Anda di halaman 1dari 73

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGARUH FASILITASI BERDIRI TERHADAP


PENINGKATAN KEMAMPUAN BERDIRI STABIL DALAM
DENVER DEVELOPMENT SCREENING TEST II (DDST II)
PADA KASUS DOWN SYNDROME DI RSUPN CIPTO
MANGUN KUSUMO

MAKALAH ILMIAH

ASTHIA NILA FIANTI 1806179850


MUHAMAD ELFITRA SALAM 1806236583
NANDA FARAH 1806179964
NAOMI KHARISTA 1806179900
NURREZKI TRI WIJAYANTI 1806180032
UMMULKHAIR SAKINAH 1806179806

PROGRAM PENDIDIKAN VOKASI


PROGRAM STUDI FISIOTERAPI
DEPOK
2020
UNIVERSITAS INDONESIA

PENGARUH FASILITASI BERDIRI TERHADAP


PENINGKATAN KEMAMPUAN BERDIRI STABIL DALAM
DENVER DEVELOPMENT SCREENING TEST II (DDST II)
PADA KASUS DOWN SYNDROME DI RSUPN CIPTO
MANGUN KUSUMO

MAKALAH ILMIAH

Diajukan sebagai salah satu penemuhan tugas mata kuliah


metodologi riset dan penulisan ilmiah

ASTHIA NILA FIANTI 1806179850


MUHAMAD ELFITRA SALAM 1806236583
NANDA FARAH 1806179964
NAOMI KHARISTA 1806179900
NURREZKI TRI WIJAYANTI 1806180032
UMMULKHAIR SAKINAH 1806179806

PROGRAM PENDIDIKAN VOKASI


PROGRAM STUDI FISIOTERAPI
DEPOK
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah Ilmiah ini
yang berjudul "Pengaruh Fasilitasi Berdiri terhadap Peningkatan Kemampuan
Berdiri Stabil dalam Denver Development Screening Test II (DDST II) pada
Kasus Down Syndrome di RSUPN Cipto Mangun Kusumo". Penulisan Makalah
Ilmiah ini dibuat untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Metodologi Riset dan
Penulisan Ilmiah pada Program Studi Fisioterapi Pendidikan Vokasi Universitas
Indonesia. Penulis menyetujui, tanpa bantuan, bantuan, arahan, dukungan moril,
serta material dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan hingga pada persiapan,
sulit untuk penulis menyelesaikan Tugas Akhir ini Oleh karena itu, penulis terima
terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir Sigit Pranowo Hadiwardoyo, DEA selaku Ketua Program
Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia.
2. Bapak Safrin Arifin, SKM., SST FT, M Se selaku Ketua Program Studi
Program Fisioterapi Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia.
3. Bapak Riza Pahlawi, selaku Pembimbing Makalah Akhir dan Pembimbing
Akademik Program Studi Fisioterapi Program Pendidikan Vokasi
Universitas Indonesia yang telah membimbing penulis selama ini dengan
baik dan sabar.
4. Ibu Sri Novia Fauza, SST Ft., M.Fis selaku Pembimbing Lahan Tugas
Karya Akhir penulis di RSUPN Cipto Mangunkusumo yang telah
mendampingi dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan
keteguhan.
5. Seluruh dosen Program Studi Fisioterapi Program Pendidikan Vokasi
yang telah mengajar dengan baik
6. Orangtua pasien An. Y.C.W yang telah bersedia mengizinkan menjadi
laporan Makalah Ilmiah penulis.
7. Kedua orangtua penulis yang selalu mensupport penulis baik secara moral
dan moril dalam keadaan apapun.
8. Teman-Teman Fisioterapi UI 2018 yang telah memberikan penulis
semangat dalam menyelesaikan Makalah Ilmiah ini.
9. Pihak-pihak yang terlibat langsung juga tidak langsung membantu
kelancaran terkait Makalah Ilmiah ini.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas
semua kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga Tugas Makalah
Ilmiah ini membawa Manfaat untuk pengembangan ilmu.

Depok, 6 April 2020

(Kelompok 3)
RINGKASAN

PENGARUH FASILITASI BERDIRI TERHADAP PENINGKATAN


KEMAMPUAN BERDIRI STABIL DALAM DENVER DEVELOPMENT
SCREENING TEST II (DDST II) PADA KASUS DOWN SYNDROME DI
RSUPN CIPTO MANGUN KUSUMO

Asthia Nila Fianti, Muhamad Elfitra Salam, Nanda Farah, Naomi Kharista,
Nurrezki Tri Wijayanti, Ummulkhair Sakinah

Program Studi Fisioterapi, Program Pendidikan Vokasi

Kata Kunci :
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Fenomena kehamilan usia tua di Indonesia masih sering terjadi.


Hal ini dibuktikan dengan data dari Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) yang menyebutkan bahwa persentase kelahiran dengan
usia ibu >34 tahun pada tahun 2012 sekitar 7,6%. Kehamilan usia tua
adalah kehamilan yang terjadi pada wanita berusia lebih dari atau sama
dengan 35 tahun, baik kehamilan pertama atau kehamilan berikutnya.
Kehamilan usia tua memiliki risiko dan komplikasi terhadap kesehatan
baik pada ibu maupun terhadap bayi, seperti bayi lahir prematur,
abnormalitas organ tertentu, dan abnormalitas kromosom. Abnormalitas
kromosom yang paling banyak ditemui salah satunya adalah trisomi pada
kromosom 21 atau Down syndrome (DS). Berdasarkan data dari Centers
for Disease Control and Prevention (CDC), prevalensi DS adalah 40%
dengan usia ibu saat hamil adalah 35-39 tahun.1–3 Dengan meningkatnya
fenomena ini akan berdampak pada tingginya kelahiran bayi dengan risiko
terjadi DS.
DS adalah suatu kelainan genetik dibawa sejak bayi lahir, terjadi
ketika saat masa embrio yang disebabkan karena kesalahan dalam
pembelahan sel yang disebut "nondisjunction" embrio yang biasanya
menghasilkan dua salinan kromosom 21, pada kelainan DS menghasilkan
salinan 3 kromosom 21 akibatnya bayi memiliki 47 kromosom bukan 46
kromosom seperti lazimnya. Kelainan akan berdampak pada
keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental.4
World Health Organization (WHO) mengestimasikan terdapat 1
kejadian DS per 1.000 kelahiran hingga 1 kejadian per 1.100 kelahiran di
seluruh dunia. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di
Indonesia kasus DS cenderung meningkat. Tahun 2010, anak berumur 24
sampai 59 bulan terdapat 0,12% yang menderita DS, 2013 terdapat 0,13%
dan 2018 meningkat menjadi 0,21%.4
Anak dengan DS mengalami perkembangan motorik yang tertunda,
deskripsi postur tubuh dan gerakan spesifik, serta keterlambatan
perkembangan yang meningkat seiring dengan meningkatnya
kompleksitas keterampilan motorik. Anak dengan DS menunjukkan
karakteristik gangguan motorik seperti penurunan tonus postural yang
merupakan gejala tipikal neuromuskular, kontrol dan reaksi postural yang
tidak adekuat, kontraksi miogenik yang tidak stabil, proprioseptif yang
terganggu, dan hipermobilitas sendi, gangguan head righting dan
protective reactions. Oleh karena itu, anak dengan DS menunjukkan
keterlambatan pada perkembangan gestur awal dan motorik kasar.5–7
Beberapa anak dengan DS mengonsumsi suplemen asam amino
atau obat yang mempengaruhi aktivitas otak. Namun, tidak ada studi klinis
terkontrol dari obat-obatan untuk DS yang menunjukkan keamanan dan
kemanjurannya. Fisioterapi dapat memainkan peran utama dalam
pengelolaan anak-anak dengan DS; melalui gerakan dan latihan, terapi
manual, serta edukasi. Beberapa intervensi dapat dilakukan fisioterapis
untuk meningkatkan kemampuan motorik kasar, seperti Developmental
Milestones, Tummy Time, Hippotherapy dan Neurodevelopmental
Treatment (NDT). NDT adalah pendekatan yang berfokus pada kualitas
gerakan dan koordinasi daripada fungsi kelompok otot tiap individu.
Intervensi NDT pada anak dengan DS bertujuan untuk melatih reaksi
keseimbangan, gerakan dan fasilitasi motorik kasar. Fasilitasi berdiri
merupakan salah satu konsep NDT yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan kemampuan motorik kasar. Ketika berdiri tentu harus
mempunyai kematangan keseluruhan otot, proprioseptif, taktil dan
vestibular yang juga ditingkatkan dalam fasilitasi berdiri stabil.8–10
Dari paparan latar belakang masalah di atas maka penulis
mengambil judul Pengaruh Fasilitasi Berdiri terhadap Peningkatan
Kemampuan Berdiri Stabil dalam Denver Development Screening Test II
(DDST II) pada Kasus Down Syndrome di RSUPN Cipto Mangun
Kusumo.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah bagaimana
Pengaruh Fasilitasi Berdiri terhadap Peningkatan Kemampuan Berdiri
Stabil pada Anak dengan Down Syndrome?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Tujuan umum
a. Untuk memenuhi tugas akhir kelompok mata kuliah metodologi
riset dan penulisan ilmiah
b. Untuk mengaplikasikan pengetahuan penulis dalam mengatasi
masalah kemampuan motorik pada anak dengan Down Syndrome
2. Tujuan khusus
Untuk mengetahui pengaruh fasilitasi berdiri terhadap peningkatan
kemampuan berdiri stabil pada anak dengan Down Syndrome

1.4. Manfaat Penulisan

1. Bagi Institusi
Diharapkan dapat menjadi bahan pembelajaran dan referensi bagi
kalangan yang ingin menambah ilmu pengetahuan atau ingin
melakukan penelitian terkait dengan topik dan judul di atas.
2. Bagi Penulis
Menambah pemahaman dan pengetahuan penulis mengenai kasus
Down Syndrome dengan hambatan kemampuan motorik kasar berupa
berdiri stabil dan menerapkan penatalaksanaan intervensi fisioterapi
berupa fasilitasi berdiri.
3. Bagi Fisioterapis
Dapat memperkaya atau menambah pengetahuan mengenai kasus
Down Syndrome rendah dan mampu mengembangkan aplikasi latihan
di rumah, rumah sakit ataupun klinik.

1.5. Metode Penulisan


Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulisan melakukan penelusuran
bukti dengan metode kepustakaan yaitu dengan membaca buku, jurnal dan
juga literatur dari internet yang berkaitan dengan kasus yang diangkat serta
melakukan observasi langsung pada pasien. Untuk penelusuran bukti
dilakukan di beberapa database jurnal yang dapat diakses secara online.
Gambaran penelusuran bukti dapat dilihat pada Lampiran I.

1.6. Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan pada laporan kasus ini terdiri dari:
1. BAB I Pendahuluan
Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, identifikasi
masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan,
metode penulisan, manfaat penulisan dan sistematika penulisan.
2. BAB II Kajian Teori
Kajian teori yang meliputi definisi. anatomi fisiologi, epidemiologi,
patofisiologi, etiologi, menifestasi klinis, diagnosis, prognosis, ICF
Model dan penatalaksanaan fisioterapi pada kasus.
3. BAB III Uraian Kasus
Pembahasan status pada kasus.
4. BAB IV Hasıl dan Pembahasan
Hasil dari penatalaksanaan fisioterapi. dan pembahasan tentang kasus
yang diangakat.
5. BAB V Penutup
Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Down Syndrome (DS)


2.1.1 Definisi
Down Syndrome (DS) didefinisikan sebagai kondisi
kelainan genetik yang disebabkan oleh adanya kromosom
tambahan pada kromsom 21, kondisi ini umumnya dikenal dengan
“Trisomi 21”. Jumlah kromosom yang seharusnya 46 bertambah
menjadi 47 dengan extra copy pada kromosom 21 dalam setiap sel
organisme. DS pertama kali ditemukan oleh John Langdon, MD,
pada tahun 1866. Tidak lama setelah itu, Jérôme Lejuene
menemukan bahwa insidensi DS terjadi karena adanya
penambahan satu kromosom pada kromosom 21 baik itu
kromosom penuh atau parsial. Kesalahan terjadi karena adanya
mutasi genetik pada saat menyortir kromosom selama proses
pembelahan sel seks, sehingga pada seluruh atau sebagian
mengandung sel ekstra dari kromosom. Tergantung pada varian,
penyebab kelainan dan anomali struktural dan fungsional terkait
dari sistem tubuh.11–13

2.1.2 Anatomi dan Fisiologi


Sel merupakan unit struktural dan fungsional terkecil yang
mampu menjalankan proses-proses kehidupan. Triliunan sel di
dalam tubuh manusia diklasifikasikan menjadi sekitar 200 jenis sel
berbeda berdasarkan variasi spesifik dalam struktur dan fungsinya.
Meskipun tidak ada yang namanya sel "tipikal", karena
beragamnya spesialisasi struktural dan fungsional, namun berbagai
sel memiliki banyak kesamaan. Sebagian besar sel memiliki tiga
subdivisi utama: membran plasma yang bertugas membungkus sel;
nukleus yang mengandung bahan genetik sel; serta sitoplasma yang
terdiri dari berbagai organel dan sitosol.14
a. Membran Plasma

Membran plasma, atau membran sel adalah suatu struktur


membranosa yang sangat tipis yang membungkus setiap sel.
Sawar berminyak ini memisahkan isi sel dari lingkungan
sekitar; membran plasma menjaga Cairan Intrasel (CIS) tetap
berada di dalam sel dan tidak bercampur dengan Cairan
Ekstrasel (CES) di luar sel. Membran plasma bukan sekedar
sekat mekanis yang menahan isi sel; selaput ini juga memiliki
kemampuan untuk secara selektif mengontrol pergerakan
molekul antara CIS dan CES. Membran plasma dapat
diibaratkan seperti dinding berpintu gerbang yang mengelilingi
kota-kota tua. Melalui struktur ini, sel dapat mengontrol
masuknya makanan dan pasokan lain yang dibutuhkan dan
mengeluarkan produk yang dibuat di dalam sel, sembari
menjaga lalu lintas keluar masuk sel dari hal-hal yang tidak
diinginkan.14

b. Nukleus
Dua bagian utama interior sel adalah nukleus (inti) dan
sitoplasma. Nukleus, yang biasanya adalah komponen tunggal
sel yang paling besar, dapat berupa struktur bulat atau oval
yang biasanya terletak di tengah sel. Struktur ini dikelilingi
oleh suatu membran lapis ganda, selubung inti sel, yang
memisahkan nukleus dari bagian sel lainnya. Selubung inti
ditembus oleh banyak pori inti yang memungkinkan lalu lintas
antara nukleus dan sitoplasma. Nukleus terdapat benang-
benang halus dipintal membentuk kromosom.14
Gambar 2.1. Bentuk Kromosom14
c. Kromosom

Gambar 2.2. Struktur Penyusun Kromosom14

Kromosom unit genetik yang terdapat dalam setiap inti sel


pada semua makhluk hidup, kromosom terbentuk deret panjang
molekul yang disusun oleh DNA dan protein-protein. Struktur
pada kromosom ini hanya akan tampak jelas pada metaphase
pembelahan sel. Kromosom berfungsi sebagai penyimpanan
bahan materi genetik kehidupan yaitu DNA. Kromosom
dibentuk dari DNA yang berikatan dengan beberapa protein
histon. Dari Ikatan ini dihasilkan Nukleosom, yang memiliki
ukuran panjang sekitar 10 nm. Kemudian nukleosom akan
membentuk lilitan-lilitan yang sangat banyak yang menjadi
penyusun dari kromatid (lengan kromosom), satu lengan
kromosom ini kira-kira memiliki lebar 700 nm.14

d. Kromatid
Merupakan bagian lengan kromosom yang terikat satu
sama lainnya, 2 kromatid kembar ini diikat oleh sentromer.
Nama jamak dari kromatid adalah kromonema. Kromonema
biasanya terlihat pada pembelahan sel masa profase dan
interfase.14

e. Sentromer
Merupakan daerah yang tidak mengandung gen (informasi
genetik). Pada masa pembelahan, sentromer merupakan
struktur yang sangat penting, di bagian inilah lengan kromosom
(kromatid) saling melekat satu sama lain pada masing-masing
bagian kutub pembelahan. Bagian dari kromosom yang melekat
pada sentromer dikenal dengan istilah 'kinetokor'.14

f. Kromomer
Adalah struktur berbentuk manik-manik yang merupakan
akumulasi dari materi kromatid yang kadang-kadang terlihat
pada pembelahan masa interfase. Pada kromosom yang telah
mengalami pembelahan berkali-kali, biasanya kromomer ini
sangat jelas terlihat.14

g. Telomer
Struktur DNA terdiri dari polinukleotida dan memiliki
gugus fosfat, gula deoksiribosa dan nitrogen yang mengandung
basa (adenin, timin, sitosin dan guanine). DNA memiliki dua
fungsi penting: (1) mengarahkan sintesis protein dan (2)
berfungsi sebagai cetak biru genetik selama replikasi sel yang
menjadi karakteristik yang membedakan antara satu manusia
dengan manusia lainnya. DNA menyediakan kode atau
instruksi untuk mengarahkan sintesis protein struktural atau
enzimatik tertentu di dalam sel. Dengan menentukan jenis dan
jumlah berbagai enzim dan protein lain yang diproduksi,
nukleus secara tak langsung mengatur sebagian besar aktivitas
sel dan berfungsi sebagai pusat kontrol sel.
Tiga jenis asam ribonukleat (RNA) berperan dalam
pembentukan protein ini. Pertama, kode genetik DNA untuk
protein tertentu diterjemahkan ke dalam molekul RNA
perantara (messenger RNA, MRNA), yang keluar dari nukleus
melalui pori ini. Di dalam sitoplasma, MRNA menyalurkan
pesan tersandi ke ribosom, yang membaca kode mRNA dan
menerjemahkannya menjadi rangkaian asam amino untuk
membentuk protein yang telah ditentukan. RNA ribosom
(rRNA) adalah komponen esensial ribosom. Yang terakhir,
RNA transfer (TRNA) memindahkan asam-asam amino yang
sesuai di dalam sitoplasma ke tempatnya yang telah ditentukan
pada protein yang sedang dibentuk tersebut.
Selain memberikan sandi untuk sintesis protein, DNA juga
berfungsi sebagai cetak biru genetik selama replikasi sel untuk
memastikan bahwa sel lain yang sama dengan dirinya sehingga
tercipta turunan sel yang identik di dalam tubuh. Selain itu
pada sel produksi, cetak biru DNA berfungsi sebagai alat
meneruskan karakteristik genetik ke generasi berikutnya.14

2.1.3 Epidemiologi
Kejadian DS bervariasi pada populasi yang berbeda (1
dalam 319 hingga 1 dalam 1000 kelahiran hidup) dan meningkat
seiring dengan usia ibu, juga diketahui bahwa frekuensi janin DS
cukup tinggi pada saat konsepsi, tetapi sekitar 50% hingga 75%
janin tidak selamat sebelum waktunya. Daripada trisomi 21,
insiden trisomi autosomal lainnya jauh lebih umum terjadi, tetapi
kelangsungan hidup pascanatal sangat lebih buruk dibandingkan
dengan DS. Persentase kelangsungan hidup pasien dengan trisomi
21 yang tinggi dianggap sebagai fungsi dari sejumlah kecil gen
pada kromosom 21 yang disebut Hsa21, yang merupakan autosom
terkecil dan paling padat.15

2.1.4 Etiologi
Beberapa hipotesis para ahli mengemukakan etiologi
terjadinya DS. Para ahli menduga bahwa peningkatan kejadian
kelahiran bayi trisomi pada ibu dengan usia lanjut yang mungkin
disebabkan karena janin bayi yang abnormal dan dihubungkan
dengan peningkatan kesalahan pembelahan sel seiring dengan
meningkatnya usia ibu. Selain itu, usia lanjut saat ibu hamil juga
dikaitkan dengan hipotesis bahwa kondisi ovum pada wanita lansia
mempunyai kemungkinan lebih kecil untuk membuah dan lebih
rentan terhadap kesalahan genetik, salah satunya adalah trisomi 21.
Hormon ibu saat hamil juga menjadi salah satu etiologi,
ketidakseimbangan hormon ibu saat hamil menyebabkan
berkurangnya mikrovaskuler sehingga terjadi penurunan pasokan
oksigen dan penurunan pH oosit (sel telur) intraseluler yang dapat
menekan pematangan oosit selama fase folikuler dan menghasilkan
perpindahan kromosom dan non-disjuction.11
Terdapat tiga tipe kelainan genetik pada kromosom 21 atau
DS, di mana tipe-tipe tersebut mempunyai etiologinya masing-
masing, tipe tersebut adalah free trisomy 21 (non-disjuction),
translokasi, dan mosaicism.11
Non-disjunction adalah fenomena ketika sel-sel reproduksi
yang sudah terjadi fertilisasi mengalami kesalahan dalam
pembelahan sel sehingga jumlah kromosom yang dihasilkan
abnormal, dapat lebih atau kurang. Pada DS, non-disjunction
menyebabkan kelebihan satu kromosom. Terdapat tiga aturan
umum non-disjunction manusia, yaitu:
 Kebanyakan trisomi berasal selama oogenesis
 Kesalahan pada meiosis I (M I) ibu lebih sering terjadi daripada
kesalahan meiosis II (M II) ibu
 Proporsi kasus asal ibu meningkat dengan usia ibu.
Non-disjunction berikatan erat dengan meningkatnya usia
ibu dan mengubah rekombinasi. Proses rekombinasi memiliki
peran penting dalam memastikan pemisahan yang tepat selama
pembelahan kromosom berlangsung. Frekuensi dan lokasi
rekombinasi telah telah terbukti menyimpang dalam kebanyakan
trisomi manusia, di mana rekombinasi terlalu dekat dengan
sentromer atau terlalu jauh dari sentromer sehingga memberikan
peningkatan risiko untuk non-disjunction. Dalam kasus trisomi 21
yang diturunkan dari ibu, sebagian besar peristiwa rekombinasi
terjadi akibat tidak adanya rekombinasi atau rekombinasi terjadi di
telomer 21q.16
Translokasi terjadi sebelum pembuahan di mana bagian
dari salinan tambahan kromosom 21 terputus selama pembelahan
sel dan bertranslokasi (melekat) ke kromosom lain dalam sel telur
atau sperma. Terdapat dua tipe translokasi yaitu Robertsonian dan
Isochromosome. Translokasi Robertsonian seringkali terjadi pada
kromosom 13, 15, 21, 22. DS dengan translokasi Robertsonian
memiliki risiko sebagai carrier, terutama pada wanita dengan
probabilitas hingga 12% akan melahirkan anak dengan DS.
Isochromosome adalah satu kondisi ketika 2 lengan terpisah.
Sehingga lengan yang terpisah ini, dapat menempel pada
kromosom 14. Fenomena ini terjadi sekitar 2-4%.11
Mosaicism merupakan pola transmisi dengan yang paling
tidak umum, terjadi hanya 1-2% penderita DS, dan karena
kesalahan dalam pembelahan sel setelah fertilisasi. Individu yang
terkena memiliki kromosom ekstra pada kromosom 21, dan jumlah
normal pada kromosom lainnya. Semakin besar jumlah sel normal
di DS, semakin tinggi kemungkinan fungsi kognitif lebih tinggi,
dengan kemungkinan lebih sedikit gangguan intelektual. Tipe DS
mosaik tidak dapat diwariskan.11

2.1.5 Patofisiologi
Kegagalan kromosom 21 untuk berpisah selama
gametogenesis yang menghasilkan kromosom ekstra di semua sel
tubuh menyebabkan terjadinya DS. 2 kemungkinan penyebab lain
trisomi 21 adalah Translokasi Robertsonian dan isochromosome
atau kromosom cincin. Dalam Translokasi Robertsonian
seharusnya terjadi perpisahan lengan panjang dan pendek, namun,
dua lengan panjang berpisah bersamaan, dan hal ini menyebabkan
kondisi isochromosome yang terjadi pada 2% hingga 4% pasien.
Kebanyakan lengan panjang kromosom 21 melekat pada
kromosom 14. Ada 2 garis sel yang berbeda karena kesalahan
pembelahan setelah pembuahan dalam mosaicism.11

2.1.6 Klasifikasi Down Syndrome


● Trisomi 21 adalah jenis DS yang paling umum terjadi,
kesalahan dimulai pada sperma atau sel telur, dengan adanya
kromosom ekstra sebelum sel telur dan sperma bersatu.
Sebanyak 88% kasus non-disjungsi trisomi 21 berasal dari ibu
dan lebih sering terjadi pada wanita yang lebih tua.
● Translokasi terjadi saat bagian dari salinan ekstra kromosom 21
terputus selama pembelahan sel dan menjadi translokasi
(melekat) ke kromosom lain dalam sel telur atau sperma
sebelum terjadinya pembuahan. Di samping kromosom ekstra
yang melekat pada kromosom 21, individu yang terkena
memiliki dua salinan normal kromosom 21. Translokasi
merupakan satu-satunya tipe yang dapat terjadi terlepas dari
usia ibu dan dapat diwarisi dari salah satu orang tua.
Translokasi dapat bersifat timbal balik atau Robertsonian.
Translokasi timbal balik melibatkan pertukaran kromosom
antara tipe yang berbeda dan merupakan tipe translokasi paling
umum, contoh pertukaran misalnya terjadi antara kromosom 1
dan kromosom 9. Translokasi Robertsonian hanya melibatkan
pertukaran antara nomor kromosom 13, 14, 15, 21 dan 22.
● Mosaicism merupakan pola kesalahan dalam pembelahan sel
yang terjadi setelah pembuahan dan merupakan tipe yang
paling jarang, hanya terjadi pada 1% - 2% orang dengan DS.
Individu yang terkena hanya memiliki beberapa sel dengan
kromosom ekstra 21, hal ini menghasilkan beberapa sel tubuh
yang mengandung 47 kromosom dan yang lainnya memiliki 46
kromosom biasa. Semakin besar jumlah sel normal di DS,
semakin tinggi kemungkinan fungsi kognitif baik dan
kemungkinan lebih sedikit gangguan intelektual. 4 Seperti
halnya trisomi 21, tipe mosaik DS tidak diwariskan.11

2.1.7 Prognosis
Prognosis anak dengan DS biasanya cukup buruk. Pada tahun
1983, rata-rata usia jangka kehidupan dengan kondisi tersebut
hanya sekitar 25 tahun. Namun, dengan kemajuan dalam perawatan
dan penyaringan terhadap orang dengan DS sehingga 14 tahun
kemudian pada tahun 1997, usia rata-rata jangka hidup kondisi DS
meningkat dua kali lipat menjadi 49 tahun.17

2.1.8 Manisfestasi Klinis


Ketidakmampuan belajar, ketidaknormalan kraniofasial dan
hipotonia pada bayi merupakan ciri yang ditunjukkan oleh individu
dengan DS. Beberapa DS dipengaruhi oleh varian fenotip, seperti
ADHD, leukemia (acute megakaryoblastic leukemia (AMKL) dan
acute lymphoblastic leukemia (ALL), dan atrioventricular septal
defects (AVSD) di jantung. Individu DS memiliki berbagai
karakteristik fisik seperti mata sipit, dagu kecil, jembatan hidung
datar, satu lipatan pada telapak tangan, tonus otot yang buruk, lidah
yang keluar, mulut yang kecil jempol dan jari kaki pendek, serta
pola sidik jari abnormal.18

2.1.9 Diagnosis
● Prenatal screening test, tes ini tidak dapat menentukan DS
pasti ada, namun tes ini dapat menunjukkan peningkatan
kemungkinan bahwa janin memiliki DS.
● Prenatal diagnostic test, tes ini membawa risiko yang sedikit
lebih besar pada janin daripada tes skrining, tetapi tes ini dapat
menentukan dengan pasti adanya DS.19
2.2. Neurodevelopmental Treatment (NDT)
2.2.1 Definisi
Neurodevelopmental Treatment (NDT) adalah pendekatan
yang berfokus pada kualitas gerakan dan koordinasi daripada
fungsi kelompok otot tiap individu. Oleh karena itu, NDT paling
efektif sebagai intervensi awal, sebelum pola pergerakan
kompensasi yang buruk menjadi kebiasaan. Intervensi NDT pada
anak dengan DS bertujuan untuk melatih reaksi keseimbangan,
gerakan dan fasilitasi motorik kasar.20

2.2.2 Teori Dasar Neurodevelopmental Treatment


 Pengertian bahwa manusia itu dipengaruhi oleh sistem-sistem
yang berbeda (otot, tulang, paru, jantung, hormon, saraf dan
sebagainya) yang bekerja di bawah komando otak.
 Pentingnya mengerti bagaimana perencanaan gerakan pada
anak, sehingga terapis dapat membuat rencana latihan sesuai
dengan gangguan geraknya (sequence of movements).
 Latihan dimulai dengan asesmen dan latihan difokuskan pada
kemandirian gerak.21

2.2.3 Prinsip Neurodevelopmental Treatment


NDT sebagai metode yang membangun kembali
perkembangan otak, ini merupakan proses berkesinambungan yang
dipengaruhi genetika, struktur dan fungsi otak, maupun dari
interaksi lingkungan.
Prinsip-prinsip NDT ialah dengan mengontrol dan
menghambat gerakan abnormal dan memberikan fasilitasi dan
stimulasi untuk membentuk automatic postural reactions. Terapis
mengombinasikan berbagai teknik stimulasi untuk mengurangi
kelainan postural dan fasilitasi gerak dengan tujuan mengirimkan
berbagai pengalaman sensori-motor untuk melatih gerakan
fungsional. Intervensi penanganan NDT melatih keseimbangan,
gerakan anak, dan fasilitasi. NDT adalah metode terapi yang
populer dalam pendekatan intervensi pada bayi dan anak-anak
dengan disfungsi motor neuron. Maka dari itu peran fisioterapi
pada kondisi DS harus dilakukan sedini mungkin sehingga tumbuh
kembang anak dapat terarah sesuai dengan tahapan usianya.22

2.2.4 Konsep Metode Neurodevelopmental Treatment


1. Tone Influence Patterns (TIPs)
Tone Influence Patterns merupakan suatu usaha untuk
mengurangi aktivitas refleks, reaksi asosiasi, involuntary
movement, dan mengatasi tonus postural abnormal dengan
m
en g
gu n
ak a
n

inhibisi, stimulasi, dan fasilitasi untuk mencapai:


a. Gambaran postural yang normal untuk bergerak
b. Membangun reaksi righting dan equilibrium
c. Membangun pattern gerakan yang fundamental yang lebih
ke arah aktivitas yang lebih terampil, berfungsi, dan
bertujuan.21
Gambar 2.2. Proses Tone Influence Patterns21

Tone Inhibiting Patterns terdiri:


a.) Inhibisi
Digunakan untuk mengurangi bentuk-bentuk aktivitas
refleks, reaksi asosiasi, involuntary movement dan
untuk mengatasi tonus postural yang abnormal.

b.) Stimulasi
Biasanya digunakan pada kasus tonus postural rendah,
berupa kompresi, tapping, placing, holding.

c.) Fasilitasi
Hal yang dilakukan untuk membuat anak:
● Mencapai gambaran postural yang normal untuk
bergerak
● Membangun reaksi righting dan equilibrium
● Membangun pattern gerakan yang fundamental
yang lebih kearah aktivitas yang terampil,
berfungsi, dan bertujuan.

Gambar 2.3. Proses Tonus Menuju Normal21

Dalam konsep bobath, TIPs akan mempengaruhi fasilitasi


terhadap reaksi normal yang merupakan didalamnya Key
Point of Control. Key Point of Control sendiri yaitu titik yang
digunakan fisioterapis dalam inhibisi dan fasilitasi. Key Point
of Control harus dimulai dari proksimal ke distal atau bergerak
mulai dari kepala-leher-trunk-kaki dan jari kaki.21

Gambar 2.4. Titik Key Point of


Control21

Prinsip motor control, motor learning, dan postural control


a. Motor Control
Motor control adalah proses informasi suatu aktivitas
yang berpusat pada central nervous system (CNS) dengan
tujuan mengorganisasikan sistem muskuloskeletal untuk
membuat koordinasi suatu gerakan. Motor control
difokuskan pada koordinasi terhadap postur dan gerakan
melalui mekanisme serta perpaduan antara fisiologis dan
psikologis. Ada 6 tingkatan motor koordinasi dalam motor
control, poin berikut membahas tingkatan tersebut.21
a.) Level 1: tingkatan pada neuron
Merupakan organisasi neuromotor yang relatif
sederhana, yaitu pada motor unit. Motor unit adalah
bagian yang menghubungkan motor neuron dan otot
yang akan dipersarafi.

b.) Level 2: tingkatan pada otot


Merupakan tingkatan terjadinya kontraksi dari
sekelompok motor unit.
c.) Level 3: tingkatan grup otot
Merupakan tingkatan fungsi beberapa kelompok
otot yang melakukan kerja pada suatu sendi.

d.) Level 4: tingkatan organ (beberapa sendi dalam


segmen tubuh)
Merupakan bagian yang mengatur koordinasi
gerakan pada setiap sendi.

e.) Level 5 tingkatan sistem organ


Merupakan kombinasi dari gerakan yang
terorganisir yang merupakan fungsi lokomotor.

f.) Level 6: tingkatan organisme


Merupakan tempat dari fungsi motorik dalam
konteks makhluk hidup. Pada tahap ini merupakan
tahap tertinggi dari koordinasi gerakan. Sistem
sensorik memberikan perubahan-perubahan yang
terjadi pada lingkungan.

g.) Motor Learning


Motor learning adalah suatu proses pembentukan
sistematika kognitif tentang gerak yang kemudian
diaplikasikan dalam psikomotor, mulai dari tingkat
keterampilan gerak yang sederhana ke keterampilan
gerak yang kompleks sebagai gambaran fisiologis yang
dapat membentuk psikologis untuk mencapai
otomatisasi gerak. Motor learning melibatkan
kelancaran dan ketepatan gerakan serta diperlukan
untuk gerakan rumit seperti berbicara, bermain piano
dan memanjat pohon.

h.) Postural Control


Postural control adalah gerakan korektif yang
diperlukan untuk menjaga pusat gravitasi dalam basis
dukungan. Yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan ini
adalah koordinasi dari rangka, otot sensorik, dan
sistem saraf pusat. Postural control meliputi kontrol
terhadap posisi tubuh dan berfungsi ganda yaitu untuk
stabilitas (keseimbangan) dan orientasi (memelihara
hubungan yang tepat antar segmen tubuh dan antara
tubuh dan lingkungan). Prinsip dasar dari postural
control antara lain:

i. Kemampuan melihat
ii. Sistem vestibular
iii. Sistem somatosensory
iv. Sistem muskuloskeletal

2. Sensori Integrasi
Merupakan proses mengenal, mengubah dan membedakan
sensasi dari sistem sensori untuk menghasilkan suatu respons
untuk menghasilkan “perilaku adaptif bertujuan”.
Pengintegrasian sensoris adalah dasar untuk memberikan
respon adaptif terhadap tantangan yang ditimbulkan oleh
lingkungan dan pembelajaran. Fungsi pembelajaran
tergantung pada kemampuan anak untuk memanfaatkan
informasi sensorik yang didapat dari lingkungannya.
Mengintegrasikan informasi kemudian menjadi rencana adalah
sebuah bentuk tujuan perilaku. Terjadi akibat pengaruh input
sensori seperti melihat, taktil, vestibular dan proprioseptif.
Memungkinkan adanya perkembangan respons adaptif, yang
merupakan dasar perkembangan keterampilan yang lebih
kompleks seperti berbahasa, pengendalian emosi, dan
berhitung. Intervensi integratif sensori, stimulasi vestibular,
pendekatan terapi perkembangan saraf merupakan metode
yang efektif digunakan sebagai fisioterapi.23
a. Dasar teori sensori integrasi
Dasar teori sensori integrasi adalah adanya plastisitas
sistem saraf pusat, perkembangan yang bersifat progresif,
teori sistem dan organisasi sistem saraf pusat, respons
adaptif, serta dorongan dari dalam diri. Dasar rasional
intervensi sensori integrasi adalah:
a.) Konsep neuroplastisitas atau kemampuan sistem saraf
untuk beradaptasi dengan input sensori yang lebih
banyak,
b.) Berdasarkan konsep progresif perkembangan, sensori
integrasi terjadi saat anak yang berkembang mulai
mengerti dan menguasai input sensori yang ia alami.

c.) Pada teori sistem dan organisasi sistem saraf pusat,


proses sensori integrasi diyakini terjadi pada tingkat
batang otak dan subkortikal.

d.) Teori sensori integrasi yang membedakannya dari


model perkembangan sensori motor lain adalah
stimulasi sensori yang menekankan pencapaian respon
adaptif.

e.) Dorongan untuk aktualisasi diri yang menjadi hal


terpenting dalam perkembangan sensori integrasi.24

b. Prinsip teori sensori integrasi


Terapi sensori integrasi menekankan stimulasi pada
tiga indera utama, yaitu taktil, vestibular, dan proprioseptif
dengan sangat penting karena membantu interpretasi dan
respons anak terhadap lingkungan.
a.) Sistem Taktil
Sistem taktil merupakan sistem sensori terbesar
yang dibentuk oleh reseptor di kulit, yang mengirim
informasi ke otak terhadap rangsangan cahaya,
sentuhan, nyeri, suhu, dan tekanan.

b.) Sistem Vestibular


Sistem vestibular terletak pada telinga dalam (kanal
semisirkular) dan mendeteksi gerakan serta perubahan
posisi kepala. Sistem vestibular merupakan dasar tonus
otot, keseimbangan, dan koordinasi bilateral.

c.) Sistem Proprioseptif


Sistem proprioseptif terdapat pada serabut otot,
tendon, dan ligamen, yang memungkinkan anak secara
tidak sadar mengetahui posisi dan gerakan tubuh.

c. Bentuk stimulasi
a.) Stimulasi Taktil: Menyentuh bubbles, painting,
bermain pasir, mandi dengan sikat bertekstur.

b.) Stimulasi Vestibular: Melompat di trampoline,


berjalan di atas papan, duduk di atas roller foam.

c.) Stimulasi Proprioseptif: Merangkak, stress balls,


bermain atau bernyanyi sambil berdiri.

d. Efektifitas terapi sensori integrasi


Terapi sensori integrasi memperlihatkan adanya
manfaat untuk anak dengan retardasi mental ringan,
autisme, dan gangguan pemrosesan sensori.24

2.3. Denver Developmental Screening Test (DDST) II


2.3.1 Definisi
Denver Developmental Screening Test (DDST) II adalah
tes skrining yang digunakan untuk menyaring dan menilai
perkembangan anak-anak sejak lahir hingga usia 6 tahun. Empat
bidang yang dinilai dalam tes skrining ini meliputi motorik halus,
motorik kasar, personal sosial dan bahasa. Tes ini terdiri 125 item
dan perkembangan anak diukur berdasarkan 125 item ini.25,26
Pengukuran ini bertujuan untuk penyaringan masalah
perkembangan dan sebagai alat konfirmasi pada dugaan masalah
dengan menggunakan ukuran objektif. Selain itu, data digunakan
untuk memantau anak-anak yang berisiko pada keterlambatan
perkembangan.
Tes ini juga untuk meningkatkan prognosis perkembangan
dan menentukan tujuan jangka pendek dan panjang serta untuk
mendeteksi gangguan perkembangan pada usia dini. American
Academy of Pediatrics (AAP) telah merekomendasikan untuk
menggunakan alat skrining perkembangan pada usia 9,18,24 (atau
30) bulan pada saat cek kesehatan anak.
Biasanya waktu yang dibutuhkan untuk tes sekitar 10-20
menit dan ada juga yang berpendapat dibutuhkan waktu 20-30
menit. Hasil tes anak tersebut akan diklasifikasikan dalam kisaran
normal, dicurigai atau tidak dapat diuji berdasarkan hasil tes.25–27

2.3.2 Prosedur Tes


Sebelum menerapkan DDST II, kita harus terlebih dahulu
memahami apa yang hendak diukur melalui tes tersebut. Agar tidak
terjadi kesalahan pemahaman maka ada beberapa hal yang perlu
kita perhatikan berkaitan DDST II.
1. DDST II bukan merupakan tes IQ dan bukan alat peramal
kemampuan adaptif atau intelektual (perkembangan) pada masa
yang akan datang.
2. DDST II tidak digunakan untuk menetapkan diagnosis, seperti
kesukaran belajar, gangguan bahasa, gangguan emosional, dan
sebagainya.
3. DDST II diarahkan untuk membandingkan kemampuan
perkembangan anak dengan anak lain yang seusia, bukan
sebagai pengganti evaluasi diagnostik atau pemeriksaan fisik.

DDST II terdiri atas 125 item tugas perkembangan yang


sesuai dengan usia anak, mulai dari usia 0-6 tahun. Item-item
tersebut tersusun dalam formulir khusus dan terbagi menjadi 4
sektor, yaitu:
1. Sektor Personal-Sosial, yaitu penyesuaian diri di masyarakat
dan kebutuhan pribadi.
2. Sektor Motorik Halus, yaitu koordinasi mata-tangan,
kemampuan memainkan dan menggunakan benda-benda kecil,
serta pemecahan masalah.
3. Sektor Bahasa, yaitu mendengar, mengerti, dan menggunakan
bahasa.
4. Sektor Motorik Kasar, yaitu duduk, berjalan, dan melakukan
gerakan umum otot besar lainnya.

Kualifikasi penguji : dilakukan oleh profesional klinis,


fisioterapis, atau profesional perawatan kesehatan.
Prinsip yang perlu diperhatikan oleh penguji saat melakukan tes:
1. Bertahap dan berkelanjutan
2. Dimulai dari tahapan perkembangan yang telah dicapai anak
3. Suasana nyaman dan dilakukan tanpa paksaan serta tidak
menghukum
4. Penguji harus membuat anak melakukan tugas yang mudah
terlebih dahulu dan memuji anak supaya anak tersebut
meskipun berhasil atau gagal
5. Anak-anak diberikan hingga 3 percobaan petugas sebelum
melanjutkan.26

2.3.3 Peralatan Tes


Dalam melaksanakan tes perkembangan anak dengan
menggunakan DDST II, kita perlu melakukan langkah-langkah
persiapan, di antaranya persiapan alat tes, formulir DDST II,
pedoman pelaksanaan pengujian, baru dilanjutkan dengan
penghitungan usia anak, dan terakhir pelaksanaan tes sesuai dengan
usia anak.26
Peralatan yang digunakan:
1. Alat tulis untuk penguji
2. Formulir atau kartu tes
3. Peralatan pengujian berupa
• Benang pom-pom merah dengan diameter 4”
• Sereal berbentuk “O” / kismis / manik-manik
• Rattle dengan pegangan sempit
• 10 blok kayu berwarna dengan ukuran 1”
• Botol kaca bening kecil dengan lubang 5 atau 8”
• Bel kecil
• Bola tenis
• Pensil merah
• Boneka plastik kecil dengan botol
• Gelas plastik dengan pegangan
• Selembar kertas kosong
4. Selimut atau alas dibutuhkan untuk peserta bayi
5. Meja dan kursi dibutuhkan jika peserta ujian adalah anak-anak

2.3.4 Detail Formulir DDST II


Formulir DDST II berupa selembar kertas yang berisikan
125 tugas perkembangan menurut usia pada halaman depan dan
pedoman tes untuk beberapa item tertentu pada halaman belakang.
Pada baris horizontal teratas dan terbawah, terdapat skala
usia dalam bulan dan tahun yang dimulai dari anak lahir hingga 6
tahun. Pada usia 0-24 bulan, jarak 2 tanda (garis tegak kecil)
adalah 1 bulan. Setelah usia 24 bulan, jarak antara 2 tanda adalah 3
bulan.
Pada bagian depan, terdapat 125 item yang digambarkan
dalam bentuk persegi panjang yang ditempatkan dalam neraca usia,
yang menunjukkan 25%, 50% 75%, dan 90% dari seluruh sampel
standar anak normal yang dapat melaksanakan tugas tersebut.
Sebagai contoh, item “menggosok gigi tanpa bantuan” memiliki
makna:
• 25% dari seluruh sampel anak dapat menggosok gigi tanpa
bantuan di usia kurang dari 33 bulan (2 tahun 9 bulan).
• 50% dari seluruh sampel anak dapat menggosok gigi tanpa
bantuan di usia 42 bulan (3 tahun 6 bulan).
• 75% dari seluruh sampel anak dapat menggosok gigi tanpa
bantuan di usia 51 bulan ( 4 tahun 3 bulan).
• 90% dari seluruh sampel anak dapat menggosok gigi tanpa
bantuan di usia kurang dari 63 bulan (5 tahun 3 bulan).26

2.3.5 Cara Menghitung Usia Anak


Telah disebutkan di awal bahwa penerapan DDST
ditujukan untuk menilai perkembangan anak berdasarkan usianya.
Dengan demikian, sebelum melakukan tes ini, terlebih dahulu kita
harus mengetahui usia anak tersebut. Untuk menghitung usia anak,
kita dapat mengikuti langkah-langkah berikut.
1. Tulis tanggal, bulan, dan tahun dilaksanakannya tes.
2. Kurangi dengan cara bersusun dengan tanggal, bulan, dan
tahun kelahiran anak.
3. Jika jumlah hari yang dikurangi lebih besar, ambil jumlah hari
yang sesuai dari angka bulan di depannya (mis., Agustus: 31
hari, September: 30 hari).
4. Hasilnya adalah usia anak dalam tahun, bulan dan hari.
5. Ubah usia anak ke dalam satuan bulan jika perlu.
6. Jika pada saat pemeriksaan usia anak di bawah 2 tahun, anak
lahir kurang 2 minggu, atau lebih dari HPL, lakukan
penyesuaian prematuritas dengan cara mengurangi umur anak
dengan jumlah minggu tersebut.27

2.3.6 Pelaksanaan Tes


Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan tes adalah
sebagai berikut:
1. Semua item harus disajikan sesuai dengan pelaksanaan tes
yang telah ter-standarisasi (sesuai pedoman pelaksanaan tes
per item).
2. Perlu kerja sama aktif dari anak sebab anak harus merasa
tenang, aman, senang, sehat (tidak lapar, tidak mengantuk,
tidak haus, dan tidak rewel).
3. Harus terbina kerja sama yang baik antara kedua belah pihak.
4. Tersedia ruangan cukup yang luas, ventilasi baik, dan berikan
kesan yang santai dan menyenangkan.
5. Orang tua harus diberi tahu bahwa tes ini bukan tes
kepandaian/IQ melainkan tes untuk melihat perkembangan
anak secara keseluruhan. Beritahukan bahwa anak tidak selalu
dapat melaksanakan semua tugas yang diberikan.
6. Item-item tes sebaiknya disajikan secara fleksibel. Akan
tetapi, lebih dianjurkan mengikuti petunjuk berikut.
• Item yang kurang memerlukan keaktifan anak sebaiknya
didahulukan, misalnya sektor personal-sosial, baru
kemudian dilanjutkan dengan sector motorik halus-adaptif.
• Item yang lebih mudah didahulukan. Berikan pujian pada
anak jika ia dapat menyelesaikan tugas dengan baik, juga
saat ia mampu menyelesaikannya tetapi kurang tepat. Ini
ditujukan agar anak tidak segan untuk menjalani tes.
• Item dengan alat yang sama sebaiknya dilakukan secara
berurutan agar penggunaan waktu menjadi lebih efisien.
• Hanya alat-alat yang akan digunakan saja yang diletakkan
di atas meja.
• Pelaksanaan tes untuk semua sektor dimulai dari item yang
terletak di sebelah kiri garis umur, lalu dilanjutkan ke item
di sebelah kanan garis umur.
7. Jumlah item yang dinilai bergantung pada lama waktu yang
tersedia, yang terpenting pelaksanaannya mengacu pada tujuan
tes, yaitu mengidentifikasi perkembangan anak dan
menentukan kemampuan anak yang relatif lebih tinggi.
8. Upaya identifikasi perkembangan dilakukan jika anak berisiko
mengalami kelainan perkembangan. Ini dilakukan melalui
langkah-langkah berikut. Pertama, pada setiap sektor, tes
dilakukan sedikitnya pada 3 item terdekat di sebelah kiri garis
usia, juga pada semua item yang dilalui oleh garis usia. Kedua,
bila anak tidak mampu melakukan salah satu item (gagal,
menolak, tak ada kesempatan), item tambahan dimasukkan ke
sebelah kiri garis usia (dalam sektor yang sama) sampai anak
dapat “Lulus/Lewat” dari 3 item secara berturut-turut.
9. Untuk menentukan kemampuan anak yang relatif tinggi, dapat
dilakukan langkah-langkah berikut. Pertama, pada setiap
sektor, lakukan tes minimal pada 3 item terdekat di sebelah
kiri garis usia dengan melakukan tes pada setiap item di
sebelah kanan garis usia hingga akhirnya didapat gagal tiga
kali berturut-turut.26

2.3.7 Penilaian Perilaku


Dilakukan setelah tes selesai. Dengan menggunakan skala
pada lembar tes, penilaian ini dapat membandingkan perilaku anak
selama tes dengan perilaku sebelumnya. Kita boleh menanyakan
kepada orang tua atau pengasuh apakah perilaku anak sehari-hari
sama dengan perilakunya saat itu. Terkadang anak tengah dalam
kondisi sakit atau marah sewaktu menjalani pemeriksaan tersebut.
Jika demikian, tes dapat ditunda dan dilanjutkan pada hari lain saat
anak telah kooperatif.26

2.3.8 Pemberian Skor Untuk Setiap Item


Pada setiap item, kita perlu mencantumkan skor di area
kotak yang berwarna putih (dekat tanda 50%), dengan ketentuan
sebagai berikut:
• L = Lulus/Lewat (P = Pass). Anak dapat melakukan indikator
atau item dengan baik atau orang tua/pengasuh melaporkan
secara terpercaya bahwa anak dapat menyelesaikan indikator
tersebut.
• G = Gagal (F = Fail). Anak tidak dapat melakukan indikator
atau item dengan baik atau orang tua/pengasuh melaporkan
secara terpercaya bahwa anak tidak dapat melakukan item
tersebut.
• M = Menolak (R = Refusal). Anak menolak untuk melakukan
tes untuk indikator item tersebut. Penolakan dapat dikurangi
dengan mengatakan kepada anak apa yang harus
dilakukannya.
• T = Tak ada kesempatan (No = No Opportunity). Anak tidak
mempunyai kesempatan untuk melakukan indikator atau item
karena ada hambatan.26

2.3.9 Interpretasi Hasil


Interpretasi hasil untuk tes ini terdiri atas dua tahap, yaitu
penilaian per item dan penilaian tes secara keseluruhan.
1. Penilaian per item
Ilustrasi untuk penilaian per item dapat terdiri dari
beberapa kategori:
a. Penilaian item “Lebih” (Advance). Nilai lebih tidak perlu
diperhatikan dalam penilaian tes secara keseluruhan (karena
biasanya hanya dapat dilakukan oleh anak yang lebih tua).
b. Penilaian item “OK” atau normal. Nilai ini tidak perlu
diperhatikan dalam penilaian tes secara keseluruhan. Nilai
“OK” dapat diberikan pada anak dalam kondisi berikut.
• Anak “Gagal” (G) atau “Menolak” (M) melakukan tugas
untuk item di sebelah kanan garis usia. Kondisi ini wajar,
karena item di sebelah kanan garis usia pada dasarnya
merupakan tugas untuk anak yang lebih tua. Dengan
demikian, tidak menjadi masalah jika anak gagal untuk
menolak melakukan tugas tersebut karena masih banyak
kesempatan bagi anak untuk melakukan tugas tersebut
jika usianya sudah mencukupi.
• Anak “Lulus/Lewat” (L), “Gagal” (G), atau “Menolak”
(M) melakukan tugas untuk item di daerah putih kotak
(daerah 25%-75%). Jika anak lulus, sudah tentu hal ini
dianggap normal, sebab tugas tersebut memang
ditujukan untuk anak di usia tersebut. Lalu, mengapa
saat anak gagal atau menolak melakukan tugas masih
kita simpulkan OK? Perlu kita ketahui, daerah putih
pada kotak menandakan bahwa sebanyak 25%-75% anak
di usia tersebut mampu (Lulus) melakukan tugas
tersebut. Dengan kata lain, masih ada sebagian anak di
usia tersebut yang belum berhasil melakukannya. Jadi,
jika anak gagal atau menolak melakukan tugas pada
daerah itu, hal ini masih dianggap wajar, dan anak masih
memiliki kesempaan untuk melakukannya pada tes yang
akan datang.
c. Penilaian item P = “Peringatan” (C= Caution). Nilai
“Peringatan” diberikan jika anak “Gagal” (G) atau
“Menolak” (M) melakukan tugas untuk item yang dilalui
oleh garis usia pada daerah gelap kotak (daerah 75% -
90%). Hal ini karena hasil riset menunjukkan bahwa
sebanyak 75%-90% anak di usia tersebut sudah berhasil
(Lulus) melakukan tugas tersebut. Huruf P di tulis di
sebelah kanan item dengan hasil penilaian “Peringatan”.
Peringatan sendiri terdiri atas dua macam. Pertama,
peringatan karena anak mengalami kegagalan (G).
Peringatan jenis ini memungkinkan anak mendapat
interpretasi penilaian akhir “Suspek”. Kedua, peringatan
karena anak menolak melaksanakan tugas (M). Peringatan
jenis ini memungkinkan anak mendapat interpretasi
penilaian akhir “Tak dapat diuji”.
d. Penilaian item T = “Terlambat” (D = Delayed). Nilai
“Terlambat” diberikan jika anak “Gagal” (G) atau
“Menolak” (M) melakukan tugas untuk item di sebelah kiri
garis usia sebab tugas tersebut memang ditujukan untuk
anak yang lebih muda. Huruf T ditulis di sebelah kanan
item dengan hasil penilaian “Terlambat”. Perlu diperhatikan
bahwa ada dua macam T. Pertama, terlambat karena anak
mengalami kegagalan (G). T jenis ini memungkinkan anak
mendapat interpretasi penilaian akhir “Suspek”. Kedua,
terlambat karena anak menolak melaksanakan tugas (M). T
jenis ini memungkinkan anak mendapat interpretasi
penilaian akhir “Tak dapat diuji”.
e. Penilaian item “Tak ada kesempatan” (No Opportunity).
Nilai ini tidak perlu diperhatikan dalam penilaian tes secara
keseluruhan. Nilai “Tak ada kesempatan” diberikan jika
anak mendapat skor “T” atau tidak ada kesempatan untuk
mencoba atau melakukan tes.26
2. Penilaian keseluruhan tes
Hasil interpretasi untuk keseluruhan tes dikategorikan
menjadi 3 yaitu, “Normal”, “Suspek (dicurigai), dan “Tak
dapat diuji”. Penjelasan mengenai ketiga kategori tersebut
adalah sebagai berikut.
a. Normal: Interpretasi diberikan jika tidak ada skor
“Terlambat” (0 T) dan/atau maksimal 1 “Peringatan” (1 P).
b. Suspek: Diberikan jika terdapat satu atau lebih skor
“Terlambat” (1 T) dan/atau dua atau lebih kegagalan (G),
bukan oleh penolakan (M). Jika hasil ini didapat, lakukan
uji ulang dalam 1-2 minggu mendatang untuk
menghilangkan faktor-faktor sesaat, seperti rasa takut, sakit,
atau kelelahan.
c. Tidak dapat diuji: diberikan jika terdapat satu atau lebih
skor “Terlambat” (1 T) dan/atau dua atau lebih
“Peringatan” (2 P). Ingat, dalam hal ini, T dan P harus
disebabkan oleh penolakan (M), bukan oleh kegagalan (G).
Jika hasil ini didapat, lakukan uji ulang dalam 1-2 minggu
mendatang.26

2.3.10 Karakteristik Psikometri


1. Standarisasi data / data informatif
Data normatif dikembangkan dari 2.096 anak-anak di
University of Colorade Medical Ceme.26
2. Bukti keandalan
Keandalan antar penilai dilaporkan sebagai hasil yang
tinggi hingga kuat. Versi Persia dari DDST-II telah ditemukan
memiliki validitas dan reliabilitas yang baik dengan
menemukan ukuran persetujuan pengujian ulang. Cronbach dan
Kappa masing-masing sebesar 92% dan 87%. Keandalan antar
penilai juga merupakan ukuran Kappa 76% dalam versi
Persia.28
3. Bukti validitas
Sensitivitas dilaporkan antara 56-83% dan spesifisitas
antara 43-80%. Validitas DDST II diuji bersamaan dengan
ASQ-34 yang menghasilkan kesepakatan yang adil. DDST II
dan BINS ditemukan memiliki korelasi positif sedang pada 12
dan 24 bulan serta dengan penilaian Neurologis, dan BSID II.
Gambaran Validitas DDST-I memiliki validitas yang
baik dengan penggunaan kurva yang mirip dengan kurva
pertumbuhan dengan norma yang dikembangkan dari populasi
yang representatif.26,27
BAB III
URAIAN KASUS

UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM VOKASI
BIDANG STUDI RUMPUN KESEHATAN
PROGRAM STUDI FISIOTERAPI

FORMULIR FISIOTERAPI

Nama Fisioterapi : Sri Novia Fauza, SST. FT. M.KM Peminatan : FT. Pediatri
Tempat & Tgl Lahir : dr. Rizky Kusuma Wardhani, Sp. KFT Ruangan : Poli FT. A
Nomor Register : 425 – 75 – 10 Tgl Periksa : 06 Oktober
2019

3.1. Pengumpulan Data Identitas


Nama jelas : An. Y.C.L. (L)
Tempat/tgl Lahir : Jakarta, 01 Maret 2015 (usia 3 thn 11 bln)
Alamat : Petamburan, Jakarta Barat
Pendidikan terakhir :-
Pekerjaan :-
Hobi :-
Diagnosis Medik : Down syndrome

3.2. Pengumpulan Data Riwayat Penyakit


3.2.1 Keluhan Utama
Belum dapat berdiri dan berjalan stabil

3.2.2 Riwayat Penyakit


Saat usia 1 bulan OS didiagnosa Down syndrome oleh dokter dan
mulai kontrol rutin hingga usia 3 bulan di RS. Budi Mulia. Karena
mengalami keterlambatan perkembangan dari usia 1 bulan akhir
hingga 3 bulan masih belum dapat melakukan apa-apa, kemudian
OS diminta untuk Fisioterapi. OS pertama kali melakukan
fisioterapi pada usia 4 bulan di RS. Budi Mulia hingga usia 6
bulan. Lalu OS sempat berhenti beberapa waktu karena kendala
biaya dan karena mengalami diare berat saat usia 7 bulan dan
dirawat di RS. Pelni sebanyak 3x. pertama dirawat pada tahun
2015 selama 5 hari, kemudian 2 minggu setelah pulang OS dirawat
kembali selama 4 hari. Lalu setelah rawat jalan 6 hari, OS kembali
dirawat selama 9 hari. OS juga sempat menjalani Fisioterapi
sebanyak ± 4 kali tetapi kemudian berhenti karena kondisi
memburuk dan tidak ada perubahan kondisi pada diare. Kemudian
OS dirujuk kembali ke RS. Sumber Waras karena diare semakin
berat, pada usia 10 bulan OS didiagnosis Infeksi paru (TB) dan
menjalani pengobatan 9 bulan serta Gizi buruk hingga usia 1,5
tahun. Kemudian saat gizi mulai membaik OS dirujuk kembali ke
RS. Cengkareng untuk poli tumbuh kembang, dan melakukan
fisioterapi dan sudah dapat berguling, merayap dan mulai duduk,
tetapi kondisi tubuh juga semakin memburuk dan sering sakit.
Karena perubahan yang ada tidak banyak, akhirnya OS dirujuk ke
RSCM untuk melakukan pemeriksaan kromosom, kemudian ke
bagian endokrin dan THT. Kemudian ke bagian Rehabilitasi medik
dan menjalani Fisioterapi. Saat ini OS sudah menjalani Fisioterapi
selama 5 bulan di RSCM dan sudah dapat duduk stabil, berdiri
berpegangan dan mulai belajar berdiri stabil.

3.2.3 Riwayat Prenatal :


a. Umur ibu hamil 39 tahun
b. Kehamilan tidak terencana
c. Jatuh satu kali, dari kursi saat usia kandungan 4 bulan
d. Kontrol rutin ke dokter mulai usia kandungan 4 bulan
e. Riwayat pendarahan tidak ada
f. Konsumsi vitamin berdasarkan resep dokter

3.2.4 Riwayat Natal :


a. Lahir vacuum, karena air ketuban habis di RS. Budi Kemuliaan
b. Tidak langsung menangis, baru menangis beberapa saat
sebelum dibersihkan
c. Biru tidak ada
d. Kuning selama 2 hari, bilirubin 16
e. Kejang tidak ada
f. Lahir pada usia kehamilan 9 bln 3 hari
1
g. Inkubator 1 hari di RS. Budi Kemuliaan
2
h. BBL = 2,5 kg
i. PBL = 46 cm
j. Lingkar kepala : Tidak ada data

3.2.5 Riwayat Postnatal


a. Kuning 3 hari setelah 2 hari pulang dari rumah sakit saat baru
dilahirkan
b. Inkubator 3 hari, di sinar karena bilirubin (kuning) 17
c. Biru tidak ada
d. Kejang tidak ada

3.2.6 Riwayat Penyakit Dahulu


a. OME, sudah dioperasi (04 Agustus 2018)
b. Operasi Amandel (November 2017)
c. Diare berat saat usia 7 bulan
d. Gizi buruk saat usia 10 bulan sampai 1,5 tahun
e. Infeksi paru saat usia 10 bulan (teratasi dengan obat 9 bulan)

3.2.7 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada riwayat yang sama

3.2.8 Riwayat Penyakit Penyerta


Alergi susu sapi

3.2.9 Riwayat Imunisasi


Lengkap

3.2.10 Riwayat Tumbang


Angkat kepala : 10 bln
Telungkup : 8 bln
Berguling : 18 bln
Merayap : 2,5 thn
Merangkak : 2,5 thn
Duduk : 2,5 thn
Ke duduk : 2,5 thn
Ke berdiri berpegangan : 3,5 thn

3.2.11 Riwayat Bahasa


Mengoceh

3.2.12 Riwayat Nutrisi


Asi Eksklusif : 0-6 bulan
Asi + Mpasi : 6 bulan – 1 tahun
Makan buah : 6 bulan
Susu soya : 10 bulan – sekarang
Bubur tim halus : 7 bulan – 1,5 tahun
Bubur tim sedikit kasar : 1,5 tahun – sekarang
Saat ini minum di : botol dot

3.2.13 Riwayat Bermain


Dapat bermain tanpa bantuan

3.2.14 Riwayat Psikososial


Pasien merupakan anak ke-tiga dari tiga bersaudara, kakak pertama
laki-laki berusia 18 thn, kakak ke dua berusia 16 thn, diasuh oleh
ibu. Ibu usia 44 tahun sebagai IRT dan ayah berusia 46 tahun
bekerja sebagai pegawai swasta tidak tetap. OS tinggal bersama
ayah, ibu, dan kedua kakak. Pembayaran menggunakan BPJS.

3.3. Pemeriksaan
3.3.1 Pemeriksaan Umum
Cara datang : Di gendong oleh ibunya
Kesadaran : Compos mentis
Kooperatif
Tensi :Tidak diukur
Lingkar kepala: 42 cm
Nadi : 80 x/menit
RR : 22 x/menit
Status Gizi : BB : 12 kg / TB : 88 cm
Suhu : Afebris
3.3.2 Pemeriksaan Khusus
1. Pemeriksaan posisi dan pola gerak
1) Terlentang :
Anak bergerak aktif dengan kepala cenderung lateral
fleksi ke kanan, shoulder simetris dan kedua lengan tangan
bergerak aktif, lalu posisi kedua tungkai dalam keadaan
lurus dan posisi diam cenderung hiperekstensi hip,
eksorotasi, abduksi dan hiperekstensi knee dengan ankle
eversi.
2) Telungkup
Pada posisi telungkup anak dapat mengangkat kepala
dengan posisi forarm support lalu hand support tetapi
kepala sering mendongak berlebihan/hiperekstensi neck.
Kepala juga cenderung sering menengok ke kanan. Kedua
kaki aktif bergerak dengan posisi abduksi, eksorotasi hip
dan terkadang fleksi atau semifleksi knee serta eversi
ankle.
3) Berguling
Anak dapat berguling ke kanan dan kiri dengan via hip
dan rotasi trunk yang adequat.
4) Duduk
Saat di posisikan duduk, anak dapat mengangkat kepala
dengan kepala sering mendongak dan menengok ke arah
kanan, terdapat hand support dan posisi duduk sedikit
roundback dengan wide abduction. Terdapat sitting
balance dan protective reaction.
5) Ke Duduk
a. Dari posisi supine
Dari posisi terlentang ke duduk anak dapat
melakukan mandiri yaitu terdapat sequence of
movement berupa memiringkan tubuh lalu perpindahan
tubuh dengan forearm support lalu hand support, rotasi
trunk yang cukup, terdapat fiksasi gerakan pada hip dan
terakhir transfer weight bearing.
b. Dari posisi prone lying
Anak dapat melakukan dengan cara menarik
bokong ke arah belakang hingga hampir menempel
lantai, lalu baru diikuti menarik tangan ke arah hand
support dan diikuti posisi kepala menunduk lalu
melihat ke depan atau atas.
6) Merangkak Anak
Dapat melakukan posisi merangkak dari side sitting
dengan kepala menghadap ke depan atau mendongak ke
atas lalu hand support dan weight bearing pada kedua lutut.
Saat merangkak terdapat gerak simultan serta transfer
weight bearing kanan-kiri tetapi wide base pada kedua lutut
masih terlalu lebar.
7) Diposisikan berdiri berpegangan meja
Anak mampu melakukan berdiri berpegangan
dengan satu atau dua tangan pinggir benda yang sejajar
dengan tinggi badan anak. Dengan posisi badan condong ke
depan serta perut terkadang sering menempel pada tepi
meja dan kedua tungkai hiperekstensi knee lalu tumpuan
kaki pada medial ankle. Standing balance masih belum
kuat saat melepaskan tangan dari tepi meja. Tidak terdapat
transfer weight bearing saat berdiri. Anak cenderung
menolak berdiri / bertumpu di permukaan kasar.
2. Palpasi
Tonus postural rendah
3. Tes Joint Laxity:
Tabel 3.1 Tes Joint Laxity

No
Regio Gerakan Joint Laxity
.
1. Elbow Ekstensi Positif/Positif
Ekstensi Positif/Positif
2. Wrist
Fleksi Positif/Positif
3. Hip Abduksi Positif/Positif
Adduksi Positif/Positif
Ekstensi Positif/Positif
4. Knee Ekstensi Positif/Positif
5. Ankle Dorsal Fleksi Positif/Positif
Eversi Positif/Positif
Inversi Positif/Positif

3.4. Problematika Fisioterapi


1. Tonus postural rendah
2. Trunk control inadekuat
3. Tumpuan di medial plantar
4. Gangguan taktil dan propioceptive
5. Standing balance inadekuat
6. Joint laxity
7. Mengunakan ankle joint protection dennis brown shoes
8. Belum bisa berdiri stabil
9. Belum bisa berjalan mandiri
3.5. Diagnosis Fisioterapi
Impairment
1. Tonus postural rendah
2. Trunk control inadekuat 0821 1111 2340
3. Tumpuan di medial plannar
4. Gangguan taktl dan propioceptive
5. Standing balance inadekuat
6. Joint laxity
Activity Limitation
1. Belum dapat berjalan stabil
2. Belum dapat berjalan mandiri
3. Saat berjalan mengunakan ankle joint protection (denis brown
shoes)
Participation Restriction
Belum dapat bermain dengan teman seusia

3.6. ICF
1. Body Structure
s11009 Structure of cortical lobes, unspecified
2. Body Function
b110-b139 Global mental functions, other specified and unspecified
b117 Intellectual functions
b122 Global pyschosocial functions
b126 Temprament and personality functions
b140 Attention functions
b144 Memory functions
b1470 Phsycomotor control
b164 Higher-level cognitive functions
3. Activity Limitation
d399 Communication, unspecified
d599 Self-care, unspecified
d4104 Standing
d450 walking
4. Participation Restriction
d999 Comunity, social and civic life, unspecified
5. Enviromental Factors
D810 Informal education
D815 Preschool education
E1201 Assistive products and technology for personal indoor and
outdoor mobility and transportation

3.7. Penatalaksanaan Fisioterapi


No JENIS METODA DOSIS KETERANGAN
1 NDT Fasilitasi ke berdiri 1x/minggu Meningkatkan core
a. latihan sit to stand 45 menit muscle, sabilitator
dari kursi roda muscle , melatih
a. transfer weight
bearing,
proprioceptive, trunk
control dan balance,
serta tonus postural
Fasilitasi berdiri stabil Meningkatkan tonus
a. berdiri dengan postural, postural
pegangan minimal control, standing
balance, weight
bearing, transfer
weight bearing,
proprioceptive dan
taktil
b. latihan naik turun Meningkatkan trunk
tangga rotation, stabilitator
muscle, balance,
weight bearing,
transfer weight
bearing, kordinasi dan
gerak simultan
2 Terapi Sekolah down 45 menit Untuk melatih
Group syndrome sosial,emosi, adaptasi,
fasilitasi taktil dan
proprioceptive

3.8. Uraian Tindakan


NDT
1. Fasilitasi ke arah berdiri
a. Latihan di posisi kneeling
Tujuan : Meningkatkan postural control, core muscle, stabilitator
muscle, melatih transfer weight bearing, proprioceptive,
balance, serta tonus postural
Posisi Os : Duduk
Posisi FTs : Di belakang anak
Prosedur :
1) Fasilitasi ke berdiri dengan memindahkan WB ke samping
kanan/kiri dengan handling di hip
2) Lalu arahkan tubuh membungkuk sedikit dan mengangkat
bokong ke atas hingga posisi knealing
3) Fiksasi pada hip agar stabil, lalu posisikan salah satu kaki
menumpu dengan knee fleksi 90
4) Stimulasi anak untuk berdiri

b. Latihan berdiri dengan bench


Tujuan : Meningkatkan postural control, core muscle, stabilitator
muscle, melatih transfer weight bearing, proprioceptive,
balance, serta tonus postural
Posisi Os : Duduk
Posisi FTs : Di depan anak
Prosedur :
1) Pastikan anak sudah menggunakan sepatu yang menjaga
ankle tetap stabil
2) Posisikan anak duduk di ujung kursi
3) Fasilitasi ke berdiri dengan stimulasi verbal seperti “ayo
berdiri” atau dengan mengajak mengambil mainan dari
lantai
4) Lalu arahkan tubuh condong ke depan dan mengangkat hip
ke atas hingga posisi menungging, handling pada tangan
anak
5) Jika sudah posisi berdiri, beri aproksimasi pada hip
2. Fasilitasi standing balance
a. Latihan transfer weight bearing di posisi berdiri
Tujuan : Meningkatkan postural control, core muscle, stabilitator
muscle, melatih transfer weight bearing, proprioceptive,
balance, koordinasi serta tonus postural
Posisi Os : Berdiri di depan meja
Posisi FTs : Di samping anak
Prosedur :
1) Pastikan anak sudah menggunakan sepatu yang menjaga
ankle tetap stabil
2) Posisikan berdiri berpegangan depan meja
3) Beri mainan di depan meja untuk menstimulasi anak
4) Fasilitasi transfer weight bearing dengan mengarahkan
anak untuk berpindah tumpuan kanan-kiri

b. Berdiri dengan pegangan minimal


Tujuan : Meningkatkan postural control, standing balance, weight
bearing, transfer weight bearing, taktil dan propioceptive
Posisi Os : Berdiri
Posisi FTs : Di hadapan anak
Prosedur :
1) Pastikan anak sudah menggunakan sepatu yang menjaga
ankle tetap stabil
2) Posisikan anak berhadapan dengan kita dan bersandar pada
tembok atau tepi tangga
3) Atur posisi agar tidak terlalu bersandar dan jatuh
4) Latih balance anak saat dapat berdiri sesuai dengan kita
3. Fasilitasi berjalan mandiri
a. Latihan berjalan dengan mendorong benda (kursi)
Tujuan : Mengembangkan balance, transfer weight bearing, dan
postural control agar dapat berjalan dengan stabil
Posisi Os : Berdiri dengan walker
Posisi FTs : Di belakang os
Prosedur :
1) Siapkan kursi yang akan digunakan dan sesuaikan
tingginya
2) Posisikan os berdiri berpegangan pada kursi
3) Handling terapis berada di baju bagian belakang
4) Arahkan os berjalan-jalan dengan walker

b. Latihan naik-turun tangga


Tujuan : Mengembangkan koordinasi gerak simultan, balance,
postural control, strengthening pada upper dan lower
extremity
Posisi Os : Berdiri berpegangan
Posisi FTs : Di samping os
Prosedur :
1) Posisikan os berdiri di depan anak tangga dan kedua tangan
berpegangan pada pegangan samping kanan kiri tangga
2) Handling terapis berada di bagian belakang baju dengan
pegangan minimal
3) Arahkan os untuk bergerak maju dengan sedikit menarik
baju bagian belakang ke arah atas depan agak os mau
melangkahkan kaki di tangga satu per satu
4) Lalu ajari juga os untuk turun tangga dengan mengarahkan
kedua tangan untuk bergeser turun dan mengarahkan tubuh
os dengan handling yang sama dan arah gerakan ke atas
depan serta membantu memfleksikan salah satu tungkai
agar melangkah turun
5) Lakukan dengan kaki satunya
Terapi Group
Uraian terlampir dalam protokol
1. Absen
2. Doa
3. Nyanyi dudidudidam dengan pin bowler
4. Ambil 5 pin bowler (berbeda warna)
5. Belajar mengenal warna pin bowler, sambal berhitung
6. Melempar pin bowler dengan bola
7. Mandi menggunakan bath spons
8. Menggosok tempat tidur sambal nyanyi “bangun tidur”
9. Bermain puzzle dii angkat kemudian dibuka, kemudian dipasang
“prok2x, sok gosok2x”, kemudian tukar dengan teman
10. Puzzle digabungkan kemudian menyanyi “naik kereta api”
11. Ke kebun binatang dengan mengenalkan hewan-hewan satu
persatu, sambal berhitung
12. Menyanyikan lagu “ibu jari”
13. Mengenalkan “ujang”
14. Menyanyikan lagu “dua mata saya”
15. Menyanyikan lagu “topi saya bundar”
16. Memainkan alat music dengan lagu “gembira berkumpul”
17. Menuju depan kaca
18. Naik roller dengan lagu dari tape
19. Main di gym ball dengan lagu
20. Jalan dengan lagu
21. Duduk kembali, menanyakan perasaan saat bersekolah
22. Bernyanyi di sini senang di sana senang
23. Doa
24. Penutup

3.9. Hasil Evaluasi


Evaluasi 1: 06 Februari 2019
S : belum bisa berdiri stabil dan berjalan mandiri
O:
● Ke berdiri dari posisi duduk di kursi, belum mampu dilakukan
● Ke berdiri sendiri dengan berpegangan meja belum dapat
dilakukan, OS tidak mampu mengangkat tubuh bagian atas
● Ke berdiri tanpa berpegangan belum dapat dilakukan
● Berdiri dengan bersandar tanpa pegangan ±20 detik, dengan hip
abduksi, eksorotasi dan knee hiperekstensi
● Berdiri di depan meja perut sering menempel
● Belum dapat berdiri dan jalan mandiri, berjalan sering menunduk
dan badan cenderung condong ke depan saat ditetah
● Berjalan dengan mendorong kursi, posisi badan menempel pada
kursi
● Trunk control inadekuat
● Core muscle inadekuat
● Stabilisator muscle inadekuat
● Saat berjalan kaki kanan sering tertinggal
● Tumpuan di medial kaki
● Naik turun tangga bisa di lakukan dengan bantuan
● Berjalan dengan ditetah 2 tangan
● Weight bearing berjalan condong ke depan, dominan di sisi kiri
● Balance saat berdiri inadekuat
● Joint Laxity pada elbow, wrist, hip. knee, ankle

A : Belum dapat berdiri stabil dan berjalan mandiri terkait gangguan


control posture
ec. Down syndrome
P : Latihan berdiri stabil dan berjalan mandiri
- NDT, Terapi Group

Evaluasi 2: 13 Februari 2019


S : belum bisa berdiri stabil dan berjalan mandiri
O:
● Ke berdiri dari posisi duduk di kursi, mampu dilakukan dengan
dorongan furniture
● Ke berdiri dengan berpegangan meja belum dapat dilakukan, OS
belum mampu mengangkat tubuh bagian atas
● Ke berdiri tanpa berpegangan belum dapat dilakukan
● Berdiri dengan bersandar tanpa pegangan ±25 detik, dengan hip
abduksi, eksorotasi dan knee hiperekstensi
● Berdiri di depan meja perut sering menempel
● Belum dapat berdiri dan jalan mandiri, berjalan sering menunduk
dan badan cenderung condong ke depan
● Berjalan dengan mendorong kursi, posisi badan menempel di kursi
OS dapat menaiki meja kecil (bench kecil) dan meja ukuran sedang
● Trunk control inadekuat
● Core muscle inadekuat
● Stabilisator muscle inadekuat
● Tumpuan di medial kaki
● Saat berjalan kaki kanan mulai tidak tertinggal
● Naik turun tangga bisa di lakukan dengan bantuan
● Berjalan ditetah 2 tangan
● Weight bearing berjalan condong ke depan, dominan di sisi kiri
● Balance saat berdiri inadekuat
● Joint Laxity pada elbow, wrist, hip. knee, ankle

A : Belum dapat berdiri stabil dan berjalan mandiri terkait gangguan


control posture
ec. Down syndrome
P : latihan berdiri stabil dan berjalan mandiri
- NDT, Terapi Group

Evaluasi 3: 20 Februari 2019


S : belum bisa berdiri stabil dan berjalan mandiri
O:
● Ke berdiri dari posisi duduk di kursi, mampu dilakukan dengan
dorongan minimal
● Ke berdiri dengan berpegangan meja dapat dilakukan mandiri
● Ke berdiri tanpa berpegangan belum dapat dilakukan, os belum
mampu mengangkat kedua tangan tubuh ke atas
● Berdiri dengan bersandar tanpa pegangan ±35 detik, dengan hip
abduksi, eksorotasi dan knee hiperekstensi
● Berdiri berpegangan meja perut masih sedikit menempel
● Berjalan mandiri 1 langkah dapat dilakukan
● Berjalan dengan mendorong walker atau barang, posisi trunk mulai
tegak
● Trunk control inadekuat
● Core muscle inadekuat
● Stabilisator muscle inadekuat
● Tumpuan di medial kaki, wide base masih lebar
● Saat berjalan kaki kanan terkadang sesekali tertinggal
● Naik tangga mulai dapat dilakukan mandiri dengan berpegangan di
pegangan tangga, turun tangga belum bisa mandiri karena masih
takut, bisa dilakukan dengan bantuan terapis
● Berjalan dengan tetah 1 tangan mulai bisa
● Weight bearing berjalan condong ke depan, dominan di sisi kiri
● Balance saat berdiri inadekuat
● Joint Laxity pada elbow, wrist, hip. knee, ankle

A : Belum dapat berdiri stabil dan berjalan mandiri terkait gangguan


control posture
ec. Down syndrome
P : Latihan berdiri stabil dan berjalan mandiri
- NDT, Terapi Group

Evaluasi 4 : 03 Maret 2019


S : belum bisa berdiri stabil dan berjalan mandiri
O:
 Ke berdiri dari posisi duduk di kursi, mampu dilakukan dengan
dorongan minimal
 Ke berdiri dengan berpegangan meja dapat dilakukan mandiri
 Ke berdiri tanpa berpegangan belum dapat dilakukan, os belum
mampu mengangkat kedua tangan dan tubuh ke atas
● Berdiri dengan bersandar tanpa pegangan ±40 detik, dengan hip
abduksi, eksorotasi dan knee hiperekstensi
 Berdiri berpegangan meja, perut masih sedikit menempel
 Berjalan mandiri 1 langkah dapat dilakukan
 Berjalan dengan mendorong walker atau barang, posisi trunk mulai
tegak
 Dapat berjalan merambat
 Trunk control inadekuat
 Core muscle inadekuat
 Stabilisator muscle inadekuat
 Tumpuan di medial kaki
 Berjalan dengan dititah 1 tangan
 Weight bearing saat berjalan condong ke depan mulai berkurang,
dominan kiri mulai berkurang
 Balance saat berdiri mulai berkurang
 Joint laxity pada elbow, wrist, hip, knee, ankle

A : belum dapat berdiri stabil dan berjalan mandiri terkait gangguan


control posture
ec. Down syndrome

P : latihan berdiri stabil dan berjalan mandiri


 NDT, Terapi Group
Tabel 3.3 Hasil Evaluasi Bagian 1
No Evaluasi 06 Februari 2019 13 Februari 2019 20 Februari 2019 03 Maret 2019
.
1. Ke Berdiri dari Belum dapat dilakukan Belum dapat dilakukan Mulai dapat dilakukan Dapat dilakukan
kursi mandiri
2. Ke Berdiri dengan Belum dapat dilakukan Belum dapat dilakukan Dapat dilakukan Dapat dilakukan
berpegangan
benda
3. Ke Berdiri tanpa Belum dapat dilakukan Belum dapat dilakukan Belum dapat dilakukan Belum dapat dilakukan
berpegangan
4. Berdiri bersandar ± 20 detik ± 25 detik ± 30 detik ± 45 detik
tanpa
berpegangan
5. Berjalan dengan Dapat dilakukan dengan Dapat dilakukan dengan Dapat dilakukan dengan Dapat dilakukan dengan
alat bantu kursi posisi badan menempel posisi badan menempel posisi badan mulai posisi badan mulai tegak
pada kursi pada kursi terangkat /tegak
6 Cara berjalan a. Dapat berjalan a. Dapat berjalan dengan a. Dapat berjalan a. Dapat berjalan
dengan dititah dua dititah dua tangan dengan dititah dua dengan dititah satu
tangan b. Posisi badan condong tangan dan mulai bisa tangan
b. Posisi badan condong ke depan hanya satu tangan b. Posisi badan
ke depan c. Tumpuan badan pada b. Posisi badan condong condong ke depan
c. Tumpuan badan pada medial plantar kaki ke depan mulai mulai berkurang
medial plantar kaki d. Wide base berjalan berkurang c. Tumpuan badan
d. Wide base berjalan yang lebar c. Tumpuan badan pada pada medial plantar
yang lebar Kaki kiri sering tertinggal medial plantar kaki kaki
Kaki kiri sering d. Wide base berjalan d. Wide base
tertinggal yang lebar mulai berjalan yang lebar
berkurang mulai berkurang
e. Kaki kiri sering e. Kaki kiri sering
tertinggal tertinggal
f. Berjalan
merambat dapat
dilakukan
Tabel 3.4 Hasil Evaluasi Bagian 2
No Evaluasi 06 Februari 2019 13 Februari 2019 20 Februari 2019 03 Maret 2019
.
8. Berdiri dengan Perut menempel pada Perut menempel pada Perut masih sedikit Perut menempel pada tepi
berpegangan benda tepi meja tepi meja menempel pada tepi meja meja
9. Naik-turun tangga Dapat dilakukan Dapat dilakukan Dapat dilakukan mandiri Dapat dilakukan dengan
dengan bantuan dengan bantuan tetapi saat turun tangga bantuan
masih takut
10. Trunk Control Inadekuat Inadekuat Inadekuat Inadekuat
11. Core Muscle Inadekuat Inadekuat Inadekuat Inadekuat
12. Stabilitator Muscle Inadekuat Inadekuat Inadekuat Inadekuat
13. Weight bearing saat Condong ke depan dan Condong ke depan dan Condong ke depan dan Condong ke depan dan sisi
berdiri sisi kiri sisi kiri sisi kiri kiri
14. Balance saat berdiri Inadekuat Inadekuat Inadekuat Inadekuat
15. Joint Laxity Terdapat pada elbow, Terdapat pada elbow, Terdapat pada elbow, Terdapat pada elbow,
wrist, hip, knee, ankle wrist, hip, knee, ankle wrist, hip, knee, ankle wrist, hip, knee, ankle

Kesimpulan : dari evaluasi melalui Denver II hasil pemeriksaan setelah dilakukan terapi terdapat perubahan pada gross motor yaitu pada
tahapan dari merangkak, duduk ke berdiri, dan berjalan merambat. Sedangkan pada perkembangan bahasa dan kognitif masih belum
menunjukkan perkembangannya. Pada perkembangan bahasa terutama pada pengucapan kata yang bermakna, sedangkan pada
perkembangan kognitif anak belum dapat bermain sesuai usianya seperti menyusun balok warna atau donat warna, serta fokus anak sangat
mudah teralihkan. Tetapi pada tahapan sosialnya anak sudah mampu mengenali siapa orang tuanya, orang yang baru pertama ditemui dan
orang yang sudah pernah ditemui. Jadi dari analisa perkembangan motorik anak seperti usia 10-11 bulan, bahasa dan kognitif seperti usia 6-
7 bulan, dan perkembangan sosialisasi sesuai dengan usia 1,5 tahun.
3.10. Analisis Statistik Deskriptif
a. Statistik Deskriptif

Tabel 3.5 Descriptive Statistics


Std.
N Minimum Maximum Mean
Deviation
Berdiri bersandar tanpa
4 20 45 30.00 10.801
berpegangan
Valid N (listwise) 4

b. Uji Normalitas

Tabel 3.6 Tests of Normality


Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Berdiri bersandar tanpa
.250 4 . .927 4 .577
berpegangan
a. Lilliefors Significance Correction

Keterangan: Jika hasil signifikansi >0.05 maka data evaluasi berdistribusi


normal, sedangkan jika <0.05 maka data evaluasi tidak berdistribusi
normal

c. Uji Beda

Tabel 3.7 One-Sample Test


Test Value = 0
95% Confidence
Sig. (2- Mean Interval of the
t df Difference
tailed) Difference
Lower Upper
Berdiri bersandar tanpa
5.555 3 .012 30.000 12.81 47.19
berpegangan

Keterangan: Jika hasil signifikansi >0.05 maka data evaluasi teruji beda,
sedangkan jika <0.05 maka data evaluasi tidak teruji beda
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus yang penulis bahas dalam makalah ini mengenai kondisi
seorang pasien di RSUPN Cipto Mangunkusumo yang berinisial An. Y. C.L.W
berusia 3 tahun 11 bulan dengan diagnosis Down syndrome (DS). Dari
pemeriksaan penulis menemukan beberapa permasalahan fisioterapi berdasarkan
prioritas, yaitu: tonus postural rendah, trunk control inadekuat, core muscle
inadekuat, stabilisator muscle inadekuat, tumpuan di medial plantar, taktil dan
proprioceptive, standing balance inadekuat, joint laxity.
Pada dasarnya pemberian intervensi fisioterapi pada kasus DS didasarkan
dengan kemampuan dan kondisi pasien saat itu. Oleh karena itu penulis
menggunakan terapi latihan sebagai intervensi untuk mengatasi masalah tersebut
dengan Neurodevelopmental Treatment (NDT).

4.1 Meningkatkan Kemampuan Berdiri Stabil


Tatalaksana program fisioterapi yang diberikan yaitu dengan memberikan
fasilitasi untuk berdiri stabil. Berdasarkan Malak R et al., ketika perkembangan
sistem saraf pusat tertunda dan sistem muskuloskeletal terganggu karena tonus
otot yang rendah, kelemahan tendon, dan ketidakstabilan artikulasi, maka
perkembangan motorik mungkin tertunda. Dalam penelitian ini 95% anak dengan
DS mencapai kemampuan untuk berdiri tegak pada usia antara 3 dan 6 tahun.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa posisi berdiri adalah yang paling sulit
untuk bayi dengan DS untuk berkembang pada tahun pertama. Posisi berdiri
dicapai setelah memperoleh keselarasan postural antara kepala, dada, dan pinggul.
Kemampuan untuk berdiri sulit bagi anak-anak dengan tambahan kromosom ke-
21 karena melibatkan fleksor dan ekstensor pada batang tubuh yang menyebabkan
gangguan pada banyak sistem tubuh, terutama pada gait analysis, agility, balance,
dan muscle strengthening yang sangat penting agar pasien mencapai potensi
maksimal. Anak-anak DS sangat sering hadir dengan sinergi otot primer karena
hipotonia otot. Inilah sebabnya mengapa anak-anak dengan DS harus menghadiri
sesi fisioterapi untuk meningkatkan keselarasan postural, serta distribusi yang
tepat dari tonus otot dan simetri, sehingga meminimalkan keterlambatan
perkembangan psikomotorik. Selain itu, untuk mempertahankan posisi berdiri
anak harus dapat menjaga keseimbangan tubuh mereka. Karena anak dengan DS
mengalami hipoplasia serebral, reaksi keseimbangan anak menjadi tidak
teratur.6,29,30
Kemudian memberikan latihan berupa fasilitasi berdiri stabil untuk modal
berjalan mandiri. Berdasarkan Beqaj S et al., anak-anak dengan DS mengalami
keterlambatan perkembangan motorik. Berkurangnya ukuran otak, gangguan
pematangan otak, dan proses patofisiologis menyebabkan keterlambatan
perkembangan motorik, terutama posisi berdiri dan kemampuan berjalan yang
akan tertunda pada anak dengan DS. Fungsi keseimbangan dan motorik
berkorelasi satu sama lain, sehingga kedua aspek perkembangan harus
dipertimbangkan bersama dalam fisioterapi pada anak dengan Down Syndrome.29
Model refleks mendasari NDT yang menginhibisi gerakan abnormal dan
mempromosikan gerakan normal dengan merangsang key point of control, serta
menekankan pengembangan automatic righting reaction. Intervensi NDT
sebanyak empat kali dalam seminggu selama empat minggu, diikuti oleh fase
istirahat delapan minggu, didapatkan hasil peningkatan gross motor berupa
kemampuan berdiri stabil yang diukur dalam Denver Development Screening Test
(DDST) II. Sedangkan intervensi NDT pada empat kali dalam seminggu selama
enam minggu diikuti oleh fase istirahat enam minggu juga mencapai peningkatan
gross motor berupa kemampuan berdiri stabil. Pada literatur ini juga disebutkan
bahwa peningkatan yang terjadi setelah intervensi dipengaruhi oleh frekuensi dan
durasi latihan.31
Dari usia 1 bulan hingga akhir 3 bulan pasien masih belum dapat
melakukan aktivitas seperti yang seusianya. Usia 1,5 tahun sudah bisa berguling,
sedangkan seharusnya anak dengan usia 1,5 tahun sudah bisa berlari. Setelah
dilakukan intervensi NDT sudah bisa merayap pada usia 24 bulan, merangkak,
duduk, dan ke duduk pada umur 2,5 tahun serta ke berdiri berpegangan pada umur
3,5 tahun. Dari evaluasi melalui DDST II, hasil pemeriksaan setelah dilakukan
terapi terdapat perubahan pada gross motor, sedangkan pada perkembangan
bahasa dan kognitif masih belum menunjukkan perkembangan, terutama pada
pengucapan kata yang bermakna. Sedangkan pada perkembangan kognitif, anak
belum dapat bermain sesuai usianya seperti menyusun balok warna atau donat
warna, serta fokus anak sangat mudah teralihkan. Pada tahapan sosialnya, anak
sudah mampu mengenali siapa orangtuanya, orang yang baru pertama ditemui dan
orang yang sudah pernah ditemui. Dari analisa perkembangan motorik anak
seperti usia 10-11 bulan, bahasa dan kognitif seperti usia 6-7 bulan, dan
perkembangan sosial yang sudah sesuai dengan usia 1,5 tahun.

Tabel. 4.1 Evaluasi Berdiri Bersandar Tanpa Berpegangan


Evaluasi Hasil Evaluasi
Ke-1 20 detik
Ke-2 25 detik
Ke-3 30 detik
Ke-4 45 detik

Berdasarkan hasil dari empat evaluasi berdiri bersandar tanpa berpegangan


diperoleh peningkatan waktu berdiri bersandar tanpa berpegangan dengan
parameter DDST II. Dari empat evaluasi di atas, terjadi peningkatan signifikan
sebesar 15 detik.

Tabel. 4.2 Grafik Evaluasi Berdiri Bersandar Tanpa Berpegangan

Evaluasi Berdiri Bersandar Tanpa Berpegangan


50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Evaluasi 1 Evaluasi 2 Evaluasi 3 Evaluasi 4

Evaluasi berdiri bersandar tanpa berpegangan


Terdapat 2 metode NDT yang diberikan, yaitu konvensional NDT dan
intensif NDT. Dibandingkan NDT konvensional, NDT intensif menunjukkan
peningkatan fungsi motorik kasar dan efektivitas yang lebih tinggi. NDT
konvensional selanjutnya digunakan dalam jangka pendek untuk mempertahankan
berbagai kemajuan yang telah dicapai. Konvensional NDT diberikan dengan dosis
sekali atau dua kali dalam seminggu serta durasi terapi selama 30 menit.
Sedangkan, intensif NDT diberikan dengan dosis tiga kali dalam seminggu dan 60
menit sehari selama 3 bulan. Sehingga, konsep bobath dengan Tone Influence
Patterns (TIPs) menggunakan inhibisi, stimulasi, dan fasilitasi dapat digunakan
untuk mencapai gambaran postural yang normal dan menunjukkan peningkatan
fungsi motorik sesuai dengan masalah pasien.31
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Pada kasus Down syndrome (DS), penulis memberikan intervensi
fisioterapi Neurodevelopmental Treatment (NDT) berupa fasilitasi berdiri
stabil. Intervensi yang dilakukan sebanyak empat kali; setiap satu kali
seminggu dengan durasi 45 menit pada tiap sesi terapi. Hasil yang
didapatkan berupa peningkatan kemampuan berdiri stabil. Dari hasil
evaluasi, anak mengalami peningkatan berdiri bersandar tanpa
berpegangan selama 25 detik. Hal ini menunjukkan bahwa fasilitasi berdiri
stabil pada NDT dapat meningkatkan kemampuan fungsional berdiri stabil
berdasarkan parameter Denver Development Screening Test (DDST) II.

5.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang didapat, saran yang penulis dapat
berikan sebagai berikut:

5.2.1. Untuk Keluarga Pasien

Keluarga ikut berperan dalam memantau perkembangan


anak dan berperan aktif dalam mendukung program fisioterapi
dengan melakukan home programme berupa orang tua atau
pengasuh yang selalu mengajari berdiri stabil dan kemampuan
fungsional berikutnya dengan memberikan stimulasi mainan.

5.2.2. Untuk Fisioterapis

Untuk fisioterapis diharapkan dapat selalu menentukan


dosis yang tepat sesuai dengan kondisi tubuh dan kemampuan
pasien. Penting untuk menentukan tujuan yang ingin dicapai dan
memahami karakteristik pasien guna mencapai intervensi yang
maksimal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Centers for Disease Control Prevention. Data and Statistics on Down


Syndrome [Internet]. cdc.gov. 2019. Available from:
https://www.cdc.gov/ncbddd/birthdefects/downsyndrome/data.html

2. Bellieni C. The Best Age for Pregnancy and Undue Pressures. J Fam
Reprod Heal [Internet]. 2016;10(3):104–7. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28101110%0Ahttp://www.pubmedce
ntral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=PMC5241353

3. Gerintya S. Mana Lebih Berisiko: Melahirkan Saat Masih Muda atau Tua?
[Internet]. tirto.id. 2017. Available from: https://tirto.id/mana-lebih-
berisiko-melahirkan-saat-masih-muda-atau-tua-cs5x

4. Kementerian Kesehatan RI. Antara Fakta dan Harapan Sindrom Down.


InfoDATIN. 2019;

5. Beqaj S, Tërshnjaku EET, Qorolli M, Zivkovic V. Contribution of Physical


and Motor Characteristics to Functional Performance in Children and
Adolescents with Down Syndrome: A Preliminary Study. Med Sci Monit
Basic Res. 2018;24:159–67.

6. Beqaj S, Jusaj N, Živković V. Attainment of gross motor milestones in


children with Down syndrome in Kosovo - Developmental perspective.
Med Glas. 2017;14(2):189–98.

7. Herrero D, Einspieler C, Panvequio Aizawa CY, Mutlu A, Yang H,


Nogolová A, et al. The motor repertoire in 3- to 5-month old infants with
Down syndrome. Res Dev Disabil [Internet]. 2017;67(June):1–8. Available
from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ridd.2017.05.006

8. Hazmi DDI Al, Tirtayasa K, Irfan M. Kombinasi Neuro Develompental


Treatment dan Sensory Integration Lebih Baik Daripada Hanya Neuro
Developmental Treatment Untuk Meningkatkan Keseimbangan Berdiri
Anak Down Syndrome. Sport Fit J. 2014;2(5):255.

9. Physiopedia. Down Syndrome (Trisomy 21) [Internet]. [cited 2020 Apr 5].
Available from: https://physio-
pedia.com/Down_Syndrome_(Trisomy_21)#

10. National Institute of Child Health and Human Development. What are
common treatments for Down Syndrome? nichd.nih.gov. 2017.

11. Sithole HL. African Vision and Eye. 2019;75(1):6–11. Available from:
https://avehjournal.org/index.php/aveh/article/view/323/478

12. Dupre C, Weidman-Evans E. Musculoskeletal development in patients with


Down syndrome. Vol. 30, Journal of the American Academy of Physician
Assistants. Lippincott Williams and Wilkins; 2017. p. 38–40.

13. Corsi C, Cimolin V, Capodaglio P, Condoluci C, Galli M. A biomechanical


study of gait initiation in Down syndrome. BMC Neurol. 2019 Apr
15;19(1).

14. Sherwood L. Human Physiology From Cells to Systems. USA:


Brooks/Cole, Cengage Learning; 2010.

15. Akhtar F, Bokhari SRA. Down syndrome (Trisomy 21). 5-Minute Pediatr
Consult 8th Ed. 2018;(Trisomy 21):306–7.

16. G C. Genetics Home Reference Chromosome 21. 2019. p. 1–5.

17. KK O. Patient education: Down syndrome (Beyond the Basics). UpToDate.


2019.

18. Asim A, Kumar A, Muthuswamy S, Jain S, Agarwal S. “down syndrome:


An insight of the disease.” J Biomed Sci [Internet]. 2015;22(1):1–9.
Available from: http://dx.doi.org/10.1186/s12929-015-0138-y

19. Eunice Kennedy Shriver National Institute of Child Health and Human
Development. How do health care providers diagnose Down syndrome ?
Prenatal Screening for Down Syndrome Prenatal Diagnostic Testing for
Down Syndrome. 2:2–5.

20. Physiopedia contributors. Down Syndrome (Trisomy 21) [Internet].


Physiopedia. 2020 [cited 2020 Apr 3]. Available from: https://www.physio-
pedia.com/index.php?
title=Down_Syndrome_(Trisomy_21)&oldid=229292

21. Karima NN. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Down Syndrome di


RSUPN Cipto Mangun Kusumo. 2019;

22. Suryana MY, Novitasari G, Antarnusa G. “ MA ’ UNAH APPLICATION


”: MEDIA PEMBELAJARAN AL- QUR ’ AN BERBASIS
AUGMENTED REALITY BAGI ANAK DOWN SYNDROME.
2019;2(1).

23. Prasaja, Khomarum. Perbandingan Antara Neuro Developmental Treatment


(NDT) dengan Kombinasi NDT dan Sensory Integration Untuk
Meningkatkan Keseimbangan Berdiri pada Anak Berkebutuhan Khusus.
2005;2(58):116–24.

24. Waiman E, Gunardi H, Sekartini R, Endyarni B. Sensori Intergrasi : Dasar


dan Efektifitas Terapi. 2011;13(2):129–36.

25. Çelikkiran S, Bozkurt H, Coşkun M. Denver developmental test findings


and their relationship with sociodemographic variables in a large
community sample of 0–4-year-old children. Noropsikiyatri Ars.
2015;52(2):180–4.

26. Frankenburg W, Dodds J, Archers P, Shapiro H, Bresnick B. DDST-II:


Denver Developmental Screening Test. 2nd ed. North Carolina: University
Elon; 2015.

27. S S, F S, N A, R V, A K, S-H T. Evaluating the Validity and Reliability of


PDQ-II and Comparison with DDST-I for Two Step Developmental
Screcning.

28. A F, P P, S M, J L-F. Psychometric properties of the Brazlian-adapted


version of the Ages and Stages Questionnaire in public child daycare
centers. Early Hum Dev. 2013;89(8):561–76.

29. Malak R, Kostiukow A, Krawczyk-Wasielewska A, Mojs E, Samborski W.


Delays in motor development in children with down syndrome. Med Sci
Monit. 2015;21:1904–10.
30. Al-Biltagi M. Down Syndrome Children. Egypt: Bentham eBooks; 2015.

31. Lee KH, Park JW, Lee HJ, Nam KY, Park TJ, Kim HJ, et al. Efficacy of
intensive neurodevelopmental treatment for children with developmental
delay, with or without cerebral palsy. Ann Rehabil Med. 2017;41(1):90–6.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai