Anda di halaman 1dari 19

BAB I PENDAHULUAN

Kata “dermatitis” berarti adanya inflamasi pada kulit. Ekzema merupakan bentuk khusus dari
dermatitis. Beberapa ahli menggunakan kata ekzema untuk menjelaskan inflamasi yang
dicetuskan dari dalam pada kulit. Prevalensi dari semua bentuk ekzema adalah 4,66%,
termasuk dermatitis atopik 0,69%, eczema numular 0,17%, dan dermatitis seboroik 2,32%
yang menyerang 2% hingga 5% dari penduduk.

Dermatitis seboroik (D.S.) atau Seborrheic Eczema merupakan penyakit yang umum, kronik,
dan merupakan inflamasi superfisial dari kulit, ditandai oleh pruritus, berminyak, bercak
merah dengan berbagai ukuran dan bentuk yang menutup daerah inflamasi pada kulit kepala,
muka, dan telinga. Daerah lain yang jarang terkena, seperti daerah presternal dada. Beberapa
tahun ini telah didapatkan data bahwa sekurang – kurangnya 50% pasien HIV terkena
dematitis seboroik. Ketombe berhubungan juga dermatitis seboroik, tetapi tidak separah
dermatitis seboroik. Ada juga yang menganggap dermatitis seboroik sama dengan ketombe.

1
BAB II EPIDEMIOLOGI

Tidak ada data pasti yang tersedia pada insiden dan prevalensi, tetapi penyakit ini diyakini
lebih banyak ditemukan daripada psoriasis, misalnya, mempengaruhi minimal 2-5 % dari
populasi. Prevalensinya 40-80 % pada pasien dengan acquired immunodeficiency syndrome.

Pada tahun 1971-1974 National Health and Nutrition Examination Survey meneliti sampel
antara 1 sampai dengan usia 74 tahun. Didapatkan 70 % mengalami dermatitis seboroik pada
rentang umur 3 bulan sampai dengan 1 tahun. 2,8 % dari total sampel mengalami dermatitis
seboroik. Dimana 46,64 % laki-laki dan 55,56 % wanita.

Dermatitis seboroik menyerang 2% - 5% populasi. Dermatitis seboroik dapat menyerang bayi


pada tiga bulan pertama kehidupan dan pada dewasa pada umur 30 hingga 60 tahun. Insiden
memuncak pada umur 18-40 tahun. Sedangkan di Amerika Serikat prevalensi dari Dermatitis
seboroik adalah sekitar 1-3% dari jumlah populasi umum, dan 3-5% terjadi pada dewasa
muda.

DS lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Berdasarkan pada suatu survey pada 1.116
anak–anak, dari perbandingan usia dan jenis kelamin, didapatkan prevalensi dermatitis
seboroik menyerang 10% anak laki–laki dan 9,5% pada anak perempuan.

Prevalensi semakin berkurang pada tahun berikutnya dan sedikit menurun pada umur lebih
dari 4 tahun. Kebanyakan pasien (72%) terserang minimal atau dermatitis seboroik ringan.

Pada penderita AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome), dapat terlihat pada hampir
35% pasien terdapat peningkatan insiden pada penyakit Parkinson, paralisis fasial, pityriasis
versicolor, cedera spinal, depresi dan yang menerima terapi psoralen ditambah ultraviolet A
(PUVA). Juga beberapa obat–obatan neuroleptik mungkin merupakan faktor terjadinya
kejadian ini tetapi masih belum dibuktikan.

Kondisi kronik lebih sering terjadi dan sering lebih parah pada musim dingin yang lembab
dibandingkan pada musim panas.

2
BAB III ISI

3.1. DEFINISI

Kata ‘dermatitis’ berarti adanya inflamasi pada kulit. Ekzema merupakan bentuk khusus dari
dermatitis. Beberapa ahli menggunakan kata ekzema untuk menjelaskan inflamasi yang
dicetuskan dari dalam pada kulit. Prevalensi dari semua bentuk ekzema adalah 4,66%,
termasuk dermatitis atopik 0,69%, ekzema numular 0,17%, dan dermatitis seboroik 2,32%
yang menyerang 2% hingga 5% dari penduduk.

Istilah dermatitis seboroik (DS) dipakai untuk segolongan kelainan kulit yang didasari oleh
faktor konstitusi dan bertempat predileksi di tempat-tempat seboroik.

Dermatitis seboroik adalah peradangan kulit yang sering terdapat pada daerah tubuh
berambut, terutama pada kulit kepala, alis mata dan muka, kronik dan superfisial.

Dermatitis seboroika adalah peradangan kulit pada daerah yang banyak mengandung kelenjar
sebasea. Dermatitis seboroik (DS) atau Seborrheic Eczema merupakan penyakit yang umum,
kronik, dan merupakan inflamasi superfisial dari kulit, ditandai oleh pruritus, berminyak,
bercak merah dengan berbagai ukuran dan bentuk yang menutup daerah inflamasi pada kulit
kepala, muka, dan telinga. Daerah lain yang jarang terkena, seperti daerah presternal dada.
Beberapa tahun ini telah didapatkan data bahwa sekurang-kurangnya 50% pasien HIV
terkena dematitis seboroik. Ketombe berhubungan juga dermatitis seboroik, tetapi tidak
separah dermatitis seboroik. Ada juga yang menganggap dermatitis seboroik sama dengan
ketombe.

3.2. ETIOLOGI

Penyebabnya belum diketahui pasti. Hanya didapati aktivitas kelenjar sebasea berlebihan.
Ada beberapa kemungkinan penyebab terjadinya dermatitis seboroik :

 Pengaruh hormon

3
Dermatitis seboroik dijumpai pada bayi dan pada usia pubertas. Pada bayi dijumpai hormon
transplasenta meninggi beberapa bulan setelah lahir dan penyakitnya akan membaik bila
kadar hormon ini menurun.

 Jamur Pityrosporum ovale

Penelitian lain menunjukan bahwa pityrosporum ovale (Malassezia ovale), jamur lipofilik,
banyak pada penderita dermatitis seboroik. Pertumbuhan P. ovale yang berlebihan dapat
mengakibatkan reaksi inflamasi, baik akibat produk metabolitnya yang masuk ke dalam
epidermis maupun karena sel jamur itu sendiri melalui aktivasi sel limfosit T dan sel
Langerhans. Sehingga pengobatan ketokonazole 2 % akan menurunkan jumlah jamur ini dan
menyembuhkan penyakit.

 Perbandingan komposisi lipid dikulit berubah, jumlah kolesterol, trigliserida, parafin


meningkat; dan kadar squelen, asam lemak bebas dan wax ester menurun.

Faktor-faktor lain yang diduga sebagai penyebab penyakit ini, antara lain :

 Iklim
 Genetik

Merupakan kelainan konstitusi berupa stasus seboroik (seborrhoeic state) yang rupanya
diturunkan, diperkirakan juga dapat mempengaruhi onset dan derajat penyakit. Sering
berasosiasi dengan meningginya suseptibilitas terhadap infeksi piogenik, tetapi terbukti
mikroorganisme inilah yang menyebabkan DS.

 Lingkungan
 Hormon
 Neurologik

3.3. PATOGENESIS

Penyakit ini berhubungan dengan kulit yang berminyak (seborrhea), meskipun peningkatan
produksi sebum tidak selalu dapat di deteksi pada pasien ini. Seborrhea merupakan faktor
predisposisi terjadinya dermatitis seboroik, namun dermatitis seboroik bukanlah penyakit
yang terjadi pada kelenjar sebasea. Kelenjar sebasea tersebut aktif pada bayi baru lahir,

4
kemudian menjadi tidak aktif selama 9-12 tahun akibat stimulasi hormon androgen dari ibu
berhenti. Dermatitis seboroik pada bayi terjadi pada umur bulan-bulan pertama, kemudian
jarang pada usia sebelum akil balik dan insidensinya mencapai puncaknya pada umur 18 – 40
tahun, dan kadang-kadang pada umur tua. Tingginya insiden dermatitis seboroik pada bayi
baru lahir setara dengan ukuran dan aktivitas kelenjar sebasea pada usia tersebut. Hal ini
menunjukkan bahwa bayi yang baru lahir memiliki kelenjar sebasea dengan tingkat sekresi
sebum yang tinggi.

Pada masa kecil, terdapat hubungan yang erat antara dermatitis seboroik dengan peningkatan
produksi sebum. Kondisi ini dikenal sebagai dermatitis seboroik pada bayi, hal tersebut
normal ditemukan pada bulan pertama kehidupan, berbeda dengan kondisi dermatitis
seboroik yang terjadi pada masa remaja dan dewasa.

Pada dewasa sebaliknya, tidak ada hubungan yang erat antara peningkatan produksi sebum
dengan dermatitis seboroik, jika terjadi puncak aktivitas kelenjar sebasea pada masa awal
pubertas, dermatitis seboroik mungkin terjadi pada waktu kemudian. Meskipun kematangan
kelenjar sebasea rupanya merupakan faktor predisposisi timbulnya dermatitis seboroik, tetapi
tidak ada hubungan langsung secara kuantitatif antara keaktifan kelenjar tersebut dengan
sukseptibilitas untuk memperoleh dermatitis seboroik.

Tempat terjadinya dermatitis seboroik memiliki kecenderungan pada daerah wajah, telinga,
kulit kepala dan batang tubuh bagian atas yang sangat kaya akan kelenjar sebasea. Dua
penyakit yang memiliki tempat predileksi yang sama di daerah ini yaitu dermatitis seboroik
dan acne.

Banyak percobaan telah dilakukan untuk menghubungkan penyakit ini dengan infeksi oleh
bakteri atau Pityrosporum ovale yang merupakan flora normal kulit manusia. Pertumbuhan P.
ovale yang berlebihan dapat mengakibatkan reaksi inflamasi, baik akibat produk
metabolitnya yang masuk ke dalam epidermis maupun karena sel jamur itu sendiri, melalui
aktivasi sellimfosit T dan sel Langerhans.

Penelitian di Rosenberg telah menunjukkan bahwa 2% ketokonazole krim dapat mengurangi


jumlah dari organisme yang terdapat pada lesi di kulit kepala atau kulit yang berminyak, pada
saat yang bersamaan juga dapat menghilangkan gejala dermatitis seboroik. Penjelasan ini
dimana jamur yang menjadi penyebabnya dapat dilakukan pencegahannya. Akan tetapi,
penelitian lain menunjukkan bahwa P. ovale dapat terjadi pada kulit kepala yang tidak

5
menunjukkan gejala klinis dari penyakit ini. Status seboroik sering berasosiasi dengan
meningginya sukseptibilitas terhadap infeksi piogenik, tetapi tidak terbukti bahwa
mikroorganisme inilah yang menyebabkan dermatitis seboroik.

Dermatitis seboroik dapat diakibatkan oleh proliferasi epidermis yang meningkat seperti
psoariasis. Hal ini dapat menerangkan mengapa terapi dengan sitostatik dapat
memperbaikinya. Pada orang yang telah mempunyai faktor predisposisi, timbulnya DS dapat
disebabkan oleh faktor kelelahan, stress, emosional, infeksi, atau defisiensi imun.

Kondisi ini dapat diperburuk dengan meningkatnya keringat. Stress emosional dapat
mempengaruhi penyakit ini juga. Dermatitis seboroik dapat juga menjadi komplikasi dari
Parkinsonisme, yang berhubungan dengan seborrhoea. Pengobatan dari parkinson dengan
levodopa mengurangi ekskresi sebum sejak seborrhea pertama kali ditemukan, tetapi tidak
ada efeknya pada kecepatan ekskresi sebum yang normal. Obat neuroleptik yang digunakan
untuk menginduksi parkinsonsnisme, salah satunya haloperidol, dapat juga menginduksi
terjadinya dermatitis seboroik.

3.4. Histopatologis

Gambaran histologi bermacam-macam sesuai dengan stadium penyakitnya. Pada dermatitis


seboroik akut dan subakut, tersebar superficial infiltrat perivascular dari limfosit dan
histiosit, dari spongiosis yang ringan sampai yang berat, hiperplasia bentuk psoriasis ringan,
Pinkus’s “spurting papilla” hampir sering terlihat sebagai ciri khas dari dermatitis seboroik
sama seperti psoariasis, tetapi abses Munro tidak ada. Penyumbatan folikel oleh karena
orthokeratosis dan parakeratosis dan kerak-kerak yang mengandung neutrofil. Pada dermatitis
seboroik yang kronis terdapat dilatasi pembuluh darah kapiler dan vena pada plexus
superficial.

6
3.5. PREDILEKSI

Pada daerah berambut karena banyak kelenjar sebasea, ialah :

 Bayi

Ada 3 bentuk, yaitu cradle cap, glabrous (daerah lipatan dan tengkuk) dan generalisata
(penyakit Leiner) yang terbagi menjadi familial dan non-familial.

 Orang dewasa

Berdasarkan daerah lesinya DS terjadi pada kulit kepala (pitiriasis sika dan inflamasi), wajah
(blefaritis marginal, konjungtivitis, pada daerah lipatan/sulcus nasolabial, area jenggot, dahi,
alis), daerah fleksura (aksilla, infra mamma, umbilicus, intergluteal, paha), badan (petaloid,
pitiriasiform) dan generalisata (eritroderma, eritroderma eksoliatif), retroaurikula, telinga, dan
dibawah buah dada.

7
3.5. DISTRIBUSI

Distribusinya biasanya bilateral dan simetris berupa bercak ataupun plakat dengan batas yang
tidak tegas, eritem ringan dan sedang, skuama berminyak dan kekuningan. Ruamnya
berbeda-beda, sering ditemukan pada kulit yang berminyak. Ruamnya berupa skuama yang
berminyak, berwarna kekuningan, dengan batas yang tak jelas dan dasar berwarna merah
(eritem).

3.6. KLASIFIKASI

3.6.1. Menurut Usia

 Pada orang remaja dan dewasa

Kelainan kulit terdiri atas eritema dan skuama yang berminyak dan agak kekuningan, batas
agak kurang tegas. DS yang ringan hanya mengenai kulit kepala berupa skuama-skuama yang
halus, mulai sebagai bercak kecil yang kemudian mengenai seluruh kulit kepala dengan
skuama-skuama yang halus dan kasar menjadi pitiriasis sika (ketombe, dandruff). Bentuk
yang berminyak menjadi pitiriasis steatoides yang dapat disertai eritema dan krusta-krusta
yang tebal. Rambut pada tempat tersebut mempunyai kecenderungan rontok, mulai dari
bagian verteks dan frontal.

Gejala klinik khas pada DS ialah skuama yang berminyak dan kekuningan dan berlokasi di
tempat-tempat seboroik.

Pada dermatitis seboroik ringan, hanya didapati skuama pada kulit kepala.Skuama berwarna
putih dan merata tanpa eritem.

Dermatitis seboroik berat dapat mengenai alis mata, kening, pangkal hidung, sulkus
nasolabialis, belakang telinga, daerah prestenal, dan daerah di antara skapula. Blefaritis
ringan sering terjadi.

Bentuk yang berat ditandai dengan adanya bercak-bercak yang berskuama dan berminyak
disertai eksudasi dan krusta tebal. Sering meluas ke dahi, glabela, telinga post-aurikular dan
leher. Pada daerah dahi tersebut, batasnya sering cembung.

8
Pada daerah supraorbital skuama-skuama halus dapat terlihat dialis mata, kulit dibawahnya
eritematosa dan gatal, disertai bercak-bercak skuama kekuningan, dapat terjadi pula blefaritis,
yakni pinggir kelopak mata merahdisertai skuama-skuama halus. Pada daerah pipi, hidung,
dan dahi kelainan dapat berupa papul-papul.

Bila lebih berkembang lagi, lesinya dapat mengenai daerah ketiak, infra mamma, sekitar
pusar (umbilikus), daerah anogenital, lipatan gluteus, dan daerah inguinal.

Pada bentuk yang lebih berat lagi seluruh kepala tertutup oleh krusta-krusta yang kotor dan
berbau tidak sedap. Pada bayi, skuama-skuama yang kekuningan dan kumpulan debris-debris
epitel yang leket pada kulit kepala disebut cradie cap.

DS dapat bersama-sama dengan akne yang berat. Jika meluas dapat menjadi eritroderma,
pada bayi disebut penyakit Leiner.

 Pada bayi

Ada tiga bentuk khas yang terjadi, yaitu secara klinis, cradle cap muncul pada minggu ketiga
sampai minggu keempat dua gambarannya berupa eritema dengan skuama seperti lilin pada
kulit kepala. Bagian frontal dan parietal berminyak dan sering menjadi krusta yang menebal
tanpa eritema. Skuama dengan mudah dapat dihilangkan dengan sering menggunakan sampo
yang mengandung sulfur, asam salisil, atau keduanya (misalnya sampo Sebulex atau sampo
T-gel).

3.6.2. Menurut Daerah Lesi

 Seboroik Kepala

Pada daerah berambut, dijumpai skuama yang berminyak dengan warna kekuningan sehingga
rambut saling melengket. Kadang-kadang dijumpai krusta yang disebut Pityriasis Oleasa
(pityriasis steatoides).

Kadang-kadang skuamanya kering dan berlapis-lapis dan sering lepas sendiri disebut
pitiriasis sika (ketombe).

9
Bisa juga jenis seboroik ini menyebabkan rambut rontok sehingga terjadi alopesia dan rasa
gatal. Perluasan bisa sampai ke belakang telinga (retroaurikularis). Bila meluas, lesinya dapat
sampai ke dahi, disebut korona seboroik.

Dermatitis seboroik yang dijumpai pada kepala bayi disebut topi buaian (Cradle Cap).

 Seboroik Muka

Pada daerah mulut, palpebra, sulkus nasolabial, dagu, dll. Terdapat makula eritem, yang
diatasnya dijumpai skuama berminyak kekuning-kuningan. Bila sampai ke palpebra, bisa
terjadi blefaritis. Sering pada wanita.

Bila didapati di daerah berambut, seperti dagu dan atas bibir, dapat terjadi folikulitis. Hal ini
sering dijumpai pada laki-laki yang sering mencukur janggut dan kumisnya. Seboroik muka
di daerah jenggot disebut sikosis barbe.

 Seboroik Badan dan Sela-sela

Jenis ini mengenai daerah presternal, interskapula, ketiak, infra mamma, umbilikus, krural
(lipatan paha, perineum, nates). Dijumpai ruam berbentuk makula eritema yang pada
permukaanya ada skuama berminyak kekuning-kuningan. Pada daerah badan, lesinya bisa

10
berbentuk seperti lingkaran dengan penyembuhan sentral. Di daerah intertrigo, kadang-
kadang bisa timbul fisura sehingga menyebabkan infeksi sekunder.

3.7. DIAGNOSIS

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang.

3.7.1. Anamnesis

Pada berbagai gejala dari gambaran klinis yang ditemukan pada dermatitis seboroik juga
dapat dijumpai pada dermatitis atopik atau psoriasis, sehingga diagnosis sangat sulit untuk
ditegakkan oleh karena baik gambaran klinis maupun gambaran histologi dapat serupa.

3.7.2. Pemeriksaan Fisik

Oleh sebab itu, perlu ketelitian untuk membedakan DS dengan penyakit lain sebagai
diferensial diagnosis. Psoriasis misalnya yang juga dapat ditemukan pada kulit kepala,
kadang disamakan dengan DS, yang membedakan ialah adanya plak yang mengalami
penebalan pada liken simpleks.

3.7.3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada pasien dermatitis seboroik adalah pemeriksaan
histopatologi walaupun gambarannya kadang juga ditemukan pada penyakit lain, seperti pada
dermatitis atopik atau psoriasis. Gambaran histopatologi tergantung daris stadium penyakit.
Pada bagian epidermis dijumpai parakeratosis dan akantosis. Pada korium, dijumpai
pembuluh darah melebar dan sebukan perivaskuler.

Pada DS akut dan subakut, epidermisnya ekonthoik, terdapat infiltrat limfosit dan histiosit
dalam jumlah sedikit pada perivaskuler superfisial, spongiosis ringan hingga sedang,
hiperplasia psoriasiform ringan, ortokeratosis dan parakeratosis yang menyumbat folikuler,
serta adanya skuama dan krusta yang mengandung netrofil pada ostium folikuler. Gambaran
ini merupakan gambaran yang khas. Pada dermis bagian atas, dijumpai sebukan ringan
limfohistiosit perivaskular.

11
Pada DS kronik, terjadi dilatasi kapiler dan vena pada pleksus superfisial selain dari
gambaran yang telah disebutkan di atas yang hampir sama dengan gambaran psoriasis.

Kultur jamur dan kerokan kulit amat bermanfaat untuk menyingkirkan tinea kapitis maupun
infeksi yang disebabkan kuman lainnya. Pemeriksaan serologis untuk menyingkirkan
dermatitis atopik. Pemeriksaan komposisi lemak pada permukaan kulit dimana memiliki
karakteristik yang khas yakni menigkatnya kadar kolesterol, trigliserida dan parafin disertai
penurunan kadar squalene, asam lemak bebas dan wax ester.

3.8. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis dari dermatitis seboroik dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gejala klinis.
Diagnosis banding dapat ditegakkan berdasarkan keluhan dan gejala klinis, umur dan ras.
Kondisi yang membingungkan atau mirip dengan dermatitis seboroik adalah psoriasis,
dermatitis atopik, dan tinea kapitis pada anak-anak.

Diagnosis banding dermatitis seboroik, antara lain sebagai berikut:

1. Psoriasis

Predileksi didaerah eksentor (lutut, siku dan punggung) dan kulit kepala. Dijumpai skuama
yang lebih tebal, kasar, berlapis-lapis, putih seperti mutiara dan tak berminyak disertai tanda
tetesan lilin dan auspitz. Selain itu ada gejala yang khusus untuk psoriasis.

2. Pitiriasis Rosea

Distribusi kelainan kulit simetris dan terbatas pada tubuh dan bagian proksimal anggota
badan.skuamanya halus dan tidak berminyak. Sumbu panjang lesi sejajar dengan gariskulit.

3. Tinea

Tinea kapitis, dijumpai alopesia, kadang-kadang dijumpai keroin. Pada tinea kapitis dan tinea
kruris, eritem lebih menonjol di pinggir dan pinggirnya lebih aktif dibandingkan tengahnya.

4. Dermatitis Atopik

Bentuk Infantil dapat menyerupai dermatitis seboroik muka. Dermatitis Atopik adalah
keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal. Biasanya terjadi pada bayi atau

12
anak-anak. Skuama kering dan difus, berbeda dengan DS yang skuamanya berminyak dan
kekuningan. Selain itu, pada dermatitis atopik dapat terjadi likenfikasi.

5. Kandidosis

Kandidiosis menyerupai DS pada lipatan paha dan perianal. Perbedaannya kandidosis


terdapat eritema berwarna merah cerah berbatas tegas dengan satelit-satelit disekitarnya.
Kandidiasis adalah penyakit jamur yang disebabkan oleh spesies Candida, biasanya oleh
Candida albicans. Kandidosis kadang sulit dibedakan dengan DS jika mengenai lipatan paha
dan perianal. Lesi dapat berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik dan basah. Perbedaannya
ialah pada kandidiasis terdapat eritema berwarna merah cerah berbatas tegas dengan satelit-
satelit di sekitarnya. Predileksinya juga bukan pada daerah-daerah yang berminyak, tetapi
lebih sering pada daerah yang lembab. Selain itu, pada pemeriksaan dengan larutan KOH
20%, terlihat sel ragi, blastospora atau hifa semu.

6. Otomikosis dan Otitis Eksterna

Otomikosis dan otitis eksterna menyerupai DS yang menyerang saluran telinga luar. Bedanya
pada otomikosis akan terlihat elemen jamur pada sedian langsung. Otitis eksterna
menyebabkan tanda-tanda radang, jika akut terdapat pus.

7. Liken Simpleks Kronikus

Peradangan kulit kronis yang gatal, sirkumskrip ditandai dengan kulit tebal dan garis kulit
tampak lebih menonjol (likenfikasi). Tidak biasa terjadi pada anak tetapi pada usia ke atas,
berbeda dengan DS yang sering juga terjadi pada bayi dan anak-anak. Timbul sebagai lesi
tunggal pada daerah kulit kepala bagian posterior atau sekitar telinga. Tempat predileksi di
kulit kepala dan tengkuk, sehingga kadang sukar dibedakan dengan DS. Yang
membedakannya ialah adanya likensifikasi pada penyakit ini.

8. SLE

Penyakit yang biasanya bersifat akut, multi sistemik dan menyerang jaringan konektif dan
vaskular. SLE sulit dibedakan dengan DS, oleh karena pada SLE juga dapat dijumpai
skuama. Yang dapat membedakan ialah lesi SLE berbentuk seperti kupu-kupu, tersering di
area molar dan nasal dengan sedikit edema, eritema dan atrofi. Terdapat gejala demam,
malaise, serta tes antibodi-antinuklear (+).

13
3.9. PENATALAKSANAAN

Kasus-kasus yang telah mempunyai faktor konstitusi agak sukar disembuhkan, meskipun
penyakitnya dapat terkontrol. Faktor predisposisi hendaknya diperhatikan, misalnya stress
emosional dan kurang tidur. Mengenai diet, dianjurkan rendah lemak.

 Pada Bayi
1. Kulit kepala. Pengobatan terdiri dari 3-5% asam salisilat dalam minyak zaitun
atau air, diaplikasikan emollient dengan glukokortikosteroid dalam cream atau
lotion selama beberapa hari, sampo bayi, perawatan kulit yang teratur dengan
emollient, cream, dan pasta.
2. Area intertriginosa. Pengobatan meliputi lotion pengering, seperti 0,2-0,5 %
clioquinol dalam zinc lotion atau zincoil. Pada kandidiasis lotion atau cream
nistatin atau amphotericin B dapat dicampur dengan pasta lembut.
 Pada dewasa
1. Kulit kepala. Dianjurkan sampo yang mengandung selenium sulfide, imidazoles,
zinc pyrithion, benzoyl peroxide, asam salisilat, tar atau deterjen. Keraknya dapat
diperbaiki dengan pemberian glukokortikosteroid pada malam hari, atau asam
salisilat dalam larutan air. Tinctura, larutan alkohol, tonik rambut, dan produk
sejenis biasanya memicu terjadinya inflamasi dan harus dihindari.
2. Wajah dan badan. Pasien harus menghindari salep berminyak dan mengurangi
penggunaan sabun. Larutan alkohol, penggunaan lotion sebelum dan sesudah
cukur tidak dianjurkan. Glukokortikosteroid dosis rendah (hydrocortison) cepat
membantu pengobatan penyakit ini, penggunaan yang tidak terkontrol akan
menyebabkan dermatitis steroid, rebound phenomenon steroid, steroid rosacea dan
dermatitis perioral.
3. Dermatitis seboroik adalah salah satu manifestasi klinis yang sering terjadi pada
pasien dengan AIDS. Sehingga merupakan salah satu lesi tanda dan harus lebih
hati-hati dalam menangani pasien dengan resiko tinggi.
4. Antifungal. Pengobatan antifungal seperti imidazole dapat memberikan hasil yang
baik. Biasanya digunakan 2% dalam sampo dan cream. Dalam pengujian yang
berbeda menunjukkan 75-95% terdapat perbaikan. Dalam percobaan ini hanya
ketokonazol dan itakonazol yang dipelajari, imidazole yang lain seperti econazole,
clotrimazol, miconazol, oksikonazol, isokonazol, siklopiroxolamin mungkin juga

14
efektif. Imidazol seperti obat antifungal lainnya, memiliki spektrum yang luas,
antiinflamasi dan menghambat sintesis dari sel lemak.
5. Metronidazole. Metronidazol topikal dapat berguna sebagai pengobatan alternatif
untuk dermatitis seboroik. Metronidazol telah berhasil digunakan pada pasien
dengan rosacea. Tidak ada studi yang formal, dan obat ini hanya terdaftar sebagai
pengobatan untuk rosacea. Rekomendasi ini berdasarkan pengalaman pribadi.

Pengobatan sistemik

Kortikosteroid digunakan pada bentuk yang berat, dosis prednisone 20-30 mg sehari. Jika
telah ada perbaikan, dosis diturunkan perlahan-lahan. Kalau disertai infeksi sekunder diberi
antibiotik. Isotretinoin dapat digunakan pada kasus yang rekalsitran. Efeknya mengurangi
aktivitas kelenjar sebasea. Ukuran kelenjar tersebut dapat dikurangi sampai 90%, akibatnya
terjadi pengurangan produksi sebum. Dosinya 0,1-0,3 mg per kg berat badan per hari,
perbaikan tampak setelah 4 minggu. Sesudah itu diberikan dosis pemeliharaan 5-10 mg per
hari selama beberapa tahun yang ternyata efektif untuk mengontrol penyakitnya. Pada DS
yang parah juga dapat diobati dengan narrow band UVB (TL-01) yang cukup aman dan
efektif. Setelah pemberian terapi 3x seminggu selama 8 minggu, sebagian besar penderita
mengalami perbaikan. Bila pada sediaan langsung terdapat P.ovale yang banyak dapat
diberikan ketokonazol, dosisnya 200mg per hari.

Pengobatan topical

Pada pitiriasis sika dan oleosa, seminggu 2–3 kali scalp dikeramasi selama 5–15 menit,
misalnya dengan selenium sufida (selsun). Jika terdapat skuama dan krusta diberi emolien,
misalnya krim urea 10%. Obat lain yang dapat dipakai untuk DS ialah :

- Ter, misalnya likuor karbonas detergens 2-5% atau krim pragmatar


- Resorsin 1-3%
- Sulfur praesipitatum 4 – 20%, dapat digabung dengan asam salisilat 3 - 6%
- Kortikostreroid, misalnya krim hidrokortison 2½ %. Pada kasus dengan inflamasi
yang berat dapat dipakai kostikosteroid yang lebih kuat, misalnya betametason
valerat, asalkan jangan dipakai terlalu lama karena efek sampingnya.
- Krim ketokonasol 2% dapat diaplikasikan, bila pada sediaan langsung terdapat
banyak P.ovale. Obat-obat tersebut sebaiknya diapakai dalam krim.

15
Edukasi Pasien

1. Ajari pasien tentang pengendalian daripada pengobatan dermatitis seboroik


2. Tekankan tentang pentingnya membiarkan sampo medikasi sedikitnya 5-10 menit
sebelum membilas.
3. Ajari tentang menggunakan kortikosteroid topikal seperlunya untuk mengendalikan
eritema, skuama, atau rasa gatal.

3.10. KOMPLIKASI

Dermatitis seboroik yang meluas sampai menyerang menyerang saluran telinga luar bisa
menyebabkkan otitis eksterna yaitu radang yang terdapat pada saluran telinga bagian luar.
Jika tidak mendpatkan pengobatan yang adekuat, maka DS akan meluaske daerah sternal,
aerola mamae, umbilikus, lipat paha dan daerah anogenital. Karenakerontokan yang berlebih
pun dapat menyebabkan kebotakan.

3.11. PROGNOSIS

Dermatitis seboroik dapat sembuh sendiri dan merespon pengobatan topikal dengan baik.
Namun pada sebagian kasus yang mempunyai faktor konstitusi, penyakit ini agak sukar untuk
disembuhkan, meskipun terkontrol.

16
BAB IV KESIMPULAN

Dermatitis seboroik adalah dermatosis papulo skuamosa kronik yang bisanya mudah
ditemukan. Penyakit ini dapat menyerang anak-anak maupun dewasa. Dermatitis seboroika
disebabkan meningkatnya status seboroika yaitu aktivitas kelenjar sebasea yang hiperaktif
sehingga sekresi sebumnya meningkat.

Selain itu dermatitis seboroika juga dapat dipengaruhi faktor predisposisi. Beberapa faktor
predisposisinya, yaitu: hormon, jamur Pityrosporum ovale, perbandingan komposisi lipid di
kulit berubah, jumlah kolesterol, trigliserida, pecimen meningkat; dan kadar squelen, asam
lemak bebas dan wax ester menurun, iklim, genetik stasus seboroik (seborrhoeic state) yang
diturunkan secara gen, lingkungan, hormon, dan neurologik.

Secara garis besar, gejala klinis DS bisa terjadi pada bayi dan orang dewasa. Pada bayi ada
tiga bentuk, yaitu cradle cap, glabrous (daerah lipatan dan tengkuk) dan generalisata
(penyakit Leiner). Sedangkan pada orang dewasa berdasarkan daerah lesinya DS terjadi pada
kulit kepala, wajah, daerah fleksura, badan dan generalisata.

Diagnosis sulit ditegakkan karena banyaknya penyakit lain yang gambaran klinis dan
histopatologisnya serupa. Secara umum terapi bertujuan untuk menghilangkan sisik dengan
keratolitik dan sampo, menghambat pertumbuhan jamur dengan pengobatan anti jamur,
mengendalikan infeksi sekunder danmengurangi eritema dan gatal dengan steroid topikal.

Pasien harus diberitahu bahwa penyakit ini berlangsung kronik dan sering kambuh, harus
dihindari faktor pencetus,seperti stress emosional, makanan berlemak, dan sebagainya.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Ardhie, A. M. 2004. Dermatitis dan Peran Steroid dalam Penanganannya No. 4 Vol.
17. DEXAMEDIA.
2. Barakbah J, Pohan SS, Sukanto H, Martodihardjo S, Agusni I, Lumintang H, et al.
2007. Dermatitis seboroik. Atlas penyakit kulit dan kelamin. Cetakan ketiga.
Surabaya : Airlangga University Press : 112-116.
3. Goldstein BG, Goldstein AO. 1998. Dalam Dematologi praktis Cetakan pertama.
Jakarta : Hipokrates : 188-190.
4. Juanda A, Hamzah M, Aisah S. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi
keempat Cetakan kedua. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : 200-
202.
5. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani W.I, Setiowulan W. 2000. Kapita Selekta
Kedokteran Edisi III Jilid II. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta : 98-99.
6. Naldi, Luigi., Rebora, Alfredo. 2009. Seborrheic Dermatitis. N Engl J Med, vol. 360 :
387-396.
7. Pierard, Gerald E. et all. 2007. A Pilot Study on Seborrheic Dermatitis Using
Pramiconazole as a Potent Oral Anti-Malassezia Agent. Karger, vol. 214 : 162-169.
8. Plewig G. Seborrheic dermatitis. In Fitzpatrick TB, Eisen AZ, Wolff K, Freedberg
IM, Austen KF. 1993. Dermatology in general medicine. Volume 1. Fourth edition.
United States of America : Mc Grow Hill : 1569-1573.
9. Schwartz, Robert A., M.D., Janusz, Christopher A., And Janniger, Camila K. 2006.
Seborrheic Dermatitis : An Overview. Am Fam Physician, vol.74 : 125-30.
10. Siregar, R.S. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit ed.2. Jakarta: EGC.
11. Tajima, Mami. 2005. Malassezia Species in Patients with Seborrheic Dermatitis and
Atopic Dermatitis. Japanese Journal of Medical Mycology, vol. 46(3) : 163-167.
12. Tajima, Mami., Sugita, Takashi., Nishikawa, Akemi, and Tsuboi, Ryoji. 2008.
Molecular Analysis of Malassezia Microflora in Seborrheic Dermatitis Patients :
Comparison withOther Diseases and Healthy Subjects. Journal of Investigative
Dermatology, vol. 128 :345-351.

18
13. Yoshihiro, Sei. 2003. Seborrheic Dermatitis-Clinical Diagnosis and Therapeutic
Value of Different Drugs. Japanese Journal of Medical Mycology, vol. 44(2):77-80.

19

Anda mungkin juga menyukai