Anda di halaman 1dari 3

SUDDENLY

Setelah aku selesai tahun pertama di SMA, kami sekeluarga pindah ke kota Bukitinggi
karena ayah harus pindah tempat kerja. Aku dan Ibu ikut pindah dan membeli rumah
yang sederhana di perumahan dekat kantor ayah. Di kota ini, aku melanjut ke sekolah
SMA Negeri di pusat kota, karena tidak terlalu jauh dari rumah aku memutuskan untuk
memakai sepeda yang biasa kupakai di sekolah aku sebelumnya. Hari ini adalah hari
pertama aku ke sekolah baru. Pagi itu aku melewati hal yang tidak akan kulupakan
ketika aku baru ingin keluar dari gerbang perumahan aku bertabrakan dengan seorang
pria.

“Awh..., maaf-maaf kamu tidak apa-apa? Maaf sudah menabrakmu”. Kataku


kepadanya. “Hm..., aku tidak apa-apa. Tetapi karnamu sepedaku harus dibawa ke
bengkel, padahal jam sekolah akan mulai”, jawabnya

“Kamu sekolah dimana? Aku akan mengantarmu”.’Semoga aku tidak terlambat juga’,
ucapnya dalam hati. “Aku bersekolah di SMA Negeri XX”, balasnya. “Oh, ternyata kita
satu arah ayo aku antar, kamu ingin aku bonceng atau kamu yang memboncengku?”,
balasku.

“Tidak usah, aku bisa berlari sekolah tidak terlalu jauh, lagipula aku tidak ingin
membuat rumor yang menyebalkan”, dia berkata dengan nada agak naik.

“Ayolah aku merasa bersalah, aku akan mengganti uang perbaikan sepedamu, cepat
naik”, ucapku sambil memaksanya. Akhirnya aku yang memboncengnya, karena tidak
tahu namanya aku memberanikan diri bertanya.

“Namaku Yoona aku baru sampai ke kota ini jumat kemarin, bolehkah aku tahu
namamu?, apakah kau tinggal di perumahan itu juga?”, tanyaku selama perjalanan. “Ya,
namaku Junho, aku tinggal di nomor 101”, balasnya. Setelah percakapan itu kami saling
diam karena tidak tahu apa yang ingin dibahas.

Sebelum berangkat kami sempat untuk mengantarkan sepeda Junho ke bengkel. Karena
kami sampai ketika menit-menit terakhir gerbang sekolah ditutup, luar sekolah tampak
sepi. Aku tidak tahu dimana ruang Kepala Sekolah untuk melapor bahwa ini hari
pertamaku. Akhirnya setelah keluar dari tempat parkir sepeda aku bertanya lagi pada
Junho

“Junho, bisa bawa aku ke ruang kepala sekolah aku harus melapor kepada Kepsek
bahwa ini adalah hari pertamaku di sekolah ini”, tanyaku. “Hm..., ayo”. Jawabnya.

Setelah dari ruang kepala sekolah aku diantar ke kelas XI- IPA 3 dan diperkenalkan
dengan teman baru disana. Aku mulai akrab dengan teman cewek yang bernama Irene,
Irene terkenal karena kecantikan, kepintaran, kesabaran, dan sifat keibuannya kepada
siapa saja. Sehingga aku mudah bergaul dengannya.
Setelah pulang sekolah dan sampai dirumah aku langsung pergi ke tempat bengkel
sepeda Junho, berniat langsung membayar uang perbaikan sepeda akibat kejadian tadi
pagi. Aku berniat mengembalikan sepedanya secara langsung aku sudah tahu
alamatnya. Sampai dirumahnya aku tidak menemukan Junho, yang kutemui hanya bibi
asisten rumah tangga yang menjawab pertanyaanku

“Selamat siang bi, Junho-nya ada? Saya ingin mengembalikan sepeda Junho, karena
tadi pagi saya membuat sepedanya rusak”, kataku pada bibi. Mendengar perkataanku
bibi itu langsung berkata

“Oh..., jadi karna kamu tangan Junho terluka, Junho tidak ada dirumah ia pergi untuk
berobat. Apakah kamu tahu karena kamu Junho harus mengurangi waktu latihan
pianonya, padahal 2 minggu lagi dia ada kompetisi tingkat kota, jika Junho kalah pada
kompetisi kali ini maka kamu adalah penyebabnya. Sini sepedanya sebaiknya jangan
terlalu dekat dengan Junho”, balas bibi dengan nada tinggi.

Setelah mendengar perkataan bibi aku mencari Junho, karena berdasarkan yang
kudengar tadi, Junho tidak ada dirumah. Aku mencoba mencarinya di klinik dan apotek
dekat perumahan tapi tidak menjumpainya, aku bingung harus mencari kemana. Aku
merasa bersalah, hari pertama sekolah malah menjadi beban bagi orang lain. Tujuan
terakhirku adalah sekolah, karena seingatku ada ruang musik di sekolah dan didalamnya
ada piano. Ternyata ketika aku sampai disana aku melihatnya, aku lelah karna terus
berlari mencarinya.

“Junho, hah, hah....”, teriakku padanya. Dia heran, langsung berdiri dari tempat
duduknya. “Kenapa kamu bisa disini?”, tanya Junho.

“Aku mencarimu daritadi, kenapa kamu tak bilang kalau tanganmu terluka? Aku baru
tahu saat mengembalikan sepedamu, maaf ya padahal kita baru ketemu pagi tadi tapi
aku sudah merepotkanmu”, kataku padanya sambil menunduk memohon maaf dan
menahan tangis.

“Hei, kau tidak harus seperti itu. Aku tidak apa-apa, hanya perlu pemulihan beberapa
hari tidak harus sampai operasi”, balasnya lagi. “Aku tetap merasa bersalah padamu,
aku janji sampai hari perlombaanmu aku tidak akan merepotkanmu lagi, aku akan
datang melihat penampilanmu. Sekali lagi maaf atas kesalahanku tadi pagi”, kataku
sambil langsung berlari pulang tanpa menoleh kearahnya.Keesokan harinya, aku
melihat Junho tetapi aku akan melanjutkan langkahku melewatinya.

Ketika jam istirahat, tiba-tiba lorong kelasku dipenuhi teriakan anak-anak perempuan.
Aku bertanya kepada Irene,

“Irene, mereka kenapa? Apakah disekolah kita ada artis?”, tanyaku pada Irene.
“Kamu tidak tahu, kalau Junho lewat mereka akan teriak seperti kesurupan. Aku
bingung apa menariknya Junho, lebih ganteng pacarku, hahaha...” jawab Irene.

“Junho?, yang pandai main piano itu?”, tanyaku lagi. “Iya Yoona, disekolah ini siapa
yang tidak kenal Junho, Junho sangat terkenal atas kepandaiannya dalam piano dan
sering membuat nama sekolah harum karena prestasi yang telah dia raih. Apakah kamu
tahu aku dengar tangannya lagi terluka, aku harap tidak telalu parah kalau tidak sekolah
akan malu jika tidak memenangkan kompetisi itu.” Balas Irene.

‘Ternyata Junho segitu segitu berpengaruh itu di sekolah ini, aku tidak boleh menjadi
penghambatnya’, kata Yoona dalam hati. Ketika pulang sekolah ternyata ada kejadian
yang membuatku terkejut

“Yoona kamu dari mana saja baru pulang sore begini?” tanya Junho. Bagaimana ini dia
adalah orang yang aku hindari. “Oh, aku latihan eskul menari jadi pulang agak sore.
Sudah ya aku sudah dicari orang tuaku”, jawabku sambil mencoba melepaskan
genggamannya.”Tunggu, ada yang ingin aku katakan. Bagaimana kalau menemaniku
latihan hari ini, sebagai ganti rugi kamu melukai tanganku?”, kata Junho

‘Apa? Menemaninya? Tidak-tidak, aku tidak mau merepotkannya lagi’. “Tidak usah
Junho, tapi yang pasti aku akan menonton pertunjukanmu, tanggal 26 ini kan? Bye”,
teriakku sambil mengayuh sepedaku. “Baiklah kau sudah berjanji, jangan lupa ya”,
teriak Junho dibelakangku.

Hari ini adalah hari kompetisi Junho, aku sudah berjanji melihatnya. Junho
menampilkan Piano Sonata no. 11 in A K. 331 Movement 3-alla Turca aka Turkish
March Wolfgang Amadeus Mozart . Setelah permainan selesai, semua bertepuk tangan,
puas dengan permainan Junho yang mengagumkan. Ketika pengumuman pemenang
diumumkan, satu sekolah senang karena Junho menang sebagai juara pertama dan
perwakilan untuk sebagai finalis tingkat provinsi.

Pada saat semua peserta mulai pulang aku menemui Junho dibelakang panggung untuk
mengucapkan selamat, “Selamat atas kemenanganmu Junho, ini hadiah dariku, orang
tuamu mana aku akan mengambil foto kalian bersama”, kataku padanya.

“Oh, terimakasih Yoona. Orang tuaku dan aku sudah mengambil foto tadi. Bagaimana
kalau kita saja kan belum ada?” tanya Junho sambil tersenyum malu. Junho melihat
sekeliling dan meminta tolong orang yang lewat untuk memfoto kami. Selesai berfoto,
Junho tiba-tiba mengatakan “Yoona, bersediakah kamu menjadi pacarku? Aku tertarik
denganmu sejak pertama kali kamu pindah ke kota ini dan tidak sengaja kita jadi teman
karna kecelakaan itu”,tanya Junho dengan wajah dinginnya. Aku terheran dan tanpa
sadar menjawab “ya, aku mau Junho”. Sejak saat itu kami menjadi lebih dekat dan
membuat kegemparan satu sekolah karena Junho telah mematahkan hati para fans
wanita setelah memiliki pacar seperti diriku. Bahkan Irena Kaget pertama kali
mendengar berita ini dan ingin mendengar awal hubunganku dengan Junho.

Anda mungkin juga menyukai