukung 21 klaster industri
mengikuti prosedur yang telah ditetapkan.

12
Gambar 2. 4 Analisis Multi Sektor Strategi Infrastruktur Prioritas
di Kota Ho Chi Minh
Sumber : Lindfield, 1998
Dari gambar tersebut ditunjukkan skor indeks prioritas infrastruktur yang strategis dimana
dapat dihitung dengan menggabungkan peringkat dari kecukupan berbagai kategori
infrastruktur berdasarkan sektor industri. Mengingat kurangnya data untuk melakukan
analisis ekonomi di Vietnam, teknik MSA memberikan mekanisme yang layak, bermanfaat
dan relatif cepat untuk membantu menginformasikan prioritas pembangunan untuk
mendukung pembangunan ekonomi di negara berkembang. Berdasarkan analisis mutli
sektor diatas, didapatkan indeks sektor industri prioritas dan strategi infrastruktur dalam
pembangunan Kota Ho Chi Minh sebagai berikut.

(a) (b)
Gambar 2. 5 (a) Indeks Sektor Industri Prioritas ; (b) Strategi Infrastruktur
Prioritas di di Kota Ho Chi Minh, Vietnam
Sumber : Lindfield, 1998
Berdasarakan hasil diatas, didapatkan sektor industri yang prioritas serta dari sisi
infrastruktur yang mana perlu di tingkatkan. Penerapan metodologi analisis multi sektor
pada kasus ini adalah jumlah kelompok dalam suatu sektor, dalam hal ini yang diambil
ialah dari sektor industri baik internal maupun eksternal untuk suatu wilayah. Hal ini akan
memungkinkan perbandingan antara kelompok sektor industri dalam kelompok internal

13
dan eksternal suatu wilayah, serta untuk mengukur tingkat kesesuaian yang ada dalam
penilaian kualitatif guna melihat potensi sektor industri dan untuk evaluasi kinerja pada
kriteria kompetensi suatu sektor.
2.4.2 Analisis Daya Saing Provinsi DKI Jakarta
Studi kasus kedua ialah penelitian dari Diana Ayu dkk. pada tahun 2016. Dimana
pada penelitian tersebut bertujuan untuk mencari faktor-faktor penyebab timbulnya
persoalan, dampak dan implikasinya, serta upaya rekomendasi penanganan daya saing
Kota Jakarta melalui Multi Sektor Analysis (MSA). Oleh karena itu setelah didapatkan
faktor pendorong atau pendukung dan dampak serta implikasinya, sehingga didapatkan
upaya dan rekomendasi untuk mengatasi persoalan ekonomi wilayah terkait daya saing
Kota Jakarta yang telah diidentifikasi. Untuk menggunakan analisis multi sektor,
digunakan tiga alat analisis lainnya, yaitu SWOT, Matrix Theory dan Structural Analysis.
Diketahui bahwa dalam melakuakan Multi Sektor Analysis (MSA) pada ekonomi
wilayah terdapat beberapa tahapan yang pertama adalah Elemen Daya Saing Regional;
Kompetensi Inti/Core Competencies (CC); Infrastruktur Strategis (IS); Manajemen
Risiko/Risk Management (RM). Setelah itu bisa didapatkan Daya Saing Regional dan
dilakukan Analisis SWOT agar didapatkannya strategi untuk menjadi dasar dalam konsep
penanganan yang perlu dilakukan.
A. Multi Sektor Analysis (MSA)
1. Analisis Elemen Daya Saing Regional
Berdasarkan definisinya, daya saing daerah adalah interaksi dari kompetensi
inti, infrastruktur strategis, dan resiko-resiko yang dapat menentukan tingkat
produktivitas suatu daerah. Faktor-faktor yang menentukan ketiga hal tersebut
berbeda satu dengan yang lainnya sesuai dengan karakteristik unik kota tersebut.
Investasi dan sumber daya manusia yang berkualitas, pada dasarnya
merupakan dua hal yang sangat mobile dan responsif terhadap daya saing. Semakin
rendah daya saing dari suatu kota, semakin enggan kedua hal tersebut untuk masuk
ke dalam kota tersebut. Kemampuan suatu kota untuk menarik hal-hal tersebut
pada akhirnya yang akan meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan yang
dapat dinikmati oleh masyarakat.
Risiko merupakan sesuatu yang apabila tidak dikelola dengan baik maka dapat
memberikan pengaruh yang buruk terhadap pembangunan dan menurunkan daya
saing dari kota. Dengan demikian, manajemen risiko menjadi suatu tantangan yang
besar untuk diimplementasikan guna membangun suatu kota yang lebih aman dan
nyaman untuk ditinggali di masa yang akan datang.

14
Suatu infrastruktur yang mampu meningkatkan nilai tambah dari suatu aktifitas
ekonomi unggulan, memfasilitasi produksi, transportasi dan ekspor, maka
infrastruktur tersebut dapat dikategorikan sebagai infrastruktur strategis.
Pembangunan infrastruktur strategis yang memadai baik dari sisi kualitas maupun
kuantitasnya, dapat meningkatkan produktifitas, menurunkan biaya produksi,
meningkatkan mobilitas dan kualitas hidup manusia.
Sehingga bisa disimpulkan bahwa daya saing regional (regional
competitiveness) merupakan fungsi dari:
RC = f (CC, IS, RM)
a. Kompetensi Inti/Core Competencies (CC)
Cara mendapatkan Indeks Kompetensi Inti Jakarta per kriteria adalah
dengan:
1) Mengalikan skor (S) x (I) dibagi dengan skor maksimum (pada penelitian ini
skor maksimumnya adalah 49) .
2) Hasil tersebut dijumlahkan dengan seluruh perspektif responden dan dibagi
dengan jumlah responden.
Semakin tinggi nilai indeks suatu faktor maka faktor tersebut dinilai
berpengaruh dalam membentuk kompetensi inti Jakarta, sedangkan semakin
rendah nilai indeksnya, maka faktor tersebut dinilai semakin tidak berpengaruh
dalam membentuk kompetensi inti Jakarta. Dalam menentukan dasar kriteria inti
ini, peneliti menggunakan kriteria-kriteria kompetensi inti yang digunakan oleh
Roberts (2000) di Far North Queensland (FNQ), Australia, namun dieliminasi
sesuai dengan kesesuaiannya dengan kondisi Jakarta. Berikut merupakan
matriks MSA yang digunakan untuk perhitungan indeks kompetensi inti Jakarta.

Gambar 2. 6 Tabel Matriks MSA dalam Perhitungan Indeks


Kompetensi Inti Jakarta
Sumber : Analisa Peneliti, 2013
Pada penelitian ini, indikator kompetensi inti daerah yang digunakan adalah:
orientasi perdagangan, nilai tambah, diversifikasi industri, investasi luar negeri,

15
clustering, penelitian/riset, teknologi, sumber daya alam, kewirausahaan, Balai
Latihan Kerja Daerah (BLKD), pendidikan tinggi, kolaborasi bisnis, jaringan
usaha, sistem informasi, pemberantasan korupsi, iklim investasi, pasar modal,
dan dukungan kebijakan pemerintah. Peneliti melakukan beberapa analisis
dalam mendapatkan Kompetensi Inti / Core Comptencies di Kota Jakarta dengan
evaluasi sebagai berikut.
a) Evaluasi Kompetensi Inti Pembentuk Daya Saing Jakarta Tahun
2012

Gambar 2. 7 Skor Persepsi Evaluasi Faktor Pembentuk Kompetensi


Inti Jakarta
Sumber : Analisa Peneliti, 2013
Menurut hasil penelitian terhadap evaluasi faktor utama pembentuk
kompetisi inti Jakarta yang tertera dalam gambar diatas, faktor yang paling
berpengaruh dalam membentuk kompetensi inti Jakarta adalah orientasi
perdagangan, kewirausahaan, dan jaringan usaha. Sedangkan faktor yang
paling lemah dalam membentuk kompetensi inti Jakarta adalah
pemberantasan korupsi, sumber daya alam, dan Balai Latihan Kerja Daerah
(BLKD).
Orientasi perdagangan merupakan faktor yang terkuat dalam
membentuk kompetensi inti Jakarta, sebab, menurut para responden, Jakarta
dan kawasan sekitarnya memiliki pasar yang sangat besar. Berdasarkan BPS
Provinsi DKI Jakarta tahun 2011, kontribusi sektor jasa dan bisnis dalam

16
PDRBnya sebesar 75,39 %, dengan kontribusi sektor perdagangan, hotel, dan
restoran tersendiri adalah sebesar 21,87 %. Alasan lainnya sebab Jakarta
memiliki infrastruktur dan akses yang lebih baik untuk memasarkan barang
dan jasa ke daerah lain jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain.
Sementara, pemberantasan korupsi dianggap sebagai faktor yang paling
lemah dalam membentuk kompetensi inti Jakarta. Hal tersebut disebabkan
oleh masih kurangnya penegakan hukum di Jakarta soal pemberantasan
korupsi. Tingkat korupsi yang masih tinggi dapat dilihat dengan masih
banyaknya pungutan liar yang terjadi. Selain itu, menurut responden,
tingginya tingkat korupsi ini menyebabkan tingginya biaya ekonomi yang
diderita oleh masyarakat dan pelaku usaha.
b) Kompetensi Inti yang Penting untuk Dikembangan Demi
Meningkatkan Daya Saing Jakarta

Gambar 2. 8 Perbandingan Skor Persepsi Evaluasi dan Kepentingan


Untuk Dikembangkan Faktor Pembentuk Kompetensi Inti Jakarta
Sumber : Analisa Peneliti, 2013
Berdasarkan gambar diatas, maka dapat diketahui bahwa menurut
persepsi responden, kompetensi inti yang paling penting untuk ditingkatkan
di Jakarta adalah pengaplikasian teknologi. Peningkatan pengaplikasian
teknologi diyakini dapat meningkatkan produktifitas, efisiensi, meningkatkan

17
mobilitas, dan mengoptimalkan pemanfaatan jarak dan waktu. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Fagerberg (1987) yang membuktikan
bahwa pengaplikasian teknologi merupakan faktor yang paling
berkontribuasi dalam meningkatkan pertumbuhan suatu negara dan
perusahaan.
Faktor yang juga dipersepsikan penting oleh responden adalah
pendidikan tinggi dan kewirausahaan. Pendidikan tinggi merupakan syarat
yang penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan
peningkatkan daya saing di tingkat global. Selain itu, untuk kriteria
kewirausahaan, selain dipersepsikan kuat dalam mendukung daya saing,
namun juga dipersepsikan penting untuk dikembangkan untuk
meningkatkan daya saing. Hal ini terjadi karena pada dasarnya, jiwa
kewirausahaan dalam masyarakat yang berpengaruh terhadap
pembangunan infrastruktur strategis, pemanfaatan sumber daya alam,
regulasi bisnis, iklim bisnis, dan investasi yang baik untuk meningkatkan
lapangan pekerjaan, penciptaan inovasi, persaingan usaha, efisiensi,
produktivitas, pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan daya saing suatu
wilayah atau tidak.
Selain dilihat dari besaran skor kepentingan untuk dikembangkan, tingkat
kepentingan suatu faktor untuk dikembangkan juga dilihat dari seberapa
besar gap antara tingkat kekuatan (evaluasi) dan tingkat kepentingannya.
Apabila suatu faktor memiliki tingkat evaluasi kekuatan yang rendah dan
memiliki kepentingan yang tinggi, maka seharusnya faktor tersebut
merupakan faktor yang penting untuk dikembangkan. Berdasarkan gambar
diatas, maka dapat dilihat bahwa terdapat empat faktor yang memiliki gap
perbedaan yang tinggi antara kepentingan dan evaluasi kekuatannya, yaitu
faktor pemberantasan korupsi, Balai Latihan Kerja Daerah (BLKD), iklim
investasi, dan teknologi.
Untuk kriteria faktor pemberantasan korupsi yang memiliki tingkat
kepentingan tinggi namun memiliki tingkat kekuatan rendah, maka
pemberantasan korupsi harus segera ditingkatkan, baik dalam sektor
pemerintahan maupun dalam perusahaan. Untuk kriteria BLKD, BLKD yang
memiliki potensi untuk meningkatan kualitas SDM Jakarta tentunya dapat
meningkatkan daya saing Jakarta. Untuk kriteria iklim investasi, meskipun
kekuatan iklim investasi netral, namun dipersepsikan oleh para responden

18
bahwa tingkat kepentingan iklim investasi untuk dikembangkan adalah
penting. Menurut para responden, hal ini terjadi karena iklim investasi yang
kondusif dapat meningkatkan kinerja perekonomian dan perusahaan secara
keseluruhan.

c) Kompetensi Inti Jakarta


Kompetensi inti pada dasarnya diukur dari persepsi responden ahli
mengenai tingkat evaluasi dan juga kepentingan dari suatu faktor dalam
mendukung daya saing suatu wilayah. Berdasarkan hasil dari pengukuran
kedua hal tersebut didapati bahwa Indeks Kompetensi Inti Jakarta adalah
sebesar 0,61, atau dapat dikatakan kuat. Secara umum, kekuatan dari
kompetensi inti Jakarta ini ditentukan secara signifikan oleh kemampuan
dari Kota Jakarta untuk memfasilitasi pertumbuhan sektor-sektor basis yang
berkembang dalam perekonomiannya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya
besaran indeks faktor-faktor yang mendukung perkembangan sektor-sektor
tersebut, seperti orientasi perdagangan, kewirausahaan, jaringan usaha,
investasi luar negeri, sistem informasi, diversifikasi industri, kolaborasi
bisnis, aglomerasi industri, dan juga peningkatan nilai tambah.

Gambar 2. 9 Indeks Kompetensi Inti Jakarta


Sumber : Analisa Peneliti, 2013
Berdasarkan gambar diatas, maka faktor-faktor yang dipersepsikan
paling signifikan dalam membentuk kompetensi inti Jakarta adalah orientasi
perdagangan, kewirausahaan, dan jaringan usaha. Sedangkan faktor-faktor

19
yang dipersepsikan kurang membentuk kompetensi inti Jakarta adalah
sumber daya alam, BLKD, dan pemberantasan korupsi.
b. Infrastruktur Strategis (IS)
Untuk mengukur infrastruktur strategis dalam penelitian yang dibahas
adalah Indeks Kriteria Infrastruktur Strategis yang Mendukung Daya Saing
Jakarta, dengan menggunakan cara yang sama dengan perhitungan indeks
kompetensi inti. Dalam menentukan dasar kriteria infrastruktur strategis ini,
peneliti menggunakan kriteria-kriteria infrastruktur strategis yang digunakan
oleh Roberts dan Lindfield (2000) di Ho Chi Minh City, Vietnam, namun
dieliminasi sesuai dengan kesesuaiannya dengan kondisi Jakarta.
Pada penelitian ini, indikator infrastruktur strategis yang digunakan adalah:
ketersediaan jalan tol, ketersediaan jalan raya, ketersediaan transportasi bus,
ketersediaan transportasi perkeretaapian, ketersediaan fasilitas pembuangan
limbah, ketersediaan listrik, ketersediaan air bersih, keberadaan bandar udara,
keberadaan pelabuhan, keberadaan fasilitas pergudangan, keberadaan fasilitas
jaringan telekomunikasi, ketersediaan fasilitas kesehatan, ketersediaan fasilitas
pemerintahan, ketersediaan fasilitas publik, keberadaan fasilitas pendidikan,
serta ketersediaan fasilitas perpustakaan.
1) Evaluasi Infrastruktur Strategis Pembentuk Daya Saing
Jakarta Tahun 2012

Gambar 2. 10 Skor Persepsi Evaluasi Daya Saing Infrastruktur


Strategis Jakarta
Sumber : Analisa Peneliti, 2013

20
Berdasarkan gambar diatas, maka dapat diketahui bahwa kriteria
infrastruktur yang dipersepsikan cukup kuat membentuk daya saing
infrastruktur strategis Jakarta adalah jaringan telekomunikasi dan juga
ketersediaan dan kualitas listrik. Menurut para responden, ketersediaan
kedua infrastruktur tersebutlah yang menyebabkan Jakarta menjadi kota
yang cenderung lebih potensial dibandingkan kota-kota lain di Indonesia,
baik dijadikan lokasi usaha maupun untuk dijadikan lokasi tempat tinggal.
Berdasarkan publikasi yang diterbitkan oleh PT PLN pada tahun 2012,
kebutuhan listrik di Jakarta telah 100 persen terpenuhi, berbeda dengan
kota-kota lain yang bahkan banyak yang masih 30-50 persen. Selain
ketersediaannya yang minim, kota-kota lain di Indonesia juga dihadapkan
dengan masalah kualitas listrik yang buruk. Sedangkan di Jakarta, frekuensi
padam listriknya tidak sebanyak di luar daerah.
Selain jaringan telekomunikasi dan jaringan listrik, fasilitas pendidikan
juga merupakan kriteria yang cukup kuat dalam membentuk daya saing
infrastruktur strategis di Jakarta. Selain faktor ibukota negara, fasilitas
pendidikan di Jakarta secara umum merupakan yang terlengkap apabila
dibandingkan dengan kota-kota lain. Cukup kuatnya fasilitas pendidikan di
Jakarta juga menyebabkan semakin meningkatnya kualitas sumber daya
manusia yang berada di Jakarta. Tingginya kualitas sumber daya manusia
tersebutlah yang pada akhirnya menyebabkan Jakarta menjadi kota yang
lebih berdaya saing di tingkat nasional dan internasional. Adapun
infrastruktur strategis yang dipersepsikan paling lemah dalam membentuk
daya saing infrastruktur strategis DKI Jakarta adalah pembuangan limbah.
Hal ini disebabkan Jakarta masih belum memiliki sistem pembuangan limbah
yang memadai sehingga limbah tersebut sebagian besar tidak dikelola dan
dibuang di saluran pembuangan rumah tangga, dll.
2) Infrastruktur Strategis yang Penting untuk Dikembangan Demi
Meningkatkan Daya Saing Jakarta

21
Gambar 2. 11 Skor Persepsi Evaluasi Daya Saing Infrastruktur
Strategis Jakarta
Sumber : Analisa Peneliti, 2013
Berdasarkan gambar diatas, maka dapat diketahui bahwa infrastruktur
strategis yang dinilai penting untuk dikembangkan adalah jaringan
telekomunikasi, bandar udara, dan juga ketersediaan dan kualitas listrik.
Ketiga hal ini dipersepsikan penting untuk dikembangkan oleh para
responden sebagai upaya untuk menjadikan Jakarta sebagai kota pusat
perdagangan dan jasa Internasional. Selain itu, fasilitas pelabuhan dan
pergudangan juga dipersepsikan memiliki tingkat kepentingan yang juga
tinggi untuk dikembangkan, agar mobilitas barang dan jasa dapat berjalan
dengan semakin lancar mengingat bahwa Jakarta adalah pusat
perdagangan dan sektor industri.
Rata-rata infrastruktur dinilai oleh para responden memiliki tingkat
kepentingan yang tinggi untuk dikembangkan. Bahkan indeks terkecil pada
tingkat kepentingan infrastuktur untuk dikembangkan adalah 5,23 untuk
infrastruktur jalan tol. Dibandingkan tingkat kepentingannya, tingkat
kekuatan masing-masing infrastruktur relatif masih lebih rendah. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa kondisi infrastruktur di Jakarta masih
kurang baik dan penting untuk ditingkatkan.
Pada gambar diatas, dapat dilihat bahwa terdapat empat infrastruktur
strategis yang memiliki gap perbedaan yang tinggi antara kepentingan dan
evaluasinya, yaitu fasilitas pembuangan limbah, fasilitas public, ketersediaan
dan kualitas kereta listrik, dan juga ketersediaan dan kualitas transportasi
bus. Berdasarkan persepsi responden, pembuangan limbah merupakan
infrastruktur strategis yang penting untuk dikembangkan demi

22
meningkatkan daya saing Jakarta, namun sayangnya tingkat kekuatannya
masih sangat rendah. Hal ini dipersepsikan demikian sebab pembuangan
limbah yang terpadu pada dasarnya merupakan prasyarat utama kota
metropolitan dan sangat penting untuk meningkatkan kualitas lingkungan
dan standar hidup masyarakat. Namun, seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, Jakarta hingga saat ini belum memiliki sistem pengelolaan
sampah dan akhir yang terpadu, bahkan pengelolaan limbah pada kawasan-
kawasan permukiman belum terencana.
Selain itu, ketersediaan dan kualitas angkutan umum berupa
transportasi bus dan kereta listrik juga merupakan infrastruktur strategis
yang evaluasinya dipersepsikan rendah, namun tingkat kepentingannya
tinggi. Dengan demikian, sarana transportasi ini merupakan infrastruktur
strategis prioritas yang penting untuk dikembangkan. Hingga tahun 2010,
kapasitas angkutan umum hanya mampu melayani sekitar 19 persen dari
jumlah permintaan perjalanan dan kualitasnya relative tidak bagus. Dengan
demikian, peningkatan kualitas dan kuantitas dari kedua angkutan umum
tersebut sangatlah penting, selain untuk meningkatkan efisiensi waktu bagi
pengguna, namun juga bermanfaat untuk mengurangi biaya perjalanan
yang diderita oleh masyarakat Jabodetabek akibat jauhnya tempat bekerja
dengan kawasan permukiman.
3) Infrastruktur Strategis Jakarta

Gambar 2. 12 Indeks Struktur Infrastruktur Strategis yang


Mendukung Daya Saing Jakarta

23
Sumber : Analisa Peneliti, 2013
Berdasarkan perhitungan tingkat kekuatan dan tingkat kepentingannya,
Indeks Infrastruktur Strategis yang Mendukung Daya Saing Jakarta adalah
sebesar 0,49. Indeks ini menunjukkan bahwa daya saing infrastruktur
strategis DKI Jakarta berada pada posisi netral dan cenderung cukup baik
dalam mendukung daya saing Jakarta. Berdasarkan gambar 8, dapat dilihat
bahwa infrastruktur strategis yang paling mendukung daya saing Jakarta
adalah jaringan telekomunikasi, listrik, dan fasilitas pendidikan. Sedangkan
infrastruktur yang paling kurang mendukung daya saing Jakarta adalah
pembuangan limbah, fasilitas publik, dan sarana transportasi (bus dan
kereta api).
Sejalan dengan kompetensi intinya, suatu kesimpulan yang dapat
ditarik dari infrastruktur dari infrastruktur strategis yang berkembang di
Jakarta adalah bahwa infrastruktur yang berkembang pada dasarnya
merupakan infrastruktur strategis yang menunjang sektor-sektor basis
dalam perekonomian.
c. Manajemen Risiko/Risk Management (RM)
Indeks yang menggambarkan manajemen risiko ekonomi yang dihadapi
Jakarta diperoleh dengan menghitung indeks risiko yang perlu diantisipasi
(Anticipated Risk Index/Ra). Indeks risiko yang perlu diantisipasi didapatkan
dengan mengalikan skor Risk Impact/Ri dengan Risk Possibilities/Rp. Ri
merupakan seberapa kuat dampak dari suatu faktor, sementara Rp merupakan
seberapa besar kemungkinan suatu faktor risiko terjadi. Anticipated Risk Index
pada dasarknya merupakan indeks yang menggambarkaan risiko prioritas yang
harus dikelola dalam konteks regional. Berikut merupakan matriks MSA yang
digunakan untuk perhitungan indeks risiko yang perlu diantisipasi.

Gambar 2. 13 Tabel Matriks MSA untuk Perhitunan Indeks Risiko yang


Perlu Diantisipasi
Sumber : Analisa Peneliti, 2013

24
Dalam menentukan dasaran faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
manajemen risiko, peneliti menggunakan faktor-faktor risiko yang digunakan
oleh Roberts (2000) di Far North Queensland (FNQ), Australia, namun dieliminasi
sesuai dengan kesesuaiannya dengan kondisi Jakarta. Menurut Robert and
Stimson (2002), ada 7 (tujuh) instrumen risiko yang perlu dipertimbangkan
dalam mengembangkan strategi pengelolaan risiko, yaitu:
1. Economic Risk, yaitu risiko yang berkaitan dengan dampak pasar global,
faktor perdagangan, pasar, tingkat suku bunga, dan inflasi
2. Production Risk, yaitu risiko yang dapat mempengaruhi proses produksi,
seperti gangguan akses terhadap input, biaya, keuntungan, maupun sumber
daya seperti gangguan tenaga kerja
3. Governance Risk, yaitu risiko yang berkaitan dengan pemerintahan, seperti
ketidakstabilan pemerintahan, perubahan kebijakan politik, dan kedaulatan
4. Environmental Risk, yaitu risiko yang berkaitan dengan keadaan alam seperti
gempa bumi, banjir, ataupun kejadian yang disebabkan oleh manusia
seperti kemacetan dan polusi
5. Societal or Social Risk, yaitu risiko yang berkaitan dengan klaim public atas
sikap pengusaha dan komunitas terhadap pembangunan
6. Technological Risk, yaitu risiko yang berkaitan dengan penggunaan
teknologi yang digunakan dalam proses produksi
7. Behavioral Risk, yaitu risiko yang berkaitan dengan karakteristik individu
atau perusahaan, seperti tingkat kepercayaan, rasa aman, sikap pekerja
yang mempengaruhi efisiensi kerja dan industri
Indikator risiko yang digunakan dalam penelitian ini terbagi dari 25 (dua
puluh lima indikator) yang terbagi dalam dua kategori (risk impact dan risk
possibilities), yaitu:
1. Perubahan nilai tukar yang cepat (rapid changes in exchange rates)
2. Fluktuasi permintaan konsumen yang cepat
3. Bencana banjir
4. Bencana akibat ulah manusia
5. Ketidakstabilan politik
6. Krisis ekonomi global
7. Krisis ekonomi nasional
8. Peningkatan inflasi
9. Naiknya suku bunga

25
10. Gangguan sistem transportasi
11. Penghapusan tarif (tariff removal)
12. Minimnya pelayanan telekomunikasi (loss of telecommunication services)
13. Hilangnya permintaan pasar domestic
14. Naiknya tarif transportasi
15. Naiknya tarif komunikasi
16. Naiknya tarif energy
17. Naiknya tarif air
18. Peningkatan upah tenaga kerja
19. Ketidakstabilan hubungan perusahaan dengan pekerja (unstable industrial
relation)
20. Kelangkaan sumber daya alam (natural resource depletion) 

21. Polusi
22. Sengketa harta kepemilikan rakyat
23. Kerusuhan/demo
24. Aksi premanisme
25. Balai Latihan Kerja Daerah (BLKD)
1) Risiko Ekonomi

Gambar 2. 14 Indeks Risiko yang Perlu Diantisipasi untuk


Meningkatkan Daya Saing Jakarta
Sumber : Analisa Peneliti, 2013

26
Pada penelitian ini, untuk menilai risiko ekonomi yang dapat dihadapi
oleh Jakarta, digunakan Anticipated Risk Index (Ra). Ra merupakan indeks
yang menggambarkan risiko prioritas yang harus dikelola dalam konteks
regional dan sektoral. Ra diperoleh berdasarkan persepsi dampak dari suatu
faktor risiko dan tingkat kemungkinan terjadinya pada suatu waktu tertentu.
Berdasarkan gambar diatas, maka diperoleh bahwa faktor risiko yang
paling penting diantisipasi adalah bencana berupa ulah manusia dan juga
banjir. Faktor bencana akibat ulah manusia tersebut dipersepsikan oleh para
responden sangat berpengaruh karena tingginya dampak dan kemungkinan
sejumlah bencana yang diakibatkan oleh manusia sendiri seperti kebakaran
pada kawasan hunian yang padat, pabrik, maupun tempat-tempat lainnya.
Jenis bencana akibat ulah manusia lainnya adalah pembangunan gedung-
gedung bertingkat yang menyebabkan peningkatan beban lahan yang pada
akhirnya menambah penurunan lahan di Jakarta. Selain itu, banjir akibat
tingginya intensitas curah hujan di wilayah hulu sungai dan banjir yang
disebabkan intensitas hujan yang tinggi di Jakarta yang berakibat mobilitas
Jakarta lumpuh selama berhari-hari dan kerugian yang ditimbulkan juga
sangatlah besar. Oleh karena itu, tingkat penilaian risiko dampak banjir
menjadi sangat tinggi dan menjadikan risiko banjir peringkat kedua indeks
risiko yang patut untuk diantisipasi.
Berdasarkan perhitungan dampak dan kemungkinan terjadinya risiko-
risiko dalam perekonomian, Indeks Risiko yang Perlu Diantisipasi Untuk
Meningkatkan Daya Saing Jakarta adalah sebesar 0,60. Artinya, tingkat risiko
yang dihadapi oleh Jakarta relatif tinggi dan kemampuan Pemerintah Pusat
maupun daerah untuk mengelola risiko sangatlah penting agar risiko tersebut
tidak mengurangi daya saing Jakarta.
2. Analisis Elemen Daya Saing Regional
Daya saing regional merupakan interaksi dari faktor-faktor yang membentuk
kompetensi inti, infrastruktur strategis, dan juga kemampuan suatu daerah untuk
mengelola risiko yang terjadi didalam suatu daerah. Indeks daya saing regional
diperoleh dengan menjumlahkan Indeks Kompetensi Inti, Indeks Infrastruktur
Strategis, dan Anticipated Risk Index, dibagi dengan jumlah seluruh kriteria dan
juga risiko yang digunakan dalam penelitian. Berikut merupakan keterangan indeks
daya saing regional yang digunakan dalam penelitian.

27
Gambar 2. 15 Tabel Keterangan Indeks Daya Saing Regional
Sumber : Analisa Peneliti, 2013
Berdasarkan perhitungan indeks kompetensi inti, infrastruktur strategis, dan
juga risiko ekonomi yang perlu diantisipasi, maka dapat diketahui indeks daya saing
Jakarta. Indeks daya saing Jakarta pada tahun 2012 adalah sebesar 0,57 atau
cukup baik. Cukup baiknya indeks daya saing Jakarta ini didorong oleh indeks
kompetensi inti yang tergolong baik, indeks infrastruktur strategis yang berada
pada posisi netral cenderung cukup baik dan risiko ekonomi yang perlu diantisipasi
cenderung cukup tinggi.
Peningkatan daya saing di Jakarta yang diketahui dari peningkatan faktor
kompetensi inti, kriteria infrastruktur strategis dan juga antisipasi risiko ekonomi
tidak dapat dikelola hanya Pemerintah DKI Jakarta, namun memerlukan peran dari
stakeholder-stakeholder lain, seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah daerah-daerah
di Jakarta dan sekitarnya, masyarakat, pelaku usaha, dll. Apabila tidak ada
sinergisasi antara setiap komponen tersebut, maka peningkatan daya saing Jakarta
tidak akan tercapai.
B. Analisis SWOT
Berdasarkan analisis Multikriteria Sektor Analisis (MSA) diketahui kompetensi inti,
infrastruktur strategis, dan manajemen risiko untuk meningkatkan daya saing Kota
Jakarta, Dari hasil analisis diketahui bahwa terdapat potensi dan masalah pada masing-
masing sektor yang perlu dikembangkan dan dicari solusi penyelesaiannya. Berikut ini
identifikasi potensi masalah dari hasil analisis yang ada ditinjau dari segi internal maupun
eksternal.

28
Gambar 2. 16 Tabel Identifikasi Potensi Masalah Internal Eksternal
Sumber : Analisa Peneliti, 2013
Sehingga berdasarkan identifikasi potensi masalah diatas maka dapat dilakukan
analisis lebih lanjut untuk mengetahui strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
potensi dan menyelesaikan masalah terkait daya saing Kota Jakarta. Analisis yang
dilakukan menggunakan analisa SWOT pada matriks dibawah ini.

29
Gambar 2. 17 Matriks SWOT
Sumber : Analisa Peneliti, 2013
Melalui analisis SWOT diatas maka diketahui strategi peningkatan daya saing Kota
Jakarta berdasarkan potensi dan masalah yang adalah adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan inovasi program kewirausahaan, terutama di kalangan anak muda.
2. Meningkatkan investasi pihak asing terutama dalam pengadaan infrastruktur DKI
Jakarta.
3. Meningkatkan daya saing DKI Jakarta untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi
4. Meningkatkan infrastruktur transportasi pubilk melalui kerjasama antar swasta
5. Meminimalisir potensi dan resiko bencana dengan pembangunan berwawasan
lingkungan.
6. Memanfaatkan teknologi sebagai sarana komunikasi antar stakeholder.
7. Optimalisasi dan inovasi perekonomian DKI Jakarta.

30
8. Meningkatkan pengawasan antar instansi untuk mengurangi potensi terjadinya
korupsi
Strategi tersebut kemudian disesuaikan kembali dengan hasil analisis MSA berupa
prioritas pengembangan berdasarkan seluruh aspek yang ada. Sehingga dari strategi tersebut
kemudian diaplikasikan dalam konsep penanganan yang akan dirumuskan. Adapun
berdasarkan strategi yang ada maka dapat diklasifikasikan dalam 4 (empat) jenis konsep
penangananan yaitu:
1. Pengembangan kewirausahaan
2. Optimalisasi infrastruktur strategis
3. Penerapan pembangunan berkelanjutan / sustainable development
4. Sinergisasi komponen stakeholder

31
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang yang didapatkan berdasarkan tujuan yang telah dirumuskan
yaitu pertama ialah mengetahui teori dan konsep Multi Sector Analysis (MSA) dan dapat
mengetahui penggunaan Multi Sector Analysis (MSA) dalam menilai daya saing. Selain itu,
Multi-Sector Analysis (MSA) dalam ekonomi wilayah terdapat indikator untuk menentukan
daya saing suatu wilayah yang terdiri dari beberapa indikator Core Competencies (CC),
strategic infrastructure (IS), dan risk management (RM). Ketiga indikator tersebut merupakan
indikator untuk menentukan Regional Competitiveness atau Daya Saing Regional, dimana hal
tersebut untuk menjawab daya saing suatu wilayah.
3.2 Lesson Learned
Adapun lesson learned yang didapatkan setelah dilakukan perumusan tujuan,
identifikasi tinjauan pustaka dan studi kasus yaitu.
1. Analisis MSA Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja di dalam industri yang
berpengaruh terhadap keunggulan kompeitif,
2. Analisis MSA dapat mengukur kekuatan dan kelemahan suatu sektor industri,
3. Analisis MSA bisa melakukan identifikasi huubungan antar faktor yang mendukung
perkembangan suatu industri, dan
4. Analisis MSA dapat mengukur seberapa besar kesempatan dan pasar baru untuk
pengembangan ekonomi wilayah.
5. Analisis MSA dapat meilhat daya saing suatu wilayah dalam bidang ekonomi
kewilayahan.
6. Dalam mendeskripsikan hasil dari analisis, Analisis MSA sangat tepat digunakan
untuk menentukan arahan atau strategi dengan konsep pengembangan atau
penanganan dibantu dengan analisis kualitatif seperti Analisis SWOT.

32
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Petter. 2002. Daya Saing Daerah Konsep dan Pengukurannya di Indonesia.
Yogyakarta : BPFE
Afianti, Puspita Putri. 2017. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Standar Akuntansi
Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) Pada UMKM Di Kabupaten
Bogor. Jakarta : Jurnal FE Universitas Negeri Jakarta
Arsyad, L. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah, Edisi Pertama.
Yogyakarta : BPFE
Ayu, Diana dkk. 2016. Analisis Daya Saing Provinsi DKI Jakarta Menggunakan
Multi Sektro Analysis (MSA). Surabaya : Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Budiharsono, Sugeng. 2013. Perkembangan dan Pengertian Ekonomi Wilayah. Ruang dan
Wilayah dan Teori Lokasi. Bandung : Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi, Lembaga
Administrasi Negara (STIA-LAN)
Camagni, R., 2002. On The Concept Of Territorial Competitiveness : Sound or Misleading/
ERSA Conference Papers ERSA 02 p518, European Regional Science Association Hamel
dan Prahalad. New Delhi : Tata McGraw Hill
Cho, Dong-Sung & Hwy-Chang Moon. 2003. From Adam Smith To Michael Porter (Evolusi
Teori Daya Saing). Jakarta : Salemba Empat
Frinces, Z. Heflin. 2011. Manajemen SDM: Kiat Memenangkan Persaingan Global. Yogyakarta:
Gradasi Media.
Ganeshan, R., and Harrison, T. P. 1995. An Introduction to Supply Chain Management,
Department of Management Sciences and Information Systems. Canada : University of
Manitoba
Gardiner, B. Martin, R. & Tyler, P. 2004. Competitiveness, Productivity and Economic Growth
across the European Regions. London : Regional Productivity Forum Seminar
Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
Kajian Atas Kebijakan Penguatan Daya Saing Daerah Dalam Rangka Peningkatan
Kesejahteraan Masyarakat
Kitson, M., Martin, R. and Tyler, P. 2004. Regional Competitiveness: An Elusive yet Key
Concept? Regional Studies, 38 (9): 991. Cambridge : Carfax Publishing
Kuncoro, Mudrajat. 2007. Metode Kuantitatif, Teori dan Aplikasi untuk Bisnis dan Ekonomi.
Yogyakarta : UPP STIM YKPN
Michael E. Porter. 1990. “Competitive Strategy”, Techniques for Analysing Industries and
Competitors. New York: The Free Press.

33
Michael E. Porter. 1995. “Competitive Advantage”, New York: The Free Press., Edisi
Terjemahan Tahun 2008. Kharisma Publishing Group.
Millah dan Sasana. 2013. Analisis Daya Saing Daerah di Jawa Tengah (Studi Kasus: Kota
Semarang, Kota Salatiga, Kota Surakarta, Kota Magelang, Kota Pekalongan, dan Kota
Tegal Tahun 2009-2011) Vol. 3, No.1, Tahun 2014, 1-8. Semarang : Diponegoro Journal
of Economics
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses
Porter, M.E., 1990. “The Competitive Advantage of Nations”. New York : The Free Press
Porter, M.E. 2000. Strategi Bersaing Teknik Menganalisis Industri dan Pesaing, Terjemahan
Agus Maulana Liberty. Yogyakarta
Santoso, Eko Budi, 2009. Daya saing Kota-Kota Besar Di Indonesia. 2009. Seminar Nasional
Cities
Stimson, R. J., Stough, R. R., & Roberts, B. H. 2006. Multi-Sector Analysis: Approaches to
Assessing Regional Competitiveness and Risk. Regional Economic Development:
Analysis and Planning Strategy, 279-318. Berlin : Springer
Simarmata, D. M. 2013. Analisis Daya Saing DKI Jakarta Ditinjau Dari Kompetensi Inti,
Infrastruktur Strategis, dan Risiko Ekonomi. Jakarta : Universitas Indonesia
Sjafrizal. 1985. Teori Ekonomi Regional: Konsep dan Perkembangan dalam Memelihara
Momentum Pembangunan. Jakarta : Penerbit Gramedia
https://www.kompasiana.com/diahayunovitasari/5dd12afed541df58143b6413/multi-sektor-
analisis (diakses pada tanggal 26 Maret 2020)

34

Anda mungkin juga menyukai