Anda di halaman 1dari 4

NAMA : JUMARDIN DJALILI

NIM : F1C117047
MATA KULIAH : KIMIA KATALIS

Review Katalis Merah Putih


Sumber: https://m.youtube.com/watch?v=grv1X3HM3eU

Latar Belakang
Pada tahun 1982, Prof Subagja, Guru besar teknik ITB, melakukan suatu Penelitian dengan
memanfaatkan limbah kelapa sawit menjadi bensin, walaupun menjadi biodiesel namun
terdapat campuran bensin dan diesel yang harus dipisahkan. Kemudan dari proses itu mulai
dikembangkan beberapa jenis katalis. Namun terjadi kendala, dimana industri tidak menerima
ketika ditawarkan produk, mereka lebih cenderung memilih untuk bekerja sama dari awal
untuk menghasilkan produk sesuai dengan sketsa mereka. Prof. Subagja bekerja sama dengan
pertamina sejak tahun 2000 untuk mengevaluasi beberapa macam katalis. Hingga pada tahun
2003, beliau ditawari pertamina untuk membuat produk. Beliau akhirnya merekrut
Mahasiswa S3 untuk membantu riset yang Ia kembangkan.

Penemuan dan Pengembangan Inovasi Katalis Merah Putih


Saat ini bahan bakar nabati merupakan salah satu kontributor utama porsi energi baru dan
terbarukan dalam bauran energi primer. Dengan semakin berkembangnya teknologi
biohidrokarbon khususnya melalui inovasi putra bangsa, diharapkan peran Bahan Bakar
Nabati (BBN) akan semakin luas dan Indonesia dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri
dalam hal pemanfaatan sumber daya alam lokal untuk kepentingan ketahanan energi nasional.

Sebelum pengujian di Kilang Dumai, PT. Pertamina (Persero) berhasil menjalankan inovasi
dalam pengembangan BBM Nabati jenis gasoline (minyak bensin) melalui sistem co-
processing di Kilang Refinery Unit (RU) III Plaju Sumatera Selatan. Kali ini co-processing
dijalankan di Kilang Pertamina RU II Dumai guna menciptakan bahan bakar nabati dengan
jenis gasoil (minyak solar).

Upaya mengurangi ketergantungan katalis impor dirintis Subagjo, pakar katalis dari Fakultas
Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung sejak 1983. Riset Subagjo bersama timnya di
Laboratorium Teknik Reaksi Kimia dan Katalisis ITB telah menghasilkan enam jenis katalis
yang terbukti berfungsi baik. Katalis pertama yang dibuat berbasis besi oksida sebagai
absorben gas II2S dinamai PIMITBl. Penggunaannya untuk desulfurisasi gas alam.

Pada 2004, Subagjo bersama rekannya, Makertihartha dan Melia Laniwati, menemukan
formula katalis yang dinamai PK100 HS, untuk hidrotriting (hydrotreating) nafta (NHT). Uji
coba skala pilot di Pusat Riset dan Teknologi Pertamina menggunakan 100 gram katalis
menunjukkan hasil lebih baik daripada katalis komersial. Dari sinilah katalis itu dijuluki
katalis “merah putih” pertama.

Selanjutnya, uji coba dilakukan pada skala industri komersial di Kilang Dumai Pertamina
pada 2012. Hasilnya lebih baik dari produk impor yang digunakan di kilang ini. Keberhasilan
ini menjadi dasar penggunaan katalis merah putih ini di kilang lain milik Pertamina untuk
pembuatan minyak nafta, kerosin, dan diesel.

Pengembangan katalis terus dilakukan hingga tercipta katalis tipe PTD 120 yang berpori
lebih lebar daripada katalis merah putih pertama atau PK 100 HS. Katalis ini digunakan di
kilang Dumai untuk mengolah beberapa jenis bahan baku solar sejak 2014, termasuk dalam
mengolah campuran minyak sawit dengan minyak fosil dalam reaktor diesel hidrotriting.

Dengan katalis PTD 120, proses hidrogenasi minyak sawit menghasilkan fraksi “diesel hijau”
dengan bilangan setana (cetane number) sekitar 80. Modifikasi dilakukan terhadap PTD 120
dengan menambali bahan protomer menghasilkan katalis tipe PDI) 120-1,3T, yaitu katalis
untuk proses deoksigenasi minyak nabati menghasilkan hidrokarbon parafinik. Ketika bahan
yang diolah berupa minyak sawit, maka menghasilkan diesel hijau. Jika yang diproses
minyak inti sawit atau minyak kelapa, produknya adalah kerosin parafinik yang merupakan
bahan baku bio-avtur.

Riset Lanjutan

Penerapan katalis PDO 1201,3T ini terus dikembangkan. Tiga tahun terakhir, fokus riset
Subagjo dan timnya pada proses pembuatan bahan bakar nabati (BBN) dari campuran minyak
fosil dan minyak sawit hingga penerapan katalis untuk pengolahan minyak sawit 100 persen
menjadi bahan bakar hijau.

Bahan katalis merah putih berasal dari batuan mineral yang berbasis sulfida dari nikel, kobal,
molibdenum dengan penyangga alumina. Katalis yang dihasilkan harus bisa mengolah
minyak fosil dan atau minyak nabati saja.
Salah satu hasilnya adalah diesel hijau yang dihasilkan dari Unit DHDT (Distillate
Hydrotreating) 220 di kilang Pertamina Refinery Unit (RU) II Dumai.

Minyak RBDPO (refined bleached deodorized palm oil) merupakan hasil olahan minyak
kelapa mentah sawit (CPO) di pengilangan untuk memutihkan atau mencerahkan warna dan
menghilangkan bau. Adapun LOGO (light coker gas oil) adalah minyak gas yang dihasilkan
dari pengolahan minyak residu. Minyak gas ini dapat diproses lebih lanjut menjadi produk
minyak ringan, seperti bensin, avtur, dan diesel.

Setelah berhasil menciptakan katalis, pengolahan CPO dilakukan di fasilitas Distillate


Hydrotreating Unit (DHDT) yang berada di kilang Pertamina Dumai, berkapasitas 12.6
MBSD (Million Barel Steam Per Day). Penggantian katalis lama dengan versi baru ciptaan
dalam negeri mulai dijalankan pada Februari 2019. Injeksi bahan baku minyak nabati pun
mulai dilaksanakan pada Maret 2019.

Dari hasil uji coba, pengolahan dengan sistem co-processing di unit DHDT ini dapat
menyerap feed RBDPO hingga 12 %. Pencampuran langsung RBDPO dengan bahan bakar
fosil di kilang ini secara teknis lebih sempurna dengan proses kimia, sehingga menghasilkan
komponen gasoil dengan kualitas lebih tinggi karena angka cetane mengalami peningkatan
hingga 58 dengan kandungan sulphur lebih rendah.

Pemerintah mendukung dan mengapresiasi pengembangan katalis berteknologi tinggi yang


dilakukan oleh PT.Pertamina (Persero) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang
digunakan untuk co-processing di Kilang Refinery Unit (RU) II Dumai.

Pemerintah mengharapkan keberhasilan kinerja katalis merah putih untuk produksi green-
diesel melalui co-processing sampai dengan 12.5% on feed di kilang pengolahan RU II
Dumai dapat diduplikasi di kilang pengolahan Pertamina lainnya dan akan menjadi top-up
dari mandatori Biodiesel yang saat ini sudah berjalan. Bila implementasi Biodiesel dibatasi
pada persentase tertentu karena karakteristik teknisnya, maka lain halnya dengan produksi
green-diesel/HVO yang dalam pengujian ini terbukti menghasilkan produk dengan kualitas
yang lebih baik. Hal ini terlihat dari adanya peningkatan cetane index dan penurunan sulfur.

Sinergi berbagai sektor dan instansi mutlak dibutuhkan agar biohidrokarbon ini dapat
diimplementasikan secara komersial. Dari sisi hulu dibutuhkan percepatan teknologi produksi
minyak nabati industri yakni IPO (industrial palm oil) dan IKO (industrial kernel oil) sebagai
bahan baku hidorkarbon yang lebih efisien. Dari sisi produksi, perlu percepatan pendirian
pabrik katalis merah putih serta pengembangan teknologi untuk proses standalone. Dan dari
sisi hilir, kami dari KESDM sedang berupaya menyusun kebijakan, standar dan insentif yang
diperlukan untuk mendorong implementasi biohidrokarbon ini.

Anda mungkin juga menyukai