MAKALAH ILMIAH
MAKALAH ILMIAH
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah Ilmiah ini
yang berjudul "Pengaruh Fasilitasi Berdiri terhadap Peningkatan Kemampuan
Berdiri Stabil dalam Denver Development Screening Test II (DDST II) pada
Kasus Down Syndrome di RSUPN Cipto Mangun Kusumo". Penulisan Makalah
Ilmiah ini dibuat untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Metodologi Riset dan
Penulisan Ilmiah pada Program Studi Fisioterapi Pendidikan Vokasi Universitas
Indonesia. Penulis menyetujui, tanpa bantuan, bantuan, arahan, dukungan moril,
serta material dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan hingga pada persiapan,
sulit untuk penulis menyelesaikan Tugas Akhir ini Oleh karena itu, penulis terima
terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir Sigit Pranowo Hadiwardoyo, DEA selaku Ketua Program
Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia.
2. Bapak Safrin Arifin, SKM., SST FT, M Se selaku Ketua Program Studi
Program Fisioterapi Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia.
3. Bapak Riza Pahlawi, selaku Pembimbing Makalah Akhir dan Pembimbing
Akademik Program Studi Fisioterapi Program Pendidikan Vokasi
Universitas Indonesia yang telah membimbing penulis selama ini dengan
baik dan sabar.
4. Ibu Sri Novia Fauza, SST Ft., M.Fis selaku Pembimbing Lahan Tugas
Karya Akhir penulis di RSUPN Cipto Mangunkusumo yang telah
mendampingi dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan
keteguhan.
5. Seluruh dosen Program Studi Fisioterapi Program Pendidikan Vokasi
yang telah mengajar dengan baik
6. Orangtua pasien An. Y.C.W yang telah bersedia mengizinkan menjadi
laporan Makalah Ilmiah penulis.
7. Kedua orangtua penulis yang selalu mensupport penulis baik secara moral
dan moril dalam keadaan apapun.
8. Teman-Teman Fisioterapi UI 2018 yang telah memberikan penulis
semangat dalam menyelesaikan Makalah Ilmiah ini.
9. Pihak-pihak yang terlibat langsung juga tidak langsung membantu
kelancaran terkait Makalah Ilmiah ini.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas
semua kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga Tugas Makalah
Ilmiah ini membawa Manfaat untuk pengembangan ilmu.
(Kelompok 3)
RINGKASAN
Asthia Nila Fianti, Muhamad Elfitra Salam, Nanda Farah, Naomi Kharista,
Nurrezki Tri Wijayanti, Ummulkhair Sakinah
Kata Kunci :
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1. Bagi Institusi
Diharapkan dapat menjadi bahan pembelajaran dan referensi bagi
kalangan yang ingin menambah ilmu pengetahuan atau ingin
melakukan penelitian terkait dengan topik dan judul di atas.
2. Bagi Penulis
Menambah pemahaman dan pengetahuan penulis mengenai kasus
Down Syndrome dengan hambatan kemampuan motorik kasar berupa
berdiri stabil dan menerapkan penatalaksanaan intervensi fisioterapi
berupa fasilitasi berdiri.
3. Bagi Fisioterapis
Dapat memperkaya atau menambah pengetahuan mengenai kasus
Down Syndrome rendah dan mampu mengembangkan aplikasi latihan
di rumah, rumah sakit ataupun klinik.
b. Nukleus
Dua bagian utama interior sel adalah nukleus (inti) dan
sitoplasma. Nukleus, yang biasanya adalah komponen tunggal
sel yang paling besar, dapat berupa struktur bulat atau oval
yang biasanya terletak di tengah sel. Struktur ini dikelilingi
oleh suatu membran lapis ganda, selubung inti sel, yang
memisahkan nukleus dari bagian sel lainnya. Selubung inti
ditembus oleh banyak pori inti yang memungkinkan lalu lintas
antara nukleus dan sitoplasma. Nukleus terdapat benang-
benang halus dipintal membentuk kromosom.14
Gambar 2.1. Bentuk Kromosom14
c. Kromosom
d. Kromatid
Merupakan bagian lengan kromosom yang terikat satu
sama lainnya, 2 kromatid kembar ini diikat oleh sentromer.
Nama jamak dari kromatid adalah kromonema. Kromonema
biasanya terlihat pada pembelahan sel masa profase dan
interfase.14
e. Sentromer
Merupakan daerah yang tidak mengandung gen (informasi
genetik). Pada masa pembelahan, sentromer merupakan
struktur yang sangat penting, di bagian inilah lengan kromosom
(kromatid) saling melekat satu sama lain pada masing-masing
bagian kutub pembelahan. Bagian dari kromosom yang melekat
pada sentromer dikenal dengan istilah 'kinetokor'.14
f. Kromomer
Adalah struktur berbentuk manik-manik yang merupakan
akumulasi dari materi kromatid yang kadang-kadang terlihat
pada pembelahan masa interfase. Pada kromosom yang telah
mengalami pembelahan berkali-kali, biasanya kromomer ini
sangat jelas terlihat.14
g. Telomer
Struktur DNA terdiri dari polinukleotida dan memiliki
gugus fosfat, gula deoksiribosa dan nitrogen yang mengandung
basa (adenin, timin, sitosin dan guanine). DNA memiliki dua
fungsi penting: (1) mengarahkan sintesis protein dan (2)
berfungsi sebagai cetak biru genetik selama replikasi sel yang
menjadi karakteristik yang membedakan antara satu manusia
dengan manusia lainnya. DNA menyediakan kode atau
instruksi untuk mengarahkan sintesis protein struktural atau
enzimatik tertentu di dalam sel. Dengan menentukan jenis dan
jumlah berbagai enzim dan protein lain yang diproduksi,
nukleus secara tak langsung mengatur sebagian besar aktivitas
sel dan berfungsi sebagai pusat kontrol sel.
Tiga jenis asam ribonukleat (RNA) berperan dalam
pembentukan protein ini. Pertama, kode genetik DNA untuk
protein tertentu diterjemahkan ke dalam molekul RNA
perantara (messenger RNA, MRNA), yang keluar dari nukleus
melalui pori ini. Di dalam sitoplasma, MRNA menyalurkan
pesan tersandi ke ribosom, yang membaca kode mRNA dan
menerjemahkannya menjadi rangkaian asam amino untuk
membentuk protein yang telah ditentukan. RNA ribosom
(rRNA) adalah komponen esensial ribosom. Yang terakhir,
RNA transfer (TRNA) memindahkan asam-asam amino yang
sesuai di dalam sitoplasma ke tempatnya yang telah ditentukan
pada protein yang sedang dibentuk tersebut.
Selain memberikan sandi untuk sintesis protein, DNA juga
berfungsi sebagai cetak biru genetik selama replikasi sel untuk
memastikan bahwa sel lain yang sama dengan dirinya sehingga
tercipta turunan sel yang identik di dalam tubuh. Selain itu
pada sel produksi, cetak biru DNA berfungsi sebagai alat
meneruskan karakteristik genetik ke generasi berikutnya.14
2.1.3 Epidemiologi
Kejadian DS bervariasi pada populasi yang berbeda (1
dalam 319 hingga 1 dalam 1000 kelahiran hidup) dan meningkat
seiring dengan usia ibu, juga diketahui bahwa frekuensi janin DS
cukup tinggi pada saat konsepsi, tetapi sekitar 50% hingga 75%
janin tidak selamat sebelum waktunya. Daripada trisomi 21,
insiden trisomi autosomal lainnya jauh lebih umum terjadi, tetapi
kelangsungan hidup pascanatal sangat lebih buruk dibandingkan
dengan DS. Persentase kelangsungan hidup pasien dengan trisomi
21 yang tinggi dianggap sebagai fungsi dari sejumlah kecil gen
pada kromosom 21 yang disebut Hsa21, yang merupakan autosom
terkecil dan paling padat.15
2.1.4 Etiologi
Beberapa hipotesis para ahli mengemukakan etiologi
terjadinya DS. Para ahli menduga bahwa peningkatan kejadian
kelahiran bayi trisomi pada ibu dengan usia lanjut yang mungkin
disebabkan karena janin bayi yang abnormal dan dihubungkan
dengan peningkatan kesalahan pembelahan sel seiring dengan
meningkatnya usia ibu. Selain itu, usia lanjut saat ibu hamil juga
dikaitkan dengan hipotesis bahwa kondisi ovum pada wanita lansia
mempunyai kemungkinan lebih kecil untuk membuah dan lebih
rentan terhadap kesalahan genetik, salah satunya adalah trisomi 21.
Hormon ibu saat hamil juga menjadi salah satu etiologi,
ketidakseimbangan hormon ibu saat hamil menyebabkan
berkurangnya mikrovaskuler sehingga terjadi penurunan pasokan
oksigen dan penurunan pH oosit (sel telur) intraseluler yang dapat
menekan pematangan oosit selama fase folikuler dan menghasilkan
perpindahan kromosom dan non-disjuction.11
Terdapat tiga tipe kelainan genetik pada kromosom 21 atau
DS, di mana tipe-tipe tersebut mempunyai etiologinya masing-
masing, tipe tersebut adalah free trisomy 21 (non-disjuction),
translokasi, dan mosaicism.11
Non-disjunction adalah fenomena ketika sel-sel reproduksi
yang sudah terjadi fertilisasi mengalami kesalahan dalam
pembelahan sel sehingga jumlah kromosom yang dihasilkan
abnormal, dapat lebih atau kurang. Pada DS, non-disjunction
menyebabkan kelebihan satu kromosom. Terdapat tiga aturan
umum non-disjunction manusia, yaitu:
Kebanyakan trisomi berasal selama oogenesis
Kesalahan pada meiosis I (M I) ibu lebih sering terjadi daripada
kesalahan meiosis II (M II) ibu
Proporsi kasus asal ibu meningkat dengan usia ibu.
Non-disjunction berikatan erat dengan meningkatnya usia
ibu dan mengubah rekombinasi. Proses rekombinasi memiliki
peran penting dalam memastikan pemisahan yang tepat selama
pembelahan kromosom berlangsung. Frekuensi dan lokasi
rekombinasi telah telah terbukti menyimpang dalam kebanyakan
trisomi manusia, di mana rekombinasi terlalu dekat dengan
sentromer atau terlalu jauh dari sentromer sehingga memberikan
peningkatan risiko untuk non-disjunction. Dalam kasus trisomi 21
yang diturunkan dari ibu, sebagian besar peristiwa rekombinasi
terjadi akibat tidak adanya rekombinasi atau rekombinasi terjadi di
telomer 21q.16
Translokasi terjadi sebelum pembuahan di mana bagian
dari salinan tambahan kromosom 21 terputus selama pembelahan
sel dan bertranslokasi (melekat) ke kromosom lain dalam sel telur
atau sperma. Terdapat dua tipe translokasi yaitu Robertsonian dan
Isochromosome. Translokasi Robertsonian seringkali terjadi pada
kromosom 13, 15, 21, 22. DS dengan translokasi Robertsonian
memiliki risiko sebagai carrier, terutama pada wanita dengan
probabilitas hingga 12% akan melahirkan anak dengan DS.
Isochromosome adalah satu kondisi ketika 2 lengan terpisah.
Sehingga lengan yang terpisah ini, dapat menempel pada
kromosom 14. Fenomena ini terjadi sekitar 2-4%.11
Mosaicism merupakan pola transmisi dengan yang paling
tidak umum, terjadi hanya 1-2% penderita DS, dan karena
kesalahan dalam pembelahan sel setelah fertilisasi. Individu yang
terkena memiliki kromosom ekstra pada kromosom 21, dan jumlah
normal pada kromosom lainnya. Semakin besar jumlah sel normal
di DS, semakin tinggi kemungkinan fungsi kognitif lebih tinggi,
dengan kemungkinan lebih sedikit gangguan intelektual. Tipe DS
mosaik tidak dapat diwariskan.11
2.1.5 Patofisiologi
Kegagalan kromosom 21 untuk berpisah selama
gametogenesis yang menghasilkan kromosom ekstra di semua sel
tubuh menyebabkan terjadinya DS. 2 kemungkinan penyebab lain
trisomi 21 adalah Translokasi Robertsonian dan isochromosome
atau kromosom cincin. Dalam Translokasi Robertsonian
seharusnya terjadi perpisahan lengan panjang dan pendek, namun,
dua lengan panjang berpisah bersamaan, dan hal ini menyebabkan
kondisi isochromosome yang terjadi pada 2% hingga 4% pasien.
Kebanyakan lengan panjang kromosom 21 melekat pada
kromosom 14. Ada 2 garis sel yang berbeda karena kesalahan
pembelahan setelah pembuahan dalam mosaicism.11
2.1.7 Prognosis
Prognosis anak dengan DS biasanya cukup buruk. Pada tahun
1983, rata-rata usia jangka kehidupan dengan kondisi tersebut
hanya sekitar 25 tahun. Namun, dengan kemajuan dalam perawatan
dan penyaringan terhadap orang dengan DS sehingga 14 tahun
kemudian pada tahun 1997, usia rata-rata jangka hidup kondisi DS
meningkat dua kali lipat menjadi 49 tahun.17
2.1.9 Diagnosis
● Prenatal screening test, tes ini tidak dapat menentukan DS
pasti ada, namun tes ini dapat menunjukkan peningkatan
kemungkinan bahwa janin memiliki DS.
● Prenatal diagnostic test, tes ini membawa risiko yang sedikit
lebih besar pada janin daripada tes skrining, tetapi tes ini dapat
menentukan dengan pasti adanya DS.19
2.2. Neurodevelopmental Treatment (NDT)
2.2.1 Definisi
Neurodevelopmental Treatment (NDT) adalah pendekatan
yang berfokus pada kualitas gerakan dan koordinasi daripada
fungsi kelompok otot tiap individu. Oleh karena itu, NDT paling
efektif sebagai intervensi awal, sebelum pola pergerakan
kompensasi yang buruk menjadi kebiasaan. Intervensi NDT pada
anak dengan DS bertujuan untuk melatih reaksi keseimbangan,
gerakan dan fasilitasi motorik kasar.20
b.) Stimulasi
Biasanya digunakan pada kasus tonus postural rendah,
berupa kompresi, tapping, placing, holding.
c.) Fasilitasi
Hal yang dilakukan untuk membuat anak:
● Mencapai gambaran postural yang normal untuk
bergerak
● Membangun reaksi righting dan equilibrium
● Membangun pattern gerakan yang fundamental
yang lebih kearah aktivitas yang terampil,
berfungsi, dan bertujuan.
i. Kemampuan melihat
ii. Sistem vestibular
iii. Sistem somatosensory
iv. Sistem muskuloskeletal
2. Sensori Integrasi
Merupakan proses mengenal, mengubah dan membedakan
sensasi dari sistem sensori untuk menghasilkan suatu respons
untuk menghasilkan “perilaku adaptif bertujuan”.
Pengintegrasian sensoris adalah dasar untuk memberikan
respon adaptif terhadap tantangan yang ditimbulkan oleh
lingkungan dan pembelajaran. Fungsi pembelajaran
tergantung pada kemampuan anak untuk memanfaatkan
informasi sensorik yang didapat dari lingkungannya.
Mengintegrasikan informasi kemudian menjadi rencana adalah
sebuah bentuk tujuan perilaku. Terjadi akibat pengaruh input
sensori seperti melihat, taktil, vestibular dan proprioseptif.
Memungkinkan adanya perkembangan respons adaptif, yang
merupakan dasar perkembangan keterampilan yang lebih
kompleks seperti berbahasa, pengendalian emosi, dan
berhitung. Intervensi integratif sensori, stimulasi vestibular,
pendekatan terapi perkembangan saraf merupakan metode
yang efektif digunakan sebagai fisioterapi.23
a. Dasar teori sensori integrasi
Dasar teori sensori integrasi adalah adanya plastisitas
sistem saraf pusat, perkembangan yang bersifat progresif,
teori sistem dan organisasi sistem saraf pusat, respons
adaptif, serta dorongan dari dalam diri. Dasar rasional
intervensi sensori integrasi adalah:
a.) Konsep neuroplastisitas atau kemampuan sistem saraf
untuk beradaptasi dengan input sensori yang lebih
banyak,
b.) Berdasarkan konsep progresif perkembangan, sensori
integrasi terjadi saat anak yang berkembang mulai
mengerti dan menguasai input sensori yang ia alami.
c. Bentuk stimulasi
a.) Stimulasi Taktil: Menyentuh bubbles, painting,
bermain pasir, mandi dengan sikat bertekstur.
UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM VOKASI
BIDANG STUDI RUMPUN KESEHATAN
PROGRAM STUDI FISIOTERAPI
FORMULIR FISIOTERAPI
Nama Fisioterapi : Sri Novia Fauza, SST. FT. M.KM Peminatan : FT. Pediatri
Tempat & Tgl Lahir : dr. Rizky Kusuma Wardhani, Sp. KFT Ruangan : Poli FT. A
Nomor Register : 425 – 75 – 10 Tgl Periksa : 06 Oktober
2019
3.3. Pemeriksaan
3.3.1 Pemeriksaan Umum
Cara datang : Di gendong oleh ibunya
Kesadaran : Compos mentis
Kooperatif
Tensi :Tidak diukur
Lingkar kepala: 42 cm
Nadi : 80 x/menit
RR : 22 x/menit
Status Gizi : BB : 12 kg / TB : 88 cm
Suhu : Afebris
3.3.2 Pemeriksaan Khusus
1. Pemeriksaan posisi dan pola gerak
1) Terlentang :
Anak bergerak aktif dengan kepala cenderung lateral
fleksi ke kanan, shoulder simetris dan kedua lengan tangan
bergerak aktif, lalu posisi kedua tungkai dalam keadaan
lurus dan posisi diam cenderung hiperekstensi hip,
eksorotasi, abduksi dan hiperekstensi knee dengan ankle
eversi.
2) Telungkup
Pada posisi telungkup anak dapat mengangkat kepala
dengan posisi forarm support lalu hand support tetapi
kepala sering mendongak berlebihan/hiperekstensi neck.
Kepala juga cenderung sering menengok ke kanan. Kedua
kaki aktif bergerak dengan posisi abduksi, eksorotasi hip
dan terkadang fleksi atau semifleksi knee serta eversi
ankle.
3) Berguling
Anak dapat berguling ke kanan dan kiri dengan via hip
dan rotasi trunk yang adequat.
4) Duduk
Saat di posisikan duduk, anak dapat mengangkat kepala
dengan kepala sering mendongak dan menengok ke arah
kanan, terdapat hand support dan posisi duduk sedikit
roundback dengan wide abduction. Terdapat sitting
balance dan protective reaction.
5) Ke Duduk
a. Dari posisi supine
Dari posisi terlentang ke duduk anak dapat
melakukan mandiri yaitu terdapat sequence of
movement berupa memiringkan tubuh lalu perpindahan
tubuh dengan forearm support lalu hand support, rotasi
trunk yang cukup, terdapat fiksasi gerakan pada hip dan
terakhir transfer weight bearing.
b. Dari posisi prone lying
Anak dapat melakukan dengan cara menarik
bokong ke arah belakang hingga hampir menempel
lantai, lalu baru diikuti menarik tangan ke arah hand
support dan diikuti posisi kepala menunduk lalu
melihat ke depan atau atas.
6) Merangkak Anak
Dapat melakukan posisi merangkak dari side sitting
dengan kepala menghadap ke depan atau mendongak ke
atas lalu hand support dan weight bearing pada kedua lutut.
Saat merangkak terdapat gerak simultan serta transfer
weight bearing kanan-kiri tetapi wide base pada kedua lutut
masih terlalu lebar.
7) Diposisikan berdiri berpegangan meja
Anak mampu melakukan berdiri berpegangan
dengan satu atau dua tangan pinggir benda yang sejajar
dengan tinggi badan anak. Dengan posisi badan condong ke
depan serta perut terkadang sering menempel pada tepi
meja dan kedua tungkai hiperekstensi knee lalu tumpuan
kaki pada medial ankle. Standing balance masih belum
kuat saat melepaskan tangan dari tepi meja. Tidak terdapat
transfer weight bearing saat berdiri. Anak cenderung
menolak berdiri / bertumpu di permukaan kasar.
2. Palpasi
Tonus postural rendah
3. Tes Joint Laxity:
Tabel 3.1 Tes Joint Laxity
No
Regio Gerakan Joint Laxity
.
1. Elbow Ekstensi Positif/Positif
Ekstensi Positif/Positif
2. Wrist
Fleksi Positif/Positif
3. Hip Abduksi Positif/Positif
Adduksi Positif/Positif
Ekstensi Positif/Positif
4. Knee Ekstensi Positif/Positif
5. Ankle Dorsal Fleksi Positif/Positif
Eversi Positif/Positif
Inversi Positif/Positif
3.6. ICF
1. Body Structure
s11009 Structure of cortical lobes, unspecified
2. Body Function
b110-b139 Global mental functions, other specified and unspecified
b117 Intellectual functions
b122 Global pyschosocial functions
b126 Temprament and personality functions
b140 Attention functions
b144 Memory functions
b1470 Phsycomotor control
b164 Higher-level cognitive functions
3. Activity Limitation
d399 Communication, unspecified
d599 Self-care, unspecified
d4104 Standing
d450 walking
4. Participation Restriction
d999 Comunity, social and civic life, unspecified
5. Enviromental Factors
D810 Informal education
D815 Preschool education
E1201 Assistive products and technology for personal indoor and
outdoor mobility and transportation
Kesimpulan : dari evaluasi melalui Denver II hasil pemeriksaan setelah dilakukan terapi terdapat perubahan pada gross motor yaitu pada
tahapan dari merangkak, duduk ke berdiri, dan berjalan merambat. Sedangkan pada perkembangan bahasa dan kognitif masih belum
menunjukkan perkembangannya. Pada perkembangan bahasa terutama pada pengucapan kata yang bermakna, sedangkan pada
perkembangan kognitif anak belum dapat bermain sesuai usianya seperti menyusun balok warna atau donat warna, serta fokus anak sangat
mudah teralihkan. Tetapi pada tahapan sosialnya anak sudah mampu mengenali siapa orang tuanya, orang yang baru pertama ditemui dan
orang yang sudah pernah ditemui. Jadi dari analisa perkembangan motorik anak seperti usia 10-11 bulan, bahasa dan kognitif seperti usia 6-
7 bulan, dan perkembangan sosialisasi sesuai dengan usia 1,5 tahun.
3.10. Analisis Statistik Deskriptif
a. Statistik Deskriptif
b. Uji Normalitas
c. Uji Beda
Keterangan: Jika hasil signifikansi >0.05 maka data evaluasi teruji beda,
sedangkan jika <0.05 maka data evaluasi tidak teruji beda
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus yang penulis bahas dalam makalah ini mengenai kondisi
seorang pasien di RSUPN Cipto Mangunkusumo yang berinisial An. Y. C.L.W
berusia 3 tahun 11 bulan dengan diagnosis Down syndrome (DS). Dari
pemeriksaan penulis menemukan beberapa permasalahan fisioterapi berdasarkan
prioritas, yaitu: tonus postural rendah, trunk control inadekuat, core muscle
inadekuat, stabilisator muscle inadekuat, tumpuan di medial plantar, taktil dan
proprioceptive, standing balance inadekuat, joint laxity.
Pada dasarnya pemberian intervensi fisioterapi pada kasus DS didasarkan
dengan kemampuan dan kondisi pasien saat itu. Oleh karena itu penulis
menggunakan terapi latihan sebagai intervensi untuk mengatasi masalah tersebut
dengan Neurodevelopmental Treatment (NDT).
5.1. Kesimpulan
Pada kasus Down syndrome (DS), penulis memberikan intervensi
fisioterapi Neurodevelopmental Treatment (NDT) berupa fasilitasi berdiri
stabil. Intervensi yang dilakukan sebanyak empat kali; setiap satu kali
seminggu dengan durasi 45 menit pada tiap sesi terapi. Hasil yang
didapatkan berupa peningkatan kemampuan berdiri stabil. Dari hasil
evaluasi, anak mengalami peningkatan berdiri bersandar tanpa
berpegangan selama 25 detik. Hal ini menunjukkan bahwa fasilitasi berdiri
stabil pada NDT dapat meningkatkan kemampuan fungsional berdiri stabil
berdasarkan parameter Denver Development Screening Test (DDST) II.
5.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang didapat, saran yang penulis dapat
berikan sebagai berikut:
2. Bellieni C. The Best Age for Pregnancy and Undue Pressures. J Fam
Reprod Heal [Internet]. 2016;10(3):104–7. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28101110%0Ahttp://www.pubmedce
ntral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=PMC5241353
3. Gerintya S. Mana Lebih Berisiko: Melahirkan Saat Masih Muda atau Tua?
[Internet]. tirto.id. 2017. Available from: https://tirto.id/mana-lebih-
berisiko-melahirkan-saat-masih-muda-atau-tua-cs5x
9. Physiopedia. Down Syndrome (Trisomy 21) [Internet]. [cited 2020 Apr 5].
Available from: https://physio-
pedia.com/Down_Syndrome_(Trisomy_21)#
10. National Institute of Child Health and Human Development. What are
common treatments for Down Syndrome? nichd.nih.gov. 2017.
11. Sithole HL. African Vision and Eye. 2019;75(1):6–11. Available from:
https://avehjournal.org/index.php/aveh/article/view/323/478
15. Akhtar F, Bokhari SRA. Down syndrome (Trisomy 21). 5-Minute Pediatr
Consult 8th Ed. 2018;(Trisomy 21):306–7.
19. Eunice Kennedy Shriver National Institute of Child Health and Human
Development. How do health care providers diagnose Down syndrome ?
Prenatal Screening for Down Syndrome Prenatal Diagnostic Testing for
Down Syndrome. 2:2–5.
31. Lee KH, Park JW, Lee HJ, Nam KY, Park TJ, Kim HJ, et al. Efficacy of
intensive neurodevelopmental treatment for children with developmental
delay, with or without cerebral palsy. Ann Rehabil Med. 2017;41(1):90–6.
LAMPIRAN