MODUL 4
OBAT TETES TELINGA KLORAMFENIKOL, OBAT TETES MATA
ATROPIN SULFAT, SALEP MATA GENTAMISIN SULFAT, DAN KRIM
STERIL HODROKORTISON ASETAT
Disusun oleh:
Kelompok 4/F
I. Nama Sediaan
1.1 Nama Generik : Obat Tetes Telinga Kloramfenikol
Nama Dagang : Auricol
1.2 Nama Generik : Obat Tetes Mata Atropin Sulfat
Nama Dagang : Atrofat Ophthalmic
1.3 Nama Generik : Salep Mata Gentamisin Sulfat
Nama Dagang : Salep Mata Gempimisin
1.4 Nama Generik : Krim Steril Hidrokortison Asetat
Nama Dagang : Krim Ortison
b. Penimbangan
Tabel 8.2.1 Penimbangan Bahan OTT Kloramfenikol
Untuk Sediaan 1 botol Untuk Sediaan 5 botol
No Nama Zat
@10 mL @50 mL
1. Kloramfenikol 0,1 gram 0,1 x 5 = 0,5 gram
Benzalkonium
2. 0,001 gram 0,001 x 5 = 0,005 gram
Cl
3. Propilenglikol Ad 10 mL Ad 50 mL
c. Kelarutan
Tabel 8.3.1 Tabel kelarutan OTT Kloramfeniko
No Nama Zat Kelarutan Jumlah air untuk
melarutkan
1 Kloramfenikol Mudah larut (1-7) 7 x 0,5 g = 3,5 ml ~ 5ml
2. Benzalkonium Sangat Mudah Larut 1 x 0,005 g = 0,005 ~ 5ml
Cl
Karena berbentuk
16. Parafin Liquidum Radiasi Pengion minyak
X. Prosedur Pembuatan
Obat Tetes Telinga Kloramfenikol
1. Disiapkan alat dan bahan, lalu disterilisasi yang sesuai.
2. Disiapkan 5 botol untuk obat tetes yang telah disterilisasi, kemudian
dilakukan penimbangan bahan-bahan menggunakan kaca arloji yag telah
disterilkan.
3. Kemudian dilarutkan kloramfenikol dan benzalkonium klorida dengan
propilenglikol dalam gelas kimia yang berbeda sampai larut.
4. Lalu di campurkan kloramfenikol dan benzalkonium yang sudah dilarutkan.
Lalu ditambahkan propilenglikol ad 50mL.
5. Dimasukkan sediaan ke dalam wadah obat tetes telinga secara aseptic, untuk
botol dengan volume 10 mL perbotol.
6. Kemudian ditutup botol, dan diberikan etiket.
7. Dilakukan evaluasi pada sediaan.
Krim Steril
1. Pengerjaan dilakukan secara aseptik diruangan laminar air flow
2. Siapkan alat dan bahan yang telah disterilisasi sebelumnya
3. Dilakukan peleburan span 80, parrafin liquidum dan setil alkohol dalam satu
cawan (massa 1), lalu tween 80 dengan aquadest (massa 2) sampai melebur.
4. Campurkan massa 1 dan massa 2 ke dalam matkan, lakukan stirrer ad
terbentuk basis krim.
5. Masukkan hidrokortison asetat, methyl paraben dan prophyl paraben.
Lakukan stirrer kembali ad homogen.
6. Masukkan kedalam kemasan, lalu lakukan sterilisasi menggunakan sinar
gamma.
7. Lakukan evaluasi pada sediaan.
Prosedur Evaluasi
1. Obat Tetes Telinga dan Obat Tetes Mata
a. Uji pH (Dirjen POM, 1995 hal, 1039-1040)
Di uji dengan menggunakan pH meter dengan cara nilai pH larutan dicek
menggunakan pH meter atau kertas indikator universal. Dengan pH meter,
sebelum digunakan periksa elektroda dan jembatan garam. Kalibrasi pH meter.
Pembakuan pH meter : Bilas elektroda dan sel beberapa kali dengan larutan uji
dan isi sel dengan sedikit larutan uji. Baca harga pH. Gunakan air bebas CO2
untuk pelarutan dengan pengenceran larutan uji. pH standar untuk tetes telinga
adalah 5,5-6,5
b. Uji sterilitas (Dirjen POM, 1995:856)
Campur dan panaskan hingga larut. Atur pH larutan hingga setelah
sterilisasi 7,1 ± 0,2 menggunakan NaOH 1N. Jika perlu saring selagi panas
menggunakan kertas saring. Tempatkan media dalam tabung yang sesuai, yang
memberikan perbandingan permukaan dengan kedalaman media sedemikian rupa
sehingga tidak lebih dari setengah bagian atas media yang mengalami perubahan
warna sebagai indikasi masuknya oksigen pada akhir masa inkubasi. Sterilisasi
dalam autoklaf. Jika lebih dari sepertiga bagian atas terjadi warna merah muda,
media dapat diperbaiki 1x dengan pemanasan di atas tangas air atau dalam uap
yang mengalir bebas hingga warna merah muda hilang. Media siap digunakan jika
tidak lebih dari 1/10 bagian atas media berwarna merah muda. Gunakan media
tioglikolat cair untuk inkubasi dalam kondisi aerob.
c. Uji kejernihan (Lachman, 2008 hal 1355)
Produk dalam wadah di periksa secara visual dibawah penerangan cahaya
yang baik, terhalang terhadap refleksi mata. Berlatar belekang hitam dan putih
dengan rangkaian isi dijalankan dengan suatu aksi memutar.
d. Volume terpindahkan (Dirjen POM, 1995:1089)
Pengukuran jumlah sediaan yang dikemas dalam wadah sediaan dosis
ganda. Jika sediaan dikeluarkan dari wadah aslinya akan memberikan jumlah
yang sesuai seperti yang tercantum pada etiket.
e. Uji Kebocoran (Dirjen POM, 1995 hal, 1046)
Pada pembuatan kecil-kecilan dapat dilakukan secara visual, wadah-wadah
takaran tunggal yang masih panas setelah disterilkan dimasukkan ke dalam larutan
metilen blue 0,1%. Jika ada wadah yang bocor maka metilen blue akan masuk ke
dalam karena perbedaan tekanan dari luar dan dari dalam wadah, cara ini
dilakukan hanya untuk cairan yang tidak berwarna. Wadah takaran tunggal
disterilkan terbalik jika ada kebocoran maka larutan ini akan keluar dari wadah.
XII. Pembahasan
1. Obat Tetes Telinga Kloramfenikol
Pada praktikum kali ini dilakukan pembuatan tetes telinga steril dengan
suatu zat aktif Kloramfenikol. Dimana Guttae Auriculares atau tetes telinga adalah
obat tetes yang digunakan untuk telinga dengan cara meneteskan obat ke dalam
telinga. Kecuali dinyatakan lain, tetes telinga dibuat menggunakan cairan
pembawa bukan air. Cairan pembawa yang digunakan harus mempunyai
kekentalan yang cocok agar obat mudah menempel pada dinding telinga,
umumnya digunakan gliserol dan propylenglikol. Dapat juga digunakan etanol
90%, heksilenglikol dan minyak nabati. Zat pensuspensi dapat digunakan
sorbitan, polisorbat atau surfaktan lain yang cocok. Keasaman-kebasaan kecuali
dinyatakan lain pH 5,0 – 6,0 penyimpanan, kecuali dinyatakan lain dalam wadah
tertutup rapat. (Dirjen POM, 1979 : 10).
Zat aktif yang digunakan pada sediaan tetes telinga ini adalah
kloramfenikol, sebagai antibiotik spektrum luas (Dirjen POM, 1995:189).
Pembawa yang digunakan adalah propilenglikol, karena pemeriannya yang kental
lebih memungkinkan kontak yang lama antara obat dengan jaringan telinga.
Propilenglikol juga pelarut dari kloramfenikol, selain sebagai pelarut yang umum
dalam pembuatan sediaan tetes telinga. Propylenglikol juga digunakan karena
kloramfenikol sukar larut dalam air sehingga digunakan propylenglikol sebagai
pelarut (Dirjen POM, 1995:712). Serta juga sebagai zat tambahan karena sifat
higroskopiknya memungkinkan menarik kelembaban dari jaringan telinga
sehingga mengurangi peradangan dan membuang lembab yang tersedia untuk
proses kehidupan mikroorganisme yang ada. Bahan pembuatan tetes telinga harus
mengandung bahan yang sesuai untuk mencegah pertumbuhan atau memusnahkan
mikroba yang masuk secara tidak sengaja saat wadah dibuka pada waktu
penggunaan atau dikatakan bersifat bakteriostatik.
Pertama, dilakukan sterilisasi alat, bahan, dan wadah. Sterilisasi alat
menggunakan sterilisasi panas lembap, yaitu dengan autoklaf. Hal ini dikarenakan
alat yang digunakan merupakan alat presisi yang dapat memuai ketika disterilisasi
dengan oven yang bersuhu tinggi, sehingga dapat menyebabkan keakuratan
pengukuran berkurang. Sedangkan untuk bahan, kloramfenikol sendiri disterilisasi
menggunakan sinar gamma karena sifatnya yang termolabil dan untuk
propilenglikol disterilisasi dengan autoklaf karena berupa larutan. Kemudian
kloramfenikol dan benzalkonium ditimbang menggunakan kaca arloji.
Digunakannya kaca arloji karena alat ini dapat disterilisasi, berbeda dengan kertas
perkamen yang tidak memungkinkan di sterilisasi. Sehingga untuk menjaga
kesterilan bahan, digunakan kaca arloji pada saat menimbang. Kemudian
kloramfenikol dan benzalkonium dilarutkan dalam gelas kimia terpisah dengan
propilenglikol sampai terlarut sempurna. Dilarutkan dengan propilenglikol karena
kloramfenikol lebih larut dalam propilenglikol dibandingkan dalam air. Setelah
masing-masing zat dilarutkan, keduanya di campur dan di aduk menggunakan
batang pengaduk. Setelah itu, sediaan di cek pH nya menggunakan pH universal.
Hasil dari pengecekan pH, sediaan memiliki pH = 5,5.
Uji evaluasi yang pertama dilakukan adalah menguji pH dari setiap botol.
Diambil 3 botol untuk dijadikan sampel pengevaluasian. Ketiga sediaan
menunjukkan pH yang sama yaitu 5,5, pH tersebut bagus atau memenuhi
persyaratan karena zat aktif (kloramfenikol) memiliki pH 4,5- 7,5, dan pH obat
tetes telinga steril memiliki pH 5-7,8 (Codex 12th: 787). Kemudian dilakukan uji
kebocoran, pada 3 botol obat tetes telinga tidak ada yang mengalami kebocoran
wadah. Lalu dilakukan uji kejernihan untuk melihat apakah obat tetes telinga yang
kita buat dapat jernih dan bebas dari bahan yang tidak larut serta bebas partikel
kasar atau tidak. Hasil yang didapatkan dari uji kejernihan tersebut, bahwa dari
ketiga sediaan menghasilkan sediaan yang tidak jernih. Hal tersebut terjadi,
mungkin dikarenakan pada proses pembuatannya kurang steril kemudian adanya
bahan-bahan yang tidak larut secara sempurna sehingga mempengaruhi kejernihan
sediaan. Dan yang terakhir dilakukan uji volume terpindahkan semua botol
memiliki volume terpindahkan 10ml.
4. Krim Steril
Pada praktikum kali ini dilakukan pembuatan sediaan krim steril. Krim
steril adalah sediaan setengah padat berupa emulsi yang dibuat secara steril.
Formula yang diusulkan pada sediaan krim steril ini yaitu zat aktif dimana zat
yang digunakan hidrokortison asetat sebagai agen antiinflamasi. Lalu digunakan
emulgator, emulgator berfungsi untuk menstabilkan emulsi. Emulgator yang
digunakan tween 80 dan span 80 karena merupakan emulgator jenis surfaktan
nonionik yang aman dan tidak toksik jika digunakan. Konsentrasi tween 80 dan
span 80 tidak digunakan perhitungan HLB karena pada formula yang diusulkan
terdapat 2 nilai HLB butuh minyak yaitu HLB parrafin liquidum dan nilai HLB
setil alkohol sehingga digunakan rentang konsentrasi tween 80 dan span 80 pada
umumnya maka digunakan konsentrasi masing-masing 10%. Pengawet digunakan
karena sediaan krim steril ini terdapat fase air, yang dimana air sebagai media
pertumbuhan mikroba. Selain itu pengawet digunakan karena kemasan yang
digunakan pada sediaan ini multiple dose serta untuk menunjang stabilitas
sediaan. Digunakan pangawet metyl paraben dan prophyl paraben dengan
perbandingan 9:1 karena dengan menggunakan kombinasi ini efek dari pengawet
akan maksimal. Dimana methyl paraben berfungsi sebagai anti jamur sedangkan
prophyl paraben berfungsi sebagai antibakteri. Kemudian digunakan fase minyak
yaitu parrafin liquidum selain sebagai fase minyak, parrafin juga berfungsi untuk
emolien atau melembabkan kulit. Lalu digunakan setil alkohol sebagai peningkat
konsistensi agar bioavaibilitas terhadap kulit maksimal dan mempunyai efek yang
optimal. Digunakan aquadest sebagai fase air pada sediaan krim.
Selanjutnya langkah pertama yang dilakukan pada pembuatan krim steril,
dimana alat-alat dan bahan-bahan yang digunakan disterilisasi sebelumnya sesuai
dengan fisik dan stabilitas alat dan bahan. Pembuatan krim steril dilakukan secara
aseptic dengan teknik sterilisasi radiasi. Pertama-tama dilakukan penimbangan
terhadap bahan-bahan yang akan digunakan, penimbangan dilebihkan 20% untuk
meminimalisir kehilangan zat karena proses sterilisasi dan proses pembuatan.
Lalu fase minyak diantaranya span 80, parrafin liquidum, dan setil alkohol
diletakkan diatas kassa lalu dilebur didalam oven selama 15 menit. Penggunaan
kassa bertujuan untuk menyaring agar meminimalisir partikel asing yang terbawa
pada campuran. Digunakan oven karena campuran ini merupakan fase minyak
yang apabila disterilisasi menggunakan autoklaf maka terdapat uap air yang tidak
akan bercampur denga fase minyak. Menurut van duin semua bahan yang larut
minyak disterilkan pada suhu 1700C selama 1 jam di dalam oven. Tetapi agar
meminimalisir waktu maka diperlukan waktu 15 menit sampai campuran melebur.
Lalu fase air dipanaskan diatas penangas sampai tercampur, seharusnya
fase air ini disterilkan didalam autoklaf selama 30 menit pada suhu 115-1160C.
Mortir dan stamper yang telah disterilisasi dipanaskan, karena pembuatan krim
harus dalam keadaan panas. Dimana fase minyak dan fase air suhunya berbeda
sehingga mortir harus dipanaskan agar pada saat pencampuran suhu keduanya
sama. Setelah keduanya melebur, maka kedua campuran di masukkan ke dalam
mortir lalu diaduk konstan sampai terbentuk basis krim. Pada percobaan ini krim
yang diperoleh mempunyai konsistensi yang encer. Diketahui kesalahan dalam
mengusulkan formulasi, dimana pada formula yang dibuat digunakan setil alkohol
sebanyak 2% atau setara dengan 0,6 gram pada penimbangan. Lalu pada
percobaan kedua kalinya ditambahkan setil alkohol sebanyak 200 mg, dan
dimasukkan ke dalam campuran kemudian digerus konstan sampai terbentuk basis
krim. Hasil yang diperoleh konsistensi krim menjadi lebih padat dan lebih baik.
Hal ini karena setil alkohol merupakan zat peningkat konsistensi yang bertujuan
agar sediaan lebih padat. Setelah basis krim terbentuk maka zat aktif hidrokortison
dimasukkan ke dalam mortir, methyl paraben dan prophyl paraben dimasukkan ke
dalam mortir. Zat aktif dan zat tambahan berupa serbuk ditambahkan terakhir
karena apabila dimasukkan diawal dapat masuk ke dalam pori-pori mortir
sehingga bobot akan berkurang selain itu zat bersifat termolabil atau dapat dirusak
dengan pemanasan. Setelah dilakukan pembuatan sediaan krim steril selesai, maka
sediaan dilakukan evaluasi.
Evaluasi pertama adalah uji organoleptis, evalusi yang dilakukan dengan
cara mengamati sediaan tersebut dengan dilihat bentuk, warna, dan bau dari
sediaan krim hidrokortison yang dibuat tersebut. Evaluasi ini dilakukan
agar mengetahui sediaan yang dibuat sesuai dengan standar krim yang ada, dalam
arti sediaan krim tersebut stabil dan tidak menyimpang dari standar krim. Dari
evaluasi uji organoleptis didapatkan hasil bahwa krim trsebut memiliki bentuk
setengah padat berwarna putih dan tidak berbau.
Evaluasi kedua yaitu uji homogenitas. Uji ini dilakukan dengan tujuan
agar mengetahui sediaan yang dibuat homogen atau tidak, karena sediaan krim
yang baik harus homogen dan bebas dari pertikel- partikel yang masih
mengumpal. Cara kerja pada uji ini yaitu dengan mengoleskan sedikit sediaan
krim di kaca arloji dan amati adakah partikel yang masih menggumpal atau tidak
tercampur sempurna. Dari uji homogenitas diidapatkan hasil bahwa krim
hidrokortison homogen.
Evaluasi ketiga yaitu uji tipe emulsi, uji ini dilakukan dengan cara uji
pengenceran. Pertama krim diencerkan dengan air jika krim tersebut larut dalam
air itu menandakan bahwa krim tersebut termasuk kedalam tipe krim minyak dalm
air M/A. Dan setelah dilakukan uji pengencern, krim hidrokortison tersebut dapat
larut/ bercampur dengan air yang menunjukan bahwa krim tersebut termasuk
kedalam tipe krim minyak dalam air M/A.
XIII. Kesimpulan
1 OTT Kloramfenikol
Pada percobaan kali ini dapat disimpulkan bahwa sediaan OTT
Kloramfenikol dilakukan metode sterilisasi akhir dengan panas lembab
menggunakan autoklaf. Dari hasil evaluasi sediaan yang diperoleh OTT
Kloramfenikol memiliki sediaan yang cukup baik dengan nilai pH 5,5
disesuaikan dengan stabilitas Kloramfenikol yang stabil pada pH 4,5-7,5, tidak
memiliki kerjenihan karena beberapa faktor dan memiliki volume 10 mL sesuai
dengan kekuatan sediaan yang dibuat sebanyak 10 mL.
2 OTM Atropin Sulfat
Sediaan obat tetes mata atropin sulfat yang dibuat dalam bentuk larutan, selain
mengandung zat aktif atropin sulfat, juga mengandung zat tambahan pengatur
tonisitas yaitu NaCl agar sediaan isotonis, mengandung bahan pangawet
benzalkoniumklorida dan EDTA. Sediaan obat tetes mata yang dibuat memiliki
pH 7, dengan sediaan larutan yang jernih, voleme sediaan dalam wadah sebanyak
10 mL, 9,8mL dan 10mL, serta wadah yang digunakan dalam kedaan baik (tidak
bocor) sehingga dapat disimpulkan bahwa sediaan obat tetes mata yang dibuat
telah memenuhi persyaratan evaluasi yang dilakukan.
3 Salep Mata Gentamisin Sulfat
Dari hasil percobaan didapat hasil bahwa salep mata gentamisin sulfat
yang dibuat memiliki karakteristik berwarna putih, tidak berbau, memiliki
konsistensi semisolid dan merupakan sediaan yang homogen. Hal tersebut sesuai
dengan syarat salep mata
4 Krim Steril
Emulgator adalah komponen penting untuk mendapatkan krim yang stabil,
dan emulgator yang digunakan adalah span80 dan tween80. Cara sterilisasi yang
digunakan untuk sediaan krim hidrokortison adalah trknik aseptis dengan metode
strilisasi sinar gamma. Dari uji evaluasi sediaan didapatkan hasil bahwa krim
tersebut berbentuk setengah padat berwarna putih dan tidak berbu, selain itu krim
tersebut homogen dan krim tersbut termasuk kedalm tipe krim minyak dalam air
M/A.
XIV. Wadah dan Kemasan
OTT Kloramfenikol
OTM
PT.
PT. SEHATYU
SEHATYU Komposisi:
Komposisi:KET
KET Kontraindikasi:
Kontraindikasi: Dosis:No.Reg:
Dosis:No.Reg:
ATROFAT ERANGAN Jangan DKL 2008210005
DKL 2008210005
ATROFAT ERANGAN Jangan A1No.
OPHTHALMIC LENGKAP
LENGKAP menggunakan A1No. Batch:
Batch:
OPHTHALMIC LIHAT
menggunakan 200486
LIHAT obat 200486
DIBROSUR obat oral
oral Mfg.
Mfg. Date:
Date:
DIBROSUR maupun
maupun Desember
Desember
TETES
TETES MATA oles.Efek 2018Exp.
MATA oles.Efek 2018Exp. Date:
Date:
STERIL
STERIL Desember
samping:
samping:Kesulita
Kesulita Desember
nn memfokuskan 2021Diproduksi
2021Diproduksi
memfokuskan
pandangan,Detak Oleh:PT.
Oleh:PT.
pandangan,Detak
jantung lebih SEHATYUBandun
jantung lebih cepat,
cepat, SEHATYUBandun
Pandangan g-Jawa
g-Jawa
Pandangan
kabur,Iritasi BaratIndonesia
kabur,Iritasi mata,
mata, BaratIndonesia
Mulut
Mulut dan
dan kulit
kulit
kering,
kering, Sembelit.
Sembelit.
Salep Mata
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, S.A. 1986. Buku Materi Pokok Kimia Organik Bahan Alam. Penerbit
Karunika Jakarta Universitas Terbuka. Jakarta
American Hospital Formulary Service, Drug Information 88, American Society of
Hospital Pharmacist.
Anief, M. (2000). Ilmu Meracik Obat Teori Dan Praktek. Cetakan ke- 9.
Yogyakarta: Gajah Mada University- Press
Ansel, H.C. (2008). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Keempat. Jakarta :
UI Press.
Dirjen POM, (1979). Farmakope Indonesia ed III., Depkes RI : Jakarta
Dirjen POM, (1995). Farmakope Indonesia ed IV., Depkes RI : Jakarta
Dirjen POM. (2014). Farmakope Indonesia, Edisi V. Depkes RI, Jakarta.
Lachman L., Herbert, A. L. & Joseph, L. K., (2008), Teori dan Praktek
Industri Farmasi Edisi III, Penerbit Universitas Indonesia : Jakarta.
Lubis, E.S& Reveny, J., 2012. Pelembab Kulit Alami Dari Sari Buah Jeruk Bali
[Citrus maxima (Burm.) Osbeck ] Natural Skin Moisturizer From Pomelo
Juice [Citrus maxima (Burm.) Osbeck ]. Journal of Pharmaceutics and
Pharmacology, 1(2), pp.104–111.
Lund, Walter, (1994), The Pharmaceutical Codex 12th Ed., The Pharmaceutical
Press : London.
Martindale, (1982), The Extra Phamarmacopoeia 28 th Edition, The
Pharmaceutical Press: London.
Martindale, (2007), The Complete Drug Reference 35th Ed., Pharmaceutical Press:
London.
Rowe, R.C., Sheskey, P.J. and Quinn M., E. (2009). Handbook of Pharmaceutical
Excipients. Lexi-Comp: American Pharmaceutical Association, Inc
Rowe, Raymond C. (2006), Handbook of Pharmaceutical Excipients 5th ed.,
Pharmaceutical Press : London
Sundari, H., 2012, Formulasi Sediaan Krim Cair Tangan dan Badan
Menggunakan SariKacang Kedelai (Soya max L) Sebagai Bahan
Pelembab,Skripsi, Universitas SumateraUtara.
Sweetman, S et al. (2009). Martindale 36th. The Pharmaceutical Press: London.
Tjay, T.h. (2002). Obat- Obat Penting Khasiat Penggunaan dan Efek-efek
Sampingnya. Edisi IV, Cetakan I. Jakarta: PT. Efek Media Komputido
Gramedia
Voight, R. (1994). Buku Pengantar Teknologi Farmasi, diterjemahkan oleh
Soedani, N., Edisi V. Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada Press.
Wattinema,J.R., Sugiarso, N.C., Sukandar, E.Y., Widianto, M. B.,Soemardji, A.
A. Setiadi, A. R. (1987). Farmakodinamika dan Terapi Antibiotik.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press