Anda di halaman 1dari 71

MAKALAH

MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS


SISTEM : ENDOKRIN, IMUNOLOGI, PENCERNAAN,
PERKEMIHAN
DOSEN : KARMITHASARI YANDRA K, Ners, M.Kep.

DISUSUN OLEH :
MAHASISWA TINGKAT II B
LEONARDO 2018.C.10a.0975

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2019/2020
KATA PENGANTAR

i
Puji dan syukur saya ucapkan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berkat
limpahan rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan Makalah tentang
Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Kasus Sistem : Endokrin,
Imunologi, Pencernaan, Perkemihan. Penyusunan makalah ini bertujuan agar
para pembaca dapat menambah wawasan dan pengetahuannya.

saya menyadari bahwa makalah ini mungkin terdapat kesalahan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, saya mengharapkan saran dan kritik dari
pembaca dan mudah-mudahan makalah ini dapat mencapai sasaran yang
diharapkan sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Palangkaraya, 16 maret 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

BAB 1
BAB 2
2.2 Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Kasus Sistem
Imunologi......................................................................................................25
2.3 Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Kasus Sistem Pencernaan Enteritis
Regional .......................................................................................................46
2.4 Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Kasus Sistem Perkemihan Benigna
Prostat Hipertropi .........................................................................................59
3.1 Kesimpulan...................................................................................................69
3.2 Saran.............................................................................................................69
70

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes Mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah
akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Suyono, 1995). DM
merupakan penyakit yang menjadi masalah pada kesehatan masyarakat. Oleh
karena itu DM tercantum dalam urutan keempat prioritas penelitian nasional
untuk penyakit degeneratif setelah penyakit kardiovaskuler, serebrovaskuler,
rheumatik dan katarak (Tjokroprawiro, 2001).

Fungsi sistem imun adalah melindungi pejamu dari invasi organisme asing
dengan membedakan diri (self) dari bukan diri (non-self). Sistem semacam ini
diperlukan untuk kelangsungan hidup. Sistem imun yang berfungsi baik tidak saja
melindungipejamu dari faktor eksternal seperti mikroorganisme atau toksin tetapi
juga mencegah dan menolak serangan oleh faktor endogen seperti tumor atau
fenomena autoimun.

Penyakit-penyakit inflamatorik kolon atau penyakit penyakit radang usus


besar (Inflammatory Bowel Diseases) dapat dibagi dalam dua golongan :
1. Penyakit radang kolon karena infeksi
2. Penyakit radang kolon karena non-infeksi.

Penyakit infeksi disebabkan karena kuman Shigella, ameba dan sebagainya.


Yang akan dibahas sekarang adalah penyakit radang kolon yang non-infeksi atau
tidak jelas disebabkan karena infeksi. Walaupun kasus ini tidak begitu sering
dijumpai di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara Barat, akantetapi justru
karena hal ini, maka penyakit tersebut sering kurang mendapat perhatian oleh
dokter di Indonesia, sehingga diagnosa menjadi salah dan pengobatan tidak
diberikan dengan tepat.

Istilah hipertrofi sebenarnya kurang tepat karena yang terjadi adalah


hiperplasia kelenjar periuretra yangmendesak jaringan prostat yang asli ke perifer
dan menjadi kapsul bedah. (Anonim FK UI 1995).Prostat adalah jaringan

4
fibromuskuler dan jaringan kelenjar yang terlihat persis di inferior darikandung
kencing. Prostat normal beratnya + 20 gr, didalamnya berjalan uretra posterior +
2,5 cm.Pada bagian anterior difiksasi oleh ligamentum puboprostatikum dan
sebelah inferior oleh diafragmaurogenitale.

1.2 Rumusan Masalah


1. Jelaskan Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Kasus Sistem Endokrin
Diabetes Melitus ?
2. Jelaskan Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Kasus Sistem Imunologi ?
3. Jelaskan Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Kasus Sistem Pencernaan
Enteritis Regional ?
4. Jelaskan Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Kasus Sistem Perkemihan
Binigna Prostat Hipertropi ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Kasus Sistem Endokrin
Diabetes Melitus.
2. Mengetahui Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Kasus Sistem
Imunologi.
3. Mengetahui Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Kasus Sistem
Pencernaan Enteritis Regional.
4. Mengetahui Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Kasus Sistem
Perkemihan Binigna Prostat Hipertropi.

1.4 Manfaat Penulisan


Diharap dapat menambah pengetahuan mengenai manajemen asuhan
keperawatan pada sistem endokrin, imunologi, pencernaan, perkemihan.

5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manajememen Asuhan Keperawatan Pada Kasus Sistem Endokrin


Diabetes Melitus
2.1.1 Definisi

Diabetes Melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetic dan


klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi
karbohidrat (Price dan Wilson, 1995).

Diabetes melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai


keluhan metabolic akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai
komplikasi kronik pada berbagai organ dan system tubuh seperti mata, ginjal,
saraf, dan pembuluh darah, dan lain-lain (Mansjoer, 1999).

Diabetes melitus adalah sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh


kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Brunner dan Suddarth,
2002).

Diabetes mellitus adalah sindrom yang disebabkan oleh ketidaseimbangan


antara tuntutan dan suplai insulin (H. Rumahorbo, 1999).

2.1.2 Etiologi

Penyebab diabetes mellitus sampai sekarang belum diketahui dengan pasti


tetapi umumnya diketahui karena kekurangan insulin adalah penyebab utama dan
faktor herediter memegang peranan penting.

1. Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)


Sering terjadi pada usia sebelum 30 tahun. Biasanya juga disebut Juvenille
Diabetes, yang gangguan ini ditandai dengan adanya hiperglikemia
(meningkatnya kadar gula darah).
Faktor genetik dan lingkungan merupakan faktor pencetus IDDM. Oleh
karena itu insiden lebih tinggi atau adanya infeksi virus (dari lingkungan)

6
misalnya coxsackievirus B dan streptococcus sehingga pengaruh lingkungan
dipercaya mempunyai peranan dalam terjadinya DM.
Virus atau mikroorganisme akan menyerang pulau – pulau langerhans
pankreas, yang membuat kehilangan produksi insulin. Dapat pula akibat
respon autoimmune, dimana antibody sendiri akan menyerang sel bata
pankreas. Faktor herediter, juga dipercaya memainkan peran munculnya
penyakit ini (Brunner & Suddart, 2002)
2. Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
Virus dan kuman leukosit antigen tidak nampak memainkan peran
terjadinya NIDDM. Faktor herediter memainkan peran yang sangat besar.
Riset melaporkan bahwa obesitas salah satu faktor determinan terjadinya
NIDDM sekitar 80% klien NIDDM adalah kegemukan. Overweight
membutuhkan banyak insulin untuk metabolisme. Terjadinya hiperglikemia
disaat pankreas tidak cukup menghasilkan insulin sesuai kebutuhan tubuh
atau saat jumlah reseptor insulin menurun atau mengalami gangguan. Faktor
resiko dapat dijumpai pada klien dengan riwayat keluarga menderita DM
adalah resiko yang besar. Pencegahan utama NIDDM adalah
mempertahankan berat badan ideal. Pencegahan sekunder berupa program
penurunan berat badan, olah raga dan diet. Oleh karena DM tidak selalu
dapat dicegah maka sebaiknya sudah dideteksi pada tahap awal tanda-
tanda/gejala yang ditemukan adalah kegemukan, perasaan haus yang
berlebihan, lapar, diuresis dan kehilangan berat badan, bayi lahir lebih dari
berat badan normal, memiliki riwayat keluarga DM, usia diatas 40 tahun,
bila ditemukan peningkatan gula darah (Brunner & Suddart, 2002)

2.1.3 Insiden

Tingkat prevalensi dari DM adalah tinggi, diduga terdapat sekitar 10 juta


kasus diabetes di USA dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 kasus baru serta
75 % penderita DM akhirnya meninggal karena penyakit vaskuler. Penyakit ini
cenderung tinggi pada negara maju dari pada negara sedang berkembang, karena
perbedaan kebiasaan hidup. Dampak ekonomi jelas terlihat akibat adanya biaya
pengobatan dan hilangnya pendapatan. Disamping konsekuensi finansial karena
banyaknya komplikasi seperti kebutaan dan penyakit vaskuler. Perbandingan

7
antara wanita dan pria yaitu 3 : 2, hal ini kemungkinan karena faktor obesitas dan
kehamilan (Price dan Wilson, 1995).

2.1.4 Anatomi dan Fisiologi


1. Anatomi Pankreas
Pankreas terletak melintang dibagian atas abdomen dibelakang gaster
didalam ruang retroperitoneal. Disebelah kiri ekor pankreas mencapai hilus
limpa diarah kronio – dorsal dan bagian atas kiri kaput pankreas
dihubungkan dengan corpus pankreas oleh leher pankreas yaitu bagian
pankreas yang lebarnya biasanya tidak lebih dari 4 cm, arteri dan vena
mesentrika superior berada dileher pankreas bagian kiri bawah kaput
pankreas ini disebut processus unsinatis pankreas. Pankreas terdiri dari dua
jaringan utama yaitu :
a. Asinus, yang mengekskresikan pencernaan ke dalam duodenum.
b. Pulau Langerhans, yang tidak mempunyai alat untuk mengeluarkan
getahnya namun sebaliknya mensekresi insulin dan glukagon langsung
kedalam darah.
Pankreas manusia mempunyai 1 – 2 juta pulau langerhans, setiap pulau
langerhans hanya berdiameter 0,3 mm dan tersusun mengelilingi pembuluh
darah kapiler.
Pulau langerhans mengandung tiga jenis sel utama, yakni selalfa, beta dan
delta. Sel beta yang mencakup kira-kira 60 % dari 5 semua sel terletak
terutama ditengah setiap pulau dan mensekresikan insulin. Granula sel B
merupakan bungkusan insulin dalam sitoplasma sel. Tiap bungkusan
bervariasi antara spesies satu dengan yang lain. Dalam sel B , molekul
insulin membentuk polimer yang juga kompleks dengan seng. Perbedaan
dalam bentuk bungkusan ini mungkin karena perbedaan dalam ukuran
polimer atau agregat seng dari insulin. Insulin disintesis di dalam retikulum
endoplasma sel B, kemudian diangkut ke aparatus golgi, tempat ia
dibungkus didalam granula yang diikat membran. Granula ini bergerak ke
dinding sel oleh suatu proses yang tampaknya sel ini yang mengeluarkan
insulin ke daerah luar dengan eksositosis. Kemudian insulin melintasi
membran basalis sel B serta kapiler berdekatan dan endotel fenestrata

8
kapiler untuk mencapai aliran darah (Ganong, 1995). Sel alfa yang
mencakup kira-kira 25 % dari seluruh sel mensekresikan glukagon. Sel delta
yang merupakan 10 % dari seluruh sel mensekresikan somatostatin (Pearce,
2000)
2. Fisiologi Pankreas
Kelenjar pankreas dalam mengatur metabolisme glukosa dalam tubuh
berupa hormon-hormon yang disekresikan oleh sel – sel dipulau langerhans.
Hormon-hormon ini dapat diklasifikasikan sebagai hormon yang
merendahkan kadar glukosa darah yaitu insulin dan hormon yang dapat
meningkatkan glukosa darah yaitu glukagon.
Fisiologi Insulin :
Hubungan yang erat antara berbagai jenis sel dipulau langerhans
menyebabkan timbulnya pengaturan secara langsung sekresi beberapa jenis
hormone lainnya, contohnya insulin menghambat sekresi glukagon,
somatostatin menghambat sekresi glukagon dan insulin.
Insulin dilepaskan pada suatu kadar batas oleh sel-sel beta pulau langerhans.
Rangsangan utama pelepasan insulin diatas kadar basal adalah peningkatan
kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah puasa dalam keadaan normal
adalah 80-90 mg/dl. Insulin bekerja dengan cara berkaitan dengan reseptor
insulin dan setelah berikatan, insulin bekerja melalui perantara kedua untuk
menyebabkan peningkatan transportasi glukosa kedalam sel dan dapat
segera digunakan untuk menghasilkan energi atau dapat disimpan didalam
hati (Guyton & Hall, 1999)

2.1.5 Patofisiologi
1. DM Tipe I
Pada Diabetes tipe I terdapat ketidak mampuan pankreas menghasilkan
insulin karena hancurnya sel-sel beta pulau langerhans. Dalam hal ini
menimbulkan hiperglikemia puasa dan hiperglikemia post prandial.
Dengan tingginya konsentrasi glukosa dalam darah, maka akan muncul
glukosuria (glukosa dalam darah) dan ekskresi ini akan disertai pengeluaran
cairan dan elektrolit yang berlebihan (diuresis osmotic) sehingga pasien

9
akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliurra) dan rasa haus
(polidipsia).
Defesiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak
sehingga terjadi penurunan berat badan akan muncul gejala peningkatan
selera makan (polifagia). Akibat yang lain yaitu terjadinya proses
glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukogeonesis tanpa
hambatan sehingga efeknya berupa pemecahan lemak dan terjadi
peningkatan keton yangdapat mengganggu keseimbangan asam basa dan
mangarah terjadinya ketoasidosis (Corwin, 2000)
2. DM Tipe II
Terdapat dua masalah utama pada DM Tipe II yaitu resistensi insulin dan
gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan berkaitan pada reseptor
kurang dan meskipun kadar insulin tinggi dalam darah tetap saja glukosa
tidak dapat masuk kedalam sel sehingga sel akan kekurangan glukosa.
Mekanisme inilah yang dikatakan sebagai resistensi insulin. Untuk
mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam
darah yang berlebihan maka harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang
disekresikan. Namun demikian jika sel-sel beta tidak mampu
mengimbanginya maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadilah DM
tipe II (Corwin, 2000)

2.1.6 Manifestasi Klinik

1. Poliuria
Kekurangan insulin untuk mengangkut glukosa melalui membrane dalam
sel menyebabkan hiperglikemia sehingga serum plasma meningkat atau
hiperosmolariti menyebabkan 9 cairan intrasel berdifusi kedalam sirkulasi
atau cairan intravaskuler, aliran darah ke ginjal meningkat sebagai akibat
dari hiperosmolariti dan akibatnya akan terjadi diuresis osmotic (poliuria).
2. Polidipsia
Akibat meningkatnya difusi cairan dari intrasel kedalam vaskuler
menyebabkan penurunan volume intrasel sehingga efeknya adalah dehidrasi
sel. Akibat dari dehidrasi sel mulut menjadi kering dan sensor haus

10
teraktivasi menyebabkan seseorang haus terus dan ingin selalu minum
(polidipsia).
3. Poliphagia
Karena glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat dari menurunnya kadar
insulin maka produksi energi menurun, penurunan energi akan menstimulasi
rasa lapar. Maka reaksi yang terjadi adalah seseorang akan lebih banyak
makan (poliphagia).
4. Penurunan berat badan
Karena glukosa tidak dapat di transport kedalam sel maka sel kekurangan
cairan dan tidak mampu mengadakan metabolisme, akibat dari itu maka sel
akan menciut, sehingga seluruh jaringan terutama otot mengalami atrofidan
penurunan secara otomatis.
5. Malaise atau kelemahan (Brunner & Suddart, 2002)

2.1.7 Komplikasi

Diabetes Mellitus bila tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan


komplikasi pada berbagai organ tubuh seperti mata, ginjal, jantung, pembuluh
darah kaki, saraf, dan lain-lain (corwin, 2000)

2.1.8 Tes Diagnostik

1. Adanya glukosa dalam urine. Dapat diperiksa dengan cara benedict


(reduksi) yang tidak khasuntuk glukosa, karena dapat positif pada diabetes.
2. Diagnostik lebih pasti adalah dengan memeriksa kadar glukosa dalam darah
dengan cara Hegedroton Jensen (reduksi).
a. Gula darah puasa tinggi < 140 mg/dl.
b. Test toleransi glukosa (TTG) 2 jam pertama < 200 mg/dl.
c. Osmolitas serum 300 m osm/kg.
d. Urine = glukosa positif, keton positif, aseton positif atau negative (Bare
& suzanne, 2002)

2.1.9 Penatalaksanaan Medik

Diabetes Mellitus jika tidak dikelola dengan baik akamn menimbulkan


berbagai penyakit dan diperlukan kerjasama semua pihak ditingkat pelayanan

11
kesehatan. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan berbagai usaha dan akan
diuraikan sebagai berikut :

1. Perencanaan Makanan.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang
dalam hal karbohidrat, protein dan lemak yang sesuai dengan kecukupan
gizi baik yaitu :
a. Karbohidrat sebanyak 60 – 70 %
b. Protein sebanyak 10 – 15 %
c. Lemak sebanyak 20 – 25 %

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress


akut dan kegiatan jasmani. Untuk kepentingan klinik praktis, penentuan
jumlah kalori dipakai rumus Broca yaitu Barat Badan Ideal = (TB-100)-
10%, sehingga didapatkan =

a. Berat badan kurang = < 90% dari BB Ideal


b. Berat badan normal = 90-110% dari BB Ideal
c. Berat badan lebih = 110-120% dari BB Ideal
d. Gemuk = > 120% dari BB Ideal.

Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari BB Ideal dikali kelebihan kalori
basal yaitu untuk laki-laki 30 kkal/kg BB, dan wanita 25 kkal/kg BB,
kemudian ditambah untuk kebutuhan kalori aktivitas (10-30% untuk pekerja
berat). Koreksi status gizi (gemuk dikurangi, kurus ditambah) dan kalori
untuk menghadapi stress akut sesuai dengan kebutuhan.

Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut diatas dibagi


dalam beberapa porsi yaitu :

a. Makanan pagi sebanyak 20%


b. Makanan siang sebanyak 30%
c. Makanan sore sebanyak 25%
d. 2-3 porsi makanan ringan sebanyak 10-15 % diantaranya.

2. Latihan Jasmani

12
Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang
lebih 30 menit yang disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penyakit
penyerta.

Sebagai contoh olah raga ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30 menit,
olehraga sedang berjalan cepat selama 20 menit dan olah raga berat jogging.

3. Obat Hipoglikemik
a. Sulfonilurea

Obat golongan sulfonylurea bekerja dengan cara :

1) Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan.


2) Menurunkan ambang sekresi insulin.
3) Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa.

Obat golongan ini biasanya diberikan pada pasien dengan BB normal dan
masih bisa dipakai pada pasien yang beratnya sedikit lebih.

Klorpropamid kurang dianjurkan pada keadaan insufisiensi renal dan


orangtua karena resiko hipoglikema yang berkepanjangan, demikian juga
gibenklamid. Glukuidon juga dipakai untuk pasien dengan gangguan
fungsi hati atau ginjal.

b. Biguanid

Preparat yang ada dan aman dipakai yaitu metformin.

Sebagai obat tunggal dianjurkan pada pasien gemuk (imt 30) untuk
pasien yang berat lebih (imt 27-30) dapat juga dikombinasikan dengan
golongan sulfonylurea

c. Insulin
Indikasi pengobatan dengan insulin adalah :
1) Semua penderita DM dari setiap umur (baik IDDM maupun NIDDM)
dalam keadaan ketoasidosis atau pernah masuk kedalam ketoasidosis.

13
2) DM dengan kehamilan/ DM gestasional yang tidak terkendali dengan
diet (perencanaan makanan).
3) DM yang tidak berhasil dikelola dengan obat hipoglikemik oral dosif
maksimal. Dosis insulin oral atau suntikan dimulai dengan dosis
rendah dan dinaikkan perlahan – lahan sesuai dengan hasil glukosa
darah pasien. Bila sulfonylurea atau metformin telah diterima sampai
dosis maksimal tetapi tidak tercapai sasaran glukosa darah maka
dianjurkan penggunaan kombinasi sulfonylurea dan insulin.
4) Penyuluhan untuk merancanakan pengelolaan sangat penting untuk
mendapatkan hasil yang maksimal. Edukator bagi pasien diabetes
yaitu pendidikan dan pelatihan mengenai pengetahuan dan
keterampilan yang bertujuan menunjang perubahan perilaku untuk
meningkatkan pemahaman pasien akan penyakitnya, yang diperlukan
untuk mencapai keadaan sehat yang optimal. Penyesuaian keadaan
psikologik kualifas hidup yang lebih baik. Edukasi merupakan bagian
integral dari asuhan keperawatan diabetes (Bare & Suzanne, 2002)

2.1.10 Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian (Doengoes, 2001)
a. Aktivitas / istrahat.
Tanda :
1) Lemah, letih, susah, bergerak / susah berjalan, kram otot, tonus otot
menurun.
2) Tachicardi, tachipnea pada keadaan istrahat/daya aktivitas.
3) Letargi / disorientasi, koma.
b. Sirkulasi
Tanda :
1) Adanya riwayat hipertensi : infark miokard akut, kesemutan pada
ekstremitas dan tachicardia. 15
2) Perubahan tekanan darah postural : hipertensi, nadi yang menurun /
tidak ada.
3) Disritmia, krekel : DVJ

14
c. Neurosensori
Gejala :
Pusing / pening, gangguan penglihatan, disorientasi : mengantuk, lifargi,
stuport / koma (tahap lanjut). Sakit kepala, kesemutan, kelemahan pada
otot, parestesia, gangguan penglihatan, gangguan memori (baru, masa
lalu) : kacau mental, refleks fendo dalam (RTD) menurun (koma),
aktifitas kejang.
d. Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Abdomen yang tegang / nyeri (sedang berat), wajah meringis
dengan palpitasi : tampak sangat berhati – hati.
e. Keamanan
Gejala :
1) Kulit kering, gatal : ulkus kulit, demam diaporesis.
2) Menurunnya kekuatan immune / rentang gerak, parastesia / paralysis
otot termasuk otot – otot pernapasan (jika kadar kalium menurun
dengan cukup tajam).
3) Urine encer, pucat, kuning, poliuria (dapat berkembang menjadi
oliguria / anuria jika terjadi hipololemia barat).
4) Abdomen keras, bising usus lemah dan menurun : hiperaktif (diare).
f. Pemeriksaan Diagnostik
Gejala :
1) Glukosa darah : meningkat 100 – 200 mg/dl atau lebih.
2) Aseton plasma : positif secara menyolok.
3) Asam lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meningkat.
4) Osmolaritas serum : meningkat tetapi biasanya kurang dari 330 m
osm/l.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Defisit volume cairan berhubungan dengan hiperglikemia, diare, muntah,
poliuria, evaporasi.
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan defisiensi insulin/penurunan intake oral : anoreksia, abnominal

15
pain, gangguan kesadaran/hipermetabolik akibat pelepasan hormone
stress, epinefrin, cortisol, GH atau karena proses luka.
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan fungsi leucosit/ gangguan
sirkulasi.
e. Resiko gangguan persepsi sensoris : penglihatan berhubungan dengan
perubahan fungsi fisiologis akibat ketidakseimbangan glukosa/insulin
atau karena ketidakseimbangan elektrolit.
f. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan energi,
perubahan kimia darah, insufisiensi insulin, peningkatan kebutuhan
energi, infeksi, hipermetabolik.
g. Nyeri berhubungan dengan adanya ulcus (luka diabetes mellitus).
h. Penurunan rawat diri berhubungan dengan kelemahan.
i. Kurang pengetahuan mengenai penyakitnya, prognosis penyakit dan
kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kesalahan interprestasi
(Doengoes, 2001)
3. Perencanaan/Intervensi
a. NDX : Defisit volume cairan berhubungan dengan hiperglikemia, diare,
muntah, poliuria, evaporasi
Tujuan :
Klien akan mendemonstrasikan hidrasi adekuat, dengan kriteria :
1) Nadi perifer dapat teraba, turgor kulit baik.
2) Vital sign dalam batas normal, haluaran urine lancer.
3) Kadar elektrolit dalam batas normal

Intervensi :

Intervensi Rasional
1. Kaji pengeluaran urine Membantu dalam memperkirakan
kekurangan volume total, tanda
dan gejala mungkin sudah ada
pada beberapa waktu
sebelumnya, adanya proses
infeksi mengakibatkan demam

16
dan keadaan hipermetabolik yang
menigkatkan kehilangan cairan
2. Pantau tanda-tanda vital Perubahan tanda-tanda vital dapat
diakibatkan oleh rasa nyeri dan
merupakan indikator untuk
menilai keadaan perkembangan
penyakit.
3. Monitor pola napas Paru-paru mengeluarkan asam
karbonat melalui pernapasan
menghasilkan alkalosis
respiratorik, ketoasidosis
pernapasan yang berbau aseton
berhubungan dengan pemecahan
asam aseton dan asetat
4. Observasi frekuensi dan Koreksi hiperglikemia dan
kualitas pernapasan asidosis akan mempengaruhi pola
dan frekuensi pernapasan.
Pernapasan dangkal, cepat, dan
sianosis merupakan indikasi dari
kelelahan pernapasan, hilangnya
kemampuan untuk melakukan
kompensasi pada asidosis.
5. Timbang berat badan Memberikan perkiraan kebutuhan
akan cairan pengganti fungsi
ginjal dan keefektifan dari terapi
yang diberikan.
6. Pemberian cairan sesuai Tipe dan jenis cairan tergantung
dengan indikasi pada derajat kekurangan cairan
dan respon

b. NDX: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan dengan defisiensi insulin/penurunan intake oral: anoreksia,
abnominal pain, gangguan kesadaran/hipermetabolik akibat pelepasan
hormone stress, epinefrin, cortisol, GH atau karena proses luka.

17
Tujuan :
Klien akan mengkonsumsi secara tepat jumlah kebutuhan kalori atau
nutrisi yang di programkan dengan kriteria :
1) Peningkatan barat badan.
2) Pemeriksaan albumin dan globulin dalam batas normal.
3) Turgor kulit baik, mengkonsumsi makanan sesuai program.

Intervensi :

Intervensi Rasional
1. Timbang berat badan. Penurunan berat badan
menunjukkan tidak ada kuatnya
nutrisi klien.
2. Auskultasi bowel sound. Hiperglikemia dan
ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit menyebabkan
penurunan motilifas usus. Apabila
penurunan motilitas usus
berlangsung lama sebagai akibat
neuropati syaraf otonom yang
berhubungan dengan sistem
pencernaan.
3. Berikan makanan lunak / Pemberian makanan oral dan
cair. lunak berfungsi untuk meresforasi
fungsi usus dan diberikan pada
klien dgn tingkat kesadaran baik.
4. Observasi tanda Metabolisme KH akan
hipoglikemia misalnya : menurunkan kadarglukosa dan
penurunan tingkat bila saat itu diberikan insulin akan
kesadaran, permukaan menyebabkan hipoglikemia.
teraba dingin, denyut nadi
cepat, lapar, kecemasan
dan nyeri kepala.
5. Berikan Insulin. Akan mempercepat pengangkutan
glukosa kedalam sel.

18
c. NDX : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka.
Tujuan :
Klien akan mempertahankan integritas kulit tetap utuh dan terhindar dari
inteksi dengan kriteria :
1) Tidak ada tanda – tanda infeksi.
2) Tidak ada luka.
3) Tidak ditemukan adanya perubahan warna kulit.

Intervensi :

Intervensi Rasional
1. Observasi tanda – tanda Kemerahan, edema, luka
infeksi drainase, cairan dari luka
menunjukkan adanya infeksi.
2. Ajarkan klien untuk Mencegah cross contamination.
mencuci tangan dengan
baik, untuk
mempertahankan
kebersihan tangan pada
saat melakukan prosedur
3. Pertahankan kebersihan Gangguan sirkulasi perifer dapat
kulit. terjadi bila menempatkan pasien
pada kondisi resiko iritasi kulit.
4. Dorong klien Peningkatan pengeluaran urine
mengkonsumsi diet secara akan mencegah statis dan
adekuat dan intake cairan mempertahankan PH urine yang
3000 ml/hari. dapat mencegah terjadinya
perkembangan bakteri.
5. Antibiotik bila ada indikasi Mencegah terjadinya
perkembangan bakteri.

19
d. NDX : Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan fungsi leucosit/
gangguan sirkulasi
Tujuan :
Klien akan menunjukkan tidak adanya tanda “inteksi, dengan kriteria :
1) Luka sembuh
2) Tidak ada edema sekitar luka.
3) Tidak terdapat pus, luka cepat mongering.

Intervensi :

Intervensi Rasional
1. Kaji keadaan kulit yang Mengetahui keadaan peradangan
rusak untuk membantu dalam
menanggulangi atau dapat
dilakukan pencegahan.
2. Bersihkan luka dengan Mencegah terjadinya inteksi
teknik septic dan antiseptic sekunder pada anggota tubuh
yang lain.
3. Kompres luka dengan Selain untuk membersihkan luka
larutan Nacl dan juga untuk mempercepat
pertumbuhan jaringan
4. Anjurkan pada klien agar Kelembaban dan kulit kotor
menjaga predisposisi sebagai predisposisi terjadinya
terjadinya lesi lesi.
5. Pemberian obat antibiotic. Antibiotik untuk membunuh
kuman.

e. NDX : Resiko gangguan persepsi sensoris : penglihatan berhubungan


dengan perubahan fungsi fisiologis akibat ketidakseimbangan
glukosa/insulin atau karena ketidakseimbangan elektrolit.
Tujuan :
1) Klien akan mempertahankan fungsi penglihatan
Intervensi :

Intervensi Rasional

20
1. Kaji derajat dan tipe Mengidentifikasi derajat
kerusakan kerusakan penglihatan
2. Latih klien untuk Mempertahankan aktivitas visual
membaca. klien.
3. Orientasi klien dengan Mengurangi cedera akibat
lingkungan. disorientasi
4. Gunakan alat bantu Melatih aktifitas visual secara
penglihatan. bertahap.
5. Panggil klien dengan Menurunkan kebingungan dan
nama, orientasikan membantu untuk
kembali sesuai dengan mempertahankan kontak dengan
kebutuhannya tempat, realita.
orang dan waktu.
6. Pelihara aktifitas rutin. Membantu memelihara panen
tetap berhubungan dengan
realitas dan mempertahankan
orientalasi pada lingkungannya.
7. Lindungi klien dari cedera. Pasien mengalami disorientasi
merupakan awal kemungkinan
timbulnya cedera, terutama
macam hari dan perlu
pencegahan sesuai indikasi.

f. NDX : Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan energi,


perubahan kimia darah, insufisiensi insulin, peningkatan kebutuhan
energi, infeksi, hipermetabolik
Tujuan :
Klien akan menunjukkan perbaikan kemampuan aktivitas dengan
kriteria:
1) mengungkapkan peningkatan energi
2) mampu melakukan aktivitas rutin biasanya
3) menunjukkan aktivitas yang adekuat
4) melaporkan aktivitas yang dapat dilakukan
Intervensi :

21
Intervensi Rasional
1. Diskusikan dengan klien Pendidikan dapat memberikan
kebutuhan akan aktivitas motivasi untuk meningkatkan
tingkat aktivitas meskipun pasien
mungkin sangat lemah
2. Berikan aktivitas Mencegah kelelahan yang
alternative berlebihan
3. Pantau tanda tanda vital Mengindikasikan tingkat aktivitas
yang dapat ditoleransi secara
fisiologis
4. Diskusikan cara Pasien akan dapat melakukan
menghemat kalori selama lebih banyak kegiatan dengan
mandi, berpindah tempat penurunan kebutuhan akan energi
dan sebagainya pada setiap kegiatan
5. Tingkatkan partisipasi Meningkatkan kepercayaan diri
pasien dalam melakukan yang positif sesuai tingkat
aktivitas sehari-hari yang aktivitas yang dapat ditoleransi
dapat ditoleransi pasien

g. NDX: Nyeri berhubungan dengan adanya ulcus (luka diabetes mellitus).


Tujuan :
Klien akan menunjukkan nyeri berkurang / teratasi dengan kriteria :
1) Klien tidak mengeluh nyeri
2) Ekspresi wajah ceria
Intervensi :

Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat nyeri Nyeri disebabkan oleh penurunan
perfusi jaringan atau karena
peningkatan asam laktat sebagai
akibat deficit insulin
2. Observasi tanda-tanda Pasien dengan nyeri biasanya
vital akan dimanifestasikan dengan
peningkatan vital sign terutama
perubahan denyut nadi dan

22
pernafasan
3. Ajarkan klien tekhnik Nafas dalam dapat meningkatkan
relaksasi oksigenasi jaringan
4. Ajarkan klien tekhnik Gate Memblokir rangsangan nyeri pada
Control serabut saraf
5. Pemberian analgetik Analgetik bekerja langsung pada
reseptor nyeri dan memblokir
rangsangan nyeri sehingga respon
nyeri dapat diminimalkan

h. NDX. Penurunan rawat diri berhubungan dengan kelemahan


Tujuan :
Klien akan mendemonstrasikan penurunan rawat diri, dengan kriteria :
1) Kuku pendek dan bersih
2) Kebutuhan dapat dioenuhi secara bertahap
3) Mandi sendiri tanpa bantuan
Intervensi :

Intervensi Rasional
1. Kaji kemampuan klien Mengidentifikasi tingkat toleransi
dalam pemenuhan rawat aktivitas klien
diri
2. Berikan aktivitas secara Melatih tingkat kemampuan rawat
bertahap diri secara bertahap
3. Bantu klien dalam Meningkatkan rasa nyaman klien
pemenuhan kebutuhan dan memperbaiki sirkulasi ke
sehari-hari perifer
4. Bantu klien (memotong Kuku panjang dapat digunakan
kuku) untuk menggaruk

i. NDx.: Kurang pengetahuan mengenai penyakitnya, prognosis penyakit


dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kesalahan interprestasi
Tujuan :
Klien akan melaporkan pemahaman tentang penyakitnya dengan
kriteria : Mengungkapkan pemahaman tentang penyakitnya
Intervensi :

23
Intervensi Rasional
1. Pilih berbagai strategi Penggunaan cara yang berbeda
belajar tentang mengakses informasi,
meningkatkan penerapan pada
individu yang belajar
2. Diskusikan tentang Kesadaran tentang pentingnya
rencana diet kontrol diet akan membantu
pasien dalam merencanakan
makan/mentaati program, serat
dapat memperlambat absorbsi
glukosa yang akan menurunkan
fluktuasi kadar gula dalam darah
3. Diskusikan tentang Diskusikan faktor-faktor yang
faktor faktor yang memegang peranan dalam kontrol
memegang peranan DM yang dapat menurunkan
dalam kontrol DM berulangnya kejadian
ketoasidosis.

4. Implementasi
Merupakan tahap dimana rencana keperawatan dilaksanakan sesuai dengan
intervensi. Tujuan dari implementasi adalah membantu klien dalam
mencapai peningkatan kesehatan baik yang dilakukan secara mandiri
maupun kolaborasi dan rujukan.
5. Evaluasi
Merupakan tahap akhir yang bertujuan untuk mencapai kemampuan klien
dan tujuan dengan melihat perkembangan klien. Evaluasi klien diabetes
mellitus dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya
pada tujuan.

2.2 Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Kasus Sistem Imunologi

2.2.1 Pengertian Sistem Imun

Fungsi sistem imun adalah melindungi pejamu dari invasi organisme asing
dengan membedakan diri (self) dari bukan diri (non-self). Sistem semacam ini

24
diperlukan untuk kelangsungan hidup. Sistem imun yang berfungsi baik tidak saja
melindungipejamu dari faktor eksternal seperti mikroorganisme atau toksin tetapi
juga mencegah dan menolak serangan oleh faktor endogen seperti tumor atau
fenomena autoimun.

Disfungsi atau defisiensi komponen sistem imun menimbulkan beragam


penyakit klinis dengan ekspresi dan keparahan yang bervariasi dari penyakit
atopik hingga atritis reumatoid, severe combined immunodeviciency, dan kanker.
Dalam makalah yang saya susun ini akan membahas dan memperkenalkan
fisiologi rumit sistem imun dan kelainan yang menimbulkan penyakit
hipersensitivitas dan imunodefisiensi.

Sistem imun membentuk sistem pertahanan badan terhadap bahan asing


seperti mikroorganisme (bakteria, kulat, protozoa, virus dan parasit), molekul-
molekul berpotensi toksik, atau sel-sel tidak normal (sel terinfeksi virus atau
malignan). Sistem ini menyerang bahan asing atau antigen dan juga mewujudkan
peringatan tentang kejadian tersebut supaya pendedahan yang berkali-kali
terhadap bahan yang sama akan mencetuskan gerak balas yang lebih cepat dan
tertingkat. Keimunan merujuk kepada keupayaan sesuatu individu yang telah
sembuh dari sesuatu penyakit untuk kekal sehat apabila terdedah kepada penyakit
yang sama untuk kali kedua dan seterusnya.

Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang


melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan
membunuh patogen serta sel tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam
pengaruh biologis luar yang luas, organisme akan melindungi tubuh dari infeksi,
bakteri, virus sampai cacing parasit, serta menghancurkan zat-zat asing lain dan
memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat dan jaringan agar tetap dapat
berfungsi seperti biasa. Deteksi sistem ini sulit karena adaptasi patogen dan
memiliki cara baru agar dapat menginfeksi organisme.

Suatu ciri sistem imun ialah keupayaan untuk membedakan bahan-bahan


yang wujud secara semula jadi atau normal (diri) dari bahan-bahan atau agen-agen
yang masuk ke dalam tubuh dari luar (bukan diri) dan menghasilkan gerak balas
terhadap bahan bukan diri saja. Ketidakwujudan khusus suatu gerak balas

25
terhadap diri dikenali sebagai toleransi. Pentingnya keupayaan untuk
membedakan (mendiskriminasi) antara diri dan bukan diri, serta toleransi diri,
ditunjukkan dalam penyakit-penyakit autoimun, apabila fungsi-fungsi tersebut
gagal. Penyakit-penyakit ini berhasil apabila bahan normal tubuh dicam sebagai
asing dan gerak balas imun dihasilkan terhadap bahan-bahan tersebut. Sistem
imun lazimnya amat berkesan membezakan antara diri dan bukan diri.

2.2.2 Anatomi dan Fisiologi Sistem Imun


1. Anatomi
a. Sel sistem imun
Sistem imun terdiri atas komponen spesifik dan non spesifik yang
memiliki fungsi tersendiri tetapi tumpang tindih. Sistem imun yang
diperantarai oleh antibodi yang diperantarai oleh sel menghasilkan
spesifisitas dan ingatan akan antigen yang pernah dijumpai. Meskipun
tidak memiliki spesifitas, komponen-komponen ini esensial karena
berperan dalam imunitas alamiterhadap beragam mikroorganisme
lingkungan.
Komponen selular utama sistem imun adalah monosit dan makrofag,
limfosit dan golongan sel granulositik, termasuk neutrofil, eosinofil dan
basofil. Fagosit mononukleus berperan sentral dalam respon imun.
Makrofag jaringan berasal dari monosit darah. Sebagai respon terhadap
rangsangan antigen makrofsg menelan antigen tersebut (fagositosis) dan
kemudian mengolah dan menyajikannya dalam bentuk yang dapat
dikenali oleh limfosit T.
Limfosit bertanggung jawab mengenali secara spesifik antigen dan
bentuk ingatan imunologis, yaitu ciri imunitas adaptif. Sel-sel ini secara
fungsional dan fenotipik dibagi menjadi limfosit B yang berasal dari
bursa limfosit T yang berasal dari timus.
Null cell merupakan 75% limfosit darah yaitu limfosit T dan 10% - 15%
adalah limfosit B, sisanya bukan limfosit B atau T. Null cell mungkin
mencakup berbagai jenis sel termasuk suatu kelompok yang dinamai
Natural Killer (NK Cells).

26
Leukosit polimorfonukleus (neutrofil) adalah sel granulosotik yang
berasal dari sumsum tulang dan beredar dalam darah dan jaringan. Fungsi
utamanya adalah fagositosis non-spesifik antigen dan destruksi partikel
asing atau organisme.
Eosinofil sering ditemukan ditempat peradangan atau rektivitasi imun
dan berperan penting dalam pertahanan pejamu terhadap parasit.
Eosinofil memperlihatkan fungsi modulatorik atau regulatorik dalam
berbagai jenis peradangan.
Basofil berperan penting dalam respon alergik fase cepat dan lambat. Sel-
sel ini mengeluarkan banyak mediator poten pada penyakit peradangan
imunologis.

b. Organ sistem imun


Semua sel sistem imun berasal dari sumsum tulang. Stem cells pluripoten
berdiferensiasi menjadi limfosit, granulosit, monosit, eritrosit, dan
megakariosit. Defisiensi dan disfungsi stem cells atau berbagai turunan
sel yang berkembang darinya menyebabkan defisiensi imun dengan
beragam ekpresivitas dan keparahan

Timus yang berasal dari kantong faring ketiga dan keempat pada
mudigah, berfungsi menghasilkan limfosit T dann merupakan tempat
diferensiasi awal limfosit T.

Getah bening berbentuk kacang kecil berbaring disepanjang perjalanan


limfatik. Terkumpul dalam situs tertentu seperti leher, aksila,
selangkangan dan daerah para-aorta. Pengetahuan tentang situs kelenjar
getah bening yang penting dalam pemeriksaan fisik pasien.

c. Fungsi sistem imun


1) Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit menghancurkan dan
menghilangkan mokroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit,
jamur dan virus) yang masuk kedalam tubuh.
2) Menghilangkan jaringan atau sel yang mati atau rusak untuk
memperbaiki jaringan.
3) Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal.

27
2. Fisiologi
a. Imunitas bawaan dan didapat
Organisme hidup memperlihatkan dua tingkat respon terhadap invasi
eksternal. Sistem imun bawaan (innate) alami dan sistem adaptif yang
bersifat didapat. Imunitas bawaan terdapat sejak lahir, cepat dimobilisasi
dan aktivitasnya bersifat non-spesifik. Permukaan kulit berfungsi sebagai
lini pertahanan pertama sistem imun bawaan, sementara enzim, jalur
sistem komplemen alternatif, protein fase-akut, sel NK, dan sitokin
membentuk lapisan pertahanan tambahan.
Sistem imun adaptif ditandai oleh spesifisitas terhadap benda asing dan
ingatan imunologis yang memungkinkan terjadinya respon yang lebih
intensif terhadap pertemuan berikutnya dengan benda yang sama atau
terkait erat. Introduksi suatu rangsangan ke sistem imun adaptif memicu
suatu rangkaian kompleks proses yang menyebabkan pengaktifan
limfosit.
b. Antigen (Imunogen)
Zat asing yang dapat memicu respons imun disebut antigen atau
imunogen. Imunogenisitas mengisyaratkan bahwa zat tersebut memeiliki
kemampuan untuk bereaksi dengan produk-produk sistem imun adaptif.
Sebgian besar antigen merupakan protein, meskipun karbohidrat murni
juga dapat berlaku sebagai antigen.
Masuknya zat melalui mukosa (saluan napas atau cerna) merangsang
pembentukan antibodi lokal. Antigen larut diangkut ke jaringan limfe
regional melalui pembuluh limfe aferen sementara antigen lainnya
diangkut oleh sel dendritik fagositik.
Organ limfoid perifer regional dan limpa adalah tempat bagi respon imun
utama terhadap antigen oleh limfosit dan sel penyaji antigen (antigen
presening cell, APC).
c. Respon Imun
Untuk mengenali dan kemudian mengeliminasi antigen asing, jaringan
kompleks yang terdiri atas sel, organ, dan faktor biologis spesifik
diperlukan. Interaksi selular yang kopmleks memerlukan lingkungan

28
mikro khusus tempat sel dapat bekerja sama secara efisien. Baik sel B
maupun sel T harus bermigrasi keseluruh tubuh untuk meningkatkan
kemungkinan bawhwa sel-sel tersebut menemukan antigen yang
spesifisitasnya dimiliki kedua sel tersebut.
Respon imun terhadap antigen dalam darah biasanya dimulai di limpa,
sedangkan respon jaringan terhadap mikroorganisme terjadi dikelenjar
limfe lokal. Antigen yang dijumpai melalui rute inhalasi atau ingesti
mengaktifkan sel-sel dijaringan limfoid terkait mukosa.

2.2.3 Etiologi dan Gangguan Sistem Imun

Sistem kekebalan tubuh kurang aktif bisa menyebabkan :

1. Immune deficiency conditions adalah kelompok besar penyakit sistem


kekebalan tubuh yang terdiri dari berbagai macam penyakit yang menekan
sistem imun. Seringkali penyebab immune deficiency conditions didasari
oleh penyakit kronis. Gejala-gejala dari immune deficiency conditions
adalah sama dengan penyakit yang mendasarinya.
2. SCID (Severe Combined Immunodeficiency) adalah gangguan sistem imun
yang diturunkan. Penyebab SCID adalah serangkaian kelainan genetik,
terutama dari kromosom X. Beberapa jenis infeksi yang berulang umum
terjadi pada orang yang menderita SCID. Selain itu, penderita juga rentan
terhadap meningitis, pneumonia, campak, cacar air. Penyakit sistem imun
SCID pada anak akan mulai terlihat dalam 3 bulan pertama kelahiran.
3. HIV/AIDS adalah masalah kegagalan sistem imun yang serius. Merupakan
penyebab terbanyak kematian. AIDS akan terjadi pada tahap akhir dari
perkembangan HIV. Kesehatan klien akan memburuk secraa perlahan.
AIDS akan membuat penderita rentan pilek dan flu dan yang serius seperti
pneumonia dan kanker.

Sistem kekebalan tubuh yang terlalu aktif bisa menyebabkan :

1. Alergi (yang disebabkan oleh jenis makanan, obat-obatan, sengatan


serangga atau zat tertentu) bisa didefinisikan sebagai respon sistem
kekebalan tubuh yang berlebihan terhadap zat yang umumnya tidak

29
berbahaya. Ada banyak alergen. Dalam banyak kasus, ada lebih dari satu
alergen yang merangsang reaksi alergi. Gejala alergi yang sering merupakan
masalah ringan.
2. Anafilaksis adalah bentuk alergi yang serius dan ekstrim. Alergen dari
makanan, obat-obatan atau gigitan serangga, bisa memicu dan
menyebabkanserangkaian gejala fisik yang tidak menyenangkan. Ruam
gatal, tenggorokan bengkak dan penurunan tekanan darah merupakan gejala
umum anafilaksis.
3. Asma adalah gangguan paru-paru kronis yang disebabkan peradangan pada
saliran udara. Alergen, iritasi atau bahkan stimulan seperti aktivitas fisik
dapat memicu peradangan. Gejala asma meliputi mengi, batuk, sesak napas,
sesak dada.
4. Penyakit autoimun adalah sekelompok gangguan sistem imun. Sel-sel
sistem imun salah menafsirkan sinyal. Dan mulai menyerang sel-sel tubuh
itu sendiri.

Gangguan sistem kekebalan tubuh lainnya :

1. Chediak Higashi Syndrome.


2. Common Immunodeficiency Variable.
3. Hay Fever.
4. Hives.
5. HTLV (Human T-lymphotropic Virus Type 1).
6. Hyper-IgE Syndrome (Hyperimmunoglobulin E Syndrome).
7. Hyper-IgM Syndrome (Hyperimunoglobulin M Syndrome).
8. Primary Immune Deficiency.
9. Selective IgA Defisiensi (Selective Immunoglobulin A Defisiensi).
10. Alergi Kulit.
11. XLA (X-Linked Agammaglobulinemia).

2.2.4 Patofisiologi
1. Usia
Frekuensi dan intensitas infeksi akan meningkat pada orang yang berusia
lanjut dan peningkatan ini disebabkan oleh penurunan untuk bereaksi secara

30
memadai terhadap mikroorganisme yang menginfeksinya. Produksi dan
fungsi limfosit T dan B dapat terganggu kemungkinan penyabab lain adalah
akibat penurunan antibodi untuk membedakan diri sendiri dan bukan diri
sendiri.
Penurunan fungsi sistem organ yang berkaitan dengan pertambahan usia
juga turut menimbulkan gangguan imunitas. Penurunan sekresi serta
motilitas lambung memungkinkan flora normal intestinal untuk
berploriferasi dan menimbulkan infeksi sehingga terjadi gastroenteritis dan
diare.
2. Gender
Kemampuan hormone-hormon seks untuk memodulasi imunitas telah
diketahui dengan baik. Ada bukti yang menunjukkan bahwa estrogen
memodulasi aktifitas limfosit T (khususnya sel-sel supresor) sementara
androgen berfungsi untuk mempertahankan produksi interleukin dan
aktifitas sel supresor. Efek hormon seks tidak begitu menonjol, estrogen
akan memgaktifkan populasi sel B yang berkaitan dengan autoimun yang
mengekspresikan marker CD5 (marker antigenic pada sel B). Estrogen
cenderung menggalakkan imunitas sementara androgen bersifat
imunosupresif. Umumnya penyakit autoimun lebih sering ditemui pada
wanita dari pada pria.

3. Nutrisi
Nutrisi yang adekuat sangat esensial untuk mencapai fungsi imun yang
optimal. Gangguan imun dikarenakan oleh defisiensi protein kalori dapat
terjadi akibat kekurangan vitamin yang diperlukan untuk mensintesis DNA
dan protein. Vitamin juga membantu dalam pengaturan poliferasi sel dan
maturasi sel-sel imun. Kelebihan atau kekurangan unsur-unsur renik
(tembaga, besi, mangan, selenium atau zink) dalam makanan umumnya
akan mensupresi fungsi imun Asam-asam lemak merupakan unsur
pembangun (building blocks) yang membentuk komponen structural
membrane sel. Lipid merupakan prekursir vitamin A,D,E, dan K disamping

31
prekursir kolesterol. Jika kelebihan maupun kekurangan asam lemak
ternyata akan mensupresi fungsi imun.
Deplesi simpanan protein tubuh akan mengakibatkan atrofi jaringan limfoid,
depresi respon anti bodi, penurunan jumlah sel T yang beredar dan
gangguan fungsi fagositosik sebagai akibatnya, kerentanan terhadap infeksi
sangat meningkat. Selama periode infeksi dan sakit yang serius, terjadi
peningkatan kebutuhan nutrisi yang potensial untuk menimbulkan deplesi
protein, asam lemak, vitamin, serta unsur-unsur renik dan bahkan
menyebabkan resiko terganggunya respon imun serta terjadinya sepsis yang
lebih besar.
4. Faktor -Faktor Psikoneuro Imunologik
Limfosit dan makrofag memiliki reseptor yang dapat bereaksi terhadap
neurotransmitter serta hormon-hormon endokrin.Limfosit dapat
memproduksi dan mengsekresikan ACTH serta senyawa-senyawa yang
mirip endokrin.
Neuron dalam otak, khususnya khusunya dalam hipotalamus, dapat
mengenali prostaglandin, interferon dan interleukin di samping histamine
dan serotonin yang dilepaskan selama proses inflamasi. Sebagaimana sistem
biologi lainnya yang berfungsi untuk kepentingan homoestasis, sistem imun
di integrasikan dengan berbagai proses psikofisiologic lainnya dan diatur
serta dimodulasikan oleh otak.
Di lain pihak, proses imun ternyata dapat mempengaruhi fungsi neural dan
endokrin termasuk perilaku. Jadi, interaksi sistem saraf dan system imun
tampaknya bersifat dua arah.
5. Kelainan Organ yang Lain
Keadaan seperti luka bakar atau cedera lain, infeksi dan kanker dapat turut
mengubah fungsi system imun. Luka bakar yang luas atau faktor-faktor
lainnya menyebabkan gangguan integritas kulit dan akan mengganggu garis
pertama pertahanan tubuh hilangnya serum dalam jumlah yang besar pada
luka bakar akan menimbulkan deplesi protein tubuh yang esensial, termasuk
immunoglobulin. Stresor fisiologi dan psilkologik yang disertai dengan

32
stress karena pembedahan atau cidera kan menstimulasi pelepasan kortisol
serum juga turut menyebabkan supresi respon imun yang normal.
Keadaan sakit yang kronis  dapat turut mengganggu sistem imun melalui
sejumlah cara. Kegagalan ginjal berkaitan dengan defisiensi limfosit yang
beredar. Fungsi imun untuk pertahanan tubuh dapat berubah karena asidosis
dan toksin uremik. Peningkatan insidensi infeksi pada diabetes juga
berkaitan dengan isufisiensi vaskuler, neuropati dan pengendalian kadar
glukosa darah yang buruk. Infeksi saluran nafas yang rekuren berkaitan
dengan penyakit paru obstruksi menahun sebagai akibat dari berubahnya
fungsi inspirasi dan ekspirasi dan tidak efektifnya pembersihan saluran
nafas.
6. Penyakit Kanker
Imunosekresi turut menyebabkan terjadinya penyakit kanker. Namun,
penyakit kanker sendiri bersifat imunosupresif. Tumor yang besar dapat
melepaskan antigen ke dalam darah, antigen ini akan mengikat antibodi
yang beredar dan mencegah antibodi tersebut agar tidak menyerang sel-sel
tumor.  Lebih lanjut, sel-sel tumor dapat memiliki faktor penghambat yang
khusus yang menyalut sel-sel tumor dan mencegah pengahancurannya oleh
limposit T killer. Dalam stadium awal pertumbuhan tumor, tubuh tidak
mampu mengenali antigen tumor sebagai unsure yang asing dan selanjutnya
tidak mampu memulai distruksi sel-sel yang maligna tersebut.kanker darah
seperti leukemia dan limpoma berkaitan dengan berubahnya produksi serta
fungsi sel darah putih dan limposit.
7. Obat-obatan
Obat-obatan tertentu dapat menyebabkan perubahan yang dikehendaki
maupun yang tidak dikehendaki pada fungsi sistem imun. Ada empat
klasifikasi obat utama yang memiliki potensi untuk menyebabkan
imunosupresi: antibiotic, kortikostreoid, obat-obat anti-inflamasi nonsteroid
(NSAID Nonsteroidal anti inflamatori drugs) dan preparat sitotoksik.
Penggunaan preparat ini bagi keperluan terapeutik memerlukan upaya untuk
mencari kesinambungan yang sangat tipis antara manfaat terapi dan supresi
sistem pertahanan tubuh resipien yang berbahaya.

33
8. Radiasi
Terapi radiasi dapat digunakan dalam pengobatan penyakit kanker atau
pencegahan rejeksi allograft. Radiasi akan menghancurkan limfosit dan
menurunkan populasi sel yang diperlukan untuk menggantikannya. Ukuran
atau luas daerah yang akan disinari menentukan taraf imunosupresi. Radiasi
seluruh tubuh dan dapat mengakibatkan imunosupresi total pada orang yang
menerimannya.
9. Genetik
Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik.
Secara genetik respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik,
cukup, dan rendah terhadap antigen tertentu.
Ia dapat memberikan respons rendah terhadap antigen tertentu, tetapi
terhadap antigen lain tinggi sehingga mungkin ditemukan keberhasilan
vaksinasi yang tidak 100%. Faktor genetik dalam respons imun dapat
berperan melalui gen yang berada pada kompleks MHC dengan non MHC.
a. Gen kompleks MHC
Gen kompleks MHC berperan dalam presentasi antigen. Sel Tc akan
mengenal antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas I, dan sel
Td serta sel Th akan mengenal antigen yang berasosiasi dengan molekul
MHC kelas II. Jadi respons sel T diawasi secara genetik sehingga dapat
dimengerti bahwa akan terdapat potensi variasi respons imun.
Secara klinis terlihat juga bahwa penyakit tertentu terdapat lebih sering
pada HLA tertentu, seperti spondilitis ankilosing terdapat pada individu
dengan HLA-B27.
b. Gen non MHC
Secara klinis kita melihat adanya defisiensi imun yang berkaitan dengan
gen tertentu, misalnya agamaglobulinemia tipe Bruton yang terangkai
dengan kromosom X yang hanya terdapat pada anak laki-laki.
Demikian pula penyakit alergi yaitu penyakit yang menunjukkan
perbedaan respons imun terhadap antigen tertentu merupakan penyakit
yang diturunkan.

34
Faktor-faktor ini menyokong adanya peran genetik dalam respons imun,
namun mekanisme yang sebenarnya belum diketahui.
10. Kehamilan
Salah satunya yaitu Infeksi beberapa infeksi yang terjadi secara kebetulan
selama kehamilan dapat menyebabkan cacat sejak lahir. Campak jerman
(rubella) bisa menyebabkan cacat sejak lahir, terutama sekali pada jantung
dan bagian dalam mata. Infeksi cytomegalovirus bisa melewati plasenta dan
merusak hati dan otak janin.
Listeriosis, infeksi bakteri, juga bisa membahayakan janin. Infeksi bakteri
pada vagina (seperti bakteri vaginosis) selama kehamilan bisa menyebabkan
persalinan sebelum waktunya atau membran yang berisi janin gugur
sebelum waktunya. Pengobatan pada infeksi dengan antibiotik bisa
mengurangi kemungkinan masalah-masalah ini.

2.2.5 Manifestasi Klinis


Tanda :
1. Sebagian besar bayi yang sehat mengalami infeksi saluran pernafasan
sebanyak 6 kali atau lebih dalam 1 tahun, terutama jika terlular oleh anak
lain. Sebaliknya, bayi dengan gangguan sistem imun, biasanya menderita
infeksi bakteri berat yang menetap, berulang atau menyebabkan komplikasi.
Misalnya infeksi sinus, infeksi telinga menahun dan bronkitis kronis yang
biasanya terjadi setelah demam dan sakit tenggorokan. Bronkitis bisa
berkembang menjadi pneumonia.
2. Kulit dan selaput lendir yang melapisi mulut, mata dan alat kelamin sangat
peka terhadap infeksi.
3. Thrush merupakan suatu infeksi jamur dimulut disertai luka dimulut dan
peradangan gusi, bisa merupakan pertanda awal dari adanya gangguan
sistem kekebalan.
4. Peradangan mata (konjungtivitis) , rambut rontok, eksim yang berat dan
pelebaran kapiler dibawah kulit merupakan pertanda dari penyakit
immunodefisiensi.
5. Infeksi pada saluran pencernaan bisa menyebabkan diare pembentukan gas
yang berlenihan dan penuruna berat badan.

35
Tanda defisiensi Imun kombinasi yang berat.

1. Terdapat pada minggu atau bulan pertama kehidupan.


a. Sering terjadi infeksi virus atau jamur dibandingkan bakteri.
b. Diare kronik umum terjadi sering disebut gastroenteritis.
c. Infeksi respiratorius dan oral thrush umum terjadi.
d. Tejadi Failure to thrive tanpa adanya infeksi.
e. Limfopenia ditemui pada hampir semua bayi.

Gejala klinis penyakit Imunodefisiensi

1. Gejala yang biasanya dijumpai.


Infeksi saluran napas atas berulang infeksi bakteri yang berat. Penyembuhan
inkomplit antar episode infeksi. Atau respons pengobatan in komplit.
2. Gejala yang sering dijumpai.
a. Gagal tumbuh atau retardasi tumbuh.
b. Jarang ditemukan kelenjar atau tonsil yang membesar.
c. Infeksi oleh mikroorganisme yang tidak lazim.
d. Lesi kulit (Rash, ketombe, pioderma, abses nekrotik/noma, alopesia,
eksim, teleangiektasi, warts yang hebat).
e. Oral thrush yang tidak menyembuh dengan pengobatan.
f. Jati tabuh.
g. Diare dan Mal abrsopsi.
h. Mastoiditis dan otitis persisten.
i. Pneumonia atau bronkitis berulang.
j. Penyakit autoimun.
k. Kelainan helatologis (anemia aplastik, anemia hemolitik, neutropenia,
trombositopenia).
3. Gejala yang jarang dijumpai.
a. Berat Badan Turun.
b. Demam.
c. Peridontitis.
d. Limfadenopati.
e. Hepatosplenomegali.

36
f. Penyakit virus yang berat.
g. Artritis atau artralgia.
h. Ensefalitis kronik.
i. Meningitis berulang.
j. Pioderma gangrenosa.
k. Kolangitis sklerosa.
l. Hepatitis kronik (virus atau autoimun).
m. Reaksi simpang terhadap vaksinasi.
n. Bronkiektasis.
o. Infeksi saluran kemih.
p. Lepas/ puput tali pusat terlambat.
q. Stomatitis kronik.
r. Granuloma.
s. Keganasan limfoid.

2.2.6 Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
a. Identitas pasien
1) Nama pasien :
2) Jenis kelamin :
3) Umur : Pada rinitis alergik lebih sering penderita bayi.
4) Alamat : Lingkungan yang terpapar oleh alergen seperti
lingkungan tempat tinggal yang kotor seperti diperkotaan yang
dipenuhi dengan debu dan asap, selain itu lingkungan yang sanitasinya
kurang sehat dan tempat tinggal yang tidak mempunyai ventilasi atau
pertukaran udara yang baik merupakan awal dari timbulnya gangguan
pada sistem imunitas. Cuaca, suhu dingin di tempat tinggal tertentu
juga merupakan penyakit rhinitis alergi.
5) Suku bangsa :
6) Pekerjaan : mempunyai hubungan langsung sebab akibat
terjadinya serangan rhinitis alergi. Hal ini berkaitan dengan dimana

37
dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan,
industri tekstil, polisi lalu lintas.
7) Agama :
8) Diagnosa medis :
9) Tanggal MRS :

Yang bertanggung jawab

1) Nama :
2) Pekerjaan :
3) Alamat :
4) Agama :
5) Pendidikan :
6) Hub dengan pasien :
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
Bersin-bersin, hidung mengeluarkan sekret, hidung tersumbat, dan
hidung gatal.
2) Riwayat penyakit terdahulu
Pasien pernah menderita penyakit THT.
3) Riwayat penyakit keluarga
Ibu mengungkapkan bahwa dahulu pernah mengalami hal yang sama
dengan penderita.
c. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum : Klien lemah dan demam.
2) Kesadaran : Composmentis.
3) Cek TTV :
a) RR.
b) Suhu (meningkat).
c) Nadi.
d) TD.
4) Pemeriksaan Head To Toe
a) Kepala

38
Bentuk kepala bulat, warna rambut hitam, tidak ada benjolan, kulit
kepala bersih.
b) Mata
Simetris, tidak ada sekret, konjungtiva merah, sklera merah, mata
berair.
c) Hidung
Simetris, ada sekret (hidung buntu), tidak ada pernafasan cuping
hidung, tidak polip.
d) Telinga
Simetris, tidak ada benjolan, lubang telinga bersih, tidak ada
serumen.
e) Leher
Tidak ada pembesara kelenjar tiroid, limfe, tidak ada bendungan
vena jugularis, tidak ada kaku kuduk.
f) Dada
Inspeksi : Dada simetris, bentuk bulat datar, pergerakan
dinding dada simetris, tidak ada retraksi otot bantu pernapasan.
Palpasi : Tidak ada benjolan mencurigakan.
Perkusi: Paru-paru sonor, jantung dullens.
Auskultasi : Irama nafas teratur, suara napas vesikuler, tidak
ada suara napas tambahan.
g) Perut
Inspeksi : Simetris.
Auskultasi : Peristaltik meningkat 40x/menit.
Palpasi : turgor kulit tidak langsung kembali dalam 1 detik.
Perkusi: Hipertimpan, perut kembung.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan jalan napas b.d obstruksi atau adanya sekret yang
berlebihan.
b. Gangguan rasa nyeri dikepala b.d kurang suplai oksigen.
c. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
intake yang tidak adekuat.

39
3. Intervensi

No. Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional


Hasil
1 Bersihan jalan napas 1. Auskultasi bunyi 1. Obstruksi jalan
kembali efektif dan napas. Catat napas dan dapat
normal. adanya bunyi atau tak di
Kriteria hasil : napas. Misal manifestasikan
Menunjukkan mengi, kerkels, adanya bunyi napas
perilaku untuk ronki. adventisius.
memperbaiki bersihan 2. Kaji atau pantau 2. Adanya beberapa
jalan napas. frekuensi derajat dan dapat
Misal : Mengeluarkan pernapasan. ditemukan pada
sekret. 3. Kaji pasien untuk penerimaan atau
posisi yang selama stres atau
nyaman. Misal : adanya infeksi akut.
peninggian kepala Pernapasan dapat
tempat tidur, melambat dan
duduk pada frekuensi ekspirasi
persandaran memanjang
tempat tidur. inspirasi
4. Pertahankan memendek.
polusi lingkungan 3. Peninggian kepala
minimum. Misal : tempat tidur
debu, asap dan mempermudah
bulu bantal yang fungsi pernapasan
berhubungan dengan
dengan kondisi menggunakan
pasien. gravitasi.
5. Tingkatkan 4. Pencetus tipe reaksi
masukan cairan alergi pernapasan
3000/ hari sesuai yang dapat
dengan keadaan mentreger episode

40
jantung, akut.
memberikan air 5. Hidrasi membantu
hangat. menurunkan
kekentalan sekret,
mempermudah
pengeluaran.
2 Setelah dilakukan 1. Kaji nyeri, lokasi, 1. Untuk membantu
tindakan keperawatan karakteristik, dan meringankan tingkat
selama 1x24 jam integritas nyeri nyeri diberikan
diharapkan nyeri dengan skala 0-10 edukasi.
dapat berkurang atau ditanyakan kepada 2. Cek tanda vital
hilang. pasien nyerinya apakah ada indikator
Kriteria hasil : urutan ke skala terhadap nyeri yang
1. Klien dapat berapa. Kaji timbul.
mengetahui tanda-tanda vital. 3. Meningkatkan
terjadinya 2. Lakukan masase kenaikan kadar
gangguan rasa pada daerah nyeri. oksigen dalam ottak
nyaman yang 3. Ajarkan teknit untuk meredakan
berhubungan relaksasi misalnya rasa nyeri di kepala.
dengan nyeri napas dalam. 4. Kolaborasi dengan
kepala. 4. Kolaborasi dengan tenaga kesehatan
2. Klien mengatasi dokter dalam lainnya untuk
nyeri tanpa pemberian obat. memberikan oba
bantuan. analgetik untuk
3. Pasien dapat meningkatkan
mengatasi sekret tingkat kenyamanan
tanpa bantuan. klien.
4. Klien dapat
bergerak dengan
leluasa.
5. Tanda-tanda vital
dalam batas
normal.

41
3 Nutrisi terpenuhi 1. Jelasakn tentang 1. Dengan pemahaman
sesuai dengan manfaat makan klien akan lebih
kebutuhan tubuh. bila dikatikan kooperatif
Kriteria hasil : dengan kondisi mengikuti aturan.
1. Nafsu makan klien saat ini. 2. Untuk menghindari
membaik. 2. Anjurkan agar makanan yang justru
2. Keadaan umum klien dapat mengganggu
membaik. mengkonsumsi proses
3. Klien tampak makanan yang penyembuhan klien.
mau makan. disediakan di 3. Higiene oral yang
rumah sakit. baik akan
3. Lakukan dan meningkatkan nafsu
ajarkan perawatan makan klien.
mulut sebelum 4. Makanan adalah
dan sesudah bagian dari peristiwa
makan serta sosial, dan nafsu
sebelum dan makan dapat
sesudah intervensi meningkat dengan
atau periksaan sosialisasi.
peoral. 5. Makanan hangat
4. Tingkatkan dapat meningkatkan
lingkungan yang nafsu makan.
menenangkan 6. Membantu
untuk makan memenuhi
dengan teman jika kebutuhan dan
memungkinkan. meningkatkan
5. Berikan makanan pemasukan.
dalam keadaan 7. Meningkatkan
hangat. pengetahuan sesuai
6. Berikan makanan dengan kondisi
selinga (Mis. klien.
Keju, biskuit,

42
buah-buahan)
yang tersedia
dalam 24 jam.
7. Kolabrasi tentang
pemenuhan diet
klien.

4. Implementasi

Tanggal/jam No. diagnosa Implementasi Respon pasien


18 April 2015 1,2,3 1. Observasi tanda- DS : Pasien
(09.00) tanda vital dan kaji mengatakan
nyeri, lokasi, bersedia untuk
karaktristik, dan diperiksa
integritas nyeri DO : Pasien tampak
dengan skala 0-10. tenang.
2. Memberikan jalan DO : Pasien
napas. menerima tindakan
3. Memberikan yang diberikan.
posisi yang lebih DS : Napas pasien
nyaman bisa lebih efektif.
dengan semi DS : Pasien
fowler. Agar bersedia
mudah bernapas. melaksanakan nya.
4. Memberikan obat DO : Pasien terlihat
sesuai hasil nyaman dan tenang.
kolaborasi, DO : Obat telah
monitor obat dan diminum, pusing
respon (-), suhu berangsur-
sampingnya. angsur turun dan
normal.
DS : Pasien
kooperatif untuk

43
minum obat.
18 April 2015 2,3 1. Kaji nyeri, DS : Klien sudah
(11.00) karakteristik, dan tidak mengeluh
integritas nyeri nyeri. Klien
dengan skala (0- mengatakan skala
10). nyeri pada skala 0.
2. Mengkaji nutrisi DO : Klien tidak
pasien. terlihat meringis
3. Memberikan kesakitan.
makanan dalam DS : Pasien
porsi kecil dan kooperatif dalam
frekuensi sedang. tindakan.
4. Menjelaskan pada DO : Berat badan
pasien dan berangsur-angsur
keluarga tentang meningkat dan
manfaat makanan pasien merasa segar
bernutrisi. dan tidak lemas.
DS : Pasien tenang
selama makan.
DO : Pasien
menghabiskan
setengah porsi.
DS : Pasien
meneirma
penyuluhan yang
diberikan.
DO : Pasien
mampu
menghindari
makanan yang
berisiko untuknya.
18 April 2015 2,3 1. Mengajarkan DS : Pasien dapat
(13.00) teknik relaksasi melakukan teknik

44
misalnya napas napas dalam.
dalam. DO : Pasien terlihat
2. Memberikan semangat.
antasida dana DS : Pasien
pemberian nutrisi kooperatif untuk
parenteral. minum obat.
3. Memberikan DO : Pasien tidak
posisi yang meringis kesakitan.
nyaman. DS : Pasien
bersedia
melaksanakannya.
DO : Pasien terlihat
nyaman dan tenang.

5. Evaluasi

Tanggal No. Evaluasi Ttd


Diagnos
a
18 April 2015 1. S : Pasien mengatakan sekret mulai
hilang dan jalan napas lebih efektif.
O : Pasien tidak membuka mulutnya
lagi untuk benapas.
A : Masalah teratasi.
P : Intervensi di hentikan.
18 April 2015 2. S : Pasien mengatakan kepalanya sudah
tidak nyeri lagi.
O : Klien tidak terlihat meringis
kesakitan.
A : Masalah teratasi.
P : Intervensi dihentikan.
18 April 2015 3. S : Pasien mengatakan tidak merasa

45
lemas.
O : Wajah pasien tidak tampak pucat
lagi.
A : Masalah teratasi.
P : Intervensi dihentikan.

2.3 Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Kasus Sistem Pencernaan


Enteritis Regional

2.3.1 Pengertian
Enteritis regional adalah inflamasi kronis dan sub-akut yang meluas
keseluruh lapisan dinding usus dari mukosa usus, ini di sebut juga
transmural. (brunner & suddarth. 2002)
Penyakit crohn merupakan salah satu penyakit usus inflamatorik, yang dapat
menyerang seluruh bagian saluran gastrointestinal , mulai dari mulut (berupa
stomatitis) sampai lesi pada anus. (mansjoer arif, dkk . 2001)
Crohn disease adalah suatu inflamasi transmural gangguan dari saluran
system pencernaan. (Grace.P.A. 2002)
Enteritis regional(penyakit crohn) merupkan suatu penyakit peradangan
granulomatosa kronis pada saluran cerna yang sering terjadi berulang. (price, and
Wilson. 2006)

2.3.2 Etiologi
Etiologi dari Penyakit Corhn (Grace.P.A. 2002):
1. Masih belum diketahui
2. Kelemahan sel- system imun yang melemah
3. Factor genetic tapi belum diketahui secara pasti
4. Adanya infeksi mycrobakterium atau virus akibat hypersensitivitas.
5. Perokok pasif maupun pasif bisa beresiko

2.3.3 Manifestasi Klinis


Gejala klinis yang paling sering timbul adalah sebagai berikut (brunner &
suddarth, 2002) :

46
1. Nyeri abdomen
2. Diare yang tidak hilang dengan defekasi, terjadi pada 90% pasien .
3. Jaringan parut dan pembentukan granuloma mempengaruhi kemampuan
usus untuk menstranspor produk dari pencernaan usus atas melalui lumen
terkonstriksi mengakibatkan nyeri abdomen seperti kram . karena peristaltic
usus di rangsang oleh makanan, nyeri terjadi setelah makan. Untuk
menghindari nyeri, pasien cenderung untuk membatasi masukan makanan ,
mengurangi jumlah dan jenis makanan sehingga kebutuhan nutrisi normal
tidak terpenuhi.
4. Penurunan berat badan ,malnutrisi, 3nemia sekunder.akibatnya individu
menjadi kurus karena masukan makanan tidak adekuat dan cairan hilang
secara terus-menerus.
5. Usus yang terinflamasi dapat mengalami perforasi dan membentuk abses
anal dan intra-abdomen . terjadi demam dan leukositosis. Abses ,fistula, dan
fisura umum terjadi.
6. Perjalan klinis dan gejala bervariasi. Pada beberapa pasien terjadi periode
remisi dan eksaserbasi, sementara yang lain mengikuti beratnya penyebab.
7. Gejala meluas keseluruhan saluran gastrointestinal dan umumnya mencakup
masalah sendi (arthritis), lesi kulit (eritema nodosum), gangguan okuler
(konjungtivitis), ulkus oral. 

2.3.4 Patofisiologis
Enteritis regionla/penyakit crohn umumnya terjadi pada remaja atau dewasa
muda , tetapi dapt terjadi kapan sja selama hidup. Keadaan ini sering terlihat pada
populasi lansia (50-80 tahun). Meskipun ini dpat terjdi dimana saja disepanjang
sluran gastrointestinal , area paling umum yang sering terkena adalah ileum distl
dan kolon.
Enteritis regional adalah penyakit inflamasi kronois dan subakut yang
meluas keseluruh lapisan dinding usus dari mukosa usus, ini disebut juga
transmural. Pembentukan fistula . fistula dan abses terjadi sesuai luasnya
inflamasi kedalam peritoneum . lesi (ulkus)tidak pada kontak terus menerus satu
sama lain dipisahkan oleh jaringan normal. Granuloma terjadi pada setengah
kasus . pada kasus lanjut mukosa usus mempunyai penampilan (coblostone)

47
dengan berlanjutnya penyakit , dinding usus menebal dan menjadi fibrotic dan
lumen usus menyempit. (brunner & suddarth. 2002)
Manifestasi pada penyakit Corhn akan terjadi nyeri abdoemn menetap dan
diare yang tidak hilang dengan defeksi. Diare terjadi pada 90% pasien. Jaringan
parut dan pembentukan granuloma mempengaruhi kemampuan usus untuk
mentraspor produk dari pencernaan usus atas melalu lumen yang terkonstriksi,
mengakibatkan nyeri abdomen berupa kram. Gerakan peristaltik usus dirangsang
oleh makan sehingga nyeri kram terjadi setelah makan. Untuk menghindari nyeri
kram ini, pasien cenderung untuk membatasi masukan makanan, mengurangi
jumlah dan jenis makanan sehingga kebutuhan nutrisi normal tidak terpenuhi.
Akibatnya adalah penurunan berat badan, malnutrisi, anemia sekunder. Selain itu,
pembentukan ulkus dilapisan membran usus dan ditempat terjadinya inflamasi
akan menghasilkan rabas pengiritasi konstan yang dialirkan ke kolon dari usus
yang tipis, bengkak, yang menyebabkan diare kronis. Kekurangan  nutrisi dapat
terjadi akbiat absorbsi terganggu. Malabsorbsi terjadi sebagai akibat hilangnya
fungsi penyerapan permukaan mukosa. Fenomena ini dapat mengakibatkan
malnutrisi protein – kalori, dehidrasi dan beberapa kekurangan gizi. (brunner &
suddarth. 2002)

2.3.5 Komplikasi
Obstruksi usus atau pembentukan striktur, penyakit perianal ,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit , dan pembentukan fistula serta abses .
fistula adalah hubungan abnormal antara dua struktur tubuh , baik internal (antara
dua struktur internal dan permukaan luas dari tubuh ). Jenis fistula usus halus
yang paling umum yang diakibatkan oleh enteritis regional adalah fistula
enterokutan (antara usus halu dan kulit). Abses dapat berasal dari jalur fistula
internal yamg kemudian masuk kedalam area yang mengakibatkan akumulasi
cairan dan infeksi. (brunner & suddarth. 2002)

2.3.6 Prognosis

Menurut (Grace.P.A. 2002) ada beberapa penderita sembuh total setelah


suatu serangan yang mengenai usus halus. Tetapi penyakit Crohn biasanya

48
muncul lagi dengan selang waktu tidak teratur sepanjanghidup penderita.
Kekambuhan ini bisa bersifat ringan atau berat, bisa sebentar atau lama. Mengapa
gejalanya datang dan pergi dan apa yang memicu episode baru atau
yangmenentukan keganasannya tidak diketahui. Peradangan cenderung berulang
pada daerah usus yang sama, namun bisamenyebar pada daerah lain setelah
daerah yang pernah terkena diangkat melaluipembedahan.Penyakit Crohn
biasanya tidak berakibat fatal. Tetapi beberapa penderita meninggalkarena kanker
saluran pencernaan yang timbul pada penyakit Crohn yang menahun. 
1. Crohn disease adalah penyakit inflamasi kronis, dan berulang dari aktifasi
penyakit yang bisa muncul kembali.
2. 75% dari pasien akan dilakukan tindakan operasi suatu waktu
3. 60% dari pasien akan dilakukan tindakan lebih dari satu kali operasi/bisa
berkali-kali dilakukan operasi
4. Harapan untuk hidup dari pasien crohn disease kecil berbeda dari jumlah
penduduk normal
2.3.7 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan umum
a. Koreksi anemia , malnutrisi, dehidrasi
b. Diet rendah serat, suplementasi vitamin, besi, atau asam folat.
2. Penatalaksanaan famakologi
a. 5-Aminosalicylic acid (5ASA mesalazine). Ini adalah senyawa dari aksi
local anti-inflamasi, terutama pada colon, dan dapat pangaturan rectal
atau oral. Perlambatan perumusan pelepasan(pentasa atau asacol)
melarutkan di dalam kolon , pada saat mentransrifkan pembentukan dari
5ASA (sulphasalazine,osalazine,dan basalazine) adalah pelepasa enzim
di dalam colon oleh bakteri.
b. Corticosteroids ,terapi steroid biasanya efektif mempengaruhi remisi dan
bisa digunakan terutama untuk pengobatan penyakit yang akut dan sudah
mulai adanya pembusukan. Itu mungkin dapat diatur oleh parenteral,oral,
dan rectal. Memperpanjang pengobatan steroid sistemik banyak efek
yang merugikan. Mrncangkup memperburuk osteoporosis . budesonide
adalah sintetik steroid proses metabolisme dengan cepat oleh liver.

49
Menghasilkan level sistemik yang lebih rendah, dan kemungkinan itu
sebagai partikel yang efektif dari penyakit terminal crohn disease.
c. Immunosuppressives, obat seperti azathioprine, 6-mercaptopurine dan
methotrexate dapat digunakan , terutama ketika sering mengalami relaps
mengharuskan mengulangi pengobatan steroid.
d. Antibiotic , metronidazole , mungkin membujuk remisi dari beberapa
penyebab crohn disease tapi ini tidak efektif di ulseratif colitis.
e. Probiotik , bacteria yang hidup, untuk memperbaiki dari keseimbangan
flora normal pada usus, telah digunakan untuk pengobatan dengan
berhasil. (keshaf, satish. 2004)
3. Pembedahan
Pembedahan Panproctocolectomy (ppemotongan colon dan rectum) adalah
penyembuhan untuk colitis ulseratif dan digunakan sebagai tempat
beristirahat selanjutnya untuk penyakit ringan atau dimana timbul dysplasia.
Crohn disease hampir tanpa terkecuali setelah operasi. Oleh karena itu
,penggunaan prosedur bedah lebih besar terbatas. Contohnya pengurangan
tanda dan gejala penyempitan atau terjadi abses. (keshaf, satish. 2004)
Lebih dari 80% pasien yang telah lama menderita penyakit Crohn akan
menjalani operasi walaupun operasi tak mencegah rekuensi , namun dapat
menghilangkan gejala dalam waktu lama. (mansjoer arif, dkk . 2001)

2.3.8 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium adalah kadar hemoglobin, hematokrit, kadar
besi serum untuk menilai kehilangan darah dalam usus, laju endap darah
untuk menilai aktivitas inflamasi serta kadar alumin serum untuk status
nutrisi, serta C reactive protein yang dapat dipakai juga sebagai parameter
aktivitas penyakit
2. Endoscopy
Penyakit crohn dapat bersifat transmural, segmental dan dapat terjadi
disaluran cerna bagian atas, usus halus ataupun colon.
3. Radiologi

50
Barium kontas ganda dapat memperlihatkan striktur, fistula, mukosa yang
iregular, gambaran ulkus dan polip, ataupun perubahan distenbilitas lumen
kolon berupa penebalan dinding usus. Peran Ct Scan dan ultrasonografi
lebih banyak ditujukan pada penyakit crohn dalam mendeteksi adanya bases
ataupu fistula.
4. Histopatologi
Spesimen yang berasal dari operasi lebih mempunyai nilai diagnostik
daripada spesimenyang diambil secara biopsi per – endoskopik. Terlebih
lagi bagi penyakit crohn yang lesinya bersifat transmural sehingga tidak
dapat dijangkau dengan teknik biopsi per-endoscopik. Gambaran khas untuk
penyakit crohn adanya granuloma tuberculoid (terdapat 20 – 40% kasus)
merupakan hal yang karakteristik disampung adanya infiltrasi sel makrofag
dan limfosit di lamina profia serta ulserasi yang dalam.
5. MRI
Dapat lebih unggul daripada Ct Scan dalam menunjukkan lesi panggul. Oleh
karena kadar air diverensia, MRI dapat mebedakan peradangan aktif dari
fibrosis dan dapat membedakan antara inflamasi serta lesi fibrostenosis
penyakit crohn.
6. Colonoscopy
Dapat membantu ketika barium enema satu kontras belum informatif dalam
mengevalusia sebuah lesi kolon. Kolonoscopy berguna dalam memperoleh
jaringan biopsi, yang membantu dalam diferensiasi penyakit lain, dalam
evaluasi lesi masa, dan dalam pelaksanaan surveilans kanker. Colonoscopy
juga memungkinkan mefisualisasi fibrosis striktur pada pasien dengan
penyakit kronis. Selain itu, colonoscopy juga dapat digunakan dalam
periode pasca operasi bedah untuk mengevaluasi anastomosis dan
meprediksi kemungkinan kambuh klinis serta respon terhadap terapi pasca
operasi. (Grace.P.A. 2002).

2.3.9 Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Riwayat kesehatan

51
Pasien melaporkan tanda gejala awalnya seperti diare tapi belum terjadi
perdarahan pada fases(3-5 dengan konsistensi cair /hari),
kelelahan,anorexia,nyeri abdomen yang hilang timbul. Jika penyakit
tersebut berkembang cepat biasanya pasien mengalami nyeri pada
abdomen yang menetap dan terus-menerus pada kuadran kanan bawah,
kehilangan berat badan, kelelahan yang lebih berat, dan demam ringan.
Beberapa pasien bisa terjadi penurunan turgor kulit di sekitar parineal
dan area sekitar rectal. (Dongoes, M. 2000)
b. Pemeriksaan fisik
Karena crohn disease adalah penyakit inflamasi kronis yang
mempengaruhi dari sistem saluran pencernaan dan menyebabkan
anorexia,diare yang berkepanjangan, masalah malnutrisi dan dehidrasi.
Inspeksi tentang kehilangan/kerontokan rambut,kulit kering,membran
mukosa yang lembab, turgor kulit yang buruk,kelemahan otot dan lesu.
Inspeksi juga daerah perianal untuk mengetahui ada tidaknya tanda-tanda
dari pembentukan fistula.
Palpasi daerah abdomen mengetahui ada/tidaknya nyeri
tekan,kelembutan,pembesaran. Umumnya terdapat nyeri tekan pada
abdomen kuadran kanan bawah, tetapi catat: intensitas,jenis nyeri,dan
lamanya nyeri. Auskultasi area abdomen untuk mendengar bising usus.
Seringkali, hiperaktifitas peristaltik usus akan dicatat sebagai peristiwa
inflamasi yang akut.
1) Keadaan umum : terlihat lemah dan kesakitan
2) TTV mengalami perubahan sekunder dari nyeri dan diare, suhu badan
pasien naik ≥38,5°C
3) Head to toe
a) Integumen
b) Kilit kering dan turgor tidak baik karena kekurangan nutrisi
c) Abdomen
Inspeksi: pasien mengalami nyeri tekan, kram andomen, perut
kembung, inspeksi dari daerah perinatal dapat mengungkapkan
fistula, abses dan jaringan parut.

52
Auskultasi: terdapat peningkatan bising usus karena pasien
mengalami diare
Perkusi: nyeri tekuk dan tympani karena adanya flatulen
Palpasi: nyeri tekan abdomen, peningkatan suhu tubuh atau
didapatkan adanya masaa pada abdomen. Turgor kulit >3 detik
menandakan gejala dehidrasi
c. Pemeriksaan Laboratorium
1) Anemia disebabkan oleh beberapa penyebab, termasuk peradangan
kroni, malabsorbsi besi, kehilangan darah kronis, dan malabsorbsi
vitamin B12 atau folat
2) Hipoalbuminemia, hipokolesterolemia, hipokalsemia dan
hipomagnesemia mencerminkan malabsorbsi
3) Leukositosis disebabkan oleh peradangan kronis, abses atau
pengobatan steroid

d. Psikososial
Akibat dari peradangan yang kronis dan tubuh yang mulai melemah
karena berbagai tanda gejala yang muncul, kira-kira dengan seringnya
pasien dirawat di rumah sakit, sering kali menunjukan hasil pada masalah
psikologi dan isolasi sosial. Pengkajian mekanisme koping , sebaiknya
diberikan dukungan/support system. (Sommers, Susan, dkk. 2007)
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri b.d iritasi nitestinal, kram abdomen dan respon pembedahan
b. Resiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit b.d pengeluaran cairan
dari muntah yang berlebihan
c. Resiko ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d
ketidakadekuatan intake nutrisi sekunder akibat nyeri, ketidaknyamana
lambung dan intestinal
d. Resti infeksi b.d adanya luka pasca bedah
e. Kecemasan b.d prognosis penyakit dan rencana pembedahan
3. Intervensi

53
No.
Tujuan dan KH Intervensi Rasional
Dx
1. Setelah dilakukan 1. Kaji skala nyeri 1. perawat mengkaji
tindakan keperawatan (0 – 4) tingkat nyeri dan dan
selama 3x24 jam 2. Jelaskan dan kenyamanan pasien
masalah keperawatan bantu pasien 2. setelah penggunaan
nyeri dapat teratasi dengan tindakan obat obatan dan
dengan KH sebagai pereda nyeri menghindari zat
berikut : nonfarmakologi pengiritasi
1. Secara subjektif 3. Istirahatkan 3. pendekatan dengan
melaporkan nyeri pasien menggunakan relaksasi
berkurang 4. Ajarkan teknik dan nonfarmakologi
2. Ekspresi wajah distraksi lainnya telah
pasien tenang dan 5. manajemen menunjukkan
rileks pemberian diet keefektifan dalam
3. Dapat dan menghindari mengurangi nyeri
mengidentifikasi agen iritan 4. istirahat secara
kegiatan yang mukosa lambung fisiologis dapat
dapat menambah 6. kolaborasi menurunkan
atau mengurangi dengan dokter kebutuhan oksigen
nyeri untuk pemberian 5. distraksi dapat
4. Pasien tidak antasida sesuai menurunkan stim ulus
gelisah dosis internal dengan
5. Skala nyeri turun 0 menghindari makan
-4 dan minuman yang
dapat mengiritasi
mukosa lambung dapat
menurunkan intensitas
nyeri
6. antasid untuk
mempertahankan Ph
lambung pada tingkat
normal (4,5)

54
2 Setelah dilakukan 1. Monitor TTV 1. Mengetahui keadaan
tindakan keperawatan 2. Monitor status umum pasien,
selama 3x24 jam, cairan (membran hipotensi datap terjadi
masalah cairan dan mukosa, turgor pada kondisi
elektrolit dapat kulit dan output hipovolemia
teratasi dengan KH urin) 2. Jumlah dan tipe cairan
sebagai berikut : 3. Kaji sumber pengganti ditentukan
1. membran mukosa kehilangan cairan dari keadaan status
lembab, turgor 4. Manajemen cairan
kulit normal pemberian cairan 3. Penurunan volume
2. TTV dalam batas 5. Kolaborasi untuk cairan mengakibatkan
normal pemberian menurunnya produksi
3. Output diuresis urin. Monitor
>600ml/hari dilakukan dengan ketat
4. Laboratorium : pada produksi urin
nilai elektrolit 4. Kehilangan cairan dan
normal muntah dapat disertai
dengan keluarnya
natrium per oral yang
juga akan
meningkatkan risiko
gangguan elektrolit
5. Intake dan output
cairan setiap hari
dipantau untuk
mendeteksi tanda –
tanda awal terjadinya
dehidrasi

3 Setelah dilakukan 1. Kaji status nutrisi 1. Menetapkan derajad


keperawatan selama pasien, turgor masalah untuk
3x24 jam, masalah kulit, berat badan menetapkan pilihan
keperawatan dan penurunan intervensi yang tepat

55
ketidakseimbangan berat badan 2. Memperhitungkan
nutrisi dapat teratasi 2. Fasilitasi pasien keinginan individu
dengan KH sebagai memperoleh diit agar dapat
berikut : biasa yang memperbaiki nutrisi
1. Pasien dapat dikonsumsi 3. Berguna dalam
mempertahankan pasien setiap hari mengukur keefektifan
asupan status 3. Pantau intake dan nutrisi dan dukungan
nutrisi yang output, anjurkan cairan.
adekuat untuk timbang 4. Menurunkan rasa tidak
2. Pernyataan berat badan enak karena sisa
motivasi yang kuat secara periodik makanan dan bau obat
untuk 4. Lakukan dan yang dapat
meningkatkan ajarkan perawatan merangsang pusat
kebutuhan mulut sebelum muntah
nutrisinya dan sesudah 5. Merencanakan diit
makan dengan kandungan
5. Kolaborasi nutrisi yang adekuat
dengan ahli gizi untuk memenuhi
untuk pemberian pengingkatan
ddit yang kebutuhan energi dan
seimbang kalori
6. Kolaborasi 6. Meningkatkan rasa
dengan dokter nyaman pada
untuk pemberian gastrointestinal dan
anti muntah meningkatkan
sesuai dosis keinginan intake
nutriso dan cairan per
oral
4. Setelah dilakukan 1. Kaji TTV 1. Suhu dapat ikut naik
tindakan keperawatan 2. Kaji jenis jika pasien terjadi
selama 3x24 jam, pembedahan inflamasi dan infeksi
masalah keperawatan 3. Lakukan 2. Menidentifikasi
resti infeksi dapat perawatan luka kemajuan atau

56
teratasi dengan KH pada hari ke dua penyimpangan dari
sebagai berikut : pasca bedah tujuan yang
1. Tanpa adanya 4. Bersihkan luka diharapkan
infeksi dan tanda – pada saat setiap 3. Perawatan luka
tanda kemerahan perawatan luka sebaiknya tidak setiap
setelah jahitan 5. Tutup luka hari untuk
dilepas dengan kassa menurunkan kontak
2. TTV terutama steril dengan luka yang
suhu dalam batas 6. Berikan penkes dalam kondisi steril
normal kepada keluarga 4. Pembersihan
pasien dan pasien debridemen dapat
cara perawatan mencegah
luka yang benar kontaminasi kuman ke
dan steril jaringan luar
7. Kolaborasi 5. Penutupan secara
dengan dokter menyeluruh dapat
untuk pemberian menghindari
anti infeksi kontaminasi dari
sesuai dosis benda atau udara
6. Pemberian penkes
diharapkan bisa lenih
memberikan
pemenuhan informasi
bagi keluarga
7. Tindakan kolaborasi
dilakukan dengan
tujuan untuk lebih
optimal dalam
pengobatan
5. Setelah dilakukan 1. Monitor respon 1. Digunakan untuk
keperawatan selama fisik, seperti mengevaluasi derajad
3x24 jam, masalah kelelahan, atau tingkat kesadaran,
keperawatan perubahan tanda khusunya jika

57
kecemasan dapat vital dan gerakan melakukan komunikasi
teratasi dengan KH yang berulang – verbal
sebagai berikut : ulang 2. Memberikan
1. Pasien mampu 2. Anjurkan pasien kesempatan untuk
mgnungkapkan dan keluarga berkosentrasi kejadian
perasaan kepada mengungkapkan dari rasa takut, dan
perawat dan mengurangi cemas
2. Pasien dapat mengekspresikan yang berlebihan
mencatat rasa takutnya 3. Respon dari
penurunan 3. Catat reaksi kecemasan anggota
kecemasan atau pasien atau keluarga terhadap apa
ketakutan keluarga. Berikan yang terjadi dapat
3. Pasien dapat rileks kesempatan utnuk disampaikan kepada
dan tidur dengan mengungkapkan perawat
nyaman perasaannya 4. Sejumlah aktivitas
4. Ajarka aktivitas atau ketrampilan dapat
pengalihan menurunkan tingkat
perhatian sesuai kebosanan yang dapat
kemampuan menjadi stumulus
individu seperti kecemasan
menulis,
menonton tv, dll

2.4 Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Kasus Sistem Perkemihan


Binigna Prostat Hipertropi (BPH)
2.4.1 Pengertian
BPH adalah pembesaran atau hypertropi prostat. Kelenjar prostat membesar,
memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar
urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter. Istilah Benigna Prostat
Hipertropi sebenarnya tidaklah tepat karena kelenjar prostat tidaklah membesar
atau hipertropi prostat, tetapi kelenjar-kelenjar periuretralah yang mengalami
hiperplasian (sel-selnya bertambah banyak. Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan

58
terdesak menjadi gepeng dan disebut kapsul surgical. Maka dalam literatur di
benigna hiperplasia of prostat gland atau adenoma prostat, tetapi hipertropi prostat
sudah umum dipakai.

Hipertropi Prostat adalah hiperplasia dari kelenjar periurethral yang


kemudian mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai
bedah. (Jong, Wim de, 1998).

Benigna Prostat Hiperplasi ( BPH ) adalah pembesaran jinak kelenjar


prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat
meliputi jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan
penyumbatan uretra pars prostatika (Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo,
1994 : 193).

BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada
pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan
pembatasan aliran urinarius ( Marilynn, E.D, 2000 : 671 ).

Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar


prostat (secara umum pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat
obstruksi urethral dan pembatasan aliran urinarius (Doengoes, Morehouse &
Geissler, 2000, hal 671).

Kelenjar prostat bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra


Pars Prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli
(Poernomo, 2000, hal 74).

2.4.2 Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui.
Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen.
Faktor lain yang erat kaitannya dengan terjadinya BPH adalah proses penuaan
Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :

1. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan
stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron

59
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan
penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3. Interaksi stroma – epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunantransforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma
dan epitel.
4. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan
epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori sel stem
Teori sel steam menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel steam
sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat
menjadi berlebihan (Poernomo, 2000, hal 74-75).atau Sel stem yang
meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit ( Roger Kirby, 1994 : 38 ).

2.4.3 Patofisiologi
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan seiring dengan
bertambahnya usia sehingga terjadi perubahan keseimbangan hormonal yaitu
terjadi reduksi testosteron menjadi Dehidrotestosteron dalam sel prostat yang
kemudian menjadi faktor terjadinya penetrasi DHT ke dalam inti sel. Hal ini dapat
menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga menyebabkan terjadinya sintesis
protein yang kemudian menjadi hiperplasia kelenjar prostat (Mansjoer, 2000 hal
329; Poernomo, 2000 hal 74).

Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, maka akan terjadi
penyempitan lumen uretra prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan
ini menyebabkan peningkatan tekanan intra vesikel. Untuk dapat mengeluarkan
urine buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan tersebut,
sehingga akan terjadi resistensi pada buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta
otot detrusor menebal dan meregang sehingga timbul sakulasi atau divertikel.
Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut,
maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak
mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urine (Mansjoer, 2000, hal
329; Poernomo, 2000 hal 76).

60
Tekanan intravesikel yang tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli
tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini
dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks-
vesiko ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter,
hidronefrosis bahkan akhirnya dapat terjadi gagal ginjal (Poernomo, 2000, hal
76).

2.4.4 Manifestasi Klinis


Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun
keluhan di luar saluran kemih.

1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah


Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinari Tract
Symptoms (LUTS) terdiri atas gejala iritatif dan gejala obstruktif.
a. Gejala iritatif meliputi:
1) (frekuensi) yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat
terjadi pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
2) (nokturia),  terbangun untuk miksi pada malam hari
3) (urgensi)  perasaan ingin miksi yang sangat mendesak dan sulit di
tahan
4) (disuria).nyeri pada saat miksi
b. Gejala obstruktif meliputi:
1) rasa tidak lampias sehabis miksi,
2) (hesitancy), yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai
dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-
buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan
intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
3) (straining)  harus mengejan
4) (intermittency)  yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang
disebabkan karena ketidakmampuan otot destrussor dalam
pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.
5) dan waktu miksi yang memanjang yang akhirnya menjadi retensi
urine dan inkontinensia karena overflow.

61
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan saluran kemih sebelah bawah,
beberapa ahli urology membuat sistem scoring yang secara subyektif dapat
diisi dan dihitung sendiri oleh pasien.

2. Gejala pada saluran kemih bagian atas


Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas,
berupa gejala obstruksi antara lain: nyeri pinggang, benjolan di pinggang
(yang merupakan tanda dari hidronefrosis), yang selanjutnya dapat menjadi
gagal ginjal dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan darah,
perikarditis, foetoruremik dan neuropati perifer.
3. Gejala di luar saluran kemih
Pasien yang berobat ke dokter biasanya mengeluh adanya hernia inguinalis
dan hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada
saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal
(Poernomo, 2000, hal 77 – 78; Mansjoer, 2000, hal 330).
4. warna urin merah cerah, pada hari ke-2 dan ke-3 post operasi menjadi lebih
tua.
Menurut Long (1996, hal. 339-340), pada pasien post operasi BPH,
mempunyai tanda dan gejala:
a. Hemorogi
1) Hematuri
2) Peningkatan nadi
3) Tekanan darah menurun
4) Gelisah
5) Kulit lembab
6) Temperatur dingin
b. Tidak mampu berkemih setelah kateter diangkat
c. Gejala-gejala intoksikasi air secara dini:
1) bingung
2) agitasi
3) kulit lembab
4) anoreksia
5) mual

62
6) muntah

2.4.5 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada hipertropi prostat adalah Retensi kronik
dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, gagal ginjal.
b.d Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksic.
Hernia / hemoroidd. Karena selalu terdapat sisa urin sehingga menyebabkan
terbentuknya batu. Hematuriaf, Pielonefritis, Aterosclerosis, Infark jantung,
Impoten, Haemoragik post operasi, Fistula, Striktur pasca operasi & inconentia
urine.

2.4.6 Pemeriksaan Diagnosis


1. Laboratorium
Meliputi ureum (BUN), kreatinin, elekrolit, tes sensitivitas dan biakan urin.

2. Radiologis
Intravena pylografi, BNO, sistogram, retrograd, USG, Ct Scanning,
cystoscopy, foto polos abdomen. Indikasi sistogram retrogras dilakukan
apabila fungsi ginjal buruk, ultrasonografi dapat dilakukan secara trans
abdominal atau trans rectal (TRUS = Trans Rectal Ultra Sonografi), selain
untuk mengetahui pembesaran prostat ultra sonografi dapat pula
menentukan volume buli-buli, mengukut sisa urine dan keadaan patologi
lain seperti difertikel, tumor dan batu (Syamsuhidayat dan Wim De Jong,
1997).
3. Prostatektomi Retro Pubis
Pembuatan insisi pada abdomen bawah, tetapi kandung kemih tidak dibuka,
hanya ditarik dan jaringan adematous prostat diangkat melalui insisi pada
anterior kapsula prostat.
4. rostatektomi Parineal
Yaitu pembedahan dengan kelenjar prostat dibuang melalui perineum
5. Prostatektomy

63
Merupakan tindakan pembedahan bagian prostate (sebagian/seluruh) yang
memotong uretra, bertujuan untuk memeperbaikialiran urin dan
menghilangkan retensi urinaria akut.

2.4.7 Penatalaksanaan

Non Operatif
1. Pembesaran hormon estrogen & progesteron
2. Massase prostat, anjurkan sering masturbasi
3. Anjurkan tidak minum banyak pada waktu yang pendek
4. Cegah minum obat antikolinergik, antihistamin & dengostan
5. Pemasangan kateter.

Operatif
Indikasi : terjadi pelebaran kandung kemih dan urine sisa 750 ml
1. TUR (Trans Uretral Resection)
2. STP (Suprobic Transersal Prostatectomy)
3. Retropubic Extravesical Prostatectomy)
4. Prostatectomy Perineal

2.4.8 Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Data subyektif :
1) Pasien mengeluh sakit pada luka insisi.
2) Pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan seksual.
3) Pasien selalu menanyakan tindakan yang dilakukan.
4) Pasien mengatakan buang air kecil tidak terasa.
b. Data Obyektif :
1) Terdapat luka insisi
2) Takikardi
3) Gelisah
4) Tekanan darah meningkat
5) Ekspresi w ajah ketakutan
6) Terpasang kateter

64
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter
b. Perubahan pola eliminasi : retensi urin berhubungan dengan obstruksi
sekunder
c. Disfungsi seksual berhubungan dengan hilangnya fungsi tubuh
d. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dengan port de entrée
mikroorganisme melalui kateterisasi
e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang
penyakit, perawatannya.
3. Intervensi
a. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter
Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 3-5 hari pasien mampu
mempertahankan derajat kenyamanan secara adekuat.
Kriteria hasil:
1) Secara verbal pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang
2) Pasien dapat beristirahat dengan tenang.

Intervensi:

1) Monitor dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan faktor pencetus
serta penghilang nyeri.
2) Observasi tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah, kening mengkerut,
peningkatan tekanan darah dan denyut nadi)
3) Beri ompres hangat pada abdomen terutama perut bagian bawah
4) Anjurkan pasien untuk menghindari stimulan (kopi, teh, merokok,
abdomen tegang)
5) Atur posisi pasien senyaman mungkin, ajarkan teknik relaksasif.
Lakukan perawatan aseptik terapeutikg. Laporkan pada dokter jika
nyeri meningkat
b. Perubahan pola eliminasi urine: retensi urin berhubungan dengan
obstruksi sekunder.
Tujuan :

65
Setelah dilakukan perawatan selama 5-7 hari pasien tidak mengalami
retensi urin.
Kriteria :
1) Pasien dapat buang air kecil teratur bebas dari distensi kandung
kemih.

Intervensi :

1) Lakukan irigasi kateter secara berkala atau terus- menerus dengan


teknik steril
2) Atur posisi selang kateter dan urin bag sesuai gravitasi dalam keadaan
tertutup
3) Observasi adanya tanda-tanda shock/hemoragi (hematuria, dingin,
kulit lembab, takikardi, dispnea)
4) Mempertahankan kesterilan sistem drainage cuci tangan sebelum dan
sesudah menggunakan alat dan observasi aliran urin serta adanya
bekuan darah atau jaringan
5) Monitor urine setiap jam (hari pertama operasi) dan setiap 2 jam
(mulai hari kedua post operasi)
6) Ukur intake output cairang. Beri tindakan asupan/pemasukan oral
2000-3000 ml/hari, jika tidak ada kontra indikasih. Berikan latihan
perineal (kegel training) 15-20x/jam selama 2-3 minggu, anjurkan dan
motivasi pasien untuk melakukannya.
c. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan sumbatan saluran
ejakulasi, hilangnya fungsi tubuh
Tujuan :
Setelah dilakukan perawatn selama 1-3 hari pasien mampu
mempertahankan fungsi seksualnya.
Kriteria hasil :
1) Pasien menyadari keadaannya dan akan mulai lagi intaraksi seksual
dan aktivitas secara optimal.

Intervensi :

66
1) Motivasi pasien untuk mengungkapkan perasaannya yang
berhubungan dengan perubahannya
2) Jawablah setiap pertanyaan pasien dengan tepat
3) Beri kesempatan pada pasien untuk mendiskusikan perasaannya
tentang efek prostatektomi dalam fungsi seksual
4) Libatkan kelurga/istri dalam perawatan pmecahan masalah fungsi
seksual
5) Beri penjelasan penting tentang:
a) Impoten terjadi pada prosedur radikal
b) Adanya kemungkinan fungsi seksual kembali normal
c) Adanya kemunduran ejakulasif. Anjurkan pasien untuk
menghindari hubungan seksual selama 1 bulan (3-4 minggu)
setelah operasi.
d. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan port de entrée
ikroorganisme melalui kateterisasi
Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 1-3 hari pasien terbebas dari infeksi
Kriteria hasil:
1) Tanda-tanda vital dalam batas normal
2) Tidak ada bengkak, aritema, nyeri
3) Luka insisi semakin sembuh dengan baik

Intervensi:

1) Lakukan irigasi kandung kemih dengan larutan steril.


2) Observasi insisi (adanya indurasi drainage dan kateter), (adanya
sumbatan, kebocoran)
3) Lakukan perawatan luka insisi secara aseptik, jaga kulit sekitar kateter
dan drainage
4) Monitor balutan luka, gunakan pengikat bentuk T perineal untuk
menjamin dressing
5) Monitor tanda-tanda sepsis (nadi lemah, hipotensi, nafas meningkat,
dingin)

67
e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang
penyakit, perawatannya
Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 1-2 hari
Kriteria :
1) Secara verbal pasien mengerti dan mampu mengungkapkan dan
mendemonstrasikan perawatan

Intervensi :

1) Motivasi pasien/ keluarga untuk mengungkapkan pernyataannya


tentang penyakit, perawat
2) Berikan pendidikan pada pasien/keluarga tentang:
a) Perawatan luka, pemberian nutrisi, cairan irigasi, kateter
b) Perawatan di rumah
c) Adanya tanda-tanda hemoragi

BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Gangguan endokrin adalah penyakit yang terkait dengan kelenjar endokrin
pada tubuh. Sistem endokrin adalah jaringan kelenjar yang menghasilkan hormon
yang merupakan sinyal kimia yang dikeluarkan melalui aliran darah.

Sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang


dilakukan oleh sel danorgan khusus pada suatu organism.
Pertahanan tubuh ada 2 yaitu :

68
1. Non spesifik
2. adaptasi atau yang muncul ( diperoleh) atau spesifik

Enteritis adalah suatu proses radang usus yang berjalan akut atau kronis,


akan menyebabkan peningkatan peristaltik usus, kenaikan jumlah sekresi kelenjar
pencernaan serta penurunan proses penyerapan cairan maupun penyerapan sari-
sari makanan di dalamnya.

BPH adalah pembesaran atau hypertropi prostat. Kelenjar prostat membesar,


memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar
urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter. Istilah Benigna Prostat
Hipertropi sebenarnya tidaklah tepat karena kelenjar prostat tidaklah membesar
atau hipertropi prostat, tetapi kelenjar-kelenjar periuretralah yang mengalami
hiperplasian (sel-selnya bertambah banyak. Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan
terdesak menjadi gepeng dan disebut kapsul surgical. Maka dalam literatur di
benigna hiperplasia of prostat gland atau adenoma prostat, tetapi hipertropi prostat
sudah umum dipakai.

3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini, semoga dapat digunakan sebagai pedoman bagi
pembaca khususnya mahasiswa/mahasiswi keperawatan. Makalah ini masih
banyak kekurangan dalam hal penulisan maupun isi. Oleh sebab itu penulis
mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan penyusunan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Bare & Suzanne, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 2, (Edisi
8), EGC, Jakarta

Carpenito, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, (Edisi 2),


EGC, Jakarta

Corwin,. J. Elizabeth, 2001, Patofisiologi, EGC, Jakarta

Doenges, E. Marilynn dan MF. Moorhouse, 2001, Rencana Asuhan Keperawatan,


(Edisi III), EGC, Jakarta.

69
FKUI, 1979, Patologi, FKUI, Jakarta

Ganong, 1997, Fisiologi Kedokteran, EGC, Jakarta

Gibson, John, 2003, Anatomi dan Fisiologi Modern untuk Perawat, EGC, Jakarta

Guyton dan Hall, 1997, Fisiologi Kedokteran, (Edisi 9), EGC, Jakarta

Carpenito, Lynda Juall 2009. Diagnosis Keperawatan Aplikasi Pada Praktik


Klinis Edisi 9. Jakarta : EGC.

Doengoes, Mariliynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.

Price, Syilvia. 2005. Patofisiolois : Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit.


Jakarta : EGC.

McPhee, Stephen J. 2010. Patofisiologi Penyakit : Pengantar Menuju Kedokteran


Klinis. Jakarta : EGC.

Arif, mutatqin. 2001. Konsep Penyakit Dalam. Jakarta : EGC

Brunner & Suddarth.2002. keperawatan medical bedah edisi 8 vol 2. Jakarta :


EGC

Grace.P.A.2002. Surgery at a Glance second edition.blackwell science Ltd: EGC

Keshaf, satish.2004.the gastrointestinal system at a glance.Blackwell Publishing


Company        

Mansjoer, Arif Dan Kuspuji Triyanti, dkk.2001.Kapita Selekta Kedokteran Edisi


Ketiga Jilid 1.Jakarta.Media Aesculapius.

Price, and Wilson. 2006. Patofisiologi konsep penyakit klinis proses-proses


penyakit.jakarta:EGC

Sommers,Susan,dkk.2007. Disease And Disorders A Nursing Therapeutics


Manual third edition.USE: F.A David Company  

Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

70
Long, B.C., 1996. Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Lab / UPF Ilmu Bedah, 1994. Pedoman Diagnosis Dan Terapi. Surabaya, Fakultas
Kedokteran Airlangga / RSUD. dr. Soetomo.

Hardjowidjoto S. (1999).Benigna Prostat Hiperplasia. Airlangga University Press.


Surabaya.

Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.

71

Anda mungkin juga menyukai